Anda di halaman 1dari 6

1.

Sejarah berdirinya Pura


Pura Pusering Jagat adalah sebuah pura yang terletak di Desa Pejeng, Kecamatan
Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Pura ini merupakan salah satu Pura yang di
yang di yakini sebagai pusat semesta dan tempat awal mula kehidupan dan peradaban dunia bagi
masyarakat Desa Pejeng.
Pura Pusering Jagat merupakan

salah satu pura penting di Bali dan merupakan pura pusat

Kerajaan Bali Kuno. Pura yang oleh masyarakat setempat disebut dengan Pura Kelod ini
memiliki status sebagai Pura Kahyangan Jagat yang dalam kedudukannya sebagai sad kahyangan
atau kahyangan jagat yang diklasifikasikan sebagai Pura-pura Padma Bhuwana. Pada jaman
Bali Kuno pusat pemerintahan diperkirakan terletak di sekitar Desa Bedahulu dan Pejeng. Sesuai
dengan arti kata Pejeng yang berasal dai kata Pajeng (payung) yang bisa dimaknai memayungi
atau mengayomi. Penamaan itu terasa pas mengingat dari berbagai tinjauan dan kajian aspekaspek kebenaran sejarah, teosofi dan teologi, Desa Pejeng merupakan Pusat Kerajaan Bali Kuno
yang secara otomatis pusat kerajaan tersebut memayungi masyarakat dan daerah di sekitarnya.
Asal-usul Pura Pusering Jagat belum bisa diungkapkan secara jelas karena terbatasnya sumbersumber tertulis yang menyatakan tentang latar belakang sejarah Pura Pusering Jagat, namun
dapat dipaparkan sedikit dengan didukung oleh sumber yang agak terfragmentaris, yakni berupa
angka tahun Candrasengkala, maupun sumber uraian dari lontarKusumadewa. Tumurun pwa
Bhatara Siwa, angeka pada ring Mahameru tinut denira bhatara kang umungguh ring Watukaru
Bhatara Maha Dewa, ring Toh Langkir Bhatara Pasupati, ring Lempuhyang Bhatara Hyang
Gnijaya, Ring Gowa Lawah Bhatara Hyang Basuki, ring Pusering Tasik Bhatara Hyang
Amangkurat, muangring Uluwatu Bhatara Agni MahajayaYang artinya : Turunlah Tuhan Siwa
membumi di Mahameru diikuti oleh para Dewa yang distanakan di Batukaru Batara Maha Dewa,
di Gunung Agung Batara Pasupati, di Lempuhyang Batara Hyang Gni Jaya, di Gowa Lawah
Batara Hyang Basuki, di Pusering Jagat Batara Amangkurat dan Uluwatu Batara Agni Maha Jaya
(Rudra) (Sugriwa,2002 : 24). Di dalam lontar nama Puser Tasik sebagai Stana Bhatara
Amangkurat yang artinya di Pura Pusering Jagat ini Tuhan dipuja sebagai dewa penuntun mereka
yang sedang memangku jabatan menata kehidupan rakyat. Penguasa itu akan mengabdi pada
yang dikuasai apabila mereka yang berkuasa itu adalah mereka yang memiliki sikap hidup yang
religius. Tanpa religiusitas yang kuat penguasa dapat berbuat

sewenang-wenang pada rakyat yang dikuasainya. Menurut para ahli sejarah dan para pendeta
Hindu di Bali, bahwasannya lontar Kusumadewa ditulis oleh Mpu Kuturan yang sejaman dengan
masa pemerintahan Prabu Sri Airlangga di Jawa Timur, dan kemudian beliau pindah ke Bali atas
permintaan Prabu Sri Dharma Udayana Warmadewa pada sekitar abad ke-11 Masehi yaitu untuk
menertibkan kehidupan keagamaan dan tata kemasyarakatan di Bali. Jadi dapat diperkirakan
pada jaman Bali Kuna ada dugaan pusat pemerintahan terletak di sekitar Desa Bedahulu dan
Pejeng, oleh karena itu tidak mengherankan apabila di Pejeng dibangun Pura Pusering Jagat
sebagai Pura Pusat Kerajaan (Sugriwa, 2002 : 23). Sumber sejarah lainnya berupa angka
Candrasengkala yang tertera, disisi bejana padas (Sangku Sudamala) berada di dalam kompleks
jeroan pura. Candrasengkala ini terdiri dari: relief bulan sabit bernilai 1, sebuah mata bernilai 2,
panah bernilai 5, dan relief manusia bernilai 1. Bila di urut seluruhnya bernilai angka tahun 1251
caka atau 1329 Masehi, yaitu sebelum Majapahit melakukan ekspedisi militer dibawah pimpinan
Gajah Mada tahun 1343 M yang menyebabkan berakhirnya kerajaan Bali Kuno (Sugriwa, 2002 :
25). Pada tahun 1251 caka atau 1329 Masehi yang menjadi raja di Bali yakni raja Sri Astasura
Ratna Bumi Banten. Dengan demikian bila diikuti dari periodisasinya, maka Pura Pusering Jagat
di Pejeng pada awalnya telah dibangun sekitar abad ke-11 ketika Kerajaan Bali Kuno dipimpin
oleh Raja Sri Kesari Warma Dewa. Berdasarkan dengan I Ketut Darta (Pensiunan Pegawai di
Museum Arkeologi) tanggal 20 September 2013 menyatakan bahwa: Menurut Goris:
Kedudukan Pura Pusering Jagat pada masa Kerajaan Bali Kuno, merupakan satu pelebahan pura
milik raja-raja Bali Kuno dengan status sebagai Pura Puseh, Pura Penataran Sasih sebagai Pura
Penataran, Pura Uluwatu sebagai Pura Laut atau teben dan Pura Panerjon/Pura Puncak Penulisan
sebagai Pura Gunung atau ulun. Dengan kata lainnya, Pura Pusering jagat ini merupakan pusat
ritual kekuasaan pada masa Kerajaan Bali Kuno Seperti yang termuat dalam sejumlah lontar,
Pura Pusering Jagat dikenal sebagai Pura Pusering Tasik atau pusatnya lautan. Penanaman itu
akan mengingatkan masyarakat Hindu kepada cerita Adi Parwa yang mengisahkan perjuangan
para dewa dalam mencari tirtha amertha (air kehidupan) ditengah lautan susu Ksirnawa. Secara
fisik di kompleks Pura Pusering Jagat ini ada sebuah kolam Maya yang berlokasi di hadapan arca
utama di jeroan (halaman pura). Hal itu mengingatkan pada cerita pengadukan Ksirnawa (lautan
susu) ketika berlangsung pemutaran Gunung Mandara Giri oleh para dewa dan raksasa. Besar

kemungkinan, nama Pusering Tasik muncul dari sana. Jadi dapat diperkirakan disini Pura
Pusering Jagat dibangun pada masa Kerajaan Bali Kuno yang berpusat di Pejeng pada abad-ke11
dan merupakan salah satu palebahan pura milik raja-raja Bali Kuno.
2. Benda-benda peninggalan Pura Pusering Jagat
Benda-benda peninggalan Pura Pusering Jagat merupakan salah satu pura yang banyak
memiliki peninggalan-peninggalan purbakala. pra sejarah yaitu diantara:
2.1 . Arca Kelamin (Phallus
Vulva)
Di Pura Pusering Jagat ada sepasang arca yang pasti sangat menarik untuk dikaji. Sepasang arca
ini bahkan ditempatkan di jajaran palinggih utama di jeroan tengah Pura Pusering Jagat yang
disebut dengan Phallus-Vulva (kelamin laki-laki dan kelamin perempuan). Arca phallus atau
lazimnya disebut dengan kelamin laki-laki berbentuk bulat panjang dalam posisi berdiri. Terbuat
dari batu padas dengan ukuran tinggi 97 cm, keliling penampang 132 cm. Keadaan phallus masih
cukup baik, sekalipun ada bagiannya yang mengalami kerusakan. Phallus ini ditempatkan
bersama dengan Vulva (Vagina) yang dijaga oleh dua arca jongkok dengan kaki
disilangkan.Dalam ajaran Samkhya Yoga, Pallus Vulva atau Purusa dan Pradana ini adalah
ciptaan Tuhan (Iswara) yang pertama yang disebut dengan Manu. Purusa adalah benih-benih
kejiwaan, sedangkan Pradana adalah benih-benih kebendaan. Melalui Purusa dan Pradana
inilah Tuhan menciptakan kehidupan yang sejahtera untuk mengisi alam semesta ini. Dengan
kuatnya sinergi Purusa atau unsur kejiwaan dengan Pradana unsur kebendaan maka akan
terciptalah berbagai sumber kehidupan untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera lahir batin.
Phallus Vulva merupakan lambing kesuburan, hal ini sesuai dengan mata pencaharian yang
banyak digeluti oleh masyarakat Pejeng yaitu sebagai petani, hal ini didukung oleh tanah yang
subur dan pengairan yang memadai. Jadi pembuatan Phallus Vulva yang ada di Pura Pusering
Jagat pada zaman dahulu untuk sarana pemujaan terhadap Dewi Kesuburan untuk memohon
keselamatan tanamannya agar tumbuh subur dan tidak diserang hama.
2.2 Sangku Sudamala
Sebuah Sangku biasa yang terbuat dari tembaga, perak ataupun emas, ukurannya paling besar
berdiameter 10 cm. Sangku adalah tempat tirtha atau air suci. Namun lain dengan Sangku
Sudamala di Pura Pusering Jagat. Sangku Sudamala di pura ini merupakan bejana batu padas

yang ditempatkan khusus. Sangku ini memiliki ukuran tinggi 89 cm, diameter 86 cm. Keadaan
sangku ini sudah diberikan pelapis bajralepa tetapi sebagian masih cukup baik.Bentuk sangku
ini adalah silindris, pada dinding luar dihiasi dengan relief yang mengisahkan tentang upaya para
dewa dalam mendapatkan tirta amertha. Sangku Sudamala ini merupakan simbol wadah air suci
untuk menyucikan hidup manusia, karena dengan kesucian itulah dharma dapat ditegakan dalam
hidup ini. Satu hal yang sangat penting dari sangku ini adalah dicantumkannya angka tahun
Candrasangkala 1251 Isaka atau 1329 M. Seperti disinggung di atas para dewa berupaya
mendapatkan air kehidupan itu. Untuk mengaduk lautan tersebut, maka dicabutlah Gunung
Mandara oleh Naga Anantabhoga dan Naga Basukih melilitkan badannya untuk dipergunakan
sebagai tali. Ada seekor kura-kura yang merupakan penjelmaan Dewa Wisnu (Kurma Awatara)
yang menahan gunung Mandara dan menjadikan dirinya sebagai dasar gunung tersebut agar
tidak tenggelam. Singkat cerita, melalui kerja dan usaha yang sungguh-sungguh, akhirnya tirtha
amertha itu dapat diperoleh. Nilai-nilai yang tersirat dari cerita pemutaran lautan susu untuk
memperoleh tirtha amertha adalah adanya kemauan yang keras dan usaha yang sungguhsungguh utuk memperoleh kebahagiaan, yang dilambangkan dengan Naga Basukih. Sedangkan
kura-kura melambangkan dasar yang kuat untuk mendukung kemauan tersebut. Dengan adanya
kemauan yang keras dan dasar yang kuat maka manusia akan memperoleh kebahagiaan.

Gambar Sangku Sudamala

3.Pelinggih di Pura Pusering Jagat

Di areal jaba pura, ada Pelinggih Ratu Pande dan Tepas Cungkub, bale panggungan, serta
sejumlah arca (batu andesit) yang dikenal dengan batu kemong ditempatkan berjejer pada dasar
penyengker di sebelah timur kalangan tajen. Menurut informasi, keberadaan batu kemong ini
diduga erat kaitannya dengan kegiatan tabuh rah yang digelar di kalangan tajen tersebut
serangkaian piodalan. Di arah timur, tepatnya di depan pemedal agung dua patung gajah serta
sepasang patung Dwarakala seakan menyambut para pemedek. Sedangkan wantilan tempat
pementasan tari-tarian ada di bagian selatan.
Begitu memasuki areal jaba tengah (madya mandala), tampak pelinggih Ratu Penyapa
berisi arca Ganesha, serta arca perwujudan yang sudah rusak. Konon, keberadaan pelinggih ini
berfungsi untuk menyapa Ida Bethara Sesuhunan atau pun para pemedek secara niskala. Di areal
ini juga terdapat bale pesanekan, bale penetegan, bale paebatan, serta bale kulkul di pojok kelod
kauh atau sebelah selatan pemedal agung.
Di areal utama mandala ini terdapat banyak pelinggih, di antaranya ada bale gong, bale
paselang, bale pawedan, palinggih Ratu Segara, palinggih Ratu Agung, Gedong Uluwatu, serta
panggungan (tempat sesajen serangkaian upacara piodalan). Sedangkan di timurnya atau di pojok
kelod kangin Pelinggih Ratu Sangku Sudamala.

Pelinggih Ratu Purusha Pradana (Gedong Purus) terletak di barisan bagian timur,
pelinggih paling selatan. Di sebelah kanannya berturut-turut ke arah utara pelinggih Ratu
Sidakarya, selanjutnya Gedong Agung Catur Muka (tempat menyimpan arca Caturkaya), serta
Pengaruman Agung.
Di deretan bagian belakang pelinggih-pelinggih tersebut ada tumpukan arca batu-batu
andesit yang dipercaya sebagai ancangan atau pengiring, berfungsi sebagai penjaga kesucian

pura. Ada pula sepasang lempengan batu yang disebut pelinggih Titi Gonggang Ugal-agil.
Lokasinya berada di belakang pelinggih Gedong Agung Catur Muka.
Pada bagian utara, bale pesantian di pojok kaja kauhPiyasan Agung, pelinggih Ida
Ratus Mas, Di sebelah timurnya Gedong Pasimpenan, Pelinggih Ulun Danu (Gedong Batur).
Pelinggih Padmasana berada di pojok kaja kangin. Sedangkan di dekatnya ada pelinggih Ratu
Nusa, Ratu Buncing serta telaga maya. Tidak jauh dari pelinggih telaga maya berdiri Pelinggih
Ratu Pusering Jagat yang berlokasi dekat tembok penyengker kaja kagin pura. Di dalam
pelinggih Ratu Pusering Jagat ini terdapat sebuah arca pancuran yang berdiri dengan kedua
tangannya memegang lobang tempat mengalirnya air.
Selain itu juga terdapat pelinggih sumur maya. Sumur tersebut ditutup lempengan batu
bundar, pengaruh dari tradisi megalitik. Lempengan batu bundar tersebut konon sebagai penutup
sumber air yang terus mengalir dari dalam tanah, didahului dengan ritual upacara. Sedangkan
untuk Piodalan di Pura Pusering jagat Pejeng bertepatan dengan Purnamaning Karo.

Anda mungkin juga menyukai