Sruti adalah kitab wahyu yang diturunkan secara langsung oleh Tuhan (Hyang Widhi Wasa)
melalui para maha Rsi. Sruti adalah Weda yang sebenarnya (originair) yang diterima
melalui pendengaran, yang diturunkan sesuai periodesasinya dalam empat kelompok atau
himpunan. Oleh karena itu Weda Sruti disebut juga Catur Weda atau Catur Weda Samhita
(Samhita artinya himpunan). Adapun kitab-kitab Catur Weda tersebut adalah:
Adalah wahyu yang paling pertama diturunkan sehingga merupakan Weda yang tertua. Rg
Weda berisikan nyanyian-nyanyian pujaan, terdiri dari 10.552 mantra dan seluruhnya
terbagi dalam 10 mandala. Mandala II sampai dengan VIII, disamping menguraikan tentang
wahyu juga menyebutkan Sapta Rsi sebagai penerima wahyu. Wahyu Rg Weda
dikumpulkan atau dihimpun oleh Rsi Pulaha.
Adalah Weda yang merupakan kumpulan mantra dan memuat ajaran mengenai lagu-lagu
pujaan. Sama Weda terdiri dari 1.875 mantra. Wahyu Sama Weda dihimpun oleh Rsi
Jaimini.
Adalah Weda yang terdiri atas mantra-mantra dan sebagian besar berasal dari Rg. Weda.
Yajur Weda memuat ajaran mengenai pokok-pokok yajus. Keseluruhan mantranya
berjumlah 1.975 mantra. Yajur Weda terdiri atas dua aliran, yaitu Yayur Weda Putih dan
Yayur Weda Hitam. Wahyu Yayur Weda dihimpun oleh Rsi Waisampayana.
Sebagaimana nama-nama tempat yang disebutkan dalam Rg. Weda maka dapat
diperkirakan bahwa wahyu Rg Weda dikodifikasikan di daerah Punjab. Sedangkan ketiga
Weda yang lain (Sama, Yayur, dan Atharwa Weda), dikodifikasikan di daerah Doab (daerah
dua sungai yakni lembah sungai Gangga dan Yamuna.
Masing-masing bagian Catur Weda memiliki kitab-kitab Brahmana yang isinya adalah
penjelasan tentang bagaimana mempergunakan mantra dalam rangkain upacara.
Disamping kitab Brahmana, Kitab-kitab Catur Weda juga memiliki Aranyaka dan Upanisad.
SMERTI
Smerti adalah Weda yang disusun kembali berdasarkan ingatan. Penyusunan ini didasarkan
atas pengelompokan isi materi secara sistematis menurut bidang profesi. Secara garis
besarnya Smerti dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yakni kelompok
Wedangga (Sadangga), dan kelompok Upaweda.
Kelompok Wedangga:
Kelompok ini disebut juga Sadangga. Wedangga terdiri dari enam bidang Weda yaitu:
(1).Siksa (Phonetika)
Isinya memuat petunjuk-petunjuk tentang cara tepat dalam pengucapan mantra serta
rendah tekanan suara.
Merupakan suplemen batang tubuh Weda dan dianggap sangat penting serta menentukan,
karena untuk mengerti dan menghayati Weda Sruti, tidak mungkin tanpa bantuan
pengertian dan bahasa yang benar.
(3).Chanda (Lagu)
Adalah cabang Weda yang khusus membahas aspek ikatan bahasa yang disebut lagu. Sejak
dari sejarah penulisan Weda, peranan Chanda sangat penting. Karena dengan Chanda itu,
semua ayat-ayat itu dapat dipelihara turun temurun seperti nyanyian yang mudah diingat.
(4).Nirukta
Memuat berbagai penafsiran otentik mengenai kata-kata yang terdapat di dalam Weda.
(5).Jyotisa (Astronomi)
Merupakan pelengkap Weda yang isinya memuat pokok-pokok ajaran astronomi yang
diperlukan untuk pedoman dalam melakukan yadnya, isinya adalah membahas tata surya,
bulan dan badan angkasa lainnya yang dianggap mempunyai pengaruh di dalam
pelaksanaan yadnya.
(6).Kalpa
Merupakan kelompok Wedangga (Sadangga) yang terbesar dan penting. Menurut jenis isinya,
Kalpa terbagi atas beberapa bidang, yaitu bidang Srauta, bidang Grhya, bidang Dharma,
dan bidang Sulwa. Srauta memuat berbagai ajaran mengenai tata cara melakukan yajna,
penebusan dosa dan lain-lain, terutama yang berhubungan dengan upacara keagamaan.
Sedangkan kitab Grhyasutra, memuat berbagai ajaran mengenai peraturan pelaksanaan
yajna yang harus dilakukan oleh orang-orang yang berumah tangga. Lebih lanjut, bagian
Dharmasutra adalah membahas berbagai aspek tentang peraturan hidup bermasyarakat
dan bernegara. Dan Sulwasutra, adalah memuat peraturan-peraturan mengenai tata cara
membuat tempat peribadatan, misalnya Pura, Candi dan bangunan-bangunan suci lainnya
yang berhubungan dengan ilmu arsitektur.
4. Kaitan Tiga Kerangka (pilar) Agama Hindu ( Filsafat, Etika, dan Upacara) dalam
meningkatkan Sradha Bakti
Ketiga tuntunan dalam Tri Kerangka dasar Agama Hindu tersebut patut dan harus
dimengerti, dipahami, diyakini, selalu dilatihkan, diterapkan, dirasakan hasilnya dan akhirnya
dijadikan sikap yang membudaya pada diri seseorang agar hidup ini menjadi senang, bebas
dari rasa takut, berprilaku baik dan benar, sejahtera ,harmonis dan damai. Jika ketiga
tuntunan ini dapat dipahami dan dilaksanakan dengan baik dan benar merupakan indikator
keberhasilan dalam mencapai tujuan hidup beragama.Sebagaimana telah diketahui bahwa
tujuan hidup beragama didalam agama Hindu adalahMoksartham jagadhita ya ca iti Dharma
atmanam( dapat mencapai kesejahteraan duniawi dan kebahagiaan rohani, atma/jiwa ).
Kesejahteraan duniawi subjeknya adalah manusia itu sendiri Secara lahiriah, sedangkan
kebahagiaan rohani subjeknya adalah jiwa/ atma.Guna dapat melaksanakan ajaran agama
yang diyakini dan agar tujuan hidup beragama dapat dicapai, ditetapkan adanya empat jalan
yang disebut Catur Marga yaitu :
1) karma margajalan karma/ berbuat yang baik dan benar berdasarkan dharma,
2) Bhakti marga ( jalan bhakti penyerahan diri pada Tuhan berdasarkan keyakinan
agama). 3). Jenyana marga( jalan pengabdian ilmu pengetahuan / Jnana/ olah pikir ) dan
4). Raja Marga (jalan yoga atau jalan yang dilandasi tiga jalan terdahulu ditambah
dengan pelaksanaan yoga yang sudah mapan )
Dari keempat jalan dimaksud dilihat dari sisi pelaksanaannya dapat dikelompokan menjadi dua
saja yang disebut :
1) Prawerti Marga dan
2) Niwerti Marga. Bagi umat Hindu pelaksanaan jalan dalam kehidupan didunia ini
dapat dipilih sesuai dengan tingkat umur, kemampuan ( fisik, pendidikan, sosial, sikap dan
adaptasi budaya ) kondisi setempat dan kesepakatan bersama ( Atmanastuti )Didalam tulisan
ini diuraikan Secara khusus tentang bentuk Sradha dan Bhakti dalam hidup beragama sebagai
salah satu jalan dalam penguatan beragama.
5. Kerja Hukum Karma Phala dalam Dimensi Waktu
Hukum adalah ketentuan – ketentuan atau peraturan – peraturan yang harus diatasi oleh
sekelompok manusia, serta memberikan hukuman /ancaman terhadap seseorang yang
melanggarnya baik itu berupa hukuman denda baik itu disebut orang dursila (penghianatan)
oleh kelompok orang – orang tertentu di dalam masyarakat.
Karma berasal dari bahasa Sansekerta dari urat kata “Kr” yang berarti membuat atau
berbuat, maka dapat disimpulkan bahwa karmapala berarti Perbuatan atau tingkah laku.
Phala yang berarti buah atau hasil.
Hukum Karma Phala adalah hukum sebab – akibat, Hukum aksi reaksi, hukum usahan
dan hasil atau nasib. Hukum ini berlaku untuk alam semesta, binatang, tumbuh – tumbuhan
dan manusia. Jika hukum itu ditunjukan kepada manusia maka di sebut dengan hukum karma
dan jika kepada alam semesta disebut hukum Rta . Hukum inilah yang mengatur kelangsungan
hidup, gerak serta perputaran alam semesta.
Ada tiga jenis karma yaitu :
Prarabda karma yaitu perbuatan yang dilakukan pada waktu hidup sekarang dan diterima
dalam hidup sekarang juga.
Kriyamana karma yaitu perbuatan yang dilakukan sekarang di dunia ini tetapi hasilnya akan
diterima setelah mati di alam baka.
Sancita karma yaitu perbuatan yang dilakukan sekarang hasilnya akan di peroleh pada
kelahiran yang akan dating.
Dalam ajararan Hindu jika manusia terlahir kembali itu dapat dikatakan bahwa manusia
tersebut dalam proses karmaphala karena manusia tersebut masih terikat dengan dunia
duniawinya dan belum mencapai moksa dikarenakan dimasa lalu disaat beliau masih hidup
beliau ini pernah melakukan kesalahan yang akan ditembus pada kehidupannya akan datang.
Lalu ada juga jika melakukan karma yang tidak baik kelak disaat hidup kembali mereka akan
memiliki kekurangan saat lahir bisa bisu ataupun tuli( cacat tubuh ).
Demikian juga jika orang tersebut melakukan karma yg baik dimas hidupnya yang lalu orang
tersebut akan mendapatkan perlakuan yang baik dan lingkungan yang baik kelak nanti.
Cetana dan Acetana adalah dua hal yang menyebabkan adanya ciptaan di alam semesta ini.
Dalam Whraspati-Tattwa maupun Tattwa Jnana sebagaimana disebutkan dalam kutipan artikel,
"Berburu Permata di Kaki Sang Dewi Saraswati", menguraikan bahwa hakikat tertinggi dalam
suatu ciptaan adalah Cetana dan Acetana atau kesadaran dan ketidaksadaran.
Pertemuan Cetana dan Acetana inilah disebutkan yang menyebabkan adanya ciptaan.
Adanya perbedaan diantara segala yang ada, sebagai akibat dari komposisi yang berbeda
dari Triguna yang muncul dari Pradanatattwa, yang berasal dari Acetana.
Inilah bibit badan Jasmani, yang nantinya membungkus kesadaran atma sehingga
penampakannya berbeda, “Sarwam Khalu Idham Brahman“, segalanya serba Tuhan.
Secara garis besar ajaran-ajaran yang dijelaskan di dalam Whraspati Tattwa disebutkan
bahwa unsur kesadaran dan ketidaksadaran dari Cetana dan Acetana ini tergantung pada
kuat tidaknya pengaruh māyā serta bersifat halus dan menjadi sumber segala yang ada.
Sehingga itulah sebabnya muncul dua kekuatan cetana dan acetana ini untuk purusa
pradana Sang Hyang Ketu dan Sang Hyang Rahu.
Berpadunya dua kekuatan ini pada jenjang Siwatama yang disebut dengan Gunakarya
barulah muncul ciptaannya yaitu :
Sang Hyang Rahu beryoga lahirlah para Kala, Bhuta dan Sang Hyang Ketu.
Sanghyang Ketu beryoga lahirlah para Dewa dan Wewaran selanjutnya dwi wara dan
demikian seterusnya.
Banten Tulung adalah suatu banten dengan tiga kojong juga berisi nasi dengan lauk pauk
dan rerasmen. Umat umumnya terutama kaum wanita sangat terampil membuatnya namun
yang penting disini adalah makna dari banten tulung tersebut. Dalam bahasa Bali
kata “tulung” berarti tolong menolong. Manusia disamping sebagai makhluk individu jga
berdimensi sebagai makhluk sosial. Salah satu ciri manusia sebagai makhluk sosial adalah
memiliki kemampuan berkerja sama dengan sesamanya untuk mencapai tujuan bersama.
Dengan saling tolong menolong itulah mereka akan hidup lebih sejahtera.
Banten sesayut, berasal dari kata Āyu. Kata Āyu ini berasal dari bahasa Sansekerta
artinya hidup yang baik. Kata Āyu ini sudah mewarga ke bahasa Jawa Kuna dan Bahasa Bali.
Dalam bahasa Bali kata Āyu inilah yang menjadi katarahayu yang artinya selamat. Sesayut
mendapat awalan Dwipūrwa menjadi sesayut artinya keselamatan atau kesejahteraan.
Jenis banten sesayut ini ratusan jumlahnya dan bermacam-macam namanya. Ada sesayut Pūrṇa
Suka, Tulus Dadi, Tulus Āyu, Sida Pūrna, Pamiak Kala Lara Melaradan dan lain-lain. Namun ada
hal yang sama di sini yaitu dasar sesayut yang disebut tatakan sesayut yang wujudnya bulat
dibuat dari daun kelapa yang sudah hijau. Bentuk bulat itu dibuat dengan daun kelapa itu
dibuat “maiseh” tahap demi tahap sampai membentuk bulatan. Bentuk sesayut yang inilah
melambangkan bahwa perjuangan untuk mencapai hidup yang sejahtera yang disebut Āyu ini
tidak bisa dilakukan dengan ambisi tergesa-gesa. Perjuangan hidup itu harus dilakukan dengan
bertahap seperti kulit sesauttersebut yang bentuknya bulat bertahap. Keselamatan hidup di
dunia ini harus dicapai melalui perjuangan hidup yang bertahap.