OLEH :
I NYOMAN ARYA S.AG.M.PD.H
Peta Konsep Zaman Weda
Perkembangan
Agama Hindu di Zaman Brahmana
India
Zaman Upanisad
Sejarah Agama
Hindu
Perkembangan
Agama Hindu di
Bali
A. Pendahuluan
Perkembangan Agama Hindu dapat diketahui dari
berbagai kitab suci Hindu seperti : Weda Sruti,
Weda Smrti, Brahmana dan Upanisad
Pada zaman purana Indra dikenal sebagai dewa kahyangan (sorga) menjadi saksi agung setiap
perbuatan manusia.
Dewa Rudra diindentikan dengan Dewa Siwa (Siwa Rudra). Dewa Rudra digambarkan sebagai
laki-laki bertubuh besar, perutnya berwarna biru dan punggungnya berwarna merah. Kepalanya
berwarna biru, lehernya berwarna putih, kulitnya berwarna coklat kemerah-merahan.
Karakter dari dewa Rudra tampak angker dan menakutkan namun memiliki hati yang lembut
dan mahapengasih.
Dewa Rudra dikenal sebagai dukunnya para dukun dengan berbagai jenis pengobatan yang
dimilikinya, sehingga diberi julukan Jalasa Bhaseya (Pemilik obat yang sejuk)
Konsep ketuhanan pada masa ini bersifat satu kesatuan dimana para
dewa yang banyak itu merupakan perwujudan dari yang satu yang
disebut dengan Brahman.
B.3 Zaman Upanisad
Agama Hindu terus berkembang dari dataran tinggi Dekan dan lembah sungai Yamuna,
sampai ke lembah sungai Gangga yang penduduknya bermata pencaharian sebagai
pedagang.
Hal ini menyebabkan kehidupan beragama lebih ditekankan pada hal-hal yang bersifat
filosofi daripada upacara.
Pada masa ini muncul diskusi-diskusi keagamaan antara para Guru atau Maharsi dengan
para siwanya.
Parasiswa duduk dekat Guru dan mengajukan pertanyaan. Para Guru akan menjawab
dengan berpegangan pada kitab suci Weda. Cara diskusi ini dinamakan Upanisad. Itu
sebabnya perkembangan Hindu pada masa ini disebut dengan Upanisad.
Pandangan yang menonjol dalam Upanisad adalah suatu ajaran yang bersifat monostis,
absolutis dalam artian ajaran yang mengajarkan bahwa segala sesuatu berasal dai Yang
Tunggal yaitu Brahman.
KitabUpanisad merupakan bagian dari Jnana Kanda dari kitab
Wda Sruti, yang isinya bersifat ilmiah dan spekulatif tapi masih
dalam ruang lingkup keagamaan.
Pertama kali kedatangan beliau diikuti oleh 400 orang namun kurang berhasil. Setelah
pulang ke Jawa beliau kembali datang dengan pengikut kurang lebih 2000 orang,
kedatangannya kali ini berhasil menanam Panca Datu di kaki Gunung Agung
(Besakih).
b) Mulai dikenal daerah Bali. Bali diartikan daerah yang segala sesuatunya mempergunakan
sesajen atau sarana bebali. Masyarakay yang menjadi pengiringnya dan mendiami daerah
pegunungan disebut orang-orang Bali Aga.
c) Pura Besakih mulai dibangun dan difungsikan sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi
Wasa. Tempat suci lainnya yang dibangun adalah pura : Andakasa, Lempuyang, Watukaru,
Sukawana.
d) Warna merah dan putih mulai digunakan sebagai ider-ider atau umbul-umbul di tempat-
tempat suci. Kedua warna tersebut melambangkan kesuciany yang berasal dari warna
surya dan bulan
e) Upacara bebali untuk keselamatan binatang dan ternak ditetapkan pada tumpek kandang
atau hari sabtu kliwon wuku uye. Sedangkan untuk keselamatan tumbuh-tumbuhan
ditetapan pada tumpek pengatag atau sabtu kliwon wuku wariga. Tuhan dipersonifikasikan
sebagai Sang Hyang Rare Angon atau Sang Hyang Tumuwuh.
f) Mengajarkan tentang bebali dalam bentuk seni yang mengandunga makna simbolis dan
suci.
g) Mengajrkan orang-orang Bali Aga untuk menjadi orang-orang suci dalam Pura Khayangan
seperti : Pemangku, Jro Gede, Jero Kebayan, dan diajarakan untuk menjadi orang suci
dengan melakukan taba, brata, yoga, semadhi.
h) Mpu Sang Kulputih juga mengajarkan masyarakat untuk melaksanakan hari-hari suci
seperti : Galungan, Kuningan, Sugian, Pagerwesi, Tumpek dan lain-lain. Disamping itu
beliau juga mengajarkan tata cara pembuatan arca dari kayu, uang kepeng sebagai
perwujudan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
LANJUTAN
Di Pura Puseh (Desa Bedulu Gianyar) ditemukan peninggalan arca Siwa, tipe arca
ini serupa dengan arca yang ditemukan di Candi Dieng. Oleh A. J Bernet Kemper
menyatakan bahwa arca tersebut berasal dari abad ke 8 M.
Prasasti Blanjong (913 M) menyebutkan bahwa Raja Putri Mahendradata yang
bergelar Gunapriya Dharmapatni mangkat di Buruan Kutri Gianyar, beliau
diwujudkan sebagai Dhurga Mahisa Asura Mardhani yaitu Bhatari Dhurga yang
sedang membunuh para setan yang ada dibadan seekor kerbau. Prasasti tersebut
tersimpan di Pura Blanjong Sanur.
Pada masa pemerintahan raja Marakatta dilaksanankan penghormatan kepada Rsi Agastya, yang
dikemukakan oleh prasasti yang berangka tahun 944. Lontar Dwijendra Tattwa menyatakan
bahwa “kedatangan Maharsi Agastya ke Bali adalah mengajarkan Agama Siwa”, selanjutnya juga
dinyatakan bahwa beliau mengajarkan Tantrisme/Tantra kepada para raja dan kaum bangsawan,
ajaran ini yang disebut dengan Aywawera.
Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong yang berkedudukan di Gelgel tahun 1470-1550 M
datanglah Dang Hyang Dwijendra ke Bali, yang juga disebut Dang Hyang Niratha. Kedatangan
beliau ke Bali melalui Blambangan-Banyuwangi, mengarungi segara rupek (selat Bali) dan
sampailah di Pura Pulaki. Dang Hyang Dwijendra banyak mengajarkan pengetahuan agama
kepada para raja dan masyarakat di Bali, diantaranya :
a)Ilmu tentang pemerintahan
b)Ilmu tentang peperangan (Dharmayuda)
c) Pengetahuan tentang smaragama (cumbwana karma) ajaran tentang pertemuan smara laki-laki
dan perempuan.
d)Ajaran tentang pelaksanaan memukur, maligia, dan mahasaradha.
Setelah dari Puri Gelgel Dang Hyang Dwijendra melanjutkan perjalanan ke Pura Rambut Siwi,
selanjutnya menuju Pura Uluwatu-Bukit Gong, Bukit Payung-Sakenan - Air Jeruk, Tugu- Genta
Samprangan - Tengkulak – Gowalawah – Pojok Batu – Pengajengan - Mascetti – Peti Tenget dan
tempat suci lainnya, dan beliau dinyatakan Moksha di Pura Uluwatu.
Berdasarkan bukti-bukti sejarah Dang Hyang Dwijendra memiliki jasa yang sangat besar terhadap
masyarakat Bali, dimana beliau telah mengajarakn tata cara pemerintahan, keagamaan,
arsitektur, kesusastraan dan lain-lain.