Reg Veda adalah kitab catur Veda yang dihimpun paling pertama, Rsi yang menghimpun Reg
veda adalah Rsi Pulaha. Reg Veda merupakan kumpulan mantra atau doa suci, terdiri dari 1017
hymna atau 1028 mantra termasuk bagian mantra Walakhitanya. Disebut pula terdiri atas
10580’/2 stanza atau 153826 kata-kata atau 432000 suku kata. Reg vVeda terdiri dari 10
mandala yang panjangnya tidak sama. Disamping itu, Reg Veda juga disebut dibagi menjadi 2
Astaka Mandala, mandala 2-8 ayat-ayat dihimpun oleh suadara-saudara Maha Rsi Tunggal,
sedangkan 1,9 dan 10 dihimpun oleh banyak Maha Rsi. Kitab Reg Veda dikumpulkan dari
beberapa jenis resensi, seperti resensi Sakala, Baskala, Aswalayana, Sankhyayana dan
Madukeya. Dari resensi tersebut yang masih tepelihara adalah resensi Sakala, yang lainnya
banyak yang belum disempurnakan lagi karena mantra-mantranya hilang.
2. Sama Veda
Sama Veda merupakan veda yang bersisi nyanyian-nyanyian suci untuk Tuhan. Dihimpun oleh
Rsi Jaimini. Menurut penelitian Sma Veda terdiri dari 1875 mantra yang terdiri dari dua bagian
yaitu: bagian Arcika yaitu himpunan mantra-mantra pujaan yang bersumber dari Reg Veda,
sedangkan bagian Uttaracika merupakan himpunan mantra-mantra yang bersifat tambahan.
Semua itu berdasarkan dari kitab-kitab Sama Veda yang masih dapat kita jumpai antara lain,
Ranayaniya, Kautama dan Jaiminiya (Talawakara). Walaupu seperti itu di dalamnya, usaha
penulisan kembali kitab Sama Veda telah diusahakan sedemikian rupa supaya tidak banyak yang
hilang.
3. Yayur Veda
Yayur Veda merupakan Veda yang berisi mantra-mantra untuk melakukan korban suci atau
yadnya. Kitab ini dihimpun oleh Rsi Waisampayana.Yayur Veda terdiri dari 101 resensi yang
sebagian besar sudah lenyap. Kitab terdiri dari 2 aliran yaitu Yayur Veda Hitam (Krsna Yayur
Veda) dan Yayur Veda Putih (Sukla Yayur Veda yang juga dikenal Wajasaneyi samitha) kitab
ini terdiri dari du resensi yatu resensi Kanwa dan Resensi Madhayandina. Yayur Veda Putih
terdiri dari 1975 mantra yang isinya umumnya menguraikan bagaimana jenis-jenis yadnya
seperti Wajapeya, Rajasuya, Asmasedha dan Aarmawedha. Bagian terakhir dari Veda ini
memuat ayat-ayat yang kemudian dijadikan Isopanisad.
4. Atharwa Veda
Kitab Atharwa Veda merupakan kumpulan-kumpulan mantra yang merupakan mantra untuk
keselamatan diri dan pengobatan. Kitab ini disusun oleh Rsi Sumantu. Terdiri dari 5987 mantra.
Kitab ini terpelihara dalam dua resensi yaitu resensi Saunaka terbagi atas 21 buku dan resensi
Paipplada.
Keagamaan jaman Weda mengenal banyak sekali dewa. Selanjutnya dewa–dewa ini
masing–masing dihubungkan dengan tenaga alam, yang menguasai dan mempengaruhi
kehidupan manusia. Bahkan tenaga alam itu yang dipuja–puja sebagai dewa, yang disertai segala
sifat kemanusiaan. Sedangkan nama dewa itu diambil dari nama tenaga alam ini sendiri
diantaranya:
1. Agni adalah dewa api
2. Wayu adalah dewa angin
3. Surya adalah dewa matahari.
4. Candara adalah dewa bulan
5. Marut adalah dewa badai
6. Dan dewa–dewa lain adalah waruna dewa angkasa, parjanya dewa hujan, indra dewa
perang, acwin dewa kembar yang menjadi dewa kesahatan, usa dewa fajar, dan sebagainya.
Yang mendapat pemujaan paling banyak adalah indra dan agni. Dalam tradisinya
biasanya para dewa diberikan sesaji–sesaji yang menjadi kebajiban setiap keluarga, terutama
ditujukan untuk mendapatkan anugrah yang nyata dari dewa adalah apa–apa yang erat sekali
hubungannyadengan keperluan hidup sehari–hari seperti, kekayaan akan ternak, harta dan anak,
kebebasaan dari suatu kesengsaraan, kesehatan, hujan, juga hasil dalam suatu usaha kemenangan
dalam perang, dan sebagainya.
Pada zaman ini tidak diajar kepada umat untuk membuat dan menyembah patung
melaikan sembayang di tempat terbuka. Didalam memuja dan memuji seorang dewa, maka dewa
yang bersangkutan ini digambarkan sebagai dewa satu–satunya yang ada, seakan–akan tidak ada
dewa–dewa yang lain. Sehingga terdapat kesan bahwa keagamaannya bersifat monoteisme. Sifat
mematahkan kenyataan bahwa pada jaman weda ini mempercayai banyak dewa (politeisme), di
namakan henoteisme.
Perkembangan Keagamaan pada Zaman Brahmana.
Brahmana adalah kitab–kitab suci yang menguraikan dan menjelaskan hal–hal tentang
sesaji dan upacaranya. Kata Brahmana berasal dari kata “Brahman” yang berarti Do’a yaitu
ucapan-ucapan suci yang diucapkan oleh Brahmana pada waktu pelaksanaan upacara. Memang
pada Zaman Brahmana ini yang keagamaanya berpusat kepada sesaji. Tiap sesaji diletakkan
dengan cermat dan sesuai dengan peraturannya, dan bila peletakan sesaji itu melenceng maka
hukum sesaji itu tidak sah. Dengan demikian golongan pendeta menjadi golongan utama pada
zaman ini. Para pendeta tersebut tidak hanya memegang kekuasaan agama (brahma) tetapi juga
memegang kekuasaan kenegaraan (ksatria) dan juga rakyat biasa (wis). Serta pada zaman ini
pembagian kasta sangat tegas yakni terdapat 4 kasta:
1) Teori Brahmana
Teori masuknya pengaruh Hindu Budha di Indonesia yang pertama adalah Teori Brahmana yang
diajukan oleh Jacob Cornelis Van Liur. Teori ini mengemukakan bahwa pengaruh Hindu-Budha
di Indonesia dibawa oleh para brahmana atau kalangan pemuka agama dari India. Teori ini
dilandaskan pada prasasti-prasasti peninggalan kerajaan Hindu-Budha di Indonesia pada masa
lampau.
Mayoritas prasasti yang ada di Indonesia ini menggunakan huruf pallawa dan bahasa sanskerta.
Di India sendiri, aksara dan bahasa tersebut tidak sembarang orang yang bisa menguasainya dan
hanya para golongan brahmana yang menguasainya.
Teori ini juga dikuatkan oleh kebiasaan agama Hindu yang menempatkan brahmana sebagai
satu-satunya otoritas dalam ajaran agama Hindu. Maka hanya kalangan brahmana yang
memahami ajaran Hindu yang benar dan utuh, konsekuensinya hanya merekalah yang berhak
menyebarkan ajaran Hindu.
Menurut kerangka teori ini, para brahmana ini diundang ke Nusantara oleh para kepala suku
untuk menyebarkan ajarannya beserta keluhuran nilainya pada masyarakat di Indonesia yang
masih memiliki kepercayaan asli yaitu animisme dan dinamisme.
2) Teori Ksatria
Teori masuknya pengaruh Hindu Budha di Indonesia yang kedua adalah Teori Ksatria yang
dikemukakan oleh C.C. berg Mookerji dan J.L Moens. Dalam teori ini disebutkan bahwa
golongan bangsawan atau ksatria dari India yang membawa masuk dan menyebarkan pengaruh
agama Hindu-Budha di Indonesia.
Sejarah penyebaran agama Hindu-Budha di kepulauan Nusantara tidak bisa dilepaskan dari
sejarah kebudayaan India pada periode yang sama. Seperti diketahui, bahwa di awal abad ke 2
Masehi kerajaan-kerjaan di India mengalami keruntuhan karena adanya perebutan kekuasaan.
Penguasa-penguasa dari golongan ksatria di kerajaan-kerajaan yang kalah perang pada masa itu
dianggap melarikan diri ke Indonesia, kemudian mendirikan koloni maupun kerajaan baru yang
bercorak agama Hindu-Budha.
Wilayah Indonesia menjadi pilihan karena mengikuti jalur perdagangan antara India dan
Indonesia pada masa itu. Dalam perkembangannya, mereka pun kemudian menyebarkan ajaran
dan kebudayaan kedua agama tersebut pada masyarakat local yang ada di Indonesia.
3) Teori Waisya
Teori Waisya ini dikemukan oleh NJ Krom, dimana teori ini menjelaskan bahwa masuk dan
berkembangnya pengaruh Hindu-Budha di Indonesia dibawa oleh orang India berkasta Waisya
atau golongan pedagang. Para pedagang merupakan kelompok masyarakat asal India yang paling
banyak berintekasi dengan masyarakat pribumi.
Menurut kerangka teori ini, para pedagang India mengenalkan ajaran Hindu dan Budha beserta
nilai-nilai budanya kepada masyarakat local. Kegiatan itu dilakukan saat berlabuh ke Nusantara
untuk berdagang, lantaran saat itu pelayaran sangat bergantung pada musim angin sehingga
dalam beberapa waktu mereka akan menetap di kepulauan di Indonesia sampai angin laut yang
akan membawa mereka kembali ke India berhembus.
Teori arus balik ini dikemukan oleh F.D.K Bosch yang mengatakan penyebaran pengaruh Hindu-
Budha di Indonesia terjadi karena peran aktif masyarakat Indonesia sendiri. Pengenalan
pengaruh Hindu-Budha ini merupakan inisiatif oleh orang-orang India atau para pendeta tetapi
yang menyebarkan adalah orang Indonesia yang diutus oleh raja di Nusantara untuk mempelajari
agama dan budaya para pendeta India di Negara asalnya.
Setelah utusan tersebut menguasai ajaran agama maka mereka akan kembali ke Indonesia dan
menyampaikan pada Raja. Selanjutnya, raja akan meminta para utusan tersebut untuk
menyebarkan dan mengajarkan pengetahuan yang diperoleh pada penduduk atau rakyat kerajaan.
5) Teori Sudra
Para budak dari India dan China datang ke Nusantara karena dibawa oleh pemiliknya atau karena
mencari kehidupan yang lebih baik. Pada saat mereka menetap di Nusantara, mereka berasimilasi
dan berakulturasi dengan penduduk sekitar. Hal tersebut membawa perubahan pada penduduk
yang pada awalnya memeluk Animisme dan Dinamisme, berganti memeluk agama Hindu atau
Buddha. Teori ini dikemukakan oleh van Faber.
Kebudayaan Hindu dan Buddha tidak hanya memengaruhi cara beribadah masyarakat Nusantara
pada jaman itu, tetapi juga memberikan beberapa peninggalan lain. Misalnya kerajaan yang
pernah berkuasa, tempat keagamaan, prasasti, cara hidup, dan masih banyak lagi. Berikut ini
adalah nama-nama kerajaan Hindu-Buddha.
Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan
adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi denngan
diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh
buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang
menyatakan bahwa: “Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh
Mulawarman”. Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya
pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan “Vaprakeswara”.
Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa “Raja Purnawarman
adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan
tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu”
Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan
atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data
tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja
Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu
berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung
Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari
prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula,
Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.
Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan
memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka
(576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi: “Sruti indriya rasa”, Isinya memuat tentang
pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.
Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo
dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan
pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa
Tengah. Disamping itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan
ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta dan memakai
huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja
Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar,
para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan.
Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua
kerajaan Hindu di Jawa Timur.
Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri
Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa.
Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah
Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut
Hindu yang setia.
Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222),
sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu,
misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab
Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan
Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai
peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.
Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit, sebagai
kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan masa
gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan
berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga
munculnya buku Negarakertagama.
Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali
diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-
prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini
bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.
Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di
Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana.
Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman
sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad
Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah
dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai
penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura
Silayukti.
Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada ke Bali (tahun 1343)
sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama.
Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan
dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat
besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti
Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).
Menurut pendapat saya agar agama Hindu tetap ajeg di masa depan yaitu pemuda Hindu harus
memiliki sikap kesadaran yang tinggi. Pemuda Hindu ini merupakan generasi penerus yang
harus menjaga agama Hindu agar tidak musnah. Kita sebagai pemuda Hindu harus mampu
menempatkan diri di tempat yang benar, paham akan ajaran Dharma dalam agama Hindu, dan
harus tetap melaksanakan kewajiban sebagai umat Hindu seperti melaksanakan serada dan bakti.
Selain itu seorang pemuda harus mampu membangun pemahaman dalam diri sendiri dan
membantu mengorganisir keberadaan pemuda yang lain dengan kemampuan serta potensi yang
dimiliki pemuda yang ada disekitarnya. Seorang pemuda yang memiliki pengetahuan atau
kesempatan lebih dibandingkan dengan pemuda lain untuk menuntun ilmu hingga dapat
menyelesaikan ke jenjang perguruan tinggi harus mampu mengaplikasikan pengetahuan nya
demi kemajuan dan perubahan masyarakat sekitarnya ke arah yang lebih baik.
Pemuda Hindu harus menempatkan diri sebagai pengendali dalam pergaulan di lingkungannya.
Beberapa kejadian konflik yang melibatkan umat Hindu salah satu faktornya adalah perilaku
menyimpang para pemuda. Ini menunjukkan bahwa pemuda hidup belum mampu
mengendalikan diri atau menjadi pengendali dalam pergaulan sehari-hari dalam lingkungannya.
Ketika hal ini masih terus terjadi maka permasalahan yang disebabkan pemuda masih akan terus
terjadi. Sebagai pemuda Hindu harus memberanikan diri untuk menjadi pengendali diri sendiri
dan lingkungan misalnya berani mengingatkan sesama pemuda untuk menghindari minuman
keras, narkoba, menghindari seks bebas, mengajak berorganisasi, mengisi waktu luang dengan
seni dan olahraga. Jika hal hal negatif mampu dikendalikan dan memulai melakukan hal hal
positif maka keadaan akan menjadi lebih baik.
Pemuda Hindu harus mampu menjadi generasi yang memiliki cita cita menjadi pemimpin.
berarti saat ini sudah memulai untuk mempersiapkan diri menjadi pemimpin. Dalam ajaran
agama Hindu banyak ajaran kepemimpinan yang sangat baik dan mulia. Hindu di Nusantara
pernah mewariskan sejarah kepemimpinan hingga mampu menyatukan Nusantara pada waktu
kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu.
Seorang pemuda Hindu yang akan mengajarkan Dharma maka harus, menyeleksi pergaulan,
jangan sampai salah dalam bergaul maka akan terjerumus dalam kesalahan dan sulit untuk
bangkit. memiliki hati nurani yang terbuka, artinya mampu mengenali diri sendiri dan orang lain
sehingga tidak mudah goyah. Selalu melakukan aktivitas Rohani agar menjadi pemuda yang
memiliki kharisma dan berwibawa. Takut melanggar Dharma, selalu memulai segala bentuk laku
karma dengan berfikir, berkata, dan berperilaku yang baik berlandaskan Dharma.
Hormat dan patuh kepada orang tua, menganggap bahwa orang tua adalah dewa yang ada di
dunia dan sangat dekat dengan kita, maka kita harus hormat dan melayani mereka agar kita
selamat di dunia kematian. Memanfaatkan waktu dan menyempatkan waktu untuk membaca
sastra sastra suci dan kitab suci, agar memiliki pengetahuan dan mampu berfikir logis dalam
setiap tindakan.
Untuk dapat mewujudkan ajegnya Dharma, Dharma harus disampaikan secara terus menurus
kepada keturunan atau generasi, sebagai generasi muda harus peka dan lebih kuat dalam
mempertahankan Dharma ini, jangan boleh ada keturunan yang memutusnya. Sebab sebagai
pemuda Hindu harus paham bahwa lahir, hidup, dan mati adalah siklus. Satu hal yang perlu
diperhatikan oleh pemuda bahwa saat kita hidup di dunia ini perlu bantuan leluhur, begitu juga
doa dan keturunannya sangat ditunggu oleh leluhur.