Anda di halaman 1dari 13

Sejarah Agama Hindu Di Indonesia Dan Pekembangannya

Sejarah Perkembangan Agama Hindu


Kedatangan bangsa Arya kira kira 1500 tahun sebelum masehi di daerah hulu sungai
sindhu yang terkenal dengan nama Panjab yang berarti lima sungai. Bangsa Arya ini mula –
mula merupakan bangsa penggembara. Dari tempat terakhir mereka di daerah Asia pusat,
sebagian dari mereka memasuki dan menetap di dataran tinggi Iran dan sebagian di Panjab.
Sedangkan di sepanjang lembah Sungai Shindu terdapat suatu peradaban Bangsa Dravida yang
sudah tinggi sekali tingkatnya.
Nama Arya berarti bangsawan atau tuan, yang terdapat dalam bahasa persia dan india.
Perpindahan Bangsa Arya di India terjadi bertahap-tahap, dan tidak terjadi langsung dengan
gelombang besar. Waktu yang dibutuhkan juga membutuhkan waktu yang berabad-abad, itupun
sambil membawa keluarga mereka. Perpindahan Bangsa Arya ke India berlangsung pada satu
masa yang berabad-abad lamanya dapat juga dibuktikan kalau dibandingkan syair-syair Weda
yang tertua dengan yang terkemudian. Penyelidikan ini menyatakan bahwa mula-mulanya sungai
Indus dianggap oleh orang Arya sebagai sungai yang keramat dan menjadi sumber dari sekalian
kebaikan bagi orang Arya.
Orang-orang Arya merupakan bangsa yang suka yang berpetualang pada saat itu. Ketika
daerah Panjab tak lagi mencukupi, lebih – lebih mereka adalah bangsa penggembara yang tidak
mengenal sistem pengolahan tanah, mereka mulai menyebar ke tenggara memasuki daerah
lembah sungai Gangga dan Yamuna (Doab yang berarti daerah dua sungai). Pada saat mereka di
daerah Doab mereka tidak lagi mempertahankan kemurnian kebudayaannya, melainkan mereka
mulai bercampur dengan penduduk asli.
Nampaknya kedatangan Bangsa Arya berbarengan dengan lansung berkembangnya
kerajaan-kerajaan Bangsa Arya. Dalam beberapa berita-berita peperangan raja Persia
menaklukan Punjab dan Sindh tahun 516 SM, dan raja tersebut mempunyai beberapa prajurit
dari kalangan orang-orang India. Sedangkan kita tahu bahwa bangsa Arya adalah bangsa yang
berasal dari Asia Barat.
  
Perkembangan Keagamaan pada Zaman Weda
Seperti yang sudah disinggungkan sebelumnya bahwa kedatangan bangsa Arya di India
merupakan awal di mulainya Zaman Weda. Kedatangan bangsa Arya ini disertai dengan
pertempuran–pertempuran melawan Bangsa Drawida. Dalam Rigweda disebutkan bahwa bangsa
Arya menjumpai penduduk yang kecil badannya, berkulit hitam, berhidung pesek, dan tinggal di
pur atau yang lazim dikenal rumah benteng. Bangsa Arya menyebut bangsa Drawida dengan
nama dasyu yang berati budak. Dan dengan sebutan itu menunjukan bahwa bangsa Arya telah
menaklukkan bangsa Drawida.
Pada dasarnya keagamaan pada jaman Weda sesungguhnya adalah kebudayaan bangsa
Arya yang sumber utamanya terdapat pada:
1. Reg Veda

Reg Veda adalah kitab catur Veda yang dihimpun paling pertama, Rsi yang menghimpun Reg
veda adalah Rsi Pulaha. Reg Veda merupakan kumpulan mantra atau doa suci,  terdiri dari 1017
hymna atau 1028 mantra termasuk bagian mantra Walakhitanya. Disebut pula terdiri atas
10580’/2 stanza atau 153826 kata-kata atau 432000 suku kata. Reg vVeda terdiri dari 10
mandala yang panjangnya tidak sama. Disamping itu, Reg Veda juga disebut dibagi menjadi 2
Astaka Mandala, mandala 2-8 ayat-ayat dihimpun oleh suadara-saudara Maha Rsi Tunggal,
sedangkan 1,9 dan 10 dihimpun oleh banyak Maha Rsi. Kitab Reg Veda dikumpulkan dari
beberapa jenis resensi, seperti resensi Sakala, Baskala, Aswalayana, Sankhyayana dan
Madukeya. Dari resensi tersebut yang masih tepelihara adalah resensi Sakala, yang lainnya
banyak yang belum disempurnakan lagi karena mantra-mantranya hilang.

2. Sama Veda

Sama Veda merupakan veda yang bersisi nyanyian-nyanyian suci untuk Tuhan. Dihimpun oleh
Rsi Jaimini. Menurut penelitian Sma Veda terdiri dari 1875 mantra yang terdiri dari dua bagian
yaitu: bagian Arcika yaitu himpunan mantra-mantra pujaan yang bersumber dari Reg Veda,
sedangkan bagian Uttaracika merupakan himpunan mantra-mantra yang bersifat tambahan.
Semua itu berdasarkan dari kitab-kitab Sama Veda yang masih dapat kita jumpai antara lain,
Ranayaniya, Kautama dan Jaiminiya (Talawakara). Walaupu seperti itu di dalamnya, usaha
penulisan kembali kitab Sama Veda telah diusahakan sedemikian rupa supaya tidak banyak yang
hilang.

3. Yayur Veda

Yayur Veda merupakan Veda yang berisi mantra-mantra untuk melakukan korban suci atau
yadnya. Kitab ini dihimpun oleh Rsi Waisampayana.Yayur Veda terdiri dari 101 resensi yang
sebagian besar sudah lenyap. Kitab terdiri dari 2 aliran yaitu Yayur Veda Hitam (Krsna Yayur
Veda) dan Yayur Veda Putih (Sukla Yayur Veda yang juga dikenal Wajasaneyi samitha) kitab
ini terdiri dari du resensi yatu resensi Kanwa dan Resensi Madhayandina. Yayur Veda Putih
terdiri dari 1975 mantra yang isinya umumnya menguraikan bagaimana jenis-jenis yadnya
seperti Wajapeya, Rajasuya, Asmasedha dan Aarmawedha. Bagian terakhir dari Veda ini
memuat ayat-ayat yang kemudian dijadikan Isopanisad.
4. Atharwa Veda

Kitab Atharwa Veda merupakan kumpulan-kumpulan mantra yang merupakan mantra untuk
keselamatan diri dan pengobatan. Kitab ini disusun oleh Rsi Sumantu.  Terdiri dari 5987 mantra.
Kitab ini terpelihara dalam dua resensi yaitu resensi Saunaka terbagi atas 21 buku dan resensi
Paipplada.

Keagamaan jaman Weda mengenal banyak sekali dewa. Selanjutnya dewa–dewa ini
masing–masing dihubungkan dengan tenaga alam, yang menguasai dan mempengaruhi
kehidupan manusia. Bahkan tenaga alam itu yang dipuja–puja sebagai dewa, yang disertai segala
sifat kemanusiaan. Sedangkan nama dewa itu diambil dari nama tenaga alam ini sendiri
diantaranya:
1.        Agni adalah dewa api
2.        Wayu adalah dewa angin
3.        Surya adalah dewa matahari.
4.        Candara adalah dewa bulan
5.        Marut adalah dewa badai
6.        Dan dewa–dewa lain adalah waruna dewa angkasa, parjanya dewa hujan, indra dewa
perang, acwin dewa kembar yang menjadi dewa kesahatan, usa dewa fajar, dan sebagainya.
Yang mendapat pemujaan paling banyak adalah indra dan agni. Dalam tradisinya
biasanya para dewa diberikan sesaji–sesaji yang menjadi kebajiban setiap keluarga, terutama
ditujukan untuk mendapatkan anugrah yang nyata dari dewa adalah apa–apa yang erat sekali
hubungannyadengan keperluan hidup sehari–hari seperti, kekayaan akan ternak, harta dan anak,
kebebasaan dari suatu kesengsaraan, kesehatan, hujan, juga hasil dalam suatu usaha kemenangan
dalam perang, dan sebagainya.
Pada zaman ini tidak diajar kepada umat untuk membuat dan menyembah patung
melaikan sembayang di tempat terbuka. Didalam memuja dan memuji seorang dewa, maka dewa
yang bersangkutan ini digambarkan sebagai dewa satu–satunya yang ada, seakan–akan tidak ada
dewa–dewa yang lain. Sehingga terdapat kesan bahwa keagamaannya bersifat monoteisme. Sifat
mematahkan kenyataan bahwa pada jaman weda ini mempercayai banyak dewa (politeisme), di
namakan henoteisme.
  
Perkembangan Keagamaan pada Zaman Brahmana.
Brahmana adalah kitab–kitab suci yang menguraikan dan menjelaskan hal–hal tentang
sesaji dan upacaranya. Kata Brahmana berasal dari kata “Brahman” yang berarti Do’a yaitu
ucapan-ucapan suci yang diucapkan oleh Brahmana pada waktu pelaksanaan upacara. Memang
pada Zaman Brahmana ini yang keagamaanya berpusat kepada sesaji. Tiap sesaji diletakkan
dengan cermat dan sesuai dengan peraturannya, dan bila peletakan sesaji itu melenceng maka
hukum sesaji itu tidak sah. Dengan demikian golongan pendeta menjadi golongan utama pada
zaman ini. Para pendeta tersebut tidak hanya memegang kekuasaan agama (brahma) tetapi juga
memegang kekuasaan kenegaraan (ksatria) dan juga rakyat biasa (wis). Serta pada zaman ini
pembagian kasta sangat tegas yakni terdapat 4 kasta:

1.         Brahmana yang terdiri dari golongan pendeta


2.         Ksatria yang terdiri dari golongan raja dan bangsawan.
3.         Waisya yang terdiri dari pedagang dan buruh menengah
4.         Sudra yang terdiri dari para petani, buruh kecil, dan budak.
Pada aturannya hanyalah kaum brahmana yang mampu melakukan dan meletakkan sesaji
pad tempatnya dengan benar. Dengan fakta tersebut maka kaum Brahmana beranggapan bahwa
dewa–dewapun tergantung kepada mereka. Sebab kaum brahma beranggapan bahwa dewa
tidalah berarti tanpa adanya sesaji. Dengan anggapan demikian maka mereka tidak hanya
menguasai keselamatan manusia tetapi juga keselamatan para dewa. Merekapun juga
berkedudukan sebagai dewa di dunia yaitu dewa yang menguasai sesaji dan sesaji itulah yang
menguasai segalanya.
Mengingat pentingnya sesaji dan upacara–upacara yang begitu rumit maka dibuatlah
kitab penuntun yang disebut Kalpasutra. Kitab ini mempunyai dua macam sesuai dengan macam
sesaji itu sendiri yaitu:
1.        Grhyasutra yaitu penuntun sesaji sesaji kecil dalam lingkungan keluarga.
2.        Crautasutra yaitu sesaji –sesaji besar dalam lingkungan raja dan negara.
Saji kecil dilakukan oleh keluarga sendiri guna keselamatan anggotanya. Diselenggarakan
setiap hari dengan sembanyang sehari–hari. Dan juga pada waktu yang menyangkut kehidupan
keluarga seperti kelahiran, pemberian nama kepada anak, perkawinan dan kematian jadi serupa
dengan selamatan.
Saji besar yang disertai dengan api unggun umumnya hanya dilakukan oleh para raja
guna keselamatan negara dan rakyatnya. Di antara sesaji besar yang terkenal adalah Rajasurya
yaitu upacara penobatan raja dan Acwamedha atau saji kuda yang ditandai oleh melepaskan kuda
supaya pergi sesuka hatinya, sengan diiringi oleh para tentara. Hal ini dimaksutkan setiap jengkal
tanah yang di lalui oleh kuda itu merupakan kekuasaan sang raja yang melepaskan.
Pada Zaman Brahmana, Agama Hindu berkembang sampai ke India Tengah yaitu di
Dataran Tinggi Dekan dan Lembah Yamuna. Di tempat ini pula ditulis peraturan-peraturan
mengenai tuntunan tentang kehidupan (tata susila). Peraturan dan tuntunan ini ditulis
berdasarkan Kitab Weda Sruti, sehingga isinya tidak perlu di ragukan kebenarannya. Selama
kurun waktu Zaman Brahmana kegiatan keagamaan ditekankan pada pembuatan persembahan
sesaji, sehingga periode ini disebut dengan Zaman Brahmana

Perkembangan Keagamaan pada Zaman Upanisad


Berbeda dengan Zaman Weda yang pola keagamaannya berkisar kepada pemujaan dewa
maupun tenaga alam guna mendapatkan keberuntungan pada Zaman Upanisad ini keagamaan
dibalikkan dari soal lahir menjadi soal batin. Bukan upacara maupun sesajen yang dipentingkan
melainkan pengetahuan batin yang lebih tinggi yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib
itulah yang menjadi pokok pandangan hidup. Pedeoman hidup yang disebut triwarga, terdiri atas
Dharma (kewajiban-kewajiban agama dan masyarakat), artha (usaha-usaha untuk
mengumpulkan harta) dan kama (usaha-usaha untuk mendapatkan kesenangan dan kenikmatan),
tidak lagi dianggap mencukupi dan tidak lagi dicita-citakan. Timbullah cita-cita yang lebih luhur
lagi yaitu moksa. Cita-cita ini berpangkal pada kepercayaan, bahwa hidup itu berlangsung
berulang kali. Setelah mati, manusia itu akan hidup kembali, dan tiap hidup baru itu ditentukan
sifat dan kedudukannya oleh perbuatan-perbuatan (karma) dalam hidupnya yang lalu. Hukum
karma ini menimbulkan sangsara, yaitu lingkaran yang merangkaikan hidup-mati-lahir kembali-
hidup lagi-mati lagi dan seterusnya. Maka cita-cita yang luhur itu ialah berusaha untuk
melepaskan diri dari samsara, membebaskan diri dari hukum karma, agar menjadi sempurna dan
tidak dilahirkan lagi.
Arus baru dalam pandangan hidup ini erat sekali hubungannya dengan kehidupan para
wanaprastha. Banyak para petapa kewajiban-kewajiban agama dan masyarakat), artha (usaha-
usaha untuk mengumpulkan harta) dan kama (usaha-usaha untuk mendapatkan kesenangan dan
kenikmatan), tidak lagi dianggap mencukupi dan tidak lagi dicita-citakan. Timbullah cita-cita
yang lebih luhur lagi yaitu moksa. Cita-cita ini berpangkal pada kepercayaan, bahwa hidup itu
berlangsung berulang kali. Setelah mati, manusia itu akan hidup kembali, dan tiap hidup baru itu
ditentukan sifat dan kedudukannya oleh perbuatan-perbuatan (karma) dalam hidupnya yang lalu.
Hukum karma ini menimbulkan sangsara, yaitu lingkaran yang merangkaikan hidup-mati-lahir
kembali-hidup lagi-mati lagi dst. Maka cita-cita yang luhur itu ialah berusaha untuk melepaskan
diri dari samsara, membebaskan diri dari hukum karma, agar menjadi sempurna dan tidak
dilahirkan lagi.
Arus baru dalam pandangan hidup ini erat sekali hubungannya dengan kehidupan para
wanaprastha. Banyak para petapa yang sudah jauh dalam ilmu kebatinannya, dilingkungi oleh
murid-murid yang datang berguru, karena ingin pula mengetahui seluk beluk hidup dalam
hubungannya dengan maksud daripadanya yang sebenarnya.
Arti kata Upanisad adalah (duduk di bawah menghadap), yaitu menghadap kepada guru
untuk menerima ajaran. Karena apa yang dibentangkan dalam hutan dan kesunyian itu bukan
soal sehari-hari, lagipula sangat pelik dan berbahaya, maka ajaran itu bersifat rahasia. Dalam
Upanisad, yaitu kitab-kitab yang berisi ajaran-ajaran itu, tiap hal selalu dimulai dengan kata-kata
(iti rahasyam). Isi Upanisad dapt diringkas dalam satu pokok, ialah atmawidya yaitu pengetahuan
tentang atman atau jiwa.
Alam ini beserta segala isinya banyak sekali ragam dan bentuknya. Ada manusia, ada
binatang, ada benda, dan masing-masing beraneka warna pula jenis dan macamnya.
Kenyataannya ialah, bahwa manusia nantinya mati, dan lenyap-hancur, akhirnya lenyap. Jadi
adanya semua itu hanyalah untuk sementara, yaitu hanya dalam keadaan, tempat dan batas waktu
tertentu.
Pada zaman ini Agama hindu yang berkembang di dataran tinggi dekan dan lembah
Sungai Yamuna, terus meluas ke lembah sungai Gangga adalah daerah yang di huni oleh
penduduk dengan sumber kehidupan beraneka ragam, namun yang utama adalah berdagang.
Dengan pola pikir perekonomian penduduk lembah sungai gangga tidak menginginkan praktek
kehidupan beragama secara upacara yang berlebihan.

Sejarah Masuknya Agama Hindu Ke Indonesia

Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertamakalinya berkembang


di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi menerima wahyu dari
Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran
Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah,
Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Setidaknya, terdapat beberapa teori
masuknya pengaruh Hindu Budha di Indonesia antara lain Teori Brahmana, Teori Waisya, Teori
Ksatria, Teori Arus Balik, dan Teori Sudra.

1) Teori Brahmana

Teori masuknya pengaruh Hindu Budha di Indonesia yang pertama adalah Teori Brahmana yang
diajukan oleh Jacob Cornelis Van Liur. Teori ini mengemukakan bahwa pengaruh Hindu-Budha
di Indonesia dibawa oleh para brahmana atau kalangan pemuka agama dari India. Teori ini
dilandaskan pada prasasti-prasasti peninggalan kerajaan Hindu-Budha di Indonesia pada masa
lampau.
Mayoritas prasasti yang ada di Indonesia ini menggunakan huruf pallawa dan bahasa sanskerta.
Di India sendiri, aksara dan bahasa tersebut tidak sembarang orang yang bisa menguasainya dan
hanya para golongan brahmana yang menguasainya.

Teori ini juga dikuatkan oleh kebiasaan agama Hindu yang menempatkan brahmana sebagai
satu-satunya otoritas dalam ajaran agama Hindu. Maka hanya kalangan brahmana yang
memahami ajaran Hindu yang benar dan utuh, konsekuensinya hanya merekalah yang berhak
menyebarkan ajaran Hindu.

Menurut kerangka teori ini, para brahmana ini diundang ke Nusantara oleh para kepala suku
untuk menyebarkan ajarannya beserta keluhuran nilainya pada masyarakat di Indonesia yang
masih memiliki kepercayaan asli yaitu animisme dan dinamisme.

2) Teori Ksatria

Teori masuknya pengaruh Hindu Budha di Indonesia yang kedua adalah Teori Ksatria yang
dikemukakan oleh C.C. berg Mookerji dan J.L Moens. Dalam teori ini disebutkan bahwa
golongan bangsawan atau ksatria dari India yang membawa masuk dan menyebarkan pengaruh
agama Hindu-Budha di Indonesia.

Sejarah penyebaran agama Hindu-Budha di kepulauan Nusantara tidak bisa dilepaskan dari
sejarah kebudayaan India pada periode yang sama. Seperti diketahui, bahwa di awal abad ke 2
Masehi kerajaan-kerjaan di India mengalami keruntuhan karena adanya perebutan kekuasaan.

Penguasa-penguasa dari golongan ksatria di kerajaan-kerajaan yang kalah perang pada masa itu
dianggap melarikan diri ke Indonesia, kemudian mendirikan koloni maupun kerajaan baru yang
bercorak agama Hindu-Budha.

Wilayah Indonesia menjadi pilihan karena mengikuti jalur perdagangan antara India dan
Indonesia pada masa itu. Dalam perkembangannya, mereka pun kemudian menyebarkan ajaran
dan kebudayaan kedua agama tersebut pada masyarakat local yang ada di Indonesia.

3) Teori Waisya

Teori Waisya ini dikemukan oleh NJ Krom, dimana teori ini menjelaskan bahwa masuk dan
berkembangnya pengaruh Hindu-Budha di Indonesia dibawa oleh orang India berkasta Waisya
atau golongan pedagang. Para pedagang merupakan kelompok masyarakat asal India yang paling
banyak berintekasi dengan masyarakat pribumi.
Menurut kerangka teori ini, para pedagang India mengenalkan ajaran Hindu dan Budha beserta
nilai-nilai budanya kepada masyarakat local. Kegiatan itu dilakukan saat berlabuh ke Nusantara
untuk berdagang, lantaran saat itu pelayaran sangat bergantung pada musim angin sehingga
dalam beberapa waktu mereka akan menetap di kepulauan di Indonesia sampai angin laut yang
akan membawa mereka kembali ke India berhembus.

4) Teori Arus Balik

Teori arus balik ini dikemukan oleh F.D.K Bosch yang mengatakan penyebaran pengaruh Hindu-
Budha di Indonesia terjadi karena peran aktif masyarakat Indonesia sendiri. Pengenalan
pengaruh Hindu-Budha ini merupakan inisiatif oleh orang-orang India atau para pendeta tetapi
yang menyebarkan adalah orang Indonesia yang diutus oleh raja di Nusantara untuk mempelajari
agama dan budaya para pendeta India di Negara asalnya.

Setelah utusan tersebut menguasai ajaran agama maka mereka akan kembali ke Indonesia dan
menyampaikan pada Raja. Selanjutnya, raja akan meminta para utusan tersebut untuk
menyebarkan dan mengajarkan pengetahuan yang diperoleh pada penduduk atau rakyat kerajaan.

5) Teori Sudra

Para budak dari India dan China datang ke Nusantara karena dibawa oleh pemiliknya atau karena
mencari kehidupan yang lebih baik. Pada saat mereka menetap di Nusantara, mereka berasimilasi
dan berakulturasi dengan penduduk sekitar. Hal tersebut membawa perubahan pada penduduk
yang pada awalnya memeluk Animisme dan Dinamisme, berganti memeluk agama Hindu atau
Buddha. Teori ini dikemukakan oleh van Faber.

Kebudayaan Hindu dan Buddha tidak hanya memengaruhi cara beribadah masyarakat Nusantara
pada jaman itu, tetapi juga memberikan beberapa peninggalan lain. Misalnya kerajaan yang
pernah berkuasa, tempat keagamaan, prasasti, cara hidup, dan masih banyak lagi. Berikut ini
adalah nama-nama kerajaan Hindu-Buddha.

Agama Hindu Di Indonesia

Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan
adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi denngan
diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh
buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang
menyatakan bahwa: “Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh
Mulawarman”. Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya
pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan “Vaprakeswara”.

Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya


berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan
beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya
kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur),
agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh
buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan
Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.

Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa “Raja Purnawarman
adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan
tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu”

Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan
atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data
tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja
Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu
berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung
Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari
prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula,
Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.

Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan
memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka
(576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi: “Sruti indriya rasa”, Isinya memuat tentang
pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.

Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo
dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan
pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa
Tengah. Disamping itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan
ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta dan memakai
huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja
Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar,
para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan.
Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua
kerajaan Hindu di Jawa Timur.

Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri
Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa.
Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah
Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut
Hindu yang setia.

Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222),
sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu,
misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab
Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan
Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai
peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.

Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit, sebagai
kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan masa
gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan
berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga
munculnya buku Negarakertagama.

Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali
diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-
prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini
bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.

Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di
Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana.
Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman
sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad
Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah
dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai
penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura
Silayukti.

Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada  ke Bali (tahun 1343)
sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama.
Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan
dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat
besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti
Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).

Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan


keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul
dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar,
Surya kanta tahun1925 di SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun
1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun
1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23
Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember
tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan
Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan
umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali
dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan  menetapkan
Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu
Dharma Indonesia.
Bagaimana pendapat anda supaya agama Hindu tetap ajeg di masa depan ?

Menurut pendapat saya agar agama Hindu tetap ajeg di masa depan yaitu pemuda Hindu harus
memiliki sikap kesadaran yang tinggi. Pemuda Hindu ini merupakan generasi penerus yang
harus menjaga agama Hindu agar tidak musnah. Kita sebagai pemuda Hindu harus mampu
menempatkan diri di tempat yang benar, paham akan ajaran Dharma dalam agama Hindu, dan
harus tetap melaksanakan kewajiban sebagai umat Hindu seperti melaksanakan serada dan bakti.

Selain itu seorang pemuda harus mampu membangun pemahaman dalam diri sendiri dan
membantu mengorganisir keberadaan pemuda yang lain dengan kemampuan serta potensi yang
dimiliki pemuda yang ada disekitarnya. Seorang pemuda yang memiliki pengetahuan atau
kesempatan lebih dibandingkan dengan pemuda lain untuk menuntun ilmu hingga dapat
menyelesaikan ke jenjang perguruan tinggi harus mampu mengaplikasikan pengetahuan nya
demi kemajuan dan perubahan masyarakat sekitarnya ke arah yang lebih baik.

Pemuda Hindu harus menempatkan diri sebagai pengendali dalam pergaulan di lingkungannya.
Beberapa kejadian konflik yang melibatkan umat Hindu salah satu faktornya adalah perilaku
menyimpang para pemuda. Ini menunjukkan bahwa pemuda hidup belum mampu
mengendalikan diri atau menjadi pengendali dalam pergaulan sehari-hari dalam lingkungannya.
Ketika hal ini masih terus terjadi maka permasalahan yang disebabkan pemuda masih akan terus
terjadi. Sebagai pemuda Hindu harus memberanikan diri untuk menjadi pengendali diri sendiri
dan lingkungan misalnya berani mengingatkan sesama pemuda untuk menghindari minuman
keras, narkoba, menghindari seks bebas, mengajak berorganisasi, mengisi waktu luang dengan
seni dan olahraga. Jika hal hal negatif mampu dikendalikan dan memulai melakukan hal hal
positif maka keadaan akan menjadi lebih baik.

Pemuda Hindu harus mampu menjadi generasi yang memiliki cita cita menjadi pemimpin.
berarti saat ini sudah memulai untuk mempersiapkan diri menjadi pemimpin. Dalam ajaran
agama Hindu banyak ajaran kepemimpinan yang sangat baik dan mulia. Hindu di Nusantara
pernah mewariskan sejarah kepemimpinan hingga mampu menyatukan Nusantara pada waktu
kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu.

Seorang pemuda Hindu yang akan mengajarkan Dharma maka harus, menyeleksi pergaulan,
jangan sampai salah dalam bergaul maka akan terjerumus dalam kesalahan dan sulit untuk
bangkit. memiliki hati nurani yang terbuka, artinya mampu mengenali diri sendiri dan orang lain
sehingga tidak mudah goyah. Selalu melakukan aktivitas Rohani agar menjadi pemuda yang
memiliki kharisma dan berwibawa. Takut melanggar Dharma, selalu memulai segala bentuk laku
karma dengan berfikir, berkata, dan berperilaku yang baik berlandaskan Dharma.

Hormat dan patuh kepada orang tua, menganggap bahwa orang tua adalah dewa yang ada di
dunia dan sangat dekat dengan kita, maka kita harus hormat dan melayani mereka agar kita
selamat di dunia kematian. Memanfaatkan waktu dan menyempatkan waktu untuk membaca
sastra sastra suci dan kitab suci, agar memiliki pengetahuan dan mampu berfikir logis dalam
setiap tindakan.

Untuk dapat mewujudkan ajegnya Dharma, Dharma harus disampaikan secara terus menurus
kepada keturunan atau generasi, sebagai generasi muda harus peka dan lebih kuat dalam
mempertahankan Dharma ini, jangan boleh ada keturunan yang memutusnya. Sebab sebagai
pemuda Hindu harus paham bahwa lahir, hidup, dan mati adalah siklus. Satu hal yang perlu
diperhatikan oleh pemuda bahwa saat kita hidup di dunia ini perlu bantuan leluhur, begitu juga
doa dan keturunannya sangat ditunggu oleh leluhur.

Anda mungkin juga menyukai