2. Agama Brahma
kaum Indo Arya maju melewati Punjab dan memasuki Lembah Gangga dan Jamuna.
Mereka berhasil menindas penduduk asli dan diturunkan derajatnya menjadi budak
(Sudra). Selama periode ini juga berlangsung pertempuran di dalam masyarakat Indo
Arya sendiri, di antara para perwira (kesatria) dan ulama (Brahmana). Tadinya para
kesatria di atas tetapi kini kaum Brahmana meningkat sebagai golongan paling tinggi
dan paling berkuasa. Mereka mendapat kesenangan dengan berlalunya waktu, dan
hampir-hampir mendekati tingkat ketuhanan serta diberikan kepada mereka kehor-
matan sebagai kasta yang paling tinggi. Sistem kasta yang tidak adil, tepat
bersamaan dengan adanya agama baru di kalangan mereka dan ini ditunjukkan
sebagaimana adanya agama Brahma. Kitab-kitab yang disucikan oleh Brahmana
disusun oleh pendeta agama Brahmana sekitar abad kedelapan sebelum masehi
untuk menjelaskan asal usul mukjizat dan daya kekuatan pengorbanan. Kitab
tersebut juga memberi rincian secara monoton dan tidak masuk akal bagaimana
upacara suci itu dilangsung-kan. Kitab itu juga dipenuhi dengan dongeng-dongeng
yang aneh-aneh, baik dari manusia maupun dewa-dewa dalam menggambarkan
upacara pengorbanan.
1. Agama Upanishad
Ajaran Upanishad menandakan suatu reaksi terhadap kaum Brahmana yang
sebagaimana ditunjukkan telah menanamkan suatu sistem upacara agama yang
pelik. Lebih dari satu tempat, kitab Upanishad mengutuk nilai-nilai upacara
pengorbanan”. Kisah-kisah kepahlawanan yang terdapat dalam Upanishad
mengutuk para pendeta Brahmana dan upacara-upacara mereka yang mengandung
istilah tidak menentu. Kandungan utama Upanishad adalah Keesaan Ilahi. Upanishad
menyebut-kan Tuhan Satu-Satunya Kebenaran adalah Brahman. Di sana ditulis: “Dia
yang abadi di antara semua yang fana, yang menjadi kesadaran suci umat manusia,
SATU-SATU zat yang menjawab doa dari semua orang ... Dia tidak diciptakan tetapi
Maha Pencipta: Mengetahui semuanya. Dia lah menjadi sumber kesadaran suci,
pencipta waktu, Maha Kuasa atas segala hal. Dia tuhan dari jiwa dan alam ini ...
sumber cahaya dan abadi dalam kemuliannya. Hadir di mana-mana dan mencintai
makhlukNya Dia penguasa terakhir alam dunia ini dan tidak satu pun dapat terjadi
tanpa izin Nya... Saya pergi ke haribaan Tuhan yang SATU dalam keabadian,
memancarkan cahaya yang indah dan sempurna, di dalam Nya kita akan mendapat
kedamaian” (Svetasvatara Upanishad VI : 13: 19). Upanishads mengajarkan bahwa
tujuan dari kesadaran spiritual dari manusia adalah mencari Tuhan, untuk
mengetahuiNya dengan bersatu seseorang denganNya.
2. Agama Sri Krishna
Sri Krishna menolak sistem pengorbanan kaum Brahmana dan percaya kepada
keaslian wahyu dalam kitab Weda. Dia berkata bahwa Weda sedikit gunanya dan
ibarat tempat air yang kecil dalam bidang yang penuh air. Sri Krishna, nabi agama
Bhagawad, mengajarkan pengikutnya untuk men-jalankan tingkah laku dengan
penuh kesucian atau sebagai kebaktian kepada Tuhan. . Bhagawad Gita
menyebutkan sebagai Bhakti Yoga: “Dunia selalu mengikat kita, kecuali penyerahan
diri. Maka jadikanlah tin-dak tandukmu dengan kesucian dan bebas dari ikatan hawa
nafsu” (Bhagawad Gita 3 : 9) “Serahkanlah segala karyamu ke hadirat Tuhan dan
buanglah segala ikatan, pamrih pribadi, serta kerjakanlah amalanmu. Maka tidak ada
dosa yang melekat dalam dirimu ibarat air yang tidak melekat ke daun teratai”
(Bhagawad Gita, 5: 10) Dia juga menyerukan para pengikutnya untuk menjalankan
kewajiban tanpa memandang konsekuensinya. Kepentingan mereka haruslah untuk
mengerjakan apa yang diyakininya sebagai kebenaran, dan bukan dalam pahala
ataupun buah hasilnya: “Kendalikan dirimu pada baktimu, dan jangan sekali-kali pada
pahala. Berbakti bukan untuk pahala, dan janganlah pernah berhenti dalam
kebaktian-mu” (Bhagawad Gita. 2:47) Bhagawad Gita menggambarkan timbulnya
beramal tanpa pamrih sebagai Karma Yoga. Namun rupanya tidak ada perbedaan
yang nyata antara Bhakti Yoga dan Karma Yoga. Bhagawad Gita berarti Jalan Tengah
(6:16). Dia menarik manusia agar mempunyai itikad baik terhadap sesamanya, untuk
menyayangi segenap ummat manusia, untuk mengendalikan keinginan dan hawa
nafsunya, mengikis habis egoisme dalam berbakti agar mendapat ketentraman,
lemah lembut, sederhana, dan pemaaf (16: 1-4). Tujuan akhir hidup manusia
dikatakannya adalah “untuk menemukan kedamaian dalam damai dengan
Tuhannya” (2: 71-72).
B. Agama Budha
Agama Buddha dibagi atas dua sekte besar, yakni Hinayana (atau Theravada) dan Mahayana.
Perkataan Hinayana (kendaraan kecil) dan Mahayana (kendaraan besar) diucapkan oleh
pengikut Mahayana yang menyatakan bahwa “kendaraannya cukup besar untuk
mengangkut seluruh pengabdian kemanusiaan”. Jadi sementara Hinayana menganggap
Mahayana sebagai koruptor dari ajaran asli Buddha atau tepatnya ajaran palsu dan cabang
yang melenceng. Sebaliknya, Mahayana menganggap Hinayana tidak hanya palsu atau
melenceng dari ajaran Buddha sebenarnya, tetapi juga sederhana dan tidak lengkap atau
mengada-ada ajaran Buddha. Keyakinan dan praktik agama Buddha dipusatkan dan dipandu
oleh ajaran tiga bagian, yakni Tri-ratna (tiga manikam). Mereka itu adalah (1) Buddha, (2)
Dharma (bahasa Pali, Dhamma), dan (3) Sangha. Jika aliran Theravada membicarakan
Buddha, maka mereka mengartikan bahwa Siddharta Gautama adalah manusia, dialah yang
mencapai pencerahan dan telah menunjukkan jalan ke nirwana. Agak awal dari sejarah
agama Buddha, pemujaan Buddha telah tumbuh, dan Buddha dijadikan symbol dan benda
yang dipuja secara keagamaan, tetapi Theravada tidak pernah menjadikan Buddha sebagai
Tuhan. Bagi mereka Buddha adalah Sattha (Guru), Bhagwa (yang diberkati), Tathagata (yang
mengalami dan meningkatkan diri dari ketidak-sempurnaan hidup), dan Buddha (mendapat
penerangan sempurna). Pendeknya, ia adalah manusia besar (Mahapurusa) dan tidak lebih
dari itu. Dengan Dharma yang kedua dari “tiga manikam”, kaum Theravada mengartikan
dengan ajaran pokok tentang penderitaan, sebab musabab, dan pengobatannya. Kaum
Buddhis Theravada percaya bahwa alam semesta pada umumnya dan segala kehidupan
pada khususnya tiga ciri bersama (“Tiga tanda makhluk”): tidak menetap (anicca),
penderitaan (dukkha), dan ketidakhadiran jiwa yang memisahkan dari raganya ke kehidupan
lainnya (anatta). Mereka sependapat dalam menyatakan bahwa tidak ada prinsip permanen
atau kesatuan di dalam atau di balik alam semesta. Segalanya mengalir. Tidak ada sesuatu
kejadian yang tanpa henti dan perubahan yang tak terputus. Tidak dzat. Kaum Theravadin
menyangkal adanya Tuhan, dan juga diri pribadi yang permanen atau jiwa dalam diri
manusia. Manusia itu tersusun dalam kualitas yang tidak tetap serta selalu berubah , bersifat
maya, dan dilahirkan karena hawa nafsu. Selama manusia mempunyai nafsu mementingkan
diri sendiri, maka khayalan ini, selalu berubah kualitasnya, di mana dia diciptakan, akan
menetap, dan selama hal itu masih menetap maka manusia akan lahir kembali terus
menerus di dunia kesedihan. (samsara). Manusia dapat membebaskan dirinya dari roda
kelahiran dan kematian dengan cara menghancurkan hawa nafsu. Nirwana yang merupakan
tujuan agama Buddha, berarti “padamnya nafsu, padamnya kebencian, dan padamnya
khayalan.” Ini dapat dicapai, bahkan setelah kehidupan sekarang. Orang yang telah
melakukan ini disebut Arahant. Jika ia meninggal, maka ia tidak akan dilahirkan kembali.
Moral kehidupan yang dicita-citakan kaum Theravadin adalah menjadi seorang pendeta
Buddha, dan itulah pentingnya Sangha , atau tata kependetaan, hal yang ketiga dari tiga
manikam. Kehidupan dari seorang tuan rumah, hampir-hampir tidak dapat dibandingkan
dengan kehidupan yang lebih tinggi dari kehidupan kerohanian. Hanya seorang pendeta
sajalah yang dapat mencapai ketinggian tingkat Arhant dan mencapai Nirwana. Kaum
Buddha Mahayana berbeda dengan aliran Theravadin dalam menyatakan bahwa Menjadi
Ada itu khayali dan Dzat itu nyata. Puncak Realitas adalah esa dan tidak berubah. Ini semua
diatas konsep akal fikiran manusia. Kalau menginginkan istilah yang lain disebut pula
Tathata. Agama Buddha Mahayana adalah bentuk idealisme mutlak. Kaum Mahayana
menganggap Buddha sebagai penjelmaan dari Realitas Mutlak Yang Esa, yang dapat juga
disebut prinsip Buddha yang abadi atau Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran Buddha tentang
keesaan segala makhluk mengandung arti bahwa nasib tiap pribadi dihubungkan dengan
nasib dari segalanya. Setiap orang dapat menyucikan diri mereka, karena menghindari
kesusahan dan keadaan yang penuh dosa, tetapi penyelamatan diri manusia tidaklah
sempurna selama masih ada seseorang yang belum diselamatkan. Dalam kata-kata
Masaharu Anesaki, “Menyelamatkan diri sendiri dengan menyelamatkan orang lain adalah
ajaran keselamatan semesta yang diajarkan oleh Buddha (Mahayana)”.13 Cita-cita kaum
Theravada sebagai Arhant digantikan dalam Buddha Mahayana sebagai Boddisattva. Seorang
Boddisattva adalah seorang yang telah mencapai keadaan suci dan terbebaskan, yang
menolak memasuki Nirwana dan melanjutkan pengorbanan diri sendiri, demi bakti cintanya
bagi mereka yang masih tertinggal dibelakang dan menjadi segel untuk menolong mereka.
Dia menunda diri masuk ke dalam kebahagiaan yang sempurna, karena rasa kemanunggalan
rohani dengan orang lain menyebabkan dia lebih suka menunggu dan dengan kasih sayang
melayani mereka hingga semuanya siap untuk masuk ke Nirwana bersama-sama. Dalam
kata-kata Anesaki, dia merasa bahwa kesela-matan sendiri akan tidak sempurna dan bahkan
tidak mungkin selama ada satu makhluk yang belum terselamatkan. Nirwana menurut
agama Buddha Mahayana adalah keadaan sejati dan kesempurnaan rohani. Ini adalah
keadaan di mana kasih sayang kemanunggalan dengan orang lain telah merasuki seluruh
fikiran dari pribadi orang itu bagaikan zat yang tak bisa dipisahkan dan dibedakan. Diambil
secara paradoks ini berarti bahwa dengan mengemukakan Nirwana bagi diri pribadi, demi
cinta terhadap sesamanya, seseorang telah berada di Nirwana sebagaimana kita pahami
sungguh-sungguh. Sebab Nirwana dan Samsara bukan dua realitas yang berbeda. Tidak ada
sesuatu diluar Nirwana. Ada satu lagi sekte agama Buddha yang perlu secara singkat
dibicarakan di sini. Ini adalah Zen Buddhisme. Zen memandang aspek-aspek tradisional
agama Buddha dengan kebencian. Ia menolak renungan dan kitab suci serta mengabai-kan
konvensi. Juga mereka membenci spekulasi metafisik, tidak suka teori-teori, dan cenderung
untuk menghapuskan akal fikiran. Pandangan yang langsung lebih dihargai dari pada
menganyam benang fikiran yang rumit-rumit. Kebenaran itu tidak dinyatakan dalam istilah
yang abstrak dan umum, tetapi sekongkrit mungkin. Mereka percaya bahwa penerangan dan
keadaan kemanunggalan dengan Yang Esa tidak dapat dicapai hingga fikiran tentang logika
dihancurkan. Mereka mengembangkan teknik meditasi yang aneh (zazen), untuk
menghancur-kan kebiasaan berfikir dan berasio norma serta mencapai penerangan yang
tiba-tiba (satori).
C. Agama Sikh
Agama selanjutnya yang timbul di anak benua Indo-Pakistan adalah agama Sikh .Pelopor
untuk agama Sikh ini adalah guru Nanak. Guru Nanak adalah seorang yang ketat dalam
bertauhid. Dia percaya kepada Tuhan Yang Esa dan Satu Satunya Yang Abadi adalah dengan
sendirinya tak berbentuk. Tuhan yang dipercayai Nanak bukanlah suatu ide abstrak ataupun
suatu kekuatan moral yang tak berkepribadian. Dia Dzat Pribadi yang disayangi dan
dihormati. Dia menolak adanya Tuhan-Tuhan lain, dan berkata bahwa Tuhan itu Esa dan suci
yang harus kita sembah. Tujuan Guru Nanak adalah membawa perdamaian di antara Islam
dan Hindu dengan mengkombinasikan kedua kepercayaan itu dalam agamanya sendiri.
Demikianlah, Sardar Khushwant Singh, cendikiawan Sikh dan novelis terkemuka, menulis
dalam History of Sikhs : “Agama Sikh terlahir sebagai hasil perkawinan antara agama Hindu
dan Islam, setelah mereka mengenal satu sama lain selama sembilan ratus tahun. Namun ini
tidaklah tepat. Hampir-hampir tak ada satu pun yang sama di antara ajaran Guru Nanak
dengan agama Hindu. Dia mempunyai konsepsi yang berbeda tentang konsepsi Ketuhanan,
teori penciptaan, alam semesta dan hubunganNya, sikap terhadap manusia, gagasan
tentang keselamatan. Selanjut-nya dia sangat keras mengutuk sistem kasta, dan praktik-
praktik Hindu dalam penyembahan berhala, upacara mandi di sungai suci dengan harapan
dapat menghapus dosa. Dalam hal yang diterimanya, seperti hal yang ditolaknya, maka dia
menunjukkan sebagai penganut agama Islam. Guru Nanak berbeda dengan paham Hindu
tentang dasar-dasar keimanan mereka; tetapi berbeda pula dengan kaum Muslimin, tidak
secara keseluruhan, tetapi ia berbeda dengan kaum muslimin yang mengabaikan ruh
sebenarnya tentang Islam.