Anda di halaman 1dari 11

KOMUNITAS TAMIL DALAM KEMAJEMUKAN MASYARAKAT

DI SUMATERA UTARA1

Zulkifli B. Lubis2

Pengantar

Komunitas India Tamil telah hadir dan menjadi bagian yang signifikan dalam perkembangan
kebudayaan di Nusantara sejak beberapa abad yang lalu, terutama di sebagian masyarakat yang
ada di Pulau Sumatera. Interaksi mereka yang sudah panjang dalam bilangan sejarah dengan
komunitas lokal di Nusantara, sudah barang tentu, menjadikan pembahasan tentang komunitas
ini bisa dibuat dari beragam aspek, lokus, perspektif dan kurun waktu. Pengenalan saya tentang
komunitas Tamil dan kebudayaan mereka, harus saya akui, masih sangat dangkal sehingga bahan
yang disampaikan di sini boleh jadi baru mengulas selembar kulit ari dari lapis-lapis kebudayaan
mereka yang sangat kompleks. Saya baru mulai menaruh perhatian dan mencoba mengumpulkan
bahan-bahan informasi tentang komunitas Tamil dan kebudayaannya ketika saya menulis sebuah
makalah tentang adaptasi dan jaringan sosial komunitas Tamil dan Punjabi di Medan, yang saya
sampaikan dalam sebuah konferensi di Pulau Penang pada 2003 lalu3. Paparan yang saya
sampaikan dalam forum ini, karenanya, sebagian besar masih mengacu kepada tulisan tersebut.

Penduduk imigran dalam kemajemukan masyarakat di Sumatera Utara

Kita seringkali terjebak oleh terminologi penduduk asli dan pendatang sehingga seakan-akan kita
bisa dengan mudah mengkategorisasikan orang atau suatu kelompok tertentu sebagai bagian dari
kita atau bukan. Dari perspektif sejarah peradaban manusia dan perpindahannya dari suatu
tempat ke tempat lain dalam berbagai kurun waktu, yang lebih tepat barangkali adalah kategori
pendatang awal dan pendatang kemudian. Memanng, sejarah peradaban manusia selalu dipenuhi
oleh peristiwa perpindahan massif dari satu tempat ke tempat lain, baik yang berlangsung secara
alamiah maupun karena terpaksa. Dengan perpindahan manusia yang massif tersebut terjadilah
proses difusi kebudayaan, akulturasi dan assimilasi. Kisah-kisah kehadiran satu kaum di tengah-
tengah kaum yang lain sebagai akibat dari gerak migrasi penduduk sudah lama menjadi perhatian
dan bahan kajian kalangan ilmuwan sosial. Berkembangnya kota-kota besar dunia yang juga
disesaki oleh migran dari pedesaan maupun dari luar negeri bahkan telah lama menjadi arena
para ilmuwan, khususnya antropolog, untuk mempelajari proses-proses adaptasi kaum migran
terhadap kehidupan di perkotaan, gejala etnisitas dan kelas-kelas sosial di kota, urbanisme, dan
1
Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Kebudayaan Etnis India Tamil di Sumatera Utara; diselenggarakan
oleh Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan (PUSSIS-UNIMED) di
Medan, 28 Mei 2009.
2
Penulis saat ini mengemban amanah sebagai Ketua Departemen Antropologi Fisip USU
Makalah disampaikan pada “hared Histories Conference , Penang, Malaysia, 30 July 2003-3 August 2003,
3

organized by Penang Heritage Trust, sponsored by SEASREP


juga masalah-masalah kaum miskin di perkotaan (lihat George Gmelch & Walter P. Zerner,
1980).

Potret kemajemukan budaya karena adanya perpindahan penduduk secara massif tersebut dapat
kita temukan salah satunya di kota Medan. Kota Medan, ibukota Propinsi Sumatera Utara, adalah
sebuah kota yang tumbuh pesat sejak pertengahan abad ke-19 sebagai sebuah kota berpenduduk
majemuk baik dari kalangan penduduk pribumi maupun imigran dari kawasan Asia seperti Cina,
India, Arab dan imigran dari kawasan Asia Tenggara4. Gerak perpindahan kaum migran ke kota
Medan tidak lepas dari tarikan magnit pertumbuhan kota ini sebagai sentra kemajuan ekonomi
sehingga dijadikan sebagai tempat tujuan baru yang menjanjikan harapan untuk perbaikan hidup.
Sudah luas diketahui bahwa kota Medan dan Tanah Deli (Sumatera Timur) pada umumnya yang
pernah dijuluki sebagai “Het Dollar Land” berkembang sangat cepat sejak pertengahan abad ke-
19 seiring dengan perkembangan industri perkebunan (mulanya perkebunan tembakau) yang
dirintis oleh Jacobus Nienhys sejak 1863. Buruh-buruh dari Cina, India dan Pulau Jawa ketika itu
didatangkan dalam jumlah besar oleh pengusaha-pengusaha perkebunan untuk memenuhi
kebutuhan tenaga kerja. Selain mereka yang didatangkan sebagai kuli, migran lain pun terus
berdatangan ke kota ini untuk tujuan berdagang dan mengisi berbagai lowongan pekerjaan yang
tersedia.

Fenomena kota Medan sebagai sebuah kota berpenduduk majemuk yang dihuni oleh migran
lokal dan regional pernah menjadi bahan kajian antropolog Edward Bruner, yang antara lain
memfokuskan kajiannya pada proses-proses adaptasi migran Batak Toba (lihat Bruner, 1961)5.
Demikian juga antropolog Usman Pelly (1994) pernah melakukan kajian tentang proses
urbanisasi dan adaptasi migran Minangkabau dan Mandailing di kota Medan, yang menurut beliau
sangat ditentukan oleh misi budaya yang dimiliki oleh masing-masing kelompok etnik. Sementara
itu, kajian-kajian tentang migran asing seperti orang Cina, India dan Arab yang juga telah sejak
lama hidup di kota Medan sejauh ini belum banyak mendapat perhatian dari para ilmuwan.
Khusus tentang orang India, memang sudah ada tulisan dari A. Mani (1980) yang berusaha
memotret gambaran kaum migran India di Sumatera Utara, sebagai bagian dari tulisan yang
dimuat dalam Indian Communities in Southeast Asia (K.S.Shandu & A. Mani, 1980).

Ketertarikan saya pada masalah migran asal India ini bermula dari pengamatan tentang fenomena
adaptasi dengan penduduk pribumi yang relatif kontras antara migran India maupun Arab dengan
migran asal Cina. Dalam pandangan kalangan awam, warga keturunan Cina di Medan cenderung

4
Lalu lintas perpindahan manusia itu juga berlangsung dari arah sebaliknya meskipun dalam jumlah yang relatif kecil,
misalnya terlihat dari arus migrasi orang Minangkabau dan Mandailing dari Sumatera ke Semenanjung Malaysia pada
pertengahan abad ke-19, maupun migrasi orang-orang dari Pulau Jawa dan sekitarnya di abad ke-20.

5
Dalam salah satu tulisannya Edward Bruner menguraikan bahwa kota Medan tidak memiliki satu kebudayaan yang
dominan sebagai rujukan adaptasi bagi kelompok-kelompok etnik yang ada di sana; berbeda dengan kota Bandung
misalnya dimana kebudayaan Sunda menjadi kebudayaan yang dominan. Ketiadaan kebudayaan yang dominan di kota
Medan menjadikan berbagai kelompok etnik yang ada dapat mengekspresikan kebudayaannya secara lebih bebas.
eksklusif dan relatif kurang bergaul dengan penduduk pribumi, sementara orang Arab misalnya
hampir melebur menjadi bagian yang nyaris sama dengan komunitas tempatan. Sementara itu,
terhadap warga keturunan India pandangan dan streotip negatif tidak sekuat terhadap orang
Cina, dan dalam pandangan kaum awam mereka lebih mampu beradaptasi dengan penduduk
pribumi. Menarik juga untuk dicatat bahwa, orang-orang Cina yang pada awalnya datang ke
Medan sebagai kuli perkebunan kemudian telah berkembang menjadi satu kelompok yang
menguasai ekonomi, sementara migran keturunan India yang juga datang dalam kurun waktu
yang sama dan untuk sebagian dengan status yang sama, tampaknya tidak memperlihatkan
kemajuan penguasaan ekonomi semaju orang Cina. Tulisan ini tidak bermaksud memberikan
jawaban terhadap perbedaan perkembangan yang dialami oleh migran keturunan Cina dan India
di kota Medan, tetapi lebih fokus pada upaya pemotretan secara garis besar keberadaan
komunitas India, khususnya orang Tamil di kota Medan.

Kedatangan Orang India di Sumatera Utara

Bahwa pengaruh kebudayaan India sangat kuat dalam kehidupan bangsa Indonesia sudah menjadi
pengetahuan awam, dan proses penyerapan unsur-unsur budaya India oleh berbagai komunitas
yang ada di negeri ini juga masih berlangsung hingga hari ini. Temuan-temuan arekologis di
Sumatera maupun di Jawa mulai dari abad ke-7 M hingga abad ke-14 memperlihatkan
kesinambungan kehadiran peradaban India di Kepulauan Nusantara (lihat Y.Subbarayalu, 2002a)
Untuk konteks Sumatera Utara misalnya, kehadiran orang-orang India sudah terekam dalam
sebuah prasasti bertarikh 1010 Saka atau 1088 M tentang perkumpulan pedagang Tamil di Barus
yang ditemukan pada 1873 di situs Lobu Tua (Barus), sebuah kota purba di pinggir pantai
Samudera Hindia. Prof. K.A. Nilakanta Sastri (1932) seperti dikutip dari tulisan Y. Subbarayalu
(2002) menulis tentang prasasti itu sebagai berikut :

“ Fragmen prasasti dari Loboe Toewa berharga untuk dijadikan sebagai bukti yang jelas
bahwa aktivitas perdagangan mereka (yaitu perkumpulan pedagang Tamil) telah menyebar
ke Sumatera. Mungkin tidak tepat menyimpulkan berdasarkan prasasti itu bahwa bahasa
Tamil telah digunakan dalam dokumen-dokumen umum di Pulau Sumatera pada abad ke-
11 Masehi; namun jelas bahwa sekumpulan orang Tamil telah tinggal di Sumatera secara
permanen atau semi permanen, dan termasuk di antaranya tukang-tukang yang mahir
mengukir prasasti di atas batu..”

Keberadaan kaum pedagang Tamil pada abad ke-11 di pantai barat Sumatera, kemudian dikaitkan
oleh sejumlah penulis dengan migrasi yang mereka lakukan ke arah pedalaman Sumatera karena
terdesak oleh kekuatan armada pedagang-pedagang dari Arab/Mesir (Brahma Putro, 1979).
Brahma Putro, seorang warga suku Karo yang menulis buku “Karo dari Jaman ke Jaman” (1979)
menyebutkan bahwa orang-orang Tamil yang terdesak dari Barus kemudian terasimilasi dengan
suku Karo yang tinggal di Dataran Tinggi Tanah Karo (pedalaman Sumatera), dan mereka inilah
di kemudian hari yang menjadi keturunan marga (klen) Sembiring (Maha, Meliala, Brahmana,
Depari), Sinulingga, Pandia, Colia, Capah, dsb. Secara fisik warga Karo dari kelompok klen
tersebut memiliki persamaan dengan orang-orang Tamil.

Kehadiran orang Tamil juga bisa diidentifikasi di beberapa tempat lain di Sumatera, antara lain di
Suruaso Sumatera Barat berdasarkan temuan batu bertulis (banda bapahek) dalam dua bahasa,
salah satunya dalam bahasa India Selatan. Di bagian lain Sumatera, seperti kata Hasan Muarif
Ambari (2008), kehadiran etnis Tamil di Nanggroe Aceh Darussalam sudah menyatu dengan
masyarakat Aceh. Hanya fisiknya saja yang menunjukkan mereka berasal dari etnis Tamil,
selebihnya mereka sudah menyatu sebagai warga Aceh tulen, berbahasa dan beradat-istiadat
Aceh. Pada umumnya „sisa‟ masyarakat Tamil, kata Ambari, tinggal di daerah Pidie dan Aceh
Utara. Di daerah Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan, kehadiran mereka diduga kuat terjadi
pada abad ke-13 atau 14 yang bisa diidentifikasikan dari keberadaan peninggalan candi di daerah
Portibi, Saba Biara, bahkan yang tertua (diduga abad ke-9 masehi) di Simangambat. Peninggalan
dalam bahasa juga masih bisa dikenali dengan mudah, seperti dalam istilah „naraco holing‟, „banua
holing‟, „tumbaga holing‟, „pijor koling‟, dan lain sebagainya.

Tetapi kedatangan orang-orang India dalam jumlah besar dan hingga sekarang menetap dan
membentuk suatu komunitas di berbagai bagian wilayah Sumatera timur dan khususnya Medan
baru terjadi sejak pertengahan abad ke-19, yaitu sejak dibukanya industri perkebunan di Tanah
Deli. Menurut catatan T. Lukman Sinar (2001) di dalam tahun 1874 sudah dibuka 22 perkebunan
dengan memakai kuli bangsa Cina 4.476 orang, kuli Tamil 459 orang dan orang Jawa 316 orang.
Perkembangan jumlah kuli semakin meningkat pada tahun-tahun berikutnya, yang terbanyak
adalah kuli Cina (53.806 orang pada 1890 dan 58.516 orang pada 1900) dan kuli Jawa (14.847
orang pada 1890 dan 25.224 orang pada 1900); sementara kuli Tamil bertambah menjadi 2.460
orang pada 1890 dan 3.270 orang pada 1900.

Selain mereka yang didatangkan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan sebagai kuli, migran
orang Cina, India dan juga Arab mulai berdatangan ke Sumatera timur untuk berdagang dan
menjadi pekerja di bidang-bidang lain. Migran dari India yang datang untuk berdagang antara lain
adalah orang-orang dari India Selatan (Tamil Muslim) dan juga orang Bombay serta Punjabi. A.
Mani (1980:58) menyebutkan bahwa di luar pekerja kontrak di perkebunan, orang-orang India
yang lain juga banyak datang ke Medan untuk berpartisipasi memajukan berbagai sektor usaha
yang sedang tumbuh di kota ini; seperti kaum Chettiars atau Chettis (yang berprofesi sebagai
pembunga uang, pedagang dan pengusaha kecil); kaum Vellalars dan Mudaliars (kasta petani yang
juga terlibat dalam usaha dagang); kaum Sikh dan orang-orang Uttar Pradesh. Selain itu juga
terdapat orang-orang Sindi, Telegu, Bamen, Gujarati, Maratti (Maharasthra), dll. Tetapi orang-
orang Indonesia pada umumnya tak mengenali perbedaan mereka dan secara sederhana
menyebutnya sebagai orang Keling dan orang Benggali saja.
Di masa kolonial, buruh-buruh Tamil yang bekerja di perkebunan biasanya dipekerjakan sebagai
tukang angkat air, membetulkan parit dan jalan (Lukman Sinar, 2001; Mahyuddin et.al; tt);
sementara orang-orang Punjabi yang beragama Sikh biasanya bekerja sebagai penjaga keamanan,
pengawal di istana dan kantor-kantor, penjaga toko, dan lain-lain. Orang Sikh yang bekerja di
perkebunan juga bertugas sebagai penjaga malam dan pengantar surat; juga memelihara ternak
sapi untuk memproduksi susu (Mani, 1980:58).

Pada masa sekarang tidak diperoleh angka yang pasti mengenai jumlah warga keturunan India di
kota Medan, karena sensus penduduk setelah tahun 1930 tidak lagi menggunakan kategori etnik.
Menurut A. Mani (1980) pada tahun 1930 terdapat sekitar 5000 orang Sikh di Sumatera Utara.
Sementara itu A. Mani (1980) memperkirakan bahwa jumlah orang Tamil di Sumatera Utara
adalah sekitar 18.000 jiwa; namun ada juga yang menyebut sekitar 30.000 jiwa pada tahun 1986
(Napitupulu,1992).

Karakteristik Sosial Budaya Komunitas Tamil

Pemukiman

Pada masa kolonial orang-orang Tamil bermukim di sekitar lokasi-lokasi perkebunan yang ada di
sekitar kota Medan dan Sumatera Timur. Setelah masa kemerdekaan, mereka pada umumnya
berdiam di sekitar kota, yang terbanyak di kota Medan, juga di Binjai, Lubuk Pakam dan Tebing
Tinggi. Pemukiman mereka yang tertua di kota Medan terdapat di suatu tempat yang dulu
dikenal dengan nama Kampung Madras, yaitu di kawasan bisnis Jl. Zainul Arifin (dulu bernama
Jalan Calcutta). Kawasan ini lazim juga dikenal dengan sebutan Kampung Keling, dan sekarang
sudah dikembalikan namanya menjadi Kampung Madras. Lokasi perkampungan mereka terletak
di pinggiran Sungai Babura, sebuah sungai yang membelah kota Medan dan menjadi jalur utama
transportasi di masa lampau. Di kawasan ini hingga sekarang masih mudah ditemukan situs-situs
yang menandakan keberadaan orang Tamil, misalnya tempat ibadah umat Hindu Shri Mariamman
Kuil (sebagai kuil terbesar) yang dibangun tahun 1884 dan sejumlah kuil lainnya; juga pemukiman
dan mesjid yang dibangun oleh orang Tamil Muslim sejak tahun 1887.

Pada masa sekarang ini pemukiman orang Tamil sudah menyebar di sejumlah tempat di seluruh
Medan dan sekitarnya, seperti diuraikan dalam tabel berikut.
Tabel 1. Konsentrasi Pemukiman Orang Tamil di Medan dan sekitarnya

No NAMA LOKASI MAYORITAS AGAMA RUMAH IBADAH

1 Jl. Teratai, Jl.Dr. Cipto Hindu, Buddha Kuil Shri Mariamman


2 Kesawan Hindu, Islam Dulu ada kuil, tapi sudah dipindahkan
ke Kuil kaliaman sekarang (jl
Taruma/Kediri)
3 “Pondok Seng” (Jl. T. Cik di Tiro) Sudah digusur kira-kira 10 Kuil Muniandi
thn lalu, dulunya Kristen, Di Jl. Muara Takus
Buddha, Hindu “dianggap dewa yang berlaku jahat”

4 Kebun Bunga Hindu, Islam Kuil Subramaniam (digunakan oleh


kaum Chetty yg tinggal di Jl, Mesjid);
juga ada mesjid org Tamil
5 Kampung Keling/Desa Madras Hulu Hindu Kuil Shri Mariamman; kuil Sikh,
6 Kampung Kubur Hindu, Islam, Buddha, Mesjid org Tamil
Kristen (South Indian Moslem Muslim)
7 Jl. Taruma/Kediri Hindu Kuil Kaliamman
8 Komplek Jl. Kang-kung / Orang Telenggu, agama Kuil Mariamman
Jl. Darat/ Jl. Abdullah Lubis Hindu, Buddha, Islam,
Katolik
9 Kampung Anggrung/Jl. Polonia/Gang Buddha Ada vihara, ada kuil, ada gereja Tamil
A,B,C,D, E/ Jl. Mongonsidi/Jl. Karya Kasih Indonesia
10 Pantai Burung, Kampung Aur, Sukaraja, Hindu, Buddha, kristen, Ada kuil Shri Mariamman
Kebun Sayur/dekat Kowilhan; Jl. Islam
Mangkubumi
11 Jl. Pasundan, Jl. PWS, Sikambing, Jl. Sekip, Hindu, Buddha Ada kuil Guru Bakti, ada kuil Shri
Jl. Karya Sei Agul, Jl. Sei Sikambing Mariamman
12 Kampung Durian/Medan timur Hindu Ada kuil Shri Mariamman
13 Jl. S. Parman/ G.Pasir, G. Sauh/ Jl. Hayam Buddha, Hindu, Kristen Kuil Shri Mariamman, ada vihara
Wuruk, Pabrik Es (Jl. S.Parman/dkt St. Buddha, ada mesjid, ada gereja (?)
Thomas)
14 Jl. Malaka, Jl. Gaharu, Jl. Serdang Hindu
15 Glugur, Jl. Bilal, Pulo Brayan/Lr 7, 21,22, Hindu, Buddha Kuil Shri Mariamman
23, Sampali, Mabar
16 Pasar III Pd Bulan, Jl. Sei Serayu Karang Hindu, Buddha, Islam Ada kuil shri Mariamman
Sari Polonia, Tanjung Sari, Medan Sunggal
17 Desa Helvetia Hindu, Buddha, Kristen Kuil Shri Mariamman
Katolik
18 Kampung Lalang, Diski Katolik, Hindu, Buddha, Kuil Shri Mariamman
Islam
19 Kuala Bekala, Tuntungan/Pondok Keling Hindu Kuil Shri Mariamman
(daerah kebun)
20 Binjai/Timbang Langkat Hindu, Buddha, Islam Kuil Shri Mariamman
21 Langkat/Padang Cermin (daerah kebun), Hindu, Islam Kuil Shri Mariamman
Tj Beringin, Selesai (daerah kebun),
Tanjung Jati (daerah kebun), Tanjung
Pura
22 Lubuk Pakam, Batang Kuis Hindu, Buddha, Islam Kuil Subramaniam
23 Tebing Tinggi/Kampung Keling Hindu, Buddha, Islam Kuil shri Mariamman
24 Pertumbukan/Deli Serdang Hindu, Islam
25 Kisaran/ Asahan Hindu
Sebuah laporan menyebutkan bahwa penduduk Tamil yang berjumlah kira-kira 30.000 jiwa di
Medan dan sekitarnya, terbagi atas 66 % yang menganut agama Hindu, 28 % agama Buddha, 4,5
% beragama Katolik dan Kristen; dan 1,5 % yang beragama Islam (Napitupulu, 1992). Dalam
sebuah wawancara dengan Pastor James Bharataputra (Juli 2003), pimpinan Graha Anne Maria
Velankanni di Medan, disebutkan bahwa jumlah umat Tamil Katolik di kota Medan saat ini kira-
kira 800 orang.

Mata Pencaharian Hidup

Di masa lalu pekerjaan orang-orang Tamil banyak diasosiasikan dengan pekerjaan kasar, seperti
kuli perkebunan, kuli pembuat jalan, penarik kereta lembu, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang
lebih mengandalkan otot. Hal ini terkait dengan latar belakang orang Tamil yang datang ke
Medan, yaitu mereka yang berasal dari golongan dengan tingkat pendidikan yang rendah di India.
Mereka inilah yang dipekerjakan di zaman kolonial sebagai kuli di perkebunan-perkebunan milik
orang Eropa. Di masa sekarang keturunan mereka banyak yang bekerja sebagai karyawan swasta,
buruh, dan juga sebagai sopir. Kalau di masa kolonial sebagian dari mereka menjadi penarik
kereta lembu dan pembuat jalan, di masa kini keturunan mereka banyak yang sudah
mengusahakan jasa transportasi angkutan barang dan juga menjadi pemborong pembangunan
jalan. Keahlian mereka dalam kedua bidang pekerjaan ini banyak diakui orang.

Orang-orang Tamil yang datang secara mandiri ke Medan pada umumnya memiliki jenis mata
pencaharian hidup sebagai pedagang. Di antaranya menjadi pedagang tekstil, dan pedagang
rempah-rempah di pusat-pusat pasar di Medan. Selain itu mereka juga banyak yang bekerja
sebagai supir angkutan barang, bekerja di toko-toko Cina, dan menyewakan alat-alat pesta.
Selain itu banyak juga yang melakoni usaha sebagai penjual makanan, misalnya martabak Keling.
Pada umumnya, mereka yang berjualan rempah-rempah, tekstil dan menjual makanan adalah
orang-orang Tamil yang beragama Islam. Mereka adalah kaum Muslim migran yang datang dari
India Selatan hampir bersamaan dengan kedatangan orang-orang India pada umumnya ke Medan
pada pertengahan abad ke-19. Di masa sekarang juga sudah terdapat sejumlah orang Tamil yang
sukses sebagai pengusaha di level daerah maupun nasional, seperti keluarga Marimutu Sinivasan.

Organisasi sosial dan keagamaan

Sejauh ini tidak ada organisasi yang dapat menghimpun warga Tamil dalam satu kesatuan. Mereka
pada umumnya lebih terikat oleh kesatuan berdasarkan kesamaan agama, terutama di kalangan
penganut Hindu, Buddha dan Katolik. Sementara mereka yang beragama Islam lebih cenderung
melebur menjadi komunitas muslim dimana mereka bermukim. Penganut Hindu terhimpun
dalam wadah kuil yang di kota Medan secara kultural menyatu dalam Perhimpunan Shri
Mariamman Kuil. Shri Mariamman Kuil yang terletak di Kampung Madras dibangun pada tahun
1884, dan berfungsi sebagai “payung” bagi kuil-kuil lain yang terdapat di sejumlah tempat lain di
kota Medan. Hampir di setiap pemukiman warga Tamil dibangun sebuah kuil, yang terbanyak
menggunakan nama Shri Mariamman Kuil6. Kuil Shri Mariamman juga menghimpun pemuda-
pemudi yang aktif di kuil dalam sebuah perhimpunan muda-mudi kuil.

Mereka yang beragama Buddha terhimpun dalam wadah vihara dan organisasi yang disebut Adi-
Dravida Sabah; dan untuk kaum remaja ada organisasi bernama Muda-mudi Buddha Tamil. Kaum
Buddhis Tamil juga memiliki sejumlah vihara sebagai tempat beribadah, diantaranya adalah Vihara
Bodhi Gaya dan Vihara Lokasanti di Kampung Anggrung serta Vihara Ashoka di kawasan
Polonia, dan sejumlah vihara di tempat-tempat lain. Kaum Buddhis Tamil secara kelembagaan
menyatu dalam wadah Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) dan pusatnya adalah Vihara
Borobudur.

Warga Tamil Katolik juga memiliki sebuah gereja Katolik yang dibangun pada tahun 1912, yang
sebagian besar anggotanya juga tergolong Tamil Adi-Dravida. Tengku Lukman Sinar (2001:76)
menyebutkan bahwa sejak tahun 1912 telah ada missionaris Katolik khusus untuk orang-orang
India Tamil di Medan. Sebuah gereja lain dibangun pada tahun 1935 oleh pastor Reverend Father
James (Sami, 1980:83). Warga Tamil Kristen dan Katolik bermukim di sebuah lokasi yang
disebut Kampung Kristen. Menurut Mani (1980) sebagian besar mereka datang dari Malaya,
Pondicherry dan Karaikal. Pastor James Bharataputra yang datang ke Indonesia tahun 1967 dan
bertugas di Medan sejak 1972, pernah mendirikan sekolah khusus untuk orang-orang India Tamil
yang miskin, bernama Lembaga Sosial dan Pendidikan Karya Dharma. Sekarang sekolah itu
diambil alih oleh Yayasan Don Bosco, dan menjadi SD St. Thomas 56. Pastor James membeli
sebidang tanah di kawasan Tanjung Selamat pada tahun 1979, yang semula direncanakannya
untuk tempat pemukiman baru bagi orang-orang Tamil Katolik yang menumpang di sekitar Jl.
Hayam Wuruk. Pada tahun 2001 beliau membangun sebuah Kapel untuk umat Tamil Katolik di
atas tanah tersebut, yang diresmikan oleh Uskup Agung Medan (Mgr A.G.P. Datubara,
OFM,Cap); dan di sebelah bangunan kapel berukuran kecil itu sekarang berdiri sebuah gedung
yang bernama Graha Bunda Maria Annai Velangkanni.

Sementara itu, warga Tamil Muslim sejak 1887 sudah memiliki sebuah lembaga sosial yang
bernama South Indian Moslem Foundation and Welfare Committee. Warga Tamil Muslim
mendapat hibah dua bidang tanah dari Sultan Deli, untuk tempat membangun mesjid dan
pekuburan bagi Tamil Muslim. Ada dua masjid yang dibangun oleh yayasan tersebut, satu terletak
di Jalan Kejaksaan Kebun Bunga dan satu lagi di Jl. Zainul Arifin. Lokasi pekuburan terdapat di
samping Masjid Ghaudiyah (Jl. Zainul Arifin). Tanah wakaf di lokasi Kebun Bunga cukup luas
(sekitar 4000 meter) sedangkan lokasi Masjid Ghaudiyah sekitar 1000 meter persegi. Sebagian
dari tanah wakaf yang di masjid Ghaudiyah dimanfaatkan untuk lokasi pembangunan ruko, terdiri

6
Salah satu kuil yang juga sudah tergolong tua adalah Kuil Thandayuthapani, yang didirikan oleh kaum Chettiar pada
tahun 1918. Menurut A. Mani (1980:77) kaum Chettiars, atau disebut juga Nattukotai Naharathars, merupakan
sebuah kasta khusus di salah satu distrik di Tamil Nadu. Mereka datang ke Medan seiring dengan kedatangan buruh
Tamil ke perkebunan-perkebunan, dan mereka berdagang dan meminjamkan uang kepada orang-orang Tamil
maupun penduduk pribumi. Di kalangan warga Medan, mereka ini lazim dikenal dengan sebutan Chetti-chetti.
dari 13 pintu, yang disewakan kepada orang lain dan uangnya digunakan untuk kemakmuran
masjid dan menyantuni kaum Muslim Tamil yang miskin. Sampai sekarang yayasan yang menaungi
masjid itu terus diurus oleh keturunan Tamil Muslim dan ketika penelitian lapangan tahun 2003
dilakukan masih dipimpin oleh Abu Bakkar Siddiq (45 thn) seorang pedagang dan dibantu oleh
Kamaluddin (seorang pengusaha keramik). Sampai dengan tahun 1970-an, setiap tahun dilakukan
perayaan hari besar keagamaan yang menghadirkan orang-orang Tamil Muslim di seluruh kota
Medan, Tebing Tinggi hingga Pematang Siantar. Kesempatan itu sekaligus menjadi forum
silaturahim bagi warga Tamil Muslim, namun perayaan demikian sudah tidak pernah lagi
berlangsung belakangan ini.

Selain organisasi sosial yang berbasis keagamaan seperti disebutkan di atas, pada tahun 1960-an
terdapat sejumlah organisasi yang bertujuan memprmosikan kebudayaan dan pendidikan Tamil;
diantaranya adalah The Deli Hindu Sabah, Adi-Dravida Hindu Sabah, Khrisna Sabah, yang
bergerak di bidang keagamaan, sosial dan aktivitas kebudayaan (Mani, 1980:63). Juga ada The
Indian Boy Scout Movement, Indonesian Hindu Youth Organization, dan North Sumatera
Welfare Association, dan lain-lain. Seorang tokoh Tamil yang kharismatis dan menggerakkan
kemajuan bagi orang Tamil di kota Medan adalah D. Kumaraswamy. Pada masa sekarang ini
hampir semua organisasi sosial tersebut tidak lagi aktif. Di masa sekarang kita bisa menemukan
beberapa lembaga pendidikan yang dikelola oleh orang Tamil di Medan, antara lain adalah
Perguruan Raksana, dan lembaga kursus bahasa Inggeris Harcourt International yang memiliki 5
cabang di kota Medan.

Orientasi sosial budaya

Menjadi bagian dari bangsa Indonesia merupakan satu pilihan yang secara sadar dijalankan oleh
warga Tamil di Medan dan Sumatera Utara pada umumnya. Mereka teguh dalam soal ini, dan
banyak di antara kaum tua orang Tamil yang juga ikut berjuang menegakkan kemerdekaan
Indonesia, dan banyak pula di antara warga Tamil yang berstatus sebagai pegawai negeri. Tetapi
sebuah keprihatinan muncul di kalangan generasi tua Tamil dewasa ini melihat kenyataan bahwa
semakin lama mereka kehilangan identitas kebudayaan Tamil. Sebagian besar generasi muda
tidak bisa lagi berbahasa Tamil, bahkan orang tua juga banyak yang tidak mampu lagi
menggunakan bahasa itu di lingkungan keluarga. Pendeta Gurusamy, pimpinan Shri Mariamman
Kuil, menyebutkan bahwa pelaksanaan peribadatan di kuil-kuil Hindu saat ini juga tidak lagi
sepenuhnya dapat dilakukan menurut ketentuan penggunaan mantra-mantra yang berbahasa
Tamil maupun Sanskerta. Sebuah upacara penyucian kuil (Kumbhabisegam) Shri Mariamman Kuil
di Kampung Durian pada tanggal 13 Juli 2003 harus dipimpin oleh pendeta yang khusus diundang
dari Malaysia.

Orientasi politik kaum Tamil di Medan di masa lampau adalah Golkar, namun di era reformasi
dengan sistem multipartai sekarang ini mereka tidak lagi terpolarisasi ke suatu partai tertentu.
Kaum muda Tamil banyak juga yang aktif di organisasi kepemudaan seperti Pemuda Pancasila,
sehingga mereka semakin dalam terabsorbsi dengan lingkungan pergaulan dan kebudayaan
komunitas pribumi.

Penutup

Perjalanan sejarah kehadiran komunitas Tamil di berbagai wilayah Sumatera di masa lampau
menunjukkan bahwa arah orientasi social budaya mereka bergerak ke proses asimilasi dengan
penduduk tempatan, seperti yang bisa ditemukan di Karo, Aceh, Sumatera Barat dan Mandailing
Natal. Dalam kasus tersebut mereka melebur menjadi bagian integral dari etnik dan budaya
komunitas tempatan, sehingga sulit untuk mengidentifikasi sosok kultural mereka kecuali hanya
dari warisan penampilan fisik seperti dikemukakan oleh Hasan Muarif Ambari (2008).

Gejala yang sama juga terlihat kecenderunganya pada pendatang migrant Tamil kemudian, yaitu
mereka yang berpindah ke Sumatera Utara pada abad ke-19 dan sesudahnya. Proses-proses
adaptasi sosial budaya komunitas Tamil di Medan khususnya berlangsung lebih intensif dengan
komunitas-komunitas tempatan jika dibandingkan dengan orang-orang Punjab. Kenyataan bahwa
orang-orang Tamil telah terfragmentasi berdasarkan agama, membuat mereka lebih terbuka
untuk berubah, sehingga identitas ke-Tamil-an mereka berangsur-angsur hilang. Bahkan kalangan
Tamil Muslim sudah mengidentifikasi diri ke dalam komunitas yang dia masuki, dan kesatuan
sebagai sesama agama menjadi lebih kuat dibandingkan dengan kesatuan sebagai sesama warga
etnik Tamil.

Dalam era demokratisasi dan globalisasi dewasa ini, pilihan-pilihan baru tentu terbuka bagi warga
masyarakat Tamil di Sumatera Utara, apakah mereka akan mengikuti proses historis seperti yang
terjadi di masa lalu, yaitu secara perlahan melebur ke dalam kebudayaan yang dominan di suatu
negeri, atau kembali menumbuhkan kesadaran identitas mereka sebagai sebuah komunitas
sendiri dengan corak kebudayaan yang khas seperti yang mereka wariskan dari leluhur mereka.
Dengan penguatan paham multikulturalisme, dimana prinsip kesetaraan, penghargaan, pengakuan
dan penghormatan atas hak-hak kultural semua kelompok etnik dan budaya yang berbeda harus
diutamakan, maka pilihan untuk menguatkan kembali identitas ke-Tamilan- juga bukanlah sesuatu
yang tabu. Dengan prinsip multikulturalisme, kita memandang keanekaragaman suku dan
kebudayaan sungguh-sungguh sebagai sebuah mozaik indah yang membangun ke-Indonesia-an,
dan di sanalah hakikat Bhinneka Tunggal Ika terwujud. ***
BAHAN BACAAN :
Brahmaputro,
1979 Karo dari jaman ke Jaman; tanpa penerbit
BWS;
2001 Kampung Madras, Sebuah Potret Komunitas India di Medan; naskah buku
Gmelch, George & Walter P. Zerner,
1980 Urban Life : Readings in Urban Anthropology; State University of New York.
Mani, A.
1980 Indian in North Sumatera; dalam K.S. Sandhu & A. Mani “Indian Communities in
Southeast Asia; Times Academic Press”. Hal 46.
Napitupulu, Burju Martua
1992 Eksistensi Masyarakat Tamil di Kota Medan: Suatu tinjauan historis; skripsi
sarjana sejarah FS USU.
Pelly, Usman
1994 Urbanisasi dan Adaptasi : Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing.
Penerbit LP3ES; Jakarta.
Saifuddin Mahyudin, dkk
Biografi D. Kumarasamy; Naskah belum diterbitkan.
Sandhu K.S. & A. Mani (editors)
1981 Indian Communities in Southeast Asia; Times Academic Press

Sinar, Tengku Lukman,


2002 Sejarah Medan Tempo Doeloe; Cetakan kedelapan; tanpa penerbit
Y. Subbarayalu,
2003 Prasasti Perkumpulan Pedagang Tamil di Barus; Suatu Peninjauan Kembali; dalam
Claude Guillot (2002) “Lobu Tua Sejarah Awal Barus”; Yayasan Obor Indonesia
dan Pusat Penelitian Arkeologi & Association Archipel.

Anda mungkin juga menyukai