Artikel
Bandar Barus dalam Catatan Sejarah
J. Fachruddin Daulay
Staf Pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Sastra USU
BARUS, kota kecil di pantai barat Sumatera Utara ini, pernah mashur ke seluruh dunia, sebagai bandar dagang
yang mengekspor hasil kapur barus dan kemenyan berkualitas tinggi, yang sangat diminati pasar dunia. Barus
ramai dikunjungi pedagang-pedagang berbagai bangsa, bahkan orang-orang Tamil dari India Selatan sampai
menetap untuk berdagang. Tapi sekarang, Barus hampir terlupakan, nyaris seperti punahnya pohon kapur itu.
1. Pendahuluan
Gerakan-gerakan kedatangan orang-orang
India ke kawasan Asia Tenggara membawa serta
agama dan kebudayaan Hindu, bermula sekitar awal
tarikh Masehi. Yakni saat kekuatan kebudayaan Hindu
merambat dan mempengaruhi hampir semua bangsa di
dunia. Ketika itu India dan Cina adalah dua kekuatan
besar di Asia yang telah memiliki peradaban yang
kokoh dan sudah berkembang sejak ribuan tahun
sebelumnya. Kebudayaan intelektual agama Hindu
mempengaruhi kawasan Asia Tenggara yang sangat
jauh tertinggal. Sedemikian kuatnya dominasi politik
dan kebudayaan itu, Hall menegaskan barulah dengan
kedatangan pengaruh kedua bangsa besar ini, India
dan Cina, negeri-negeri di Asia Tenggara mulai
berkembang dan mampu mencapai tingkat yang lebih
tinggi (1987: 5).
Di Indonesia, setelah perhubungan dagang
dengan orang-orang India berlangsung selama
beberapa abad masuklah pengaruh unsur-unsur budaya
Hindu itu ke tengah-tengah budaya masyarakat
Indonesia. Dengan masuknya pengaruh Hindu telah
menimbulkan perubahan-perubahan besar dan sangat
mendasar terhadap perkembangan budaya Indonesia.
Terutama tampak dalam mengantarkan Indonesia
memasuki jaman sejarah, yakni dengan ditemukannya
keterangan-keterangan tertulis di Kutai (pedalaman
Kalimantan Timur) dan juga di Jawa Barat (kerajaan
Tarumanegara). Semua keterangan-keterangan tertulis
itu dengan angka tahun 400-500 Masehi.
Pada permulaan kegiatan perdagangan India
dengan Asia Tenggara tak segera berhubungan
langsung dengan Indonesia, tetapi tumbuh secara
bertahap hingga permintaan barang-barang dari Asia
Tenggara (Indonesia termasuk bagian dari kesatuan
wilayah perdagangan Asia Tenggara) diminati pasar
internasional. Perdagangan Asia Tenggara adalah
bagian dari kegiatan perdagangan internasional India
dengan Asia Barat yang telah berlangsung selama
beberapa abad sebelumnya.
Meskipun kontak luar negeri pertama
Indonesia adalah dengan India, akan tetapi keterangan
mengenai perdagangan Indonesia pada umumnya
berasal dari Cina. Berita Cina paling awal tentang
Jawa sudah ada pada abad ke-5, sedangkan tentang
Sumatera dan kepulauan Maluku baru ditemukan pada
abad ke-7. Kapur barus dan kemenyan sudah termasuk
HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum)
23
Artikel
Hindu di Sumatera Utara. Melalui Barus, juga
kerajaan Panei di Padang Lawas, masuk anasir-anasir
budaya Hindu ke tengah-tengah budaya masyarakat
tanah Batak. Terkadang Tapanuli disebut pula Tanah
Batak, yang ditegaskan Castles untuk menunjukkan
identitas etnisnya sebagai tempat tinggal sebagian
besar orang Batak. Istilah tanah Batak (Battalanden)
berasal dari Belanda dengan maksud untuk memberi
batasan unit pemerintahan baru yang dibentuknya
(2001: 2-3).
2. 1 Penulisan Sejarah
Akibat sumber-sumber sejarah yang langka,
maka hampir tak ada penelitian tentang sejarah Barus,
sehingga kita tak dapat mengetahui bagaimana unsurunsur dinamika masyarakatnya, sebab sejarah adalah
menggambarkan
proses
perkembangan
dan
menjelaskan peristiwa bagaimana kita sampai kepada
keadaan sekarang. Mengenai kurangnya perhatian
terhadap penelitian sejarah kita, khususnya sejarah
Barus, walaupun sangat tak memuaskan, tetapi
sebenarnya tidak perlu terlalu dirisaukan, sebab
keadaannya seolah-olah sudah terpola demikian,
secara umum sama dengan yang terjadi di Asia
Tenggara. Onghokham dalam Kata Pengantar buku
Anthony Reid (1992: xiii) mengungkapkan dari
seluruh sejarah Asia bahwa sejarah Asia Tenggara-lah
yang paling tidak mendapat perhatian, bahkan boleh
dibilang yang paling miskin penelitian sejarahnya
dibandingkan dengan Asia Timur dan Asia Selatan. Di
antara negara-negara Asia Tenggara, Indonesia masih
lebih beruntung, karena agak kaya dengan karya-karya
sejarahnya.
Lebih
jauh
Onghokham
mengakui
ketakberdayaan sejarawan karena dianaktirikan di
Indonesia termasuk di beberapa negara Asia Tenggara
lainnya. Oleh karena negarawan, politisi, dan juga
cendekiawan, sejarah dianggap tidak relevan dan tidak
dirasakan sebagai kebutuhan untuk mengenal dirinya,
dan bahkan lebih aneh lagi mereka menolak untuk
mengenal dirinya sendiri. Selama kaum pembuat
kebijakan atau pembenar kekuasaan berpendapat
sejarah hanya untuk melegitimasi dan membenarkan
HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum)
J. Fachruddin Daulay
Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
24
Artikel
2. 2 Perdagangan Kapur Barus
Barus telah disebut-sebut Ptolomeus karena
kedudukannya amat penting sebagai bandar
internasional
yang
memperdagangkan
dan
mengekspor sejenis getah atau damar pohon yang
wangi, yang dinamakan kamfer atau kapur barus
(dryabanalops camphore), di samping damar
kemenyan (styrax benzoin dryander). Kedua jenis
komoditi ini nilainya sangat tinggi pada jaman purba
dan hanya diperoleh di pelabuhan Barus. Ada
keterangan yang menyebutkan kapur barus dari
Indonesia pernah digunakan untuk pengawet mumi
raja-raja Mesir purba. Dalam catatan Cina yang
berdagang kapur barus dan kemenyan dari Sumatera
pada abad ke-7 diketahui kapur barus dan Barus
adalah yang paling murni sifatnya (Drakard, 2003:
17). Oleh karena mutunya yang tinggi itu, maka
harganya jauh lebih mahal dari hasil kamfer negerinegeri lain. Siahaan yang mengutip Marco Polo
menyebut harganya bahkan dibayar dengan emas
sebanding beratnya (1964: 27). Marco Polo dalam
perjalanan dari Cina ke Persia singgah di Aceh, karena
kapalnya mengalami kerusakan dan terpaksa tinggal
selama beberapa hari untuk memperbaikinya. Polo
sedang mengantar seorang putri Mongol untuk Khan
Persia yang permaisurinya meninggal.
Dari laporan Belanda pada abad ke-17
diketahui bahwa pohon kapur barus dan perdu
kemenyan tumbuh di daerah perbukitan yang terjal,
ialah terletak antara tanah pantai yang datar dan
dataran tinggi Toba. Dewasa ini pohon kapur tak
tumbuh
lagi,
tidak
diketahui
apa
yang
menyebabkannya. Kecuali pohon keme-nyan masih
tumbuh bertahan di beberapa tempat di Tapanuli Utara
seperti di Parlilitan, Dolok Sanggul, Pangaribuan,
Pahae, dan lain-lain. Walaupun tak pernah
dibudidayakan, pohon kemenyan tumbuh secara
alami, tetapi sumber penghasilannya tergolong
primadona bagi income kabupaten ini.
Sedikit penjelasan mengenai pohon kapur
barus dikemukakan Sangti bahwa jenis pohon ini juga
dijumpai di Kalimantan, Korea, dan Manchuria.
Tetapi jenis pohon yang tumbuh di tempat-tempat lain
itu berbeda dengan yang ada di Barus. Jenis pohon di
Korea dan Manchuria itu dalam bahasa Latin dikenal
sebagai cinnamomum camphore dari golongan
lauraceae, sedangkan kayu kapur dari Barus termasuk
golongan pohon meranti jenis diperocarpaciae (1977:
76-77).
Perdagangan laut antara India, Cina, dan
Indonesia mulai berlangsung dalam abad pertama
sesudah Masehi. Ketika itu rempah-rempah, kayu
wangi, kapur barus dan kemenyan dari Indonesia telah
sampai di India dan kekaisaran Romawi (Burger,
1962: 15). Kapur barus dan kemenyan hampir
dipastikan berasal dari Barus, sebab tak dijumpai
25
Artikel
kemenyan, sekaligus sebagai pelabuhan yang
membarternya. Dengan demikian Barus telah tumbuh
dan berkembang menjadi pusat dan bandar
perdagangan terkemuka di bagian barat Indonesia.
Hingga saat itu belum tercatat adanya kota-kota
pelabuhan lain di Indonesia berkedudukan sebagai
pusat perdagangan. Artinya, Barus merupakan bandar
perdagangan pertama dan yang tertua di Nusantara.
Jika bukan karena Ptolomeus, lama sekali
baru diperoleh keterangan mengenai Barus. Setelah
keterangan Ptolomeus, keterangan mengenai Barus
barulah ditemukan pada abad ke-7, berasal dari
sumber Cina, itu pun tidak menyebutkan secara
langsung nama Barus, kecuali perdagangan kapur
barus dan kemenyan dari Sumatera, dalam kaitan ini
tentulah yang dimaksudkan Barus. Sumber-sumber
Arab menyusul pada abad ke-9. Ibn Chord Hadhbeh
menyebut Balus (maksudnya Barus), tahun 846.
Kemudian tahun 851, seorang Arab lainnya bernama
Suleman menyebut Fansur dekat Barus (beberapa
sumber menuliskan Barus mempersamakannya
dengan Fansur, terkadang dieja dengan Pansur, atau
Panchur). Ibn Bathutah ada pula mencatat Cakola (=
Angkola), tahun 1345.
Dari catatan-catatan Cina maupun Arab yang
disebutkan, tetap menyisakan pertanyaan, apakah
sampai abad ke-9 orang-orang Cina, Arab, dan India,
benar-benar telah mengunjungi Barus, masih belum
jelas. Kecuali sekitar abad ke-10 ada bukti yang
memberikan kesan bahwa para pedagang dari Timur
Tengah secara langsung telah mendatangi pantai barat
Sumatera untuk mencari kapur barus dan kemenyan.
Orang-orang Eropa berikutnya (kecuali Tome
Pires) seperti Nicola Di Conti (1449), Advardus
Barbosa (1516), De Barros (1563), dan Beaulieu
(1622), pada umumnya meriwayatkan tanah Batak.
26
Artikel
pengetahuan astrologi, sejumlah kata-kata Sansekerta,
pertanian irigasi termasuk beberapa alat pertanian,
pertenunan dan kesenian, permainan catur, beberapa
konsep dan praktek keagamaan, sebagian marga
Sembiring, upacara kurban dalam hubungan pertanian,
organisasi masyarakat dalam klen-klen berkaitan
dengan totemisme, adat perkawinan eksogami, dan
lain-lain (Neumann, 1972: 25-27; Sangti, 1977: 85;
Castles, 2001: 5; Siahaan, 1964: 23, 27). Perkataan
marga (klen) sendiri dalam istilah bahasa Batak
berasal dari bahasa Sansekerta, varga.
Mengenai dari mana masuknya orang-orang
Tamil hingga sampai di Barus, masih belum dapat
diketahui dengan jelas. Dalam Kronik Hulu (Asal
Keturunan Raja Barus) dikisahkan di Lobu Tua, Guru
Marsakot (salah seorang dari dua putera Raja Alang
Pardoksi, pendiri garis keturunan baru di Barus)
berjumpa dengan orang Tamil dan Hindu yang
terdampar kapalnya. Kemudian Guru Marsakot
dijadikan raja mereka (Drakard, 2003: 28). Menurut
keterangan ini diperkirakan orang-orang Tamil tiba di
Barus dengan menyusuri pantai barat Sumatera, bukan
melalui jalan darat.
27
Artikel
Para penguasa pribumi (dalam konteks ini raja-raja
Barus) sebagai penguasa pemerintah, juga adalah
penguasa perdagangan. Mereka berkedudukan sebagai
pedagang perantara kapur barus dan kemenyan yang
dikumpulkan oleh orang-orang Batak dari pedalaman,
kemudian memperdagangkannya kepada para
pedagang asing. Meskipun di antara raja di Hulu dan
raja di Hilir terpendam perasaan cemburu mengenai
rejeki hasil perdagangan, tetapi itu tidak menyebabkan
pecahnya peperangan.
6. Penutup
Barus sebagai pusat perdagangan kapur barus
dan kemenyan sejak jaman purba ramai dikunjungi
para pedagang, termasuk pedagang asing seperti Cina,
India, Arab, dan lain-lain. Raja-raja Barus menjadi
penguasa perdagangan dan berkedudukan sebagai
pedagang perantara dengan para pedagang asing.
Orang-orang Batak mengumpulkan kapur barus dan
kemenyan di pedalaman, kemudian mengangkutnya
ke pantai. Meskipun antara kedua raja di Barus
terdapat persaingan, tetapi sifatnya terselubung,
sehingga perdagangan tak pernah terganggu, sebab
mereka mempunyai daerah pengaruh masing-masing
penghasil kapur barus dan kemenyan di pedalaman.
Kemunduran
Barus
sebagai
pusat
perdagangan terjadi secara bertahap, berawal ekspansi
Aceh ke wilayah pesisir barat Sumatera, menyusul
monopoli VOC dan lenyapnya wewenang dan
kedudukan raja-rajanya.
Daftar Pustaka
Burger, D.H.; Prajudi Atmosudirdjo, Sejarah
Ekonomis Sosiologis Indonesia, jilid I, Jakarta:
Pradnya Paramita, 1962.
Castles, Lance, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan
di Sumatera : Tapanuli 1918-1940, Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2001.
Drakard, Jane, Sejarah Raja-Raja Barus: Dua Naskah
dari Barus, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2003.
Hall, D.G.E., Sejarah Asia Tenggara, Kuala Lumpur;
Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian
Pelajaran Malaysia, 1987.
Harahap, E. St., Perihal Bangsa Batak, Jakarta: Dep.
PP. dan K., 1960.
Loeb, Edwin M., Sumatera Its History and People,
Kuala Lumpur: Oxford University Press /
Oxford in Asia Paperbacks, 1981.
Neumann, J.H., Sejarah Batak Karo Sebuah
Sumbangan, Jakarta: Bhratara, 1972.
Pires, Tome, Tentang Malaka, dalam Sartono
Kartodirdjo, ed., Masyarakat Kuno &
Kelompok-kelompok Sosial, Jakarta: Bhratara
Karya Aksara, 1977.
Putuhena, M. Saleh A., Sejarah Agama Islam di
Ternate, dalam Majalah Ilmu-ilmu Sastra
Indonesia, Jakarta: Bhratara, no. 3, jilid VIII,
1980.
Reid, Anthony, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga
1450-1680, terj. Mochtar Pabotinggi, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1992.
Sangti, Batara, Sejarah Batak, Balige: Karl Sianipar
Company, 1977.
J. Fachruddin Daulay
Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
28
Artikel
Siahaan, N., Sejarah Kebudayaan Batak, Medan: CV
Napitupulu & Sons, 1964.
Vlekke, Bernard H.M., Nusantara (Sejarah
Indonesia), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia,
1967.
J. Fachruddin Daulay
Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005