A. Pendahuluan
Jauh sebelum Jakarta berkembang menjadi kota metropolitan seperti saat
ini, dahulu Jakarta adalah kota pusat perniagaan VOC dengan nama Batavia.
Sebenarnya, pada saat berdirinya VOC pada 20 Maret 1602, VOC tidak
langsung menjadikan Batavia sebagai pusat administrasinya tetapi Ambon di
Kepulauan Maluku. Lalu, pada saat pergantian jenderal VOC dari Laurens
Reael ke Jan Pieterszoon Coen dipindahkan ke Jayakarta1 dari situ Jayakarta
diubah namanya menjadi Batavia sebagai bentuk nederlandisasi suatu wilayah
yang sudah berhasil ditaklukan. Di dalam perkembangannya, Batavia tumbuh
pesat menjadi kota pelabuhan yang ramai, dikarenakan posisinya yang sangat
strategis yaitu dekat dengan Pelabuhan Sunda Kelapa dan menjadi jalur
pelayaran internasional pada saat itu. Dari dinamika tersebut, bermunculan
pedagang dan saudagar yang singgah dan akhirnya menetap membentuk
koloni. Adanya perdagangan membentuk interaksi antara keduanya yang
akhirnya semakin lama melebur dan berakulturasi membentuk entitas yang saat
ini dikenal sebagai Orang Betawi. Dalam bukunya Batavia 1740 : Menyisir
Jejak Betawi, Windoro Adi menjelaskan tentang lahirnya etnis Betawi yang
menjadi identitas kebudayaan masyarakat Jakarta saat ini. Betawi sendiri lahir
karena adanya interaksi antara penduduk asli dengan pendatang asing dari
Arab, Gujarat, Tiongkok, dan India. Karena, pada abad 16, Batavia merupakan
melting pot dari berbagai pedagang yang masuk yang diantaranya sudah
1
Tahun 1522, Jayakarta pada awalnya merupakan daerah vassal yang berupa pelabuhan
bernama Sunda Kelapa dari Kerajaan Pajajaran, tetapi sudah diambil alih oleh Kesultananan
Demak karena Demak tidak setuju dengan Perjanjian Sunda-Portugal (Padrão) yang pada saat itu
sedang dalam puncak kejayaan. Hal ini tidak lepas dari adanya perebutan pelabuhan penting
yaitu Sunda Kelapa. Lalu pada 22 Juni 1527, Demak menyerang dibawah pimpinan Sultan
Fatahillah dan menang serta memukul mundur Portugis ke Malaka, yang akhirnya berganti nama
dari Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang artinya Kemenangan yang Gemilang. Saat ini, setiap
tanggal 22 Juni diperingati sebagai hari jadi Kota Jakarta.
disebutkan diatas. Terlepas dari fakta bahwa Betawi bukan merupakan
kebudayaan asli melainkan hasil akulturasi. Justru hal itu menambah khazanah
kebudayaan yang sangat beragam. Akhirnya, waktu berselang budaya Betawi
pun tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kearifan lokal yang hingga saat
ini masih eksis walaupun tergerus oleh derasnya arus globalisasi.
Tentunya, sebagai kearifan lokal yang sudah lama berkembang. Etnis
Betawi banyak melahirkan dan meninggalkan hasil kebudayaan yang beraneka
ragam. Salah satunya adalah folklore atau cerita rakyat yang sangat melegenda
dan kontroversial sampai saat ini, yakni Si Pitung. Dalam buku Batavia 1740 :
Menyisir Jejak Betawi, cerita rakyat si Pitung mendapatkan bagian tersendiri di
dalam Hikayat Rawa Belong. Kisah si Pitung ini secara turun temurun
disampaikan, si Pitung merupakan pemuda berani yang menyuarakan
kebebasan dan membantu rakyat kecil yang tertindas dari praktik licik
monopoli Belanda (red. VOC). Cerita rakyat si Pitung sering dikaitkan dengan
kisah heroine dari Inggris, Robin Hood hingga muncul istilah Pitung, Robin
Hood dari Betawi. Secara konteks memang tidak jauh berbeda tetapi secara
konsep ruang dan waktu sudah sangat berlainan. Akan tetapi, yang menjadi inti
permasalahan disini bukan mengenai term atau istilah tersebut, melainkan
tradisi lisan si Pitung itu sendiri apakah dapat dijadikan sumber sejarah yang
dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan kesahihannya sebagai bahan
untuk menulis sejarah tentang perlawanan kolonialisme di Batavia. Yang
menjadi titik berat disini adalah kritik dan analisis terhadap cerita rakyat si
Pitung. Hal ini akan berdampak signifikan terhadap sejarah yang membuktikan
bahwa tidak hanya di Maluku dengan Kapiten Pattimura dan Marsha Christina
Tiahahu, lalu Bali dengan I Gusti Ngurah Rai, serta Aceh dengan Cut Nyak
Dien, namun ternyata Batavia memiliki pahlawan mereka sendiri yaitu Pitung.
Tulisan ini juga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
memutuskan nama Pitung dapat diperhitungkan sebagai pahlawan nasional,
dan lebih dari itu, lewat tulisan ini penulis berusaha menyampaikan bahwa
walaupun Batavia berada dalam tekanan VOC, masyarakat Betawi tidak diam
begitu saja, sehingga stereotip yang berkembang saat itu bahwa orang Betawi
tidak memiliki nyali dan keberanian untuk melawan VOC dapat terbantahkan.
B. Isi
1) Asal-usul Si Pitung
Si Pitung merupakan cerita kolektif masyarakat Betawi semasa kolonial
Belanda. Si Pitung berkisah pada tahun sekitar 1900 yang berkembang dan
terkenal di lingkungan Batavia, bercerita mengenai bandit yang sering
melakukan pencurian dan membuat onar di daerah pinggiran Batavia atau
Ommelanden. Kisah si Pitung sebagai bandit adalah hasil interpretasi
Margreet van Till dalam bukunya Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan
Senjata Api, menurutnya si Pitung adalah orang yang berada paling atas di
daftar pencarian Commisariaat van Politie (Komisaris Kepolisian). Saat itu,
Hinne, seorang schout atau seperti Polisi Pamong Praja zaman kolonial.
Beberapa surat kabar sempat mengabarkan mengenai keberadaan Pitung
seperti Hindia Olanda, koran berbahasa Melayu pada 18 Juni 1892. Pitung
ditengarai oleh pihak kepolisian Belanda sebagai pelaku adanya penjarahan
di beberapa toko yang dimiliki oleh etnis Tionghoa. Majalah komunitas
kaum Indo-Belanda juga pernah memberitakan terkait pertikaian I.H. Misset
dan Hinne yang selalu gagal membendung masalah perampokan yang
terjadi di sekitar daerah Ommelanden.
Si Pitung berdasarkan silsilahnya adalah anak dari seorang Betawi asli
yang bernama Bang Piung dan Mpok Minah. Dari garis keturunan ayah ke
atas bermuara pada sebuah nama Ki Aria Surawinata, seorang pejabat
pemerintahan Kesultanan Banten setingkat Bupati di daerah Sampora, yang
kemudian hari oleh Belanda dibujuk dan diangkat menjadi seorang Letnan
di daerah Luar Batang Batavia. Profesi Bang Pi’un adalah sebagai
pengunduh (berkeliling kampung mencari ladang buah, dibeli dan diperam
untuk kemudian dijual di pasar). Pada masa itu profesi pengunduh ini
termasuk dalam kategori kalangan cukup lumayan untuk ukuran orang
kampung. Si Pitung lahir di Desa Pengumben, Rawa Belong sekitar tahun
1874. Si Pitung belajar di pesantren milik Haji Naipin. Sebenarnya Pitung
bukan merujuk nama seorang saja, tetapi sebuah kelompok yang diketuai
oleh seorang jago2 bernama Salihoen yang ditengarai sebagai dalang dari
2
Jago adalah tradisi asli masyarakat Betawi, yaitu ahli silat. Menurut J.J. Rizal, jago mendapat
kedudukan penting bagi masyarakat Betawi, pasalnya pihak kolonial selalu menekan masyarakat
segala tindakan kriminalisme di Ommelanden. Sebenarnya Pitung
merupakan ungkapan bahasa Jawa Cirebon-Banten yang setelah abad ke 17
3
terjadi eksodus besar (sebagai tenaga penggali kanal Molenvliet (Abdul
Hakim, Jakarta Tempo Doeloe : 1998) di Batavia, yaitu pitungan, yang
berarti bertujuh. Kemudian kata ini berkembang menjadi Pituan Pitulung,
yang apabila diterjemahkan bermakna sebagai kelompok dengan tujuh
orang yang saling tolong menolong dalam aksi perlawanan terhadap tuan
tanah, dengan cara merampok dan menguras harta benda yang didapat dari
hasil memeras rakyat kecil. Pada awalnya hasil rampokan dibagikan kepada
masyarakat kecil yang membutuhkan, namun kemudian terjadi perselisihan
yang akhirnya misi mulia ini dikesampingkan. Menurut harian berbahasa
Belanda Lokomotief bahwa keterangan kelompok ini membagi-bagikan hasil
rampokannya kepada masyarakat kecil tidak benar.
Ketujuh orang atau Pitung ini diketuai oleh Salihun dan Ji’i (Saroji) yang
tinggal di Kemandoran, Rawa Belong, dengan beranggotakan Abdulrahman
pemuda tanggung peranakan Arab asal Krekot, Daeng Merais, Jawara
Legoa berdarah Bugis, Mat Jebul yang sebelum bergabung adalah seorang
merbot di Cawang dan Tocang Gering, bekas kuli panggul Pasar Ikan yang
peranakan Tionghoa Kampung Dadap, Tangerang, serta yang paling
terakhir bergabung, Mujeran anak Depok murid Haji Majid seorang pribumi
kaya yang juga guru silat Ji’i. Haji Majid adalah teman santri Haji Naipin
sewaktu mondok di Pesantren daerah Menes Banten. Dalam setiap aksinya
baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri, selalu menggunakan nama
“Pitung”. Namun ditenggarai bahwa yang selama ini dianggap sebagai
sosok si Pitung adalah yang bernama Salihun. Nama ini ditemukan dalam
surat Berita Acara Pemerikasaan (BAP) ketika dirinya bersama Ji’i pertama
kali tertangkap dan mendekam di penjara Cipinang. Dengan tanda tangan
berbentuk silang kecil, yang menandakan bahwa Salihun ini seorang yang
Betawi. Hal ini juga dikuatkan dengan pendapat Abdul Chaer dalam bukunya Betawi Tempoe
Doeloe : Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi bahwa jago menjadi simbol menentang
kolonialisme sekaligus bentuk protes terhadap pemerintahan Hindia-Belanda di Batavia, selain itu
jago dianggap sebagai pahlawan pelindung rakyat.
3
Merupakan nama kanal yang dibangun pada tahun 1648. Sistem kanaal dalam bahasa Belanda,
merupakan sistem pengairan yang berada di dalam tembok luar kota Batavia pada abad 17. Salah
satunya Molenvliet berasal dari kata molen yang berarti kincir dan vliet yang berarti aliran.
buta huruf (Margreet Van Till, The Search of Si Pitung, History of The
Indonesian Legend).
Karena kelihaiannya Salihun dan Ji’I berhasil melarikan diri dengan cara
memanjat tembok penjara dengan beliung. Diperkirakan beliung ini telah
dipersiapkan kawanan penjahat anak buah Rais yang telah lebih dulu
mendekam di Cipinang. Beliung ini pada akhirnya menjadi senjata andalan
Salihun untuk melakukan aksi perampokan selanjutnya. Salihun
diperkirakan dilahirkan di Pengumben, Sukabumi Ilir, masuk wilayah Rawa
Belong pada tahun 1864. Tanu Trh dalam majalah Intisari pernah
menggambarkan tentang sosok Pitung secara terperinci, berperawakan kecil
namun kekar, dengan tinggi sekitar 155-157cm, berambut ikal dengan
cambang tipis melingkar ke depan pipinya.
Salihun pertama kali mengenal maen pukulan atau Pencak Silat dari
ayahnya yang menguasai Jingkrik atau Cingkrik, Cingkrik dikenal secara
luas sebagai maenpukulannya orang Rawa Belong. Perihal siapa gurunya
Bang Pi’un tidak diketahui dengan jelas. Oleh ayahnya, Salihun dititipkan
untuk belajar agama di Kampung Rawa Bebek kepada Haji Naipin yang
berasal dari Menes, Banten. Kecendrungan untuk mempercayakan orang
sekampung (Kulon) sebagai guru Salihun menjadi pertimbangan utama buat
Bang Pi’un. Guru agama di Betawi zaman dulu juga mempunyai keahlian
dalam ilmu silat. Dari Haji Naipin selain mendapat pelajaran agama,
Salihun juga belajar silat Cimande-Sera’.
Merasa telah cukup membekali ilmu agama dan silat, Haji Naipin
menitipkan Salihun kepada seorang guru tarekat di Pecenongan yang
bernama Sapirin bin Usman bin Fadli atau yang terkenal dengan sebutan
Guru Cit (singkatan Guru Mursyid). Dari Guru Cit, Salihun mendapatkan
pelajaran tarekat.
Perkenalan Salihun dengan Daeng Merais (Rais) yang jawara Legoa asal
Bugis, terjadi ketika hasil jualan milik ayahnya di pasar Tenabang dicuri
Rais dan kawan-kawan. Salihun yang dibantu Ji’i berhasil menaklukan
gerombolan ini, sehingga terjadi kesepakatan diantaranya untuk menjalin
persekongkolan. Pertemuan inilah yang membuka jalan ke dunia kriminal
Salihun dan Ji’i sehingga terkenal dengan Si Kelompok Tujuh atau “Si
Pitung”.
Salihun berhasil menggeser kedudukan Rais sebagai ketua Gang karena
kepiawaiannya bermain silat dan siasat. Hal ini dibuktikan dengan
pemakaian cukin di pundak Salihun, yang pada masa itu penggunaan cukin
di pundak merupakan simbol jawara atau jago silat yang telah teruji.
Penggunaan cukin pada jawara Betawi disinyalir sebagai bentuk pengaruh
kebudayaan Cina Selatan, dimana setiap pendekar Kuntao selalu
menggunakannya. Cukin berasal dari bahasa Hakka: chiu-kin, Chiu berarti
gerah atau keadaan tidak nyaman dan Kin yang berarti kain. Disinyalir kata
kain berasal dari kata kin ini. Pada masa kini pria Betawi cenderung
menggunakan kain sarung sebagai pengganti cukin. Hal ini dimungkinkan
sebagai bentuk metamorphosis kebudayaan Tionghoa ke dalam kebudayaan
Betawi yang agamis.
Di kelompok Pitung ini terjadi sharing ilmu silat, Rais menularkan silat
Sinding kepada Salihun. Dari Tocang Gering, Salihun dan Ji’i dikenalkan
dengan permainan Kuntao dan senjata silat orang Cina, termasuk
menggunakan senjata ledak tobangji (pistol). Aksi kriminal pertama Salihun
dan Ji’I sebagai gembong kelompok ini telah mengangkat namanya sebagai
orang incaran polisi nomor satu di Batavia, dengan dihargainya kepala
mereka berdua sebesar 400 gulden (Hindia Olanda 2-5-1893:2). Kompeni
menganggap kelompok ini sangat berbahaya karena dalam setiap aksinya
tidak memandang siapa target incaran orang-orang kaya pada waktu, baik
pria, wanita, orang asing atau pribumipun menjadi korbannya. Alasan inilah
yang digunakan polisi untuk memburu Salihun dan kawan-kawan.