Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

FILSAFAT SEJARAH
Keterangan Historis
( Covering Low Model (CLM), Hermeneutika dan Kausalitas)

Dosen Pengampu :
Abdurrahman, S.Pd., M.Hum

DisusunOleh : Kelompok 5

Maisi Fadillah(I1A117046)
Mitra Lisnawati(I1A117048)
Dewi Puspita sari (I1A118011)
Rita Kusna Ningsih (I1A118039)
Putri Juningsih (I1A118051)
Fatimah Sustita Azzahra (I1A118049)

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020/2021
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan ridho-
Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Keterangan Historis ( Covering
Low Model (CLM), Hermeneutika dan Kausalitas)”. Makalah ini disusun sebagai salah satu
tugas mata kuliah Filsafat Sejarah.Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dosen
pengampu mata kuliah Filsafat Sejarahyang telah membimbing dan memberikan ilmunya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu serta kepada semua
pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga makalah
ini dapat di selesaikan dengan sebaik-baik nya.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam dalam penulisan makalah
ini, baik dalam hasil maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh sebab itu kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat penulis butuhkan untuk kesempurnaan makalah
selanjutnya. Semoga kedepannya makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri
maupun bagi para pembaca.

Jambi, 12 Maret 2021

Penulis
Daftar Isi

Kata Pengantar.......................................................................................i
Daftar Isi...............................................................................................ii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................3
B. Rumusan Masalah.....................................................................3
C. Tujuan........................................................................................3
BAB II : PEMBAHASAN
A. Covering Low Model (CLM)....................................................5
B. Hermeneutika............................................................................6
C. Kausalitas..................................................................................8
BAB III: PENUTUP
Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Sejarah merupakan sebuah kajian yang menyajikan sebuah rincian perihal masa
lampau, dimana ketika sejarah ditulis dengan baik, maka dapat mempengaruhi sebuah
peradaban, sebuah tantanan masyarakat di kehidupan selanjutnya. Pengertian sejarah sendiri
menurut bapak sejarah, Herodotus, “Sejarah ialah suatu kajian untuk menceritakan suatu
perputaran jatuh bangunnya seseorang tokoh, masyarakat dan peradaban”.Eksplanasi sejarah
merupakan sebuah aspek penting dalam metodologi penulisan sejarah, dimana eksplanasi
berguna untuk mengembangkan, menganalisis dan menjelaskan hubungan dari setiap fakta
maupun fenomena yang ada di masa lalu.Eksplanasi digunakan dalam arti biasa menurut D.H
Fitcher bahwa eksplanasi membuat terang, jelas, dapat dimengerti sebuah cacatan penelitian
sejarah.Eksplanasi sejarah membutuhkan kausalitas yang menjelaskan mengapa suatu
peristiwa sejarah bisa terjadi. Kausalitas merupakan prinsip sebab-akibat yang ilmu dan
pengetahuan yang dengan sendirinya bisa diketahui tanpa membutuhkan pengetahuan dan
perantaraan ilmu yang lain dan pasti antara segala kejadian, serta bahwa setiap kejadian
memperoleh kepastian dan keharusan serta kekhususan-kekhususan eksistensinya darisesuatu
atau berbagai hal lainnya yang mendahuluinya, merupakan hal-hal yang diterima tanpa ragu
dan tidak memerlukan sanggahan. Keharusan dan keaslian sistem kausal merupakan bagian
dari ilmu-ilmu manusia yang telah dikenal bersama dan tidakdiliputi keraguan
apapun.Menurut Sartono Kartodirdjo kausalitas merupakan hukum sebab-akibat mengenai
suatu peristiwa. kausalitas sejarah adalah sebab terjadinya peristiwa sejarah. Pengertian
Kausalitas dalam Sejarah dalam ilmu sosial, hukum sebab-akibat tidak dapatditegakkan
secara penuh, terlebih lagi dalam ilmu sejarah yang ilmuwannya tidak dapat mengamati
secara langsung peristiwa yang sudah lampau. Sejarawan yang sering mengamati, meneliti,
dan merekonstruksi fakta-fakta, sulit untuk merumuskan sebab-sebab umum. Sebab
sejarawan terkendala pada subjektifnya. Maka harus menurunkan fakta-fakta dari dokumen
yang dinilai eviden. Kemudian dengan imajinasinya sejauh mungkin dalam sejarah sejarawan
merekonstruksi fakta

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah:


1. Apa itu Covering Law Model (CLM) ?
2. Apa itu Hermeneutika ?
3. Apa itu Kausalitas ( Konsep Sebab dalam Sejarah) ?
C. Tujuan

Adapun tujuan masalah dari makalah ini adalah:


1. Untuk mengetahui apa itu Covering Law Model (CLM).
2. Untuk mengetahui apa itu Hermeneutika.
3. Untuk mengetahui apa itu Kausalitas ( Konsep Sebab dalam Sejarah).

BAB II

PEMBAHASAN

A. Covering Law Model (CLM)

CLM adalah model yang dikembangkan oleh Hempel (1959: 344-356) untuk
memberikan penjelasan sejarah. Model ini berawal dari pikiran Hume (1712-1776) seorang
filosuf berasal dari Skotlandia. Hematnya, alam diatur oleh hukum-hukum tertentu, demikian
pula perbuatan manusia harus tunduk kepada prinsip-prinsip tertentu yang konstan dan
universal. Pendapat ini kemudian didukung oleh Auguste Comte (1798-1857) dengan aliran
positivismenya yang mengusung hanya satu jalan untuk mencapai pengetahuan yang benar
dan dipercaya-entah apa obyek penelitiannya apakah alam hidup, alam mati, sejarah dan
sebagainya, yaitu menerapkan metoda-metoda ilmu eksakta.
Pengaruh kuat aliran postivis ini merasuk pada pikiran Hempel. Ia dalam teorinya yang
dikenal dengan covering law model (CLM), mengklaim, bahwa dalam mengeksplanasi suatu
peristiwa berarti menunjukan suatu pernyataan yang dapat dideduksikan dari (1) pernyataan-
pernyataan tertentu tentang kondisi yang mendahuluinya atau yang terjadi secara bersamaan,
dan (2) hukum-hukum atau teori-teori universal tertentu dapat diuji secara emperik.
Untuk memudahkan pemahaman dari pandangan Hempel dengan CLM-nya, kita dapat
mengambil contoh. Bagaimana tentara Irak dibawah Sadam Husein dapat diporak-
porandakan oleh tentara Amerika pada tahun 2003?. Pertanyaan ini jika diterangkan menurut
pola pikir CLM berbentuk sebagai berikut:
(1). Selalu, bila musuh menyerang dengan kekuatan militer yang kuat dan canggih, terlebih
dapat mendominasi udara, maka perlawanan dapat dihentikan,
(2) . Tentara Amerika dengan jelas dapat memperlihatkan keunggulan militernya bila
dibandingkan dengan tentara Irak.
Contoh lainnya adalah bagaimana ketika negara-negara dikenal dengan sebutan Newly
Industrial Economics ( NIES) di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia dan Thailand
pada dekade 70an-80an mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat? Pertanyaan ini
jika diterangkan sama seperti di atas maka bentuknya sebagai berikut:
(1). Selalu, bila suatu negara yang membangun dengan teori pembangunan pertumbuhancepat
(rapid growth) akan cepat mengalami pertumbuhan ekonominya.
(2). Teori pembangunan pertumbuhan cepat ( rapid growth) adalah resep yang palinghandal
untuk memajukan pertumbuhan suatu negara.
Dari contoh dua pertanyaan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa peristiwa yang
ingin diterangkan ( eksplanandum ) diterangkan dengan memuaskan (eksplanasi). Sebab
dalam CLM eksplanandum disimpulkan melalui sebuah deduksi logis dari sebuah ucapan
nomologis (yang bersifat pola hukum). Untuk itu CLM sering juga disebut model deduktif-
nomologis. Pernyataan penjelasan CLM mengelitik bagi para penentangnya. Bagi para
penentang CLM penjelasan yang dianut oleh penganut CLM sangat naif. Bukankah
perlawanan pejuang Irak terhadap tentara Amerika sampai saat ini semakin membahana.
Bukankah negara yang tergabung dalam NIES memasuki tahun 2000an paling tidak
Indonesia dalam pertumbuhan ekonominya sangat tertatih-tatih, kalau tidak ingin disebut
tersungkur.
Apabila dicermati pandangan CLM ini sangat deterministik yaitu kausalitas dalam
fenomena historis hanya dikembalikan kepada satu faktor saja. Faktor itu melulu dianggap
sebagai faktor tunggal yang menjadi faktor kausalitas. Salah seorang penentang CLM
bernama Morton White(1959:361), menyatakan bahwa eksplanasi sejarah terutama
merupakan suatu kesempatan untuk menjawab pertanyaan mengapa (why)? Bukan
merupakan sebab yang alami. Suhu banyak sejarawan di Indonesia, yaitu Sartono Kartodirdjo
yang saat ini menjadi professor emeritus di Universitas Gadjah Mada dengan aliran Bulak
Sumurnya menjawab pertanyaan mengapa dalam penjelasan sejarah adalah dengan
menggunakan pendekatan multi dimensional.
Pendekatan multidimensional yang ditawarkan oleh Sartono semakin dipahami ketika
kita membaca karya Peter Burke , yaitu History and Social Theory ( 1993 ). Buku itu pada
tahun 2001diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh yayasan Obor
Indonesia. Dalam bukunya Burke (2001) selain membincangkan bagaimana para sosiolog
dan sejarawan saling menggunakan konsep-konsep dari masing-masing disiplin, dan
berupaya juga menjelaskan mengapa dan bagaimana sejarawan dan ilmu-ilmu sosial perlu
memperdalam apresiasi mereka terhadap hasil kerja sejawat diluar disiplin masing-masing
dan meninggalkan dialog take and give dalam persoalan serius seperti masalah epistemologi
dan konstruk-konstruk dari masing-masing disiplin.

B. Hermeneutika
Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi
makna. Nama hermeneutika diambil dari kata kerja dalam bahasa yunani hermeneuein yang
berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan. Jika dirunut lebih lanjut,
kata kerja tersebut diambil dari nama Hermes, dewa Pengetahuan dalam mitologi Yunani
yang bertugas sebagai pemberi pemahaman kepada manusia terkait pesan yang disampaikan
oleh para dewa-dewa di Olympus.
Hermeneutik secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat tentang
interpretasi makna. Kata hermeneutika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani dari kata kerja
hermeneuin, yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermenia, “interpretasi”. Sedangkan
pengertian hermeneutik secara istilah adalah sebuah teori tentang operasi-operasi pemahaman
dalam hubungannya dengan teks.
Secara sederhana, hermeneutika diartikan sebagai seni dan ilmu untuk menafsirkan
teks-teks yang punya otoritas, khususnya teks suci. Dalam definisi yang lebih jelas,
hermeneutika diartikan sebagai sekumpulan kaidah atau pola yang harus diikuti oleh seorang
mufassir dalam memahami teks keagamaan. Namun, dalam perjalanan sejarahnya,
hermeneutika ternyata tidak hanya digunakan untuk memahami teks suci melainkan meluas
untuk semua bentuk teks, baik sastra, karya seni maupun tradisi masyarakat.

Sejarah Hermeneutika
Jika asal kata hermeneutika diruntut, maka kata tersebut merupakan derivasi dari kata
Hermes, seorang Dewa dalam mitologi Yunani yang bertugas menyampaikan dan
menjelaskan pesan (message) dari sang Dewa kepada manusia. Menurut versi lain dikatakan
bahwa Hermes adalah seorang utusan yang memiliki tugas menyampaikan pesan Yupiter
kepada manusia. Tugas utama Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari gunung
Olimpus ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itulah Hermes
menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan misi tertentu.
Secara teologis pesan Hermes ini bisa dinisbatkan sebagaimana peran Nabi utusan
Tuhan. Sayyed Hoseen Nashr memiliki hipotesis bahwa Hermes tersebut tidak lain adalah
Nabi Idris a.s., yang disebut dalam al-Quran, dan dikenal sebagai manusia pertama yang
mengetahui tulisan, teknologi tenun, kedokteran, astrologi dan lain-lain. Menurut riwayat
yang beredar di lingkungan pesantren, Nabi Idris adalah orang yang ahli di bidang pertenunan
(tukang tenun/memintal). Sedangkan di lingkungan agama Yahudi Hermes dikenal sebagai
Thoth, yang dalam mitologi mesir dikenal dengan Nabi Musa.
Intinya, persoalan krusial yang harus diselesaikan oleh Hermes adalah bagaimana
menafsirkan pesan Tuhan yang berbicara dengan bahasa “langit” agar dapat dipahami oleh
manusia yang “berbahasa bumi”. Dari sini makna metaforis dari profesi tukang
tenun/memintal muncul, yaitu merangkai kata Tuhan agar dapat ditangkap dan mudah
dipahami oleh manusia. Dengan demikian kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes
adalah sebuah ilmu atau seni menginterpretasikan (the art of interpretation) sebuah teks.
Sebagai sebuah ilmu, hermeneutika harus menggunakan cara-cara ilmiah dalam mencapai
makna rasional dan dapat diuji sebagai sebuah seni, ia harus menampilkan sesuatu yang baik
dan indah tentang sesuatu penafsiran.
Sebagai istilah ilmiah, Hermeneutika diperkenalkan pertama kali sejak munculnya buku
dasar-dasar logika, Peri Hermeneias karya Aristoteles. Sejak saat itu pula konsep logika dan
penggunaan rasionalitas diperkenalkan sebagai dasar tindakan hermeneutis. Konsep ini
terbawa pada tradisi beberapa agama ketika memasuki abad pertengahan (medieval age).
Hermeneutika diartikan sebagai tindakan memahami pesan yang disampaikan Tuhan dalam
kitab suci-Nya secara rasional. Dalam tradisi Kristen, sejak abad 3 M , Gereja yang kental
dengan tradisi paripatetik menggunakan konsep tawaran Aristoteles ini untuk
menginterpretasikan al-kitab. Sedangkan dalam tradisi filsafat Islam, ulama kalam
menggunakan istilah Takwil sebagai ganti dari hermeneutika, untuk menjelaskan ayat-ayat
Mutasyabbihat.
Ketika Eropa memasuki masa pencerahan(rennaisance), dari akhir abad 18 M sampai
awal 19 M, kajian-kajian hermeneutika yang dilakukan pada abad pertengahan dinilai tidak
berbeda sama sekali dengan upaya para ahli filologi klasik. Empat tingkatan interpretasi yang
berkembang pada abad pertengahan, yaitu, literal eksegesis, allegoris eksegesis, tropologikal
eksegegis, dan eskatologis eksegesis, direduksi menjadi literal dan gramatikal eksegesis.
Pemahaman ini diawali oleh seorang ahli filologi bernama Ernesti pada tahun 1761, dan terus
dikembangkan oleh Friedrich August Wolf dan Friedrich Ast.
Hermeneutika kemudian keluar dari disiplin filologi bahkan melampaui maksud dari
empat tingkatan interpretasi abad pertengahan ketika Schleiermacher menyatakan bahwa
proses interpretasi jauh lebih umum dari sekadar mencari makna dari sebuah teks. Ia
kemudian menjadikan hermeneutika sebuah disiplin filsafat yang baru. Hal tersebut disetujui
dan dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey di ujung abad 19 M. Ia memadukan konsep sejarah
dan filsafat serta menjauhi dogma metafisika untuk melahirkan pemahaman yang baru
terhadap Hermeneutika. Ia kemudian memahami bahwa proses hermeneutika adalah sesuatu
yang menyejarah, sehingga harus terus-menerus berproses di setiap generasi. Walaupun
melahirkan pemahaman yang tumpang-tindih, hubungan keilmuan yang dinamis akan sangat
berperan untuk menyatukan kembali pemahaman dalam sudut pandang yang bersifat
obyektif.
Abad 20 M, ditandai sebagai era post-modern dalam sejarah filsafat barat,
fenomenologi lahir sebagai paham baru yang merambah dunia hermeneutika. Adalah Martin
Heidegger, yang mengatakan bahwa proses Hermeneutis merupakan proses pengungkapan
jati diri dan permasalahan eksistensi manusia yang sesungguhnya. Usahanya mendapat
respon positif dari Hans-Georg Gadamer yang kemudian memadukan Hermeneutika
Heidegger dengan konsep estetika. Keduanya sama-sama sepakat bahwa Yang-Ada berusaha
menunjukkan dirinya sendiri melalui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manusia,
terutama bahasa.
Hermeneutika di akhir abad 20 M mengalami pembaharuan pembahasan ketika Paul
Ricoeur memperkenalkan teorinya. Ia kembali mendefinisikan Hermeneutika sebagai cara
menginterpretasi teks, hanya saja, cara cakupan teks lebih luas dari yang dimaksudkan oleh
para cendikiawan abad pertengahan maupun modern dan sedikit lebih sempit jika
dibandingkan dengan yang dimaksudkan oleh Heidegger. Teks yang dikaji dalam
hermeneutik Ricoeur bisa berupa teks baku sebagaimana umumnya, bisa berupa simbol,
maupun mitos. Tujuannya sangat sederhana, yaitu memahami realitas yang sesungguhnya di
balik keberadaan teks tersebut.
Selanjutnya, sebagai sebuah metodologi penafsiran, hermeneutika bukan hanya sebuah
bentuk yang tunggal melainkan terdiri atas berbagai model dan varian. Paling tidak ada tiga
bentuk atau model hermeneutika yang dapat kita lihat. Pertama, hermeneutika objektif yang
dikembangkan tokoh-tokoh klasik, khususnya Friedrick Schleiermacher (1768-1834),
Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Emilio Betti (1890-1968). Kedua, hermeneutika subjektif
yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh modern khususnya Hans-Georg Gadamer (1900-2002)
dan Jacques Derida (l. 1930). Dan satu lagi yakni hermeneutika campuran, sebagaimana yang
disampaikan Wardatun Nazilah dalam pembukaan kuliah hermeneutikanya.

C. Kausalitas
Berikut ini merupakan beberapa pengertian dari kausalitas :
Kusalitas adalah suatu rangkaian peristiwa (I) yang mendahului peristiwa yang menyusul (II)
Kausalitas merupakan prinsip sebab-akibat Menurut Sartono Kartodirdjo kausalitas
merupakan hukum sebab-akibat mengenai suatu peristiwa, keadaan atau perkembangan.
- Kausalitas dalam Ilmu-Ilmu Sosial
Dalam ilmu-ilmu sosial kedalaman ilmu pengetahuan ditunjukkan sejauh mana
ilmuwannya dapat menggali sebab-musabab (sebab-akibat/kausalitas) fenomena yang
ditelitinya. Oleh karena sifatnya nomotetis, maka mereka berusaha mencari sebab-musabab
yang umum melalui fenomena-fenomena tertentu, sehingga menjadi hukum kausalitas yang
permanen di manapun dan dalam waktu yang lama. Dalam perkembangannya kemudian
melahirkan suatu teori, yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena-fenomena
kongkret yang ditemui.
Untuk mempertahankan rerlevansinya, teori-teori dalam ilmu sosial itu diverifikasikan
secara terus menerus, sehingga menjadi kuat, yang kemudian disebut sebagai teori agung.
Teori-teori ini digunakan untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang ada sekarang
maupaun untuk memprediksi fenomena yang akan datang.
- Kausalitas dalam Sejarah
Dalam ilmu sosial hukum sebab-akibat tidak dapat ditegakkan secara penuh, terlebih
lagi dalam ilmu sejarah yang ilmuwannya tidak dapat mengamati secara langsung peristiwa
yang sudah lampau. Betapapun seringnya sejarawa mengamati, meneliti, dan merekonstruksi
fakta-fakta, kiranya akan sulit untuk dapat merumuskan sebab-sebab umum. Hal ini
dikarenakan sejarawan terkendala dengan subjektifnya, harus menurunkan fakta-fakta dari
dokumen yang dinilai eviden. Kemudian dengan imajinasinya sejauh mungkin dalam sejarah
sejarawan merekonstruksi fakta menjadi sejarah.
Oleh karena subjektifitas yang melekat pada sejarawan, mengakibatkan sebab-sebab itu
menjadi beranekarangam dan subjektif pula sifatnya, sehingga sulit untuk
mengeneralisasikanya. Dalam mengatasi permasalahan ini sejarawan harus dapat memilih
dengan tepat dan mampu memberikan argumentasi yang meyakinkan. Dalam hal ini
sejarawan harus memilih sebab mana yang akan dijadikan titik berat dalam penelitiannya.
Oleh karena itu hal ini harus sudah ditentukan pada waktu memilih dan menilai fakta sejarah,
sehingga dalam eksplanasinya semuanya sudah tersedia.
Dengan demikian akan dihasilkan laporan penelitian / penulisan sejarah yang ilmiah.
Model kausalitas berupaya menjelaskan peristiwa sejarah dengan merangkaikan berbagai
fakta dalam sintesis hubungan sebab akibat (cause-effect). Hukum sebab akibat (law of
causation) menunjukkan bahwa setiap fenomena merupakan akibat dari sebab sebelumnya.
Kajian sejarah adalah kajian tentang sebab-sebab dari suatu peristiwa terjadi sehingga hampir
merupakan aksioma atau kebenaran umum. Dalam perkembangannya, hukum jausalitas
dianggap ketinggalan karena memiliki tendensi deterministik. Alternatif terhadap hukum
kausalitas adalah pendekatan fungsional.
Penjelasan dalam hukum kausalitas dimulai dengan mencari sejumlah sebab untuk
peristiwa yang sama. Sebab-sebab yang banyak tersebut disebut kemajemukan sebab
(multiplicity of causes). Dalam konteks ini, setiap sebab memiliki kedudukan sama penting.
Langkah selanjutnya adalah menganalisis sebab-sebab untuk kemudian mendapatkan
penyebab utama (the ultimate cause), sebab dari semua sebab (cause of all causes).
Kaitannya dengan kemajemukan sebab, muncul persoalan determinisme dalam sejarah
(determinism in history) dan kebetulan dalam sejarah (chance in history). Ahli filsafat Hegel
dianggap sebagai peletak dasar filsafat sejarah determinisme. Kritik terhadap determinisme
adalah dianggap mengabaikan kemauan bebas (free will) manusia. Determinisme dianggap
bertentangan dengan adanya penyebab majemuk atau multikausal.
Sementara itu, kebetulan sejarah menganggap pertemuan atau benturan antar sebab
dalam peristiwa sejarah sebagai sebuah kebetulan. Kebetulan yang kemudian mengubah
jalannya sejarah. Teori kebetulan mendapat kritik karena dianggap melebih-lebihkan.
Penganut teori ini dianggap malas melakukan penelitian, kemalasan inteletual (intellectual
laziness) atau vitalitas yang rendah (low intellectual vitality).
Dalam melakukan rekonstruksi sejarah, tidak semua fakta otomatis menjadi fakta
sejarah. Fakta-fakta masa lalu baru menjadi fakta sejarah jika sejarawan memilihnya karena
dianggap mempunyai hubungan (relevansi)dan berarti (signifikansi) dengan apa yang diteliti.
Hal yang sama juga berlaku bagi penganut multikausal dalam peristiwa sejarah. Susunan
sebab-sebab, signifikansi serta relevansi antar satu sebab atau serangkaian sebab dengan yang
lainnya merupakan esensi penafsiran sejarah.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Secara sederhana, hermeneutika diartikan sebagai seni dan ilmu untuk menafsirkan teks-teks
yang punya otoritas, khususnya teks suci. Dalam definisi yang lebih jelas, hermeneutika
diartikan sebagai sekumpulan kaidah atau pola yang harus diikuti oleh seorang mufassir
dalam memahami teks keagamaan. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, hermeneutika
ternyata tidak hanya digunakan untuk memahami teks suci melainkan meluas untuk semua
bentuk teks, baik sastra, karya seni maupun tradisi masyarakat.

Dalam melakukan rekonstruksi sejarah, tidak semua fakta otomatis menjadi fakta
sejarah. Fakta-fakta masa lalu baru menjadi fakta sejarah jika sejarawan memilihnya karena
dianggap mempunyai hubungan (relevansi)dan berarti (signifikansi) dengan apa yang diteliti.
Hal yang sama juga berlaku bagi penganut multikausal dalam peristiwa sejarah. Susunan
sebab-sebab, signifikansi serta relevansi antar satu sebab atau serangkaian sebab dengan yang
lainnya merupakan esensi penafsiran sejarah.
DAFTAR PUSTAKA

Hamdan, Iwan K. 2011. Demokrasi Seolah-olah: Kegetiran terhadap praktek


Demokrasi.Serang. Center For Information Of  Regional Development Net-work (CIRED-
Net)-ITB-PIKSI.

Kuntowijoyo. 2001. Pengantar llmu Sejarah. Yogya: Bentang

Leirissa, R.Z. 2002. Diktat Metodologi Sejarah. Depok: FIB UI

Norman, Andrew. P. 1998. Telling It Like It Was: Historical Narratives on Their


Own. England.

http://diankurniaa.wordpress.com/2011/05/02/filsafat-sejarah-narativisme-vs-strukturalisme/

Anda mungkin juga menyukai