Anda di halaman 1dari 3

Paradigma Ilmu Sejarah sebagai Ilmu Bantu dalam Epigrafi

Pengantar Arkeologi Tekstual

oleh : Dr. Ninny Soesanti Tedjowasono S.S., M.Hum.

Disusun oleh :

Kelompok 7

1. Ahmad Nuhdi Rifky (1906359205)


2. Fania Agustin (1906359123)
3. Fawwaz Sinar Mahardhika (1906359174)
4. Granita Firdausy (1906389290)
5. Nik Desiam Alhamdi (1906389284)

A. Pendahuluan
Sejarah dan epigrafi menjadi rumpun ilmu yang sama-sama mempelajari masa lampau.
Kedua disiplin ilmu ini memiliki kesamaan dalam data yang digunakan, sejarah menjadikan
sebuah prasasti sebagai sumber data primer dan epigrafi menggunakan prasasti sebagai
objek studi . Membahas mengenai epigrafi belum tentu membicarakan tentang prasasti saja.
Sebenarnya, epigrafi lebih dari sekadar menerjemahkan prasasti ke dalam bahasa yang
dipahami masa ini tetapi sebagai seorang epigraf memiliki tanggung jawab besar karena
merupakan ujung tombak dalam mengelupas sejarah masa lampau. Mempelajari epigrafi
juga bersangkutan dengan ilmu sejarah. Karena, material budaya yang dipelajari oleh
epigrafi merupakan warisan yang berisi mengenai cerita-cerita, epos, dan kisah mengenai
situasi dan kondisi masa lampau. Konteks masa lampau sendiri adalah sejarah, sebab sejarah
adalah ilmu yang berdasarkan temuan-temuan arkeologis seperti prasasti yang juga
merupakan objek dari ilmu epigrafi sendiri. Dalam perkembangannya, ilmu epigrafi adalah
ilmu yang multidisipliner atau ilmu yang tidak bisa berdiri sendiri sehingga membutuhkan
ilmu lain dalam penelitiannya.
B. Permasalahan
Dalam tulisan kali ini, permasalah yang coba diangkat adalah mengenai keterkaitan
antara ilmu sejarah sebagai ilmu bantu epigrafi dengan ilmu arkeologi. Batasan-batasan yang
dikemukan dalam tulisan kali ini adalah definisi ilmu sejarah sebagai ilmu bantu, metode
ilmu sejarah dalam penelitian epigrafi, dan studi kasus.
C. Analisis
Pengertian sejarah sekarang ini, yang setelah dilihat secara umum dari para ahli ialah
memiliki makna sebagai cerita, atau kejadian yang benar-benar telah terjadi pada masa lalu.
Kemudian, disusul oleh Depdiknas yang memberikan pengertian sejarah sebagai mata
pelajaran yang menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan
perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga
kini(Depdiknas,2003:1). Namun, yang jelas kata kuncinya bahwa sejarah merupakan suatu
penggambaran ataupun rekonstruksi peristiwa, kisah, maupun cerita, yang benar-benar telah
terjadi pada masa lalu. Pada umumnya, para ahli sepakat untuk membagi peranan dan
kedudukan sejarah yang terbagi atas tiga hal, yakni sejarah sebagai peristiwa, sejarah
sebagai ilmu, sejarah sebagai cerita (Ismaun, 1993:277).
Sejarah dikategorikan sebagai ilmu humaniora, terutama karena dalam sejarah
memelihara dan merekam warisan budaya serta menafsirkan makna perkembangan umat
manusia. Itulah sebabnya dalam tahap historigrafi dan eksplanasinya, sejarah memerlukan
sentuhan-sentuhan estetika atau keindahan (Ismaun, 1993:282-283). Secara sederhana,
Ismaun (1993: 125-131) mengemukakan bahwa dalam metode sejarah meliputi (1) heuristic
(pengumpulan sumber-sumber); (2) kritik atau analisis sumber (eksternal dan internal); (3)
interpretasi; (4) historiografi (penulisan sejarah). Selanjutnya, dikemukakan pula oleh Gray
(1964:9) bahwa seorang sejarawan minimal memiliki enam tahap dalam penelitian sejarah:
1. Memilih suatu topik yang sesuai ;
2. Mengusut semua evidensi atau bukti yang relevan dengan topik ;
3. Membuat catatan-catatan penting dan relevan dengan topik yang ditemukan ketika
penelitian diadakan ;
4. Mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang telah dikumpulkan atau melakukan
kritik sumber secara eksternal dan internal ;
5. Mengusut hasil-hasil penelitian dengan mengumpulkan catatan fakta-fakta secara
sistematis ;
6. Menyajikannya dalam suatu cara yang menarik serta mengomunikasikannya kepada
para pembaca dengan menarik pula.
Sedangkan salah satu ilmu bantu dalam penelitian sejarah adalah Epigrafi. Sejarah
sebagai ilmu bantu epigrafi dalam merekonstruksi sejarah dari benda bertulis (prasasti).
Prasasti ditemukan dari masa ke masa, guna ilmu sejarah dari berbagai temuan prasati
adalah untuk mengkronologikan temuan prasasti tersebut sehingga membentuk rangkaian
cerita yang saling berkaitan secara sistematis. Epigrafi juga membantu Ilmu sejarah tentang
cara membaca, menentukan waktu, serta menganalisis tulisan kuno pada benda-benda yang
dapat bertahan lama (batu, logam, dan sebagainya). Sehingga ilmu sejarah dengan Epigrafi
saling membantu dalam sebuah penelitian, penyajian data, dan publikasi data.
D. Kesimpulan
Dalam wacana historiografi sejarah, data prasasti mempunyai peran strategis untuk
mendukung bahkan mengubah arah interpretasi sejarah yang ada. Boechari berkali-kali
mencontohkan kasus prasasti pada bagian belakang arca Camundi yang sekarang menjadi
koleksi Museum Trowulan. Awalnya Goris dan Stutterheim membaca angka tahun pada
prasasti itu 1254 Śaka, sehingga muncul banyak teori tentang hubungan arca ini dengan Ratu
Tribhuwana Tunggadewi masa kerajaan Majapahit. Bahkan ada yang menghubungkan
dengan peristiwa Sadeng, pemberontakan yang pada saat itu sepertinya merepotkan kondisi
kerajaan. Hingga 1995 Damais membaca ulang angka tahun tersebut dengan 1214 Ś.
Seketika banyak teori yang sebelumnya bermunculan itu mau tidak mau harus ditinggalkan.
Terlebih dengan ditemukannya kembali pecahan prasastinya sehingga menghasilkan
keterangan yang harus dihubungkan dengan masa Raja Krtanegara. Dalam hal ini
pembacaan angka tahun oleh Damais dapat dibenarkan.

Daftar Pustaka

Damais, L. C. (1995). Epigrafi dan sejarah Nusantara: pilihan karangan (No. 3). Ecole Francaise
d'Extreme Orient.

Wibowo, A. S. (1977). Riwayat Penyelidikan Prasasti di Indonesia. Dalam S. Suleiman, 50,


1913-1963.

Boechari, M. (1977). Epigrafi dan Sejarah Indonesia. dalam Majalah Arkeologi Th. I nomor, 2,
1-2.

Anda mungkin juga menyukai