Pertemuan ke : I (satu)
Materi : Urgensi Ilmu Sejarah dalam Menganalisis Faktaneka Sejarah dan
Kebudayaan Islam (SKI)
Standar Kompetensi Menguasai aspek epistimologi sejarah dalam merekonstruksi
faktaneka Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)
Kompetensi Dasar Menggunakan metodologi sejarah dalam menganalisis
faktaneka Sejarah dan Kebudayaan Islam
Indikator 1. Mengidentifikasi ruang lingkup SKI
2. Mengeksplanasikan urgensi metodologi sejarah dalam
menganalisis faktaneka SKI
1
Secara etimologi term “sejarah” berasal dari kata Arab “syajarah” yang berarti “pohon.” Pengambilan
istilah ini agaknya bertalian dengan realitas empiris bahwa “sejarah”–setidaknya dalam pandangan orang
yang mula-pertama menggunakan kata ini–menyangkut tentang, antara lain: syajarah al- nasab, pohon
geneologis yang pada masa kekinian agaknya bisa disebut “sejarah keluarga” ( family history). Atau boleh
jadi juga karena kata kerja syajara semakna dengan: “to happen,” “to occur,” dan “to develop.” Pada
perkembangan selanjutnya, term “sejarah” dipahami sebagai sesuatu yang semakna dengan tarikh (Arab),
istoria (Yunani), history (Inggris) atau geschichte (Jerman) yang secara sederhana berarti kejadian-kejadian
menyangkut manusia pada masa silam. Baca Mahmuod M. Ayoub, The Crisis of Muslim History, Akar-Akar
Krisis Politik dalam Sejarah Muslim, (Bandung: Mizan, 2004), 23.
rah, guru atau dosen sejarah, sejarah umum, sejarah dunia, serta Sejarah dan
Kebudayaan Islam dan sebagainya. Secara subtantif, sesungguhnya esensi sejarah
mengandung makna yang ambivalen (memiliki sifat serba dua). 2 Dengan berpegang pada
ambivalensi ini, mayoritas sejarawan cenderung menganggap sejarah sebagai sesuatu
yang memiliki dua pengertian,3 yaitu:
1. Sejarah sebagai peristiwa yang terjadi pada masa lampau ( history as past
actuality). Istilah yang digunakan untuk merujuk sejarah dalam pengertian ini adalah
sejarah obyektif,4 sejarah serba obyek5 atau histoire realite.6 Sejarah dalam pengertian
ini adalah apa adanya, di luar pengetahuan manusia, dalam arti belum mendapat
sentuhan (interpretasi) manusia.
2. Sejarah sebagai catatan atau rekaman peristiwa yang terjadi pada masa lampau
(history as record). Istilah yang digunakan untuk sejarah dalam pengertian ini adalah
sejarah subyektif,7 sejarah serba subyek,8 atau histoire-recite.9 Sejarah dalam
pengertian ini mencoba memahami dan menangkap sejarah sebagai peristiwa masa
lampau. Oleh karena itu, sejarah sebagai rekaman adalah hasil pengetahuan manusia.
Memang hanya manusia yang memiliki sejarah dan hanya manusia yang dapat
membuat rekaman sejarah.10 Sejarah dalam pengertian inilah yang dimaksud dengan
sejarah sebagai ilmu.
Sementara itu, Garraghan menambahkan satu lagi pengertian bagi sejarah, yaitu
sejarah sebagai metode penelitian ( history as a method of inquiry ) yang berfungsi sebagai
proses atau teknik membuat rekaman sejarah. 11 Menurutnya, sejarah sebagai metode
adalah seperangkat aturan atau prinsip yang sistematis untuk mengumpulkan sumber-
2
Taufik Abdullah, Sejarah Lokal di Indonesia, (Yogyakarata: Gajah Mada University Press, 1996), 89.
3
W.H. Walsh, Philosophy of History : an Introdaction (New York: Harper Torchbooks, 1967), 16; G.J.
Renier, Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah, terj. A. Muin Umar, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 82; W.J
Van der Meulen, Ilmu Sejarah dan Filsafat, ( Yogyakarta: Kanisius, 1987), 48; Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu
Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya, 1995), 2-3.
4
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia, 1993), 15.
5
R. Moh. Ali, Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2005), 12.
6
Taufik Abdullah, “Pendahuluan: Sejarah dan Historiografi” dalam Ilmu Sejarah dan Historiografi, ed.
Taufik Abdullah dan Abdurachman Surjomiharjo (Jakarta: Gramedia, 1985), XV dan Haryono, Mempelajari
Sejarah Secara Efektif, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), 51.
7
Kartodirdjo, Pendekatan …. 4
8
Ali, Pengantar ….14
9
Abdullah, Pendahuluan… xv dan Haryono, Mempelajari …. 51
10
Stewart C. Easton, The Heritage of the past: from the Earliest Times to the Close of the Middle Ages
(New York: Holt, 1963), 35.
11
G.J. Garraghan, A Guide to Historical Method (New York: Fordham University Press, 1975), 18.
sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis dan menyajikan sintesanya dalam
bentuk tulisan.
Setiap ilmu pengetahuan, memiliki dua bentuk obyek kajian,
yaitu material dan formal. Obyek material merupakan
lapangan atau bahan penyelidikan suatu ilmu pengetahuan,
sedangkan obyek formal adalah sudut pandang tertentu yang
menentukan jenis ilmu pengetahuan tersebut sehingga berbeda dengan yang lainnya. 12
Bertalian dengan sejarah, pertanyaan yang muncul adalah apa obyek studi sejarah, baik
material maupun formal? Para ahli sejarah bersepakat bahwa obyek material sejarah
adalah manusia.13 Dari sini sejarah sering tertuduh sebagai sesuatu yang tidak jelas,
karena obyeknya adalah manusia yang nota bene sama dengan ilmu-ilmu humaniora
lainnya. Namun perlu diingat, meskipun sama-sama membincangkan manusia, paradigma
yang dikonstruksi oleh sejarah sejatinya berbeda dengan ilmu-ilmu humaniora lainnya
ditilik dari obyek formalnya. Lebih dari segalanya, obyek formal sejarah adalah waktu yaitu
waktu manusia yang tidak dimiliki oleh ilmu pengetahuan lain secara khusus. 14
Pembatasan manusia dan waktu bagi obyek sejarah sebenarnya baru pada tahap
awal, sebab tidak semua tindakan manusia pada waktu tertentu dinamakan sejarah.
Dalam setiap menit entah berapa tindakan manusia yang terjadi. Dalam hal ini tidak
mungkin ada catatan atau ingatan yang sanggup merekam semuanya. Oleh karena itu, di
samping manusia dan waktu, masalah tempat pun menjadi pembatasan obyek sejarah.
Dengan disebutnya tempat terjadinya suatu peristiwa, maka cerita sejarah menjadi
sesuatu yang nyata (real).
Berdasarkan pembatasan di atas, dapat dikonklusikan bahwa ada tiga faktor yang
menentukan dalam obyek studi sejarah, yaitu manusia (man), waktu (time), dan tempat
(space). Dengan ketiga faktor ini, secara metodologis, sejarah haruslah diartikan sebagai
tindakan manusia yang terjadi dalam jangka waktu tertentu pada masa lampau di suatu
tempat tertentu.15
12
Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta: Pembangunan, 1980), 6.
13
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam Indonesia, (Bandung:
Mizan, 1996), 30.
14
Kuntowijoyo, Pengantar….. 6.
15
Nourouzzaman Shiddiqi, Pengantar Sejarah Muslim, (Yogyakarta: Mentarai Masa, 1989), 13. Lihat
juga, RG. Collingwood, The Idea of Hostory, (London, Oxford, New York: Oxford University Press, 1976), 9.
Bagaimana sejarah itu bergerak? Atau mengikuti pola apa
sejarah itu bergerak? Ini adalah salah satu materi dasar
dalam ilmu sejarah. Bertalian dengan gerak sejarah, para
sejarawan mengkonstruksi beberapa teori, antara lain:
1. Teori Siklus. Teori siklus berpendapat bahwa sejarah itu bergerak melingkar. Setiap
peristiwa sejarah akan selalu berulang kembali. Tag line teori ini adalah l ’histoire se
repete (sejarah itu berulang). Apa yang dulu pernah terjadi akan terulang kembali, baik
di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. 16 Teori siklus disebut juga teori
lingkaran abadi (eternal return),17 bahwa tidak ada sesuatu yang baru dalam peristiwa
sejarah. Segala sesuatunya akan terus berulang secara abadi. Sejarah dalam teori ini
digerakkan oleh suatu kekuatan gaib yang disebut fatum (qadar atau nasib). Semua
alam, baik alam manusia (mikrokosmos) maupun alam raya (makrokosmos) akan
berjalan melalui proses siklus sesuai ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh
fatum tersebut. Karenanya, proses sejarah dalam teori yang berlas tumpu pada
pemikiran kosmosentris ini merupakan suatu peredaran yang tiada berpangkal dan
tiada berujung, sehingga proses historis dipandang sebagai sesuatu yang tidak
bermakna.
2. Teori Einmalig. Menurut teori einmalig sejarah berjalan sekali saja ( Geschicte ist
einmalig). Apa yang terjadi di masa lampau tidak akan terulang lagi, baik di masa
sekarang maupun di masa yang akan datang. Peristiwa masa lampau tidak dapat
dianalogkan dengan peristiwa masa sekarang, sebab sejarah tidak dapat diulang dan
segala sesuatu terjadi hanya sekali saja (einmalig). Oleh karena sejarah tidak dapat
berulang, maka proses historis merupakan gerak silang hubung. Masa sekarang
merupakan kelanjutan masa lampau dan masa yang akan datang merupakan
kelanjutan dari masa sekarang. Semuanya terjadi sebagai suatu proses historis yang
saling berhubungan dan berkesinambungan. Dengan demikian, sejarah seperti
sebuah titik besar yang terdiri dari masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan
datang.
3. Teori Linier. Teori linier bermula asal dari pemikiran antroposentris tentang sejarah. Ini
bermakna bahwa segala peristiwa yang terjadi di dunia berpusat pada diri manusia.
16
Roeslan Abdul Gani, Penggunaan Ilmu Sejarah, (Jakarta: BP Prapanca, 1998), 22.
17
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), 189.
Pangkal dan ujung peristiwa historis diuntai oleh rentetan peristiwa yang bersifat
einmalig. Sejarah dideskripsikan sebagai proses perkembangan dari kurang sempurna
menuju kesempurnaan sebagai garis lurus. Maka sejarah dalam terminologi ini
bermuara pada proses menuju arah kesempurnaan. Teori ini dilabelkan juga dengan
sebutan the idea of progress, karena kemajuan (progress)18 adalah identitas
utamanya. Hanya saja kemajuan dalam konteks ini bersifat horizontal. Dengan
demikian gerak sejarah tidak lagi merupakan putaran, akan tetapi merupakan garis
lurus yang bersifat mendatar menuju kesempurnaan.
4. Teori Spiral. Teori sprial merupakan kombinasi antara teori siklus dengan teori linier.
Bahwa sejarah itu memang se repete (berulang terus), tapi perulangan itu dalam
lingkaran spiral yang meningkat dan menaik ke arah kemajuan dan kesempurnaan.
Sejarah dipandang sebagai garis lurus menuju progres dan perfeksi. Teori ini sering
juga disebut sebagai teori evolusi sejarah yang memandang gerak sejarah berpangkal
pada kemajuan (evolusi). Sejarah adalah perjuangan manusia untuk mencapai
kemajuan. Kemajuan dalam teori ini merupakan suatu keharusan yang memaksa
manusia untuk melakukannya. Dengan demikian, gerak sejarah tidak lagi merupakan
putaran melulu, tapi juga merupakan gerak lurus menaik sehingga berbentuk spiral,
menuju kemajuan yang tiada akhir.
Muthahhari membedakan antar istilah progress (kemajuan) dengan evolution (evolusi). Progres
18
dimaknai gerak maju pada level horizontal sehingga bersifat mendatar, sedangkan evolusi merupakan gerak
mau pada level vertikal sehingga menaik dari yang lebih rendah ke yang lebih tinggi. Baca Murtadha
Muthahhari, Pendekatan Filsafat Sejarah: Menguak Masa Depan Umat Manusia, terj. Afif Muhammad,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), 20.
Kalaupun toh sejarah dipaksa meramalkan, maka ramalan itu berbeda pada tataran
perkiraan (ekstrapolasi).
Bertalian dengan hukum sejarah, Ibnu Khaldun menguntai sebuah kalimat yang
patut kita renungkan:
”seluruh makhluk tunduk kepada suatu peraturan yang tertib dan pasti. Sebab
selalu berhubungan dengan akibat, dan sesuatu yang maujud dengan sesuatu yang
maujud lainnya. Segala yang tercipta di dunia, baik berupa esensi maupun tindakan
manusia dan binatang, haruslah memiliki sebab-sebab yang mendahuluinya.....
Setiap akibat dari sebab-sebab itu merupakan ciptaan yang baru, dan tentunya juga
harus memiliki sebab-sebab sebelumnya. Sebab-sebab itu terus–menerus mengikuti
sebab-sebab dalam suatu orde mendaki, hingga berakhir pada ”Penyebab” dari
segala sebab”.19
Ungkapan penuh makna yang diuntai oleh pakar sejarah Muslim tersebut di atas,
kiranya dapat diinterpretasi bahwa sejatinya segala sesuatu yang terjadi dalam pentas
sejarah, mengikuti hukum sebab akibat (causalitas law). Hal ini mengindikasikan bahwa
hukum aksiden,20 tidak berlaku dalam sejarah. Dalam pandangan Ibnu Khaldun, tidak ada
istilah kebetulan dalam peristiwa sejarah. Semuanya terjadi semata-mata karena adanya
sebab akibat.
Selain itu, satu hal yang pasti bagi hukum sejarah adalah perubahan (change).
Selanjutnya Ibnu Khaldun berkata:
”Dunia dan bangsa-bangsa dengan segala kebiasaan dan sistem
kehidupannya tidaklah terus menerus dalam satu keadaan dan cara yang konstan.
Semuanya ditentukan oleh perbedaan-perbedaan menurut hari-hari dan periode-
periode, serta oleh perpindahan dari satu keadaan kepada keadaan lainnya.
Individu-individu, waktu-waktu dan kota-kota mengalami perubahan, maka demikian
juga daerah-daerah, distrik-distrik dan negara-negara mengalami perubahan, karena
memang demikianlah hukum yang ditentukan Allah untuk makhluk-Nya”. 21
Pernyataan Ibnu Khaldun tersebut mengandung arti bahwa perubahan bagi sejarah
merupakan hukum yang dianggap sebagai suatu keniscayaan ( necessity), sebab watak
perubahan itu sendiri adalah berubah. Esensi sejarah bagi Ibnu Khaldun adalah
perubahan. Tugas manusia dalam panggung sejarah adalah menciptakan perubahan.
So......, sejarah itu dinamis, bukan statis.
19
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Cet I. (Mesir, al-Azhariyyah, 1930), 114.
20
Hukum aksiden menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa sejarah dianggap sebagai kenyataan yang
terjadi secara kebetulan.
21
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, 46.
Ilmu Sejarah, seperti ilmu-ilmu lainnya mempunyai unsur
yang merupakan alat untuk mengorganisasi seluruh anatomi
pengetahuannya serta menstrukturasi pikiran. Alat tersebut
ghalib disebut metode. Pada konteks ini, metode kerap berke-
lindan dengan masalah ”bagaimana orang memperoleh pengetahuan” (how to know),
sedangkan metodologi bergayut dengan masalah ”mengetahui bagaimana harus
mengetahui” (to know how to know). 22 Kuntowijoyo memaknai metode sebagai suatu cara,
jalan, petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis, sedangkan metodologi merupakan
science of methods yakni ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang metode. 23
Selanjutnya Kuntowijoyo mendefinisikan metode sejarah sebagai petunjuk
pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang bahan, kritik dan interpretasi sejarah serta
penyajiannya dalam bentuk tulisan. Di antara metode sejarah yang populer digunakan oleh
para sejarawan (Muslim) adalah metode dirayah. Metode dirayah merupakan metode
sejarah yang menaruh perhatian terhadap pengetahuan sejarah secara langsung, baik
melalui pengalaman maupun penyaksian pada satu sisi, juga menaruh perhatian terhadap
interpretasi sejarah secara rasional pada sisi yang lain. 24 Metode ini sesungguhnya
merupakan perkembangan lebih lanjut dari metode sebelumnya, yaitu metode riwayah.
Bahkan dapat dikatakan, metode dirayah melengkapi metode riwayah.
Sementara itu, sumber sejarah 25 dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu
sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer dimaknai sebagi sumber sejarah
yang berasal dari saksi mata, sedangkan sumber sekunder adalah apa yang disampaikan
oleh bukan saksi mata.
26
Menanggapi pertanyaan ini, para sejarawan secara epistimologi terbagi ke dalam dua kelompok.
Pertama adalah kelompok sejarawan “realis” yang menyatakan bahwa ilmu sejarah itu obyektif, karena dapat
menjelaskan realitas sebagaimana adanya. Kedua adalah kelompok sejarawan “relativis” yang beranggapan
bahwa ilmu sejarah itu subyektif, karena realitas sejarah betapapun juga tidak dapat diungkapkan secara
obyektif. Oleh karena itu, sejarawan perlu menjelaskan subyektifitasnya, mengapa ia memilih satu
permasalahan historis dan menolak yang lain. Baca Ricard Z. Leirissa, “Sejarah Indonesia Modern: Antara
Kontinuitas dan Diskontinuitas” Prisma, 10 Oktober 1994, 4.
27
Ada lima tahapan dalam penelitian sejarah, yaitu: pemilihan topik, pengumpulan sumber (heuristik),
verifikasi (kritik sumber), interpretasi dan penulisan (historiografi). Baca Kuntowijoyo, Pengantar…. 89
28
Edward H. Carr, What is History? (New York: Vintage Books, 1961), 3.
29
Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Pustaka Rakyat, 1960), 14.
30
Sidi Gazalba, Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1981), 26.
31
Garraghan, A. Guide ... 47
1. Obyektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan bebas sepenuhnya dari
kecurigaan-kecurigaan awal yang bersifat rasial, politis, agama atau yang lainnya.
2. Obyektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan mendekati tugasnya terlepas dari
semua prinsip, teori dan falsafah hidupnya.
3. Obyektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan bebas dari simpati terhadap
subyeknya.
4. Obyektivitas tidak berarti menuntut agar pembaca mengekang diri dari penilaian atau
penarikan kesimpulan.
5. Obyektivitas sejarawan tidak berarti bahwa semua situasi yang menimbulkan peristiwa
historis dicatat sesuai dengan kejadiannya.
Dengan demikian, subyektivitas dalam historiografi sesungguhnya justru merupakan
dasar bagi obyektivitas sejarah.32 Meskipun demikian ilmu sejarah harus tetap mengikuti
prosedur-prosedur ilmiah yang dapat membedakannya dari hikayat, dongeng maupun
legenda. Dalam arti bahwa seorang sejarawan harus tetap bersikap kritis terhadap
sumber-sumber yang digunakannya.33 Hal ini dilakukan agar sejarawan tidak jatuh ke
dalam apa yang disebut historian’s fallacies, atau Thomas S. Kuhn menyebutnya sebagai
“kekeliruan atau takhayul,”34 sehingga sejarah tetap dalam bingkai ilmiah.
Subyektivitas sejarah terletak pada interpretasi atau penafsiran terhadap peristiwa
sejarah. Artinya, sekalipun peristiwa sejarah itu satu dan sekali saja terjadi ( einmalig), dan
tidak dapat diulang, namun penafsiran atau interpretasi terhadap peristiwa itu bisa berbeda
antara sejarawan yang satu dengan sejarawan lainnya. Hal ini disebabkan karena penulis
sejarah adalah manusia dan yang ditulis pun mengenai masa lampau manusia. 35
Menurut Ibnu Khaldun,36 terdapat beberapa sebab yang menimbulkan
subyektivitas sejarah, antara lain:
1. Sikap memihak (tasyayyu’ atau partianship) terhadap pendapat atau golongan
tertentu.
32
W. Poesporodjo, Subyektivitas dalam Historiografi (Bandung: Remadja Karya, 1987), 37-59.
33
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia,
(Jakarta : Logos, 1998), 89-90.
34
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions : Peran Paradigma dalam Revolusi Sains,
ter. Tjun Surjaman, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000), 4.
35
Nourouzzaman Shiddiqi, Menguak Sejarah Muslim, Suatu Kritik Metodologis , (Yogyakarta: PLP2M
1984), 1.
36
Ibnu Khaldun, Muqaddimah……, 7.
2. Terlalu percaya kepada pihak penukil berita sejarah. Padahal, sebelum berita itu
diterima, sudah seharusnya terlebih dahulu dilakukan kritik ekstern berupa ta’dill wa
tarjih atau personality criticism.
3. Gagal menangkap maksud dari apa yang dilihat atau yang didengar, kemudian
menyampaikan berita itu atas dasar perkiraan-perkiraannya saja.
4. Keyakinan yang salah terhadap sesuatu yang benar.
5. Tidak mampu secara tepat menempatkan suatu peristiwa pada proporsi yang
sebenarnya.
6. Kegandrungan dan kegemaran mayoritas manusia untuk mendekatkan diri kepada
para penguasa atau para pembesar.
7. Tidak mengetahui hukum-hukum dan watak-watak perubahan dalam masyarakat.
Sementara itu, menurut Nourouzzaman Shiddiqi, semua sebab-sebab
subyektivitas sejarah yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun itu bersifat intern, artinya
muncul dari dalam diri seorang sejarawan. 37 Ibnu Khaldun dalam hal ini tidak menyebutkan
kesalahan-kesalahan sejarawan yang bersifat ekstern yang muncul dari luar diri
sejarawan. Faktor ekstern itu berupa tekanan-tekanan yang datang dari luar dirinya baik
dari penguasa maupun dari masyarakat lingkungannya.
Nugroho Notosusanto, menyebutkan bahwa subyektivitas sejarah terjadi karena
beberapa faktor,38 antara lain: 1) Sikap berat sebelah pribadi ( personal bias); 2) Prasangka
kelompok (group prejudice); 3) Teori interpretasi sejarah yang berbeda; 4) Filsafat yang
berlainan yang dianut oleh para sejarawan.
LATIHAN
Petunjuk!
1. Buatlah kelompok diskusi, masing-masing kelompok terdiri dari 5-7 orang mahasiswa!
2. Setiap kelompok mencari ”kliping peristiwa sejarah” di media massa untuk dianalisis
dengan menggunakan perangkat epistimologi sejarah!
3. Setiap kelompok harus mempresentasikan hasil kerjanya. Kelompok yang tidak
sedang mempresntasikan hasil kerjanya diharuskan menyimak, memperhatikan dan
memberikan saran, usul dan masukan kepada kelompok yang sedang
mempresentasikan hasil kerjanya.
37
Shiddiqi, Menguak… 16
38
Nugroho Notosusanto, Hekekat Sejarah dan Metode Sejarah, (Jakarta: Pusat AORI, 1984), 9-10
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Gani, Roeslan, 1998, Penggunaan Ilmu Sejarah, Jakarta: BP Prapanca.
Abdullah, Taufik (Ed.)., 1996, Sejarah Lokal di Indonesia, Cet. IV, Yogyakarata: Gajah
Mada University Press.
-----------1985, “Pendahuluan: Sejarah dan Historiografi” dalam Ilmu Sejarah dan
Historiografi, Jakarta: Gramedia.
Ali, R. Moh., 2005, Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, Yogyakarta: LKiS.
Ambary, Hasan Muarif, 1998, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam
Indonesia, Jakarta : Logos.
Ankersmit, F.R., 1987, Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern tentang
Filsafat Sejarah, terj. Dick Hartoko, Jakarta: Gramedia.
Ayoub, Mahmuod M., 2004, The Crisis of Muslim History, Akar-Akar Krisis Politik dalam
Sejarah Muslim, Cet. I, Bandung: Mizan.
Carr, Edward H., 1961, What is History? New York: Vintage Books.
Easton, Stewart C., 1963, The Heritage of the past: from the Earliest Times to the Close of
the Middle Ages, New York: Holt.
Echols, John M. dan Hassan Shadily,1996, Kamus Inggris-Indonesia, cet. XXIII, Jakarta:
Gramedia.
Garraghan, G.J. 1975, A Guide to Historical Method, New York: Fordham University
Press.
Gazalba, Sidi, 1981, Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu, Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Ibnu Khaldun, Abd. Al-Rahman, 1930, Muqaddimah Ibn Khaldun, Cet. I, Mesir: al-
Azhariyyah.
Kartodirdjo, Sartono, 1993, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta:
Gramedia.
Kuntowijoyo,1995, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya.
-----------,1994, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kuhn, Thomas S., 2000, The Structure of Scientific Revolutions : Peran Paradigma dalam
Revolusi Sains, ter. Tjun Surjaman, Bandung : Remaja Rosdakarya.
Muthahhari, Murtadha, 1995, Pendekatan Filsafat Sejarah: Menguak Masa Depan Umat
Manusia, terj. Afif Muhammad, Bandung: Pustaka Hidayah.
Notosusanto, Nugroho, 1984, Hekekat Sejarah dan Metode Sejarah, Jakarta: Pusat AORI.
Poesporodjo, W., 1987, Subyektivitas dalam Historiografi, Bandung: Remadja Karya.
Pringgodigdo, 1960, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta: Pustaka Rakyat.
Renier, G.J., 1997, Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah, terj. A. Muin Umar, Cet. I,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
al-Sharqawi, Effat , 1986, Filsafat Kebudayaan Islam, terj. Rafi Utsmanni, Bandung:
Pustaka.
Shiddiqi, Nourouzzaman, 1989, Pengantar Sejarah Muslim, Yogyakarta: Mentarai Masa.
----------,1984, Menguak Sejarah Muslim, Suatu Kritik Metodologis , Yogyakarta: PLP2M.
Soedjatmoko, 1996, Etika Pembebasan: Pilihan Karangan tentang Agama, Kebudayaan,
Sejarah dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: LP3ES.
Suryanegara, Ahmad Mansur, 1996, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam
Indonesia, Bandung: Mizan.
Van der Meulen, W.J., 1987, Ilmu Sejarah dan Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.
Walsh, W.H., 1967, Philosophy of History : an Introdaction, New York: Harper Torchbooks.
MATERI KULIAH
Pertemuan ke : II (dua)
Materi : Menelisisk Akar Historis Komunitas Arab Pra Islam
Standar Kompetensi Mendeskripsikan akar historis dinamika kehidupan komunitas
Arab pra Islam
Kompetensi Dasar Mendeskripsikan dinamika kehidupan komunitas Arab pra
Islam
Indikator 1. Mengeksplanasikan kondisi geografis bangsa Arab
2. Mengeksplanasikan sistem kepercayaan Arab pra Islam
3. Mengidentifikasi kultur komunitas Arab pra Islam
4. Menganalisis sistem sosial komunitas Arab pra Islam
39
Termasuk para sejarawan Barat (orientalis) dan Timur (Muslim), pemerhati, guru, dosen sejarah dan
termasuk kita hari ini.
Pada tataran empiris, sejarah perkembangan komunitas Arab berjalin berkelindan
dengan sejarah perkembangan Islam. Bangsa Arab adalah bangsa yang diasuh dan
dibesarkan oleh Islam, sebaliknya Islam diterima dan dibumikan secara luas oleh bangsa
Arab. Kemajuan bangsa Arab sampai menjadi bangsa yang besar pada masa kekinian
adalah berkat loyalitas, integritas dan komitmennya terhadap Islam. Dan tidaklah mungkin
dinafikan bahwa sesungguhnya Islam dengan sangat cepat dan mengagumkan membumi
dihampir seluruh ranah jagat raya ini karena diaktori oleh bangsa Arab. 40
Terma Arab pra Islam menjadi penting untuk didiskusikan dengan hajat untuk
menelisik potret hidup dan dinamika kehidupan awal komunitasnya, demi dan untuk
penelusuran sejarah pembumian Islam dan perkembangannya. Dalam konteks ini menarik
untuk didiskursuskan tema-tema yang bertalian dengan: potret geografis, sistem
kepercayaan, kultur, sosial, dan tentu saja profile Muhammad SAW di masa mudanya.
45
Nourouzzaman Shiddiqie, Pengantar Sejarah Muslim, (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1993),83-4.
46
QS. ar-Rum: 30.
47
Murtadha Muthahhari, Perspektif Al-Qur’an tentang Manusia dan Agama, Cet. V (Bandung: Mizan,
1990), 45.
kepercayaan. Yang pasti bahwa sebelum Islam dibumikan, ada beberapa macam agama
atau kepercayaan yang dianut, antara lain: 48
1. Agama Tauhid. Agama ini dibawa dan disampaikan oleh para nabi-nabi terdahulu,
antara lain: Nabi Hud kepada komunitas Ad, dan Nabi Shaleh kepada kaum Tsamud.
Termasuk ke dalam agama Tauhid ini adalah agama Hanif yang diajarkan oleh Nabi
Ibrahim a.s dan putranya Nabi Ismail a.s. Dalam konteks ini hanif dapat dimaknai
sebagai sekumpulan orang-orang Arab yang selama zaman jahiliyah tetap dalam
kepercayaan agama yang disampaikan oleh Nabi Ibrahim a.s, dan putranya Nabi
Ismail a.s. dan tidak meyakini kepercayaan serta tidak melakukan ibadah ritual yang
dipraktekkan oleh bangsa Arab yang mempercayai paganisme. Beberapa doktrin
agama hanif, antara lain: a) Percaya kepada Allah SWT sebagai penguasa alam; b)
Percaya kepada malaikat; c) Larangan berbuat zina; d) Memuliakan Ka’bah dan
menunaikan ibadah haji dan e) Haram menikahi isteri-isteri bapaknya (yang telah
meninggal), haram menikahi anak kandung, saudara ayah, saudara ibu, dua orang
wanita bersaudara sekaligus.
2. Agama Ashabiyah yaitu kepercayaan dan penyembahan kepada benda-benda langit,
seperti: bulan, bintang, dan matahari.
3. Agama Yahudi, agama ini bertitik tumpu dari syari’at yang diajarkan oleh Nabi Musa
a.s. untuk komunitas Bani Israil. Ketika Nabi Musa a.s diusir oleh Fir’aun dari negeri
Mesir, mereka berhijrah ke Palestina. Tetapi di negeri ini Nabi Musa a.s dan pengikut
agama Yahudi menuai resistensi bahkan penguasa Romawi di negeri ini terus
menerus melakukan pengejaran dan penumpasan terhadap pengikut agama yang
berkitab suci Taurat ini.
Dalam kondisi yang tidak kondusif, sebagian pengikut Yahudi bereksodus ke Jazirah
Arab dan berdomisili di Yastrib, Wadil Qura, Yaman dan Khaibar. Penguasa Yaman
saat itu, Yusuf Zu Nuas, memerintahkan penduduk Najran untuk berkonversi terhadap
agama Yahudi dan memaksa mereka meninggalkan agama Kristen yang dipeluknya.
Tindakan penguasa Yaman ini mendapat perlawanan dari Kaisar Romawi, Justinian I
(518-527 M) dengan memerintahkan gubenur Habsyah (Ethopia) yang juga beragama
Kristen untuk menyerang Yaman.
48
Ismail, Sejarah… 22-25.
Sampai menjelang kelahiran Rasulullah SAW, agama Yahudi tidak mendapat banyak
pengikut, hal ini disebabkan oleh sikap superioritas bangsa Yahudi atas bangsa-
bangsa lainnya. Bahkan seorang Arab atau bangsa lainnya, yang telah beragama
Yahudi sekalipun tidak pernah akan memperoleh kedudukan yang sama dengan
penganut Yahudi keturunan Bani Israil.
4. Agama Kristen, agama ini diyakini oleh sebagian komunitas Arab yang berdomisili di
bagian Utara dan Selatan. Ada beberapa faktor yang membumikan agama Kristen di
Jazirah Arab, antara lain: proses kristenisasi yang sangat intensif, doktrin-doktrinnya
difondasikan di atas prinsip humanisme serta menentang prinsip-prinsip chauvinistis.
Sebagaimana halnya agama Yahudi, agama ini pun tidak bisa berurat berakar di lubuk
komunitas Arab, penyebabnya adalah adanya berbagai kepercayaan yang aneh-aneh
pada agama ini yang sangat sulit dipahami dan dirasionalkan oleh bangsa Arab.
5. Paganisme atau watsani yaitu suatu kepercayaan terhadap berhala-berhala.
Kepercayaan ini amat lazim dihampir seluruh lapisan masyarakat Arab. Latar historis
munculnya kepercayaan ini disebabkan oleh eksodusnya suku Khuza’ah Yaman ke
Mekah diketika runtuhnya bendungan Ma’arib. Di negeri baru ini mereka mampu
mengambil alih kekuasaan dan penguasaan atas Baitullah dari Bani Ismail.
Selanjutnya, orang pembesar Khuza’ah melakukan perjalanan ke negeri Syam (Syiria)
dan di wilayah ini dia melihat bangsa Amaliqah melakukan ritual agama dengan
menyembah berhala. Kemudian pembesar ini meminta berhala kepada kaum
Amaliqah dan dia diberikan sebuah berhala bernama Hubal, dan diletakkan di
Baitullah. Sejak itulah kepercayaan ini masuk ke Jazirah Arab. Konsekuensi logisnya
adalah bermunculanlah berhala-berhala yang diciptakan dan ditempatkan disetiap
sudut Ka’bah yang diniati sebagai mediasi mendekatkan diri kepada Tuhan. Perbuatan
suku Khuza’ah dan Quraisy ini kemudian ditiru oleh suku-suku yang lain, dan mereka
menciptakan berhala-berhala di negerinya masing-masing. Misalnya, berhala Manah
disembah oleh suku Aus dan Khazraj, Uzza disembah oleh suku Quraisy, Latta
disembah oleh suku Tsqif dan Hubal disembah oleh suku Khaziman. 49
49
Shiddiqie, Pengantar...., 116.
Dalam catatan sejarah, ada sekitar 360 50 buah berhala yang dibuat dan ditempatkan di
sekitar Ka’bah. Baitullah baru bersih dari sampah-sampah berhala ketika terjadi Fathul
Makkah (penaklukkan Kota Mekah) pada tanggal 20 Ramadlan 8 H.
50
Abd. Jabar Adlan, (Koord), Dirasat Islamiyyah, Sejarah dan Pembaharuan Islam (Surabaya: Aneka
Bahagia, 1995) 22. Lihat QS. al-Najam: 20-21.
51
Ignaz Goldziher, Muslim Studies (London: George Allen, 1967) 201-05.
52
Mahdi Rizqullah Ahmad, Biografi Rasulullah, Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-Sumber
yang Otentik,, ter. Yessi HM Basyaruddin, Cet. I (Jakarta: Qisthi Press, 2006), 89.
“Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena
dosa apakah dia dibunuh”.53
“Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak
perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.
Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita
yang disampaikan kepadanya; apakah dia akan memeliharanya dengan
menaggung kehinaan, ataukah menguburkannya ke dalam tanah (hidup-
hidup). Ketahuilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”. 54
Sementara arti ayat al-Qur’an yang bertalian dengan budaya jahiliyah dalam
bentuk pembunuhan anak-anak karena takut miskin atau karena dihimpit kemiskinan itu
sendiri, adalah”
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan”. 55
Di kalangan komunitas Arab jahiliyah, terutama kelas menengah ke bawah terdapat
praktik perkawinan yang beraneka ragam, yang tidak jauh berbeda dengan praktek
prostitusi. Imam Bukhari dan Imam Abu Daud menuturkan: Aisyah r.a. berkata, “Ada
empat bentuk praktek perkawinan pada masa jahiliyah, antara lain:
1. Perkawinan seperti yang lazim kita kenal sekarang ini.
2. Perkawinan Istibdha’ yaitu kawinnya seorang laki-laki dengan istri orang lain, setelah
ia menggaulinya pada saat sedang suci dan belum digauli oleh suaminya yang sah.
3. Nikah Rahth yakni perkawinan yang terjadi setelah sekelompok laki-laki (berjumlah
kurang dari sepuluh orang) sepakat untuk melakukan hubungan intim dengan
seorang perempuan yang bukan istri mereka secara bergiliran. Lalu setelah hamil dan
melahirkan, wanita tersebut dihadirkan dihadapan sekelompok laki-laki tadi untuk
memilih siapa yang harus menjadi ayah dari anak yang baru saja dilahirkannya itu.
4. Perkawinan Rabi’ yaitu ketika sekelompok laki-laki (lebih dari sepuluh orang) secara
bergiliran menggauli seorang wanita di rumahnya diberi tanda khusus. Lalu, setelah
wanita itu hamil dan melahirkan, sekelompok laki-laki tadi akan dikumpulkan
dihadapan wanita itu. Kemudian, wanita itu akan menentukan siapa ayah si bayi
tersebut dari orang yang paling banyak memiliki kemiripan dengan anak yang lahir
tersebut.
53
QS. at-Takwir: 9.
54
QS. an-Nahl: 58-59.
55
QS.al-An’am: 151.
Pada komunitas Arab jahiliyah, juga terdapat kebiasaan mengawini dua orang
perempuan bersaudara dalam satu waktu, menikahi istri-istri ayahnya sendiri, baik yang
sudah diceraikan atau ditinggal mati oleh ayah mereka. Terkait masalah ini Allah SWT
berfirman, yang artinya:
“Dan menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. “Dan janganlah kamu kawini
wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang
telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”.56
Pada masa jahiliyah penjatuhan talak juga tidak memiliki batas tertentu. Mereka
dengan sesuka hati menjatuhkan talak kepada istrinya dan rujuk kembali hingga berkali-
kali. Maka Islam pun membatasinya hanya dua kali saja. Hal ini ditegaskan Allah SWT
dalam firmannya, artinya : “Talak (yang dapat dirujuk) dua kali”.57
Meskipun terdapat beragam penyakit moral yang merebak di tengah-tengah
komunitas Arab jahiliyah tempo doeloe, tetapi masih ada beberapa hal positif dalam
kehidupan politik dan sosial mereka yang dapat kita jadikan ibrah. Agaknya realitas inilah
yang mendasari terpilihnya mereka sebagai pemikul atau pengemban ajaran-ajaran-Nya
ke seluruh alam semesta. Di antara hal-hal positif itu adalah: kebodohan komunitas Arab
jahiliyah bukanlah sesuatu yang bersifat mengakar, akut dan laten serta tidak didasari oleh
doktrin filosofis yang kuat dan sulit untuk dikikis sebagaimana yang diidap oleh komunitas-
komunitas di sekitarnya. Realitas empiris menunjukkan beberap hal lain yang dianggap
positif yang dimiliki oleh komunitas Arab pra Islam, antara lain: 58
1. Komunitas Arab jahiliyah memiliki kemauan kuat dan teguh dalam memegang
keimanan. Tentang kedua karakter mereka ini, Allah SWT berfirman, artinya: “Di
antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang mereka
janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka
ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah
(janjinya)”.59
2. Mayoritas komunitas Arab sangat menghormati nilai-nilai keutamaan dan orang-
orang yang berakhlak mulia.
56
QS. an-Nisa’:22-23.
57
QS. al-Baqarah: 229.
58
QS. al-Baqarah: 92-93.
59
QS. al-Ahzab: 23.
3. Mayoritas kominitas Arab memiliki daya ingat yang sangat baik dan kuat (dhabait).
Beberapa di antara mereka dapat dijadikan contoh: Abu Hurairah r.a. tercatat
meriwayatkan hadits dengan sangat baik sebanyak lima ribu tiga ratus tujuh puluh
empat hadits.
4. Bangsa Arab jahiliyah waktu itu sangat menyukai kebebasan. Mereka tidak mengenal
kata “tunduk,” kecuali kepada orang-orang berpengaruh, pemberani, disegani,
memiliki sifat jantan, sabar, penyayang, toleran, dan sifat-sifat baik lainnya. Bahkan
sekalipun penyembah berhala, mereka sesungguhnya tidak mengingkari eksistensi
Allah SWT. Tentang hal ini Allah SWT berfirman, artinya: “Dan sesungguhnya jika
kamu tanyakan kepada mereka, Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan
menundukkan matahari dan rembulan? Tentu mereka akan menjawab Allah”. 60
Kemudian Allah SWT mempertegas lagi dalam firman-Nya yang berbunyi: “Dan
sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka, Siapakah menurunkan air dari
langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya? Tentu mereka akan
menjawab, Allah” .61
5. Komunitas Arab memiliki satu bahasa, Bahasa Arab. Bahasa yang sangat istimewa
dan jelas, serta dapat menggambarkan Islam dengan terangnya, dan dengannya al-
Qur’an dibahasakan oleh Allah SWT.
60
QS.al-Ankabut: 61.
61
QS. al-Ankabut: 63.
62
Secara lebih rigit struktur komunitas Arab pra Islam sebagai berikut: sya’b (bangsa) kabilah, buthun,
fakhd (marga) dan ‘asyirah (keluarga). Lihat Umar Farrukh, Al- Arab wa al-Islam fi al-Haudi al-Syarqiy min al-
Bahr al-Abyadl al-Mutawassith (Beirut: Dar al-Kuttab, 1966), 13-14.
63
Adlan, Sejarah…. 14.
memelihara dan melestarikan tradisi nenek moyang, menjaga ketertiban dan mencari
solusi atas sengketa yang terjadi antar kabilah yang dipimpinnya. 64
Malapetaka besar yang dialami oleh seorang anggota kabilah manakala ia dicopot
keanggotaannya. Pencopotan ini bisa terjadi, apabila seorang anggota kabilah melakukan
pelanggaran disiplin, misalnya: melakukan pembunuhan terhadap sesama anggota kabilah
atau anggota kabilah lainnya tanpa alasan yang jelas. Setiap anggota masyarakat yang
berada di luar keanggotaan kabilah pada hakekatnya ia sudah lenyap. Kedudukannya
serupa dengan seorang buronan atau binatang buruan yang setiap saat dapat diburu dan
dibunuh.
Kehidupan padang pasir yang gersang, panas nan serba sulit, berimplikasi terhadap
terbentuknya solidaritas yang kuat bagi komunitas Arab Baduwi. Perasaan senasib
mendorong mereka mengatasi bersama setiap kesulitan yang muncul. Di pihak lain,
karena mereka sudah sedari awal terstruktur dalam sistem kabilah-kabilah, maka
kepentingan bersama lebih mereka pahami dalam pengertian yang terbatas hanya untuk
kabilahnya sendiri. Paradigma seperti ini karib memantik timbulnya kompetisi yang
destruktif dan memposisikan kabilah-kabilah tersebut dalam posisi berpunggungan
(konflik), demi dan dalam rangka memenuhi kebutuhan masing-masing. Dalam hukum
masyarakat, konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok
dan memproteksinya agar tidak melebur dalam dunia sosial sekelilingnya. 65 Dari sini
tumbuh fanatisme kesukuan yang berlebihan di kalangan masyarakat padang pasir,
bahkan di kalangan masyarakat Arab pra Islam secara keseluruhan. Karenanya, berlaku
ketentuan, bahwa kesalahan seorang anggota kabilah terhadap kabilah lain menjadi
tanggung jawab kabilahnya. Ancaman terhadap salah satu anggota kabilah berarti
ancaman terhadap kabilah itu. Oleh karena itu, setiap kabilah akan senantiasa melindungi
seluruh anggota kabilahnya dari ancaman pihak lain, tanpa mempertimbangkan salah atau
benar, kalaupun kabilah itu sangat mungkin bisa musnah akibat konflik yang terjadi di
antara mereka.
Kebebasan tanpa batas, juga menjadi ciri khas komunitas Arab pra Islam. Dari sini
kerab terjadi peperangan yang tanpa episode akhir yang dipantik oleh hal-hal yang sepele
64
Nourouzzaman, Pengantar….90.
65
Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, terj. Tim penerjemah Yasogama, (Jakarta: Rajawali,
1984), 108.
(mempertahankan harga diri dan gengsi kelompok). Prinsip kebebasan yang nyaris tanpa
batas ini melahirkan sikap melegalkan segala cara untuk menggapai tujuan. Maka dalam
masyarakat ini berlaku hukum: siapa yang kuat akan hidup baik dan siapa yang lemah
akan tergilas. ’Alakullihal, perang seakan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan padang pasir, dapat terjadi kapan saja dan dimana saja.
LATIHAN
Sejatinya, Islam sudah sangat lama membumi di Nusantara. Faktanya, dari Sabang
sampai Merauke, dapat dipastikan bahwa anak negeri ini selalu ada yang menjadikan
Islam sebagai way of life-nya. Ritus ritualistik yang bersifat vertikal dan horizontal pun
sangat semarak dilakukan dan dirayakan dihampir setiap saat dan setiap waktu. Bagi
sebagian kita, fakta ini tidaklah cukup untuk mengatakan bahwa komunitas Muslim di
Nusantara belumlah terbebas dari budaya-budaya yang telah pernah diadegankan oleh
komunitas Arab pra Islam (jahiliyah).
1. Buatlah kelompok diskusi, masing-masing kelompok terdiri dari 5-7 orang mahasiswa.
2. Setiap kelompok mengidentifikasi budaya-budaya yang bertentangan dengan agama
Islam yang kerab dilakukan oleh komunitas Nusantara terkhusus komunitas Muslim.
3. Setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusinya.
DAFTAR PUSTAKA
Adlan, Abd. Jabar, dkk., 1995, Dirasat Islamiyah, Sejarah dan Pembaharuan Islam,
Surabaya: Anika Bahagia.
Ahmad, Mahdi Rizqullah, 2006, Biografi Rasulullah, Sebuah Studi Analitis Berdasarkan
Sumber-Sumber yang Otentik, terj. Yessi HM Basyaruddin, Jakarta: Qisthi Press.
Amin, Ahmad, 1965, Fjr al-Islam, Singapura-Kota Baru Penang: Sulaiman Mar’i.
Brockelmann, Carl, 1979, History of the Islamic People, (London: Roudledge & kegan
Paul Ltd.
Farrukh, Umar , 1966, Al- Arab wa al-Islam fi al-Haudi al-Syarqiy min al-Bahr al-Abyadl al-
Mutawassith, Beirut: Dar al-Kuttab.
Goldziher, Ignaz, 1967, Muslim Studies, London: George Allen.
Hassan, Ibrahim Hassan, 1996, Tarikh al-Islam al-Syiasi wa al-Dini wa al-Tsaqafi wa al-
Ijtima’i, Kairo: Maktabah al-Nahdiyah al-Mishriyah.
Ismail, Faisal, 1984, Sejarah dan Kebudayaan Islam dari Zaman Permulaan hingga Zaman
Khulafaurrasyidin, Yogyakarta: Bina Usaha.
Muthaharri, Murthada, 1990, Perspektif Al-Qur’an tentang Manusia dan Agama, Bandung:
Mizan.
Poloma, Margaret M., 1984, Sosiologi Kontemporer, terj. Tim penerjemah Yasogama,
Jakarta: Rajawali.
Rus’an, 1999, Sejarah Islam di Zaman Rasulullah, Semarang: Wicaksana.
Shiddiqie, Nourouzzaman, 1983, Pengantar Sejarah Muslim, Yogyakarta: Nur Cahaya.
MATERI KULIAH
69
QS. Quraisy: 1-4.
70
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh Islam as Siyasi wa al-Ijtimai, (Kairo: Maktabah an Nadliyah, 1964), 109
71
Ibid, 18
diikuti pula oleh orang-orang Quraisy, karena ia adalah wali negeri yang dijadikan anutan
dan disegani oleh segenap penduduk Mekah. Abdullah terhindar dari penyembelihan,
namanya kemudian menjadi populer di seluruh Jazirah Arab.
Versi lain menyebutkan, bahwa kabilah Quraisy tidak sampai hati membiarkan Abdul
Muthallib mengorbankan putranya. Mereka menganjurkan kepadanya untuk meminta
nasehat kepada ahli tenung yang terkenal di Khaibar, apabila nazar itu tak dapat
dibatalkan. Atas nasehat ahli tenung itu, undian harus diulang. Yang diundi adalah
Abdullah dan sepuluh ekor unta. Apabila undian itu jatuh kepada Abdullah, maka undian
harus diulang kembali sampai akhirnya jatuh kepada unta. Setiap kali diundi jumlah unta
ditambah sepuluh ekor. Ternyata undian baru jatuh setelah jumlah unta mencapai 100
ekor. Menurut tukang tenung itu, berarti jumlah itu diterima oleh tuhan. 72
Pada saat Abdullah cukup umur untuk berumah tangga, ia dinikahkan dengan
Aminah binti Wahab bin Abdul Manaf bin Zuhrah, salah satu keluarga bangsawan Quraisy
yang terhormat. Tidak lama berselang setelah perkawinannya, Abdullah berangkat ke
Syria untuk berniaga bersama dengan para pedagang Quraisy lainnya. Ketika itu, Aminah
telah menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Dalam perjalanan pulang dari Syria, tiba-tiba
Abdullah jatuh sakit pada saat rombongannya tiba di Yastrib. Anggota kafilah yang lain
melanjutkan perjalanan pulang ke Mekah, sementara Abdullah ditinggal di rumah seorang
Quraisy dari Bani Najjar untuk dirawat.
Berita tentang sakitnya Abdullah telah sampai kepada Abdul Muthallib, segera ia
mengutus putra tertuanya untuk menengok dan membawanya pulang apabila telah
sembuh. Akan tetapi setelah sampai di Yastrib, Harits memperoleh keterangan bahwa
Abdullah telah wafat, lebih kurang satu bulan kafilahnya kembali ke Mekah. Betapa sedih
hati Abdul Muthallib ditinggal putra yang disayangi, dan betapa dalam duka Aminah harus
berpisah dengan suami tercinta untuk selamanya.
Abdullah meninggalkan warisan untuk putranya yang masih dalam kandungan itu
seorang sahaya bernama Ummu Aiman yang kelak menjadi pengasuh Nabi yang sangat
setia, lima ekor unta dan beberapa ekor kambing. Sementara itu Aminah dengan penuh
sabar dan tabah menanti kelahiran bayi yang dikandungnya tanpa didampingi oleh suami
tercintanya.
72
Syalabi, Sejarah…., 70.
Nabi Muhammad SAW dilahirkan pada hari Senin tanggal 12
Rabiulawal tahun gajah atau bertepatan dengan tanggal 20
April 570 M. Tahun kelahirannya dikenal dengan nama
tahun gajah karena pada tahun itu terjadi peristiwa besar,
yaitu datangnya pasukan gajah menyerbu Mekah dengan tujuan menghancurkan Ka’bah.
Karena banyaknya tentara yang menyerbu menaiki gajah, orang Arab menyebut tahun ini
dengan tahun gajah. Pasukan gajah itu dipimpin oleh Abrahah, gubenur kerajaan Habsyi di
Yaman.73
Penyerbuan itu, dipantik oleh keinginan Abrahah mengambil alih peranan kota
Mekah dengan Ka’bahnya sebagai pusat perekonomian dan peribadatan bangsa Arab.
Keinginan sang gubenur paralel dengan keinginan Kaisar Negus dari Ethopia untuk
menguasai seluruh tanah Arab. Sebelum penyerbuan dilakukan, Abrahah mengutus
seseorang untuk menemui Abdul Muthallib dengan pesan bahwa kedatangan mereka
semata-mata hanya untuk meruntuhkan Ka’bah dan bukan untuk memerangi penduduk
Mekah kecuali apabila ada perlawanan. Abrahah memang sudah membangun al-Qulles,
sebuah rumah ibadah yang megah nan indah di kota Sanaa, ibu kota Yaman, sebagai
ganti Ka’bah.
Secara kuantitatif pasukan Abrahan sangat banyak dan profesional. Menyadari
realitas tersebut, Abdul Muthallib dan penduduk Mekah tidak akan mampu melawannya.
Karenanya, ia menganjurkan penduduk Mekah mengungsi ke luar kota. Pertahanan
Ka’bah diserahkan sepenuhnya kepada Tuhan. Seraya berdoa: ”Ya Tuhan, tak ada orang
yang dapat kami harapkan kecuali Engkau. Selamatkanlah rumah-Mu dari serangan
mereka. Musuh rumah-Mu adalah juga musuh-Mu”.
Doa yang dipanjatkan oleh Abdul Muthallib dijawab oleh Tuhan. Tentara Abrahah
hancur berantakan terserang wabah penyakit yang mematikan yang dibawa oleh burung
ababil yang melempari tentara gajah. Dalam beberapa saat seluruh tentara Abrahah
terserang penyakit, jatuh bergelimpangan beserta gajah mereka. Abrahah sendiri lari
kembali ke Yaman dan tak lama setelah itu meninggal dunia. Peristiwa ini diabadikan oleh
Allah SAW dalam firman-Nya, artinya:
73
Azyumardi Azra, (Pimred), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), 61.
”Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu bertindak terhadap
tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk
menghancurkan Ka’bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka
burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu
(berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-
daun yang dimakan (ulat)”.74
Muhammad bin Abdullah lahir dalam keadaan yatim. Ayahnya Abdullah, wafat 3
(tiga) bulan setelah ia menikahi Aminah binti Wahab. Waktu itu, ia mengikuti rombongan
kafilah ke negeri Syria (Syam) untuk berdagang. Dalam perjalanan pulang, ia jatuh sakit
dan akhirnya meninggal dunia di Yastrib (Madinah). Ketika itu, Abdullah telah pula
meninggalkan bibit keturunannya dalam rahim istri tercintanya Aminah.
Pagi hari (Senin) setelah kelahiran, Abdul Muthallib langsung mendatangi rumah
Aminah setelah mendengar kabar gembira itu. Ia mengangkat, mencium dan mendekap
cucunya yang berparas tampan dengan mesra dan penuh kasih sayang, lalu berjalan
menuju Ka’bah untuk melakukan tawaf. Seminggu berselang, Abdul Muthallib
mengadakan selamatan. Semua orang Quraisy diundang dan mereka pun hadir untuk
menyatakan turut berbahagia dan gembira. Pada saat itulah Aabdul Muthallib memberikan
nama ”Muhammad” kepada cucunya itu, yang berarti ”orang yang terpuji”.
Nama Muhammad, agak ganjil di telinga orang Quraisy. Oleh karena itu mereka
berujar: ”Sungguh di luar kebiasaan, keluarga Tuan begitu besar, tapi tak satu pun
bernama demikian”. Abdul Muthallib dengan sumringah menjawab: ”Saya mengerti. Dia ini
memang lain dari yang lain. Dengan nama ini saya ingin agar seluruh dunia memujinya”.
Sungguh Amazing!!!
74
QS. al-Fiil: 1-5.
pertumbuhan anak. Hajat lainnya adalah
agar mereka dapat berbicara bahasa Arab
dengan fasih. Secara geografis, kota Mekah terletak di tengah lembah yang dikelilingi oleh
pegunungan yang menyebabkan udaranya kurang baik bagi pertumbuhan anak, lebih-
lebih setelah Mekah menjadi kota besar dan berpenduduk padat. Anak-anak yang
diserahkan kepada ibu asuh diberikan imbalan. Dengan demikian, tentu saja setiap ibu
asuh menginginkan dapat mengasuh anak orang kaya dengan harapan mendapat upah
yang besar.
Ketika Muhammad SAW lahir, ibu-ibu dari desa Sa’ad datang ke Mekah
menghubungi keluarga yang akan menyusukan anaknya. Desa Sa’ad terletak ± 60 km
dari Mekah, dekat kota Ta’if, suatu daerah pegunungan yang sangat baik udaranya, tidak
terlalu dingin dan tidak terlalu panas. Di antara ibu-ibu itu, terdapat seorang wanita yang
bernama Halimah binti Dua’ib as-Sa’diyah.
Ketika ibu-ibu yang lain sudah mendapatkan keluarga yang menyerahkan anak
untuk disusui, Halimah belum mendapatkannya. Ia memang sudah menemui Aminah
tetapi belum mengambil keputusan untuk mengasuh putra Aminah, karena kondisi
ekonomi Aminah yang lemah. Ketika itu ia berkata kepada suaminya, Haris, bahwa ia
telah berusaha keluar masuk lorong mencari anak asuh, tetapi yang dicarinya tidak ada
kecuali seorang bayi, anak yatim. Akan tetapi, anak itu sungguh menawan hatiku. Matanya
berseri-seri dan pandangannya tajam. Suaminya kemudian mendesak supaya Halimah
mengambil anak itu, sambil berharap, Tuhan memberkati mereka. Akhirnya Halimah
mengambil Muhammad SAW untuk disusui. Aminah dan Abdul Muthallib pun
melepaskannya dengan penuh suka cita.
Diceritakan bahwa kehadiran Muhammad SAW dalam keluarga yang miskin itu
sungguh membawa berkah. Kehidupan keluarga Haris dan Halimah yang sebelumnya
suram, penuh kesedihan dan kemelaratan karena miskin, berubah menjadi ceria, penuh
kebahagiaan dan kedamaian. Kambing yang mereka pelihara beranak pinak, badannya
gemuk dan menghasilkan bayak susu dari biasanya. Padang rumput yang digunakan
sebagai tempat untuk menggembala kambing dan domba tumbuh subur. Keluarga ini
sangat percaya bahwa anak dari Mekah yang mereka asuh itulah membawa berkah dalam
kehidupan mereka.75
Sejak dilahirkan, bayi kecil yang bernama Muhammad SAW itu, telah
memperlihatkan tanda-tanda keistimewaan yang tidak terdapat pada bayi lain.
Pertumbuhan badannya sangat cepat. Pada usia 5 (lima) bulan sudah pandai berjalan,
usia 9 (sembilan) bulan sudah cakap berbicara. Pada usia 2 (dua) tahun sudah bisa
dilepas bersama anak Halimah untuk menggembala kambing. Pada usia itulah ia berhenti
menyusu dan saatnya pun tiba untuk mengembalikannya kepada ibu kandungnya di
Mekah. Dengan berat hati Halimah terpaksa berpisah dengan anak asuhnya yang telah
membawa berkah itu, sementara Aminah sangat senang melihat anaknya kembali dengan
segar bugar.
Tidak lama berselang, Muhammad SAW kembali berada di bawah asuhan Halimah
karena kota Mekah diserang wabah penyakit. Halimah kembali menawarkan jasa baiknya
dan Aminah dengan berat hati merelakan kepergian anaknya demi kesehatan dan
keselamatannya. Dalam masa asuhan kali ini, baik Halimah maupun anaknya yang
memang biasa bermain-main dengan Muhammad SAW, kerab menemukan keajaiban
pada diri Muhammad SAW. Tunjuk misal: anak Halimah sering mendengar suara yang
memberikan salam kepada Muhammad SAW dengan ucapan: ”Assalamu’alaikum ya
Muhammad”, padahal mereka tidak melihat ada orang yang memberikan salam itu. Pada
hari yang lain, Dimarah, anak Halimah, berlari-lari pulang sambil menangis. Dengan
terbata-bata ia berkata bahwa ada orang yang menagkap Muhammad SAW. Orangnya
besar dan berpakaian putih. Sejurus kemudian Halimah bergegas menyusul Muhammad
SAW. Ia mendapatkannya sendirian tengah menengadah ke langit. Setelah ditanya oleh
Halimah, Muhammad SAW berkata:
”Ada dua malaikat turun dari langit. Mereka memberikan salam kepadaku, membuka
bajuku, dan membelah dadaku, membasuhnya dengan air yang mereka bawa, lalu
mereka menutup dadaku kembali tanpa aku merasa kesakitan, tidak luka, dan tidak
ada bekasnya. Kedua malaikat itu baru saja menghilang ke angkasa”. 76
75
Maulana Muhammad Ali, Hayah Muhammad wa Risalatihi, terj. Munir al-Ba’albaki, (Beirut: Darul ‘Ilm lil
Malayin, 1977), 197.
76
Muhammad al-Khadari Husain, Muhammad Rasulullah wa Khatam an-Nabiyyin, (Damascus: tp,
1971), 234.
Halimah tentu gembira melihat anak asuhnya tanpa cedera. Namun ia tetap
khawatir akan keselamatannya, karena itu diusia 4 (empat) tahun, ia mengembalikan
Muhammad SAW kepada ibu kandungnya, Aminah. Kembali Aminah merasa gembira
menerima anaknya pulang. Badan anaknya sehat, jiwanya murni, budi bahasanya halus,
pikirannya cerdas, tutur katanya lemah lembut, dan rawut wajahnya sangat simpatik
hingga menarik setiap orang yang melihatnya. Dalam usia yang mulai dapat memahami
lingkungan seperti itu, Aminah banyak menceritakan kepada anaknya tentang ayahnya
yang telah meninggal dunia dan dikebumikan di Yastrib.
Pada suatu hari, Aminah membawa anaknya ke pusara suaminya, dengan seorang
pembantu wanita bernama Ummu Aiman. Mereka berangkat dengan mengendarai unta
melewati padang pasir yang panas terik. Setelah berziarah dan mengunjungi beberapa
keluarga sekitar sebulan lamanya di Yastrib, mereka pun pulang ke Mekah. Setibanya
mereka di kampung Abwa’ (antara Madinah dan Mekah, ± 37 km dari Madinah), Aminah
jatuh sakit dan beberapa hari kemudian meninggal dunia serta dikebumikan disana.
Setelah pemakaman, dengan ditemani Ummu Aiman, Muhammad SAW pulang ke Mekah.
Kakeknya Abdul Muthallib menyambutnya dengan perasaan yang amat sangat haru dan
duka cita yang mendalam.
Dalam usia yang ke-6, Muhammad SAW dalam keadaan yatim piatu, Hal ini
diabadikan oleh Allah SWT dalam firmannya:
”Bukankah Allah mendapatimu sebagai anak yatim, lalu Dia melindungimu.
Dan Allah mendapatimu sebagai orang yang bingung, lalu Dia memberimu
petunjuk”.77
Setelah Aminah meninggal dunia, Abdul Muthallib mengambil alih tanggung jawab
merawat Muhammad SAW. Hidup bersama kakeknya ini juga tidak berlangsung lama.
Dua tahun kemudian Abdul Muthallib meninggal dunia. Tanggung jawab selanjutnya
beralih kepada pamannya Abu Thalib. Di antara pamannya, memang Abu Thalib yang
paling menyerupai kakeknya, yakni mewaisi pembawaan seorang pemimpin. Walaupun
secara ekonomi cukup lemah, ia sangat disegani, dihormati orang Quraisy dan penduduk
Mekah pada umumnya.
Pada usia 12 tahun, Muhammad SAW telah tumbuh dengan tubuh yang sehat dan
kuat. Siapa saja yang bergaul dengannya akan merasa senang dan suka kepadanya.
77
QS. Ad-Dhuha, 6-7.
Dalam usia seperti itu, Abu Thalib mengambulkan permintaan Muhammad SAW untuk ikut
serta dalam kafilahnya ketika ia memimpin rombongan dagang ke Syria. Usia 12 atau 14
tahun, sesungguhnya terlalu kecil untuk ikut dalam perjalanan seperti itu. Dalam
perjalanan ini, kembali terjadi keajaiban yang merupakan tanda kenabian Muhammad
SAW.
Iring-iringan kafilah Abu Thalib bergerak ke utara menuju Syria. Sinar matahari yang
panas terik, membakar rombongan musafir, tidak dirasakan oleh Muhammad SAW,
karena segumpal awan menggantung di atas kepalanya bagaikan sebuah payung yang
selalu menaunginya. Awan itu bergerak mengikuti kafilah dari pagi hingga sore hari. Jika
kafilah berhenti, awan itu pun turut berhenti.
Awan itu menarik perhatian seorang pendeta Kristen bernama Buhaira yang
memperhatikan dari atas biaranya di Busra. Ia menguasai betul isi kitab Taurat dan Injil.
Hatinya bergetar ketika melihat dalam rombongan kafilah itu terdapat seorang anak yang
terang-benderang sedang mengendarai unta. Anak itulah yang terlindung dari sorotan
sinar matahari oleh segumpal awan di atas kepalanya. ”Inilah Roh Kebenaran yang
Dijanjikan itu” katanya. Dia berlari ke jalan menyongsong kafilah itu dan mengundang
mereka dalam suatu perjamuan makan. Dalam jamuan itu, pendeta Buhaira terlibat dalam
perbincangan dengan Abu Thalib. Selain awan tersebut di atas, perbincangan dengan Abu
Thalib semakin memperteguh keyakinannya bahwa anak yang bernama Muhammad
adalah calon nabi yang ditunjuk oleh Allah SWT. Tanda itu semakin dipertegas lagi
dengan isi perbincangannya dengan Muhammad SAW secara langsung dan tanda
kenabian yang terdapat dibelakang bahunya. 78
Ketika akan berpisah, pendeta Buhaira berkata kepada Abu Thalib: ”Saya berharap
Tuan berhati-hati benar menjaga dia. Saya yakin, dialah nabi akhir zaman yang telah lama
ditunggu-tunggu oleh umat manusia. Usahakan agar hal itu tidak diketahui oleh orang-
orang Yahudi. Mereka telah membunuh nabi-nabi sebelumnya. Saya tidak mengada-ada,
apa yang saya terangkan itu adalah berdasarkan apa yang saya ketahui dari Taurat dan
Injil. Semoga tuan-tuan selamat dalam perjalanan”. 79
Pada saat berusia 15 tahun, ketika terjadi perselisihan yang kemudian pecah dalam
peperangan antara suku Hawazin dan suku Quraisy, Muhammad SAW terpaksa membela
78
Ibnu Hisyam, as-Sirah …., 45.
79
Ibid
sukunya. Ia bertugas menyediakan anak panah bagi pamannya dalam perang yang
dinamakan perang Fijar (Harb al-Fijar) itu. Dinamakan demikian karena perang ini
melanggar kesucian, karena suku Hawazin menyerang suku Quraisy pada bulan
Zukqaidah, salah satu bulan yang disebut bulan perdamaian (diharamkan berperang). 80
Konsekuensi perang tersebut adalah Ka’bah tidak ramai dikunjungi orang pada
musim haji. Hal ini secara ekonomis menyebabkan penduduk Mekah kehilangan
pendapatannya, terutama dari golongan rakyat miskin. Kondisi ini memotivasi Muhammad
SAW mendirikan Hilf al-Fudul,81 sebuah lembaga yang bertujuan membantu orang miskin
dan orang-orang yang teraniaya. Baik penduduk pribumi maupun pendatang, mendapat
perlindungan dan hak yang sama di lembaga ini. Melalui lembaga ini, bakat kepemimpinan
Muhammad SAW mulai terasah, namanya mulai harum di tengah masyarakat Mekah.
Karena aktivitasnya di lembaga Hilf al-Fudul itu, di samping membantu perdagangan
pamannya, namanya semakin terkenal sebagai orang yang sangat terpercaya. Relasi
dagangnya juga semakin menggurita karena berita kejujurannya segera tersiar dari mulut
ke mulut sehingga ia mendapat gelar al-Amin yang berarti orang yang terpercaya.
Dari waktu ke waktu, rasa keadilan dan kemanusiaan Muhammad SAW semakin
dikenal di masyarakat. Ketika Muhammad SAW menginjak usia 35 tahu, bangunan Ka’bah
rusak berat akibat banjir besar. Perbaikan Ka’bah pun dilakukan secara gotong royong
oleh seluruh penduduk Mekah. Tapi pada saat pekerjaan akan berakhir, ketika pekerjaan
tinggal mengangkat dan meletakkan Hajar Aswad (batu hitam) pada tempatnya semula,
timbul perselisihan. Setiap suku ingin mendapat kehormatan dan merasa lebih berhak
dibanding yang lain untuk melakukannya.
Pada saat perselisihan itu memuncak, Abu Umaiyah bin Mugirah dari suku Makzum
tampil ke depan dan berkata: Serahkan putusan kamu ini kepada orang yang pertama
memasuki pintu safa ini. Semua kepala suku menyetujui usul tersebut. Semua menanti
siapa yang mula-awal masuk melalui pintu itu. Tidak lama berselang tampaklah
Muhammad SAW muncul dari balik pintu itu. Semua hadirin berseru: ”Itu dia al-Amin, Kami
rela menerima keputusannya”.
80
Bulan lain yang disepakati haram berperang oleh komunitas Arab pra Islam adalah Zulhijjah,
Muharram dan Rajab. Dalam bulan-bulan itu, tidak diperbolehkan melakukan peperangan, agar
penyelenggaraan pasan niaga dan pasar sastra tidak terganggu serta pelaksanaan upacara agama (haji dan
umrah) tidak tertunda.
81
W. Montgomery Watt, Muhammad at Macca, (Oxford: Oxford University Press, 1960), 34.
Setelah persoalannya di ketahui, Muhammad SAW pun menerima kesepakatan
mereka itu. Ia kemudian membentangkan serbannya di atas tanah. Ia meletakkan Hajar
Aswad di tengah, kemudian meminta seluruh kepala suku memegang tepi serban itu dan
mengangkatnya serentak bersama-sama. Setelah sampai pada ketinggian tertentu yang
diharapkannya, Muhammad SAW kemudian meletakkan batu itu pada tempatnya semula.
Dengan demikian perselisihan dapat diselesaikan dengan bijaksana dan semua kepala
suku merasa puas dengan penyelesaian serupa itu.
LATIHAN
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi (Pimred), 2005, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Hasan, Ibrahim Hasan, 1964, Tarikh Islam as Siyasi wa al-Ijtimai, Kairo: Maktabah an
Nadliyah.
Ibnu Hisyam, 1936, as-Sirah an-Nabawiyyah, Cairo: Mustafa al-Babi al-Halami, 1936.
Muhammad Ali, Maulana, 1977, Hayah Muhammad wa Risalatihi, terj. Munir al-Ba’albaki,
Beirut: Darul ‘Ilm lil Malayin.
Muhammad al-Khadari Husain, 1971, Muhammad Rasulullah wa Khatam an-Nabiyyin,
Damascus: tp.
Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.
Syalabi, Ahmad , 1970, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Muhktar Yahya, Jakarta:
Jayamurni.
Watt, Montgomery Watt, 1960, Muhammad at Macca, Oxford: Oxford University Press.
MATERI KULIAH
Pertemuan ke : IV (empat)
Materi : Pembumian Islam di Mekah
82
Menyepi dalam rangka bertafakkur tentang eksistensi khaliq dan makhluk serta hidup dan kehidupan
setelah kehidupan di dunia. Lihat Muhammad Hussain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Litera
Antar Nusa, 1992) 75.
83
Tahannuf yaitu suatu sikap pengembaraan intelektualitas-spritualitas yang cenderung kepada
kebenaran, meninggalkan dan menjauhkan diri dari paganisme. Ibid.
84
Tahannuth yaitu suatu sikap yang selalu dengan sungguh-sungguh mengerjakan kebaikan,
menjauhkan diri dari perbuatan dosa serta selalu mendekatkan diri kepada sang pencipta. Ibid.
85
Terletak di Jabal Nur (bukit cahaya) ± 2-3 mil sebelah utara Kota Mekah.
mencekiknya, kemudian dilepaskan lagi, seraya berkata: ”Bacalah!” Masih dalam
ketakutan akan dicekik lagi, Muhammad SAW menjawab: ”Saya tidak pandai membaca”
Begitu seterusnya berulang sampai tiga kali. Pada kali yang ketiga beliau menjawab
dengan perasaan takut, kalau-kalau dicekik lagi, seraya beliau menjawab: ”Apa yang harus
aku baca”. Kemudian Jibril a.s berkata:
“Bacalah! Dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmulah yang
Maha Pemurah. Yang mengajarkan(manusia) dengan pena. Dia mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. 86
Sesudah itu beliau segera pulang dengan hati cemas dan badan bergetar seperti
kena demam, karena ketakutan. Sesampainya di rumah, beliau meminta istrinya-Khadijah
binti Khuwailid- menyelimutinya. Istri yang setia itu dengan senang hati bercampur cemas,
mengabulkan permintaan suami yang dicintai dan disayanginya. Setelah tenang barulah
beliau menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya di gua hira sambil tetap
mengkhawatirkan dirinya.
Khadijah dengan pengabdiannya yang tulus sebagai seorang istri yang bijaksana,
disertai tutur kata yang halus dan sikap yang lembut berusaha menenangkan hati
suaminya. Untuk lebih menentramkan hati suaminya itu, Khadijah mengajak Nabi
Muhammad SAW menemui saudara sepupunya Waraqah bin Naufal, seorang penganut
nashrani yang sangat taat dan memahami betul isi kitab Taurat dan Injil. Pada waktu itu
umur Waraqah bin Naufal sudah sangat tua dan matanya sudah tidak dapat melihat.
Setelah waraqah bin Naufal mendengar cerita tentang peristiwa di Gua Hira itu, ia
pun berkata: ”Aku bersumpah dengan nama Tuhan, yang dalam tangan-Nya terletak hidup
Waraqah. Tuhan telah memilihmu menjadi nabi kaum ini. An-Namus al-Akbar (Malaikat
Jibril a.s) telah datang kepadamu. Kaummu akan mengatakan bahwa engkau penipu,
mereka akan memusuhimu, mereka akan mengusirmu, dan mereka akan melawanmu.
Sungguh, sekiranya aku dapat hidup sampai hari itu, aku akan berjuang membelamu”. 87
Meskipun mengandung kekhawatiran, hati Nabi Muhammad SAW sudah mulai
tenang kembali. Itulah wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada
86
QS. al-Alaq: 1-5.
87
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1990), 26.
Muhammad SAW dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. Pada saat menerima wahyu
pertama ini Nabi Muhammad SAW berusia 40 tahun 6 bulan 8 hari berdasarkan
perhitungan qamariyah atau 39 tahun 5 bulan 8 hari menurut perhitungan tahun
syamsiyah.88
Turunnya wahyu pertama ini, Nabi Muhammad SAW baru mencapai derajad
nubuwwah (kenabian), belum mendapat tugas menyampaikan risalah kepada umat
manusia. Setelah menyampaikan wahyu 89 yang pertama di Gua Hira itu, Jibril a.s. tidak
pernah lagi mendatangi Muhammad SAW selama beberapa waktu. Para ulama berselisih
pendapat tentang tenggat waktu masa keterputusan wahyu ini. Sebagian berpendapat
bahwa keterputusan wahyu tersebut berlangsung selama enam bulan, tetapi pendapat
yang lain mengatakan hanya empat puluh hari. Namun ada pendapat yang mengatakan
bahwa masa terputusnya wahyu ini hanya beberapa hari saja. 90
Terputusnya antara wahyu pertama dan kedua sempat membuat Rasulullah gelisah
dan putus asa. Tetapi sesungguhnya dibalik peristiwa ini tersirat hikmah yang amat sangat
dalam, antara lain: agar Rasulullah SAW merasakan kerinduan untuk kembali
mendapatkan wahyu setelah mengetahui bahwa dirinya telah diangkat menjadi seorang
Nabi; dan terputusnya wahyu ini dapat menjadi bukti bahwasanya wahyu bukan berasal
dan berumber dari diri pribadi Rasulullah SAW tetapi bermula-asal dari Allah SWT.
Selanjutnya turunlah wahyu kedua yaitu permulaan surat al-Muddatsir. Dengan
turunnya wahyu ini, Nabi Muhammad SAW telah mencapai derajat risalah (kerasulan)
karena beliau sekarang mendapat tugas untuk menyeru umat manusia kepada kebenaran
hakiki yang bersumber dari ajaran ilahi. Adapun bunyi wahyu kedua diturunkan oleh Allah
SWT kepada Nabi Muhammad SAW, adalah:
88
Azyumardi Azra, (Koord), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), 65. Lihat juga
Yayasan Penyelenggara Penerbit/Penerjemah al-Qur’an dan Terjemahannya, (Madinah: Mujamma’ Khadim
al-Haramain asy- Syarifain al-Malik Fahd li-Thiba’at al-Mushhaf asy-Syarif, t.th), 54.
89
Terdapat berbagai macam bentuk dan cara penurunan wahyu, antara lain: 1) wahyu diturunkan
melalui mimpi yang nyata (ar-Ru’yah ash-Shadiqah; 2) wahyu diturunkan langsung (ditiupkan) oleh Malaikat
Jibril ke dalam hati Nabi; 3) Wahyu disampaikan Jibril dengan cara menyamar menjadi seorang laki-laki yang
mendatangi beliau dan kemudian mengatakan beberapa kalimat hingga beliau mengetahui dan hafal kalimat-
kalimat tersebut; 4) wahyu yang turun dalam bentuk gemercingan lonceng; 5) wahyu diturnkan Jibril kepada
Nabi dalam bentuknya yang asli; 6) wahyu disampaikan Allah kepada beliau saat berada di atas langit dan 7)
wahyu langsung disampaikan Allah kepada beliau tanpa melalui perantaraan.
90
Muhammad ibn Abdul Baqi bin Yusuf Abu Abdillah Az-Zarqani, Syarah al-Mawahib al-Laduniyyah li-al-
Qasthalani, (Kairo: Zar ath-Thaba’ah al-Amiriyah, 1861) 271.
”Hai orang yang berselimut. Bangunlah lalu beri peringatan! Dan Tuhanmu
agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa
tinggalkanlah. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh
(balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu,
bersabarlah.91
Sungguh amat berat tugas yang diemban oleh Muhammad SAW dengan derajad
kerasulannya, namun jelas amat mulia. Beliau diwajibkan menyadarkan suatu kaum yang
sudah teramat rusak kepercayaan dan akhlaknya, kuat dan kokoh fanatisme dan
ta’ashshub-nya atas adat istiadat dan agama berhala nenek moyangnya. Dengan tugas
mulianya itu, beliau diwajibkan menyeru manusia kepada agama tauhid, melepaskan adat
istiadat jahiliyah dan menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan utama. Jadi dengan
penobatannya menjadi rasul, Nabi Muhammad SAW tidak hanya harus menerima wahyu
dari Allah SWT, melainkan diperintahkan juga untuk menyampaikannya wahyu-wahyu-Nya
kepada umat manusia.
94
QS. asy-Syu’ara: 214.
3. Dakwah secara terang-terangan. Polanya adalah seruan umum yang ditijukan kepada
seluruh penduduk Mekah. Pola ini dimulai setelah turunnya perintah Allah SWT
dengan firman-Nya: ”Maka jalankanlah apa yang telah diperintahkan kepadamu dan
berpalinglah dari orang-orang musyrik”. 95 Rasulullah SAW mengimplementasikan ayat
ini dengan menyeru kaumnya secara umum di tempat-tempat terbuka untuk
menyembah Allah dan mentauhidkannya.
Pada suatu hari Rasulullah SAW melakukan pertemuan terbuka di bukit Safa, dekat
Ka’bah. Beliau memanggil penduduk Mekah dengan suara yang cukup lantang.
Mereka berkumpul di sekitar Nabi SAW. Karena beliau adalah orang yang terpercaya
dan belum pernah berbuat seperti itu, penduduk Mekah berpendapat bahwa pastilah
terdapat masalah yang penting. Untuk menarik perhatian mereka, Nabi SAW pertama-
tama berkata: ”Saudara-saudaraku, jika aku berkata dibelakang bukit ini ada pasukan
musuh yang besar siap menyerang kalian, percayakah kalian?” Dengan serentak
mereka menjawab: ”Percaya. Kami tahu, Saudara belum pernah bohong. Kejujuran
Saudara tidak diragukan lagi dan tidak ada duanya. Saudaralah yang mendapat gelar
a-Amin”. Kemudian Nabi SAW meneruskan ucapannya: ”
Kalau demikian, dengarkanlah. Aku ini adalah seorang pemberi
peringatan (nazir). Allah telah memerintahkanku agar aku
memperingatkan saudara-saudara. Hendaknya kamu hanya
menyembah Allah saja. Tidak ada Tuhan selain Allah. Apabila saudara
ingkar, saudara akan terkena azab-Nya dan saudara nanti akan
menyesal. Penyesalan kemudian tidak ada gunannya”.
Pidato Nabi SAW ini membuat mereka marah dan murka. Sebagian yang hadir ada
yang berteriak-teriak marah dan ada yang mengejeknya sebagai orang gila. Namun
ada pula yang diam saja. Pada kesempatan itu Abu Lahab berteriak: ”Celakalah
engkau hai Muhammad, untuk inikah engkau mengumpulkan kami?” Betapa
tersinggungnya Rasulullah SAW mendengar ucapan pamannya itu. Sebagai balasan
terhadap ucapan Abu Lahab ini, Allah SAW membalasnya dengan menurunkan
firman-Nya, yang berarti:
95
QS. al-Hijr: 94.
”Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesunggunya dia akan binasa.
Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia
usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala.
Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang dilehernya ada
tali dan sabut”. 96
Secara kuantitas, tidak banyaknya orang yang berkonversi terhadap Islam pada masa
awal ini, bahkan muncul respon negatif dari masyarakat Arab, terkhusus dari sanak
keluarga Rasulullah SAW. Faktaneka sejarah ini, merupakan jawaban sekaligus
bantahan bagi orang-orang yang membangun asumsi bahwa agama ini lahir dari
fanatisme kebangsaan. Atau bagi mereka yang memandang dakwah Rasulullah SAW
sebagai implementasi misi dan ambisi bangsa Arab kala itu.
96
QS: al-Lahab: 1-5.
97
Ahmad Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983), 29
menyebabkan kabilah-kabilah Arab kehilangan kekuasaan dan pengaruhnya di dalam
masyarakat.
2. Faktor Sosial (Persamaan Hak). Salah satu prinsip utama doktrin Islam yang paling
fundamental adalah prinsip egalitarian. Prinsip ini menyamaratakan manusia dan
manafikannya dalam bingkai kehidupan duniawi yang bertitik tumpu pada
pragmatisme dan hedonisme dan menggantinya dengan standar ketaqwaan. Bertalian
dengan prinsip ini Allah berfirman, yang artinya: “Sesunggunya orang yang paling
mulia di sisi Aallah adalah yang paling taqwa.” 98
Tentu saja sistem sosial yang disodorkan Islam ini, jelas bertentangan dengan sistem
sosial yang sudah mentradisi dalam kehidupan komunitas Arab jahiliyah. Dalam
kehidupan sehari-hari, komunitas Arab jahiliyah tersegradasi dalam sistem sosial
bangsawan dan budak. Kaum bangsawan jelas hanya memiliki hak tanpa ada
kewajiban, sebaliknya kaum budak hanya memiliki kewajiban tanpa dibarengi dengan
hak. Karenanya, mayoritas bangsawan Quraisy membangun resistensi dan konfrontasi
terhadap Islam dan terutama kepada baginda Rasulullah SAW.
3. Faktor Kepercayaan (Takut Dibangkitkan). Paradigma Islam terhadap kehidupan dunia
berjalin berkelindan dengan kehidupan di hari kemudian kelak. Artinya pada hari
kiamat nanti, setiap manusia akan dibangkitkan kembali dari kuburnya. Manusia pada
hari itu harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya semasa hidup di dunia,
dihadapan pengadilan Allah SWT yang maha adil. Perbuatan yang baik jelas akan
dibalas dengan pahala sebaliknya perbuatan buruk akan menerima siksa.
Manusia dihidupkan kembali dalam kondisi tidak memiliki kekuasaan dan pengaruh,
kemudian segala perbuatannya diperhitungkan dengan sangat cermat dan adil. Bagi
orang Arab jahiliyah, potret kehidupan seperti ini, sungguh sangat kejam dan
menakutkan. Siklus kehidupan seperti ini jelas tidak diinginkan oleh para penganiaya
dan pendosa. Umumnya kaum jahiliyah membangun asumsi bahwa kehidupan di
dunia merupakan satu-satunya kehidupan. Dan bagi mereka tidak ada lagi proses
kehidupan yang meminta pertanggungjawaban atas segala perilaku di dunia.
Karenannya mereka menolak ajaran Islam yang diserukan oleh Rasulullah SAW.
98
QS. Al-Hujurat: 13
4. Faktor Tradisi (Taklid Kepada Nenek Moyang). Komunitas Arab jahiliyah sangat kuat
memegang tradisi nenek moyang mereka yang diwarisi secara turun temurun. Tradisi
yang mereka pegang teguh itu, dianggapnya sebagai sesuatu yang mutlak dan absolut
dan tidak bisa dirubah. Karenannya terlampau berat rasanya bagi mereka
meninggalkan agama nenek moyangnya dan menggantinya dengan keyakinan atau
agama yang baru (Islam). Apalagi prinsip dan doktrin agama yang baru itu,
bertentangan dengan keyakinan yang dianut oleh mereka selama ini. Bertalian dengan
ini Allah SWT berfirman, yang artinya: “Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah
mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab:
“Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.”
Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek
moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk.” 99
5. Faktor Ekonomi (Perniagaan Patung). Salah satu sumber kehidupan komunitas Arab
jahiliyah berasal dari hasil kerajinan tangan. Dan mayoritas kerajinan tangannya
berupa patung-patung yang menggambarkan tuhan-tuhan mereka seperti; Latta, Uzza,
Manat dan Hubal. Kemudian patung-patung ini dijual kepada jamaah haji yang datang
ke Mekah. Pada umumnya mereka membeli patung-patung itu untuk memperoleh
berkat dan dijadikan kenang-kenangan.
Islam yang berintikan ajaran tauhid, jelas melarang penyembahan terhadap patung-
patung ini. Larangan ini tentu saja merupakan ancaman yang akan mematikan usaha
dan sumber kehidupan mereka. Lebih dari itu muncul kekhawatiran di kalangan
penjaga-penjaga Ka’bah akan hilangnya kekayaan dan pengaruh yang mereka
peroleh dari pemujaan terhadap patung dan pelayanan terhadap orangyang datang ke
Mekah untuk memuja patung. Oleh karenannya mereka menentang dan menolak
agama Islam. Bagi mereka, dari perspektif ekonomi, Islam tidak mendatangkan
keuntungan bahkan mungkin bisa mengundang kebangkrutan.
Realitas historis ini membolehkan kita untuk mengatakan bahwa “sesungguhnya Islam
hadir bukan dalam ruang yang hampa atau Islam datang bukan dalam ruang yang
kosong.”100 Tetapi hampir disegala ruang dan waktu, termasuk di Arab sekalipun, Islam
99
QS. al-Maidah: 104
100
Zaki Athar, Menggali Sejarah Menimba ‘Ibrah: Tafsir Baru Atas Faaktaneka Sejarah Islam Klasik,
(Mataram: Genta Press, 2006), 78.
begitu dibumikan langsung bersinggungan dengan dimensi politis, C sosial, agama,
budaya dan sebagainya.
Mahdi Rizqullah Ahmad, Biografi Rasulullah, Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-sumber
101
QS. Fushshilat:13
109
terperanjat kaget dan langsung berdiri seperti mendengar petir yang akan
menyambarnya. Kemudian, ia pun kembali menemui kaum Quraisy dan mengabarkan
kepada mereka bahwa yang ia dengar dari Muhammad SAW bukanlah syair, sihir
ataupun sejenis mantera. Selain itu, ia juga menyarankan kepada kaum Quraisy agar
membiarkan Muhammad SAW dan sepak terjangnya.
7. Melakukan Ancaman. Setiap kali mendengar ada seorang pemuka Quraisy masuk
Islam, Abu Jahal selalu merasa geram. Lalu, ia akan mendatangi orang tersebut,
mengingatkannya dan mengancamnya seraya mengatakan: “Kamu telah berani
meninggalkan agama nenek moyangmu. Bukankah mereksa lebih baik dari pada
kamu! Sungguh kami akan menghancurkan impianmu, tidak lagi mengindahkan
pendapatmu, dan akan mencampakkan kehormatanmu.” Apabila yang masuk Islam itu
saudagar yang besar, ia berkata, “Sungguh, kami akan membuat barang daganganmu
tidak laku lagi dan seluruh hartamu akan kami musnahkan.” Adapun yang masuk Islam
itu orang yang tidak punya, atau fakir miskin, maka ia tak segan-segan langsung
menganiaya dan menyiksanya.
8. Menggunakan Tindakan Kekerasan. Semua upaya yang mereka lakukan tidak berhasil
membuat Rasulullah SAW dan pengikutnya meninggalkan agama Islam, maka bangsa
Quraisy mulai melancarkan berbagai macam penganiayaan terhadapnya dan
penyiksaan terhadap pengikutnya. Hal ini semakin gencar dilakukan semenjak beliau
berani melakukan ibadah-ibadah secara terbuka, seperti: shalat di depan Ka’bah.
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kaum musyrikin Quraisy adalah mereka
pernah mencekik leher Rasulullah SAW pada saat beliau sedang shalat. Mereka juga
melempari Rasulullah SAW dengan kotoran unta diketika ia sedang sujud dalam
shalatnya. Kaum musyrikin juga pernah memukulnya sampai-sampai beliau jatuh
pingsan. Utaibah bin Abu Lahab termasuk orang yang paling berani dan paling sering
menyakiti Rasulullah SAW. Ia pernah merobek-robek pakaian beliau. Bahkan, suatu
ketika ia pernah meludahi wajah Rasulullah SAW. Akan tetapi, ludahnya tidak
sedikitpun mengenai wajah Rasulullah SAW. Pada saat itu Rasulullah SAW langsung
mendoakannya: “Ya Allah, jadikanlah salah seekor anjing, dari sekian banyak anjing-
anjing-Mu memangsanya.” Dan benar do’a itu dikabulkan oleh Allah SWT, tak lama
kemudian terdengar kabar bahwa Utaibah telah disergap dengan ganasnya oleh
binatang buas pada saat dirinya sedang berada di daerah Zarqa, negeri Syam.
9. Mendatangi dan Menghasut Kaum Muslimin yang Berada di Luar Mekah. Derasnya
tekanan yang dilakukan oleh Quraisy jahiliyah terhadap kaum muslimin, membuat
mereka meninggalkan Kota Mekah dan mencari perlindungan kepada negara yang
dianggap aman. Salah satunya ke negeri Habsyah (Etopia). Tetapi ketika sebagian
kaum muslimin berhijrah ke Habsyah, kaum musyrik Mekah mengirim beberapa orang
untuk menyusul dan menghadang mereka sebelum masuk ke Kota Habsyah. Mereka
menemui setiap orang Islam dan membujuknya agar kembali pada kekafiran dan tetap
menetap di Mekah. Berikutnya ketika jumlah kaum muslimin yang menetap di Habsyah
semakin banyak, kaum musyrikin kembali mengirim beberapa utusan meminta orang-
orang muslim itu kembali. Demi tercapainya tujuan mereka itu, tidak jarang orang-
orang musyrik meggunakan cara-cara keji, menyuap dan melakukan berbagai tipu
daya dengan maksud menciptakan berbagai permusuhan di antara kaum muslimin
denganpara pejabat istana imperium Habsyah. Akan tetapi usha mereka ini gagal.
10. Pembeikotan (Embargo). Berbagai upaya telah dan terus dilakukan oleh Quraisy
jahiliyah untuk menghalang-halangi orang untuk memeluk agama Islam ternyata terus
gagal. Karenanya, ketika mereka melihat orang-orang yang masuk Islam semakin
bertambah banyak dan terutama setelah Hamzah dan Umar bin Khattab masuk Islam,
mereka kembali mengevaluasi berbagai cara yang pernah mereka lakukan. Setelah
itu, mereka berkesimpulan dan berketetapan mengambil cara lain yang lebih keras,
lebih kejam dan lebih luas pengaruhnya dari cara-cara mereka sebelumnya. Dan cara
yang mereka pilih adalah pembeikotan atau embargo total yaitu pemutusan segala
hubungan dengan kaum muslimin.
Kaum musyrikin Quraisy jahiliyah, sepakat menulis sebuah pernyataan yang berisi
kesepakatan mereka untuk: “tidak berhubungan dengan seluruh anggota Bani Hasyim
dan Bani Abdul Muthallib, juga tidak akan menikahi wanita-wanita dari kedua bani itu,
selama mereka tidak menyerahkan Muhammad SAW.” Setelah itu mereka
mengumumkan pernyataan itu dan menempelnya di dinding Ka’bah. Orang yang
menulis pernyataan ini adalah Mansur bin Ikrimah. Pembeikotan ini terjadi pada bulan
Muharram tahun ke-7 dari kenabian dan berlangsung selama tiga tahun.
Konsekuensinya adalah Rasulullah SAW beserta pengikutnya mengalami kesulitan
dan kekurangan bahan pokok untuk kebutuhan sehari-hari. Hal ini terjadi karena kaum
Quraisy jahiliyah tidak segan-segan menyiksa siapa saja yang diketahui telah
mengirimkan kepada salah satu kerabatnya dari Bani Hasyim dan Bani Muthallib.
Melihat realitas empiris ini, akhirnya beberapa orang yang berpengaruh dan sangat
ditakuti di antara mereka tergerak hatinya dan kemudian merobek surat pernyataan
pembeikotan yang ditempel di Ka’bah itu. Mereka itu adalah Hisyam bin Amru bin
Harits, Zuhair bin Abi Umaiyah, Mu’thim bin Adi, Zam’ah bin Aswad, dan Abu Bakhtiar
bin Hisyam bin Harits
DAFTAR PUSTAKA
Arnold, Thomas W., 1995, Sejarah Dakwah Islam, Jakarta: Wijaya.
Athar, Zaki, 2006, Menggali Sejarah Menimba ‘Ibrah: Tafsir Baru Atas faktaneka Sejarah
Islam Klasik, Mataram: Genta Press.
Azizy, A. Qodri, 2002, Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial , Semarang:
Aneka Ilmu.
Az-Zarqani, Muhammad ibn Abdul Baqi bin Yusuf Abu Abdillah, 1861, Syarah al-Mawahib
al-Laduniyyah li-al- Qasthalani, Kairo: Zar ath-Thaba’ah al-Amiriyah.
Haekal, Muhammad Hussein, 1992, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Litera Antar
Nusa.
Hassan, Ibrahim Hassan, 1996, Tarikh al-Islam al-Syiasi wa al-Dini wa al- Tsaqafi wa al-
Ijtima’i, Kairo: Maktabah al-Nahdiyah al-Mishriyah.
Ibnu Hisyam, 1936, Sirah an-Nabawi, Kairo: Mustafa al-Habi al-Halabi.
Ignaz Goldziher, 1967, Muslim Studies, London: George Allen.
Rus’an, 1999, Sejarah Islam di Zaman Rasulullah SAW, Semarang: Wicaksana.
Syalaby, Ahmad, 1987, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna.
MATERI KULIAH
Pertemuan ke : V (lima)
Materi : Hijrah: Ikhtiar Rasulullah dan Para Sahabat Menggapai Sukses yang
Gemilang
QS.az-Zumar: 10
111
Tak beberapa lama tinggal di negeri Habasyi, kaum muslimin yang berhijrah
mendengar kabar, bahwa penduduk Mekah telah berbondong-bondong masuk Islam.
Mendengar kabar ini, mereka pun kembali ke negeri asalnya pada tahun yang sama.
Tetapi yang ditemukan bukanlah penduduk Mekah yang beriman terhadap Islam, justru
mereka mendapat penganiayaan dan penyiksaan yang semakin kejam. Realitas inilah
yang menyebabkan mereka kembali berhijrah ke negeri Habasyi untuk yang kedua
kalinya. Pada hijrah kali ini diikuti oleh 80 orang kaum laki-laki dan 19 orang perempuan.
Setelah sampai di negeri Habasyi, kaum muslimin disambut baik oleh penduduk dan
penguasa negeri itu. Raja Najasyi memperlihatkan rasa simpati dan hormatnya terhadap
kaum muslimin dengan cara memberikan rasa aman dan memberikan kebebasan untuk
menjalankan ajaran-ajaran agama kaum muslimin.
Diketika kaum Quraisy mendengar kabar kaum muslimin hijrah ke negeri Habasyi,
mereka mengutus dua orang yaitu Abdullah bin Abi Rabi’ah dan Amru bin Ash, untuk
menemui raja Najasyi,112 dengan hajat untuk mempropokasi sang raja untuk tidak
menerima kehadiran atau mengusir kaum muslimin. Sesampainya di negeri Habasyi,
kedua utusan itu membagi-bagikan hadiah kepada setiap pejabat istana Najasyi sebelum
menghadap sang raja. Kepada setiap petinggi istana, keduanya selalu berkata: “Telah
datang ke negeri sang raja, para budak-budak bodoh dari negeri kami. Mereka itu telah
meninggalkan agama kaumnya, tetapi juga tidak masuk ke dalam agama kalian, Mereka
datang ke negeri ini dengan membawa agama baru yang kami dan kalian tidak
mengenalnya”.
Utusan kaum Quraisy ini bersekongkol dengan para petinggi istana untuk bersama-
sama membujuk sang raja agar bersedia menyerahkan kaum muslimin ke tangan dua
utusan Quraisy itu dengan tanpa mengajak berbicara mereka terlebih dahulu. Akan tetapi
ketika raja Najasyi mendengar permintaan itu, ia tetap berpendapat harus memanggil
kaum muslimin untuk mendengar sendiri jawaban mereka. Karena itu, dipanggilah kaum
muslimin untuk datang ke istana untuk dimintai pendapatnya. Ja’far bin Abdul Muthallib-
juru bicara kaum muslimin- menjelaskan kepada raja Najasyi tentang ajaran yang dibawa
oleh Nabi Muhammad SAW dan sikap kaum mereka (Quraisy) terhadapnya.
Mahdi Rizqullah Ahmad, Biografi Rasulullah, Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-Sumber
112
Ketika menyaksikan keadaan Rasulullah SAW yang demikian menyedihkan itu, kedua
putra Rabi’ah merasa iba, kemudian ia memerintahkan seorang budak laki-lakinya yang
beragama Nasrani yang bernama Adas untuk memberikan beberapa buah anggur kepada
Rasulullah SAW. Setelah menyuguhkan anggur, Adas merasa terkejut ketika mendengar
Rasulullah SAW mengucapkan ”Basmalah” ( Bismillahirrahmanirrahim) sebelum memakan
anggur tesebut. Namun akhirnya keheranan tersebut sirna setelah Rasulullah SAW
memberitaukan kepadanya bahwa beliau adalah seorang Nabi. Lantas, dengan serta
merta Adas langsung mencium kepala, kedua tangan dan kedua kaki Rasulullah SAW.
Setelah mengalami berbagai macam penganiayaan dan celaan di Thaif, Rasulullah
SAW pun kembali ke Mekah dalam keadaan sangat bersedih. Sesampainya di Qarnu ats-
Tsa’alib-Qarnu al-Manazil- Allah mengutus Malaikat Jibril untuk mendatangi beliau. Ikut
serta mendampingi Jibril saat itu adalah malaikat penjaga gunung-gunung. Kepada
Rasulullah SAW, malaikat ini menawarkan diri kepada beliau untuk membalik dua gunung
Mekah agar menjadi bencana bagi penduduk Thaif. Tetapi Rasulullah menjawab: “Jangan
lakukan, aku masih berharap agar Allah melahirkan dari keturunan mereka orang-orang
yang hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan apapun”.
Sesampainya diperbatasan kota Mekah, Rasulullah SAW mengirim surat kepada
Akhnas bin Syuraiq untuk meminta jaminan keamanan. Namun ternyata Akhnas adalah
seorang penakut. Ia menolak permintaan Rasulullah SAW dengan alasan bahwa dirinya
telah bersekutu dengan bangsa Quraisy, sehingga ia tidak dapat melindungi. Selanjutnya
Rasulullah SAW juga berkirim surat kepada Suhail bin Amru untuk meminta jaminan
keamanan darinya. Namun Suhail pun ternyata menolak. Ia beralasan bahwa keturunan
Bani Amru tidak boleh memberikan perlindungan kepada Bani Ka’ab. Akhirnya, Rasulullah
SAW meminta jaminan keamanan kepada Muth’im bin Adi. Dan ia pun menyanggupi,
bahkan ia mengerahkan seluruh anaknya dan seluruh anggota keluarganya untuk
bersama-sama melindungi Rasulullah SAW.
114
Ibid,149
Rasulullah SAW tentu saja tidak bisa melupakan kebaikan Muth’im bin Adi dan
keluarganya ini, juga kebaikan mereka sebelumnya ketika menentang perjanjian
pembeikotan terhadap seluruh keluarga beliau. Karenannya, seusai perang Badar dan
kaum muslimin berhasil menawan beberapa tokoh Quraisy jahiliyah, Rasulullah SAW
berkata: “Seandainya Muth’im bin Adi masih hidup, kemudian ia meminta orang-orang itu
kepadaku, niscaya aku akan memberikan mereka kepadanya sebagai balasan atas jasa
baiknya kepadaku”.
115
Syekh Muhammad al-Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj. Karsidjo Djodjosuwarno (Bandung:
Pustaka Salman ITB, 1981), hlm. 71-100.
116
Karen Armstrong, Islam A short History (New York: Modern Library, 2000) p. 15.
117
Muhammad Husein Haekal, Sejarah Hidup Nabi, terj. Ali Audah cet. ke 13 (Jakarta: Litera Antar
Nusa, 1992),179.
Yastrib. Penduduk yang berasal dari kota ini terdiri dari Suku ‘Aus dan Khazraj.
Keduanya selalu bermusuhan. Di sisi lain mereka pun tersadarkan dari kebiasaan
buruk mereka yang selalu bertikai setelah peristiwa Bu’ats. Baginya kebiasaan buruk
ini akan selalu menguntungkan orang-orang Yahudi. Ketika Suku Khazraj berziarah ke
Mekah pada musim haji dan ditemui oleh Rasulullah SAW, beberapa orang dari
mereka menyatakan diri masuk Islam.
Pada musim haji berikutnya, tahun kedua belas sesudah kenabian, datanglah 12
orang laki-laki dan seorang permpuan dari Yastrib menemui Rasulullah SAW di
Aqabah. Di tempat inilah mereka berikrar kepada Nabi yang isinya adalah: “bahwa
mereka bersedia untuk tidak menyekutukan Allah dengan apapun, mencuri, berzina,
membunuh anak-anak, membuat fitnah, membuat keonaran di antara mereka dan
mendurhakai Nabi. Barang siapa menempati sumpah ini, niscaya ia akan
mendapatkan pahala dari sisi Allah. Namun barang siapa melanggarnya, maka
keputusannya adalah hanya pada Allah, Dia bisa mengazabnya dan juga bisa
mengampuninya”.118
Ketika mereka hendak pulang ke Yastrib, Rasulullah SAW mengutus Mush’ab bin
Umair untuk mengajari mereka al-Qur’an dan doktrin Islam. Sejak itu ia terkenal
dengan panggilan Muqri’u al-Madinah (orang yang dikenal bagus bacaannya). Ia
tinggal di rumah As’ad bin Zurarah. Dan orang ini pulalah yang memulai shalat Jum’at
pertama, yakni ketika jumlah mereka sudah mencapai empat puluh orang. Adapun
yang bertindak menjadi imam adalah Mush’ab bin Umair.
Pada musim haji tahun berukutnya -tahun ketiga belas dari kenabian- serombongan
orang Yastrib berjumlah 73 orang laki-laki dan 2 orang perempuan (Nasibah binti
Ka’ab dan Asma binti Amru bin Adi) menunaikah haji. Mereka mengundang Rasulullah
SAW untuk melakukan pertemuan lagi di Aqabah pada pertengahan hari-hari tasyrik.
Pada pertemuan ini Rasulullah SAW ditemani oleh pamannya Abbas bin Abdul
Muthallib. Pada kesempatan itu ia berkata: “Wahai seluruh warga Khazraj -orang-
orang Arab saat itu biasa menyebut negeri Yastrib ini dengan Khazraj, tanpa
membedakan wilayah ‘Aus dan Khazraj- sesungguhnya Muhammad SAW ini berasal
Dalam sejarah Islam peristiwa ini disebut dengan Bai’ah al-Aqabah Ula karena dilangsungkan di
118
Aqabah untuk pertama kalinya. Dikenal pula dengan sebutan Bai’ah al-Nisa (perjanjian perempuan) karena
dalam bai’ah ini ikut seorang perempuan bernama Afra binti Abid bin Ts’labah.
dari keluarga kami seperti telah kalian maklumi. Kami dan mereka yang sepandangan
dengan kami tentangnya, sebenarnya sudah melindunginya dari kami, sehingga ia pun
tetap terhormat dan aman di negerinya ini. Namun ternyata ia sekarang ingin
bergabung dan tinggal dengan kalian. Maka, bila kalian sanggup memenuhi apa yang
pernah kalian janjikan kepadanya dan melindunginya dari orang-orang yang
memusuhinya, maka kalian harus bertanggung jawab atas semua itu. Dan ingat, kalian
jangan bermain-main dengannya, karena ia masih terhormat dan terlindungii oleh
kaumnya dan negerinya!”
Kaum Khazraj menjawab: “Kami telah mendengar apa yang Anda sampaikan”. Maka
sekarang bicaralah wahai Rasulullah SAW, tentukan apa yang engkau inginkan dan
apa yang dikehendaki Tuhanmu”. Kemudian Rasulullah SAW mengutarakan
keinginannya: “Aku akan meminta kalian berbaiat untuk melindungiku, seperti kalian
melindungi istri dan anak-anak kalian”. Kaum Khazraj lalu menjawab: “Demi zat yang
telah mengutusmu dengan kebenaran sebagai seorang nabi, kami sungguh-sungguh
akan melindungimu sebagaimana kami melindungi anak-anak dan istri kami”.
Rasulullah SAW menjawab: “Aku telah menerima baiat kalian”. 119
c. Pendustaan kaum Quraisy terhadap Rasulullah dan Ajarannya. Para pembesar
Quraisy dan kaumnya selalu mendustakan Rasulullah SAW dan memaksa beliau
mendakwahkan ajarannya kepada kaum lain yang mempercayainya. Sa’ad bin Muadz
dengan sangat baik melukiskan peristiwa ini: “Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui,
tidak ada satu orang pun-kaum muslimin- yang tidak ingin untuk berjuang melawan
orang-orang yang mendustakan Rasul-Mu, dan kemudian mengusirnya. Salah satu
kaum yang mendustakan nabi-Mu dan mengusirnya adalah kaum Quraisy”.
d. Diizinkannya Kaum Muslimin untuk Berperang. Allah SAW berfirman: “Telah diizinkan
(berperang) bagi orang-orang yang diperangi…”. 120 Ini adalah ayat pertama yang
diturunkan untuk mengizinkan kaum muslimin memerangi orang-orang yang
memerangi mereka. Perlu digris bawahi, bahwasanya peperangan yang dilakukan
kaum muslimin adalah hanya untuk mencari keridhaan Allah SWT semata. Sehingga,
mereka pun rela dan siap menaggung penderitaan fisik maupun mental dan
meninggalkan sanak saudara, keluarga dan negeri mereka.
Dalam sejarah Islam, peristiwa disebut Baiat Aqabah Tsani (Perjanjian Aqabah 2).
119
QS. Al-Hajj: 39
120
Setelah melalui proses yang sangat panjang,
akhirnya Rasulullah SAW dan kaum muslimin tiba
di Yastrib. Hijrah ke Yastrib menandai dimulainya
zaman Islam, karena mulai saat itu, Rasulullah
SAW bisa membumikan nilai-nilai dan tujuan al-
Qur’an sepenuhnya dan Islam menjadi faktor
sejarah yang sangat penting dan sentral. Hijrah ke
Yastrib merupakan langkah revolusioner dalam
perkembangan Islam pada masa berikutnya. Se-
tidaknya kita bisa baca dari pergantian nama Yastrib menjadi Madinah. Penggantian nama
kota ini, bukanlah tindakan tanpa makna, tetapi sungguh-sungguh sarat makna dan
sebuah tindakan yang sangat cerdas. Betapa tidak, tindakan ini merupakan cita ideal
Rasulullah SAW untuk merancang-bangun sebuah komunitas yang disebut masyarakat
madani atau sipil (al-mujtama’ al-madani/civil society).
Dalam perspektif politis, masyarakat madani dihajatkan untuk membangun sistem
politik madani yaitu sistem politik yang civilized, berpradaban. Pada tataran praksis sistem
politik madanai dapat dimaknai sebagai sistem politik demokratis berdasarkan check and
balance antara negara (state) dan masyarakat (society), berkeadilan, dan bersandar pada
kepatuhan dan tunduk kepada hukum (law and order).121
Rasulullah SAW dengan sangat sukses mencontohkan aktualisasi masyarakat madani
dalam bingkai negara kota Madinah. Pada masa kekinian, dan kedisinian, ada keinginan
yang sangat kuat dari mayoritas masyarakat dunia untuk mendesain kehidupannya
dengan berlandas-tumpu pada kehidupan masyarakat madani yang telah dikonstruksi
dengan sukses oleh Rasulullah SAW lebih kurang empat belas abad yang lalu. Disinilah
letak urgensi dan relevansinya perubahan nama Yastrib menjadi Madinah yang tentu saja
merupakan salah satu cognate istilah “madani’ itu sendiri.122
121
Guiseppe De Palma, “Legitimation from the Top to Civil Society: Politico-Culture Change in Eastren
Eruope”, (Word Politics, 44, No.1 1999) p. 23.
122
Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta dan Tantangan (Bandung: Remaja
Rosda, Karya, 2000) hlm.3.
Ekuivalen dengan hajat hijrah, Rasulullah SAW melakukan berbagai ikhtiar untuk
mengkonstruksi al-mujtama’ al-madani/civil society, antara lain:
1. Membangun Masjid. Inilah bangunan yang paling monumental yang mengekspresikan
kesederhanaan cita-cita Islam pada awal perkembangannya. Masjid ini berfungsi
sebagai tempat berkumpul dan membicarakan semua hal yang berhubungan dengan
umat, yaitu bidang sosial, politik, militer, agama dan pendidikan. 123
2. Mempersaudarakan antara komunitas pribumi (Yastrib) dengan komunitas pendatang
(Muhajirin). Di Madinah, Rasulullah SAW menjelma menjadi pemimpin kelompok suku
yang tidak terikat oleh hubungan darah, tetapi oleh persamaan ideologi (al-Din al-
Islam), sebuah inovasi yang sangat mengagumkan yang pernah terjadi di dunia Arab.
Tidak seorang pun dipaksa masuk agama yang berkitab suci al-Qur’an, tetapi orang-
orang Islam, para pemuja berhala dan Yahudi, yang semuanya menjadi anggota dari
komunitas city state of madinah tidak bisa menyerang satu sama lain dan berjanji
untuk saling melindungi. Inilah potret “suku super”124 baru yang dipimpin oleh Nabi
Muhammad di Madinah, yang oleh Watt, 125 dengan meminjam istilah yang dibuat
Bertram Thomas menamainya dengan istilah “super tribe” (adi suku).
3. Memproklamirkan berdirinya “Negara Kota Madinah” (city state of Madina). Dalam
konteks ini yang dimaksud dengan Negara Kota Madinah adalah suatu negara yang
didirikan oleh Nabi Muhammad SAW berdasarkan kontrak sosial berupa perjanjian
Aqabah I,126 dan Aqabah II,127 serta Konstitusi (Piagam/al-Watsiqah) Madinah. Secara
123
Sejak zaman Rasulullah hingga zaman pertengahan Islam, masjid terus difungsikan sebagai tempat
menimba ilmu pengetahuan atau sebagai institusi pendidikan. Lihat, Musyarifah Sutanto, Sejarah Islam
Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 23. Lihat juga A.
Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 145.
124
Karen …. Islam, p. 16-17.
125
W. Montgomery Watt, Pergolakan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Beunebi Cipta, 2004) hlm. 16
126
Ikrar (perjanjian) Aqabah I, adalah perjanjian antara 12 orang penduduk Yastrib dengan Rasulullah
SAW, terjadi di Makkah sebelum hijrah. Isi Ikrar Aqabah I adalah: orang-orang Yastrib (12 orang pelaku
ikrar), berjanji kepada Nabi Muhammad, untuk tidak menyekutukan Tuhan, tidak mencuri, tidak berzina, tidak
membunuh anak-anak, tidak mengumpat dan memfitnah, baik di depannya atau di belakang. Jangan
menolak berbuat kebaikan. Barang siapa memenuhi semua itu ia mendapat pahala surga, dan kalau ada
yang mengecoh, maka soalnya kembali kepada Tuhan. Tuhan berkuasa menyiksa, juga berkuasa
mengampuni segala dosa. Lihat Haekal….Sejarah, 168.
127
Ikrar Aqabah II diikuti oleh 75 orang, terdiri dari 73 laki-laki dan 2 orang permpuan, terjadi di bukit
Aqabah. Ikrar ini dimulai oleh Rasulullah SAW yang menyatakan: ”Saya minta ikrar tuan-tuan akan membela
saya seperti membela istri-istri dan anak-anak tuan-tuan sendiri.” Lalu orang Yastrib menjawab; “Kami
berikrar mendengar dan setia di waktu suka dan duka, di waktu bahagia dan sengsara, kami hanya akan
berkata yang benar dimana saja kami berada, dan kami tidak takut kritik siapapun atas jalan Allah ini”. Lihat
Haekal….Sejarah, 171-3.
geografis negara Madinah memiliki wilayah di sekitar kota Yastrib dan kemudian
berkembang selama masa khulafaurrasyidin. 128
Piagam Madinah: Konstitusi Pertama di Dunia. Sejak berhijrah ke Madinah pada tahun
622 M, Rasulullah SAW telah mengimplementasikan kehidupan bermasyarakat dan
bernegara yang demokratis di tengah komunitas yang plural dengan aliran ideologi dan
politik yang heterogen. Tipe kepemimpinannya sangat demokratis dan toleran terhadap
semua pihak. Tentu saja konsekuensi logisnya adalah semua penduduk merasa aman,
tentram dan damai. Potret kehidupan seperti ini tidak lepas dari eksistensi Piagam
Madinah129 atau saat itu disebut Misaq Madina,130 konstitusi yang didesain oleh
Muhammad Rasulullah SAW untuk menyatukan semua komponen masyarakat di
Madinah.
Para sejarawan Barat dan Timur bersepakat mengakuinya sebagai dokumen politik
terlengkap dan tertua. Jauh mendahului konstitusi Amerika Serikat yang disebut
Declaration of Human Rights (5 Juli 1775). Piagam Madinah juga mendahului konstitusi
Prancis yang dikenal dengan Les Droits de l’homme et du Citoyen (Agustus 1789) dan
bahkan lebih dahulu dari konstitusi tidak tertulis (konvensi) Inggris yang disebut Magna
Charta (15 Juli 1215).131
Sesungguhnya apa yang terpatri indah dalam Piagam Madinah, bukanlah sebuah utopis
yang artifisial atau sebuah latihan politis teoritis. Ia memasuki babakan sejarah tertulis
sebagai dokumen hukum dan politik yang diterapkan secara sistematis dan konkrit dari
tahun 622-632. Berbagai realitas politis, seperti tripilar demokrasi: isogoria, isonomia,
maupun isokratia, pemberdayaan masyarakat, ataupun penghargaan terhadap pluralitas
bisa kita dapatkan dengan sangat mudah dalam Piagam Madinah tersebut. Apalagi HAM,
seperti gagasan John Locke dengan tiga hak alami manusia- life, liberty and property-
128
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi
Hukum Islam,Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Bulan Bintang,
1992) hlm. 12.
129
A. Hafizh Dasuki, dkk., Ensiklopedi Islam, 3 KAL-NAH (Jakarta: Ichtiar Baru van Houve, 1994) hlm.
269.
130
Sejarawan Montgomery Watt menyebutnya The Constitution of Medina; R.A Nicholson
menamakannya Charter; Phillip K. Hitti menyebutnya Agreement dan Zainal Abidin Ahmad menyebutnya
Piagam. Lihat Muchsin, Sebuah Ikhtisar: Piagam Madinah, Filsafat Timur, Filosof Islam dan Pemikirannya,
(Jakarta: STIH “IBLAM,” 2004), 2.
131
Muhammad Shoelhi, Demokrasi Madinah Model Demokrasi Cara Rasulullah (Jakarta: Republika,
2003), 7.
ataupun ide Franklin D. Rosevel tentang four freedom: freedom of speech and axpression,
freedom of worship, freedom from fear and freedom from want, jauh sebelumnya telah
digagas oleh Islam.
Piagam Madinah merupakan sebuah konsensus bersama antara berbagai golongan, ras,
suku dan agama yang sangat demokratis. Mewariskan prinsip-prinsip dalam menegakkan
masyarakat pluralistik. Piagam ini merupakan Konstitusi Negara Muslim yang pertama
ada. Substansinya menyetujui dan melindungi kepercayaan Non-Muslim dan kebebasan
untuk mempropagandakannya. Komunitas Non-Muslim dibebaskan dari membela negara,
hak hidup dan hak milik mereka dijamin dan dilindungi, dan mereka mendapatkan hak
otonomi yudisial.132
Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-Jeram Peradaban Muslim, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 85.
133
5. Asas Perdamaian yang Berkeadilan. Piagam Madinah mengandung nilai-nilai
perdamaian, sebab sesungguhnya salah satu tugas pokok Nabi adalah menebarkan
perdamaian.
6. Asas Musyawarah. Setiap pesoalan yang bertalian dengan negara Madiah dan
penduduknya harus dimusyawarahkan.
Al-Attas, Syed Muhammad al-Naquib, 1981, Islam dan Sekularisme, terj. Karsidjo
Djodjosuwarno, Bandung: Pustaka Salaman ITB.
Armstong, Karen, 2000, Islam A Short History, New York: Modern Library.
Azra, Azyumardi, 2000, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta dan Tantangan,
Bandung: Remaja Rosda Karya.
Azhary, Muhammad Tahir, 1992, Negara Hukum: Suatu studi tentang Prinsip-Prinsipnya
Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah
dan Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang.
Dasuki, A. Hafizh, dkk., 1994, Ensiklopedi Islam, 3 KAL-NAH, Jakarta: Ichtiar Baru van
Houve.
Djamal, Fathurrahman, 1999, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Haekal, Muhammad Husein, 1992, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, cet. ke-13,
Jakarta: Litera Antar Nusa.
Hasymi, A., 1995, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Muchsin, 2004, Sebuah Ikhtisar: Piagam Madinah, Filsafat Timur, Filosof Islam dan
Pemikirannya, Jakarta: STIH “IBLAM”.
Palma, Guiseppe De, 1999, “Legitimation from the Top to Civil Society: Politico-Culture
Change in Eastern Errope”, dalam World Politics, 44, No.1.
Shiddiqi, Nourouzzaman, 1996, Jeram-Jeram Peradaban Muslim, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Shoelhi, Muhammad, 2003, Demokrasi Madinah Model Demokrasi Cara Rasulullah,
Jakarta: Republika.
Susanto, Musyarifah, 2003, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam,
Jakarta: Prenada Media.