Anda di halaman 1dari 9

Kitab al-Munqidz min adh-Dhalal (Penyelamat dari kesesatan)

Oleh. Prof. Dr. M. Wahyu Elhami, SHI, MA dan Arminsyah (editor)


A. DALAM KERAGUAN
Ternyata, aku tidak mempunyai pengetahuan yang meyakinkan
sebagaimana yang telah aku jelaskan, kecuali pengetahuan dari hasil
pengamatan indera dan hukum-hukum rasional. Dengan demikian, segala
persoalan rumit harus dipecahkan lewat pengamatan indera atau rasio.
Akan tetapi aku ragu, apakah indera bisa dipercaya mengingat mata yang
merupakan organ terkuat dari indera terkadang juga menipu. Misalnya,
bayang2 yang oleh mata tampak diam, tidak bergerak, ternyata tidak
demikian. Ia bergerak sedikit demi sedikit, sehingga akhirnya bergeser
sama sekali dari tempat asalnya. Begitu pula bintang-bintang yang
tampak kecil, ternyata berdasarkan ilmu alam amat besar, bahkan ada
yang melebihi bumu kita.
Hukum indera kita batal oleh bukti-bukti yang tak terbantahkan,
Sekarang tidak ada yang bisa diandalkan kecuali pengertian-pengertian
logis, seperti bilangan 10 lebih banyak daripada 3, larangan tidak akan
bersatu dengan perintah, yang hadist tidak mungkin sekaligus qadim,
yang ada tidak mungkin tiada pada waktu bersamaan, dan yang bersifat
pasti tidak mungkin mustahil.
Akan tetapi hukum indera memprotes. Bagaimana anda bisa
memastikan bahwa hukum rasional lebih kuat dari hukum indera? Dahulu
anda percaya hukum indera, kemudian mendustakannya karena ada
hukum rasio. Andaikata hukum rasio tidak muncul, anda tentu tetap
percaya kepada indera. Siapa tahu, pada saatnya nanti, akan muncul
hukum lain yang bisa mematahkan kekuatan rasio. Saat ini memang
belum (pada masa kehidupan Al-Ghazali), tetapi itu tidak berarti tidak
mungkin.
Aku termenung ragu-ragu. hukum indera meperkuat protesnya
dengan mengemukakan soal mimpi. Tidakkah anda menyaksikan dalam
mimpi, bahwa hal itu benar-benar terjadi? Namun, saat terbangun, anda
sadar bahwa itu hanya ilusi belaka. Boleh jadi, apa yang anda yakini

sekarang, yang berhubungan dengan indera atau rasio, sebenarnya hanya


berhubungan dengan kondisi saat ini saja. Ketika dalam kondisi lain yang
lebih sadar, anda akan insyaf bahwa itu hanya mimpi. Dalam tingkat
yang lebih tinggi, mungkin ini sama seperti yang dialami kaum sufi ketika
pada kondisi tertentu mereka menyaksikan sesuatu yang sama sekali
berlainan dengan hukum rasio. Atau, dalam kondisi yang lebih sadar lagi,
seperti dikatakan Rasul; Manusia semuanya tertidur. Jika mati, mereka
terjaga.
Maksudnya kehidupan dunia ini pada haqekatnya hanyalah mimpi
jika dibandingkan akherat. Jika mati, tampak segala sesuatu berbeda
dengan yang disaksikan sekarang, firmanNya;
Sesungguhnya kamu berada dalam Keadaan lalai dari (hal) ini, Maka
Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, Maka
penglihatanmu pada hari itu Amat tajam.(Qaaf.22), Keraguan itu semakin
menghawatirkan dan menyesakkan. Sulit aku menghilangkannya kecuali
atas bukti dan argumentasi yang kuat;padahal, tidak mungkin menyusun
argumentasi kecuali dengan hukum-hukum yang logis. Jika usaha terakhir
ini tidak bisa diterima, maka tertutuplah jalan menuju kebenaran. Hampir
dua bulan aku diliputi keragu-raguan ini dan kondisiku tidak ubahnya
seperti kaum filosof (filosof Yunani). Alhamdulillah, Allah berkenan
menyembuhkan hatiku dengan pancaran CahayaNya. Pikiranku kembali
jernih dan seimbang, mampu menerima pengertian-pengertian yang logis.
Nur Ilahi itulah yang akhirnya sebagai kunci pembukanya, termasuk untuk
mencapai marifat, bukan susunan argumentasi yang logis.
Karena itu, siapa yang menyatakan bahwa alam gaib bisa terbuka
dengan dalil-dalil rasional, ia berarti telah menyempitkan rahmat Tuhan
yang luas. Ingatlah, ketika ditanya makna lapang dalam ayat Siapa yang
hendak diberi petunjuk, dilapangkan dadanya untuk menerima Islam,
Rasul menjawab,itulah cahaya yang dipancarkan Allah ke dalam dada
manusia. Apa tandanya? menjauhi dunia semu dan hanya
menghadapkan diri pada keabadian, jawab Rasul. Demikian pula yang
dimaksud Rasul dalam sabdanya; Sungguh Allah telah menciptakan

makhlukNya dalam kegelapan, kemudian Dia percikkan kepada mereka


secercah dari CahayaNya.
Cahaya itulah yang mesti dicari untuk mencapai kasyaf. Suatu
cahaya yang memancar pada saat2 tertentu, semata2 atas kemurahan
Ilahi; sehingga kita harus terus berjaga untuk menyongsongnya, seperti
dikatakan Rasul; ada saat2 tertentu bagi Tuhan untuk melimpahkan
KaruniaNya. Bersiaplah kalian. Seluruh uraian ini aku maksudkan agar
kita terus berusaha sekuat tenaga dalam mencari sesuatu sampai tidak
ada lagi yang bisa dicari. Namun, apa yang telah ada (jelas) tidak perlu
dicari lagi; bila dicari, justru akan menjadi samar. Siapa yang mencari
sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dicari, ia akan terkecoh dalam
mencari sesuatu yang harus dicari.
B. PARA PENCARI KEBENARAN
Para pencari kebenaran, menurutku, bisa dikelompokkan menjadi
empat golongan;
Ahli kalam, yang mengklaim diri sebagai orang2 yang memiliki penilaian
dan penalaran independen.
Kaum batiniyyah, yang menklaim diri sebagai pemilik tunggal At-Talim
(perintah otoritatif) dan pewaris istimewa pengetahuan dari Imam
masum.
Para filosof, yang menklaim diri sebagai ahli logika dan pembuktian
kaum sufi, yang mengklaim diri sebagai ahli musyahadah dan
mukasyafah. Kebenaran pasti tidak bergeser dari salah satu golongan ini,
sebab mereka adalah orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk mencari kebenaran. Jika tidak, maka tidak ada lagi harapan untuk
menggapainya. Tidak mungkin aku kembali ber taqlid setelah
meninggalkannya. Sebab salah satu syarat untuk taqlid adalah
ketidaktahuan. Jika telah paham, pecahlah kaca taqlid yang
melingkupinya, yang itu tidak bisa diperbaiki dengan ditambal, misalnya,
atau yang lain.
Tentang Ilmu Kalam. Pada mulanya, aku kaji kitab-kitab yang ditulis
para tokoh kalam, dan aku tulis pula beberapa kitab yang membahas

persoalan kalam. Menurutku, kalam adalah disiplin ilmu yang telah


mencapai tujuannya, namun bukan tujuanku. Tujuanku adalah memelihara
aqidah Ahli Sunnah dan mempertahankannya dari rongrongan kaum
bidah.
Sungguh, Allah SWT melalui RasulNya telah mengajarkan aqidah yang
benar kepada para hamba, demi kebaikan mereka didunia maupun di
akhirat. Namun, disisi lain, setan telah membisikan sesuatu yang
bertentangan dengannya dan mendorong para penganutnya untuk
mempropagandakannya, sehingga menggangu aqidah yang benar. Maka,
Allah menjadikan golongan ahli kalam tampil untuk membela sunnah
dengan argumentasi-argumentasi yang logis, sehingga mampu
membongkar kepalsuan para ahli bidah.
Demikianlah, maka lahir ilmu kalam dengan para pakarnya. Dan,
sungguh, sebagian dari mereka benar-benar telah membela aqidah Rasul
dengan menjelaskan kesesatan kaum bidah; dengan mengambil dalil-dalil
lawan kemudian mempergunakannya untuk melumpuhkan
argumentasinya. Namun, metode seperti itu tidak banyak gunanya bagi
mereka yang tidak mau menerima sesuatu kecuali yang pasti. Karena itu,
metode kalam tidak memuaskan hasratku dan tidak mampu
menyembuhkan penyakitku.
Walau demikian, aku akui bahwa perkembangan kalam telah
mendorong seseorang untuk giat mendiskusikan haqekat sesuatu,
menyelidiki rahasia substansi, aksiden, dan hukum-hukum yang ada pada
keduanya. Akan tetapi, karena hal tersebut bukan merupakan tujuan
utama kalam, pembahasannya menjadi tidak mendalam, sehingga tidak
mampu melenyapkan segala keraguan saat melihat banyak golongan
yang saling bertentangan, walau ada juga mereka yang merasa puas. Aku
tidak bermaksud menonjolkan diri atau menyalahkan orang yang mencari
obat dan merasa puas dengan ilmu kalam. Obat memang sangat beragam
sesuai dengan penyakitnya. Bisa jadi, suatu obat mujarab bagi seseorang
tetapi tidak demikian bagi orang lain.
C. TENTANG FILSAFAT.

Aku yakin, seseorang tidak akan mengetahui sisi lemah suatu ajaran
sampai ia mempelajari secara mendalam seluk beluk ajaran yang
dimaksud. Sejauh ini, belum terlihat sarjana Muslim yang
mengkonsentrasikan diri pada masalah filsafat (di masa Al-Ghazali). Juga
belum ada buku-buku kalam yang membahas dan membantah pendapatpendapat kaum filosof, apalagi menguraikannya secara detail. Maka, aku
sadar bahwa membantah suatu faham, sebelum memahami benar
haqekat faham tersebut,
Hanyalah suatu kesia-siaan dan bantahan serampangan. Aku segera
mengkonsentrasikan diri untuk belajar filsafat. Aku kaji kitab-kitab
mereka, walau tanpa bantuan guru. Aku lakukan ini di saat-saat senggang
dari mengajar dan menulis buku. Waktu itu, aku masih bertugas memberi
kuliah pada sekitar 300 mahasiswa di Baghdad. Dan, alhamdulillah, berkat
taufiq Allah, dalam waktu kurang dari dua tahun, aku telah memahami
seluk beluk ilmu filsafat. Kemudian aku lanjutkan penelitian ini dengan
perenungan dan pendalaman sekitar satu tahun, hingga jelas bagiku
mana yang benar mana yang salah, mana yang hakiki mana yang palsu.
Tampak jelas, kaum filosof terpecah dalam berbagai mazhab dan
pemikiran. Kebanyakan dari mereka tidak luput dari ancaman kekufuran
dan ateisme, meski diakui ada juga yang dekat dengan kebenaran.
D. GOLONGAN FILOSOF.
Walau terpecah dalam berbagai mazhab, secara garis besar, kaum
filosof bisa dibagi tiga golongan, Dahriyyun (ateis), Thabiiyyun (naturalis)
dan Ilahiyyun (Ketuhanan). pertama kaum Dahriyyun, mereka adalah
para filosof zaman dahulu yang mengingkari adanya Sang Maha Pencipta,
adanya yang Maha Mengetahui dan Yang Maha Mengatur. Menurut
mereka, alam ini wujud dengan sendirinya, tanpa pencipta. Begitu pula
binatang, muncul dari sperma dan sperma keluar dari binatang, begitu
seterusnya. Mereka termasuk zindiq atau ateis.
Kedua kaum Thabiiyyah, mereka mengkonsentrasikan diri untuk
meneliti alam, tumbuhan dan terutama binatang; sehingga harus
mengakui adanya Sang Maha pencipta dan Sang Maha Pengatur, setelah

menyaksikan keteraturan dan keindahan alam beserta isinya. Siapa yang


meneliti atonomi binatang memang tidak akan bisa mengelak untuk
mengakui kesempurnaan pengetahuan Sang Pencipta; apalagi meneliti
anatomi tubuh manusia. Mereka menyimpulkan bahwa susunan tubuh
binatang sangat berpengaruh bagi besar kecilnya kekuatan yang dimiliki.
Dan kesimpulan itu mereka perlakukan pula pada manusia. Sehingga
mereka akhirnya menyimpulkan bahwa ruh manusia akan mati bersama
matinya jasad, dan tidak mungkin hidup kembali. Akibatnya, mereka tidak
percaya pada hari kebangkitan, surga, neraka, hisab, pahala bagi yang
berbuat baik dan siksa bagi pelaku jahat. Mereka lepas kendali dan
terjerumus pada derajat kebinatangan. Mereka juga termasuk zindiq;
sebab tidak percaya pada hari pembalasan, meski percaya kepada Tuhan.
Iman yang sebenarnya adalah percaya kepada Tuhan dan hari akhir.
Ketiga, kaum Ilahiyyah. Mereka golongan yang terkemudian dari dua
kelompok sebelumnya, termasuk disini Socrates(399SM), Plato(347SM)
dan Aristoteles(322SM). Aristoteles adalah tokoh yang telah berjasa
menyusun ilmu logika dan membuat jelas ilmu-ilmu sebelumnya. Kaum
Ilahiyyah menolak ajaran kaum-kaum sebelumnya dan berhasil
membongkar kepalsuan-kepalsuan yang ada. Disisi lain, Aristoteles sendiri
juga menentang ajaran Socrates, Plato dan para filosof Ilahiyyah
sebelumnya, dengan metode yang sangat tepat, sehingga ia terlepas dari
yang lain. Namun demikian, Aristoteles sama sekali tidak terlepas dari
noda-noda bidah dan kekufuran para filosof yang lain. Sedemikian,
sehingga kita terpaksa mengkufurkannya bersama para pengikutnya dari
kalangan Muslim, seperti Ibn Sina (428H/1037M), Al-Farabi (337H/956M)
yang seide; meski kedua tokoh Muslim ini telah berjasa besar menyalin
filsafat Aristoteles dengan cermat.
Filsafat Aristoteles, sebagaimana disalin dua tokoh ini, bisa menjadi
tiga bagian, sebagian menyebabkan kufur, sebagian menyebabkan bidah,
dan sebagian bisa diterima.
E. PERJALANAN HIDUP AL GHAZALI

Aku meninggalkan Baghdad lalu aku lepaskan semua yang pernah


menjadi milikku yang terdiri dari harta benda dan tidak ada yang aku
simpan melainkan sekadarnya saja untuk mencukupi kebutuhan dan
sekadar makanan pokoknya anak-anak dengan pertimbangan harta yang
berada di Iraq memang disediakan untuk kemaslahatan sebab dia
merupakan harta yang telah diwakafkan kepada orang-orang Islam.
Karena saya tidak melihat di dunia ini akan harta yang telah digunakan
oleh seorang yang alim untuk mencukupi keluarganya melebihi harta
tersebut dalam hal kemaslahatannya. Kemudian aku masuk negeri Syam
lalu aku menempat di sana kurang lebih dua tahun di mana tidak terdapat
kesibukan lain kecuali uzlah, khalwah riyadhah dan mujahadah dengan
maksud utama membersihkan diri, melatih dan mendidik akhlak dan
memurnikan hati untuk berdzikir kepada Allah SWT sebagaimana petunjuk
ilmu tasawuf yang telah berhasil aku kuasai. Lantas aku mengadakan
kunjungan ke masjid Damsyik (Damaskus) dan aku melakukan Itikaf di
sana beberapa saat lamanya. Kemudian aku naik di atas menara masjid
sepanjang hari dan tak lupa aku mengunci pintunya.
Setelah aku selesai beritikaf di Masjid Damaskus, aku kembali
meneruskan perjalanan menuju ke Baitul Muqaddas kemudian aku
melakukan tindakan yang sama seperti di kala aku berada di Masjid
Damaskus. Setelah beberapa lama aku berada di Baitul Mmuqaddas,
tergeraklah olehku keinginan dan panggilan untuk menunaikan ibadah
haji dan minta bantuan dari beberapa barakahnya Makkah dan Madinah
serta berziarah kepada Rasulullah SAW setelah rampung melakukan
ziarah ke Al-Khalil Ibrahim AS. Kemudian aku melakukan perjalanan
menuju Hijza, tetapi aku terseret oleh cita-citaku dan seruan anak-anakku
untuk menengoknya, sesudah sekian lama aku tidak kembali kendatipun
tadinya aku sudah memutuskan tidak akan kembali lagi untuk selamalamanya. Lagi-lagi uzlah mendapatkan kedudukan utama dan
mendatangkan keinginan yang kuat untuk berkhalwat dan membersihkan
hati hanya untuk berdzikir kepada Allah. Adalah berbagai kejadian dan
peristiwa zaman, tugas-tugas penting keluarga dan beberapa keharusan
penghidupan yang justru merubah tujuan yang sedang dicita-citakan serta

mengganggu kejernihan khalwat, sehingga keadaan tidak menjadi tenang


dan jernih lagi kecuali dalam waktu-wakatu yang berbeda-beda. Namun
kendatipun demikian aku tidak akan memutuskan keinginan untuk
berkhalwat serta membersihkan hati tersebut. Sehingga demi mencapai
keinginanku itu aku harus menghadapi berbagai rintangan dan kembali
bertarung dengannya. Dan keadaan seperti itu berlangsung kira-kira
sepuluh tahun.
Perjalanan Khalwatku ini tersingkap beberapa perkara yang tidak
mungkin dihitung dan tidak mungkin diselidiki sedalam-dalamnya.
Sedangkan ukuran yang aku sebutkan yang sekadar untuk dipetik
manfaatnya adalah bahwa golongan sufi adalah mereka yang meniti jalan
Allah SWT saja dan perjalanan hidup mereka merupakan jalan yang paling
lurus, akhlak mereka merupakan akhlak yang paling bersih dan suci.
Bahkan andaikata akalnya orang-orang yang kreatif, kebijaksanaannya
para cendekiawan, ilmunya orang-orang yang menekuni dan mendalami
rahasia-rahasia syara yang terdiri dari pada ulama mau merubah saja
sedikit dari perjalanan hidup mereka dan akhlak mereka lalu mereka
menggantinya dengan yang lebih baik niscara tidak mungkin akan bisa.
Sebab segala gerakan mereka dan ketenangan mereka di dalam lahir dan
batinnya memang dipetik dan dipancarkan dari cahaya lampu kenabian,
padahal di balik cahaya kenabian yang terdapat di dunia ini tidak lagi
ditemukan cahaya yang bisa dipakai untuk menerangi. Secara globalnya
saja, lantas apa kara orang tentang terikat (cara) golongan sufi itu?
Padahal syarat utama dari pada tarikat ini adalah membersihkan hati
secara menyeluruh dari selain Allah taala sedangkan kuncinya yang
menempati kedudukan keharaman dari pada shalat adalah
menenggelaman hati secara keseluruhan dengan berdzikir kepada Allah.
Dan akhir dari pada syaratnya adalah melebur diri secara keseluruhan
kepada Allah, di mana ini merupakan bagian akhir bila disandarkan
kepada sesuatu yang hampir saja masuk di bawah ikhtiar dan kasab sejak
dari permulaan.
Tarekat semacam ini menurut kenyataannya merupakan permulaan
tarekat, sedangkan apa yang sebelum itu hanya bagaikan koridor (gang

yang terdapat di dalam rumah) bagi seorang yang akan berjalan


melewatinya. Dan justru dari permulaan tarekat inilah mukasyafah
(tersingkapnya segala tabir) dan musyahadah (dapat melihat dengan
jelas) dimulai,

Anda mungkin juga menyukai