Anda di halaman 1dari 2

ORANG-ORANG (termasuk etnis Batak Toba) tak seluruhnya tahu bahwa ide dan gagasan

Protap sudah muncul sejak tahun 1952, yang mengemuka lagi tahun 2002. Juga tak paham
bahwa gagasan Protap, awalnya mengajak semua puak Batak yang enam dengan agama yang
berbeda-beda itu. Artinya, sejak dasarnya pun sudah jelas dipaparkan bahwa ide Protap tak
mengedepankan hegemoni sub-etnis dan agama tertentu. Masalah yang kemudian
mengakibatkan pecahnya kongsi adalah: ketidakcocokan memilih ibukota Protap. Tapsel,
Mandailing-Natal, Batubara,Tapteng, Nias, Dairi, Pakpak Barat, tak setuju bila ibukota Protap di
Siborongborong. Kemudian, menyusup berbagai kepentingan dari segelintir orang.
Sayangnya, masyarakat Sumut tak secara benar memahami bahwa sejumlah isu yang
menyesatkan itu, yang sebetulnya sudah jadi mainan para politikus dan pemegang kekuasaan,
amat perlu diembus-embuskan untuk kepentingan personal dan kelompok (termasuk parpol).
Yang tak menarik lagi, akhirnya, dinasti GM Panggabeanpemilik koran SIB yang sejak dulu
sering menulis berita provokasi dan sebetulnya lebih layak disebut selebaran ketimbang koran,
namun masih tetap lakuseolah menjadi tokoh sentral dalam upaya pembentukan Protap.
Chandra Panggabean, anak GM, memang disiapkan ayahnya jadi gubernur Protap. Ia pun gigih
bergerilya melobi orang-orang kuat, tokoh masyarakat, parpol, seraya mengucurkan dana besar
untuk menggolkan ambisi yang kian terang-benderang terlihat sejak dua tahun lalu. Lewat koran
mereka, tuntutan pembentukan Protap terus digenjot sembari menghantami orang-orang (pejabat
pemprov dan anggota DPRD) yang tak setuju. Masyarakat pun kian dipengaruhi opini-opini
busuk yang bersliweran di sejumlah media massa Sumut, dicekoki benih kecurigaan, yang
kemudian membangkitkan sentimen suku, fanatisme agama, dan ikatan teritorial. (Penentang
Protap pun turut menggunakan media massa macam koran Waspada).
GM, Chandra, dan sejumlah orang yang berkepentingan (pribadi) kian tak sabar karena uang dan
tenaga mereka sudah banyak dibuang. Mereka ingin Protap segera diwujudkan. Masalahnya,
rekomendasi dari DPRD tak kunjung datang dan isunya, memang takkan pernah dikeluarkan.
Mereka pun meradang: Demo DPRD, ciptakan opini bahwa Azis Angkat tak berkenan pada
Protap, dan bikin kesan bahwa masyarakat Batak (Toba) sudah marah! Mereka terus menggelar
rapat, merekrut massa (termasuk mahasiswa dari kampus milik GM), mengatur strategi, dan
lagi-lagi harus mengucurkan uang.
Saya? Siapakah saya? Meski hanya sebentar, setidaknya memang pernah ikut rapat dan
menyiapkan pembentukan Protap (di Jakarta). Tapi, alasan saya mendukung dan tergerak (walau
akhirnya tak aktif lagi) mendirikan Protap, semata-mataseperti yang lain yang juga
mendukungkarena kecintaan pada Bangso dan Tano Batak yang amat lambat
perkembangannya. Potensi alam, budaya, dan Danau Toba yang amat luarbiasa indah itu, tak
sabar lagi saya tunggu dipoles dan dioptimalkan untuk kesejahteraan masyarakat yang berdiam
di sanatanpa merusak eko-sistem dan mengotori adat-istiadat, tradisi, dan kearifan lokal
manusia Batak yang saya kagumi.
Di Pahae, Tarutung, Balige, Porsea, Dolok Sanggul, Pakkat, Parapat, juga di Onanrunggu
Samosir, antara pemeluk Kristen/Katolik dan Islam dan juga dengan Ugamo Malim, hidup rukun
dan damai sejak dahulu. Bahkan ketika konflik Ambon dan Poso meledak, orang-orang di Tano
Batak tak terpengaruh. Itu disebabkan karakter dasar manusia Batak yang sejak dasarnya toleran

dan hubungan sosial sehari-hari terhadap siapa pun dirajut berdasarkan nilai-nilai dan normanorma adattermasuk pada etnis lain.

Anda mungkin juga menyukai