Anda di halaman 1dari 18

PENDIDIKAN AKAL DALAM WAWASAN

PENDIDIKAN ISLAM

MAKALAH

Oleh:

SEH AHMAD RAMBE


NIM. 2150100015

DOSEN PENGAMPUH
Dr. Muhammad Darwis Dasopang, M.Ag

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
2021
DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul
Daftar Isi.................................................................................................. i
A. Pendahuluan ................................................................................ 1
B. Pembahasan ................................................................................. 2
1. Pengertian Pendidikan Akal .................................................. 2
2. Akal dalam Perspektif Alquran ............................................. 5
3. Fungsi Akal dalam Pendidikan Islam ................................... 7
4. Metode Pendidikan................................................................ 8
C. Kesimpulan ................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA

ii
PENDIDIKAN AKAL DALAM WAWASAN PENDIDIKAN ISLAM

A. Pendahuluan
Di era ilmu pengetahuan sekarang ini, sains dijadikan sebagai bentuk cita,
karsa, maupun karya manusia yang senantiasa berupaya untuk mengintegrasikan
berbagai macam bentuk informasi yang telah ditemukan oleh manusia melalui
akal budinya. Pemahaman manusia yang bermula dari akal budi hendaknya
dirumuskan sebagai salah satu bentuk “formulasi sinoptik” (integratif-sintetis)
dalam kegiatan berpikir.
Oleh karenanya setiap bentuk pemikiran manusia harus menjadi penemu
(discoverer), sedangkan para pemikir bisa juga disebut sebagai “filosof ” atau
sang penafsir (interpreter). Sebutan ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang
yang mau memaksimalkan akalnya sebagai bentuk anugerah terbesar dari
Tuhannya yang tidak dimiliki oleh semua makhluk oleh selainnya. Alquran akan
menjadi “google-nya” umat manusia manakala nilai-nilai kemanusiaan seseorang
terinternalisasikan melalui potensi akalnya. Jika potensi tersebut diberdayakan
maka segala bentuk persolan yang timbul akan bisa diselesaikan dengan baik dan
benar sesuai dengan pesan Ilahiah tersebut Pada dasarnya perkembangan ilmu
pengetahuan akan bermuara pada sebuah penemuan ide-ide.
Penemuan ide-ide merupakan cikal bakal dari salah satu bentuk kreasi akal
budi (filsafat) manusia, sedangkan alat yang dijadikan untuk berfilsafat tidak lain
adalah akal (rasio), dan rasio inilah yang pada akhirnya akan menjadi kerangka
acuan (frame of reference) terhadap segala bentuk perbuatan manusia. Revolusi
ilmiah mencapai puncaknya yang ditandai dengan sebuah slogan cogito ergo sum,
saya berifikir, maka saya ada. Pernyataan yang disampaikan oleh seorang filsuf
bernama Rene Descartes ini pada hakikatnya bahwa esensi manusia tergantung
pada pikirannya, dan hanya benda-benda yang ditangkap dengan jelaslah yang
dapat dikatakan benar, karena inti dari cogito ergo sum menegaskan bahwasanya
akal dan materi merupakan dua hal yang terpisah dan berbeda secara mendasar.
Dengan demikian ada dua alam yang terpisah yaitu alam pikiran (res cogitans)
dan alam luas/alam jagad raya (res extensa).

1
B. Pembahasan
1. Pengertian Pendidikan Akal
Pendidikan dalam Undang-undang No.20 Tahun 2003, tentang Sistem
Pendidikan Nasional, diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.1
Menurut Omar Muhammad al-Toumy al-Syibani pendidikan adalah
proses mengubah tingkah laku individu, pada kehidupan pribadi, masyarakat,
dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan
sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat.
Sedangkan akal, berasal dari bahasa Arab „aqala „aqlan(‫(عقل عقال‬yang
artinya akal pikiran. Terdapat setidaknya dua makna mengenai akal, pertama,
akal organik, yakni organ yang bertanggungjawab bagi kegiatan-kegiatan
intelektual dan spiritual manusia. Penyamaannya dengan Qalb dalam beberapa
ayat Al-Qur‟an dan teori filosof Islam, terutama untuk fungsi mengerti dan
memahami (fungsi kognitif), mendukung makna tersebut.Penggunaan kata
“organ” bermakna bahwa akal itu bertempat (lokus).Tempatnya seperti
disabdakan Rasulullah Saw., adalah dalam diri manusia.
Pengertian yang kedua akal fungsional.Fungsi akal adalah menelaah,
mengerti, dan mengambil pelajaran atas semua fenomena yang ada.Ia juga
berfungsi sebagai dorongan moral, melalui fungsi dorongan moral tersebut
menyebabkan akal menjadi alat pembeda antara baik dan buruk. Dari
pengertian ini kemudian dihubungkan bahwa akal adalah daya yang terdapat
dalam diri manusia yang dapat menahan atau mengikat pemiliknya dari
perbuatan buruk atau jahat.2
Dalam konsep pendidikan, akal dan intelektual perlu dikembangkan,
mendidik akal melalui kurikulum yang tersistem, agar ia mampu
1
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, t.th)., hal. 17
2
Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa (Jakarta: Bulan Bintang, 1989) ., hal. 21

2
mengembangkan potensi akalnya ke jenjang yang lebih tinggi, yang pada
gilirannya akan menjadi manusia cerdas, pintar dan kreatif.
Mendidik akal adalah mengaktualisasikan potensi dasarnya. Potensi
yang sudah ada sejak lahir, berkembang menjadi akal yang baik bahkan
sebaliknya sesuai pendidikan yang didapatnya. Akal yang telah teraktualkan
melalui pendidikan dapat didayagunakan untuk kepentingan kemanfaatan
kemanusiaan baik berupa agama, pengetahuan, kebudayaan, peradaban dan
lain sebagainya.
Benak atau akal pikiran manusia tidak terlepas dari dua kondisi yang
kontradiktif, yaitu „ilm (tahu) dan jahl (ketidaktahuan). Pada saat keluar
rumah, kita menyaksikan sebuah bangunan yang megah lagi indah. Kondisi
inilah yang dinamakan “ilmu”. Sebaliknya, sebelum keluar rumah dan
menyaksikan bangunan tersebut, dalam benak kita tidak ada gambaran itu,
pada kondisi ini disebut “jahl”. Tahu artinya menyimpan fotokopi atau gejala-
gejala suatu subjek melalui sensasi (penginderaan) dan persepsi dalam memori
sebagai pengetahuan siap jadi.Akal kemudian memanfaatkan pengetahuan siap
ini untuk digunakan ketika diperlukan, semisal berpikir untuk membuat
keputusan (decision making), memecahkan masalah (problem solving), atau
menghubung-hubungkan pengetahuan satu dengan yang lainnya menjadi
sesuatu yang baru (creativity).3
Keberadaan manusia ditentukan oleh fungsionalisasi akal pikirannya.
Sebagaimana ucapan filosof Rene Decrates yang sangat populer „cogito ergo
sum‟ (saya berpikir maka saya ada). Karenanya orang yang tidak berakal tidak
memiliki implikasi hukum apapun.
Akal merupakan jalinan budi dan hati. Dari budi akal mendapat
pengetahuan, dari hati mendapat penghayatan. Antara budi dan hati, antara
pengetahuan dan penghayatan terjalin interaksi yang dapat melahirkan ruh
berupa: nafsu amarah, yang suka menyuruh kepada kejahatan. Nafsu
lawwaamah, yang berjuang antara kebaikan dan kejahatan. Nafsu musauwilah,
yang pandai meniup, sehingga kejahatan nampak sebagai kebaikan. Nafsu

3
A. Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami (Bandung: Rosda Karya, 2008) ., hal. 12

3
muthmainnah, yang tenang dan tentram. Oleh sebab itu, akal harus dididik,
dibekali ilmu pengetahuan, sehingga mampu terhindar dari melakukan
perbuatan tercela seperti menyontek, mencuri, mabuk-mabukan dan
sebagainya.4
Dengan demikian, orang yang terbina akalnya dan telah terkendali hawa
nafsunya dengan pendidikan, maka ia akan menjadi orang yang bermental
tangguh, tawakal, tidak mudah terjerumus dan siap menghadapi ujian
kehidupan. Indikasinya, orang tersebut akan memiliki jiwa yang tenang, tidak
lekas berputus asa karena dengan akal dan pikirannya ia menemukan berbagai
rahasia dan hikmah yang ada dibalik ujian dan kesulitan yang dihadapi.
Baginya kesulitan dan tantangan bukan dianggap sebagai beban yang membuat
dirinya lari dari Allah SWT, melainkan harus dihadapi dengan tenang dan
mengubahnya menjadi peluang rahmat dan kemenangan.
Selain membekalinya dengan ilmu pengetahuan yang benar, akal
mestilah diterangi oleh agama. Inilah sebabnya mengapa Islam menghukumkan
menuntut ilmu dan agama adalah keharusan (wajib) bagi setiap muslim. Ilmu
mengatur dan menuntun manusia dalam urusan dunia. Agama mengatur dan
menuntun kepada kebaikan kehidupan ukhrawi. Keduanya harus seimbang,
senada dengan sebuah hadits yang mengatakan “tidak ada agama bagi orang
yang tidak memiliki akal”. Manusia adalah makhluk yang berakal, akan tetapi
tidak semuanya mampu mempergunakan akalnya dengan baik.
Perimbangan antara ilmu dan agama, ibadah dan muamalah, agama dan
kebudayaan, kepentingan dunia dan akhirat mengantarkan pada salam
(keselamatan). Tingkah laku, amal perbuatan mengantarkan pada salam, itulah
yang sebenarnya “hidup” bagi Islam. Dalam kehidupan dunia, salam dapat
diusahakan oleh akal dengan berpedoman pada naql. Dan di akhirat, salam
merupakan pembalasan amal sholeh ketika hidup di dunia yang digerakkan
oleh akal dengan berpedoman pada agama atau naql.5

4
Isma'il Raji al-Faruqi, Tauhid, Bandung: Pustaka, 1984., hal. 11
5
Isma'il Raji al-Faruqi, Tauhid,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 14

4
2. Akal dalam Perspektif Alquran
Akal dan pendidikan dengan yang dikorelasikan dengan ayat Al-Qur‟an
Surat Al-Baqarah Ayat 170 ini diharapkan dapat terkuak sebuah nilai-nilai
paedagogis yang kelak bisa dijadikan sebagai acuan dalam dunia pendidikan
Islam khususnya. Menurut hemat penulis tanpa aqal, proses belajar mengajar
tentang pengalaman baru tidak akan dapat diperankan. Oleh karenanya analisa
filsafat sangat diperlukan dalam rangka pengkajian yang bersifat universal dan
radikal. Dengan demikian diharapkan akal dapat menjadi lentera yang kokoh
bagi kegelapan malam dalam memberikan tafsir alam bagi setiap Sabda Tuhan
agar tugas maupun pokok kemanusiaan akan semakin sempurna. Oleh karena
itu dalam rangka urgensitas sebuah persoalan, Al-Qur‟an dapat dijadikan
sebagai titik tolak dalam kajian guna mengungkapkan misteri persoalan
kemanusiaan.
Sisi lain akal merupakan alat pengontrol atau sebuah navigasi bagi
kemanusiaan agar senantiasa berjalan sealur dan seirama bersama pesan-pesan
yang telah disampaikan dalam Alquran sebagai sumber pengetahuan bagi
manusia agar dapat memaknai hakekat ciptaan-Nya sebagai salah satu bentuk
penyempurnaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang melekat pada dirinya
sendiri.6
Salah satu sebab diturunkannya ayat ini, berkenaan dengan kebiasaan
orang-orang Yahudi yang selalu menyimpang dari ajaran yang benar, yang
disebabkan mereka takut kehilangan kedudukan dan martabat di mata manusia,
sehingga mereka disindir oleh ayat tersebut dengan bentuk “laa ya‟qiluun”
Dalam konteks ayat tersebut, Allah SWT. menyerukan kepada orang-
orang yang beriman (mau menggunakan akalnya) untuk menasehati orang-
orang yang sesat (tidak mau memfungsikan akalnya) dengan mengatakan:
“ikutilah Alquran maupun petunjuk yang diturunkan oleh Allah SWT.” mereka
tetap saja tidak mau mengiktui apa kata seruan Ilahiah, namun yang mereka
ikuti adalah tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya, kendatipun

6
Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa ,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 16

5
nenek moyang mereka tidak mengetahui tentang Allah sedikitpun dan tidak
pula mengerti tentang kebenaran.7
Kata „akal‟ menurut Abdurrahman Saleh Abdullah mengandung
pengertian pengetahuan, atau juga berarti kemampuan mengontrol diri.
Seseorang yang lisannya tidak berfungsi disebut juga dengan “u‟tuqil
lisaanuhu”. Penggunakan kata aqal di dalam Alquran, tidak menggunakan kata
isim atau mashdar, maupun amar, melainkan kata jadiannya hanya
menggunakan fi‟il mudhari atau madhi. Orang yang dikatakan seperti la
ya‟qiluun ditakdirkan untuk masuk neraka, karena orang yang semacam ini tuli
dan hatinya membatu, meskipun mereka tidak mempunyai cacat secara fisik
melainkan mereka cacat secara moral
Antara akal (rasio), roh (jiwa), dan apetit (nafsu/kecenderungan)
merupakan bentuk rangkaian urgens dalam sisi kemanusiaan, karena setiap
bagian dari ketiga mempunyai peran dan fungsinya masing-masing. Pembagian
ini didasarkan pada konflik batiniah dalam setiap diri manusia. Sedikitnya ada
tiga macam aktivitas yang tertanam dalam setiap individu. Pertama, adanya
kesadaran akan nilai dan tujuan dan ini adalah tugas dari aktivitas akal
(reason); Kedua,adanya suatu rangsangan atau semangat yang bersifat netral
dan memberikan respons serta membimbing kinerja akal dan inilah tugas dari
roh (jiwa); Ketiga, adanya keinginan yang cendrung lebih menitikberatkan
pada hal-hal yang bersifat material. Kecenderungan yang semacam ini banyak
dipengaruhi oleh nilai-nilai apetit (nafsu)8
Dengan demikian, jiwa adalah prinsip hidup yang dapat menggerakkan
segala aktivitas tubuh. Oleh karena itu level lebih rendah menguasai level lebih
tinggi, akan muncul kejahatan. Manusia tidak akan mungkin mendapatkan
kebahagiaan manakala lebih mengutamakan sifat apetit ketimbang akalnya,
atau dengan kata lain manusia tak akan pernah bahagia kalau ia menggantikan

7
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Qamus 'Araby-Indonesia (Yogyakarta:
Krapyak) ., hal. 13
8
Al-'Allamah Raghib al-Asfahani, Mu'jam Mufradat Alfadz al-Qur'an (Beirut: Dar al-
Fikr, t.th) ., hal. 14

6
realitas dengan yang tampak dan yang rasional dengan irrasional. Jika terjadi
demikian, maka manusia akan kehilangan harmoni batiniah dalam hidupnya.9
3. Fungsi Akal dalam Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan “human investment” yang bisa dijadikan
sebagai tatanan strategis untuk melahirkan generasi yang gemilang di masa
mendatang. Pencaharian paradigma pendidikan Islam yang lebih baik akan
menjadi tanggung jawab bersama terutama civitas akademika di era millenial
sekarang ini. Peradaban masyarakat maju atau masyarakat madai (civil society)
adalah masyarakat yang memiliki pengetahuan sebagaimana tergambar pada
masa kejayaan umat islam sudah menjadi suatu keharusan bagi masyarakat
Islam terutama yang hendak mengambil kembali masa-masa kejayaan. Untuk
mengambil kembali masa kegemilangan maupun kecemerlangan dalam sejarah
kemajuan umat islam maka sudah barang tentu pendidikan merupakan jawaban
satusatunya yang dapat membangunkan tidur bagi para pencinta kemajuan
karena pada dasarnya Islam adalah agama kemajuan dan ilmu pengetahuan.
Dengan demikian pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada peran
ganda baik sebagai tadhakkur dan tafakkur. Tadhakkur adalah bagian dari
bagaimana pendidikan Islam dapat mengarahkan, merspons, menghargai serta
mengkarakterisasi menuju kesempurnaan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
Sedangkan yang dimaksud dengan peran tafakkur dalam pendidikan Islam
adalah sebagai sebuah alat kontrol bagaimana konsep tadhakkur berjalan sesuai
dengan peran dan fungsinya. Hal ini menunjukkan bahwasannya peran
pendidikan Islam sebagai sebuah paradigma tadhakkur harus senantiasa
membumi dalam perilaku kehadupan sehari-hari.10
Oleh karena itu pembentukan kepribadian menuju kesempurnaan
nilainilai kemanusiaan maka harus senantiasa diarahkan pada nilai-nilai
bawaan (fitrah) dengan mengacu pada konsep ta‟alluq, takhalluq, dan
tahakkuq. Ketiga konsep tersebut merupakan perpaduan di antara kecerdasan
akal, hati, dan emosional. Keterpaduan dari ketiga pilar tersebut merupakan

9
Syed Naguib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam (Bandung: Mizan, 1986) ., hal. 11
10
Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa ,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 20

7
tangga untuk mencapai derajat tertinggi baikdirinya sebagai hamba Allah
(abdullah) maupun wakil Allah (khalifatulah) di muka bumi. Oleh karenanya
misi maupun visi pendidikan islam sebagai rahmatan lil‟alamien akan dapat
diwujudkan, tidak saja oleh orang yang hanya sekedar mengaku beriman atau
mengaku taat beragama, tetapi sekaligus oleh orang-orang yang berilmu
pengetahuan dan mau memaksimalkan akalnya sebagai bentuk pengabdian
terhadap Tuhannya, berakhlak mulia, terampil dan komitmen terhadap nilai-
nilai idealitas kemanusiaan seperti keadilan, kebersamaan, kasih sayang,
kedamaian, keharmonisan, kesucian dan lain sebagainya. Dengan kata lain
orang yang berpeluang menegakkan baik visi maupun misi Islam adalah orang
yang bertaqwa: yaitu orang yang beriman, berilmu pengetahuan dan berkarya
nyata.11
4. Metode Pendidikan
Akal Ketika manusia dilahirkan ke dunia, akal, termasuk juga jasmani
dan ruhani, masih bersifat potensi (fitrah).Iamerupakan potensi nalar, daya
fikir, atau proses pikiran yang lebih tinggi yang berkenaan dengan
pengetahuan, daya akal budi, kecerdasan berfikir, atau boleh juga berarti
terpelajar. Sebagai potensi, ia harus ditumbuh-kembangkan, dilatih, dan
dibiasakan agar mampu bekerja atau berfungsi secara maksimal dan optimal.
Di sinilah pendidikan akal mempunyai peran signifikan dalam
memgembangkan daya potensi akal yang telah dianugerahkan kepada manusia.
Dalam upayanya mengembangkan potensi akal, dibutuhkan beberapa langkah
agar akal dapat berkembang dan berperan dengan baik sebagai berikut: 12
a. Menumbuhkan budaya membaca (Iqra‟). Sebagaimana diketahui dalam
sejarah, ayar yang pertama kali diturunkan mengenai pentingnya membaca
dan ilmu.
Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat al-Alaq 1-3:

11
Jalaluddin, Teologi Pendidikan (Jakarta: Rajawali Press, 2003) ., hal. 16
12
Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa ,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 22

8
            

 
Artinya: 1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,

1) Melalui membaca, akal tidak hanya belajar kosa kata melainkan


memfokuskan kemampuan berpikir untuk mendapatkan pemahaman,
pengetahuan, pengalaman. Di samping itu membekalinya dengan
menyuguhkan ilmu dan pengetahuan yang baik dan berbudaya.
2) Memberikan ruang untuk akal berpikir ilmiah dan rapi. Pencarian dalil
logik yang dibangun atas perhatian, pembuktian bersama pemahaman
terhadap fenomenafenomena kemudiandianalisis mendalam, disusun
kemudian diambil kesimpulan, dan dijadikan hukum.
3) Memberikan akal kebebasan berpikir (churriyyah at-tafkir) sehingga
tidak terbelengu dalam kejumudan, dan taqlid buta. Karena telah dibekali
kebesan dalam berpikir ilmiah dan benar.
4) Menumbuhkan semangat keberanian dalam membiasakan berpendapat
atau memberi saran, kritikan positif yang membangun dalam suatu majlis
ilmu.
5) Menjaga kesehatan akal. Akal pikiran manusia tidak jauh berbeda dengan
tubuh. Perlu dilatih, dijaga kesehatannya dan kebugarannya agar
terhindar dari kerusakan yang tidak diinginkan.34Bukan sekedar asupan
gizi, nutrisi makanan saja yang diperhatikan, akan tetapi asupan mental
yang berawal dari informasi yang masuk, dari pembiasaan, keyakinan
atau perilaku sehari-hari juga perlu diperhatikan, untuk menghindari
terjerumus dalam jebakan kesuksesan, kekuasaan, dan pergaulan yang
merusak. Misalnya sombong, angkuh sebab merasa berkuasa, atau
memiliki kebiasaan buruk sangka dan gosip dikarenakan pergaulan yang
keliru.

9
6) Dalam proses pendidikan terdapat sistem pendekatan metodologis yang
pada dasarnya dapat kita analisa dan terapkan pada pendidikan akal.
Yakni, pendekatan saintifik (scientific approach).Memandang manusia
diciptakan dengan dikaruniai daya (potensi) menciptakan melalui
inteleknya menjadi sesuatu yang bermanfaat. Hasil cipta dan penemuan
tersebut berupa ilmu pengetahuan dan teknologi serta ilmu-ilmu lain
yang didasari dengan ilmu.Dengan ilmu pengetahuan yang didasari
dengan keimanan dapat memperoleh derajat yang mulia.13
b. Mengingat berpikir merupakan salah satu kegiatan akal, diberikan cara atau
metode berpikir ilmiah yang dapat diterapkan dalam pendidikan akal
sebagai berikut:
1) Metode induksi (Inducere)
Metode induksi (Inducere) adalah suatu cara penganalisaan ilmiah
yang bergerak dari hal-hal yang bersifat khusus (individual) menuju
kepada hal yang bersifatumum. Cara yang dimulai dari penelitian
terhadap kenyataan-kenyataan khusus satu demi satu kemudian diadakan
generalisasi dan abstraksi kemudian diakhiri dengan kesimpulan umum.
Jadi berpikir induktif terhadap sasaran-sasaran yang berwujud gejala
(fenomena) alamiah atau konspetual dimulai dari fakta-fakta yang
kongkrit menuju kepada fakta-fakta umun yang digeneralisasikan sebagai
suatu kesimpulan.
Metode ini banyak digunakan pada ilmu pengetahuan utamanya
ilmu pengetahuan alam yang dijalankan dengan cara observasi dan
eksperimentasi, berdasakan kepada fakta-fakta yang dapat diuji
kebenarannya. Metode induksi dikenal juga dengan sebutan
istidlaliqtira‟i/istinbathi, yaitu istidlal yang dibentuk dengan
menghubungkan bagian-bagian dan menelitinya secara lengkap, serta
dapat menyampaikan akal kepada kesimpulan yang bersifat umum.
Contoh: setelah melihat berbagai macam hewan yang menggerakkan

13
Sa'id Isma'il 'Aly, Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Salam, 2007) ., hal.
16

10
rahang bawah pada waktu makan, maka diperoleh kesimpulan bahwa
“semua hewan itu menggerakkan rahang bawah pada waktu makan14
2) Metode deduksi (Deductio)
Metode deduksi (Deductio), adalah suatu cara penganalisaan
ilmiah yang bergerak dari hal-hal yang bersifat umum (universal)
kemudian atas dasar itu ditetapkanpada hal yang bersifat khusus.
Cara deduksi ini banyak dipakai dalam logika klasik Aristoteles
yaitu dalam bentuk syllogysme (qiyas). Pengetahuan dari kulli ke juz‟i
atau dari umum ke khusus. Dengan menggunakan premis mayor
(muqaddimah kubra), premis minor (muqaddimah sughra), dan konklusi
(natijah), sebagai contohnya
a) Semua yang memabukkan itu haram, (premis mayor)
b) Khamr itu memabukkan, (premis minor)
c) Jadi, khamr itu haram. (natijah/ kesimpulan khusus)
3) Metode reflektif,
Metode reflektif, suatu cara berpikir yang dimulai dari adanya
problem-problem yang dihadapkan kepadanya untuk dipecahkan.
Diumpamakan seperti orang yang menelusuri jalan-jalan asing (belum
dikenal) pada waktu tiba di suatu jalan yang belum pernah dilalui
sebelumnya yaitu memutuskan jalan mana yang harus dilewatinya.Dalam
berpikir reflektif, ada proses memahami masalah, meneliti atau menggali
informasi sampai memecahkan masalah.15
Berikut saran John Dewey terkait metode reflektif adalah:
a) Terlebih dahulu menganalisa situasi permasalah secara berhati-hati
dan mengumpulkan semua fakta yang dapat diperoleh.
Mengedepankan keadilan dan tidak memihak serta tanpa prejudis
(pra-sangka) dalam mengobservasi fakta-fakta
b) Setelah melakukan observasi pendahuluan terhadap fakta-fakta,
maka pemecahan apa yang disusulkan ditetapkan. Inilah yang oleh

14
Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1982) ., hal. 11
15
Syed Naguib al-Attas, Konsep Pendidikan,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 15

11
Dewey disebut “sugesti” dapat juga disebut “hypothesa” atau “teori
provisional” (persiapan). Kadang-kadang muncul suatu sinar getaran
nurani manusia semacam intuisi untuk memecahkan problema yang
dihadapi. Intuisi menuntun proses berpikir manusia ke arah
pemikiran logis yang berupa penalaran yang bersifat deduktif16
4) Metode pemikiran kritis dialektis
Metode pemikiran kritis dialektis, yaitu suatu metode pemikiran
yang menggunakan cara pertanyaan-pertanyaan dan kritikan-kritikan
sebanyakbanyaknya dan sedetail-detailnya terhadap sesuatu pendirian
atau pendapat atau problem, kemudian darinya diharapkan keluar
kesimpulan sebagai kebenaran yang dicari. Setiap pendapat atau teori
yang dihadapi harus diteliti dengan sedalamdalamnya, untuk
mengungkap kebenaran dan kekuatannya. Semakin kuat suatu teori atau
pendapat terhadap kritikan-kritikan, semakin kuatlah kebenaran dari teori
atau pendapat tersebut17
Berangkat dari membangun pola pikir ilmiah, dalam
pelaksanaannya pendidikan akal dapat diterapkan dengan menggunakan
metode antara lain:
a) Metode percakapan/tanya jawab (Hiwar). Ialah percakapan (dialog)
silih berganti antara dua pihak atau lebih melalui Tanya jawab
mengenai suatu topik, dan dengan sengaja diarahkan kepada satu
tujuan yang dikehendaki. Metode ini yang digunakan oleh Nabi
dalam mendidik para sahabat, terutama dalam rangka menetapkan
urusan agama, akidah dan menjelaskan berbagai ketentuan yang
bersifat keduniaan. Karena metode ini dapat mengasah otak,
mendekatkan dengan makna, dapat mengangkat kebenaran, melatih
menjadi pendengar yang baik, menjadi contoh sebagai pembicara
yang baik dalam perilaku dan penyampaian pendapat

16
Syed Naguib al-Attas, Konsep Pendidikan,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 18
17
Abdullah Fatah Jalal, Azas-Azas Pendidikan Islam (Bandung: CV Diponegoro) ., hal.
16

12
b) Metode kisah (Qishah) Menurut al-Razzi kisah merupakan
penelusuran terhadap kejadian masa lalu. Terdapat berbagai
keteladan dan edukasi penting yang terkandung dalam sebuah kisah.
Kisah senantiasa memikat, karena mengundang pembaca/pendengar
untuk mengikuti peristiwanya dan merenungkan maknanya,
menghayati dan merasakan isis kisah tersebut seolaholah dia sendiri
yang menjadi tokohnya. Kisah qur‟ani mendidik keimanan dengan
cara membangkitkan berbagai perasaan seperti khauf, ridha, dan
hub.18
Seperti cerita Nabi Ibrahim dalam al-Qur‟an surat al-An‟am ayat
79

          

  


Artinya: Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang
menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama
yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang
mempersekutukan tuhan.

Metode ini memiliki pengaruh terhadap jiwa (emosional), kesan


terhadap pikiran, dan argumen yang logis. Allah telah menganugerahkan
kepada RasulNya dengan mengisahkan kepadanya kisah-kisah terbaik,
menurunkan kepadanya pembicaraan terbaik agar menjadi tanda dan
pelajaran bagi manusia, serta menguatkan tekad dan keteguhan hati
(iman) Materi yang disajikan Al-Qur‟an hampir selalu mengarah kepada
jiwa, akal dan raga manusia. dalam penyajian materi pendidikannya, Al-
Qur‟an membuktikan kebenaran materi melalui pembuktian-pembuktian,
baik dengan argumentasi yang dikemukakan maupun yang dapat
dibuktikan sendiri oleh manusia (peserta didik) melalui penalaran
akalnya.19

18
Syed Naguib al-Attas, Konsep Pendidikan,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 20
19
Ali Ahmad Madkur, Manhaj al-Tarbiyyah fi al-Tashawwur al-Islâmi (Kairo: Dar al-
Fikr al-'Arabi, 2002., hal. 15

13
5) Metode perumpamaan (amtsal).
Metode perumpamaan (amtsal). Adalah member perumpamaan
dari yang abstrak kepada yang lain yang lebih kongkrit untuk mencapai
tujuan atau manfaat dari perumpamaan tersebut.
Menurut An-Bahlawi metode ini mempunyai tujuan pedagodis
diantaranya: merangsang kesan dan pesan yang berkaitan dengan makna
yang tesirat dalam perumpamaan, yang menggugah menumbuhkan
pelbagai perasaan ketuhanan, mendidik akal supaya berpikir logis dan
menggunakan qiyas (sylogisme) yang logis dan sehat,motif yang
menggerakkan perasaan menghidupkan naluri, selanjutnya menggugah
kehendak dan mendorong seseorang untuk melakukan amal perbuatan
yang baik dan menjauhi kemungkaran
6) Metode diskusi (Musyawarah)
Metode diskusi (Musyawarah), adalah metode pembelajaran yang
menghadapkan siswa pada suatu permasalahan. Metode diskusi bukan
hanya percakapan atau debat biasa saja, akan tetapi diskusi timbul karena
adanya permasalahan yang memerlukan jawaban dan jalan keluar/solusi,
atau terdapat berbagai jawaban yang perlu diselesaikan. Selain
memecahkan masalah, menjawab pertanyaan, menambah dan memahami
pengetahuan, juga meragsang peserta didik berpikir dan mengemukakan
pendapatnya sendiri
Orang yang tidak terbiasa diskusi, atau berdebat, atau dialog akan
menganggap dirinya adalah pemilik pemikiran yang baik. Pola pikirnya
akan dirasakan sebagai pola pikir yang paling baik. Merasa benar dengan
pemikiran yang salah adalah kecelakaan yang paling fatal. Perasaan ini
bias muncul dikala seseorang tidak memiliki keterampilan berpikir20
C. Kesimpulan
Bagi orang-orang yang berakal, maka akan memandang bahwasannya
Allah adalah sumber kebenaran dan pengetahuan. Manusia diberi mandat untuk

20
Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan al-
Qur'an (Jakarta: Rineka Cipta, 2007., hal. 18

14
mencari dan mengembangkan pengetahuan dengan potensi akal dan pengetahuan
yang telah dimilikinya. Di dalam Alquran dikatakan bahwasannya kebenaran itu
bisa didekati dengan berbagai cara: Pertama, melalui sabda-Nya (rasionalisasi
pemaknaan terhadap Alquran dan Hadits); Kedua, melalui peristiwa (sejarah); dan
Ketiga, melalui fenomena dan budaya. Sedangkan tugas manusia untuk mencari
dengan menggunakan ketiga pendekatan tersebut dengan menggunakan akal
budinya secara kritis. Kebenaran yang dinyatakan Allah bagi manusia bukan
hanya bersifat “tekstual” (Alquran/wahyu), melainkan juga “fenomenal”
(kejadiankejadian alam), dan faktual (pribadi Rasulullah).
Muhammad SAW. sebagai uswah hasanah (modelling) merupakan
eksemplar kebenaran, karena itu pengetahuan sejati bukanlah pengetahuan yang
memisahkan diri dari yang mengetahui. Pengetahuan sejati adalah pengetahuan
yang dapat membebaskan dari keterbelengguan kepicikan dalam sebuah
penalaran, kebenaran sejati di dalamnya terkandung kebenaran yang memiliki
kuasa transpormatif. Pengetahuan adalah buah dari pendidikan. Dalam konteks
Islam pendidikan akan melibatkan keseluruhan dimensi: baik intelektual,
emosional, kehendak, maupun bagian-bagian lainnya dari panca indra yang
kesemuanya itu ikut terlibat yang saling melengkapi. Maka dengan itu pendidikan
Islam terpanggil untuk memberikan kebebasan berpikir, baik melalui pengamatan,
penalaran, dan perenungan agar kelak wajah pendidikan Islam bisa tersenyum dan
sanggup menyapa dunia.

15
DAFTAR PUSTAKA

A. Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami (Bandung: Rosda Karya, 2008)

Abdullah Fatah Jalal, Azas-Azas Pendidikan Islam (Bandung: CV Diponegoro

Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan al-


Qur'an (Jakarta: Rineka Cipta, 2007.

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Qamus 'Araby-Indonesia


(Yogyakarta: Krapyak),

Al-'Allamah Raghib al-Asfahani, Mu'jam Mufradat Alfadz al-Qur'an (Beirut: Dar


al-Fikr, t.th)

Ali Ahmad Madkur, Manhaj al-Tarbiyyah fi al-Tashawwur al-Islâmi (Kairo: Dar


al-Fikr al-'Arabi, 2002

Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1982)

Isma'il Raji al-Faruqi, Tauhid, Bandung: Pustaka, 1984.

Jalaluddin, Teologi Pendidikan (Jakarta: Rajawali Press, 2003).

Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta:


Bulan Bintang, t.th),

Sa'id Isma'il 'Aly, Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Salam, 2007),

Syed Naguib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam (Bandung: Mizan, 1986),

Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa (Jakarta: Bulan Bintang, 1989)

16

Anda mungkin juga menyukai