Anda di halaman 1dari 22

KONSEP PEMBIAYAAN, PENGEMBANGAN

PENDIDIKAN ISLAM,
DAN TRADISI PENDIDIKAN ISLAM

MAKALAH

Oleh:

TOIBA TARIHORAN
NIM. 2150100010

DOSEN PENGAMPUH
Dr. Magdalena, M.Ag
NIP. 19740319 200003 2 001

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
2021
DAFTAR ISI

A. Pendahuluan ............................................................................... 1
B. Pembahasan................................................................................ 2
1. Konsep Pembiayaan ............................................................. 2
2. Pengembangan Pendidikan Islam ........................................ 7
3. Tradisi Pendidikan Islam ..................................................... 10
C. Kesimpulan ................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA
KONSEP PEMBIAYAAN, PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM,
DAN TRADISI PENDIDIKAN ISLAM

A. Pendahuluan
Permasalahan klasik yang masih kerap menghinggapi lembaga-lembaga
pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam di negeri ini, adalah problem
pemerataan pendidikan serta pembiayaan pendidikan yang dikatakan belum
maksimal dalam realisasinya.
Dalam segala upaya pencapaian tujuan pendidikan, biaya dan pembiayaan
pendidikan memiliki peranan yang sangat menentukan. Hampir tidak ada upaya
pendidikan yang dapat mengabaikan peranan biaya, sehingga dapat dikatakan
bahwa tanpa biaya, proses pendidikan belum bisa berjalan secara maksimal.
Setidaknya sekolah atau madrasah dalam menyelenggarakan pendidikan
menganut pada sila ke lima pancasila yang berbunyi” keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Dalam kandungan sila kelima tersebut mengindikasikan bahwa
pelaksanaan manajemen pembiayaan di dalam dunia pendidikan, hendaknya
dilaksanakan sebaik mungkin agar pendidikan dapat terlaksana dengan baik.
Di dalam UUD 1945 alenia keempat, disebutkan adanya perkataan
“mencerdaskan kehidupan bangsa” ini berarti bahwa setiap lapisan masyarakat
berkewajiban untuk turut serta melaksanakan pendidikan sebagai upaya
mempertahankan kedaulatan republik Indonesia.
Secara aplikatif, penyelenggaraan pendidikan membutuhkan biaya. Hal ini
disebabkan pengelolaan pendidikan di sekolah maupun madrasah dalam segala
aktivitasnya, memerlukan sarana dan prasarana untuk proses pengajaran, layanan,
pelaksanaan program, dan kesejahteraan para guru dan karyawan yang ada.
Semua itu memerlukan anggaran dana.
Keterbatasan dana menuntut pengelola lembaga pendidikan untuk kreatif,
peka terhadap peluang, membangun relasi, serta mengelola dana yang ada dengan
baik.

1
B. Pembahasan
1. Konsep Pembiayaan
a. Pengertian
Pembiayaan pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai
ongkos yang harus tersedia dan diperlukan dalam menyelenggarakan
pendidikan dalam rangka mencapai visi, misi, tujuan, sasaran, dan
strategisnya. Pembiayaan pendidikan tersebut diperlukan untuk pengadaan
gedung, infrastruktur dan peralatan belajar mengajar, gaji guru, gaji
karyawan dan sebagainya.1
Timbulnya pembicaraan pembiayaan pendidikan itu antara lain
terjadi seiring dengan terjadinya pergeseran dari kegiatan belajar mengajar
yang semula dilakukan secara invidual dan sambilan dalam situasi ilmu
pengetahuan yang belum berkembang, menjadi kegiatan belajar mengajar
yang dilakukan secara khusus dan profesional dalam situasi ilmu
pengetahuan sudah mulai berkembang. Dalam situasi yang terakhir ini,
proses belajar mengajar tidak dapat lagi dilakukan secara sambilan dengan
memanfaatkan sarana dan prasarana yang ada seperti masjid atau bagian
tertentu dari rumah guru, melainkan sudah memerlukan tempat yang
khusus, sarana prasarana, infrastruktur, guru dan lainnya yang secara
khusus diadakan untuk kegiatan belajar dan mengajar. Dalam situasi yang
demikian itulah, maka pembiayaan pendidikan merupakan bagian yang
harus diadakan secara khusus.2
Di dunia Islam, khususnya pada zaman klasik (abad ke-7 hingga 13
M), kesadaran untuk mengeluarkan biaya yang besar untuk kegiatan
pendidikan sesungguhnya sudah pula terjadi. Namun berbeda motif dan
tujuannya dengan motif dan tujuan yang dilakukan negara-negara maju
sebagaimana tersebut di atas. Di zaman klasik atau kejayaan Islam, motif
dan tujuan pengeluaran biaya pendidikan yang besar bukan untuk mencari
keuntungan yang bersifat material atau komersial, melainkan semata-mata

1
Baharuddin dan Moh. Makin.2010. Manajemen Pendidikan Islam, Malang: UIN
MALIKI PRESS., hal. 16
2
Matin. 2014. Manajemen Pembiayaan Pendidikan Konsep dan Aplikasnya. Jakarta:
RajaGrafindo Persada., hal. 19

2
untuk memajukan umat manusia, dengan cara memajukan ilmu
pengetahuan, kebudayaan dan peradabannya.3
b. Dasar dan Sumber Biaya Pendidikan Islam
Sumber dana dapat diperoleh melalui :
1) Wakaf
Wakaf adalah sumbangan dalam pengertian umum merupakan
hadiah yang diberikan untuk memenuhi banyak kebutuhan spiritual dan
temporal kaum muslimin. Dana-dana yang diperoleh dari sumbangan
tersebut digunakan untuk membangun dan merawat tempat ibadah,
mendirikan sekolah dan rumah sakit, menafkahi para ulama dan da‟i,
mempersiapkan kebutuhan kaum muslimin dan memasok senjata bagi
para pejuang yang berperang di jalan Allah.4
2) Zakat
Pendidikan termasuk ke dalam kepentingan sosial, sudah
sepantasnya zakat dapat dijadikan sumber dana pendidikan. Dana zakat
harus dikelola secara profesional dan transparan agar sebagiannya dapat
dipergunakan untuk membiayai lembaga pendidikan islam
3) Shodaqoh
Shodaqoh atau disebut juga shodaqoh sunnah, merupakan
anjuran agama yang sangat besar nilainya. Orang yang bersedekah pada
jalan Allah akan mendapat ganjaran dari Allah tujuh ratus kali nilainya
dari harta yang disedekahkan, bahkan melebihi dari itu. Dari penjelasan
di atas maka sedekah pula dapat dijadikan sumber pembiayaan
pendidikan seperti untuk gaji pengajar, beasiswa maupun untuk sarana
dan prasarana pendidikan islam.5

4) Hibah

3
Baharuddin dan Moh. Makin.2010. Manajemen,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 19
4
Baharuddin dan Moh. Makin.2010. Manajemen,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 21
5
Mulyono. 2010 Konsep Pembiayaan Pendidikan. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA., hal.
15

3
Hibah adalah pengeluaran harta semasa hidup atas dasar kasih
sayang untuk kepentingan seseorang atau untuk badan sosial,
keagamaan dan ilmiyah. Melihat pengertian hibbah, jelas bahwa hibbah
ini termasuk salah satu sumber pembiayaan dalam pendidikan.6
c. Prinsip-Prinsip Pengelolaan Dana Pendidikan dalam Islam
Terdapat sejumlah prinsip yang menjadi pegangan dalam
pengelolaan dana pendidikan dalam Islam. Prinsip ini sebagai berikut :
1) Prinsip keikhlasan. Prinsip ini antara lain terlihat pada dana yang berasal
dari wakaf sebagaimana tersebt di atas.
2) Prinsip tanggung jawab kepada Tuhan. Prinsip ini antara lain terlihat
pada dana yang berasal dari para wali murid. Mereka mengeluarkan dana
atas dasar kewajiban mendidik anak yang diperintahkan oleh Tuhan,
dengan cara membiayai pendidikan anak tersebut.
3) Prinsip suka rela. Prinsip ini antara lain terlihat pada dana yang berasal
dari bantuan hibah perorangan yang tergolong mampu dan menyukai
kemajuan Islam.
4) Prinsip halal. Prinsip ini terlihat pada seluruh dana yang digunakan untuk
pendidikan yang berasal dari dana yang halal dan sah menurut hukum
Islam.
5) Prinsip kecukupan. Prinsip ini antara lain terlihat pada dana yang
dikeluarkan oleh pemerintah dari kas negara.
6) Prinsip berkelanjutan. Prinsip ini antara lain terlihat pada dana yang
berasal dari wakaf yang menegaskan bahwa sumber (pokok) dana
tersebut tidak boleh hilang atau dialihkan kepada orang lain, yang
menyebabkan hilangnya hasil dari dana pokok tersebut.
7) Prinsip keseimbangan dan proporsional. Prinsip ini antara lain terlihat
dari pengalokasian dana untuk seluruh kegiatan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pendidikan, seperti dana untuk membangun infrastruktur,
sarana prasarana, peralatan belajar mengajar, gaji guru, beasiswa para
pelajar dan sebagainya.7
d. Sumber Dana Lainnya yang Halal dan Tidak Mengikat
Bagi lembaga pendidikan Islam di Indonesia, seperti pesantren dan
madrasah selain sumber diatas bisa pula memperoleh dana yang berasal dari
sumber lainnya baik sumber intern maupun sumber ekstern.
1) Sumber Dana Intern

6
Baharuddin dan Moh. Makin.2010. Manajemen,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 11
7
Mulyono. 2010 Konsep Pembiayaan,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 17

4
Sumber dana lembaga pendidikan Islam dapat diperoleh dari :
a) Membentuk Badan Usaha atau Koperasi
Upaya lain yang dapat menjadi sumber dana bagi lembaga
pendidikan Islam ialah adanya Badan Usaha dalam bentuk UKM
(Usaha Kecil dan Menengah), Koperasi dan BMT (Baitulmal
Watamwil). Badan Usaha tersebut tentunya disesuaikan dengan
kondisi dimana lembaga Pendidikan itu berada.
b) Membentuk Lembaga Amil Zakat, Infaq, Sadaqah, dan Wakaf.
c) Membentuk Badan Kerjasama antara Lembaga Pendidikan
Islam/Yayasan dengan Orangtua Murid.
2) Sumber Dana Ekstern
Sumber Dana Ekstern dapat diusahakan dengan cara :
a) Membentuk donatur tetap
b) Mengupayakan bantuan Pemerintah
c) Bantuan luar negeri8
e. Pentingnya Peralatan dalam Meningkatkan Mutu Sekolah
Dalam pengertian yang luas, peralatan pendidikan adalah semua
yang digunakan guru dan murid dalam proses pendidikan. Ini mencakup
perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat keras misalnya gedung
sekolah dan alat laboratorium; perangkat lunak umpamanya kurikulum,
metode, dan administrasi pendidikan.
Orang Islam Indonesia sekarang ini sudah mengetahui perlunya
tersedia alat-alat pendidikan untuk membangun sekolah yang bermutu.
Akan tetapi, itu bukan berarti pengetahuan mereka itu cukup teliti, juga
belum berarti bahwa teori-teori tentang itu sudah benar-benar dikuasai
mereka. Alat-alat pendidikan yang mendasar, seperti tempat belajar dan
alat-alat belajar yang sederhana memang sudah dikenal mereka. Akan tetapi,
untuk yang ini pun kita masih menyaksikan begitu sederhananya pikiran
orang Islam Indonesia. Kita masih menyaksikan adanya pembanguna sarana
belajar yang kelihatannya kurang direncanakan dengan baik. Mungkin saja

8
Al-Maliki Abdurrahman, 1963. As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, Hizbut Tahrir.,
hal. 11

5
sebabnya adalah belum dikuasainya teori-teori baru tentang itu. Kendala
yang sudah jelas, dan sering sekali dikemukakan, ialah kekurangan biaya. 9
Gedung sekolah yang mempunyai ruang-ruang belajar yang
memenuhi syarat, jelas lebih memberikan kemungkinan kepada siswa untuk
belajar lebih enak dibandingkan dengan ruang belajar yang sempit, udara
yang kurang lancar sirkulasinya, cahaya yang kurang memenuhi syarat.
Dalam menghadapi masalah ini, satu saran perlu diberikan yaitu
rencanakanlah pembangunan gedung dengan hati-hati, dan buatlah rencana
menyeluruh. Dengan perencanaan yang menyeluruh dan teliti, penghematan
dana dapat dilakukan. Dengan kata lain, penghamburan dana secara mubazir
dapat saja terjadi karena keliru dalam membuat rencana pembangunan
peralatan.10
f. Pendapatan Guru Madrasah dan Ulama yang Mengajar di Masjid
Suatu hal yang perlu didasari bahwa pengajar di masjid adalah
ulama-ulama yang sudah terkenal keilmuan mereka serta sudah teruji
dihadapan syeikh dan termasyhur kesalihannya di tengah-tengah
masyarakat. Adapun sumber-sumber penghasilan mereka bermacam-macam
dan sangat etrgantung pada pribadi ulama itu sendiri. Sumber-sumber
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Kekayaan sendiri
2) Hasil karya tulis
3) Sumbangan dan hadiah dermawan.11
2. Pengembangan Pendidikan Islam
a. Pengembangan
Pengembangan dalam arti yang sangat sederhana adalah suatu
proses, cara pembuatan. Sedangkan menurut Drs. Iskandar Wiryokusumo
M.sc pengembangan adalah upaya pendidikan baik formal maupun non
formal yang dilaksanakan secara sadar, berencana, terarah, teratur, dan
bertanggungjawab dalam rangka memperkenalkan, menumbuhkan,

9
Mulyono. 2010 Konsep Pembiayaan,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 22
10
Dedy Achmad Kurniady Akadon dan Deni Darmawan. 2015. Manajemen Pembiayaan
Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya., hal. 11
11
Al-Maliki Abdurrahman, 1963. As-Siyasah,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 19

6
membimbing, dan mengembangkan suatu dasar kepribadian yang
seimbang, utuh dan selaras, pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan
bakat, keinginan sertakemampuankemampuannya, sebagai bekal untuk
selanjutnya atas prskarsa sendiri menambah, meningkatkan dan
mengembangkan dirinya, sesama ,maupun lingkungannya ke arah
tercapainya martabat, mutu dan kemampuan manusiawi dan prbadi yang
mandiri
Pengembangan sumber daya manusia dari waktu ke waktu semakin
meningkat. Oleh karena itu layanan pendidikan harus mampu mengikuti
perkembangan tersebut. Selain keluarga dan sekolah, masyarakat memiliki
peran tersendiri terhadap pendidikan. Peran dominan orang tua pada saat
anakanak dalam masa pertumbuhan hingga menjadi orang tua. Dan pada
masa tersebut orang tua harus mampu memenuhi kebutuhan pokok seorang
anak Sedangkan peran pada pendewasaan dan pematangan individu
merupakan peran dari kelompok masyarakat.12
b. Pendidikan
Pendidikan secara umum adalah sebagai suatu usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual,
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak dan budi
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
Pada intinya pendidikan adalah suatu proses yang disadari untuk
mengembangkan potensi individu sehingga memiliki kecerdasan pikir,
emosional, berwatak dan berketerampilan untuk siap hidup ditengah-tengah
masyarakat. Prinsip dasar dari pendidikan adalah untuk memanusiakan
manusia, mengembangkan potensi dasar peserta didik agar berani dan
mampu menghadapi problema yang dihadapi tanpa rasa tertekan, mampu,
dan senang meningkatkan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi,

12
Al-Maliki Abdurrahman, 1963. As-Siyasah,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 21

7
sehingga terdorong untuk memelihara diri sendiri maupun hubungannya
dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Para ahli pendidik Islam telah sepakat bahwa maksud dari
pendidikan dan pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik tetapi
maksudnya adalah mendidik akhlak dan jiwa mereka, dengan kesopanan
yang tinggi, rasa fadilah (keutamaan), mempersiapkan mereka untuk
kehidupan yang seluruhnya ikhlas dan jujur.
Pada akhirnya tujuan pendidikan Islam itu tidak terlepas dari tujuan
nasional yang menciptakan manusia Indonesia seutuhnya, seimbang
kehidupan duniawi dan ukhrawi. Dalam al-Qur‟an sudah terang dikatakan
bahwa manusia itu diciptakan untuk mengabdi kepada Allah Swt. Hal ini
terdapat dalam Al-Qur‟an Surat Adz-zariyat : 56, “Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka menyembah-Ku.13
Agama sangatlah penting dalam kehidupan manusia. Demikian
pentingnya agama dalam kehidupan manusia, sehingga diakui atau tidak
sesungguhnya manusia sangatlah membutuhkan agama dan sangat
dibutuhkanya agama oleh manusia. Tidak saja di massa premitif dulu
sewaktu ilmu pengetahuan belum berkembang tetapi juga di zaman modern
sekarang sewaktu ilmu dan teknologi telah demikian maju.
Pendidikan agama yang menyajikan kerangka moral sehingga
seseorang dapat membandingkan tingkah lakunya. Pendidikan agama yang
terarah dapat menstabilkan dan menerangkan mengapa dan untuk apa
seseorang berada di dunia ini. Pendidikan agama menawarkan
perlindungan dan rasa aman, khususnya bagi para siswa dalam menghadapi
lingkungannya.
Agama merupakan salah satu faktor pengendalian terhadap tingkah
laku anak-anak didik hari ini. Hal ini dapat dimengerti karena agama
mewarnai kehidupan masyarakat setiap hari.

13
Hasbullah. 2006. Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya
Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada., hal. 11

8
Dari uraian di atas jelaslah bahwa pembinaan dan bimbingan melalui
pendidikan agama sangat besar pengaruhnya bagi para siswa sebagai alat
pengontrol dari segala bentuk sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan
sehari-hari, artinya nilai-nilai agama yang diperolehnya menjadi bagian
dari pribadinya yang dapat mengatur segala tindak tanduknya secara
otomatis.14
Bila ditarik titik permasalahan yang signifikan terhadap munculnya
dekadensi moral anak-anak hari ini adalah tidak maksimalnya pendidikan
agama diajarkan kepada para siswa khususnya sejak usia dini atau masih
duduk di Sekolah Dasar (SD). Muatan pelajaran agama di Sekolah Dasar
(SD) sangat minim untuk menjadi bekal mereka menghadapi kacau dan
semrawutnya hiruk pikuk dunia ini.
Apalagi tenaga pengajar agama hanya mampu mengajar namun
sedikit semangat dalam mendidik. Dalam artian, pemberian pendidikan
agama hanya berbentuk kajian teoritis namun tidak diupayakan dalam
bentuk praktis. Apa yang dilakukan para siswa di luar sekolah ini tidak
menjadi perhatian para pendidik agama.
Dengan demikian, upaya praktis dalam mewujudkan nilai-nilai
moral yang islami lewat pendidikan agama harus senantiasa diupayakan
agar penanaman pendidikan agama betul-betul maksimal.15
c. Pengembangan Pendidikan Islam
Pengembangan pendidikan Islam, dalam arti i‟adah, ibanah dan ihya
dengan maksud reaktualisasi, revitalisasi, refungsionalisasi dan revektifity
sesungguhnya telah lama dirintis dan diupayakan oleh banyak pihak.
Berbagai model pengembangannya pun telah banyak digagas, namun
berbagai ikhtiyar tersebut hingga kini belum sepenuhnya mencapai tujuan
sebagaimana diharapkan
Pada ranah empiris, implementasi pendidikan Islam baik di sekolah
maupun di perguruan tinggi belum banyak memberikan implikasi

14
Hasbullah. 2006. Otonomi Pendidikan,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 12
15
Hasbullah. 2006. Otonomi Pendidikan,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 16

9
signifikan terhadap perubahan prilaku peserta didik, padahal salah satu
tujuan utama pendidikan Islam adalah terjadinya perubahan baik pola fikir
(Way of thinking), perasaan dan kepekaan (way of feeling), maupun
pandangan hidup (way of life) pada peserta didik.16
3. Tradisi Pendidikan Islam
a. Meunasah
1) Pengertian
Secara etimologi meunasah berasal dari perkataan madrasah,
tempat belajar atau sekolah. Ditinjau dari segi pendidikan, meunasah
adalah lembaga pendidikan awal bagi anak-anak yang dapat disamakan
dengan tingkat sekolah dasar. Di meunasah, para murid diajar
menulis/membaca huruf Arab, ilmu agama dalam bahasa Jawi
(melayu), akhlak. Untuk itu, meunasah merupakan lembaga pendidikan
yang mengajarkan ilmu-ilmu agama.
2) Tradisi Keilmuan
Meunasah merupakan lembaga pendidikan Islam yang terdapat
di Aceh, demikian fakta-fakta sejarah yang ditemukan oleh peneliti
sejarah pendidikan Islam. Maka pada dasarnya, meunasah memiliki
multifungsi bagi masyarakat Aceh, yaitu tidak hanya tempat belajar
bagi anak-anak, tetapi juga berfungsi sebagai (1) Lambang dari
kesatuan masyarakat Aceh, (2) Pusat penyiaran berita untuk warga, (3)
Balai gampong (kampung), (4) Tempat musyawarah seluruh
warga gampong, (5) Tempat pejabat-pejabat gampong memutuskan dan
memecahkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan, (6) Tempat
warga gampong tidur malam hari dan (7) Tempat tadarus Al-Qur‟an
serta (8) Tempar perayaan dan kenduri massal dalam kampung, seperti
maulid Nabi Muhammad SAW., Nazulul Qur‟an dan Isra‟
Mi‟raj. Dengan melihat fungsinya yang begitu banyak, maka dapat
dibayangkan meunasah pada awal perkembangannya merupakan
lembaga sosial dan pendidikan bagi masyarakat Islam Aceh yang

16
Hasbullah. 2006. Otonomi Pendidikan,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 19

10
demikian strategi, Karena sebagai pemersatu masyarakat Islam, di
samping sebagai lembaga edukatif.17
Meunasah dipimpin oleh seorang tengku, yang di Aceh besar
disebut tengku meunasah. Tengku meunasah bertugas untuk membina
agama di suatu tempa tertentu. Ia memiliki tugas-tugas keagamaan, di
antara lain, (1) Mengajar anak-anak membaca Al-Qur‟an, (2) Menjadi
imam shalat, (3) Mengurus jenazah, (4) Memimpin do‟a pada kenduri-
kenduri di wilayahnya, (5) Menyembelih hewan, (6) Mengurus masalah
pernikahan, (7) Mengurus kegiatan-kegiatan Ramadhan, seperti
mempersiapkan berbuka puasa bersama di meunasah, dan lain-lain. Itu
berarti tengku meunasah sama juga penyebutannya bagi seorang kiyai
yang memimpin pesantren.18
b. Surau
1) Pengertian
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, surau diartikan tempat (rumah)
umat Islam melakukan ibadahnya (bersembahyang, mengaji dan
sebagainya). Pengertian ini apabila dirinci mempunyai arti bahwa surau
berarti suatu tempat bangunan kecil untuk tempat shalat, tempa belajar
mengaji anak-anak, tempat wirid (pengajian agama) bagi orang
dewasa. Christine Dobbon memberikan pengertian bahwa surau adalah
rumah yang didiami para pemuda setelah akil baligh, terpisah dari
rumah keluarganya yang menjadi tempat tinggal wanita dan anak-
anak. Dengan demikian, surau memiliki fungsi pendidikan dan fungsi
sosial khususnya untuk tempat menginap bagi anak-anak dan pemuda
yang terpisah dari orang tua mereka.19
2) Tradisi Keilmuan
Perkataan surau menyebar luar di Indonesia dan Malaysia, yang
dalam kehidupan keseharian adalah suatu bangunan kecil yang
penggunaan utamanya untuk shalat berjamaah bagi masyarakat sekitar.

17
H Jhones, Thomas. 1985. Introduction to School Finance Technique An Social Policy.
New York: Macmillan Publishing Company., hal. 11
18
Hasbullah. 2006. Otonomi Pendidikan,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 20
19
Hasbullah. 2006. Otonomi Pendidikan,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 22

11
Di Sumatera Barat, Surau tidak hanya mempunyai fungsi pendidikan
dan ibadah, tetapi hanya juga mempunyai fungsi budaya. Surau
diperkirakan telah ada sebelum Islam datang ke Sumatera Barat. Hanya
berfungsi sebagai aplikasi dari budaya mereka. Surau dalam sistem adat
budaya masyarakat kepunyaan kaum, suku. Selanjutnya setelah Islam
masuk, maka dilaksanakan proses Islamisasi dalam segala aspek,
termasuk lembaga-lembaga budaya. Hal yang serupa juga diberlakukan
terhadap pesantren.
Di samping sebagai tempat pertemuan dan tempat tidur, surau
menjadi tempat untuk mempelajari ajaran Islam, membaca Al-Qur‟an
dan tempat salat. Manakala menjadi tempa shalat di awal
perkembangan Islam, surau telah berfungsi menjadi masjid kecil.
Dalam rentang waktu perkembangan selanjutnya, antara surau dan
mesjid dibangun dua tempat yang berbeda. Mesjid dijadikan sebagai
tepat yang hanya untuk peribadatan belaka, seperti shalat lima waktu,
salat Jum‟at dan salat dua hari raya. Di sisi lain, surau berfungsi sebagai
tempat asrama bagi pemuda dan tempat belajar membaca Al-Qur‟an
dan pengetahuan agama, untuk perkaik ritual keagamaan suluk, dan
empat-tempat orang berkumpul untuk berbagai pertemuan. 20
Dipandang dari budaya, keberadaan surau sebagai perwujudan
dari budaya Minangkabau yang matriachad. Anak laki-laki yang sudah
akil baligh, tidak lagi layak tinggi di rumah orang tuanya, sebab
saudara-saudara perempuannya akan kawin dan di rumah itu akan
dengan lelaki lain yang menjadi suami dari saudara perempuannya.
Karena itu mereka harus tinggal surau. Dengan tinggalnya mereka di
surau, hal ini merupakan satu bagian dari praktik budaya masyarakat
Minangkabau. Selain dari fungsi budaya itu, surau juga mempunyai
fungsi pendidikan dan agama. Fungsi pendidikan adalah
dilaksanakannya di surau transfer ilmu, nilai dan keterampilan. Di surau
dilaksanakan pendidikan Al-Qur‟an, diajarkan prinsip-prinsip agama

20
H Jhones, Thomas. 1985. Introduction,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 23

12
Islam baik yang berkenaan dengan rukun iman maupun rukun Islam.
Selain dari itu juga, surau juga berfungsi untuk tempat pendidikan
orang dewasa. Di surau dilaksanakan juga pendidikan sufi dengan
terekatnya. Surau berfungsi sebagai lembaga sosial budaya, adalah
fungsinya sebagai tempat pertemanan para pemuda dalam upaya
memsosialisasikan diri mereka. Selain dari itu surau juga berfungsi
sebagai tempat persinggahan dan peristirahatan para musafir yang
sedang menempuh perjalanan. Dengan demikian surau mempunyai
multifungsi.
Verkerk Pistorius, seorang pegawai Belanda, dalam rangka
kunjungan ke Sumatera Barat, yang dikutip oleh Azyumardi Azra,
menjelaskan bahwa surau dibagi kepada tiga kategori. Pertama surau
kecil, menengah dan suara besar. Surau kecil memuat sekitar 20 pelajar.
Surau menengah, berisi 80 pelajar, dan surau besar berkisar 100 sampai
1000 pelajar. Surau kecil, suara untuk mengaji (membaca Al-Qur‟an),
dan tempat shaat, sedangkan surau menengah dan besar tidak hanya
sebagai tempat shalat dan mengaji, tetapi mempunyai fungsi pendidikan
dalam arti yang lebih luas.21
Sistem pendidikan di surau banyak kemiripannya dengan sistem
pendidikan di pesantren. Murid tidak terikat dengan sistem administrasi
yang ketat, syekh atau guru mengajar dengan metode bandongan dan
sorongan, ada juga murid yang berpindah ke surau lain apabila dia
sudah merasa cukup memperoleh ilmu di surau terdahulu. Dari segi
mata pelajaran yang diajarkan di surau sebelum masuknya ide-ide
pembaruan pemikiran Islam pada awal abad ke-20 adalah mata
pelajaran agama yang berbasis kepada kitab-kitab klasik.
Surau sebagaimana layaknya pesantren juga memiliki
kekhususan-kekhususan, ada surau yang kekhususan dalam ilmu alat,
seperti Surau Kamang, ada spesialis ilmu mantik, ma’ani, surau Kota
Gedang, dalam ilmu tafir, dan faraid, surau Sumanik, sedangkan surau

21
H Jhones, Thomas. 1985. Introduction,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 24

13
Talang spesialis dalam ilmu nahu. Surau sebagai tempat prakik sufi
atau tarekat bukanlah sesuatu yang aneh, sebab surau pertama yang
dibangun di Minangkabau oleh Burhanuddin Ulakan adalah untuk
mempraktikkan ajaran tarekat di kalangan masyarakat Minangkabau,
khususnya pengikut Syekh Burhanuddin Ulakan.
Surau Ulakan seperti yang ditulis oleh Azyumardi Azra, adalah
merupakan pusat tarekat, murid-murid yang belajar di surau Ulakan itu,
membangun pula surau-surau di tempat lain yang mencontoh model
surau Ulakan itu sendiri, yang merupakan prototype dari surau tarekat.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa surau, sebagaimana juga
meunasah yang ada di Aceh merupakan lembaga pendidikan yang juga
berfungsi sebagai wadah sosial bagi masyarakat Sumatera Barat.22
c. Pesantren
1) Pengertian
Pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya adalah tempat
belajar para santri. Sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal
sederhana yang terbuat dari bambu. Di samping itu kata “pondok”
mungkin juga berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti hotel atau
asrama.
Istilah “pesantren” diambil dari kata “santri” mendapat
penambahan “pe” di depan dan “an” di akhir, dalam bahasa
Indonesia berarti tempat tinggal santri, tempat dimana para pelajar
mengikuti pelajaran Agama. Istilah „santri” diambil dari kata shastri
(Castri = India), dalam bahasa Sansekerta bermakna orang yang
mengetahui kitab suci Hindu. Pada perkembangannya, pesantren
merupakan lembaga pendidikan yang dibuat pada awalnya seperti
rumah yang dikhususkan untuk kegiatan santri belajar.23
2) Tradisi Keilmuan

22
H Jhones, Thomas. 1985. Introduction,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 25
23
Ibrahim Muhammad, Quthb. 2002. Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab (As-
Siayasah Al-Maliyah Li ‘Umar bin Khaththab), Penerjemah Ahmad Syarifuddin Shaleh. Jakarta:
Pustaka Azzam., hal. 13

14
Pertumbuhan dan perkembangan pondok pesantren tidak
terlepas dari hubungan dengan sejarah masuknya Islam di Indonesia.
Pendidikan Islam di Indonesia bermula ketika orang-orang yang masuk
Islam ingin mengetahui lebih banyak isi ajaran agama yang baru
dipeluknya, baik mengenai tata cara beribadah, baca Al-Qur‟an, dan
mengetahui Islam yang lebih luas dan mendalam. Mereka ini belajar di
rumah, surau, langgar atau masjid. Di tempat-tempat inilah orang-orang
yang baru masuk Islam dan anak-anak mereka belajar membaca Al-
Qur‟an dan ilmu-ilmu agama lainnya, secara individual dan langsung.
Dalam perkembangannya untuk lebih mendalam ilmu agama telah
mendorong tumbuhnya pesantren yang merupakan tempat untuk
melanjutkan belajar agama setelah tamat belajar di surau, langgar atau
masjid. Model pendidikan pesantren ini berkembang di seluruh
Indonesia dengan nama dan corak yang sangat bervariasi. Di Jawa
disebut pondok pesantren, di Aceh dikenal rangkang, di Sumatera Barat
dikenal Surau, nama sekarang yang dikenal umum adalah pondok
pesantren. Menurut Zamaksyari Dofier ada lima unsur pokok pesantren:
Kiai, Santri, Masjid, pondok dan pengajaran kitab-kitab klasik. 24
Pondok pesantren di Indonesia mulai tercatat keberadaan dan
perkembangannya mulai abad ke-16. Karya-karya jawab klasik seperti
Serat Cabolek dan Serat Cenini mengungkapkan uraian yang menjadi
bukti adanya lembaga-lembaga yang mengajarkan berbagai kitab Islam
klasik dalam bidang fikih, tasawuf, dan menjadi pusat-pusat penyiaran
agama Islam yaitu pondok pesantren. Berdasarkan hasil pendataan yang
dilaksanakan oleh Departemen Agama pada ahun 1984-1985 diperoleh
keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1062 di
Pemekasan Madura, dengan nama pesantren Jan Tampes II. Akan tetapi
hal ini juga diragukan, karena tentunya ada pesantren Jan Tampes I
yang lebih tua.

24
H Jhones, Thomas. 1985. Introduction,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 26

15
Pendapat lain mengatakan bahwa pesantren telah tumbuh sejak
awal masuknya Islam ke Indonesia, sementara yang lain berpendapat
bahwa pesantren baru muncul pada masa Walisongo dan Maulana
Malik Ibrahim dipandang sebagai orang pertama mendirikan pesantren.
Apabila ditelusuri sejarah pendidikan di Jawa, sebelum datangnya
agama Islam telah ada lembaga pendidikan Jawa Kuno yang praktik
kependidikannya sama dengan pesantren. Lembaga pendidikan Jawa
Kuno itu bernama pawiyatan, di lembaga tersebut tinggal Ki Hajar
dengan Cantrik. Ki Hajar orang yang mengajar dan Cantrik orang yang
diajar. Kedua kelompok ini tinggal di satu komplek dan di sini
terjadilah proses belajar mengajar25.
Sugarda Poerbakawatja telah meneliti bahwa pesantren lebih
mirip lembaga pendidikan Hindu ketimbang pendidikan Arab, karena
memang awalnya lembaga ini merupakan lembaga pendidikan agama
Hindu. Hanya saja filosofinya dirubah ketika masyarakat Islam mulai
menguasai lembaga pendidikan ini.
Dengan masuknya Islam, maka sekaligus diperlukan sarana
pendidikan, tentu saja model pawiyatan ini dijadikan acuan dengan
mengubah sistem yang ada ke sistem pendidikan Islam. Inti dari
pesantren itu adalah pendidikan ilmu agama, dan sikap beragama.
Karenanya mata pelajaran yang diajarkan semata-mata pelajaran
agama. Pada tingkat dasar anak didik baru diperkenalkan tentang dasar
agama, dan Al-Qur‟an Al-Karim. Setelah berlangsung beberapa lama
pada saat anak didik telah memiliki kecerdasan tertentu, maka mulailah
diajarkan kitab-kitab klasik. Kitab-kitab klasik ini juga diklasifikasikan
kepada tingkat dasar, menengah dan tinggi. Mahmud Yunus membagi
pesantren pada tahap-tahap awal iru kepada empat tingkatan, yaitu:
tingkat dasar, menengah, tinggi, dan takhassun. Sejak awal
pertumbuhannya, fungsi utama pondok pesantren adalah: (1)
menyiapkan santri mendalami dan menguasai ilmu agama Islam atau

25
H Jhones, Thomas. 1985. Introduction,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 27

16
lebih dikenal dengan tafaqquh fiddin, yang diharapkan dapat mencetak
kader-kader ulama dan turut mencerdaskan masyarakat Islam.
Kemudian diikuti dengan tugas (2) dakwah menyebarkan agama Islam
dan (3) benteng pertahanan mata dalam bidang akhlak. Sejalan dengan
fungsi hal ini, materi yang diajarkan dalam pondok pesantren semuanya
terdiri dari materi agama yang diambil dari kitab-kitab klasik yang
berbahasa Arab.26
Setelah datangnya kaum penjajah Barat (Belanda), peranan
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam semakin kokoh pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam yang reaksional terhadap
penjajah. Karena itu, di zaman Belanda sangat kontras sekali
pendidikan di pesantren dengan pendidikan di sekolah-sekolah umum.
Pesantren semata-mata mengajarkan ilmu-ilmu agama sekali tidak
semata-mata mengajarkan ilmu-ilmu agama lewat kitab-kitab klasik,
sedangkan sekolah umum Belanda sama sekali tidak mengajar
pendidikan agama. Sistem pendidikan pesantren metode, sarana
fasilitas serta yang lainya masuk sekolah umum yang dikelola oleh
pemerintah Kolonial Belanda, Non Klasikal, metodenya sorongan,
watonan hafalan.
Kemudian, mengikuti hipotesa Steenbrink (1986) yang
mengatakan bahwa sejak permulaan abad ke-20 telah terjadi perubahan
besar dalam pendidikan Islam Indonesia atau pesantren. Perbahan, atau
lebih tepatnya pergeseran, ini terjadi karena beberapa faktor. pertama,
kolonialisme dan sistem pendidikan liberal. Propaganda sistem
pendidikan liberal yang diusung Belanda tentu saja berdampak pada
sistem pendidikan pesantren. Kedua, orientasi keilmuan pendidikan
pesantren. Tidak seperti pada abad ke XVI-XVIII, orientasi keilmiah
pesantren abad XX tidak lagi terpusat ke Hijaz melainkan merambah ke
wilayah Timur Tengah lainnya, semisalnya Mesir, Baghdad, atau
bahkan ke Eropa. Ketiga, munculnya gerakan pembaharuan di dunia

26
Al-Maliki Abdurrahman, 1963. As-Siyasah,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 26

17
Islam, yang mengkritik eksistensi pesantren yang dikatakan sebagai
lembaga pendidikan yang masih terbelakang hanya mengajarkan ilmu
agama saja. 27
Dalam perkembangan berikutnya pesantren mengalami
dinamika, kemampuan dan kesediaan pesantren untuk mengadopsi
nilai-nilai baru akibat modernisasi, menjadi pesantren berkembang dari
yang tradisional ke moderatan. Karena itu hingga saat sekarang
pesantren tersebut dibagi dua secara garis besar. Pertama pesantren
salafi dan yang kedua khalafi. Pesantren salafi adalah pesantren yang
masih terikat dengan sistem dan pola lama, sedangkan pesantren khalafi
adalah pesantren yang telah menerima unsur-unsur pembaruan.
Walaupun pada masa penjajahan, pondok pesantren mendapat
tekanan dari pemerintah colonial Belanda, pondok pesantren masih
bertahan terus dan tetap tegak berdiri, walaupun sebagian besar berada
daerah pedesaan. Peranan mendidik dan mencerdaskan kehidupan
bangsa tetap diembannya telah banyak kader-kader bangsa dan tokoh-
tokoh perjuangan nasional dilahirkan oleh pesantren. Bahkan pada
masa masa perjuangan kemerdekaan, banyak tokoh pejuang dan
pahlawan-pahlawan kemerdekaan yang berasal dari pesantren.
Demikian besar peran pesantren dalam melahirkan tokoh agama, ulama
dan intelektual muslim sampai saat ini.28
C. Kesimpulan
Pembiayaan pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai ongkos
yang harus tersedia dan diperlukan dalam menyelenggarakan pendidikan dalam
rangka mencapai visi, misi, tujuan, sasaran, dan strategisnya. Pembiayaan
pendidikan tersebut diperlukan untuk pengadaan gedung, infrastruktur dan
peralatan belajar mengajar, gaji guru, gaji karyawan dan sebagainya.
Pengembangan pendidikan Islam, dalam arti i‟adah, ibanah dan ihya
dengan maksud reaktualisasi, revitalisasi, refungsionalisasi dan revektifity

27
Al-Maliki Abdurrahman, 1963. As-Siyasah,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 28
28
Al-Maliki Abdurrahman, 1963. As-Siyasah,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ., hal. 30

18
sesungguhnya telah lama dirintis dan diupayakan oleh banyak pihak. Berbagai
model pengembangannya pun telah banyak digagas, namun berbagai ikhtiyar
tersebut hingga kini belum sepenuhnya mencapai tujuan sebagaimana diharapkan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Al-Maliki. 1963. As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, Hizbut


Tahrir .

Akadon, Dedy Achmad Kurniady dan Deni Darmawan. 2015. Manajemen


Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Baharuddin dan Moh. Makin.2010. Manajemen Pendidikan Islam, Malang: UIN


MALIKI PRESS.

Hasbullah. 2006. Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan


Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.

H Jhones, Thomas. 1985. Introduction to School Finance Technique An Social


Policy. New York: Macmillan Publishing Company.

Ibrahim Muhammad, Quthb. 2002. Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab (As-
Siayasah Al-Maliyah Li ‘Umar bin Khaththab), Penerjemah Ahmad
Syarifuddin Shaleh. Jakarta: Pustaka Azzam.

Matin. 2014. Manajemen Pembiayaan Pendidikan Konsep dan


Aplikasnya. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Mulyono. 2010 Konsep Pembiayaan Pendidikan. Yogyakarta: AR-RUZZ


MEDIA.

20

Anda mungkin juga menyukai