Anda di halaman 1dari 67

BOOK CHAPTER

Manajemen Lembaga
Pendidikan Islam Berbasis
Masyarakat dan Sekolah

Oleh : Siti Nursiah


MANAJEMEN LEMBAGA
PENDIDIKAN ISLAM BERBASIS
MASYARAKAT DAN
SEKOLAH

BOOK CHAPTER

PENULIS
Sodiah
Ulfah Rahmawati
Moh. Miftachul Choiri
Muhamad Riyad, Ajun Rois
Masdudi
Nurlina

EDITOR : Siti Nursiah (1911030414)


Kelas : MPI H 2019

Desain Cover :
Siti Nursiah
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikun warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
karunia-Nya sehingga Book Chapter dengan judul Manajemen Lembaga
Pendidikan Islam Berbasis Masyarakat dan Sekolah telah terbit. Shalawat serta
salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu Ibu No


Rachmatul Wahidah, M.Pd yang telah memberikan tugas Book Chapter ini. Book
Chapter ini diajukan untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester mata kuliah
Manajemen Lembaga pendidikan Islam.

Book chapter ini merupakan kompilasi dari beberapa karya ilmiah. Secara
garis besar, cakupan materi yang ada di Book Chapter ini meliputi: 1. Konsep
dasar manajemen lembaga pendidikan Islam, 2. Konsep manajemen pendidikan,
3. Implementasi manajemen berbasis masyarakat dan sekolah, 4. Bagaimana
keberadaan pendidikan berbasis masyarakat dan sekolah ditengah dunia modern
yang penuh dengan lembaga-lembaga formal pendidikan, disertai dengan ulasan
tentang pendidikan masyarakat dari sudut pandang Islam berdasarkan pada fakta
historis maupun normatif, dan pembahasan-pembahasan lainnya yang berkaitan.

Harapan kami, dengan terbitnya book chapter ini, semoga dapat


menambah referensi dan wawasan tentang bagaimana manajemen lembaga
pendidikan Islam berbasis masyarakat dan sekolah. Dan semoga dapat digunakan
sebagai rujukan oleh berbagai pihak. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan
pada book chapter ini, saya mohon maaf sebesar-besarnya.

Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

Editor,

Siti Nursiah
PRAKATA

Hadirnya book chapter dengan judul Manajemen Lembaga Pendidikan


Islam Berbasis Masyarakat dan Sekolah yang disusun oleh mahasiswa Uin Raden
Intan Lampung Fakultas Tarbiyan dan Keguruan prodi Manajemen Pendidikan
Islam, sangat penting untuk dibaca dan dipahami guna menambah pengetahuan
dan wawasan.

Book chapter ini terdiri atas tujuh bab, yang ditulis oleh: Sodiah, Ulfah
Rahmawati, Moh. Miftachul Choiri, Muhamad Riyad dan Ajun Rois, Masdudi,
dan Nurlina. Materi yang dibahas dalam book chapter ini secara garis besar
membahas 1. Konsep dasar manajemen lembaga pendidikan Islam, 2. Konsep
manajemen pendidikan, 3. Implementasi manajemen berbasis masyarakat dan
sekolah, 4. Bagaimana keberadaan pendidikan berbasis masyarakat dan sekolah
ditengah dunia modern yang penuh dengan lembaga-lembaga formal pendidikan,
disertai dengan ulasan tentang pendidikan masyarakat dari sudut pandang Islam
berdasarkan pada fakta historis maupun normatif, dan pembahasan-pembahasan
lainnya yang berkaitan. Ketujuh bab tersebut konten dan konteknya berbasis
penelitian, sehingga tidak hanya bersifat konseptual, namun telah diuji secara
empiris.

Pada bab pertama, disajikan uraian mengenai bagaimana manajemen


lembaga pendidikan islam, bagaimana konsep manajemen pendidikan, bagaimana
hakikat masyarakat dan sekolah, bagaimana implementasi manajemen berbasis
masyarakat dan sekolah.

Pada bab kedua, penulis menyajikan pembahasanan mengenai bagaimana


konsep pendidikan berbasis masyarakat, dan menganalisis terhadap makna
pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat,
sebagaimana tersurat dalam pasal 1 ayat 4 PP No. 55 tahun 2007 bahwa pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam berbasis masyarakat yang
menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis
pendidikan lainnya.
Pada bab ketiga, penulis menyajikan pembahasan mengenai konsep
pendidikan berbasis masyarakat, dinamika madrasah sebagai pendidikan berbasis
masyarakat, arti pemberdayaan bagi madrasah, dan model pemberdayaan
madrasah.

Pada bab keempat, penulis menyajikan pembahasan tentang teori


manajamen pendidikan berbasis sekolah untuk mengetahui sejauh mana
implementasi manajemen berbasis sekolah berpengaruh terhadap peningkatan
mutu pendidikan agama Islam di Mts Al Mubarok.

Pada bab kelima, penulis menyajikan pembahasan mengenai konsep


pendidikan berbasis masyarakat, pesantren sebagai model pendidikan berbasis
masyarakat (sejarah pesantren, basis kultural pesantren), dan peran pemerintah
dalam pendidikan berbasis masyarakat.

Pada bab keenam, disajikan pembahasan mengenai bagaimana peran


masyarakat dalam kemajuan mutu pendidikan, partisipasi masyarakat dalam
pendidikan, dan efektifitas peran serta masyarakat dalam meningkatkan mutu
pendidikan.
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................
KATA PENGANTAR........................................................................................ii
PRAKATA...........................................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................iii

BAB I
Manajemen Lembaga Pendidikan Islam Berbasis Masyarakat dan Sekolah........
Sodiah
BAB II
Pesantren: Lembaga Pendidikan Berbasis Masyarakat........................................3
Ulfah Rahmawati
BAB III
Pemberdayaan Madrasah dan Pendidikan Berbasis Masyarakat.........................21
Moh. Miftachul Choiri
BAB IV
Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah Dalam Upaya Peningkatan Mutu
Pendidikan Agama Islam.......................................................................................
Muhamad Riyad, Ajun Rois
BAB V
Demokratisasi Manajemen Pendidikan Berbasis Masyarakat...............................
Masdudi
BAB VI
Peran Masyarakat Dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan di Madrasah........
Nurlina
BAB I
MANAJEMEN LEMBAGA PENDIDIKAN
ISLAM BERBASIS MASYARAKAT
DAN SEKOLAH

Sodiah
Sekolah Tinggi Agama Islam Ma’izhah Merlung Jambi, Indonesia
Sodiah396@gmail.com

PENDAHULUAN
Kebijakan reformasi telah mengubah sistem pendidikan yang sentralisasi
menjadi desentral- isasi. Hal ini berdampak pada semakin terbukanya kebebasan
yang dimiliki masyarakat untuk merancang dan melaksanakan pendidikan sesuai
kebutuhan sendiri. Akibatnya, upaya- upaya menyelenggarakan manajemen
pendidikan berbasis masyarakat (society based management) dan manajemen
berbasis sekolah (school-based management) dewasa ini menjadi sebuah
kebutuhan di tengah era desentralisasi.

Manajemen pendidikan berbasis masyarakat secara konseptual, merupakan


model penyeleng- garaan pendidikan yang bertumpu pada prinsip “dari
masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”. Sedangkan Manajemen
Berbasis Sekolah adalah paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi
luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam rangka kebijakan
pendidikan nasional. Kedua konsep ini sangat membantu lembaga pendidikan
untuk mela- kukan pengembangan baik kuantitas maupun kualitas.

Lembaga pendidikan Islam sebagai sebuah lembaga yang


menyelenggarakan proses pendi- dikan umum juga agama juga memiliki kesem-
patan yang sama dengan lembaga pendidikan umum untuk melaksanakan
manajemen secara mandiri. Dari tahun ke tahun terjadi peningkatan kuantitas
lembaga pendidikan Islam. Sebagai- mana peningkatan kuantitas lembaga ini,
maka diharapkan terjadi peningkatan kualitas proses pendidikan yang
diselenggarakan.

Pendidikan Islam memiliki peranan strategis dalam mewujudkan cita-cita


Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “men-cerdaskan kehidupan bangsa”, maka
me-lalui lembaga pendidikan Islam tujuan yang ingin dicapai yaitu mencerdaskan
pengetahuan anak bangsa, membina akhlak anak didik, dan membangun jiwa
kemandirian. Pada awalnya lembaga pendidikan Islam yang dikenal hanyalah
pesantren kemudian berkembang menjadi madrasah dan dengan adanya
modernisasi muncullah sekolah Islam terpadu.

PENTINGNYA PERMASALAHAN

Berkembangnya lembaga pendidikan Islam seiring dengan semakin


kompleks kebutuhan masyarakat terhadap pendi-dikan. Perkem-bangan ini
menuntut kemudahan pengelolaan sistem pendidikan sehingga tepat sasaran.
Dengan adanya manajemen berbasis masyarakat dan manajemen berbasis sekolah
maka strategi pengelolaan lembaga pendidikan Islam semakin bervariasi dan
menunjukkan adanya peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan. Berdasarkan
uraian di atas, maka rumusan masalah yang diajukan dalam tulisan ini, sebagai
berikut: 1). Bagaimanakah manajemen dalam Islam? 2). Bagaimanakah konsep
manajemen pendidikan? 3). Bagaimanakah hakikat masya-rakat dan sekolah? 4).
Bagaimanakah implemen-tasi mana-jemen berbasis masyarakat? 5).
Bagaimanakah implementasi mana-jemen berbasis sekolah?

PEMBAHASAN
Manajemen dalam Islam

Dalam pandangan ajaran Islam, segala sesuatu harus dilakukan secara rapi,
benar, tertib, dan teratur. Proses-prosesnya harus diikuti dengan baik dan tidak
boleh dilakukan secara asal-asalan (Hafifuddin dan Tanjung, 2003, p. 1). Arti
pentingnya manajemen bagi umat muslim sebagaimana Imam Al Fakh Al Razi
dalam Veithzal mengatakan bahwa hidup adalah nik- mat pertama yang
dianugerahkan oleh Allah SWT kepada manusia sebelum nikmat lainnya termasuk
nikmat iman karena tanpa kehidupan nikmat lain tak bisa diperoleh. Karena itulah
maka nikmat hidup harus disyukuri dengan memberdayakannya dan dikelola
secara baik sehingga memiliki makna dan nilai positif semaksimal mungkin
(Zainal, 2013, p.135).

Manajemen Pendidikan

Manajemen adalah suatu proses yang membeda- bedakan atas tindakan


perencanaan, pengorgani- sasian, penggerakan pelaksanaan, dan pengenda- lian
yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran yang telah ditentukan
melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber- sumber daya lainnya
(Rohman dan Amri, 2012, 11).

Secara universal manajemen adalah penggunaan sumber daya organisasi


untuk mencapai sasaran dan kinerja yang tinggi dalam berbagai tipe organisasi
profit maupun nonprofit (Zainal et. al., 2013, p.134). Manajemen merupakan
koor- dinasi semua sumber daya melalui proses peren- canaan, pengorganisasian,
penetapan tenaga ker- ja, pengarahan dan pengawasan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan terlebih dahulu, sehingga manajemen adalah proses
perencanaan, pengorgan-isasian, pengarahan, dan pengawasan (Zainal et. al.,
2013, pp.134-135). Gambaran proses manajemen dapat dilihat dalam Samsuddin
(2010:16)

Jadi, manajemen pendidikan pada dasarnya adalah upaya mengatur segala


sesuatu baik sumber daya maupun sumber daya manusia untuk mencapai tujuan
lembaga pendidikan. Dalam mengatur ini kemudian timbul beberapa masalah.
Siapa yang mengatur, mengapa harus diatur, dan apa tujuan dari pengaturan
tersebut. Sehingga manajemen membentuk suatu sistem yang terintegrasi dari
beberapa unsur lembaga pendidikan yang mampu mencapai tujuan yang telah
ditetapkan secara efektif.

Di dalam proses manajerial terdapat fungsi- fungsi manajemen, terutama


adanya proses kepemimpinan. Untuk mencapai tujuan organisasi terdapat
beberapa unsur mendasar, yaitu:
a. Organisasi sebagai wadah utama adanya manajemen
b. Manajer yang memimpin dan memikul tanggung jawab penuh dalam
organisasi
c. Aturan main dalam organisasi yang disebut anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga
d. Tujuan organisasi yang ditetapkan sebe lumnya
e. Perencanaan yang di dalamnya mengandung berbagai program yang akan
dilaksanakan
f. Pengarahan, yang memberikan jalan pada sumber daya manusia yang ada
g. Teknik-teknik dan mekanisme pelaksanaan kegiatan organisasi
h. Pengawasan terhadap semua aktivitas organisasi agar tidak menyim-pang
dari rencana yang telah ditetapkan
i. Sarana dan prasarana yang mengandung pelaksanaan kegiatan organi-sasi
sesuai dengan perencanaan
j. Penempatan personalitas sesuai dengan keahlian atau profesionalitas
pekerjaan masing- masing
k. Evaluasi terhadap semua kegiatan yang telah dilakukan
l. Pertanggungjawaban akhir dari semua aktivitas yang telah dilaksanakan
sesuai de- ngan tugas dan kewajiban personal organisasi (Hikmat, 2009,
pp.13-14)

Implementasi manajemen terhadap penge- lolaan lembaga pendidikan


haruslah berorientasi pada efektivitas terhadap segala aspek atau kom- ponen
pendidikan baik dalam pertumbuhan dan perkembangan. Lembaga pendidikan
memiliki komponen-komponen terikat satu sama lain yang menentukan
keberhasilan lembaga tersebut, jika kepala sekolah dapat menjalankan fungsinya
secara efektif dalam proses planning, organizing, actuating, dan controlling.

Keberhasilan manajemen lembaga pendidik- an tidak terlepas dari peran


pemimpin yang memiliki integritas dan kredibilitas tinggi. Sebagaimana
manajemen proyek yang efektif membutuhkan manajer dengan karakteristik harus
memiliki pengetahuan, kinerja, dan kepribadian. Pengetahuan ini menunjuk
kepada apakah manajer mengetahui hal-hal yang ber- hubungan dengan
manajemen. Kinerja menunjuk kepada apa yang manajer bisa lakukan ketika
menerapkan pengetahuan manajemenya. Kepribadian berkenaan dengan
bagaimana manajer bertindak ketika memainkan projek dan meng- hubungkan
aktivtasnya. Efektivitas kepribadian mencakup sikap, inti karakter kepribadian
dan kepemimpinan. Kemampuan ini untuk membimbing tim untuk mencapai
sasaran dan me- nyeimbangkan semua kegiatan di dalam lembaga.

Maka manajemen lembaga pendi-dikan ada- lah suatu kegiatan mengelola


unsur-unsur lem- baga pendidikan secara bersama-sama yang terdiri dari tenaga
pendidik dan kependidikan, sarana dan prasarana, kesiswaan dan pembia- yaan,
yang dimulai dari input, process, sampai output oleh pemimpin dan anggotanya
melalui proses perencanaan, penugasan, pelaksanaan, hingga pengawasan.

Masyarakat dan Sekolah

Beberapa pandangan filosofis tentang hakikat sekolah itu sendiri dan


hakikat masyarakat, dan bagaimana hubungan antara keduanya, sebagai berikut:

a. Sekolah adalah bagian yang integral dari masyarakat, dan bukan


merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat.
b. Hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat.
Sekolah adalah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota-
anggota masyarakat dalam bidang pendidikan.
c. Kemajuan sekolah dan kemajuan masyarakat saling berkorelasi dan
keduanya saling membutuhkan.
d. Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat
memerlukannya. (Wahjosumidjo, 2008, p.331)

Berdasarkan dimensi kepentingan masyarakat, tujuan hubungan sekolah


dengan masyarakat adalah:

a. Memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat


b. Memperoleh masukan dari sekolah dalam memecahkan berbagai masalah
yang dihadapi masyarakat
c. Menjamin relevansi program sekolah dengan kebutuhan dan
perkembangan masyarakat
d. Memperoleh kembali anggota ma-syarakat yang terampil dan makin
meningkatkan kemampuannya. (Mulyasa, 2011, p.148)

Masyarakat yang berhubungan baik dengan lembaga pendidikan akan


memberikan manfaat. Masyarakat/orang tua murid dan stakeholders lainnya akan
mengerti dengan jelas tentang visi, misi, tujuan dan program kerja sekolah, kema-
juan sekolah beserta masalah-masalah yang dihadapi sekolah secara lengkap, jelas
dan akurat. Sehingga mereka dapat berpartisipasi untuk membantu sekolah secara
tepat.

Partisipasi aktif masyarakat juga menguntung- kan pihak sekolah. Sekolah


akan mengenal secara mendalam latar belakang, keinginan dan harapan-harapan
masyarakat terhadap sekolah. Pengenalan harapan masyarakat dan orang tua
murid terhadap sekolah, khususnya sekolah merupakan unsur penting guna
menumbuhkan dukungan yang kuat dari masyarakat.

Suatu masyarakat disebut com-munity menurut Hartono yang dikutip oleh


Mukhtar bilamana memiliki syarat-syarat sebagai berikut:

a. Berisi kelompok manusia.


b. Menempati suatu wilayah geografis.
c. Mengenal pembagian kerja kedalam spesiali- sasi dengan fungsi-fungsi
yang saling ketergantungan.
d. Memiliki kebudayaan dan sistem sosial bersama yang menganut kegiatan
mereka.
e. Para warganya sadar akan kesatuan dan kewargaan mereka dalam
community.
f. Mampu berbuat secara kolektif menurut cara tertentu. (Mukhtar dan
Iskandar, 2009, p.198).
Peran serta masyarakat, antara lain dapat berupa keterlibatannya dalam
pengambilan keputusan, pendelegasian kewenangan, keterlibatan pengiriman jasa,
konsultasi masalah sekolah, kehadiran ke sekolah, sumbangan dan pelayanan.
Model peran serta masyarakat ini agar tidak terjadi intervensi yang berlebihan,
maka haruslah disusun lebih dahulu mekanisme yang disepakati oleh sekolah
dengan masyarakat. Karena bagaimanapun juga tentu ada batasan- batasan yang
diperlukan agar kinerja sekolah dapat lebih optimal.

Bentuk-bentuk partisipasi masya-rakat diterapkan pada berbagai aspek


lembaga pendidikan yaitu:

a. Finansial: mengenai (urusan) keuangan, dalam bentuk ini ma-syarakat


disamping sumber keuangannya berasal dari pemerintah namun yang lebih
diharapkan adalah swadaya masyarakat itu sendiri untuk memajukan
proses belajar yang di kelola, dari masyarakat untuk masyarakat, sehingga
tujuan masyarakat belajar dapat dilaksanakan sesuai yang diinginkan, baik
dalam bidang pembangunan fisik ataupun mental.
b. Proteksi: Dalam KBBI merupakan perlindungan (di perdagangan, industri
dsb), perlunya masyarakat belajar tidak bisa terlepas dari harus adanya
perlindungan baik hukum maupun proses pelaksanaannya, hasil produk
juga harus dapat bersaing dan memenuhi kebutuhan yang diharapkan.
c. Moral: adalah masyarakat yang mampu membedakan tentang baik buruk
yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi
pekerti, dsb.
d. Akademis: Bentuk partisipasi ini yang bersifat ilmu pengetahuan, yang
dapat disumbangkan oleh masyarakat pelaksanaan dari proses belajar dan
tujuan yang diinginkan, sehingga sekolah yang diharapkan oleh
masyarakat dapat bermutu.
e. Sumber Belajar: adalah orang yang dapat dijadikan tempat bertanya
tentang berbagai pengetahuan, dalam hal ini bersumber dari masyarakat
setempat dimana sekolah atau pendidikan dilaksanakan.
f. IT (ilmu teknologi): Untuk memenuhi tuntunan zaman IT harus dapat
menjadi partisipasi dalam membentuk masyarakat belajar, karena dengan
IT akan terlihat kemampuan pelaksanaan kegiatan sekolah masyarakat,
meskipun kemampuan dibidang IT belum dapat sepenuhnya dilaksanakan,
namun meskipun dalam skala kecil IT dapat membantu melancarkan
program kerja yang direncanakan masyarakat belajar.
g. Kelembagaan, menejerial, kepemimpinan yaitu yang bersifat lembaga
yang dipimpin seorang menejer, dengan tugas untuk mem- bentuk
program kerja masyarakat belajar yang diinginkan. (hermawan, et.al.,
2008, p205)

Dalam rangka menggalang part-isipasi masya- rakat, sekolah dapat


mengembangkan berbagai program sebagai berikut:

a. Melaksanakan kegiatan kemasya-rakatan, seperti bakti sosial untuk


kebersihan lingkungan dan membantu lalu lintas di sekitar sekolah.
b. Mengadakan open house yang member kesempatan kepada ma-syarakat
untuk mengetahui ber-bagai program dan kegiatan sekolah.
c. Mengembangkan buletin, majalah dan lembar informasi secara berkala.
d. Menghadirkan tokoh masyarakat untuk menjadi narasumber, pem-bicara
atau pembina suatu program sekolah.
e. Membuat program kerjasama sekolah dengan masyarakat. (Mulyasa, 2013,
pp.142-143)

Penyusunan dan pelaksanaan berbagai program di atas, harus senantiasa


melibatkan tokoh masya-rakat, sehingga mereka dapat mempromosikan lebih
lanjut kepada masyarakat luas. Secara operasional, kepala sekolah dapat
menggalang partisipasi masyarakat melalui dewan pendidikan, komite sekolah,
rapat bersama, konsultasi, radio dan televisi, surat dan telepon, pameran sekolah
dan ceramah.

Keterlibatan orang tua dan masyarakat memiliki indikator sebagai berikut:


a. Sekolah senantiasa menjalin komu-nikasi yang harmonis dengan orang
tua, dan berusaha melibatkan mereka dalam pelaksanaan program sekolah.
b. Masyarakat memiliki kesempatan untuk mengunjungi sekolah guna
mengobservasi program pendidikan dan pembelajaran.
c. Masyarakat dilibatkan dalam pembuatan keputusan-keputusan sekolah
d. Sebagian besar orang tua me-mahami dan ikut mempromosikan program
pembelajaran di sekolah.
e. Masyarakat melalui komite aktif melaksanakan peran dan fungsi sesuai
aturan.

Untuk mengelola partisipasi masyarakat terhadap lembaga pendidikan


Islam bukanlah hal yang sulit. Sebagai contohnya diantara masyarakat yang secara
teratur menjadi anggota aktif bagi lembaga, sekolah, yang memperhatikan secara
mendalam program- program sekolah. Keberhasilan mengelola partisipasi
masyarakat juga dapat dilakukan dengan melaksanakan pertemuan dan koordinasi
setiap bulan pada semua level lembaga pendidikan Islam dengan semua anggota
tiap- tiap bidang pada waktu yang sama.

Manajemen Berbasis Masyarakat

Konsep dan Implementasi Mana-jemen Berbasis Masyarakat

Masyarakat dapat dikelompok-kan menjadi tiga, yaitu:

a. Masyarakat orang tua siswa: orang tua memiliki anak yang sedang
sekolah.
b. Masyarakat yang terorganisasi: kelompok organisasi bisnis, politik, sosial,
keagamaan, dan sebagainya.
c. Masyarakat secara luas: pribadi-pribadi dan masyarakat secara umum.

Keterlibatan masyarakat dalam bidang pendi- dikan merupakan upaya


pemberdayaan masya- rakat, yang berarti mengikut sertakan masyarakat dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan (Tim Pakar Manajemen
Pendidik- an UNM, 2003, p.122). Manajemen pendidikan berbasis masyarakat
secara konseptual, merupa- kan model penyelenggaraan pendidikan yang
bertumpu pada prinsip “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”.

Pendidikan dari masyarakat artinya pendidik- an memberi jawaban atas


kebutuhan masyarakat. Pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat
ditempatkan sebagai subjek/pelaku pendidikan, bukan objek pendidikan. Pada
konteks ini masyarakat dituntut peran dan partisipasi aktif dalam setiap program
pendidikan. Adapun pengertian pendidikan untuk masyarakat artinya masyarakat
diikutsertakan dalam semua program yang dirancang untuk menjawab kebutuhan
mereka. secara singkat dapat dikatakan, bahwa masyarakat perlu diberdayakan,
diberi peluang dan kebebasan untuk mendesain, merencanakan, membiayai,
mengelola dan menilai sendiri apa yang diperlukan secara spesifik didalam, untuk
dan oleh masyarakat sendiri (Zubaidi, 2007, p.156).

Menurut Resbin L. Sihite dalam M. Rohman (2012, p.67), mengemukakan


tujuh peran serta masyarakat dalam pendidikan, yaitu:

a. Sebagai sumber pendidikan


b. Sebagai pelaku pendidikan
c. Pelaksana pendidikan
d. Pengguna hasil pendidikan
e. Perencanaan pendidikan
f. Pengawasan pendidikan
g. Evaluasi program pendidikan

Merujuk pendapat diatas, mana-jemen pendi- dikan berbasis masyarakat


dapat diimplementasikan melalui keterlibatan masyarakat dalam kegiatan
perencanaan, pengorganisasian, peng- awasan dan pengembangan yang terus-
menerus melalui budgeting dan evaluasi. Konteks berbasis masyarakat disini
menunjuk pada derajat kepemilikian masyarakat. Masyarakat memiliki otoritas
dalam mengambil keputusan dan menentukan tujuan pendidikan.

Masyarakat sebagai sumber artinya banyak hal yang dapat diambil dari
masyarakat untuk kepentingan pendidikan. Meskipun masyarakat punah, tetapi
peninggalan mereka dapat diambil baik ilmunya, kebudayaannya, dan sebagainya.
Masyarakat sebagai pelaku pendidikan artinya baik perorangan atau kelompok
bertindak selaku pembelajar. Masyarakat sebagai pelaksana pendidikan
melakukan kegiatan penyelenggaraan dan pembinaan pendidikan yang bertugas
membuat peraturan perundang-undangan, merumuskan, menetapkan, dan
melaksanakan kebijakan pembinaan di bidang pendidikan.

Masyarakat sebagai pengguna hasil pendi- dikan yaitu bentuk lulusan yang
akan menerap- kan ilmu yang telah mereka peroleh di lembaga pendidikan dalam
dunia kerja. Baik pemerintah, industri, perusahaan, dan lainnya sebagai pengguna
pendidikan, akan merasakan akibat pendidikan jika tidak bermutu. Oleh karena itu
harus ada kesesuaian antara program layanan pendidikan dengan kebutuhan
masyarakat melalui kerjasama.

Masyarakat sebagai perencana adalah dalam bentuk pemberian ide atau


masukan pemikiran yang bermakna untuk mendukung bagi tersusunnya
perencanaan yang baik. Peran aktif masyarakat diharapkan dalam penyampaian
in- formasi atau terlibat langsung dalam penyampaian informasi atau terlibat
langsung dalam diskusi penyusunan perencanaan, sehingga lulusan akan
kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja bersesuaian.

Masyarakat sebagai pengawas untuk pengendalian agar pelaksanaan


program dapat terjamin sesuai dengan perencanaan. Pengawasan ini da- pat
dilakukan oleh dewan pendidikan dan komite sekolah. Masyarakat sebagai
evaluator, mengevaluasi program pendidikan untuk mengukur sejauh mana
ketercapaian program dan manfaat program bagi pencapaian tujuan. Sebagai
contoh pengukuran yaitu berapa banyak lulusan suatu sekolah diterima di
perguruan tinggi atau dunia kerja.

Keterkaitan masyarakat dengan lembaga pendidikan

Dalam melaksanakan kerjasama dan meningkatkan keterlibatan


masyarakat dengan lembaga pendidikan sering muncul beberapa kendala seperti
kurangnya jalinan komunikai dan kemungkinan usaha masyarakat
mengeksploitasi keberadaaan lembaga pendidikan, kegiatan mengkritik dan
menyerang yang bertujuan menja-tuhkan kebijakan lembaga pendidikan.
Misalnya suatu perusahaan bersedia menjadi donatur penyelenggaraan suatu
lembaga pendidikan dengan syarat agar siswa mau menggunakan produk tertentu.
Untuk mengatasi kendala tersebut maka pihak lembaga pendidikan perlu tanggap
dengan cara menganalisis motif diballik pemberian dana tersebut. Pimpinan perlu
meng-analisis dan memecahkan masalah secara bijaksana.

Berdasarkan Layanan Riset Pendidikan dan Asosiasi Nasional Kepala


Pendidikan Dasar di Alexandria dalam Tim Pakar Manajemen (2003)
merumuskan berbagai tekhnik untuk meningkatkan keterlibatan berbagai pihak
dalam menyelenggarakan pendidikan, teknik-teknik tersebut yaitu:

a. Layanan masyarakat.
Mempelajari kebutuhan masyarakat dan melihat apa yang bisa diperbuat
lembaga pendidikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, yang
akhirnya dapat melayani kebutuhan mereka.
b. Program pemanfaatan alumni sekolah
Para senior sekolah dapat dilibatkan dalam kegiatan sekolah, mislanya
menjadi pembicara kegiatan seminar di sekolah, keberhasilannya dalam
menemph karir dapat diinformasikan kepada siswa sebagai motivasi.
c. Masyarakat sebagai model
Masyarakat sebagai model yang di contoh siswa di sekolah, terutama
masyarakat yang berhasil dalam kehidupannya.
d. Open house
Lembaga pendidikan secara terbuka bersedia untuk diobservasi oleh
masyarakat. Masyarakat dapat melihat secara langsung proses dan sarana
di lembaga pendidikan. Agar masyarakat mengetahui apa dan bagaimana
penyelengaraan pendidikan di lembaga tersebut.
e. Pemberian kesempatan kepada masyarakat.
Masyarakat dapat dengan suka rela membantu kegiatan di lembaga
pendidikan.
f. Pengiriman pembaca
Anggota staf di lembaga pendidikan yang berminat diberi ke-sempatan
untuk mempromosikan program dan prestasi lembaga pendidikan ke
masyarakat pengguna lulusan atau calon siswa.
g. Masyarakat sebagai sumber infor-masi
Pihak lembaga pendidikan mena-nyakan kepada masyarakat tentang isu-
isu yang hangat dan di buat rekomendasinya untuk pengem-bangan
lembaga.
h. Diskusi panel
Siswa, orang tua, staf, dan pekerja yang lain mengadakan pertemuan untuk
menindaklanjuti kegiatan hubungan lembaga pendidikan dengan
masyarakat agar semua usaha yang dilakukan dapat diarasakan
manfaatnya.

Untuk mengatasi kendala jalinan komunikasi, ada beberapa cara untuk


melakukan komunikasi yang efektif dengan masyarakat sekitar lembaga yaitu:

a. Memberdayakan orang-orang kunci, yaitu orang-orang yang mampu


mempengaruhi dan dianut oleh orang lain. Seperti: kiyai, sesepuh desa,
pengusaha, kepala desa, katua RT/RW, dan pejabat lainnya. Orang kunci
ini diidentifikasi, dihubungi, diajak diskusi dalam memecahkan maslah di
sekolah, serta diikutkan dalam memikirkan program pengembangan
sekolah. Tokoh kunci ini menjadi media antara sekolah dengan
masyarakat.
b. Warga sekolah bersifat terbuka terhadap sarana dan kritik masyarakat.
Maka kritik yang diterima haruslah selektif, karena perlu diwaspadai
kemungkinan kritik yang ingin menjatuhkan sekolah.
c. Melakukan komunikasi dengan masyarakat secara terus menerus, agar
harapan dan kebutuhan ma-syarakat dan sekolah dapat sejalan.
d. Pada saat yang tepat pihak sekolah malibatkan masyarakat sekitar untuk
berpartisipasi dalam kegiatan sekolah. Misalnya kegiatan olah-raga,
kesenian, dan sebagainya.
Prinsip-Prinsip Peningkatan Keterlibatan Masyarakat Dalam Manajemen
Pendidikan

Prinsip ini menitikberatkan pada lembaga pendidikan yang mampu


berkomunikasi secara aktif dengan masyarakat. Dan prinsip yang harus
diterapkan, yaitu:

a. Fleksibilitas. Lembaga pendidikan hendaknya mempunyai program yang


cukup lentur dan beradaptasi secara terus menerus dengan perubahan-
perubahan layanan lembaga lain di masyarakat. Perkembangan tuntutan
masyarakat, pengetahuan, tekhnologi, yang begitu cepat perlu diikuti
dengan program yang relevan.
b. Relevansi. Peran dan fungsi lembaga pendidikan ditentukan sesuai dengan
kondisi masyarakat yang menjadi latar belakang peserta didik. Karena
anak setelah menyelesaikan studi akan kembali ke masyarakat sebagai
pengguna lulusan suatu lembaga pendidikan.
c. Partisipasi. Lembaga pendidikan bersama masyarakat hendaknya
mengembangkan program kegiatan dan layanan guna memperluas,
memperbaharui, memadukan peng-alaman berbagai kelompok umur pada
semua tingkatan. Lembaga harus memperhatikan kebutuhan masyarakat
ini.
d. Komprehensi. Lembaga pendidikan harus menghubungkan dirinya dengan
masyarakat yang lebih luas, intern bangsa maupun secara internasional.
e. Melembaga. Layanan efektif dalam masyarakat pada setiap warga negara
hanya dapat dicapai melalui organisasi, terutama organisasi pendidikan
yang dikelola secara baik.

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Konsep Manajemen Berbasis Sekolah

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau “school-based management”


merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada
tingkat sekolah dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Menurut Edmond
dalam Suryosubroto, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MBS)
merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan
kepada keman-dirian dan kreatifitas sekolah. Konsep ini diperkenalkan oleh teori
efective school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses
pendidikan(Suryosubroto, 2010, p.208).

MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi


luas pada tingkat sekolah dengan melibatkan masyarakat dalam kerangka
kebijakan nasional. MBS merupakan wujud dari reformasi pendidikan yang
menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan
memadai bagi para siswa.(Nurkholis, 206, p.21).

Alasan penerapan MBS yaitu Pertama, sekolah lebih mengetahui


kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya, sehingga sekolah dapat
mengoptimalkan pe-manfaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan
sekolahnya. Kedua, sekolah lebih mengetahui kebutuhannya. Ketiga, keterlibatan
warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan dapat menciptakan
transparansi dan demokrasi yang sehat(Nurkholis, 206, p.21).

Menurut Nanang Fatah tujuan penerapan MBS memberi leluasa pada


pihak pengelola pendidikan yang seharusnya dilakukandi sekolah masing-masing
bahkan dalam mengambil keputusan pengelola pendidikan tidak harus menunggu
dari pemerintah. Manajemen berbasis Sekolah mengubah sistem pengambilan
keputusan dengan memindahkan otoritas dalam peng-ambilan keputusan dan
manajemen ke setiap yang berkepentingan di tingkat local (Fatah, 2006, p.23).

Dengan demikian sekolah memiliki kemandirian lebih besar dalam


mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana
pening-katan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan
evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas pengelolaan
sumber daya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari kelompok-
kelompok yang berkepentingan dengan Pendidikan Nasional ada beberapa alasan
yang mendasari penerapan Manajemen Berbasis Sekolah, yaitu:
a. Dengan pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah, maka
sekolah akan lebih inisiatif/kreatif dalam meningkatkan mutu sekolah.
b. Dengan pemberian fleksibilitas/keluwesan- keluwesan yang lebih besar
kepada sekolah untuk mengelola sumber dayanya, maka sekolah akan
lebih luwes dan lincah dalam mengadakan dan memanfaatkan sumberdaya
seko-lah secara optimal untuk meningkatkan mutu sekolah.
c. Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman
bagi dirinya sehingga dia dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya
yang tersedia untuk memajukan sekolahnya.
d. Sekolah lebih mengetahui kebu-tuhan lembaganya, khususnya input
pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses
pendidikan sesuai dengan tingkat perkem-bangan dan kebutuhan peserta
didik.
e. Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk
memenuhi kebutuhan sekolah karena pihak sekolahlah yang paling tahu
apa yang terbaik bagi sekolahnya.
f. Penggunaan sumberdaya pendi-dikan lebih efisien dan efektif bilamana
dikontrol oleh masyarakat setempat.
g. Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengam-bilan
keputusan sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat.
h. Sekolah dapat bertanggungjawab tentang mutu pendidikan masing-masing
kepada pemerintah, orangtua peserta didik, dan masyarakat pada
umumnya, sehingga dia akan berupaya semaksimal mungkin untuk
melaksanakan dan men-capai sasaran mutu pendidikan yang telah
direncanakan.
i. Sekolah dapat melakukan persa-ingan yang sehat dengan sekolah-sekolah
lain untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif
dengan dukungan orangtua peserta didik, masya-rakat, dan pemerintah
daerah setempat.
j. Sekolah dapat secara cepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan
yang berubah dengan cepat.
Faktor-faktor pendukung keber-hasilan implementasi MBS ialah:

a. Adanya political will dari pengambil kebijakan yang dapat dijadikan dasar
hukum bagi sekolah
b. Finansial atau keuangan yang memadai
c. Sumber daya manusia yang tersedia
d. Budaya sekolah
e. Kepemimpinan
f. Keorganisasian sekolah.

Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah

Untuk merealisasikan MBS diper-lukan dukungan tenaga kerja yang


terampil dan berkulitas untuk mem-bangkitkan motivasi kerja yang lebih
produktif dan memberdayakan otoritas daerah setempat, serta mengefisienkan
sistem dan menghilangkan birokrasi yang tumpang tindih. MBS menuntut
kesiapan pengelola pendidikan berbagai jenjang untuk melakukan perannya sesuai
dengan kewajiban, kewenangan, dan tanggung jawabnya.

MBS akan efektif diterapkan jika para pengelola pendidikan mampu


melibatkan stakeholders terutama pe-ningkatan peran serta masyarakat dalam
menentukan kewenangan peng-administrasian, dan inovasi kurikulum yang
dilakukan oleh masing-masing sekolah. Melalui komite/dewan sekolah (school
council), orang tua dan masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembuatan
berbagai keputusan. Dengan demikian, masyarakat dapat lebih memahami, serta
mengawasi dan membantu sekolah dalam pengelolaan termasuk kegiatan belajar-
mengajar (Mulyasa, 2009, p.27).

Ciri-ciri implementasi MBS di sekolah dilihat dari berbagai aspek, yaitu:

a. Aspek organisasi: sekolah menyu-sun rencana pengembangan sekolah dan


dapat menggerakkan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan mutu
pendidikan.
b. Pembelajaran: meningkatkan kua-litas belajar siswa, menyeleng-garakan
pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
c. Sumber daya manusia: member-dayakan staf dan menempatkan personil
yang dapat melayani keperluan siswa, menyediakan kegiatan untuk
pengembangan profesi staf (Mulyasa, 2009, p.13).

Menurut Mulyasa strategi dalam pengimplementasian MBS, yakni:

a. Perlu dilakukan pengelompokan sekolah berdasarkan kemampuan


manajemen, dengan mempertim-bangkan kondisi lokasi dan kualitas
sekolah. Dalam hal ini sedikitnya akan ditemui tiga kategori sekolah, yaitu
baik, sedang, dan kurang, yang tersebar di lokasi- lokasi maju, sedang, dan
ketinggalan. Perbedaan kemampuan manajemen, mengharuskan perlakuan
yang berbeda ter-hadap setiap sekolah sesuai dengan tingkat kemampuan
masing-masing dalam menyerap paradigma baru yang ditawarkan MBS.
b. Pentahapan implementasi MBS melalui tiga tahap yaitu jangka pendek
(tahun pertama sampai de-ngan tahun ketiga), jangka menengah (tahun
keempat sampai dengan tahun keenam), dan jangka panjang (setelah tahun
keenam)
c. Implementasi MBS memerlukan seperangkat peraturan dan pedoman-
pedoman (guidelines) umum yang dapat dipakai sebagai pedoman dalam
perencanaan, monitoring dan evaluasi, serta laporan pelaksanaan.
Perangkat imple-mentasi ini perlu diperkenalkan sejak awal, melalui
pelatihan- pelatihan yang diselenggarakan sejak pelaksanaan jangka
pendek.(Mulyasa, 2009, p.13).

Beberapa hambatan dalam penerapan MBS sebagai berikut:

a. Tidak berminat untuk terlibat


Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut
mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih
banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut
perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak
memiliki banyak waktu yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain
dari pekerjaan mereka.
b. Tidak efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif ada kalanya
menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan
cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja
sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal lain di luar
itu.
c. Pikiran kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan
besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena
mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu
menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak
berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan
sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena
keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
d. Memerlukan pelatihan
Pihak-pihak yang berkepen-tingan kemungkinan besar sama sekali tidak
atau belum berpeng-alaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif
ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan
keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara
kerjanya, peng-ambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
e. Kebingungan atas peran dan tanggung jawab baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi
dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS
mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan.
Perubahan yang mendadak akan menimbulkan kejutan dan kebingungan
sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan
keputusan.
f. Kesulitan koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam
mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu,
kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing- masing
yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
g. Kurangnya pendidikan dan pela-tihan tentang MBS, Sumber Daya
Manusia yang kurang maksimal, partisipasi, transparansi dan akuntabilitas.

Beberapa faktor keberhasilan MBS diantaranya adalah:

a. Adanya pemerataan pendidikan (berupa kesamaan kesempatan antara


siswa desa-kota, kaya mis-kin, laki-perempuan, cacat-tidak cacat).
b. Kualitas pendidikan (input, pro-ses, output).
c. Efektivitas dan efisiensi pendidikan (angka kenaikan kelas, angka
kelulusan, angka putus sekolah).
d. Tata pengelolaan sekolah yang baik (melalui partisipasi, trans-paransi,
tanggung jawab, akun-tabilitas, wawasan ke depan, penegakan hukum,
keadilan, demikrasi, prediktif, kepekaan, profesionalisme, efektivitas dan
efisiensi, serta kepastian jaminan hukum (Depdiknas, 2007, p.59).

Pihak sekolah berupaya mengop-timalkan informasi, kebijakan


meningkatkan sumber daya manusia, pengambilan keputusan diadakan
musyawarah dan menampung aspirasi warga sekolah tentang perencanaan
kegiatan yang akan dilakukan. Pengalaman penerapannya di tempat lain
menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah
memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan
dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.

SIMPULAN
Keterlibatan masyarakat dalam manajemen lembaga pendidikan Islam
merupakan upaya pemberdayaan masya-rakat, yang berarti mengikut sertakan
masyarakat dalam perencanaan, pelak-sanaan dan pengawasan. Masyarakat perlu
membantu penyelenggaraan pendidikan agar permasalahan dilapangan dapat
diatasi dan pelaksanaan proses berjalan lancar sehingga kualitas pendidikan dapat
meningkat. Pengelola pendidikan perlu melibatkan semua unsur yang ada di
sekolah dan masyarakat termasuk perusahaan, lembaga agama, dan lainnya.
Masyarakat memiliki otoritas dalam mengambil keputusan dan menentukan
tujuan lembaga pendidikan Islam melalui kerja sama yang baik.

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian


sumberdaya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan
semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara
langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan
peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Tujuan penerapan manajemen berbasis sekolah pada lembaga pendidikan


Islam secara umum adalah untuk meman-dirikan atau memberdayakan sekolah
melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas
yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan
mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu
pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA
Asep Herry Hermawan, dkk. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran, cet.9.
Jakarta: Univ.terbuka. 2008.

Depdiknas. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Direktorat Pendidikan Dasar


dan Menengah. 2007.

Didin Hafidudin dan Hendri Tanjung. Manajemen Syariah dalam Praktik. Jakarta:
Gema Insani. 2003.

E. Mulyasa. Manajemen & Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: Bumi


Aksara. 2013.

Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi. Bandung: PT


Remaja Rosdakarya. 2002.

Hikmat. Manajemen Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia. 2009.


Imron Fauzi. Manajemen Pendidikan Ala Rasulullah. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media. 2012.

James H. Lytle. Working for Kids “Educational Leadership as Inquiry and


Invention”, (United Kingdom: Rowman & Littlefield Education. 2010.

M. Rohman dan Sofan Amri. Manajemen Pendidikan: Analisis Dan Solusi


Terhadap Kinerja Manajemen Kelas Dan Strategi Pengajaran Yang
Efektif. Jakarta: Prestasi Pustakaraya. 2012.

Mukhtar dan Iskandar. Orientasi Baru Supervisi Pendidikan. Jakarta: Gaung


Persada Press. 2009.

Nanang Fatah. Konsep Manajemen berbasis Sekolah dan Dewan Sekolah.


Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2006.

Nurkolis. Manajemen Berbasis Sekolah Teori, Model dan Aplikasi. Jakarta:


Gramedia Widiasarana Indonesia. 2006.

Project Management Institute. A Guide to The Project Management Body of


Knowledge. USA: ANSI. 2008.

Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia. 2010.

Sadili Samsudin. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Pustaka Setia.


2010.

Suryosubroto. Manajemen Pendidikan Di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta. 2010.

Tim Pakar Manajemen Pendidikan UNM. Manajemen Pendidikan: Analisis


Substantif Dan Aplikasinya Dalam Institusi Pendidikan. Malang: UNM.
2003.

Wahjosumidjo. Kepemimpinan Kepala Sekolah (Tinjauan Teoritik dan


Permasalahannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2008.
Veithzal Rivai Zainal dkk. Islamic Management “Meraih sukses melalui Praktis
Manajemen Gaya Rasulullah secara Istiqomah. Yogyakarta: BPFE. 2013.

Zubaedi. Pendidikan Berbasis Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.


BAB II
PESANTREN: LEMBAGA PENDIDIKAN
BERBASIS MASYARAKAT

Ulfah Rahmawati
STAIN KUDUS, Jawa Tengah, Indonesia
Fahrahma@gmail.com

PENDAHULUAN
Pendidikan menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM) Bangsa Indonesia. Pendidikan menjadi sarana bagi
pembentukan intelektualitas, bakat, akhlak serta kecakapan peserta didik. Dunia
pendidikan di masa depan memang dituntut untuk lebih dekat dengan realitas dan
permasalahan hidup di tengah menghimpit masyarakat. Ungkapan School is
mirror society (sekolah/ lembaga pendidikan adalah cermin masyarakat),
seyogyanya benar-benar mewarnai proses pendidikan yang sedang berlangsung.
Sebagai konsekuensinya, lembaga pendidikan harus ikut berperan aktif dalam
memecahkan problem pendidikan dan kehidupan sosial.

Peluang masyarakat untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan


kebutuhannya juga kian tersedia yaitu melalui konsep pendidikan berbasis
masyarakat. Salah satu lembaga pendidikan yang dipercaya telah mencerminkan
konsep pendidikan berbasis masyarakat adalah pesantren. Pesantren secara
historis merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Peranannya dalam
sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia tidak dapat dipandang sebelah
mata.

Menurut data Kementerian Agama tahun 2001 menunjukkan jumlah


pesantren di Indonesia mencapai 11.312 dengan santri sebanyak 2.737.805 orang.
Pada tahun 2005 jumlah pesantren mengalami peningkatan mencapai 14.798
lembaga dengan jumlah guru 243. 738 orang dan santri 3.464. 334. Data terakhir
tahun 2016 menunjukkan pesantren sebanyak 28.961 lembaga dengan santri
sebanyak 4.028.660 jiwa. Jumlah ini merupakan potensi yang banyak dan dapat
menghasilkan output dan outcomes yang memiliki standar kompetensi lulusan
yang tinggi jika dikelola dengan sistem yang baik.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat, dengan


jumlah pesantren dan santri yang demikian banyak dituntut untuk dapat menjawab
kebutuhan masyarakat seiring dengan tuntutan perubahan zaman, sehingga
dibutuhkan manajemen dan tata kelola sistem pendidikan yang baik sehingga
menghasilkan tata kelola yang baik dalam upaya meningkatkan mutu manajemen
(tata kelola) pesantren ke arah yang lebih baik.

PENTINGNYA PERMASALAHAN

Permasalahan dalam pembahasan ini merupakan analisis terhadap makna


pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat,
sebagaimana tersurat dalam pasal 1 ayat 4 PP No.55 tahun 2007 bahwa Pesantren
atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis
masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu
dengan jenis pendidikan lainnya. Oleh karena itu penting adanya untuk
mengetahui terlebih dahulu bagaimana konsep pendidikan berbasis masyarakat?
Bagaimana pesantren sebagai lembaga pendidikanberbasis masyarakat? dan
bagaimana kedudukan pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam
berbasis masyarakat dalam tinjauan pasal 1 PP Nomor 55 Tahun 2007?

PEMBAHASAN

Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat

Pendidikan berbasis masyarakat menjadi sebuah gerakan penyadaran


masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengatasi tantangan
kehidupan yang berubah-ubah dan semakin berat. Secara konseptual, pendidikan
berbasis masyarakat adalah model penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu
pada prinsip” dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”.
Pendidikan “dari masyarakat” artinya pendidikan memberikan jawaban atas
kebutuhan masyarakat.

Pendidikan “oleh masyarakat” artinya masyarakat ditempatkan sebagai


subjek/ pelaku pendidikan, bukan objek pendidikan. Pada konteks ini, masyarakat
dituntut peran dan partisipasi aktifnya dalam setiap program pendidikan. Adapun
pendidikan”untuk masyarakat” artinya masyarakat diikutsertakan dalam semua
program yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Secara singkat
dikatakan, masyarakat perlu diberdayakan , diberi peluang dan kebebasan untuk
mendesain, merencanakan, membiayai, mengelola dan menilai sendiri apa yang
diperlukan secara spesifik di dalam, untuk dan oleh masyarakat sendiri.

Pendidikan berbasis masyarakat atau community based education, disini


masyarakat diberikan kesempatan untuk menyelenggarakan pendidikan. Di sisi
lain peluang besar yang diberikan pemerintah hendaknya dapat dimanfaatkan
masyarakat secara optimal. Pendidikan berbasis masyarakat tentunya lebih
diarahkan kepada pendidikan bermutu dan sesuai pula dengan harapan
masyarakat. Dengan pendidikan berbasis masyarakat berarti masyarakat
bertanggung jawab dalam sektor pendidikan. Masyarakat juga dituntut untuk
menumbuhkembangkan dan membesarkan gairah pendidikan itu sendiri. Tanpa
dukungan masyarakat, maka pendidikan itu tidak ada arti apa-apa. Masyarakat
merupakan garda terdepan di dalam kelangsungan pendidikan ke depan.
Karenanya masyarakat diminta memberikan kontribusi nyata dalam
pengembangan pendidikan, khususnya di wilayah masing-masing.

Model pendidikan berbasis masyarakat untuk konteks Indonesia kini


semakin diakui keberadaannya melalui UU SISDIKNAS Nomor 20 tahun 2003
dalam bab peran serta masyarakat dalam pendidikan4. Dalam perkembangannya,
Community-based education diharapkan menjadi salah satu fondasi dalam
mewujudkan masyarakat madani.

Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Berbasis Masyarakat


Pelaksanaan pendidikan berbasis masyarakat di Indonesia sebenarnya
bukanlah hal yang baru. Sudah lama pendidikan berbasis masyarakat tumbuh dan
berkembang, bahkan tetap eksis sampai saat ini, hanya saja istilahnya berbeda.
Bentuk pendidikan berbasis masyarakat yang masih ada dan tetap eksis sampai
saat ini, bahkan menjadi model pendidikan yang cukup menjadi trend adalah
madrasah dan pesantren.

Pada perkembangannya pendidikan berbasis masyarakat mewujud dalam


bentuk lembaga-lembaga kursus yang berada di bawah binaan Pendidikan Luar
Sekolah(PLS). Akan tetapi, lembaga-lembaga ini seakan lebih berorientasi kepada
bisnis (profit oriented) tanpa mengindahkan segi sikap, moral dan agama yang
justru sangat dibutuhkan di masa sekarang. Oleh karena itu, implementasi
pendidikan berbasis masyarakat yang benar-benar menyiapkan manusia terdidik
secara utuh, baik yang bersifat intelektual, sikap moral, dan agama sebagai dasar
hanyalah pesantren atau sekolah yang berbasis madrasah.

Seiring dengan perjalanan bangsa kita, ketika lembaga- lembaga sosial


yang lain belum berjalan secara fungsional maka pesantren telah menjadi pusat
kegiatan masyarakat dalam belajar. Tegasnya, pesantren merupakan lembaga
pendidikan yang unik, tidak saja karena keberadaannya yang sudah sangat lama,
tetapi juga karena kultur, metode dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga
pendidikan agama ini yang khas.

Pesantren juga memiliki jaringan sosial yang kuat dengan masyarakat dan
dengan sesama pesantren karena sebagian besar pengasuh pesantren tidak saja
terikat pada kesamaan pola pikir, paham keagamaan, namun juga memiliki
hubungan kekerabatan yang cukup erat. Dinamika lembaga pendidikan Islam
yang relatif tua di Indonesia ini tampak dalam beberapa hal, seperti7pertama,
peningkatan secara kuantitas terhadap jumlah pesantren. Kedua, kemampuan
pesantren untuk selalu hidup di tengah-tengah masyarakat yang sedang
mengalami berbagai perubahan. Secara sosiologis, ini menunjukkan bahwa
pesantren masih memiliki fungsi nyata yang dibutuhkan masyarakat.
Analisis Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Berbasis
Masyarakat( Tinjauan Pasal 1 ayat 4 PP Nomor 55 Tahun 2007 Tentang
Pendidikan Agama Dan Pendidikan keagamaan)

a. Analisis Hukum

Pada analisis hukum ini menggunakan perspektif analisis histori. Menurut


Noourouzzaman Shiddiqi, dalam anlisis histori selalu memerlukan tiga unsur
pokok yaitu pertama, proses asal-usul(origin), kedua, perubahan(change) dan
ketiga, perkembangan(develompent). Pesantren yang secara historis yang sudah
ada 700 tahun yang lalu (abad 13), baru secara regulatif terformalkan setelah ada
Undang-Undang No. 20 th 2003 dan PP No. 55 th 2007 tentang pendidikan agama
dan pendidikan keagamaan. Kata pesantren terakomodir, tersurat, terlihat jelas,
dan ada; bagaimana dan untuk apa pesantren itu berada. Dengan diterbitkannya
PP No.55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan,
eksistensi pesantren mendapat legitimasi hukum sebagai lembaga pendidikan
keagamaan Islam yang berbasis masyarakat.

Eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan di dunia


pendidikan Indonesia hingga diterbitkannya PP ini tidak lepas dari perjalanan
panjang pasang surut kebijakan pemerintah dari masa ke masa. Pada UU
SISDIKNAS Nomor 2 Tahun 1989, posisi pendidikan keagamaan sebagai
Pendidikan Luar Sekolah. Sehingga konsekuensi logis dari kebijakan ini jelas
menjadikan lembaga keagamaan tidak mendapatkan perlakuan sejajar dari
pemerintah, terutama dalam hal hak untuk mendapatkan anggaran.

Kehadiran UU SISDIKNAS Nomor 20 Tahun 2003, telah merubah


kondisi itu. Dengan disahkannya UU SISDIKNAS ini, pendidikan keagamaan
memiliki kedudukan yang sejajar dengan pendidikan umum, kejuruan,
akademik.9 Pesantren merupakan salah satu bentuk pendidikan keagamaan yang
diselenggarakan pemerintah dan atau kelompok mayarakat10. Peran serta
masyarakat dalam pendidikan yang salah satunya diwujudkan melalui pendidikan
berbasis masyarakat.
Mengingat pentingnya penjabaran lebih rinci untuk mempermudah
pelaksanaan secara tehnis sebagai panduan di lapangan,maka tepatnya pada
tanggal 5 oktober 2007, produk hukum yang berupa Peraturan Pemerintah(PP)
Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan,
ditetapkan oleh pemerintah yang dalam pengelolaannya sesuai dengan PP 55
Tahun 2007.

PP No.55 Tahun 2007 tentang Pendidikan agama dan Pendidikan


Keagamaan , terdapat beberapa pasal yang menyebutkan kata pesantren dalam
teksnya. Pasal 1(pengertian pesantren), Pasal 8 – pasal 14 dan kemudian pasal 26.
Beberapa pasal tersebut menjelaskan tentang pesantren, pendidikan keagamaan
dengan segala syarat dan ketentuannya.

Beberapa produk hukum yang melegitimasi keberadaan pesantren hingga


kemudian memiliki kekuatan yuridis. Diharapkan dengan produk hukum tersebut
eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan mendapatkan kesederajatan
dengan lembaga pendidikan lainnya. Pandangan pemerintah yang berbeda akan
pendidikan umum dan pesantren sebagai pendidikan keagamaan tidak terjadi.
Karena peran serta pesantren dalam sejarah perkembangan pendidikan Indonesia
sangatlah besar dan terbukti. Pesantren juga telah berperan aktif dalam pendidikan
sebagaimana rumusan fungsi dan tujuan pendidikan.

b. Analisis Agama

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, menampakkan secara lebih


jelas bahwa prinsip –prinsip pendidikannya bersifat teosentris. Dimana orientasi
pendidikan pesantren memusat pada sikap taqarrub(mendekatkan diri kepada
Allah dengan keteguhan dan ketaatan beribadah serta melaksanakan ajaran-ajaran
agama) dan sikap tahasun(melaksanakan sikap kesalehan individual maupun
kesalehan sosial).

Pesantren pada dasarnya adalah sebuah lembaga pendidikan keagamaan


Islam, walaupun ia mempunyai fungsi yang juga tidak kalah penting dengan
fungsi pendidikan tersebut. Pesantren merupakan lembaga pengembang nilai
moral-spiritual, informasi, komunikasi timbal balik secara kultural dengan
masyarakatnya. Dalam rumusan Azzumardi Azra, pesantren telah memainkan tiga
peranan: transmission of Islamic knowledge (penyampaian ilmu- ilmu
keislaman),maintenance of islamic tradition(pemeliharaan tradisi Islam) dan
reproduction of ulama(pembinaan calon ulama)

c. Analisis Politik

Kebijakan-kebijakan pemerintah tidak pernah lepas dari unsur politik.


Hegemoni (kekuasaaan). Menurut Toto Suharto Pendidikan kritis (critical
pedagogy) selalu menegaskan bahwa pendidikan bersifat politis, artinya setiap
kebijakan pendidikan yang dibuat pemerintah selalu mengandung kepentingan
politis untuk melanggengkan kekuasaannya. Pendidikan dalam pendidikan kritis
tidak bersifat netral, tetapi memihak pada kepentingan dan ideologi pembuatnya
yang dalam hal ini adalah pemerintah.

Secara hegemonik, negara menguasai lembaga politik dan sosial


kemasyarakatan dalam rangka menarik massa agar berada dalam spektrum
kebijakan dan kekuasaan pemerintah. Dari sinilah, pesantren yang semula
independen dari ranah politik menjadi termobilisasi demi kepentingan penguasa.
Mobilisasi di sini dipahami, sebagai pengakomodasian kepentingan pesantren
demi mendukung sepenuhnya rekayasa pengembangan pemerintah.

d. Analisis Pendidikan

Aktualisasi pendidikan yang baru dengan prinsip-prinsip yang disesuaikan


dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan zaman sekarang, yaitu partisipasi
masyarakat di dalam mengelola pendidikan (community), demokratisasi proses
pendidikan, sumber daya pendidikan yang profesional, dan sumber daya yang
memadai. Tanggungjawab pendidikan tidak lagi dipikul hanya oleh pemerintah,
tetapi juga dibebankan kepada masyarakat. Maksudnya, pemerintah dan
masyarakat sama-sama bertanggung jawab pada segala hal yang berkaitan dengan
pendidikan. Pemerintah dan masyrakat harus memiliki kepedulian yang sama
terhadap mutu dan keberhasilan pendidikan.
Pengaruh pendidikan pesantren sangat kuat mengakar pada masyarakat
kita, terbukti semakin banyak pesantren yang bermunculan sebagai perwujudan
penyelenggaraan pendidikan keagamaan. Menurut data Kementerian Agamatahun
2016 menunjukkan pesantren sebanyak 28.961 lembaga dengan santri sebanyak
4.028.660 jiwa. Jumlah ini merupakan potensi yang banyak dan dapat
menghasilkan output dan outcomes yang memiliki standar kompetensi lulusan
yang tinggi jika dikelola dengan sistem yang baik.

Selain itu, kecenderungan yang kuat bahwa santri membutuhkan ijazah


dan menguasai bidang keahlian, atau ketrampilan tertentu sehingga dapat
mengantarkannya menguasai lapangan kehidupan. Semua merupakan dampak dari
tuntutan perubahan isasi kelembagaan pendidikan. Isasi di dunia dakwah dan
pendididikan Islam kontemporer, yang tidak hanya mengubah basis sosio-kultural
dan pengetahuan santri semata, melainkan juga beriimbas pada masyarakat Islam
secara keseluruhan. Pondok pesantren sekarang ini pada umumnya telah
mengalami perubahan dari dampak modernisasi. Menjadikan santri memiliki
banyak sumber-sumber belajar baru, dan semakin tingginya dinamika komunikasi
antara sistem pendidikan pondok pesantren dan sistem yang lain.

e. Analisis Sosial

Pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat, tentunya


memiliki hubungan yang sangat erat dengan dimensi sosial kemayarakatan.
Bagaimana peran pesantren dituntut untuk menjawab kebutuhan dan tuntutan
masyarakat. Karena bertolak pada prinsip pendidikan berbasis masyrakat dimana
masyarakat menjadi subjek pendidikan. Penyelenggaraannya pun juga seharusnya
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakatnya. Sebagaimana juga menurut Amin
Haedari, bahwa pesantren juga sebagai laboratorium sosial kemayarakatan.

Peran pesantren dalam sosial kemasyarakatan, dimana pendidikan yang


diberdayakan untuk umat. Pesantren sebagai center decision terhadap persoalan-
persoalan agama yang ada di masyarakat dibutuhkan oleh masyarakat dalam
menghadapi tuntutan zaman. Pola kemitraan pesantren dengan masyarakat juga
terwujud melalui kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan pesantren.
Sebagaimana telah dilakukan oleh salah satu pesantren di Pati Jawa Tengah yaitu
Pesantren Maslakhul Huda di bawah kepemimpinan KH Sahal Mahfudz yang
menggulirkan Fiqh Sosial.

Pesantren dituntut mampu merumuskan konsep pengembangan ajaran


Islam sebagai tatanan sosial, bukan hanya lembaga legalistik yang bersifat
hitamputih. Oleh karena itu untuk mempermudah pesantren menjalankan
peranannya dibutuhkan kemampuan antisipatif dan keterbukaan. Keterbukaan
akan menumbuhkan sikap lentur (fleksibel) yang akomodatif. Bentuk dari
keterbukaan ini berupa pesantren dengan tulus ikhlas bersedia menerima masukan
positif, konstruktif, dan inovatif yang berasal darimanapun. Kemudian pesantren
juga harus bersedia mengakui serta mengoreksi kelemahan yang menimpanya
untuk dicarikan solusinya

f. Analisis Budaya

Pendidikan keagamaan pada umumnya diselenggarakan oleh masyarakat


sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat. Pesantren
merupakan salah satu perwujudan lembaga pendidikan keagamaan Islam yang
berbasis masyarakat yang keberadaanya jauh sebelum Indonesia merdeka, bahkan
sejak Islam datang di Indonesia. Oleh karenanya hal ini menjadi akar budaya
bangsa agama yang disadari merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam
pendidikan. Sebagaimana juga dinyatakan oleh Ki Hajar dewantara yang pernah
mencita-citakan model pesantren sebagai sistem pendidikan Indonesia.
Menurutnya, selain sudah lama melekat dalam kehidupan di Indonesia, model
pesantren juga merupakan kreasi budaya Indonesia, setidak- tidaknya di Pulau
Jawa, yang patut untuk dipertahankan dan dikembangkan. Perspektif historis
menempatkan pesantren pada posisi yang cukup istimewa dalam khazanah
perkembangan sosial-budaya di Indonesia.

Fungsi PP No.55 Tahun 2007 Terhadap Pengembangan Pesantren ke Depan


Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia
yang memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Lembaga ini layak diperhitungkan dalam pembangunan bangsa dibidang
pendidikan, keagamaan, moral, dan juga sosial kemasyarakatan. Dilihat secara
historis, pesantren memiliki pengalaman luar biasa dalam membina,
mencerdaskan,dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu
meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki
masyarakat di sekelilingnya.

Pembangunan sumber daya manusia (SDM) tidak hanya menjadi tanggung


jawab pemerintah saja, akan tetapi juga menjadi tanggung jawab semua
komponen masyarakat, termasuk dunia pesantren. Karena itu, sudah semestinya
pesantren yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan
SDM ini terus didorong dan dikembangkan kualitasnya. Pengembangan dunia
pesantren ini harus didukung secara serius oleh pemerintah. Hal ini juga sudah
terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional(sisdiknas) dan secara terinci
dijelaskan dalam PP No 55 Tahun 2007. Mengembangkan peran pesantren dalam
pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun pendidikan.

PP Nomor 55 Tahun 2007, merupakan peraturan pemerintah yang lahir


untuk memperjelas amanat UU sisdiknas tahun 2003, dalam PP ini juga
memperjelas fungsi dan tujuan pesantren sebagai bagian yang tak terpisahkan
dalam sistem pendidikan nasional. Aktualisasi PP No.55 tahun 2007 ke depan
akan menunjukkan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Peraturan ini
menjadi tonggak penting politik pendidikan yang menghapus diskriminasi antara
sekolah negeri dan swasta serta sekolah umum dan sekolah keagamaan. Mengkaji
lebih rinci terhadap isi PP 55 2007 khususnya keberadaan pesantren. Pesantren
merupakan salah satu lembaga pendidikan keagamaan, lebih khususnya lembaga
pendidikan keagamaan Islam yang mendaptkan legitimasi hukum dengan
bergulirnya PP ini. Secara umum, beberapa fungsi yang bisa dilihat melalui pasal-
pasal yang tertera dalam PP ini terhadap pengembangan pesantren ke depan
diantaranya:
a. Kesempatan Mendapatkan bantuan Sama Seperti Lembaga Pendidikan
Lain.

PP 55 2007, Pasal 12 ayat 1, yang isinya adalah Pemerintah dan atau


pemerintah daerah memberi bantuan sumber daya pendidikan kepada pendidikan
keagamaan”.Penjelasan dari pasal ini adalah, “Pemberian bantuan sumber daya
pendidikan meliputi pendidik, tenaga kependidikan, dana, serta sarana dan
prasarana pendidikan lainnya. Pemberian bantuan disalurkan secara adil kepada
seluruh pendidikan keagamaan pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan
yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Bantuan dana pendidikan menggunakan satuan dan mata anggaran yang berlaku
pada jenis pendidikan lain sesuai peraturan perundang- undangan”.

Ke depan posisi pesantren akan berdiri sejajar dengan lembaga pendidikan


lain. Tidak ada alasan untuk menganak tirikan pesantren lagi. Hak yang akan
didapat pesantren dari pemerintah terutama dalam hal finansial akan sama seperti
hak yang didapat oleh pendidikan umum. Terlepas apakah hak finasial itu dari
pemerintah daerah, provinsi maupun pemerintah pusat.

Empat unsur penting isi dari rekomendasi pasal di atas, yang kemungkinan
akan terberdayakan, diantaranya adalah unsur Pendidik, Tenaga Pendidikan, dana,
dan Sarana prasarana

b. Pelajar di pesantren memiliki kesederajatan yang sama dengan pelajar di


lembaga pendidikan lainnya

Pengakuan yang sama oleh pemerintah dalam dunia pendidikan terhadap


pelajar di pesantren dengan pelajar di lembaga pendidikan lainnya, sebagaimana
tertuang dalam pasal 11 ayat 1, 2, dan 324. Pernyataan yang tertera pada pasal 11
ayat 1 sampai 3 merupakan peluang emas bagi santri di kalangan Pondok
pesantren untuk bisa berinteraksi dan bersinergi atau bahkan berkompetisi dengan
pelajar dari lembaga pendidikan lain secara sehat dan terbuka. Tiga point penting
yang mengangkat posisi santri menjadi sederajat dengan kalangan pelajar yang
lain adalah : 1) Santri yang sedang menempuh sekolah di pesantren bisa pindah ke
lembaga pendidikan lain yang sejenjang. 2) Lulusan pesantren ke depan juga bisa
melanjutkan pendidikan ke jenjang di atasnya di luar lembaga pendidikan
pesantren dengan status sah dan diakui oleh pemerintah. 3) Adanya kemungkinan
out put lulusan pesantren ke depan mempunyai hak yang sama untuk merebut dan
bersaing untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Termasuk berebut
menjadi abdi negara di lingkungan lembaga dan kedinasan milik pemerintah.

c. Pendidik lulusan dari pesantren medapatkan pengakuan yang sama

Pengakuan yang sama antara pendidik yang merupakan lulusan pesantren


dengan di lembaga lain, diatur sesuai dengan Pasal 26. Pada pasal 26 ayat1, 2 dan
3 PP Nomor 55 Tahun 2007 menjelaskan secara rinci tentang pesantren, dan
memberikan legitimasi yuridis terhadap eksistensi pesantren.

Pada pasal 26 Ayat 3, bahwa peserta didik dan atau pendidik memperoleh
pengakuan yang sama meskipun tidak memilki ijazah pendidikan formal, setelah
melalui uji kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat ini memberikan pengakuan terhadap alumni pesantren untuk menjadi
pendidik dalam mengajarkan ilmu agama pada semua jalur, jenjang dan jenis
pendidikan setelah mendapat pengakuan harus melalui uji kompetensi yang sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Pengakuan terhadap ini tentu harus melalui
pengakuan surat bukti menamatkan pendidikan di pondok pesantren atau
ijazah/syahadah, jika ijazah yang dikeluarkan pesantren tidak mendapatkan
pengakuan, tentu ayat 3 PP nomor 55 Tahun 2007 hanya ada dalam aturan tetapi
tidak aplikatif.

Melalui PP ini diharapkan sinergi antara pelajar di pesantren dengan di


luar pesantren-pun akan tercipta, karena lulusan pesantren yang layak juga bisa
mengajar di lembaga pendidikan luar pesantren. Tentu begitu juga sebaliknya.
Ada simbiosis mutualisme, saling mengisi beberapa kekurangan yang ada dan
saling berbagi kelebihan yang dimiliki masing-masing pihak. Hal ini
merupakanwujud dari pola managerial yang baik, dengan bangunan sistem yang
menciptakan begitu pentingnya arti kebersamaan. Dikotomi dan ego dari masing-
masing model kelembagaan pendidikan yang ada, besar kemungkinan ke depan
juga akan terminimalisir.

d. Karakter & kekhasan ciri pesantren akan tetap dijaga.

Tentang jaminan penjagaan dan perlindungan terhadapkarakter dan ciri


khas pesantren tertuang didalam pasal 12 ayat 2 yang berisikan : “Pemerintah
melindungi kemandirian dan kekhasan pendidikan keagamaan selama tidak
bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional”. Ayat 3 “Pemerintah dan atau
lembaga mandiri yang berwenang, melakukan akreditasi atas pendidikan
keagamaan untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai Standar
Nasional Pendidikan. Ayat 4”Akreditasi atas pendidikan keagamaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan setelah memperoleh pertimbangan dari
Menteri Agama”.

Dari pasal ini kita harapkan akan menghapus Kekhawatiran banyak tokoh
yang pesimis akan disahkannya PP 55 2007 ini, bakal akan mereduksi karakter
dan ciri khas pesantren akan terjawab oleh isi pasal 12 ini, yang menyuratkan
perlindungan penuh dari pemerintah. Melihat pelaksanaan pendidikan pesantren
selama ini, hal-hal yang prinsipil-pun tidak ada yang bertentangan dengan produk
hukum pemerintah apapun namanya. Bahkan berjalan seiring dengan tujuan suci
pendidikan nasional kita. Kalaupun ada sedikit pergeseran itu wajar, sebagai
konsekwensi logis dari perberlakuan peraturan baru. Dan pergeseran itupun
menjadi keniscayaan sebagai upaya perbaikan model pendidikan pesantren agar
tidak stagnan itu-itu saja yang terkesan jalan di tempat. Tuntutan zaman saat ini-
pun sepertinya meminta agar pesantren beserta lulusannya bisa berdiri sejajar
dengan lulusan darilembaga pendidikan lainnya.

e. Menjanjikan terjadinya harmonisasi antar pelajar lintas pemeluk agama

Sikap optimisme akan terjalinnya hubungan yang harmonis antar pelajar


lintas agama ke depan, tertuang pada pasal 5 ayat 3 sampai 6 tertera didalamnya
“Pendidikan agama mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran
agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan
etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara”. Ayat 4 “Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan,
kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama yang dianut dan
terhadap pemeluk agama lain”.Ayat 5 “Pendidikan agama membangun sikap
mental peserta didik untuk bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin,
bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan
bertanggung jawab. Ayat 6. “Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis,
inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk memiliki
kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga”.

Demikian, beberapa point yang dapat dijadikan sebagai fungsi


dikeluarkannya PP 55 tahun 2007 khususnya bagi pengembangan pesantren ke
depan. Pesantren memperoleh kesetaraan dalam hal memperoleh dana, pelajar,
pendidik, terjaminnya kekhasan pesantren, dan harmonisasi antar umat beragama.
Fungsi-fungsi tersebut diharapkan tidak hanya menjadi suatu fungsi yang hanya
tersurat dalam peraturan, akan tetapi juga aplikatif dalam pelaksanaannya.
Sehingga keberadaan PP ini benar-benar akan membawa manfaat, khususnya di
sini dalam pengembangan pesantren.

Saran kebijakan

a. Pemerintah hendaknya memberikan kesempatan yang sama kepada kepada


pesantren sebagai lembaga pendidikan. Misalnya kesempatan untuk
mendapatkan bantuan dana pendidikan(Pasal 12 PP No.55 Tahun 2007)
seperti lembaga pendidikan lainnya. Karena pesantren telah membuktikan
eksistensinya sebagai lembaga pendidikan yang tidak bisa dipandang
sebelah mata bagi keberhasilan dunia pendidikan di Indonesia.
b. Pemerintah hendaknya melaksanakan amanah sebagaimana tertulis dalam
peraturan, bahwa akan menjamin karakter dan kekhasan ciri pesantren
sebagaimana pasal 12 ayat 2 PP Nomor 55 tahun 2007
c. Pesantren hendaknya bersikapterbuka menerima segala perbedaan,
perubahan, dan kelemahan terutama tentang manajemen pesantrennya
untuk dicarikan solusinya sehingga tetap bisa eksis dan survive
menghadapi tantangan zaman.
d. Pemerintah dan Pesantren untuk menelaah lebih lanjut tentang pendidikan
berbasis masyarakat. Sehingga pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat
bisa terwujud optimal.

SIMPULAN

Pendidikan berbasis masyarakat secara konseptual, adalah model


penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu pada prinsip “dari masyarakat, oleh
masyarakat dan untuk masyarakat”. Pesantren sebagai lembaga pendidikan
keagamaan Islam berbasis masyarakat, dimana pesantren dengan kekhasan dan
kemandirian penyelenggaraan, pengelolaannya sehingga tetap survive dalam
kehidupan bermasyarakat. Analisis tentang pesantren sebagai lembaga pendidikan
keagamaan Islam berbasis masyarakat, jika ditinjau dari: segi hukum, agama,
politik, pendidikan, sosial dan budaya. Beberapa point yang dapat dijadikan
sebagai fungsi dikeluarkannya PP 55 tahun 2007 ini. Pesantren memperoleh
kesetaraan dalam hal memperoleh dana, pelajar, sebagai pendidik, terjaminnya
kekhasan pesantren, dan harmonisasi antar umat beragama.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Ali Riyadi, Pesantren dalam bingkai Politik Birokrasi Pendidikan Islam di
Indonesia, Vol.23 No.1 Januari 2012.

AminHaedari, dkk, Masa Depan Pesantren, Jakarta: IRD PRESS, 2004.

Azyumardi Azra, Esei-Esei Inteletual Muslim Pendidikan Islam, Jakarta:Logos


Wacana Ilmu,1998.

Depag RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah perttumbuhan dan


perkembangannya, Jakarta: Depag RI, 2003.

Isjoni, Pendidikan sebagai Investasi Masa Depan, Jakarta: Yayasan Obor


Indonesia,2006.
Manfred Open dan Wolfgang Karcher, Dinamika Pesantren, Jakarta:P3M,1988.

Muh.Idris Usman, Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam, Jurnal Al


Hikmah, Vol.XIV , No.1, 2013.

MujamilQomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi


Institusi, Jakarta: Erlangga, 2006.

NourouzzamanShiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim, (Yogyakarta:Pustaka


Pelajar, 1996).

NurcholishMadjid, Bilik-Bilik Pesantren sebuah Potret Perjalanan, Jakarta:


Paramadina,1997.

Nurotun Mumtahanah, Pengembangan Sistem Pesantren dalam Meningkatkan


Profesionalisme Santri, Al-Hikmah Jurnal Studi Keislaman,Vol.5(1)2015.

PMA Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Keagamaan Islam.

PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan


Keagamaan.

Sam M.Chan, Tuti T. Sam, Analisi SWOT: Kebijakan Pendidikan Era Otonomi
Daerah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.

Toto Suharto , Pesantren Persatuan Islam(1987-1997) dalam perspektif


Pendidikan Berbasis Masyarakat,Disertasi,Yogyakarta: PPs UIN SUKA,
2011.

UU guru dan Dosen dan UU SISDIKNAS ( Sistem Pendidikan Nasional) UU RI


No. 20 Th.2003, Jakarta: Asa Mandiri.

Zubaedi, Pemberdayaan Masyarakat berbasis Pesantren, Yogyakarta: pustaka


Pelajar, 2009.
BAB III
PEMBERDAYAAN MADRASAH DAN
PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT

Moh. Miftachul Choiri


STAIN PONOROGO, Jawa Timur, Indonesia
Miftahch@gmail.com

PENDAHULUAN
Era otonomi pendidikan memberikan peluang besar bagi perbaikan tata
kelola madrasah melalui peningkatan partisipasi masyarakat. Namun demikian
nampaknya madrasah belum sepenuhnya mampu memaksimalkan peluang
tersebut. Problem kurangnya kemitraan dialami oleh masyarakat pengelola
madrasah. Madrasah kurang mampu mendinamisasi partisipasi masyakarat
setempat agar ada rasa kepedulian dalam mengembangkan dan memajukan
madrasah. Padahal dengan adanya partisipasi masyarakat diharapkan kualitas,
akuntabilitas, relevansi program- program pendidikan yang didesain dan
diselenggarakan oleh madrasah dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Menurut H.A.R Tilaar (2004: 22) dalam era desentralisasi sudah saatnya
satuan pendidikan didekatkan dengan masyarakat sekitarnya, masyarakat
pengguna jasa layanan pendidikannya. Istilah yang digunakan untuk menjelaskan
keterlibatan masyarakat dalam praksis pendidikan dikenal dengan community
based education (CBE). Partisipasi masyarakat, tokoh masyarakat dan dunia
industri untuk memberi feedback, membina dan mengawasi lembaga pendidikan
yang ada di sekitarnya. Keterlibatan masyarakat dalam mengontrol praksis
pendidikan sangat penting untuk melihat, apakah praktek pendidikan yang
dilaksanakan oleh satuan-satuan pendidikan selama ini telah memenuhi kebutuhan
masyarakat atau belum? Apakah konstribusi masyarakat bagi perbaikan suatu
lembaga pendidikan? Sudahkah lembaga-lembaga pendidikan menjadikan
masyarakat sebagai sumber belajar, sehingga ketika anak didik telah selesai
menempuh program yang diselenggarakan satuan pendidikan dapat mengambil
peran dalam kehidupan bermasyarakat? Berbagai pertanyaan ini menarik untuk
diteliti, paling tidak untuk mengurai problem pendidikan dalam skala mikro pada
satuan pendidikan.

Secara filosofis lahirnya konsep community based education (CBE),


menuntut struktur manajemen pendidikan yang harus disesuaikan dengan
keikutsertaan masyarakat secara aktif. Ditegaskan oleh Azyumardi Azra (2000:
153) bahwa keikutsertaan masyarakat dalam struktur manajemen pendidikan,
dimaksudkan untuk memberikan ruang bagi terciptanya lembaga pendidikan yang
akuntabel, efektif dan berkualitas. Pendidikan yang berakar pada masyarakat
berarti pula adanya partisipasi dan kontrol masyarakat sebagai pemilik dan
pengguna jasa layanan pendidikan. Oleh sebab itu, lembaga-lembaga sosial (social
institutions) yang telah ada di madrasah diperkuat, sementara yang belum ada dan
diperlukan oleh madrasah perlu dibentuk, seperti paguyuban wali murid antar
kelas.

Lembaga-lembaga sosial (social institutions) dimaksudkan untuk


mewadahi aspirasi masyarakat dan memberi feedback bagi pelaksanaan program
pendidikan di madrasah. Sementara madrasah sebagai penyelenggara pendidikan
perlu didukung oleh tenaga-tenaga pendidik yang ahli dalam bidangnya dan diberi
kesempatan untuk melakukan berbagai inovasi pembelajaran. Oleh sebab itu
community based education (CBE) perlu dikembangkan berdasarkan situasi sosial
dan potensi di mana lembaga pendidikan tersebut berada. Potensi masyarakat di
sekitar sekolah perlu dielaborasi, potensi orang tua murid perlu digali, berbagai
kerjasama antara sekolah dengan pihak masyarakat perlu dirancang.

PENTINGNYA PERMASALAHAN

Sudah saatnya pendidikan dikembalikan ke masyarakat, pendidikan harus


dilihat sebagai wahana untuk memberdayakan masyarakat bukan sekedar alat
pemuas bagi para birokrat yang haus penghargaan karena jabatan yang
disandangnya. Ditemukannya kasus pelaksanaan ujian nasional sebagaimana
dijelaskan oleh koran Jawa Pos 10 Mei 2014, yang dilakukan oknum guru di
Bojonegoro Jawa Timur, merupakan problem serius bagi perbaikan budaya mutu
pendidikan di Indonesia. Sementara itu perubahan kurikulum 2006 menjadi
kurikulum 2013 bertujuan untuk memperbaiki kualitas out-put pendidikan yang
lebih komprehenship setelah masyarakat dihadapkan pada kenyataan semakin
menurunnya kualitas moral masyarakat. Oleh sebab itu, menjadi penting untuk
mendekatkan program-program pendidikan di madrasah dengan masyarakat
sekitarnya.

PEMBAHASAN

Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat

Menurut H.A.R Tilaar (2004: 22) istilah community based education


(CBE) digunakan untuk menjelaskan keterlibatan masyarakat dalam praksis
pendidikan. Community Based Education menuntut masyarakat (orang tua,
pemimpin masyarakat lokal, pemimpin nasional, dunia kerja, dunia industri)
harus ikut serta dalam membina dan mengawasi lembaga pendidikan yang ada
di sekitarnya. Secara filosofis lahirnya konsep community based education
(CBE), menuntut struktur manajemen pendidikan yang harus disesuaikan
dengan keikutsertaan masyarakat secara aktif. Keikutsertaan masyarakat dalam
struktur manajemen pendidikan, dimaksudkan untuk memberikan ruang bagi
terciptanya lembaga pendidikan yang akuntabel, efektif dan berkualitas.

Sementara itu menurut Azyumardi Azra (2000:153), istilah community based


education (CBE) digunakan untuk menjelaskan peranserta masyarakat dalam
kegiatan pemberdayaan satuan pendidikan, yang dapat dikerangkakan sebagai
beikut; pertama, peningkatan peran serta masyarakat dalam pemberdayaan
manajemen pendidikan, yakni pengembangan manajemen yang lebih
accountable, baik dari segi keuangan maupun pengelolaan organisasi madrasah
itu sendiri. Melalui peningkatan ini, sumber-sumber finansial masyarakat dapat
dipertanggungjawabkan secara lebih efisien untuk pemberdayaan dan
peningkatan kualitas madrasah; kedua peningkatan peranserta masyarakat
dalam pengembangan madrasah yang quality oriented, yakni pendidikan yang
berkualitas dan berkeunggulan, yang pada gilirannya akan mendorong
perkembangan madrasah sehingga dapat melahirkan out-put yang mempunyai
paradigma keilmuan yang komprehenship yakni perpaduan antara ilmu umum
dan ilmu agama; dan ketiga, peningkatan peran serta masyarakat dalam
pengelolaan sumber-sumber belajar yang ada di masyarakat, sehingga madrasah
tidak terpisah dan tetap menjadi bagian integral dari masyarakat muslim secara
keseluruhan. Melalui pengembangan ini, satuan pendidikan/ madrasah dapat
menjadi “core” dari learning society, masyarakat belajar yang pada gilirannya
membuat anak didik keluaran lembaga pendidikan Islam lebih berkualitas dan
dapat menyatu dengan masyarakatnya.

B. Dinamika Madrasah sebagai Pendidikan Berbasis Masyarakat


Menurut Muhaimin (2005: 186) dilihat dari sisi historitasnya terdapat dua
faktor yang mempengaruhi lahirnya madrasah di Indonesia, yaitu, pertama,
adanya pandangan yang mengatakan bahwa sistem pendidikan Islam tradisional
dirasakan kurang bisa memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat; kedua,
adanya kekuatiran atas cepatnya perkembangan persekolahan Belanda yang
akan menimbulkan pemikiran sekuler di masyarakat. Untuk menyeimbangkan
perkembangan sekulerisme maka masyarakat muslim melakukan reformasi
melalui upaya pengembangan pendidikan dan pemberdayaan madrasah.
Pendapat tersebut di atas dikuatkan oleh Azyumardi Azra (2000: 99)
bahwa madrasah di Indonesia lahir sebagai bentuk modernisasi sistem
pendidikan Islam yang tradisional. Faktor pendorong lahirnya gerakan ini
adalah adanya ekspansi pemerintahan kolonial Belanda dan Kristen. Dalam
konteks ini ditemukan adanya Sekolah Diniyyah Zainuddin Labay al-Yunusi,
Sumatra Thawalib, madrasah yang didirikan al-Jami’atul Khairiyyah dan
kemudian juga madrasah-madrasah yang didirikan oleh al-Irsyad.

Sejalan dengan dinamika sosial yang berkembang di masyarakat muslim


Indonesia, modernisasi sistem pendidikan Islam pasca kemerdekaan
menemukan momentumnya. Pesantren sebagai induk semang madrasah, yang
pada awalnya hanya mengajarkan kajian-kajian ke-Islaman pada akhirnya
memberikan respons terhadap ekspansi sistem pendidikan umum yang
disebarkan pemerintah dengan memperluas cakupan kajian di dalamnya.
Setidaknya terdapat dua cara yang digunakan pesantren sebagai induk madrasah
dalam merespon dinamika yang berkembang di masyarakat; pertama, merevisi
kurikulum pesantren dengan memasukkan semakin banyak mata pelajaran
umum atau bahkan ketrampilan umum; dan kedua, membuka akses
kelembagaan dan fasilitas-fasilitas kelembagaannya bagi kepentingan
pendidikan umum (Azyumardi Azra, 2000: 102).
Pada dekade 1950-an dan awal 1960-an dalam masa-masa kesulitan
ekonomi yang dihadapi Indonesia, sejumlah pesantren melakukan pembaharuan
dengan memberikan ketrampilan, khususnya dalam bidang pertanian.
Penekanan pada bidang ketrampilan ini dengan mudah dapat dipahami; dalam
masa-masa sulit seperti itu, pesantren semakin dituntut untuk self-supporting
dan self-financing. Karena itu banyak pesantren di pedesaan, seperti Tebuireng
dan Rejoso di Jombang mengarahkan para santrinya untuk terlibat dalam
kegiatan-kegiatan vocational dalam bidang pertanian, seperti menanam padi,
kelapa, tembakau, kopi dan lain-lain. Hasil penjualan dari usaha pertanian
tersebut digunakan untuk membiayai pesantren. Kemudian pada fase berikutnya
dijumpai beberapa pesantren mengembangkan usahanya ke arah pendirian
koperasi seperti: Gontor, Denanyar, Tambakberas, Tebuireng Tegalrejo dan lain
sebagainya. Melalui koperasi ini, minat kewirausahaan para santri dibangkitkan,
untuk kemudian diarahkan menuju pengembangan pengelolaan usaha ekonomi
apabila para santri kembali ke masyarakatnya (Azyumardi Azra, 2000: 103).
Melihat fakta sejarah tersebut di atas, kebijakan tentang desentralisasi
pendidikan sebenarnya bukan hal yang asing bagi madrasah. Terlebih banyak
madrasah yang lahir dan tumbuh dari inisiatif masyarakat sendiri (H.A.R.
Tilaar, 2004: 152). Masyarakat dalam hal ini, baik individu maupun organisasi
membangun madrasah untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan pendidikan
mereka. Tidak mengherankan apabila madrasah yang dibangun oleh masyarakat
bisa seadanya saja atau memakai tempat apa adanya. Mereka didorong oleh
semangat keagamaan dan dakwah untuk mencari ilmu dan mengamalkan ajaran
agama Islam. Hingga saat ini tidak mengherankan apabila jumlah madrasah
yang ada di Indonesia kurang lebih 90% milik swasta sedangkan sisanya
berstatus negeri (Muhaimin, 2005: 185).
Apabila dewasa ini diskursus pendidikan nasional mewacanakan
pentingnya inovasi pendidikan nasional untuk melahirkan pendidikan yang
dikelola masyarakat community-based management (CBM) maka pesantren
sebagai induk semangnya madrasah merupakan model yang archaic. Namun
tentu prinsip-prinsip manajemen modern perlu diterapkan di dalam pola
pendidikan yang berdasarkan manajemen masyarakat. Pada akhirnya
community-based management dari pendidikan akan bermuara kepada
manajemen sekolah (school-based management) atau manajemen madrasah
yang berarti pengelolaan lembaga pendidikan madrasah adalah pengelolaan
yang otonom yang mengimplementasikan aktivitas dan kreativitas para
pengelolanya baik kepala sekolah maupun para gurunya di dalam
melaksanakan misi sekolah.
C. Arti Pemberdayaan bagi Madrasah
Pranarka (1996: 261) menjelaskan, secara konseptual, pemberdayaan atau
pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata “power” (kekuasaan atau
pemberdayaan). Sebagai sebuah konsep, ide utama pemberdayaan bersentuhan
dengan konsep kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan
untuk membuat orang lain melakukan apa yang diinginkan, terlepas dari
keinginan dan minat mereka. Konsep dan gerakan pemberdayaan memusatkan
perhatian pada kenyataan bahwa manusia atau sekelompok orang dapat
mengalami kendala dan hambatan dalam proses dan gerak aktualisasi
eksistensinya. Oleh sebab itu, perhatian gerakan pemberdayaan adalah berusaha
menciptakan kondisi yang menungkinkan bagi setiap orang dapat melaksanakan
tugas aktualisasi eksistensinya seluas-luasnya dan setinggi-tingginya. Selain
berhubungan dengan gerakan membangkitkan kesadaran akan eksistensi
seseorang atau sekelompok orang, pemberdayaan juga memusatkan perhatian
pada penyebab lahirnya kendala bagi seseorang atau sekelompok untuk
mewujudkan aktualiasasi eksistensinya.
Ditegaskan oleh Edi Suharto (2009: 59) sebagai sebuah proses,
pemberdayaan merupakan sebuah konsep pemberian wewenang kepada
individu atau kelompok masyarakat untuk mengambil keputusan secara
otonom, partisipatif dan demokratis. Pemberian wewenang tersebut sebagai
strategi pembelajaran dan penghargaan terhadap nilai-nilai humanitas,
bahwa setiap individu atau kelompok masyarakat memiliki kemampuan dan
potensi yang dapat disumbangkan bagi kehidupan bersama, baik dalam konteks
kehidupan berbangsa maupun dalam kehidupan bernegara. Sebagai sebuah
proses, pemberdayaan mempunyai 3 tahapan: penyadaran, pengkapasitasan dan
pendayaan.
Penyadaran merupakan tahap pertama dalam proses pemberdayaan. Pada
tahap ini target yang hendak diberdayakan diberi “pencerahan” dalam bentuk
pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mempunyai
“sesuatu”. Misalnya, madrasah swasta diberikan penyadaran bahwa lembaga
tersebut mempunyai potensi dan kelebihan yang dapat dikembangkan menuju
lembaga pendidikan yang lebih berkualitas. Program-program yang dapat
dilakukan pada tahap penyadaran tersebut, misalnya memberikan pengetahuan
yang bersifat kognisi, belief dan healing. Prinsip dasar pada tahap ini adalah
membuat target mengerti bahwa lembaga atau organisasi perlu diberdayakan,
dan proses pemberdayaan itu dimulai dari dalam diri mereka (tidak dari orang
luar).

Tahap kedua pemberdayaan adalah pengkapasitasan atau capacity


building yang artinya adalah “memampukan”. Untuk diberikan pemberdayaan,
sebuah organisasi atau lembaga harus terlebih dahulu diberi bekal pengetahuan.
Misalnya sebelum sebuah madrasah diberikan tanggungjawab menjadi
“madrasah unggulan” terlebih dahulu diberikan program-program
pengkapasitasan untuk membuat lembaga tersebut cakap “skillfull” dalam
mengelola madrasah unggulan. Proses capacity building meliputi tiga jenis,
yaitu pengkapasitasan manusia, organisasi dan sistem nilai.
Pengkapasitasan manusia dalam arti memampukan manusia baik dalam
konteks individu maupun kelompok. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui
berbagai kegiatan, antara lain dengan menyelenggarakan pelatihan (training),
workshop, seminar, semiloka dan lain sebagainya. Langkah selanjutnya adalah
pengkapasitasan organisasi. Pengkapasitasan organisasi dapat dilakukan dalam
bentuk restrukturisasi organisasi. Tujuan restrukturisasi organisasi antara lain
adalah untuk meningkatkan efesiensi dan efektifitas kerja organisasi. Namun
demikian, langkah ini kadang menimbulkan masalah baru dalam suatu
organisasi, yakni rasa ketidakpuasan sebagian orang karena wewenang dan
pekerjaannya dikurangi atau dipangkas. Oleh sebab itu, dalam pengkapasitasan
organisasi tersebut akan lebih baik jika organisasi ditata ulang strukturnya
berdasarkan kondisi dan kebutuhan lembaga, dijelaskan tugas dan
wewenangnya sehingga masing-masing orang yang yang terlibat di dalamnya
akan berbuat secara prosedural sesuai dengan aturan organisasi atau lembaga.
Pengkapasitasan berikutnya adalah sistem nilai. Setelah orang dan lembaga
diberikan pengkapasitasan, maka sistem nilai juga perlu diberikan
pengkapasitasan. Pengkapasitasan sistem nilai dilakukan dengan membantu
target dan membuatkan “aturan main” di antara para pengurus organisasi.
Dalam cakupan organisasi, sistem nilai berkenaan dengan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga, Prosedur Korporasi dan lain sebagainya. Pada
tingkat yang lebih lanjut, sistem nilai terdiri atas budaya organisasi, etika dan
good governance.
Tahap ketiga pemberdayaan adalah pemberian daya itu sendiri atau
empowerment dalam makna sempit yakni memberikan kekuasaan. Pada tahap
ini, lembaga atau organisasi diberikan daya, kekuasaan, otoritas atau peluang.
Pemberian daya ini disesuaikan dengan kualitas kecakapan yang telah dimiliki
organisasi. Tujuannya adalah agar organisasi tersebut dapat mengelola
program-program kegiatan yang telah mereka rencanakan dapat dilaksanakan
secara mandiri sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka. Karena masing-
masing lembaga mempunyai situasi dan kondisi yang berbeda-beda (Randy R.
Wrihatnolo& Riant Nugroho Dwidjowijoto, 2007).

Pemberdayaan pada umumnya mempunyai keterkaitan dengan pengembangan


sumberdaya yang dimiliki oleh sebuah organisasi, baik sumberdaya yang
berasal dari dalam maupun sumberdaya yang tersedia di luar. Pemberdayaan
diperlukan sebagai prasyarat untuk menumbuhkan kesadaran di kalangan
anggota organisasi. Dalam konteks pendidikan, pemberdayaan sangat
diperlukan oleh sekolah sebagai kiat untuk menumbuhkan kesadaran kritis
bahwa perubahan menjadi tanggungjawab bersama, setiap elemen yang ada
dalam sekolah.
Untuk memahami makna pemberdayaan, terdapat 2 kata kunci yakni
kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan dalam konteks ini, dipahami bukan
sebatas pada aspek politik yang sempit, tetapi kekuasaan yang berhubungan
dengan berbagai aspek kemampuan, antara lain:
a) kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya
hidup dan model kehidupan yang hendak dikembangkan;
b) kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan
keinginannya;
c) kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam
kehidupan yang lebih luas tanpa tekanan;
d) kemampuan menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi pranata-
pranata masyarakat;
e) kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal dan
kemasyarakatan;
f) kemampuan mengelola mekanisme produksi, distribusi, pertukaran
barang dan jasa, serta
g) kemampuan dalam kaitannya dengan proses memproduksi jasa dan
manfaatnya bagi lingkungan.

Dalam konteks pendidikan berbasis masyarakat, makna pemberdayaan


bagi madrasah dapat diartikan dalam beberapa hal, antara lain;
1. Kemampuan membuat keputusan tentang model pendidikan yang dipilih
madrasah sebagai kebutuhan masyarakat yang memerlukannya.
Menurut KH. MA. Sahal Mahfudh (1994: 278-279) terdapat tiga
masalah mendasar yang dihadapi madrasah saat ini, antara lain;
a) Masalah identitas madrasah.
Masalah ini bersumber dari respon madrasah terhadap realitas yang
berkembang di masyarakat. Realitas masyarakat Indonesia saat ini,
sedang dalam masa transisi sebagai dampak terjadinya proses reformasi.
Persoalan demokrasi, hak asasi manusia, pluralitas, kebebasan pers dan
globalisasi menjadi isu utama dalam kehidupan masyarakat Indonesia saat
ini. Sementara itu, realitas yang berkembang di madrasah pada umumnya
lamban dalam merespon isu-isu yang berkembang di masyarakat;
b) Masalah sumberdaya manusia internal madrasah dan pemanfaatannya
bagi pengembangan madrasah ke depan.

Mayoritas sumberdaya manusia yang dimiliki madrasah homogen,


lulusan perguruan tinggi Islam, kecenderungannya memiliki disiplin
keilmuan yang sama. Sehingga pengembangan madrasah menjadi kurang
dinamis dan inovatif. Dilihat dari struktur keilmuan yang dikembangkan
di madrasah, sudah saatnya keahlian, kualifikasi dan kompetensi menjadi
pertimbangan utama dalam melakukan rekrutmen tenaga pendidik di
madrasah. Tentu selain beberapa pertimbangan tersebut, para guru juga
harus dikenalkan dengan tradisi madrasah sebagai institusi Islam yang
dekat dengan tradisi pesantren. Sehingga nilai-nilai pesantren tidak
diabaikan; dan
c) Masalah pengelolaan madrasah.
Menurut H.A.R. Tilaar (2004: 153), bahwa persoalan madrasah terletak
dari keunikannya bahwa madrasah tumbuh dari bawah, dari masyarakat
sendiri. Dalam pertumbuhannya tersebut, madrasah lahir dari komunitas
masyarakat yang secara ekonomi berasal dari keluarga tidak mampu,
tentu kondisi tersebut menimbulkan situasi serba sulit bagi madrasah.
Pengelolaan madrasah yang berorientasi kepada masyarakat telah
melahirkan keanekaragaman pengelolaan sehingga sulit untuk dicarikan
standar untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dalam menghadapi
tuntutan modernisasi dan globalisasi karena standar- standar tertentu
diperlukan maka pengelolaan pendidikan di madrasah perlu disesuaikan
agar lebih peka dalam menyikapi kehidupan global yang penuh
persaingan.

2. Makna pemberdayaan madrasah dapat diartikan sebagai kemampuan


menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginannya.
Untuk menentukan kebutuhan yang selaras dengan keinginannya,
maka madrasah perlu dibekali dengan kemampuan mengidentifikasi masalah
yang terjadi di dalamnya secara mandiri. Menurut Direktorat Jenderal
Pendidikan Agama Islam Kementrian Agama RI (2011:23) kemampuan
mengenali masalah madrasah secara mandiri disebut dengan Evaluasi Diri
Madrasah (EDM). Evaluasi Diri Madrasah adalah proses evaluasi yang
bersifat internal yang melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders)
untuk melihat kinerja madrasah berdasarkan Standar Pelayanan Minimal
(SPM) dan Standar Nasional Pendidikan yang hasilnya dipakai sebagai dasar
penyusunan Rencana Kegiatan Madrasah.
Proses Evaluasi Diri Madrasah diawali dengan pembentukan tim
pengembang madrasah dan pelatihan penggunaan instrumen yang digunakan
evaluasi diri madrasah. Tim pengembang terdiri dari; kepala madrasah,
wakil unsur guru, wakil komite madrasah, wakil orang tua siswa dan
pengawas madrasah. Tim Pengembang madrasah mengumpulkan berbagai
bukti dan informasi dari berbagai sumber untuk menilai kinerja madrasah
berdarakan indikator- indikator yang telah dirumuskan dalam Standar
Pelayanan Minimal dan Standar Pendidikan Nasional. Berdasarkan berbagai
informasi yang diperoleh dari berbagai pihak terkait,

diharapkan akan diperoleh bahan dan informasi yang lebih komprehensip.


Berbagai informasi tersebut berhubungan dengan perbaikan layanan
pembelajaran bagi peserta didik dan pemenuhan kebutuhan yang diperlukan
para guru dalam kegiatan proses belajar mengajar di madrasah. Kegiatan
evaluasi diri madrasah dilaksanakan setiap tahun dan hasilnya dijadikan
sebagai pijakan untuk menyusun Rencana Kegiatan Madrasah.
3. Kemampuan memanfaatkan pranata-pranata sosial yang ada di sekitar
madrasah.
Sebagian besar madrasah didirikan dan dikelola oleh swasta. Dengan
label pendidikan yang dikelola oleh swasta memberikan kesempatan yang
luas kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam memberikan saran bagi
perbaikan kualitas proses pengelolaan madrasah, peningkatan kualitas guru,
peningkatan hasil belajar siswa dan peningkatan mutu layanan pendidikan.
Berbagai upaya tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan pranata-
pranata sosial yang berada di sekitar madrasah. Sebagai ilustrasi,
berdasarkan hasil evaluasi diri madrasah, ditemukan sejumlah guru di
madrasah belum mampu menerapkan strategi pembelajaran aktif dalam
kegiatan belajar mengajar. Maka kepala madrasah bersama dengan komite
madrasah merancang kegiatan peningkatan mutu guru dalam bidang
penerapan strategi pembelajaran aktif dengan melibatkan nara sumber yang
berasal dari institusi atau jaringan (networking) yang dimiliki madrasah.
Dalam hal memberikan pengalaman belajar yang kongkrit kepada peserta
didik, kepala madrasah dan guru dapat memanfaatkan masyarakat sebagai
sumber belajar. Kerjasama antara masyarakat sekitar dengan pihak madrasah
dituangkan dalam bentuk surat tertulis, sehingga dokumen tersebut dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan akreditasi dan meningkatkan
akuntabilitas program pembelajaran.

D. Model Pemberdayaan Madrasah


Prakarya masyarakat muslim Indonesia dalam memberdayakan madrasah
sangat signifikan dan dominan. Sepanjang sejarah perkembangan pendidikan
Islam di Indonesia, masyarakat muslim mengambil peran penting dalam
pendirian, pengembangan dan pemberdayaan madrasah.
Menurut Azyumardi Azra (2000: 149), dalam beberapa dasawarsa
terakhir, terdapat dua kecenderungan model pemberdayaan madrasah yaitu:
1. berkembangnya hasrat dalam kalangan muslim untuk memberikan
porsi yang lebih besar kepada pemerintah untuk memberdayakan
madrasah dalam berbagai aspek dengan cara “menegerikan”
madrasah-madrasah swasta. Dengan semakin kuatnya kondisi negara
baik dari sisi birokrasi maupun keuangan, khususnya sejak era 1970-
an, negara membuka banyak akses kepada lembaga pendidikan Islam
yang pada awalnya cenderung tertutup

bahkan menjaga jarak dengan pemerintah. Perkembangan ini


mendapatkan momentumnya sejak akhir tahun 1980, ketika negara
melakukan perbaikan hubungan dengan Islam, ditandai dengan
dimasukkannya sistem pendidikan Islam sebagai sub sistem
pendidikan nasional dan adanya Surat Keputusan Bersama 3 menteri:
Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri
Dalam Negeri. Sejak saat itu respon kaum muslim terhadap negara
cenderung hangat, dalam konteks ini pendidikan Islam semakin
menggantungkan banyak harapan kepada negara untuk
memberdayakan madrasah.
2. adanya kecenderungan masyarakat muslim untuk melakukan
konsolidasi sumberdaya dan sumberdana untuk membangun
lembaga pendidikan Islam yang berkualitas. Kecenderungan ini dapat
diamati dengan berdirinya madrasah-madrasah swasta “unggulan”
sebagai respon berkembangnya komunitas muslim “kelas menengah”
yang memerlukan pendidikan Islam yang berkualitas. Kondisi
masyarakat muslim “kelas menengah” semakin berkembang,
sehingga tuntutan menyediakan lembaga pendidikan Islam yang
berkulitas, mendorong Departemen Agama untuk mengembangkan
“madrasah-madrasah model”.

Dalam memberdayakan lembaga pendidikan Islam, termasuk di


dalamnya madrasah, terdapat beberapa pandangan, antara lain:
1. Pandangan Azyumardi Azra.
Menurut Azyumardi Azra (2000: 153), terdapat beberapa strategi yang
dapat dikembangkan untuk mendorong peran serta masyarakat dalam
pemberdayaan madrasah, antara lain:
a) peningkatan peran serta masyarakat dalam pemberdayaan
manajemen pendidikan;
b) peningkatan peranserta masyarakat dalam pengembangan
madrasah yang quality oriented; dan
c) peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber-
sumber belajar yang ada di masyarakat, sehingga madrasah tidak
terpisah dan tetap menjadi bagian integral dari masyarakat muslim
secara keseluruhan.

2. Pandangan Mastuhu
Menurut Mastuhu (1999: 35), pemberdayaan madrasah dapat dilakukan
dengan cara melakukan perubahan paradigma. Paradigma yang
dimaksud disini adalah pemikiran yang terus-menerus dikembangkan
melalui pendidikan untuk merebut kembali ilmu

pengetahuan sebagaimana yang terjadi pada masa keemasan Islam.


Paradigma baru disini dikembangkan berdasarkan filsafat teocentris dan
antroposentris. Prinsip yang dikembangkan dalam paradigma ini adalah
tidak adanya dikotomi antara ilmu agama Islam dan ilmu pengetahuan
umum.

3. Pandangan Muhaimin.
Menurut Muhaiman (2005:183), pemberdayaan madrasah dapat
dilakukan dengan mengembangkan model kurikulum. Pengembangan
pendidikan di madrasah tidak dapat ditangani secara parsial tetapi
memerlukan pengembangan pemikiran yang utuh terutama ketika
dihadapkan pada kebijakan pembangunan nasional bidang pendidikan
yang mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata
sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga
negara Indonesia yang berkembang menjadi manusia yang berkualitas
sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu
berubah.

4. Pandangan H.A Mukti Ali (mantan Menteri Agama RI)


Menurut H.A Mukti Ali dalam Muhaimin (2005: 197) pemberdayaan
madrasah dapat dilakukan dengan konsep alternatif pengembangan
madrasah melalui kebijakan SKB 3 Menteri yang berusaha
menyejajarkan kualitas madrasah dengan non madrasah dengan porsi
kurikulum 70% umum dan 30% agama. Dilihat dari isu sentralnya
Mukti Ali ingin mendobrak pemahaman masyarakat yang bernada
sumbang terhadap eksistensi madrasah, dimana ia selalu didudukkan ada
posisi marginal, karena ia hanya berkutat pada kajian masalah
keagamaan Islam dan miskin pengetahuan umum sehingga lulusannya
kurang diperhitungkan oleh masyarakat.

5. Pandangan Munawir Sadzali (mantan Menteri Agama RI)


Menurut Munawir Sadzali dalam Muhaimin (2005: 197) menawarkan
konsep Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) sebagai konsep
untuk memberdayakan madrasah. Konsep Munawir Sadzali
dimaksudkan untuk menjawab problem kelangkaan ulama atau
kelangkaan umat yang menguasai kitab-kitab berbahasa arab serta ilmu-
ilmu keislaman. Lulusan MAPK diharapkan mampu menjawab masalah
tersebut, sekarang ditetetapkan sebagai Madrasah Aliyah Kejuruan
bidang keagamaan. Sedangkan madrasah aliyah non- keagamaan tidak
jauh berbeda dengan SMA.

6. Pandangan Tarmizi Taher (mantan Menteri Agama RI)


Menurut Tarmizi Taher dalam Muhaimin (2005:197) menawarkan
konsep madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam,
yang muatan kurikulumnya sama dengan sekolah non madrasah.
7. Pandangan A. Malik Fadjar (mantan Menteri Agama RI)
A. Malik Fajdar dalam (Muhaimin, 2005: 199) menindaklanjuti konsep
yang digagas pendahulunya dengan memantapkan eksistensi madrasah
dengan memenuhi tiga tuntutan mininal dalam peningkatan kualitas
madrasah, yaitu:
a) bagaimana menjadikan madrasah sebagai wahana untuk membina
ruh atau praktik hidup keislaman;
b) bagaimana memperkokoh keberadaan madrasah sehingga mampu
merespons tuntutan masa depan guna mengantisipasi
perkembangan ilmu pengetahuan dan era globalisasi.

Dari berbagai bentuk model pemberdayaan madrasah sebagaimana


digagas oleh para pejabat dan para pakar tersebut, tentu masing-masing
madrasah mempunyai alternatif pilihan untuk mengembangkan model
madrasah sesuai yang dengan potensi dan sumber daya manusia yang ada di
masing-masing institusi. Pembentukan tim pengembang madrasah, hasil
evaluasi diri madrasah, analisa kebutuhan dan analisa harapan tentu perlu
dijadikan sebagai pijakan untuk menentukan model pemberdayaan madrasah.
Selain analisa dengan evaluasi diri madrasah, tentu pemanfaatan modal
sosial yang dimiliki madrasah perlu dioptimalkan dalam kegiatan
pemberdayaan madrasah. Modal sosial yang cakupannya terdiri dari nilai-nilai
yang tumbuh dan berkembang dalam komunitas madrasah, struktur organisasi
madrasah yang terbuka dan jaringan yang dimiliki madrasah merupakan elemen
penting yang dibutuhkan dalam kegiatan pemberdayaan madrasah.

E. Strategi Pemberdayaan Madrasah


Konsep pemberdayaan dalam kajian ini dimaknai sebagai kegiatan
menumbuhkan kesadaran madrasah, untuk melihat problem internal yang
dihadapinya baik yang bersifat institusional, kultural maupun personal
sumberdaya manusia yang dimiliki madrasah. Selain kemampuan mengenal
problem internal yang dihadapi madrasah, kegiatan pemberdayaan juga
berkaitan dengan kemampuan memanfaatkan modal yang dimiliki madrasah,
baik modal sosial maupun modal kultural. Kemampuan melihat problem dan
memanfaatkan modal sosial tersebut sebagai pijakan untuk mendorong
madrasah melakukan perubahan memperbaiki dan meningkatkan kualitas
pendidikan yang dikembangkannya. Terlebih ketika masyarakat pengguna

jasa pendidikan di madrasah ibtidaiyah menaruh harapan besar pada institusi ini
untuk menghantarkan anak-anaknya menjadi generasi yang bermanfaat bagi
masyarakat dan kehidupan keluarganya. Selain karena adanya tuntutan
masyarakat pengguna jasa pendidikan di madrasah ibtidaiyah, Pemerintah
sebagai pemegang kebijakan pendidikan menerapkan berbagai peraturan terkait
dengan mutu pendidikan melalui Standar Nasional Pendidikan.
Sementara itu, menurut H.A.R. Tilaar (2004: 155) terdapat empat
bidang yang perlu mendapatkan prioritas bagi pemberdayaan madrasah sebagai
bagian dari sistem pendidikan Islam;

(1) peningkatan kualitas;


(2) pengembangan inovasi dan kreativitas;
(3) membangun jaringan kerja sama (networking); dan
(4) penguatan semangat otonomi.

Berbeda dengan H.A.R. Tilaar, Agus Nuryatno (2008: 80) menekankan


pentingnya membangun mind set baru dalam praksis pendidikan tak terkecuali
madrasah. Karena selama ini praksis pendidikan di Indonesia sudah terjebak
dalam dunia pragmatisme sehingga muncul pertanyaan, target apa yang hendak
dicapai pendidikan kita? Apakah academic values atau corporate values?
Menurut Neil Postman dalam Agus Nuryatno (2008: 81) pendidikan diyakini
memainkan peranan yang signifikan dalam membentuk kehidupan politik dan
kultural. Oleh karena itu pendidikan diyakini sebagai media untuk menyiapkan
dan melegitimasi bentuk-bentuk tertentu kehidupan sosial. Jika demikian, maka
institusi pendidikan diharapkan lebih mengedepankan dan menjadi basis
pembudayaan nilai-nilai idealisme bukan pragmatisme. Dalam konteks yang
sedemikian, cara berfikir kritis menjadi sangat diperlukan oleh para stakeholder
madrasah, terutama dalam memberdayakan madrasah.

Alur Pemberdayaan Madrasah


diadaptasi dari konsep John P. Kotter (1996) dan James. S. Coleman
(1994).

Sementara itu menurut John P. Kotter (1996: 101-116) terdapat


delapan langkah yang diperlukan dalam pemberdayaan untuk aksi yang
lebih luas. Delapan langkah tersebut yaitu: Langkah pertama, menciptakan
perasaan terdesak (sense of urgency) di antara orang-
orang yang mempunyai relevansi dengan usaha perubahan. Karena terlalu
banyak rasa puas, rasa takut atau kemarahan telah membuyarkan usaha
perubahan. Sebuah perasaan terdesak bila disiapkan dengan menggunakan
cara yang amat kreatif membuat orang-orang dapat bergerak keluar dari
cangkang dan siap beraksi untuk melakukan perubahan;
Langkah kedua, membentuk tim pemandu (guiding team). Tim
yang memiliki kredibilitas, keahlian, koneksi reputasi dan wewenang
formal sangat diperlukan dalam sebuah kepemimpinan perubahan. Tim ini
harus belajar beroperasi sebagaimana tim-tim bagus lainnya, dengan saling
memercayai dan memiliki komitmen emosional;
Langkah ketiga, tim pemandu menciptakan kebijakan yang masuk
akal, jelas, sederhana mengangkat visi-visi dan serangkaian strategi. Dalam
banyak kasus yang sering dihadapi organisasi yang tidak berhasil, staregi-
straegi yang digunakan seringkali bersifat terlalu lamban dan hati-hati
sehingga tidak sesuai dengan pergerakan cepat dunia;

Langkah keempat, mengkomunikasikan visi dan strategi. Pesan


yang amat sederhana dan menyentuh yang disalurkan melalui komunikasi
yang baik dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi organisasi.
Tujuan kegiatan ini adalah untuk menimbulkan pemahaman, mendorong
komitmen berani dan memompa energi yang lebih banyak dari sekelompok
orang. Dalam konteks ini tindakan lebih penting daripada kata-kata;
Langkah kelima, usaha pemberdayaan (empowerment). Halangan
utama yang menghalangi orang-orang untuk bertindak berdasarkan visi
bisa disingkirkan. Para pemimpin perubahan berfokus kepada para bos
yang tidak memberdayakan, informasi yang tidak memadai dan perasaan
kurang percaya diri dari para karyawan. Yang menjadi persoalan adalah
bagaimana menyingkirkan penghalang bukannya memberikan kekuasaan;
Langkah keenam, membuat kemenangan jangka pendek (short-term
wins). Kemenangan-kemenangan ini sangatlah penting. Mereka akan
memberikan kredibilitas, sumberdaya dan momentum yang berguna untuk
usaha perubahan secara menyeluruh;
Langkah ketujuh, tidak pernah mengendur. Para pemimpin
perubahan tidak pernah mengendur. Momentum dibangun setelah
kemenangan pertama. Perubahan-perubahan awal dikonsulidasikan. Perlu
dikaukan identifikasi secara jeli apa yang diperlukan untuk langkah
berikut; dan
Langkah kedelapan, membangun kultur baru. Para pemimpin
pemimpin perubahan di seluruh organisasi membuat perubahan bersifat
tetap dengan membangun kultur baru. Kultur baru ini merupakan
sekelompok norma perilaku dan dinilai-nilai yang diakui bersama-sama
dan berkembang melalui konsistensi dari keberhasilan tindakan sepangjang
periode waktu yang cukup. Dengan delapan langkah tersebut
pemberdayaan diharapkan dapat memberikan perubahan yang berarti dan
bermanfaat bagi perbaikan organisasi maupun lembaga.

Penutup
Secara historis, kehadiran madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional
turut memberikan kontribusi nyata bagi terciptanya tujuan pendidikan nasional.
Namun demikian, madrasah masih dihadapkan dengan berbagai permasalahan
yang secara nyata perlu pemecahan. Masih belum optimalnya pemanfaatan
sumber daya manusia yang dimiliki madrasah, minimnya jaringan kemitraan
yang dimiliki madrasah dan lemahnya kepemimpinan kepala madrasah
merupakan problem internal yang datang dari madrasah sendiri. Sementara itu
problem eksternalnya adalah pembinaan yang diberikan kepada madrasah
masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan umum.
Oleh sebab itu, madrasah perlu diberdayakan sehingga memiliki kemampuan
untuk memperbaiki mutu pendidikannya secara mandiri.

Daftar Pustaka

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; tradisi dan modernisasi menuju millennium


baru, (Ciputat: Logos, 2000)

Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementrian Agama RI, Peningkatan


Manajemen Melaui Penguatan Tata Kelola dan Akuntabilitas di
Sekolah/ Madrasah ( Jakarta: BOS, 2011)

Kotter, John. P & Cohen, S.. The heart of change. (Deloitte consulting
LLC, 2002) Mahfud, Sahal, Dinamika pesantren dan madrasah.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) Mastuhu. Memberdayakan sistem
pendidikan Islam. (Ciputat: Logos, 1999)

Muhaimin, Wacana pengembangan pendidikan Islam.(Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2004)

-------------. Pengembangan kurikulum agama Islam di sekolah, madrasah dan


perguruan tinggi.

(Jakarta: Rajawali Pers, 2005)


Nuryatno, Agus, Mazhab Pendidikan Kritis (Yogyakarta: Resist Book, 2008)

Pranarka & Moeljarto, Vidhyandika. Pemberdayaan (empowering). (Jakarta:


CSIS, 1996)
Rosyada, Dede. Paradigma pendidikan demokratis: Sebuah model pelibatan
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.( Jakarta: Kencana,
2007)

Suharto, Edi. Membangun masyarakat memberdayakan rakyat: Kajian


strategis pembangunan kesejahteraan sosial& pekerjaan sosial.
(Bandung: Refika Aditama, 2009)

Tilaar, H.A.R. Membenahi Pendidikan Nasional ( Bandung: Rineka Cipta, 2009)

-------------. Paradigma Baru Pendidikan Nasional (Bandung: Rineka Cipta, 2004)

Anda mungkin juga menyukai