Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah


Akibat dari paradigma yang sekuler, pengetahuan modern (barat)
menjadi kering, bahkan terpisah dari nilai-nilai tauhid dan theologis. Demi
menjaga identitas keislaman dalam persaingan budaya global, para ilmuan
muslim bersikap defensive dengan mengambil posisi muslim konservatif-
statis, yakni dengan melarang segala bentuk inokasi dan mengedapankan
ketaatan fanatik terhadap syari’ah yang dianggap telah final. Mereka
melupakan sumber kreativitas yakni ijtihad, bahkan menenangkan
ketetutupannya.
Dunia modern saat ini mengukir kisah kejayaan manusia secara materi
dan kaya akan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun modernitas ini
agaknya tidak didukung dengan keteguhan hati nurani sehingga banyak
manusia modern tersesat dalam kemajuan dan kemodernannya. Manusia
modern memang mampu membangun impian kehidupan menjadi kenyataan,
namun kemudian mereka menghancurkannya dengan tangannya sendiri.
Sebagaimana al Qur’an mengibaratkan seorang perempuan yang menenun
kain dengan tangannya, lalu kemudian mencabik-cabiknya kembali dengan
tangannya.
Para sosiolog berpendapat telah terjadi kerusakan dalam jalinan struktur
perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat, pertama terjadi pada level
pribadi (individu) yang berkaitan dengan motif, persepsi dan respons
(tanggapan), termasuk di dalamnya konflik status dan peran. Level kedua,
berkenaan dengan norma, yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah
yang menjadi patokan kehidupan berperilaku (normlessnes). Level ketiga,
pada level kebudayaan, krisis itu berkenaan dengan pergeseran nilai dan
pengetahuan masyarakat. Artinya, nilai-nilai pengetahuan yang bersifat
material tumbuh pesat melampaui hal-hal yang bersifat spiritual, sehingga
masyarakat kehilangan keseimbangan. Modernisme telah mengakibatkan
nilai-nilai luhur yang pernah dimiliki dan dipraktekkan oleh manusia kini
terendam lumpur nilai-nilai kemodernan yang lebih menonjolkan
keserakahan dan nafsu untuk menguasai.
Illustrasi krisis kemanusiaan modern ini dapat dicermati dari pelbagai
ironi dalam kehidupan sehari-hari. Munculnya pelbagai alienasi
(keterasingan) dalam kehidupan manusia. Sebagai contoh pada sebagian
masyarakat yang mulai mengingkari hakikat dirinya hanya karena
memperebutkan materi. Ada pula alienasi masyarakat, yaitu keretakan dan
kerusakan dalam hubungan antarmanusia dan antarkelompok, sehingga
mengakibatkan disintergrasi. Ada pula alienasi kesadaran, yang ditandai
dengan hilangnya keseimbangan kemanusiaan karena meletakkan rasio atau
akal pikiran sebagai satu-satunya penentu kehidupan, yang menafikan rasa
dan akal budi.
Berbagai ironi manusia modern misalnya semua berkeyakinan bahwa
hidup berdampingan dengan rukun lebih baik daripada hidup bermusuhan,
namun kenyataan bahwa banyak manusia memilih dengan hidup
bermusuhan. Berbagai rencana penciptaan perdamaian dunia pun dibuat,
yang ironisnya hal ini dilakukan dengan menciptakan peralatan perang
tercanggih dan paling mematikan sepanjang sejarah kehidupan manusia.
Krisis kemanusiaan manusia modern ini berakar pada dimensi sistem
kemasyarakatan dan ideologi dari kebudayaan modern yang kini dominan di
hampir setiap penjuru dunia. Suatu sistem kehidupan yang serba saling
bertentangan di dalam dirinya dan mengabaikan jati diri manusia. Pusat
petaka itu adalah kebudayaan materi dalam alam pikiran Humanisme-
antroposentris, yang menafikan kehadiran agama, yang lahir di saat awal
kemunduran kebudayaan Islam dan masa Renaissance di Eropa Barat.
Perkembangan aliran Humanisme-antroposentri ini sangat kuat,
terutama dalam perlawanannya terhadap pikiran teosentris. Sehingga terdapat
kemungkinan adanya suatu pengaruh antitesis secara ekstrim yang
mengakibatkan perkembangan humanisme-antroposentris ini sangat menolak
paham teosentris. Nilai-nilai seperti individualisme, kebebasan, persaudaraan,
dan kesamaan adalah mainstream paham ini.
Krisis kemanusiaan yang oleh banyak pihak diyakini sebagai anak
kandung dari Modernisme tidak juga mendapatkan jalan keluarnya dengan
munculnya postmodernisme. Akhirnya, banyak pihak mencoba menoleh
kembali kepada agama.
Masalah yang dihadapi umat Islam adalah terjadinya dikotomi
pendidikan Islam dengan pengetahuan modern yang berasal dari Barat. Barat
telah mengklaim bahwa pendidikan Barat adalah pendidikan yang paling
maju serta memiliki solusi terhadap berbagai masalah manusia dan alam.
Banyak sarjana-sarjana muslim yang belajar di Barat tidak memiliki otonomi
keilmuan tersendiri karena tidak diberi oleh Barat dalam konteks mandiri.
Sarjana-sarjana itu hanya dapat berbuat hasil-hasil jiplakan dari para ahli
Barat. Hal ini disebabkan kekhawatiran mereka akan terjadinya transformasi
ilmu pengetahuan ke dunia Islam.
Setelah tasawuf dan thariqat memasuki dunia Islam seolah-olah pintu
ijtihad sudah tertutup, pendidikan Islam kurang menerima inovasi, arahan
dari kurikulum pendidikan yang bersifat tradisional mengacu hanya pada hal-
hal yang bersifat syari'ah, seolah-olah pengetahuan eksakta seperti astronomi,
fisika, kimia kedokteran dan lain-lain sebagainya yang telah dipunyai dunia
Islam zaman klasik terabaikan. Hal ini disebabkan tradisi kebudayaan Islam
di dalam kurikulum pendidikan tidak lagi dijadikan mata kuliah wajib di
perguruan tinggi di madrasah-madrasah sedangkan tradisi Barat di ajarkan
dengan konsisten dan penuh keseriusan merupakan bagian dari program inti
yang diwajibkan, hal inilah yang mendorong AI-Faruqi mengetengahkan ide
Islamisasi ilmu pengetahuan.
Sikap keilmuan muslim tersebut pada akhirnya bisa menimbulkan
pemisahan wahyu dari akal, pemisahan pemikian dari aksi dan pemisahan
pikiran dari kultur, bahkan menimbulkakn stagnasi keilmuan dikalangan
mereka. Sehingga dampak negatif dari model keilmuan islam sendiri tidak
kalah membahayakan dibanding sains barat. Oleh Karena itu, perlu usaha
untuk mempertemukan kelebihan diantara keduanya. Sehingga lahir keilmuan
baru yang modern tetapi tetap bersifat religius dan bernafaskan tauhid.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi seorang tokoh filosof muslim (Ismail Raji Al-
Faruqi)?
2.  Bagaimana konsep pendidikan Ismail Raji Al-Faruqi ?
3. Apa saja kontribusi Ismail Raji Al-Faruqi ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui biografi Ismail Raji Al-Faruqi
2. Untuk mengetahui konsep pendidikan Ismail Raji Al-Faruqi
3. Untuk mengetahui apa saja kontribusi Ismail Raji Al-Faruqi
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Ismail Raji Al-Faruqi


Ismail Raji Al-Faruqi lahir pada tanggal 1 januari 1921 di Jaffa,
Palestina.[1] Ayahnya seorang qodi di palestina. Pengalaman pendidikanya di
awali dari pendidikan madrasah di desa kelahirannya (college des ferese),
Libanon yang menggunakan bahasa prancis sebagai bahasa pengantarnya,
predikat sarjana muda diperolehnya dari Amerika university, Bairut jurusan
filsafat pada tahun 1941 Ismail Raji Al-Faruqi  pernah menjadi pegawai negeri
selama empat tahun di palestina yang ketika itu masih dalam status mandat
Inggris. Karir birokrasi Ismail Raji Al-Faruqi pernah mencapai jabatan sebagai
gubenur di Galilela, Palestina pada usia 24 tahun. Namun jabatan ini tidak
lama karena pada tahun 1947 propinsi tersebut jatuh ke tangan Israel, sehingga
ia pindah ke Amerika serikat pada tahun 1948. [2] Pada tahun 1949 Ismail Raji
Al-Faruqi melanjutkan studinya di Universitas Indian sampai meraih gelar
master dalam bidang filsafat. Dua tahun kemudian ia meraih gelar master
kedua dalam bidang yang sama dari universitas Harvard. Pada tahun 1952 ia
meraih gelar Ph. D dari Universitas Indian dengan disertasi berjudul “Tentang
Pembenahan Tuhan: Metafisika dan Epistimologi nilai”. [3] Namun apa yang ia
capai tidak memuaskan, karena itu ia kemudian pergi ke Mesir untuk lebih
mendalam ilmu keislaman di universitas Al-Azhar Kairo. Ismail Raji Al-
Faruqi mulai mengajar di Mcbill University, Kanada pada tahun 1959. Pada
tahun 1961-1963 ia pindah ke Karachi Pakistan untuk ikut bagian dalam
kegiatan Centeral Intitute For Islame Researh dan jurnalnya Islamic Studies.
Tahun 1968 ia pindah ke temple university Philadelpia sebagai guru besar
agama dan mendirikan pusat kajian islam.

[ 1]
  Drs. Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam,
Bandung: PT Raja Gravindo Persada, 1998, hal. 262
[ 2]
Abdurrahmansyah, Wacana Pendidikan Islam Khazanah Filosofis dan Implementasi
Kuriulum, Metodologi dan Tantangan Pendidikan Moralitas, Yogyakarta: Global Pustaka,
Utama, 2004. hal, 60
[ 3]
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan
Pemikirannya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1994, hal 153 
Tugas pertama yang diemban Al-Faruqi adalah sebagai bagian
Pencatat pada Masyarakat Kerjasama (Registrar of Cooperative Societies)
pada tahun 1942 dibawah penugasan dari pemerintahan Inggris di Jerusalem
yang mengantarkannya sebagai Gubernur Distrik Galilee pada tahun 1948.
Ketika Israel menjadi Negara Yahudi pada 1948, Al-Faruqi untuk pertama
kalinya bermigrasi ke Beirut, Lebanon, dimana dia belajar pada American
University of Beirut, kemudian tahun berikutnya di Pasca Sarjana Indiana
University School of Arts and Sciences, dan menyelesaikan gelar M.A. pada
bidang Filsafat pada tahun 1949. Selanjutnya Ia diterima masuk di universitas
Harvard pada Fakultas Filsafat dan memperoleh gelas M.A yang kedua pada
bidang Filsafat pada tahun 1951, dengan judul thesis Justifying the Good:
Metaphysics and Epistemology of Value. Kemudian ia memutuskan untuk
kembali ke Indiana University; Dia menyelesaikan Thesis pada Fakultas
Filsafat dan menerima gelar Doktor pada bulan September 1952. Bisa
dipahami bahwa ia memiliki pemahaman yang mendalam dengan latar
belakang filsafat klasik dan perkembangan pemikiran tradisional di Barat.
Pada awal tahun 1953, Ia dan istrinya berada di Syria. Kemudian Ia pindah ke
Mesir dimana ia belajar di Universitas Al-Azhar (1954-1958) dan memperoleh
gelar doktor yang kedua kalinya.
Hidup Ismail Raji Al-Faruqi berahir tragis setelah ia dan isterinya
dibunuh pembunuh gelap di rumahnya di Philadelphia pada tanggal 27 Mei
1986. beberapa penganut menduga bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh
Zionis Yahudi karena proyek Ismail Raji Al-Faruqi yang demikian inten untuk
kemajuan islam.[4]     Ismail Raji al-Faruqi lahir di Yaifa (Palestina) pada
tanggal 1 Januari 1921 dan meninggal dunia pada tanggal 24 Mei 1986.
Pendidikan dasarnya dilalui di College Des Frese, Libanon sejak 1926 sampai
1936. Kemudian dia memperoleh gelar BA pada tahun 1941 di The American
University, Beirut. Sedangkan gelar masternya diraih di Indiana dan pada
tahun 1952 dia mencapai gelar doktoral (Phd.) dari Universitas Indiana,

[ 4]
Dian Safuddin, Pemikiran Modern dan Post Modern Islam (Biografi Inteleqtual 17
Tokoh), Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003, hal. 157-158
Harvard. Meskipun al-Faruqi berhasil menyelesaikan gelar doktoral dalam
filsafat Barat, dikarenakan langkanya kesempatan kerja dan juga dorongan
batin, membawanya kembali ke akar dan warisan kecendekiawanan islamnya.
Dia meninggalkan Amerika menuju Kairo.
Ismail R. al-Faruqi memulai karir profesionalnya sebagai guru besar
sudi Islam pada Institut Pusat Riset Islam di Karachi dari tahun 1961 sampai
1963. Selama setahun berikutnya setelah dia kembali ke Amerika, al-Faruqi
menjadi guru besar tamu dalam bidang sejarah agama di Universitas Chicago.
Pada tahun 1964, al-Faruqi memperoleh posisi permanen penuh pertamanya
sebagai guru besar luar biasa di Jurusan Agama pada Universitas Syracuse.
Dia akhirnya pindah ke Universitas Temple pada tahun 1968 untuk menjadi
guru besar studi Islam dan sejarah agama. Ini adalah posisi yang didudukinya
sampai dia wafat pada tahun 1986. Selain mengajar, al-Faruqi juga mendirikan
International Institute of Islamic Thought (IIIT) pada 1980 di Amerika Serikat,
sebagai bentuk nyata gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Kini lembaga
tersebut memiliki banyak cabang di berbagai Negara, termasuk di Indonesia
dan Malaysia. Sebelumnya pada tahun 1972, al-Faruqi telah mendirikan The
Association of Muslim Social Scientist. Kedua lembaga yang didirikannya itu
menerbitkan jurnal Amerika tentang Ilmu-ilmu sosial Islam.
Selama hidupnya, al-Faruqi telah menulis banyak tulisan, baik di
majalah ilmiah maupun populer, dan juga buku. Lebih dari dua puluh buku
dalam berbagai bahasa telah ditulisnya, dan tidak kurang dari seratus artikel
telah dipublikasikan. Seluruh tulisannya pada dasarnya adalah gagasan-
gagasan cerah dan teorinya untuk memperjuangkan proyek integrasi ilmu,
yang dikemas dalam bingkai besar islamisasi ilmu pengetahuan. Beberapa
karyanya adalah sebagai berikut: Christian Ethics: A Systematic and
Historical Analysis of Its Dominant Ideas, The Great Asian Religions, Sources
of  slamic Thought: Three Epistles on Tawhid by Muhammad ibn ‘Abd al
Wahhab, Islam and Culture, Islamic Thought and Culture, Islamization of
Knowledge, Tawhid: Its Implications For Thought And Life dan lainnya.
Beberapa karya penting Ismail Raji al-Faruqi sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia. Pemikiran-pemikirannya dapat diamati dari karya-karyanya
tersebut. Pemikiran-pemikirannya tentang Islam dianggap mempunyai nilai
penting, karena selain perhatiannya atas dunia dan umat Islam juga yang
terpenting adalah pembelaan atas umat Islam sungguh luar biasa. Sehingga
sepintas tergolong tokoh-tokoh yang berhaluan keras dalam menanggapi
pemikiran-pemikiran berbeda mengenai Islam.
B. Konsep Pendidikan Ismail Raji Al-Faruqi
1. Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi tentang Pendidikan
Menurut Ismail Raji Al-Faruqi, ummat islam saat ini berada dalam
keadaan yang lemah. Kemerosotan muslim dewasa ini telah menjadikan
islam pada zaman kemunduran. Dikalangan kaum muslimin berkembang
buta huruf, kebodohan dan tahayyul. Akibatnya, ummat islam awam lari
pada keyakinan yang buta, bersandar pada literalisme dan legalisme, atau
menyerahkan diri kepada syaikh (pemimpin) mereka. Dalam keadaan
seperti ini masyarakat muslim melihat kemajuan barat sebagai sesuatu yang
menganggumkan.[5]
Kemajuan yang mereka capai hanya merupakan kemajuan yang
semu, di satu pihak ummat islam telah berkenalan dengan peradaban barat
modern, tetapi di pihak lain mereka kekhilangan pijakan yang kokoh, yaitu
pedoman hidup yang bersumber dari moral agama. Oleh karena itu, ummat
islam terkesan mengambil sikap mendua, antara tradisi keislaman dan nilai-
nilai peradaban barat modern. Pandangan dualisme yang demikian ini
menjadi penyebab dari kemunduran yang dialami ummat islam, bahkan
sudah mencapai tingkat serius dan mengkhwatirkan yang disebut sebagai
“Malaisme”.
Kondisi sekarang ini, pendidikan Islam berada pada posisi
determinisme historik dan realisme. Artinya, pada sejarah awalnya
pendidikan Islam pernah mencapai puncak kejayaannya, ketika itu dunia
Islam mampu melahirkan tokoh-tokoh ilmu pengetahuan di tingkat dunia

[ 5]
  Prof. dr H. RA Mayulis, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan I slam: Mengenal Tokoh  Islam
Dunia Islam dan di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press Group, 2005, hal. 108-109
dan bersama dengan berkembang dan maju dalam peradaban Islam. Tetapi
sekarang ini, kondisi yang terjadi sebaliknya, artinya dalam realitas praktis
sekarang ini pendidikan Islam seakan-akan tidak berdaya, karena
dihadapkan dengan realitas perkembagan masyarakat industri modern. Hal
ini juga didukung dengan pandangan sebagian umat Islam yang kurang
meminati ilmu-ilmu umum dan bahkan sampai pada tingkat diharamkan.
Dalam kondisi ini, dikotomi masih sangat sangat kuat dan pelaksanaan
pendidikan Islam hanya mampu menyesuaikan diri dengan kecenderungan
pendidikan yang lebih berorientasi pada materialistis dalam segala
aspeknya dan kondisi inipun diperparah dengan kuatnya kecenderungan
sekularistik pada sistem dunia pendidikan Islam dewasa ini.
Menurut Ismail Raji Al-Faruqi menawarkan yaitu sistem pendidikan
Islam harus dipadukan dengan sistem sekuler. Perpaduan kedua sistem
pendidikan tersebut, diharapkan akan lebih banyak dapat dilakukan
daripada sekedar memakai cara-cara sistem Islam dan cara-cara otonomi
sistem sekuler. Maksudnya, pengetahuan Islam akan menjadi pengetahuan
tentang sesuatu yang langsung berhubungan dengan kehidupan sehari-hari
di dunia ini, sementara pengetahuan modern akan dapat dibawa dan
dimasukkan ke dalam kerangka sistem Islam.1[4]
Ismail Raji al-Faruqi juga berpendapat bahwa di dalam membangun
negara melalui pendidikan tapi bukanlah pendidikan sistem sekuler Barat
di negara-negara Muslim yang dilembagakan dan dikelola oleh pemerintah
yang bersangkutan. Menurutnya negara Islam tidak lahir dari sistem
pendidikan tersebut. Sedangkan pendidikan Islam yang digambarkan
menurut Ismail Raji al-Faruqi adalah Tabyîn. Tabyîn berasal dari kata kerja
bayyana (“untuk membuat benar-benar dimengerti”) yang digunakan dalam
al-Qur'an dalam kaitannya dengan mencerahkan manusia dengan
kebenaran-kebenaran Ilahi. Tabyîn merupakan perintah Allah kepada
semuanya. Dan juga merupakan kewajiban perseorangan yang Allah
wajibkan atas semua manusia.

1
Menurut Ismail Raji Al-Faruqi sebagai efek dari “Malaisme” yang
dihadapi ummat islam sebagai bahasa anak tangga terbawah,
mengakibatkan tibulnya dualisme dalam pendidikan islam dan kehidupan
ummat. Sebagai prasyarat untuk menghilangkan dualisme tersebut dan
sekaligus mencari jalan keluar dari “Malaisme” maka pengetahuan harus
diislamisasikan atau diadakan asimilasi pengetahuan agar serasi dengan
ajaran tauhid dan ajaran islam.[6]
Tauhid menurut Ismail Raji Al-Faruqi dianggap sebagai esensi
pengalaman agama seorang muslim dan bahkan identik dengan pandagan
filsafat penciptaan manusia, oleh karenanya tauhid menurut kayakinan
Ismail Raji Al-Faruqi bersifat alamiah Ismail Raji Al-Faruqi berusaha
menjadikan tauhid sebagai penggiring atas upaya praktis dalam proses
islamisasi ilmu pengetahuan, ia juga berusaha menerjemahkan nilai-nilai
qur’ani yang selalu relevan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.[7]
Perceraian sains dari nilai theologis memberikan implikasi negatif.
Pertama dalam aplikasinya sains modern melihat alam beserta hukum dan
polanya, kedua, secara metodologis, sains modern tidak terkecuali ilmu
sosial, tidak bisa diterapkan untuk memahami realitas sosial masyarakat
muslim yang mempunyai pandangan hidup berbeda dari barat.[8]    
Oleh karena itu, menurut Ismail Raji Al-Faruqi persoalan persoalan
yang cukup berkelindan  hanya bisa diselesaikan bila sistem pendidikan
islam kembali pada roh nilai-nilai ilahiyah sebagai sistem moral dan sistem
kepribadian pendidikan islam yang mengacu pada nilai tauhid. Melalui
nilai tauhid, paling tidak ada dua aspek pemahaman yang bisa
dikembangkan yaitu aspek natural (kehidupan kekinian) dan transendental
(ketuhanan).[9]  

[ 6]
  Ibid. hal. 110-111
[ 7]
  Pro. Dr. H. Syahrinharahap MA, Ensiklopedi Akidah Islam, Jakarta: Premada Media,
2005, hal. 98
[ 8]
  Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia , Jakarta: 1992, hal. 242
[ 9]
 Dr. Samsul Nizar, MA, Pengantar Dasar-dasar Pmekiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2001, hal. 26-27
Konsep islamisasi ilmu pengetahuan yang dimaksud Ismail Raji Al-
Faruqi adalah menuangkan kembali ilmu pengetahuan sebagaimana
dikehendaki oleh islam, yaitu memberikan definisi baru, mengatur data,
mengevaluasi kembali kesimpulan dan memproyeksikan kembali tujuan-
tujuannya.
Untuk melandingkan gagasannya tentang islamisasi  ilmu, Ismail Raji
Al-Faruqi meletakkan pondensi epistimologi pada prinsip tauhid yang
terdiri dari 5 macam kesatuan yaitu:
a. Keesaan (kesatuan) Tuhan, implikasinya dalam kaitannya dengan ilmu
pengetahuan, bahwa sebuah pengetahuan bukan untuk menerangkan
dan memahami realitas, melebihkan melihatnya sebagai bagian yang
integral dari eksistensi tuhan. Karena itu, islamisasi ilmu mengarahkan
pengetahuan pada kondisi analisa dan sintesa tentang hubungan realitas
yang dikaji dengan hukum tuhan 
b. Kesatuan ciptaan, bahwa semesta ini baik yang materal psikis spasial
(ruang), biologis maupun etnis adalah kesatuan yang integral. Dalam
kaitannya dengan islamisasi ilmu, maka setiap penelitian dan usaha
pengembangan keilmuan harus diarahkan sebagai refleksi dari
keimanan dan realisasi ibadah kepadanya
c. Kesatuan kebenaran dan pengetahuan, yang dirumuskan sebagai
berikut:
1) Berdasarkan wahyu, tidak boleh membuat klaim yang produksi
dengan realitas
2) Tidak adanya kontradiksi antara realitas dan wahyu, berarti tidak
satupun kontradiksi antara realitas dan wahyu tidak terpecahkan
3) Pengamatan dan penyelidikan terhadap semesta dengan bagian-
bagianya tidak pernah berahir karena pola tuhan tidak terhingga
d. Kesatuan hidup, menurut islam kehendak tuhan terdiri atas dua macam
yaitu:
a. Hubungan alam, dengan segala regualitasnya yang memungkinkan
diteliti dan diamati
b. Hukum moral yang harus dipatuhi
e. Kesatuan manusia, tata sosial islam menurut Ismail Raji Al-Faruqi
adalah universal, mencakup seluruh ummat manusia tanpa terkecuali.
Kaitanya dengan islamisasi ilmu, setiap perkembangan ilmu berdasar
dan bertujuan untuk kepentingan kemanusiaan.[10]
Islamisasi ilmu Ismail Raji Al-Faruqi dimaksudkan untuk
memberikan respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan modern
yang sekularistik dan islam yang terlalu religius dalam model pengetahuan
baru yang utuh dan integral tanpa pemisahan, namun secara rinci tujuan
yang dimksud adalah
a. Penguasaan disiplin ilmu modern
b. Penguasaan khazanah warisan islam
c. Membagun relevansi islam dengan dengan msaing-masing disiplin ilmu
modern
d. Memadukan nilai-nilai dan khazanah warisan islam secara kreatif
e. Pengarahan aliran pemikiran islam ke jalan yang mencapai pemenuhan
pola rencana Allah.[11]
2. PemIkiran Ismail Raji Al-Faruqi tentang Kurikulum
Memperbicangkan prinsip filosofis kurikulum pendidikan dikaitkan
dengan gagasan islamisasi ilmu bagi kaum Ismail Raji Al-Faruqi sangat
beralasan, karena kurikulum dalam sistem pendidikan merupakan sebuah
komponen yang menentukan keberhasilan kualitas pendidikan.
Menurut pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi mengenai reformasi
kurikulum pendidikan akan di lihat dalam konteks tawaran pemikiran yang
memiliki 3 tujuan rencana kerja islamisasi ilmu yang pernah digagasnya.
Setidaknya ada 3 prinsip pengembangan kurikulum pendidikan islam,
pertama, menguasai sains modern, kedua, menguasai warisan islam klasik,

[ 10] A. Khudori Salih M. Ag, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal.
277-280
[11] Ibid. hal. 251
ketiga, prinsip kesatuan yang harus melingkupi seluruh kajian dalam
kurikulum pendidikan islam.[12]
Melihat pandangan Ismail Raji Al-Faruqi mengenai prinsip
pengembangan kurikulum pendidikan islam, terlihat bahwa ia
menginginkan bangunan ilmuan yang integral, terpadu dan saling
melengkapi antar disiplin keislaman dan pengetahuan modern, menurut
Moh. Shafiq, salah seorang murid Ismail Raji Al-Faruqi di temple 
University ada enam tema besar yang mendasar dari pemikiran islamisasi
ilmu yang dikemkukakan Ismail Raji Al-Faruqi selain Islamizing curricula
diantaranya, pertama, paradigma islam terhadap ilmu pengetahuan, kedua,
metodologi, ketiga, metodologi yang ada hubungannya dengan kajian Al-
qur’an, keemapat, metodologi ada kaitanya dengan kajian sunnah, kelima,
metodologi yang berkaitan dengan warisan klasik islam, keenam
metodologi yang berhubugan dengan pemikiran barat kontemporer.[13]
Kurikulum pendidikan kaum muslimin harus selalu mengarah kepada
kepentingan mengembangkan sains modern dengan tetap disemangati
dengan nilai tauhid sebagai konsep dasar dan aplikasi ilmiah.
Konsekuensinya secara ekslusif adalah terjadi integrasi ilmu aqliyah dan
naqliyah yang tingkatan kualitasnya merupakan pengaruh timbal balik
antara keberhasilan rekonstruksi konsep ilmu dalam islam dengan
rekontstruksi organisasi dan kurikulum.       
C. Kontribusi Ismail Raji Al-Faruqi
Program islamisasi ilmu Ismail Raji Al-Faruqi yang menekankan
perombakan total atas keilmuan sosial barat karena dianggap bersifat eosentris,
rupanya lebih utuh, jelas dan terinci dibanding gagasan islamisasi ilmu yang
dilontarkan pemikir lain.
Hakikatnya, pendidikan merupakan upaya mewariskan nilai, yang
akan menjadi penolong dan penuntun umat manusia dalam menjalani
[ 12] Abdurrahmansyah, Pembaharuan Kurikulum Pendidikan Islam Ismail Raji Al-Faruqi,
Yogyakarta: Pustaka Global Utama, 2002, hal. 68
[ 13] Abdurrahmansyah, Wacana Pendidikan Islam Khazanah Filosofis dan Implementasi
Kurikulum, Metodologi dan Tantangan Pendidikan Moaralitas, Yogyakarta: Global Pustaka
Utama, 2004, hal, 71
kehidupan dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat
manusia. Tanpa pendidikan dapat dipastikan bahwa manusia sekarang tidak
berbeda dengan generasi manusia masa lampau. Karena itu, secara ekstrim
dapat dikatakan bahwa maju mundur atau baik buruknya peradaban suatu
masyarakat atau bangsa sangat ditentukan oleh bagaimana proses pendidikan
yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut. (Harto, 2002: 89). J. Adler
mengartikan pendidikan sebagai proses dimana semua kemauan manusia
(bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh
pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui
sarana yang secara artistik dibuat dan dipakai oleh siapapun untuk membantu
orang lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan yaitu
kebiasaan yang baik. (Arifin, 1994: 12).
Bila dilihat dari perspektif Pendidikan Islam, pendidikan dapat
diartikan sebagai upaya menjadikan manusia sebagai khalifatullah fil Ardh
yang tetap dalam keadaan menghambakan diri kepada Allah. Hal ini terlihat
pada definisi yang diberikan para ahli. Seperti Omar Muhammad al-Toumy al-
Syaebani, misalnya mengartikan pendidikan Islam sebagai usaha mengubah
tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan
kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses
kependidikan, perubahan itu dilandasi dengan nilai-nilai Islam.
Dapat dipahami bahwa pendidikan Islam itu merupakan satu proses yang tidak
hanya menyangkut transfer ilmu, akan tetapi bagaimana menjadikan manusia
makhluk berakhlak dengan akhlak yang baik serta dari hasil pendidikan itu
dapat membantu kehidupan diri dan kemasyarakatannya dengan berlandasan
ajaran Islam. Faktor agama tampaknya memang tak dapat dipisahkan dari
hubungannya dengan perilaku manusia baik secara individu maupun secara
kelompok. Manusia mempunyai kebutuhan keagamaan yang instrinsik, dan
tidak dapat dijelaskan melalui sesuatu yang mengatasinya serta yang
diturunkan dari kekuatan-kekuatan supranatural. (Wahab, 2002: 110).
Pembahasan tentang doktrin Islam tentang pendidikan, penulis mencoba
memulainya dari sumber-sumber yang ada dalam Al-quran. Menurut Hasan
Langgulung, istilah pendidikan yang dalam bahasa Arab bisa dipergunakan
ta’lim sejalan dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah : 31. “Dan Allah
mengajarkan Adam segalamacam nama, kemudian Ia berkata kepada
malaikat : beritahukan Aku nama-nama semua itu jika kamu benar” (QS. Al-
Baqarah : 31) Di samping kata ta’lim, kata tarbiyah juga dipergunakan untuk
pendidikan, seperti yang temuat dalam surat Bani Israil : 24. “… Hai Tuhanku,
sangilah keduanya sebagaimana mereka mendidikku sewaktu kecil.” (QS.
Bani Israil : 24).
Para ahli berpendapat bahwa kata ta’lim hanya menrujuk kepada
pengajaran, sedangkan kata tarbiyah merujuk pada pendidikan dalam lingkup
yang lebih luas lagi. Jadi, kata tarbiyah lebih luas pengertiannya ketimbang
kata ta’lim. Lebih jauh lagi, pendidikan dalam pengertian seluas-luasnya
muncul dan kemudian berkembang seiring dengan diturunkannya Al-quran
kepada manusia melalui Nabi Muhammad Saw. Wahyu pertama sarat dengan
spirit bagaimana usaha-usaha pendidikan dimulai.
Dalam konteks masyarakat Arab, kedatangan Islam merupakan
transformasi besar. Sebab, masyarakat Arab pra-Islam pada dasarnya tidak
mempunyai sistem pendidikan formal. Dari segi historis, salah satu tugas dari
Nabi Muhammad adalah melaksanakan pendidikan Islam terhadap umatnya.
Allah SWT telah mendidik dan mempersiapkannya untuk melaksanakan tugas
tersebut secara sempurna, malalui pengajaran, pengenalan, serta dalam
kehidupan masyarakat dan lingkungan budayanya. (Azra, 1999 : vii).
Tema pendidikan ini secara implisit dapat dipahami dari wahyu yang pertama
diturunkan kepada Nabi sebagai spirit terhadap tugas kependidikan yang
pertama dan utama yang dilakukan Nabi.
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Yang menciptakan
manusia dari gumpalan darah. Bacalah demi Tuhanmu yang paling
Pemurah. Yang mengajar dengan perantaraan kalam. Yang mengajar
manusia apa-apa yang tidak diketahui.” (Al-‘Alaq : 1 – 5).
Bertolak dari spirit di atas, Nabi Muammad mulai melaksanakan tugas
sebagai pendidik yang dimulai dari lingkungan keluarga dekatnya, kemudian
melebar ke wilayah sosial yang lebih luas lagi. Mahmud Yunus, dalam
bukunya “Sejarah Pendidikan Islam,” menuliskan bahwa pendidikan Islam
pada fase ini meliputi empat hal : Pertama, pendidikan kegamaan, yaitu
hendaklah membaca dengan nama Allah semata-mata, jangan dipersekutukan
dengan nama berhala, karena Tuhan itu Maha Besar dan Maha Pemurah.
Sebab itu hendaklah dienyahkan berhala itu sejauh-jaunya.
Kedua, pendidikan akaliyah dan ilmiah, yaitu mempelajari kejadian manusia
dari segumpal darah dan kejadian alam semesta. Allah akan mengajarkan
demikian itu kepada orang-orang yang mau menyelidiki dan membahasnya.
Sedangkan mereka dahulu belum mengetahuinya. Untuk mempelajari hal-hal
itu haruslah dengan banyak membaca dan meyelidiki serta memakai pena
untuk mencatat. Ketiga, pendidikan akhlak dan budi pekerti, Nabi Muhammad
Saw Mengajar sahabatnya agar berakhlak baik sesuai dengan ajaran tauhid.
Keempat, pendidikan jasmani (kesehatan), yaitu mementingkan kebersihan
pakaian, badan dan tempat kediaman. (Zuhairini , 2000 : 18-50)
Oleh karena Al-quran memuat sejumlah dasar umum pendidikan, maka Al-
quran sendiri pada prinsipnya dapat dikatakan sebagai pedoman normatif-
teoritis dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Ayat-ayat yang tertuang dalam
Al-quran merupakan prinsip dasar yang kemudian diterjemahkan oleh para
ahli menjadi suatu rumusan pendidikan Islam yang dapat mengantarkan pada
tujuan pendidikan yang sebenarnya.
Secara eksplisit, percakapan dalam Al-quran tentang pendidikan sudah
pasti melabar kepada pujian Al-quran terhadap orang-orang beriman dan
kepada ilmu-ilmu itu sendiri. “Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di atara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat.” (Al-Mujadalah : 11)
Pada kenyataanya, struktur dari peradaban Islam, dari semenjak
perkembagan Islam paling awal secara keseluruhan berasal dari spirit Al-quran
di samping konsep-konsep ilmu yang ada dalam Al-quran. Kemudian prinsip
ini dijadikan sebagai Weltanschauung yang melatarbelakangi keberadaan
manusia secara global dan diinspirasikan dari era bagaimana konsep ilmu itu
didefinisikan. Lebih dari itu, konsep serupa ini memformulasikan model
pikiran dan penelitian yang dilakukan oleh umat Islam dalam rangka melihat
realitas mengembangkan masyaraka yang tentunya lewat usaha-usaha
pendidikan. Konsep ilmu sendiri yang termuat dalam Al-quran seperti
dinyatakan Ziaudding Sadar adalah sebuah nilai yang menakala dipahami
dengan baik dari bingkai Islam, akan melahirkan sesuatu mengenai konsep
Islam itu sendiri. Tidak kurang dari 1200 definisi telah dibuat oleh para ahli
dan menjadi tema utama para penulis besar, seperti al-Kindi, al-Farabi, al-
Biruni dan Ibnu Khaldun.“Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama
(benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para
Malaikat lalu berfirman. ‘Sebutkanlah kepadaKu nama benda-benda itu jika
kamu memang orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah : 31).
Di sini dapat dipahami bahwa ayat di atas merupakan kunci ayat yang
berkaitan dengan ilmu. Imam al-Gahazali menafsirkan bahwa nama-nama
(asma) adalah sejumlah contoh, Ibnu Abbas sendiri menafsirkan bahwa Adam
telah diajarkan semua nama yang baik maupun yang buruk. Bagaimanapun
ayat di atas juga dapat dipahami dengan pendekatan subjek dengan objeknya.
Sebab “penyebutan nama” berkaitan dengan “nama yang disebut” sebagai
objeknya. Di sinilah prinsip pendidikan juga berasal, sebab kata asma juga
berarti sebagai bentuk ilmu yang dapat dipahami dengan jalan pengajaran
(‘allama). Setidaknya, ayat di atas sudah memberikan jalan bagi umat manusia
bagaimana ilmu itu dapat diperoleh. Seperti halnya Al-quran, Sunnah juga
memberikan rambu-rambu tentang pentingnya pendidikan. Konsepsi dasar
pendidikan yang dicetuskan Nabi Muhammad Saw menurut Muhaimin
memiliki enam corak. Pertama, disampaikan sebagai “rahmat li al’alamin yang
ruang lingkupnya tidak hanya sebatas manusia, tetapi juga makhluk biotik dan
abiotik lainnya. Kedua, disampaikan secara universal, mencakup dimensi
kehidupan apapun yang berguna untuk kegembiraan dan peringatan bagi
umatnya. Ketiga, apa yang disampaikan merupakan kebenaran mutlak dan
keotentikan kebenaran itu terus terjadi. Kempat, kehadiran Nabi sebagai
evaluator yang mampu mengawasi dan terus bertanggung jawab atas aktivitas
pendidikan. Kelima, prilaku Nabi tercermin sebagai uswatun hasanah, yaitu
sebuah figur yang meneladeni semua tindak-tanduknya karena prilakunya
terkontrol oleh Allah, sehingga hampir tidak pernah melakukan kesalahan.
Keenam, masalah teknis-praktis dalam pelaksanaan pendidikan Islam
diserahkan penuh pada umat.
Secara sederhana para ahli pendidikan Islam mencoba
mengembangkan konsep-konsepnya dari kedua sumber ini, yaitu Al-quran dan
Sunnah sebagai dasar ideal pendidikan Islam. Dasar ideal ini kemudian yang
menjadi akar pendidikan sebagai sumber nilai kebenaran dan kekuatan. Nilai-
nilai yang dipahami dari Al-quran dan Sunnah ini adalah cermin nilai yang
universal yang dapat dioprasionalkan ke berbagai sisi kehidupan umat
sekaligus sebagai standar nilai dalam mengevaluasi jalannya kegiatan
pendidikan Islam. (Azra, 1999 : 7).
Juga dengan jelas dipahami bahwa ilmu sangat tinggi kedudukannya
dalam Islam. Untuk mamahami ilmu, manusia dituntut menggunakan
pikirannya, belajar dan memahaminya. Dalam pendidikan, ilmu adalah hal
yang paling esensial. Pada intinya, pendidikan dalam Islam sangat utama dan
penting bagi kehidupan manusia. Dari kedua ajaran islam, Al-quran dan
Sunnah, banyak dikemukakan fenomena alam dan sosial yang masih belum
terungkap dan menantang umat Islam untuk terus belajar agar mereka giat
melakukan pengkajian dan dapat melahirkan ilmu-ilmu baru sebagai hasil dari
penafsiran Al-quran dan sunnah.
Seperti ditulis Hanun Asrohah, selain Al-quran dan Sunnah yang
secara jelas menyerukan umat Islam untuk belajar, ada empat aspek lain yang
mendorong umat Islam untuk senantiasa belajar, sehingga pendidikan selalu
menjadi perhatian umat Islam. “Aspek itu adalah bahwa Islam memiliki Al-
quran sebagai sumber kehendak Tuhan.” (Asrohah, 1999 : 7). Artinya,
motivasi pendidikan secara doktrinal memang sudah menjadi bagian dari
ajaran Islam, sehingga perjalanan umat Islam selalu berpedoman pada kedua
sumber ini sebagai ajaran dan sebgai spirit kependidikan sekaligus.
Penting untuk dicatat, bahwa ajaran untuk mencari ilmu pengetahuan dalam
semangat doktrin Islam tidak hanya dikhususkan pada ilmu agama saja dalam
pengertian yang sempit. Labih dari itu, Islam menganjurkan umatnya menuntut
ilmu dalam pengertian yang seluas-luasnya yang mencakup, meminjam istilah
al-Ghazali, ilmu syar ‘iyyah dan ilmu ghairu syar ‘iyyah. (Abidin, 1998 : 44-
45). Ilmu syar ‘iyya adalah ilmu yang berasal dari para Nabi dan wajib dileluti
oleh setiap muslim. Di luar ilmu-ilmu ytang bersumber dari para nabi tersebut,
al-Ghazali mengelompokkan ke dalam kategiri ghairu syar ‘iyyah. Lepas dari
pengelompokan ilmu yang disebut al-Ghazali, ilmu apapun penting untuk
dicapai selama tidak membawa kemadaratan bagi kehidupan manusia dan
destruktif. Karenanya, dalam Islam terdapat hubungan erat antara ilmu-ilmu
syar ‘iyyah dengan ilmu-ilmu gharu syar ‘iyyah. Dan sebaliknya, Islam tidak
mengenal adanya keterpisahan di antara ilmu-ilmu. Dengan kata lian, Islam
menganjurkan agar umatnya mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan,
baik yang bersumber dari Al-quran dan Sunnah maupun pada akal asalkan
membawa manfaat bagi kehidupan manusia di dunia ini. adanya kategori syar
‘iyyah dan ghair syar ‘iyyah, seperti yan disebut al-Ghazali, tidak
dimaksudkan sebagai keterpisahan, sebab bila dipahami secara dikotomi, maka
dengan sendirinya akan mendistorsi makma Islam yang universal, sebagai
rahmat bagi seluruh alam semesta. Dari ketiga konsep diatas, terlihat
hubungan antara tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Ketiga konsep tersebut
menunjukkan hubungan teologis (nilai tauhid) dan teleologis (tujuan) dalam
pendidikan Islam sesuai al-Qur’an yaitu membentuk akhlak al-karimah.
Langkah islamisasi ilmu yang diberikan dan kritiknya terhadap realitas
pendidikan islam juga merupakan sumbangan besar dan manfaat bagi
perombakan sistem pendidikan islam.[14]
Dalam bidang perbandingan agama. Kontribusi pemikiran Ismail Raji
Al-Faruqi tidak kecil karyanya A. Historical atlas of religion of the world
(Atlas historis agama dunia) oleh banyak kalangan dipandang sebagai buku
standard dalam bidang tersebut, dalam karya-karya itulah, dia selalu

[ 14] A. Khudari Shalih, Mag, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal.
288-290
memaparkan pemikiran ilmiahnya untuk mencapai saling pengertian antar
ummat beragama dan pemahaman inteleqtual terhadap agama-agama lain.
Baginya ilmu perbandingan agama berguna untuk membersihkan semua
bentuk prasangka dan salah pengertian untuk membangun persahabatan antara
sesama manusia.[15]
Sebagai seorang pemikir, cedikiawan dan filosof, aktivitas ilmiahnya
yang tinggi telah melahirkan sejumlah karya tulis. Beberapa karya penting
Ismail Raji Al-Faruqi sudah diterjemamhkan ke dalam bahasa Indonesia,
karena perhatiannya atas dunia dan ummat islam, yang terpenting adalah
pembelaan atas islam.
Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi tentang islamisasi pengetahuan
mengilhami para cendikiawan di Indonesia. Tiga Universitas Islam, yaitu
Universitas Ibn Kholdun Bogor, Universitas Islam Bandung, Universitas Islam
As-Syafi’iyah, Jakarta,  dan Universitas Islam Bandung pernah menjalin kerja
sama dalam membuat proyek islamisasi sains yang salah satu pengagasnya
adalah Dr. A.M. Saefuddin.[16]  

BAB III
PENUTUP

[ 15] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakar sampai Nashr dan Qardhawi, Jakarta:
PT. Mizan Publika, 2003, hal. 78
[ 16] Akhmad Taufik. M. Pd, Sejarah Pemikran dan Tokoh Modernisme Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005, hal. 195-196
Ismail Raji Al-Faruqi merupakan tokoh filsafat yang mempengaruhi
kebangkitan islam dalam bidang inteleqtual. Ia amat produktif menulis dan tema
tulisannya berkisar dalam bidang filsafat dan pemikiran. Karena gagasan
keislamannya tampak bebas dari segala pengaruh madzhab manapun, banyak
yang menyebut Ismail Raji Al-Faruqi sebagai pemikir neosalisme. Ia penganut
paham islam murni berdasarkan Qur’an dan Sunnah dengan penafsiran modern
dan kontekstual.
Proyek islamisasi sains Ismail Raji Al-Faruqi telah memberikan pengaruh
pada para pemikir islam di Indionesia, dimana dalam program islamisasi ilmu
Ismail Raji Al-Faruqi menekankan perombakan total atas keilmuan sosial barat
karena dianggap bersifat Eurosentris yang mana bersifat lebih utuh, jelas dan
terinci dibanding dengan islamisasi ilmu yang dilontarkan pemikir lain.
Gagasan Ismail Raji Al-Faruqi secara diam-diam telah menumbuhkan
semangat untuk memperbincangkan nasib dan masa depan kaum muslim di
tengah-tengah supremasi dan superioritas bangsa barat. Kaum muslim
memerlukan energi kolektif untuk penerapan sistem pendidikan islam yang sangat
dibanggakan. 

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahmansyah. Wacana Pendidikan Islam Khazanah Filosofis dan
Implementasi Kuriulum, Metodologi dan Tantangan Pendidikan
Moralitas, Yogyakarta: Global Pustaka, Utama, 2004

Abdurrahmansyah. Pembaharuan Kurikulum Pendidikan Islam Ismail Raji Al-


Faruqi, Yogyakarta: Pustaka Global Utama, 2002

Harahap, Syahrin. Ensiklopedi Akidah Islam, Jakarta: Premada Media, 2005

Jalaluddin dan Said Usman. Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan


Perkembangan Pemikirannya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
1994

Mayulis, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan I slam (Mengenal Tokoh  Islam Dunia


Islam dan di Indonesia), Jakarta: Ciputat Press Group, 2005

Nasution, Harun. Ensiklopedi Islam Indonesia , Jakarta: Jambatan 1992

Nizar, Samsul. Pengantar Dasar-dasar Pmekiran Pendidikan Islam, Jakarta:


Gaya Media Pratama, 2001

Salih, Khudori. Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004

Safuddin, Dian. Pemikiran Modern dan Post Modern Islam (Biografi Inteleqtual
Tokoh), Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003

Sani, Abdul. Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam,


Bandung: PT Raja Gravindo Persada, 1998

Sucipto, Hery. Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakar sampai Nashr dan
Qardhawi, Jakarta: PT. Mizan Publika, 2003

Taufik, Ahmad. Sejarah Pemikran dan Tokoh Modernisme Islam, Jakarta: PT


Raja Grafindo Persada, 2005

Anda mungkin juga menyukai