Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PARADIGMA MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


(ANTARA IDEALITA DAN REALITA)

DOSEN PENGAMPU : M. AINUL YAQIN S.Ag M.Pd.I

AHMAD NUR HUDA

NIM : 182501012

INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA (IAINU) TUBAN

FAKULTAS TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

2021
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR...................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................1
C. Tujuan Penulisan................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Apa yang dimaksud dengan paradigm


B. Bagaimana paradigma ilmu pendidikan islam

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ........................................................................................
B. Saran – saran......................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Islam, agama yang kita anut dan dianut milyaran manusia di seluruh dunia, merupakan
way of life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di akhirat kelak. Ia
mempunyai satu sendi utama yang esensial: Berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-
baiknya. Allah berfirman,
” Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya.” (QS.
17:9).
Kita yakini sepenuh hati, bahwa konsep apapun di dalam Islam akan membawa pada
kemaslahatan hidup di dunia dan jaminan kebahagiaan di akhirat, termasuk konsep Pendidikan.
Berbicara tentang paradigma,  tidak terlepas dari aspek epistemologi, dalam filsafat ilmu
yang disebut juga dengan istilah teori pengetahuan. Epistemologi memiliki obyek telaah yang
bersifat penjelas atas proses terbentuknya ilmu pengetahuan yang memunculkan pertanyaan-
pertanyaan utama seperti; Bagaimana sesuatu itu datang? Bagaimana kita mengetahuinya?
Bagaimana membedakannya dengan yang lain? Dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan
semacam ini adalah bentuk penegasan tentang hubungan sesuatu dengan situasi dan kondisi,
ruang serta waktu.[1]

B.     Rumusan masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan paradigma?
2.      Bagaimana paradigma ilmu pendidikan islam?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian paradigma
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962). Paradigma
dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual atau model yang dengannya seorang ilmuwan
bekerja (a conceptual framework or model within which a scientist works).[2] Ia adalah
seperangkat asumsi-asumsi dasar yang menggariskan semesta partikular dari penemuan ilmiah,
menspesifikasi beragam konsep-konsep yang dapat dianggap absah maupun metode-metode
yang dipergunakan untuk mengumpulkan dan menginterpretasikan data. Tegasnya setiap
keputusan tentang apa yang menyusun data atau observasi ilmiah dibuat dalam bangun suatu
paradigma.[3]
Robert Friedrichs, yang mempopulerkan istilah paradigma (1970), berpendapat,
paradigma sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang
menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari.[4] Pengertian lain dikemukakan oleh
George Ritzer (1980), dengan menyatukan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari
para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh
salahsatu cabang/disiplin ilmu pengetahuan.
Kuntowijoya mengutip pendapat beberapa tokoh dengan gaya bahasanya sendiri tentang
paradigma; Yang dimaksud dengan paradigma di sini, seperti yang yang difahami oleh Thomas
Kuhn bahwa pada dasarnya realitas sosial itu dikontruksi oleh Mode of Thought atau mode of
inquiry tertentu yang pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing tertentu pula.
Immanuel kant, misalnya menganggap “cara mengetahui” itu sebagai apa yang disebut skema
konseptual; Marx menamakannya sebagai ideologi; dan Wittgenstein melihatnya sebagai cagar
bahasa.[5]
Norman K.Denzin membagi paradigma kepada tiga elemen yang meliputi; epistimologi,
ontologi, dan metodologi. Epistimologi mempertanyakan tentang bagaimana cara kita
mengetahui sesuatu, dan apa hubungan anatara peneliti dengan pengetahuan. Ontologi berkaitan
dengan pertanyaan mendasar tentang hakikat realitas. Metodologi memfokuskan pada bagaimana
cara kita memperoleh pengetahuan.[6]
Dari definisi dan muatan paradigma ini, Zamroni[7] mengungkapkan tentang posisi
paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuwan untuk merumuskan berbagai hal yang berkaitan
dengan:
1.      Apa yang harus dipelajari.
2.      Persoalan-persoalan apa yang harus dijawab.
3.      Bagaimana metode untuk menjawabnya.
4.      Aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang diperoleh.
Berangkat dari hal tersebut di atas maka, Zaim Elmubarok menyimpulkan bahwa
paradigma adalah cara masing-masing orang memandang dunia, yang belum tentu cocok dengan
kenyataan. Paradigma adalah petanya, bukan wilayahnya. Paradigma adalah lensa kita, lewat
mana kita lihat segalanya, yang terbentuk oleh cara kita dibesarkan, pengalaman, serta pilihan-
pilihan.

B.     Paradigma Ilmu Pendidikan Islam


Dalam Filsafat Pendidikan Islam, Prof.Tafsir menjelaskan bahwa tujuan pendidikan
adalah “Memanusiakan manusia”. Manusia perlu dibantu agar ia berhasil menjadi manusia.
Seseorang dapat dikatakan telah menjadi manusia apabila ia telah memiliki sifat kemanusiaan.
Itu meunjukkan bahwa tidak mudah untuk menjadi manusia.[8] Maka di sini perlunya
pendidikan sebagai sarana “Pemanusiaan” tadi. Karena proyek pemanusiaan ini sangat sulit,
maka tidak bisa instan, dan asal-asalan.
Maka Bertolak dari asumsi bahwa life is education and education is life, dalam arti
pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup dan kehidupan
manusia adalah proses pendidikan (Long life education), atau konsep Islamnya pendidikan
sepanjang hayat, -Minal mahdi ila lahdi- maka pendidikan Islam pada dasarnya hendak
mngembangkan pandangan hidup Islami, yang diharapkan tercermin dalam sikap hidup dan
keterampilan hidup orang Islam. Dan hal ini sejalan dengan Tujuan Pendidikan Nasional.
Mungkinkah Islam dapat dijadikan alternatif paradigma Ilmu Pendidikan? Satu sisi
pertanyaan itu dapat dibenarkan, sebab kajian Islam selalu bertolak dari dogmatika Illahi yang
harus diyakini kebenarannya, bukan bertolak dari realitas sosio-kultur manusia, sedangkan
persoalan-persoalan pendidikan lebih merupakan persoalan praktis, empiris, dan pragmatis.
Namun di sisi lain, pertanyaan tersebut perlu dikaji ulang. Sebab, tidak semua persoalan
pendidikan dapat dijawab melalui analisis Objektif-empiris, tetapi justru membutuhkan analisis
yang bersifat aksiomatis, seperti persoalan keberadaan Tuhan, manusia, dan alam. Masalah-
masalah ini lebih mudah dikaji melalui pendekatan agama.[9]
Seperti yang sudah saya jelaskan di awal tulisan, bahwa Islam yang memiliki sifat
universal dan kosmopolit tak terbantahkan untuk bisa merambah ke ranah kehidupan apa pun,
termasuk dalam ranah pendidikan. Ketika Islam dijadikan Paradigma Ilmu Pendidikan paling
tidak berpijak pada tiga alasan:
1.       Ilmu Pendidikan sebagai ilmu humaniora tergolong ilmu normatif, karena ia terkait oleh norma-
norma tertentu. Pada taraf ini, nilai-nilai Islam sangat berkompeten untuk dijadikan norma dalam
Ilmu Pendidikan.[10] Adapun landasan normatif Islam dalam hal pendidikan, sebagai berikut:
a.       Islam meletakkan prinsip kurikulum, strategi, dan tujuan pendidikan berdasarkan aqidah Islam.
Pada aspek ini diharapkan terbentuk sumber daya manusia terdidik dengan aqliyah Islamiyah
(pola berfikir islami) dan nafsiyah islamiyah (pola sikap yang islami).
b.      Pendidikan harus diarahkan pada pengembangan keimanan, sehingga melahirkan amal shaleh
dan ilmu yang bermanfaat. Prinsip ini mengajarkan pula bahwa di dalam Islam yang menjadi
pokok perhatian bukanlah kuantitas, tetapi kualitas pendidikan. Perhatikan bagaimana Al Quran
mengungkapkan tentang ahsanu amalan atau amalan shalihan (amal yang terbaik atau amal
shaleh).
c.       Pendidikan ditujukan dalam kaitan untuk membangkitkan dan mengarahkan potensi-potensi
baik yang ada pada diri setiap manusia selaras dengan fitrah manusia dan meminimalisir aspek
yang buruknya
d.      Keteladanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu proses pendidikan. Dengan
demikian sentral keteladanan yang harus diikuti adalah Rasulullah saw. Dengan demikian
Rasulullah saw. merupakan figur sentral keteladanan bagi manusia. Al quran mengungkapkan
bahwa “Sungguh pada diri Rasul itu terdapat uswah (teladan) yang terbaik bagi orang-orang
yang berharap bertemu dengan Allah dan hari akhirat”.[11]
2.      Alasan kedua adalah, dalam menganalisis masalah pendidikan, para ahli selama ini cenderung
mengambil teori-teori dan falsafah Pendidikan Barat. Falsafah Pendidikan Barat lebih bercorak
sekuler yang memisahkan berbagai dimensi kehidupan. Sedangkan masyarakat Indonesia lebih
bersifat religius. Atas dasar itu, nilai-nilai ideal Islam sangat memungkinkan untuk dijadikan
acuan dalam mengkaji fenomena kependidikan.
3.      Alasan ketiga adalah dengan menjadikan Islam sebagai Paradigma , maka keberadaan Ilmu
Pendidikan memiliki ruh yang dapat menggerakkan kehidupan spiritual dan kehidupan yang
hakiki. Tanpa ruh ini berarti pendidikan telah kehilangan ideologinya.
Makna Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan Adalah suatu konstruksi pengetahuan
yang memungkinkan kita memahami realitas Ilmu Pendidikan sebagaimana Islam
memahaminya. Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh nilai-nilai Islam dengan tujuan agar
kita memiliki hikmah (wisdom) yang atas dasar itu praktik pendidikan yang sejalan dengan nilai-
nilai normatif Islam. Pada taraf ini, Paradigma Islam menuntut adanya grand design tentang
ontologi,epistemologi, dan aksiologi pendidikan.
Fungsi paradigma ini pada dasarnya untuk membangun perspektif Islam dalam rangka
memahami realitas Ilmu Pendidikan. Tentunya hal ini harus ditopang oleh konstruksi
pengetahuan yang menempatkan wahyu sebagai sumber utamanya, yang pada gilirannya
terbentuk struktur transendental sebagai referensi untuk menafsirkan realitas pendidikan.
Islam sebagai Paradigma Ilmu pendidikan juga memiliki arti konstruksi sistem
pendidikan yang didasarkan atas nilai-nilai universal Islam. Bangunan sistem ini tentunya
berpijak pada prinsip-prinisp hakiki, yaitu prinsip at-tauhid, prinsip kesatuan makna kebenaran
dan prinsip kesatuan sumber sistem. Dari prinsip-prinsip tersebut selanjutnya diturunkan elemen-
elemen pendidikan sebagai World of view, terhadap pendidikan.
Paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar dan
pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam –
yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam al-Qur`an dan al-Hadits– menjadi qa’idah fikriyah
(landasan pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran
dan ilmu pengetahuan manusia (An-Nabhani, 2001).
Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya
berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang
pertama kali turun:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (Qs. al-‘Alaq : 1).
Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh berbagai
pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam,
karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang
merupakan asas Aqidah Islam (Al-Qashash : 81). [12]
Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah Islam memiliki sistem pendidikan
tersendiri? Ataukah sistem Pendidikan Islam itu hanya mengadopsi sistem pendidikan
kontemporer barat sambil mencantumkan beberapa haidts dan ayat-ayat Al-Qur’an yang
mendukungnya?
Rumusan system pendidikan Islam harus dikaitkan dengan pemikiran filosofis pendidikan
Islam. ‘Abd al-Rahman Salih ‘Abd Allah dalam Education Theory: A Quranic Outlook
menyatakan bahwa perumusan system pendidikan Islam dapat dilakukan melalui dua corak.
[13] Pertama, corak yang menghendaki adanya keterbukaan terhadap pandangan hidup dan
kehidupan nonmuslim. Corak ini berusaha meminjam konsep-konsep non-Islam dan
menggabungkannya ke dalam pemikiran pendidikan Islam. Kedua, corak yang berusaha
mengangkat pesan besar Illahi ke dalam kerangka pemikiran pendidikan. Konten pendidikan ini
berasal dari Al-Quran dan Hadits. Oleh karena keberadaan Al-Quran dan Hadits masih bersifat
global, maka konten pendidikan masih bersifat asas-asas dan prinsip-prinsip pendidikan.
Kedua corak pemikiran yang ditawarkan di atas merupakan kerangka dasar bagi
bangunan paradigma pendidikan Islam. Asumsi yang mendasari kelompok pertama adalah
bahwa tidak ada salahnya jika pemikir muslim meminjam atau bahkan menemukan kebenaran
dari pihak lain. Nabi Muhammad SAW dalam suatu haditsnya bersabda: “Hikmah itu merupakan
barang yang hilang, jika ditemukan dari mana saja datangnya, maka ia berhak memilikinya”.
[14] Hadits ini memberikan sinyalemen agar pemikir muslim tidak segan-segan mengadopsi
pemikiran pendidikan non-Islam, dengan catatn pemikiran yang diadopsi tersebut mengandung
suatu kebenaran.
Sejarah telah membuktikan, bahwa kemunculan pendidikan sebagai disiplin ilmu yang
mandiri berasal dari pemikir-pemikir nonmuslim. Melalui metode empirisnya, mereka telah
menemukan konsep dan teori pendidikan, sehingga mereka banyak memberikan kontribusi bagi
berbagai disiplin ilmu lain yang berhubungan dengan pendewasaan manusia. Apa yang mereka
lakukan sebenarnya merupakan pemahaman terhadap suunah Allah yang berkaitan dengan
prilaku manusia, meskipun asumsi yang digunakan berlandaskan hukum alam. Di satu sisi upaya
mereka merupakan pengejawantahan dari firman Allah SWT dalam QS. Fushshilat ayat 53;
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan
pada diri mereka sendiri(anfus), sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar.
Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala
sesuatu?” Dalam arti, mereka telah mempelajari ayat-ayat afaq dan anfus, sebagai phenomena
alam. Namun di sisi yang lain, upaya mereka perlu mendapatkan penyucian (tazkiyah), dari yang
netral etik menjadi yang sarat ideologis, melalui proses islamisasi pendidikan.
Asumsi pemikiran kelompok kedua adalah bahwa Islam merupakan system ajaran yang
universal dan komprehenshif. Tak satupun persoalan, termasuk persoalan pendidikan, yang luput
dari jangkauan ajaran Islam. Allah SWT berfirman dalam QS al-An,am ayat 38; “Tiadalah Kami
alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” Dan
QS. Al-Nahl ayat 89; “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah
diri”. Dua ayat di atas memberikan isyarat bahwa pengembangan pendidikan Islam cukup digali
dari sumber autentik Islam, yaitu Al Quran dan Hadits.
Corak pertama bersifat pragmatis. Artinya, corak yang lebih mengutamakan aspek-aspek
praktis dan kegunaannya. Formulasi system pendidikan Islam dapat diadopsi dari sistem
pendidikan kontemporer Barat yang sudah mapan. Transformasi ini tentunya mendapatkan
legalitas dari Al Quran dan Sunnah. Jadi, nash di sini hanya berfungsi sebagai justifikasi dan
legitimasi keberadaan system pendidikan kontemporer belaka. Upaya ini sebenarnya bukanlah
bermaksud mengadakan interpretasi adaptif, tetapi lebih jauh upaya ini berfungsi sebagai
penjabaran dan operasionalisasi universitas Islam. Islam memiliki nilai universal selalu
akomodatif terhadap produk peradaban, selama produk tersebut secara asasiah tidak
bertentangan dengan nilai dasar Islam.
Sistem pendidikan Islam model ini bersumber dari pemikiran filsafat aliran
progresifisme, esensialisme, perenialisme, pragmatism dan rekonstruksianisme. Apabila
pemikiran masing-masing aliran tersebut sejalan dengan nash, maka pemikirannya itu dijadikan
sebagai wacana pendidikan Islam. Tetapi jika bertentangan, maka pemikirannya ditolak. Model
pragmatis ini banyak diminati oleh para ahli pendidikan Islam. Di samping efektif dan efisien,
model ini telah teruji validitasnya dari masa-ke masa.
Sedangkan corak kedua bersifat idealistis. Artinya, formulasi system pendidikan Islam
digali dari ajaran ideal Islam sendiri. Corak ini menggunakan pola piker deduktif, dengan
membangun premis mayor(sebagai postulasi) yang dikaji dari nash. Bangunan premis mayor ini
dijadikan sebagai “kebenaran universal” untuk diterapkan pada premis minornya, yaitu
pendidikan. Dari proses ini akhirnya mendapatkan teori mengenai system pendidikan Islam.
Model idealistis ini membutuhkan kerja ekstra, karena harus berawal dari ruang yang
kosong. Prosedur mekanisme model ini adalah:
1.      menyelesaikan persoalan kependidikan berdasarkan nash secara langsung. Prosedur ini lajimnya
menggunakan metode tematik (mawdlui), yaitu mengklasifikasikan ayat atau hadits menurut
kategorinya, kemudian menyimpulkannya berdasarkan kategori tersebut;
2.      menyelesaikan persoalan kependidikan berdasarkan interpretasi para filsuf muslim, seperti Ibn
Sina, Ibn Rusyd, Ibnu Bajjah, Ikhwan al-Shffah, al-Razi dan sebagainya. Ciri utama interpretasi
kelompok ini adalah mengutamakan pendidikan intelektual (al-‘aql);
3.      menyelesaikan persoalan kependidikan berdasarkan interpretasi para sufi muslim, seperti al-
Ghazali, Ibn Arabi, Rabiah al-Adawiyah, al-Jilli, dan sebagainya. Ciri utama interpretasi
kelompok ini adalah sangat mengutamakan pendidikan intuisi (al-qalb aw al-dawq);
4.      menyelesaikan persoalan pendidikan berdasarkan interpretasi para pemikir muslim kontemporer,
seperti Iqbal, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, al-Afghani dan sebagainya. Ciri utama
interpretasi kelompok ini adalah hasil interpretasinya didukung oleh data ilmiah.
Kelebihan corak idealistis ini adalah: (1) ia dapat memproyeksikan bentuknya seislami
mungkin. Simbol-simbol dan substansi pendidikan diturunkan dari terminology Islam.; (2) ia
didasarkan atas kerangka dasar yang diyakini mutlak kebenarannya dan mengandung nilai-nilai
universal. Sedangkan kelemahannya adalah umat Islam belum mempunyai metodologi yang
sebaik di Barat. Sehingga upaya ini dikhawatirkan mengalami kegagalan, atau paling tidak
mengalami keterlambatan, sementara kemajuan system Barat semakin kokoh dan melaju.
Untuk menghindari fanatisme dan kelemahan suatu model, maka pendekatan terbaik
dalam merumuskan system pendidikan Islam adalah dengan pendekatan eklektik. Maksud
pendekatan ini adalah mengambil suatu model yang dianggap terbaik untuk memecahkan dan
mengkaji suatu persoalan, dan mengambil model yang lain untuk mengkaji persoalan yang lain
jika pengambilan itu dirasa terbaik. Dengan kata lain, perumusan system pendidikan Islam dapat
menggunakan pendekatan campuran, antara yang pragmatis dan yang idealistis.
Pendidikan Islam merupakan salah satu disiplin ilmu keislaman yang membahas objek-
objek di seputar kependidikan. Pemahaman hakikat pendidikan Islam sebenarnya tercermin di
dalam sejarah dan falsafah Islam sendiri, sebab setiap proses pendidikan tidak terlepas dari
objek-objek keislaman. Pendidikan Islam semula mengambil bentuk sebagai:
1.      asas-asas kependidikan. Asas-asas kependidikan yang dimaksud terakumulasi di dalam Al-
Quran dan As-Sunnah. Tak satupun persoalan, termasuk persoalan pendidikan, yang luput dari
jangkauan ajaran Islam, sekalipun cakupannya tidak menyentuh pada aspek-aspek teknik
oprasional. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-An’am ayat 38: “Tiadalah Kami alpakan
sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” Dan QS. Al-
Nahl ayat 89; “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. Dua
ayat di atas memberikan isyarat bahwa perumusan pengembangan pendidikan cukup digali dari
sumber autentik Islam, yaitu Al Quran dan Hadits.
2.      konsep-konsep kependidikan. Konsep-konsep kependidikan yang dimaksud merupakan hasil
pemikiran, perenumgan dan interpretasi para ahli yang diinspirasikan dari Al-Quran dan As-
Sunnah, baik tentang konsep: (1) ontologi pendidikan, yang membahas hakikat Tuhan, manusia
dan alam yang menjadi kajian utama dalam pendidikan Islam; (2) epistemologi pendidikan, yang
membahas tentang epistemologi dan metodologi dalam pendidikan Islam; dan (3) aksiologi
pendidikan, yang membahas tentang sisyem nilai yang dikembangkan dalam pendidikan Islam.
Ketiga aspek tersebut telah terumuskan begitu rapi dari para filsuf Muslim (seperti al-Kindi, al-
Farabi, Ibnu Sina, Ibn Maskawaih, dan Ibnu Rusyd) dan para sufi (seperti al-Ghazali, Rabiah al-
Adawiyah, Ibnu Qayyim).
3.      teori-teori kependidikan. Teori-teori kependidikan yang dimaksud merupakan hasil kerja ilmiah
dalam melihat pendidikan. Para ahli tidak lagi melihat pendidikan Islam dari sudut yang ideal
dan normative yang bersumber dari asas dan konsep pendidikan Islam, tetapi lebih melihat dari
sisi yang nyatanya. Sumber dari tata kerja ilmiah ini digali dari fenomena pendidikan yang
berkembang pada orang atau masyarakat Islam. Apa yang terjadi di dunia empiris tentang orang
atau masyarakat Islam dijadikan sebagai rujukan dalam membangun teori-teori kependidikan
Islam. Dalam kontesk ini, persyaratan ilmiah (seperti riset dan eksperimen) menjadi bagian
integral dalam membangun teori-teori pendidikan Islam.
BAB III
PENUTUP

A.     kesimpulan
paradigma adalah cara masing-masing orang memandang dunia, yang belum tentu cocok
dengan kenyataan. Paradigma adalah petanya, bukan wilayahnya. Paradigma adalah lensa kita,
lewat mana kita lihat segalanya, yang terbentuk oleh cara kita dibesarkan, pengalaman, serta
pilihan-pilihan.
Islam yang memiliki sifat universal dan kosmopolit tak terbantahkan untuk bisa
merambah ke ranah kehidupan apa pun, termasuk dalam ranah pendidikan. Ketika Islam
dijadikan Paradigma Ilmu Pendidikan paling tidak berpijak pada tiga alasan
1.      Ilmu Pendidikan sebagai ilmu humaniora tergolong ilmu normatif, karena ia terkait oleh norma-
norma tertentu. Pada taraf ini, nilai-nilai Islam sangat berkompeten untuk dijadikan norma dalam
Ilmu Pendidikan.
2.      Alasan kedua adalah, dalam menganalisis masalah pendidikan, para ahli selama ini cenderung
mengambil teori-teori dan falsafah Pendidikan Barat. Falsafah Pendidikan Barat lebih bercorak
sekuler yang memisahkan berbagai dimensi kehidupan. Sedangkan masyarakat Indonesia lebih
bersifat religius. Atas dasar itu, nilai-nilai ideal Islam sangat memungkinkan untuk dijadikan
acuan dalam mengkaji fenomena kependidikan.
3.      Alasan ketiga adalah dengan menjadikan Islam sebagai Paradigma , maka keberadaan Ilmu
Pendidikan memiliki ruh yang dapat menggerakkan kehidupan spiritual dan kehidupan yang
hakiki. Tanpa ruh ini berarti pendidikan telah kehilangan ideologinya.
Tak terbantahkan lagi bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Segala aspek
kehidupan manusia di atur di dalamnya. Tak terkecuali masalah pendidikan. Pendidikan di dalam
Islam, diarahkan untuk memanusiakan manusia, dengan bahasa lain untuk mengembalikan
manusia kepada fitrahnya. Manusia adalah makhluk yang taat, tunduk patuh kepada aturan,
selalu condong kepada kebenaran.Maka jelas di sini bahwa ketika Islam dijadikan paradigm Ilmu
Pendidikan, produk dari pendidikan itu sendiri akan sesuai dengan nilai-nilai Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana


Elmubarok, Zaim. 2009. Membumikan Pendidikan nilai, Bandung: Alfabeta
Hadits Riwayat At-Tirmidzi dari Abu Hurairah. Lihat Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa Ibn Saurah, al-
jami’al-shahih wa huwa sunan al-Turmuzi, Beirut: Dar al-Ahya’, t.t), kitab al-‘ilm
hayatulislam.multiply.com/journal/item/, akses tgl 22 deseber 2014
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam, Interpretasi untuk aksi. Mizan: Bandung
Norman K.Denzin dan Yvonna S.Lincoln, 1994. Handbook of qualitative Research, Thousand OAKS:
SAGE publications
Syafiie, Inu Kencana. 2007. Pengantar Filsafat. Bandung : Rafika Aditama
Tafsir, Ahmad. 2010. Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Rosdakarya
terjemahan bebas dari ‘Abd al-Rahman Saleh.1982. Education theory: A Qur’anic Outlock, Mekkah:
Umm al-Qura University
Zamroni. 1992.  Pengantar Pengembangan Teori sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana

[1] Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung : Rafika Aditama, 2007), hal.


10
[2] Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan nilai, (Bandung: Alfabeta 2009),
cet.2,hal. 38.
[3] Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk aksi, (Mizan: Bandung 1991),
cet.1, hal. 167-168
[4] Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan nilai, (Bandung: Alfabeta 2009),
cet.2,hal. 38
[5] Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk aksi, (Mizan: Bandung 1991),
cet.1, hal. 327
[6] Norman K.Denzin dan Yvonna S.Lincoln, Handbook of qualitative
Research, (Thousand OAKS: SAGE publications, 1994), hal. 99
[7] Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori sosial, (Yogyakarta: Tiara
Wacana,1992)
[8] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2010), cet ke-
4, hal. 33
[9] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Kencana,
2008), cet ke-2, hal. 1
[10] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Kencana,
2008), cet ke-2, hal. 1-2
[11]
[12] hayatulislam.multiply.com/journal/item/, akses tgl 22 deseber 2014
[13] terjemahan bebas dari ‘Abd al-Rahman Saleh, Education theory: A Qur’anic
Outlock, (Mekkah: Umm al-Qura University,1982), hal. 35-36
[14] Hadits Riwayat At-Tirmidzi dari Abu Hurairah. Lihat Abu ‘Isa Muhammad ibn
‘Isa Ibn Saurah, al-jami’al-shahih wa huwa sunan al-Turmuzi, (Beirut: Dar al-Ahya’, t.t),
kitab al-‘ilm, nomor 2887,hal. 51.

Anda mungkin juga menyukai