NIM : 182501012
FAKULTAS TARBIYAH
2021
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR...................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................1
C. Tujuan Penulisan................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam, agama yang kita anut dan dianut milyaran manusia di seluruh dunia, merupakan
way of life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di akhirat kelak. Ia
mempunyai satu sendi utama yang esensial: Berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-
baiknya. Allah berfirman,
” Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya.” (QS.
17:9).
Kita yakini sepenuh hati, bahwa konsep apapun di dalam Islam akan membawa pada
kemaslahatan hidup di dunia dan jaminan kebahagiaan di akhirat, termasuk konsep Pendidikan.
Berbicara tentang paradigma, tidak terlepas dari aspek epistemologi, dalam filsafat ilmu
yang disebut juga dengan istilah teori pengetahuan. Epistemologi memiliki obyek telaah yang
bersifat penjelas atas proses terbentuknya ilmu pengetahuan yang memunculkan pertanyaan-
pertanyaan utama seperti; Bagaimana sesuatu itu datang? Bagaimana kita mengetahuinya?
Bagaimana membedakannya dengan yang lain? Dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan
semacam ini adalah bentuk penegasan tentang hubungan sesuatu dengan situasi dan kondisi,
ruang serta waktu.[1]
B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan paradigma?
2. Bagaimana paradigma ilmu pendidikan islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian paradigma
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962). Paradigma
dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual atau model yang dengannya seorang ilmuwan
bekerja (a conceptual framework or model within which a scientist works).[2] Ia adalah
seperangkat asumsi-asumsi dasar yang menggariskan semesta partikular dari penemuan ilmiah,
menspesifikasi beragam konsep-konsep yang dapat dianggap absah maupun metode-metode
yang dipergunakan untuk mengumpulkan dan menginterpretasikan data. Tegasnya setiap
keputusan tentang apa yang menyusun data atau observasi ilmiah dibuat dalam bangun suatu
paradigma.[3]
Robert Friedrichs, yang mempopulerkan istilah paradigma (1970), berpendapat,
paradigma sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang
menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari.[4] Pengertian lain dikemukakan oleh
George Ritzer (1980), dengan menyatukan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari
para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh
salahsatu cabang/disiplin ilmu pengetahuan.
Kuntowijoya mengutip pendapat beberapa tokoh dengan gaya bahasanya sendiri tentang
paradigma; Yang dimaksud dengan paradigma di sini, seperti yang yang difahami oleh Thomas
Kuhn bahwa pada dasarnya realitas sosial itu dikontruksi oleh Mode of Thought atau mode of
inquiry tertentu yang pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing tertentu pula.
Immanuel kant, misalnya menganggap “cara mengetahui” itu sebagai apa yang disebut skema
konseptual; Marx menamakannya sebagai ideologi; dan Wittgenstein melihatnya sebagai cagar
bahasa.[5]
Norman K.Denzin membagi paradigma kepada tiga elemen yang meliputi; epistimologi,
ontologi, dan metodologi. Epistimologi mempertanyakan tentang bagaimana cara kita
mengetahui sesuatu, dan apa hubungan anatara peneliti dengan pengetahuan. Ontologi berkaitan
dengan pertanyaan mendasar tentang hakikat realitas. Metodologi memfokuskan pada bagaimana
cara kita memperoleh pengetahuan.[6]
Dari definisi dan muatan paradigma ini, Zamroni[7] mengungkapkan tentang posisi
paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuwan untuk merumuskan berbagai hal yang berkaitan
dengan:
1. Apa yang harus dipelajari.
2. Persoalan-persoalan apa yang harus dijawab.
3. Bagaimana metode untuk menjawabnya.
4. Aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang diperoleh.
Berangkat dari hal tersebut di atas maka, Zaim Elmubarok menyimpulkan bahwa
paradigma adalah cara masing-masing orang memandang dunia, yang belum tentu cocok dengan
kenyataan. Paradigma adalah petanya, bukan wilayahnya. Paradigma adalah lensa kita, lewat
mana kita lihat segalanya, yang terbentuk oleh cara kita dibesarkan, pengalaman, serta pilihan-
pilihan.
A. kesimpulan
paradigma adalah cara masing-masing orang memandang dunia, yang belum tentu cocok
dengan kenyataan. Paradigma adalah petanya, bukan wilayahnya. Paradigma adalah lensa kita,
lewat mana kita lihat segalanya, yang terbentuk oleh cara kita dibesarkan, pengalaman, serta
pilihan-pilihan.
Islam yang memiliki sifat universal dan kosmopolit tak terbantahkan untuk bisa
merambah ke ranah kehidupan apa pun, termasuk dalam ranah pendidikan. Ketika Islam
dijadikan Paradigma Ilmu Pendidikan paling tidak berpijak pada tiga alasan
1. Ilmu Pendidikan sebagai ilmu humaniora tergolong ilmu normatif, karena ia terkait oleh norma-
norma tertentu. Pada taraf ini, nilai-nilai Islam sangat berkompeten untuk dijadikan norma dalam
Ilmu Pendidikan.
2. Alasan kedua adalah, dalam menganalisis masalah pendidikan, para ahli selama ini cenderung
mengambil teori-teori dan falsafah Pendidikan Barat. Falsafah Pendidikan Barat lebih bercorak
sekuler yang memisahkan berbagai dimensi kehidupan. Sedangkan masyarakat Indonesia lebih
bersifat religius. Atas dasar itu, nilai-nilai ideal Islam sangat memungkinkan untuk dijadikan
acuan dalam mengkaji fenomena kependidikan.
3. Alasan ketiga adalah dengan menjadikan Islam sebagai Paradigma , maka keberadaan Ilmu
Pendidikan memiliki ruh yang dapat menggerakkan kehidupan spiritual dan kehidupan yang
hakiki. Tanpa ruh ini berarti pendidikan telah kehilangan ideologinya.
Tak terbantahkan lagi bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Segala aspek
kehidupan manusia di atur di dalamnya. Tak terkecuali masalah pendidikan. Pendidikan di dalam
Islam, diarahkan untuk memanusiakan manusia, dengan bahasa lain untuk mengembalikan
manusia kepada fitrahnya. Manusia adalah makhluk yang taat, tunduk patuh kepada aturan,
selalu condong kepada kebenaran.Maka jelas di sini bahwa ketika Islam dijadikan paradigm Ilmu
Pendidikan, produk dari pendidikan itu sendiri akan sesuai dengan nilai-nilai Islam.
DAFTAR PUSTAKA