Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH FIQIH IBADAH

Tentang:

“Alat-Alat Untuk Bersuci”

Disusun oleh:

Rena oktavia (2014070030)

Dosen pembimbing:

DRS. ILMAN NASUTION MA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


(PGMI-A)

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

TP. 2021/20221
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh……

Puji syukur atas ke Hadirat Allah SWT. atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang berjudul “ALAT-ALAT
UNTUK BERSUCI”. Sholawat dan Salam marilah kita aturkan kepada Nabi kita yaitu Nabi
Muhammad SAW. Yang mana beliau telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa
ajaran agama Islam.

Makalah ini dibuat untuk menyelesaikan tugas mata kuliah “FIQIH IBADAH”.
pembuatan makalah ini digunakan untuk menambah pengalaman, pengetahuan, dan
bermanfaat bagi semua yang membacanya.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan
didalamnya, untuk itu kami mohon saran dan kritik dari semua.

Dengan demikian penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu sehinggga terselesaiakanlah makalah kami ini. Sekian……

wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh……………………………………...

Solok, 31 Agustus 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................I

DAFTAR ISI...............................................................................................................................II

BAB l: PENDAHULUAN...........................................................................................................III

A. Latar Belakang ....................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah ..............................................................................................................2

C. Tujuan ..................................................................................................................................3

BAB ll : PEMBAHASAN ...........................................................................................................4

A. Alat-alat Bersuci ...........................................................................................................5

BAB lll : PENUTUP ...................................................................................................................6

A. Kesimpulan ..................................................................................................................7

Daftar Pustaka ........................................................................................................................8

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama islam. Dengan
adanya hokum islam, kehidupan kaum muslimin secara keseluruhan dapat teratur. Oleh karena
itu kaum muslim tidak akan terlepas dari hukum islam salah satunya ialah thaharah(bersuci).
Thaharah hukumnya wajib karena untuk beribadah kepada allah salah satu syaratnya adalah suci.

Apabila kaum muslimin tidak bersuci dengan ketentuan atau tatacara yang benar maka akan
menimbulkan mudharat. Bersucilah dengan ketentuan yang telah ditentukan oleh syariat islam

Maka dari uraian diatas pemakalah akan memberikan penjelasan mengenai alat-alat yang
digunakan untuk bersuci.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja alat-alat yang digunakan untuk bersuci?

C. Tujuan
1. Untuk memahami alat-alat apa saja yang digunakan dalam bersuci?
2. Untuk menambah wawasan pemakalah mengenai thaharah dan hal-lainnya!

BAB II
PEMBAHASAN

A. Alat-alat Bersuci
1. Air
Merupakan benda yang istimewa dan punya kedudukan khusus, yaitu menjadi media utama
untuk melakukan ibadah. Air media yang digunakan untuk menghilangkan najis dan juga hadas.
 Empat keadaan air dalam thaharah
Tidak semua air bisa digunakan untuk bersuci. Ada beberapa keadaan air yang tidak
mungkin digunakan untuk bersuci.
Para ulama membagi air ini menjadi beberapa keadaan, terkait dengan hukumnya digunakan
untuk bersuci.
Berikut penjabaran empat macam air :
o Air mutlaq
Air mutlaq ialah keadaan air yang belum mengalami proses apapun. Air itu masih asli,
dalam artinya belum digunakan untuk bersuci, tidak tercampur dengan benda yang bernajis.
Air mutlak ini hukumnya suci dan sah untuk digunakan bersuci, yaitu untuk berwudhu’ dan
mandi janabah.
Air yang suci itu banyak sekali tapi tidak semua air yang suci bisa digunakan untuk
mensucikan. Air suci adalah air air yang boleh digunakan atau dikonsumsi, misalnya air the, air
kelapa dan air-air lainnya.
Air-air yang termasuk kedalam kelompok suci dan mensucikan yaitu:
a) Air hujan
Air hujan yang turun dari langit hukumnya suci dan lagi mensucikan. Suci berarti bukan
termasuk najis. Mensucikan berarti bisa digunakan untuk berwudhu’, mandi janabah atau
membersihkan najis pada suatu benda.
Tentang sucinya air hujan dan fungsinya untuk mensucikan, Allah SWT telah berfirman:
َ‫ب َع ْن ُك ْم ِرجْ َز ال َّشي ْٰط ِن َولِيَرْ بِط‬
َ ‫س اَ َمنَةً ِّم ْنهُ َويُنَ ِّز ُل َعلَ ْي ُك ْم ِّمنَ ال َّس َمٓا ِء َمٓا ًء لِّيُطَهِّ َر ُك ْم بِ ٖه َوي ُْذ ِه‬
َ ‫اِ ْذ يُ َغ ِّش ْي ُك ُم النُّ َعا‬
‫ ع َٰلى قُلُوْ بِ ُك ْم َويُثَبِّتَ بِ ِه ااْل َ ْقدَا َم‬

Artinya : (ingatlah), ketika allah membuat kamu mengantuk untuk memberi ketenteraman dari-
Nya, dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk menyucikan kamu dengan
(hujan) itu dan menghilangkan gangguan-gangguan setan dari dirimu dan untuk menguatkan
hatimu serta memperteguh telapak kakimu (teguh pendirian). (QS. Al-Anfal 8: Ayat 11)

Allah berfirman:

‫  َوه َُو الَّ ِذ ۤيْ اَرْ َس َل ال ِّر ٰي َح بُ ْشر ًۢا بَ ْينَ يَ َديْ َرحْ َمتِ ٖه ۚ  َواَ ْنز َْلنَا ِمنَ ال َّس َمٓا ِ|ء َمٓا ًء طَهُوْ رًا‬
Artinya: dan dialah yang meniupkan angina (sebagai) pembawa kabar gembira sebelum
kedatangan rahmat-nya (hujan); dan kami turunkan dari langit air yang sangat bersih.

(QS. Al-Furqan 25: ayat 48)

b) Salju
Salju hamper sama dengan hujan, yaitu sama-sama air yang turu dari lanit. Hanya saja
kondiri suhu udara yang membuatnya menjadi butir-butir salju.
Hukumnya sama dengan hokum air hujan, sebab keduanya mengalami proses yang mirip
kecuali bentuk pada akhirnya saja yang berbeda.
Ada hadist rasulullah SAW yang menjelaskan tentang kedudukan salju, kesuciannya, dan
juga fungsinya sebagai media mensucikan.
Yang arti dari hadist tersebut ialah: dari abu hurairah ra bahwa rasulullah SAW bersabda
ketika ditanya bacaan apa yang diucapkannya antara takbir dan al-fatihah, beliau menjawab,
“aku membaca, “ya allah, jaukan aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana engkau jaukan
antara timur dan barat. Ya allah sucikan aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana pakaian
dibersihkan dari kotoran. Ya allah, cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan salju, air
dan embun. (HR.Bukhari744, Muslim 597, Abu Daud 781 dan Nasai 60)
c) Embun
Embun juga bagian dari air yang turun dari langit,meski bukan berbentuk air hujan yang turun
deras. Embun lebih berupa tetes air yang terlihat banyaj dihamparan dedaunan pada pagi hari.
Maka tetes embun bisa digunakan untuk mensucikan, baik berwudhu’, mandi, atau
menghilangkan najis. Hadistnya sama dengan yang diatas.

d) Air laut
Air laut adalah air yang suci dan juga mensucikan. Sehingga boleh digunakan untuk
berwudhu, mandi janabah ataupun untuk membersihkan diri dari buang kotoran (istinja’).
Termasuk juga untuk mensucikan barang, badan dan pakaian yang terkena najis.
Meski pun rasa air laut itu asin karena kandungan garamnya yang tinggi, namun hukumnya
sama dengan air hujan, air embun atau pun salju. Bisa digunakan untuk mensucikan.
Sebelumnya para shahabat Rasulullah SAW tidak mengetahui hokum air laut itu, sehingga
ketika ada dari mereka yang berlayar di tengah laut dan bekal air yang mereka bawa hanya cukup
untuk keperluan minum, mereka berijtihad untuk berwudhu` menggunakan air laut.
Sesampainya kembali ke daratan, mereka langsung bertanya kepada Rasulullah SAW
tentang hukum menggunakan air laut sebagai media untuk berwudhu`. Lalu Rasulullah SAW
menjawab bahwa air laut itu suci dan bahkan bangkainya pun suci juga.
Dari Abi Hurairah ra bahwa ada seorang bertanya kepada Rasulullah SAW,`Ya Rasulullah,
kami mengaruhi lautan dan hanya membawa sedikit air. Kalau kami gunakan untuk berwudhu,
pastilah kami kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut ?`. Rasulullah SAW
menjawab,`(Laut) itu suci airnya dan halal bangkainya. (HR. Abu Daud 83, At-Tirmizi 79, Ibnu
Majah 386, An-Nasai 59, Malik 1/22)4.
Hadits ini sekaligus juga menjelaskan bahwa hewan laut juga halal dimakan, dan kalau mati
menjadi bangkai, bangkainya tetap suci.
e) Air sumur atau Mata Air
Air sumur, mata air dan dan air sungai adalah air yang suci dan mensucikan. Sebab air itu
keluar dari tanah yang telah melakukan pensucian. Kita bisa memanfaatkan air-air itu untuk
wudhu, mandi atau mensucikan diri, pakaian dan barang dari najis. Dalil tentang sucinya air
sumur atau mata air adalah hadits tentang sumur Budha`ah yang terletak di kota Madinah.
Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa seorang bertanya,`Ya Rasulullah, Apakah kami
boleh berwudhu` dari sumur Budho`ah?, padahal sumur itu yang digunakan oleh wanita yang
haidh, dibuang ke dalamnya daging anjing dan benda yang busuk. Rasulullah SAW
menjawab,`Air itu suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu`. (HR. Abu Daud 66, At-Tirmizy 66,
An-Nasai 325, Ahmad3/31-87, Al-Imam Asy Syafi`i 35)5.

f) Air sungai

Sedangkan air sungai itu pada dasarnya suci, karena dianggap sama karakternya dengan air
sumur atau mata air. Sejak dahulu umat Islam terbiasa mandi, wudhu` atau membersihkan najis
termasuk beristinja’ dengan air sungai.
Namun seiring dengan terjadinya perusakan lingkungan yang tidak terbentung lagi, terutama
di kota-kota besar, air sungai itu tercemar berat denganlimbah beracun yang meski secara hokum
barangkali tidak mengandung najis, namun air yang tercemar dengan logam berat itu sangat
membahayakan kesehatan.

Maka sebaiknya kita tidak menggunakan air itu karena memberikan madharat yang lebih
besar. Selain itu seringkali air itu sangat tercemar berat dengan limbah ternak, limbah WC atau
bahkan orang-orang buang hajat di dalam sungai. Sehingga lama- kelamaan air sungai berubah
warna, bau dan rasanya. Maka bisa jadi air itu menjadi najis meski jumlahnya banyak.

Sebab meskipun jumlahnya banyak, tetapi seiring dengan proses pencemaran yang terus
menerus sehingga merubah rasa, warna dan aroma yang membuat najis itu terasa dominan
sekali dalam air sungai, jelaslah air itu menjadi najis. Maka tidak syah bila digunakan untuk
wudhu`, mandi atau membersihkan najis. Namun hal itu bila benar-benar terasa rasa, aroma
dan warnanya berubah seperti bau najis.

Namun umumnya hal itu tidak terjadi pada air laut, sebab jumlah air laut jauh lebih banyak
meskipun pencemaran air laut pun sudah lumayan parah dan terkadang menimbulkan bau
busuk pada pantai-pantai yang jorok.

Air yang bercampur dengan sesuatu yang sulit dihilangkan seperti air yang batu-batunya
berlumut, berbau belerang, dan keruh dihukum air mutlak. Air yang suci lagi mensucikan.

o Air suci tapi tidak mensucikan


Merupakan air yang zatnya suci, namun tidak bisa dipakai untuk bersuci baik dari hadas
maupun najis. Ada beberapa jenis air suci tapi tidak mensucikan diantaranya:
a. Air musta’mal
Musta’mal berasal dari kata dasar ista’malayasta’milu yang maknanya menggunakan atau
memakai. Maka air musta’mal maksudnya adalah air yang sudah digunakan untuk melakukan
thaharah, yaitu berwudhu’ atau mandi janabah. Jumhur ulama mengatakan bahwa air ini tidak
mensucikan sehingga tidak bisa digunakan kembali untuk bersuci.

Hukum menggunakan air musta’mal ini memiliki perbedaan pendapat antara ulama. Perbedaan
tersebut dipicu oleh perbedaan nash dari rasulullah SAW yang diterima dari rasulullah SAW .
Beberapa hadits nash itu antara lain :
‫ال ُل هَّللَا ِ ال ُل اَ ْل َما ِء اَل َّداِئ ِم لِ ٌم‬
َ :‫ال‬
َ .

Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW mengatakan”Janganlah sekali-kali seorang
kamu mandi di air yang diam dalam keadaan junub. (HR.Muslim)

‫ الَ ُل اَ ْل َجنَابَ ِة‬:َ‫وَألبِي ا ُود‬."ُ


َ ‫ " ِم ْنه‬:‫ ال لَ َّن ْال َما ِء اَل َّداِئ ِم اَلَّ ِذي ال ُل لِ ُم ْسلِ ٍم‬:ِّ‫اري‬
ِ ‫ لِ ْلبُ َخ‬.
”Janganlah sekali-kali seorang kamu kencing di air yang tidak mengalir kemudian dia mandi di
dalam air itu”. Riwayat Muslim”Mandi dari air itu”. Dalam riwayat Abu Daud”Janganlah mandi
janabah di dalam air itu. (HR.Muslim)

‫ النَّ َساِئ ُّي‬.َ‫ دَا ُود‬-‫ ُل هَّللَا ِ َل اَ ْل َمرْ َأةُ ِل اَل َّر ُج ِل ل َّر ُج ُل ِل اَ ْل َمرْ َأ ِة ْليَ ْغت َِرفَا ا‬:‫ي ا َل‬
َّ ِ‫ٍل اَلنَّب‬

Dari seseorang yang menjadi shahabat nabi SAW berkata”Rasululllah SAW melarang wanita
mandi janabah dengan air bekar mandi janabah laki-laki. Dan melarang laki-laki mandi janabah
dengan air bekas mandi janabah perempuan. Hendaklah mereka masing-masing menciduk air.
(HR.Abu Daud dan An-Nasa'i)

‫ي انَ ُل ِل هَّللَا ُ ا لِ ٌم‬


َّ ِ‫س هَّللا ُ ا النَّب‬
ٍ ‫اِ ْب ِن ا‬
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi SAW pernah mandi air bekas Maimunah radhiyallahuanhu (HR.
Muslim)

َ‫ اَ ْل َما َء ال‬:‫ال‬ ْ َ‫اج اَلنَّبِ ِّي ا َء لِيَ ْغت َِس َل ا ال‬


َ ‫ ا‬:ُ‫ت لَه‬ ِ ‫َألصْ َحا‬
ِ ‫ب اَل ُّسن َِن"اِ ْغتَ َس َل‬
Riwayat Ashhabussunan: ”Bahwasanya salah satu isteri Nabi telah mandi dalam satu ember
kemudian datang Nabi dan mandi darimu berkata isterinya ”saya tadi mandi janabat maka jawab
Nabi SAW.: ”Sesungguhnya air tidak ikut berjanabat”.

Namun jika kita telliti lebih dalam ternyata pengertian musta'mal di antara fuqaha' mazhab
masih terdapat variasi perbedaan.

Sekarang mari coba kita dalami lebih jauh dan kita cermati perbedaan pandangan para fuqaha
tentang pengertian air musta'mal atau bagaimana suatu air itu bisa sampai menjadi musta'mal :

1. Mazhab Al-Hanafiyah
Menurut mazhab ini bahwa yang menjadi musta'mal adalah air yang memenuhi tubuh saja
dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta'mal saat dia
menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu' atau mandi.
Air musta'mal adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat wudhu atau untuk qurbah.
Maksudnya untuk wudhu' sunnah atau mandi sunnah.
Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta'mal. Bagi mereka air musta'mal ini
hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis tapi tidak bisa
digunakan lagi untuk wudhu' atau mandi.
2. Mazhab Al-Malikiyah
Air musta'mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat
hadat baik wudhu atau mandi. Dan tidak dibedakan apakah wudhu' atau mandi itu wajib atau
sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats (barang najis).

Dan sebagaimana Al-Hanafiyah mereka pun mengatakan 'bahwa yang musta'mal hanyalah
air bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang. Namun yang membedakan
adalah bahwa air musta'mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan.

Artinya bisa dan sah digunakan lagi untuk berwudhu' atau mandi sunnah selama ada air
yang lainnya meski dengan karahah (kurang disukai).

3. Mazhab Asy-Syafi'iyyah

Air musta'mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk
mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta'mal jika jumlahnya
sedikit yang diciduk dengan untuk wudhu' atau mandi meski untuk mencuci tangan yang
merupakan bagian dari sunnah wudhu'.

Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudhu' maka
belum lagi dianggap musta'mal. Termasuk dalam air musta'mal adalah air mandi baik mandinya
orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan
air itu baru dikatakan musta'mal kalau sudah lepas atau menetes dari tubuh.

Air musta'mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu' atau
untuk mandi atau mencuci najis. Karena statusnya suci tapi tidak mensucikan.

4. Mazhab Al-Hanabilah

Air musta'mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari
hadats kecil (wudhu') atau hadats besar (mandi) atau untuk menghilangkan najis pada cuci yang
terakhir dari 7 kali pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna rasa
maupun aromanya.

Selain itu air bekas memandikan jenazah pun termasuk air musta'mal. Namun bila air itu
digunakan untuk mencuci atau membasuh sesuatu yang di luar kerangka ibadah maka tidak
dikatakan air musta'mal. Seperti menuci muka yang bukan dalam rangkaian ibadah ritual wudhu'.
Atau cuci tangan yang juga tidak ada kaitan dengan ritual ibadah wudhu'.

Dan selamat air itu sedang digunakan untuk berwudhu' atau mandi maka belum dikatakan
musta'mal. Hukum musta'mal baru jatuh bila seseorang sudah selesai menggunakan air itu untuk
wudhu' atau mandi lalu melakukan pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk wudhu' atau mandi
lagi dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta'mal.
Mazhab ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta'mal yang jatuh ke
dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 qullah maka tidak mengakibatkan air itu menjadi
'tertular' ke-musta'mal-nya.

Jadi, Kesimpulan air musta’mal yang dapat saya simpulkan ialah “air yang telah digunakan
untuk bersuci. Adapun air musta’mal adalah suci dan mensucikan, air musta’mal tidak bisa lagi
digunakan untuk bersuci.”

b. Air tercampur dengan yang suci


Jenis air ini adalah air yang tercampur dengan barang suci atau barang yang bukan najis.
Hukumnya tetap suci tapi tidak mensucikan. Air seperti ini tidak bisa dikatakan air mutlak,
sehingga secara hukum tidak sah kalau menggunakan untuk berwuhu’ atau janabah.
o Air musyammas

Syaikh Dr. Musthafa Dieb Al-Bugha dalam Kitab At-Tadzhib Fi Adillah Matn Al-Ghayah
Wa At-Taqrib menjelaskan bahwa air musyammas akan dianggap makruh jika:

1. Air itu menjadi panas akibat terpapar panas matahari


2. Bejana/wadah yang digunakan untuk menampung air tersebut berbahan logam seperti
besi, kecuali emas dan perak karena dalam penjelasan lain penggunaan bahan ini
dilarang.
3. Kemakruhan air musyammas akan berlaku jika penggunaanya untuk badan (semisal
mandi, berwudhu dsj, namun untuk keperluan lain bukan untuk badan tidak mengapa,
misal cuci motor, cuci sendal, dan semacamnya, pent)
4. Kemakruhan ini hanya berlaku untuk negeri yang terkategori panas seperti Negeri Hijaz,
sedangkan Indonesia ia tidak dianggap sebagai negeri yang panas, tapi negeri tropis
sehingga tidak berlaku kemakruhan tersebut.

Para fuqaha juga menjelaskan bahwa kemakruhan air musyammas akan hilang hukumnya
jika air yang panas terkena matahari tersebut sudah berubah menjadi dingin, misalnya di sore
atau malam hari (dibiarkan hingga dingin).

Jika wadah menampung air adalah berbahan plastik maka tidak mengapa, karena tidak
memenuhi syarat diatas.

Kenapa yang dimakruhkan adalah untuk pemakaian pada badan/kulit saja? Karena jika
menggunakan air musyammas misal untuk badan (mandi) itu dikhawatirkan akan terkena
penyakit kulit, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Aisyah.

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:


َ ‫ث ْالبَ َر‬
‫ص‬ ِ ‫ فَِإنَّهُ ي‬،‫ ” اَل تَ ْف َعلِي يَا ُح َم ْي َرا ُء‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
ُ ‫ُور‬ ُ ‫ َأسْخَ ْن‬:‫ت‬
ِ ‫ت َما ًء فِي ال َّش ْم‬
َ ‫ فَقَا َل النَّبِ ُّي‬،‫س‬ ْ َ‫“ قَال‬.

Artinya: “Aku memanaskan air dibawah terik matahari, lalu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
berkata kepadaku: “Jangan lakukan itu wahai Humairaa’, sesungguhnya itu akan menyebabkan
kusta.” (HR. Al-Baihaqi)

Namun tidak dipungkiri bahwa dalam hal ini Syafi’iyah (para ulama Syafi’i) pun berbeda
pendapat. Seperti yang diterangkan Syaikh Taqiyuddin Abu bakar Al-Hysni dalam kitab
kifayatul Akhyar bahwa hal ini terdapat khilaf dikalangan Syafi’iyah, diantaranya Imam An-
Nawawi dalam Kitab Raudhah, juga dalam Al-Majmu’ memahami air musyammas secara
mutlak tidak makruh karena dalil-dalil mengenai air musyammas itu dianggap dhaif dan beliau
menyandarkannya sebagai kesepakatan ahli hadits.

Dan jika kita telusuri lagi lebih luas, ternyata tidak hanya Imam An-Nawawi, Imam abu
Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal juga meyakini bahwa air musyammas
secara mutlak tidaklah makruh hukumnya.

Dari penjelasan diatas dapat saya tarik kesimpulan bahwa air musyammas ada yang bisa
digunakan untuk bersuci dan ada pula yang tidak. Tapi menurut hukum utamanya sah.

o Air muttanajjis
Artinya: air yang tercampur dengan barang atau benda yang najis.
Air yang tercampur dengan benda najis itu bisa memiliki dua kemungkinan hukum, bisa ikut
menjadi najis juga atau bisa juga sebaliknya. Keduanya tergantung dari apakah air itu mengalami
perubahan atau tidak, setelah tercampur dengan benda najis.

Adapun yang ada dengan Air mutanajis itu adalah air mutlaq atau air suci yang tercampuri
benda najis. Lalu kemudian air mutanajis itu ada berapa macam dan dibagi berapa bagian?

Pembagian air Mutanajis yaitu:

Sebagaimana keterangan yang dalam kitab Madzibul arba'ah, air mutanajis dibagi menjadi 2
yaitu:

1. Air suci mensucikan yaitu air suci yang kadar jumlah airnya banyak bilamana terkena
benda najis maka tidak menjadi najis. Hal ini bisa tetap suci bila tidak mengalami
perubahan dari salah satu 3 sifat yakni rasa, aroma, dan warna.
2. Air suci dan mensucikan dengan jumlah kadarnya sedikit bisa menjadi najis. Dapat
menjadi najis bilamana terkena benda najis baik dari 3 sifat udara maupun tidak.

Dalam hal ini perubahan baik dalam keadaan sedikit ataupun banyak yaitu lebih dari dua
qulah atau kurang. Namun bila dapat mengubah sifat air tersebut maka akan dihukumi najis serta
tidak dapat digunakan untuk bersuci dan mandi. (kutipan dari Madzahibul arba'ah).
Air Mutanajis Menurut Jumhur Ulama Fiqih

Menurut Jumhur Ulama Fiqih bahwa Air yang suci mensucikan yang telah terkena najis
atau mutanajis menjelaskan: air suci yang terkena najis, bila air tersebut kurang dari 2 qulah
maka air tersebut menjadi najis hal ini baik tetap berlaku baik sifat dari air berubah atau tidak.

Namun dari pendapat Imana Abu Hanifah, Imanm Asy Syafi'i dan salah satu riwayat dari
Imam Ahmad mengatakan, mengecualikan bila air tersbut lebih dari 2 qulah dan tidak mengubah
sifatnya maka tetap air tersebut suci.

‫ وهو يسأل عن الماء يكون في الفالة من األرض وما ينوب||ه من الس||باع وال||دواب ق||ال فق||ال‬:‫عن ابن عمر قال سمعت رسول هللا‬
‫ إذا كان الماء قلتين لم يحمل الخبث قال عبدة قال محمد بن إسحاق القلة هي الجرار والقلة ال||تي يس||تقى فيه||ا ق||ال أب||و‬:‫رسول هللا‬
َ ‫ق الُوا ا انَ ْال َما ُء لَّتَي ِْن لَ ْم ا لَ ْم الُوا ا‬
) ُّ‫(رواهُ التِّرْ ِم ِذي‬ َ ‫عيسى ُل ال َّشافِ ِع ِّي ا‬

Artinya:

Dari Ibnu Umar Ra ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah Saw. ditanya tentang air yang
ada di tanah tandus dan air yang berulangkali didatangi binatang buas dan binatang ternak. Kata
Ibnu Umar ra. Rasulullah Saw. menjawab: “Bila air sebanyak dua qullah, maka tidak membawa
najis.” Berkata Abdah: “Muhammad bin Ishaq berkata: “Satu qullah sama dengan satu tempayan,
dan (ukuran) yang diambil untuk air minum.” Berkata Abu Isa (Tirmidzi): “Itu pendapat al-
Syafi'i, Ahmad dan Ishaq. berpendapat: “Bila air mencapai dua qullah, maka ia menjadi najis
oleh apapun, selama bau atau Mereka tidak berubah. Mereka juga menyatakan: “Satu qullah itu
sekira-kira lima girbah air.” (HR Tirmidzi)

1. Kadar Air Dua Qullah

Dalam penetapan kadar atau ukuran air dua qulah terdapat berbagai versi pendapat,
diantaranya:

o Menurut dalam Fathul qorib, doa qullah itu sama dengan 500 kati Bagdad;
o Dalam Kitab At-Tadzhib Fi Matnil-Ghoyah wat Taqrib, Taklif DR. Dib Al-Bugho
dua qullah itu sama dengan 190 liter;
o Menurut Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dua qullah itu adalah 270 liter;
o Dalam kitab Tafsir Al-Ashr Al-Akhir dua qullah sama dengan sekitar 210 liter;
o Menurut Keterangan Dua Qullah atau 500 Kati Bagdaad itu sama dengan 216 liter.

Terdapat berbagai pendapat lainnya Wallahu'alam, sedangkan sebagian besar masyarakat


kita memakai ukuran pertengahan yaitu 2015 atau 190 liter.

Dari penjelasan mengenai air mutanajis bahwa dapat ditarik kesimpulan, antara lain:
a. Ukuran air suci yang kurang dari 2 qulah bila tercampur dengan benda naji baik berubah
dari sifat air atau tidak maka hukum tetap najis.
b. Sedangkan air suci yang telah cukup 2 qulah atau lebih bila tercampur benda najis maka
air suci yang telah dibuat, selama tidak mengalami perubahan dari ketiga hal tersebut
menjadi segi aroma, warna dan rasanya tidak.

Air mutanajjis merupakan air mutlak yang sudah terkena najis maka tidak dapat kita gunakan
lagi untuk bersuci.

2. Tanah
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi B.

Bersuci Dengan Tanah (Tayammum) memiliki makna al-qashdu, yaitu bermaksud. Penggunaan
tanah untuk bersuci jika tidak ada air atau mempunyai penyakit khusus.

1. Landasan Pensyari’atannya Allah Ta’ala berfirman:


‫ج ُدوا َما ًء‬ ْ َ‫سا َء َفل‬
ِ َ‫م ت‬ َ ِّ‫م الن‬ ْ ‫ط َأ ْو اَل َم‬
ُ ‫س ُت‬ ِ ‫ن ا ْلغَاِئ‬ َ ‫ح ٌد ِّمنكُم ِّم‬ َ ‫جا َء َأ‬
َ ‫س َف ٍر َأ ْو‬َ ‫ى‬ ٰ َ‫ى َأ ْو َعل‬ ٰ ‫ض‬َ ‫ُنتم َّم ْر‬
ُ ‫َوِإن ك‬
‫ُم َوَأ ْي ِديكُم ِّم ْن ُه‬
ْ ‫هك‬ ِ ‫جو‬ ُ ‫حوا بِ ُو‬ ُ ‫س‬َ ‫ص ِعي ًدا طَيِّبًا َفا ْم‬ َ ‫موا‬ َّ َ‫َف َتي‬
ُ ‫م‬
Artinya: “… dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air
(kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah
dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu…” [Al-Maa-
idah: 6]
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ن‬
َ ‫سنِ ْي‬
ِ ‫ش َر‬
ْ ‫ما َء َع‬ ْ َ‫م َوِإنْ ل‬
َ ‫م َيجِ ِد ا ْل‬ ِ ِ‫سل‬ ُ ‫ب طَ ُه ْو ُر ا ْل‬
ْ ‫م‬ َ ِّ‫ص ِع ْي َد الطَّي‬
َّ ‫ِإنَّ ال‬
“Sesungguhnya tanah yang suci adalah sarana bersuci bagi seorang muslim. Meskipun ia
tidak menemukan air selama sepuluh tahun.”
2. Sebab-sebab yang memperbolehkan Tayammum Tayammum diperbolehkan ketika tidak
mampu menggunakan air, baik disebabkan ketiadaannya atau karena dikhawatirkan parahnya
penyakit yang di derita, atau dingin yang menggigit.
Dari ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, ia berkata:
“Kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan. Beliau
lalu shalat mengimami kami. Tiba-tiba terlihat ada seorang pria yang menyendiri. Lalu beliau
bertanya, ‘Apa yang menghalangimu untuk shalat?’ Dia menjawab, ‘Saya sedang junub dan
tidak mendapatkan air.’
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ ‫ص ِع ْي ِد َفِإنَّ ُه يَ ْك ِف ْي‬
‫ك‬ َ ‫َعلَ ْي‬
َّ ‫ك بِال‬
Artinya: “Gunakanlah tanah. Sesungguhnya itu mencukupimu.”
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami keluar dalam sebuah perjalanan. Salah
seorang di antara kami terkena batu hingga kepalanya terluka parah. Dia kemudian mimpi basah.
Lalu dia bertanya kepada para sahabatnya, ‘Apakah kalian melihat adanya keringanan bagiku
untuk bertayammum?’ Mereka menjawab, ‘Kami tidak mendapatkan keringanan bagimu, sedang
kau mampu menggunakan air.’ Kemudian dia mandi lalu wafat. Ketika kami menemui
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal itu diadukan kepada beliau. Lalu beliau bersabda,
‘Mereka telah membunuhnya. Semoga Allah membunuh mereka. Kenapa mereka tidak bertanya
jika memang tidak tahu?! Sesungguhnya obat kebodohan adalah bertanya. Sesungguhnya
cukuplah baginya untuk bertayammum.’”
Dari ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, bahwasanya ketika dia diutus dalam perang
Dzaatus Salaasil dia berkata, “Pada suatu malam yang sangat dingin, aku mimpi basah. Aku
merasa jika aku mandi maka aku akan celaka. Aku lalu bertayammum kemudian menjadi imam
shalat shubuh bagi para sahabatku. Ketika kami menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, mereka menceritakan hal itu kepadanya. Beliau berkata, ‘Wahai ‘Amr, kau mengimami
para sahabatmu dalam keadaan junub?’ Aku berkata, “Saya teringat firman Allah Ta’ala:
‫ين‬
َ ‫م‬ِ ِ‫اء الظَّال‬
ُ ‫ج َز‬ َ ِ‫ار ۚ َو ٰ َذل‬
َ ‫ك‬ ِ ‫حابِ ال َّن‬ ْ ‫ن َأ‬
َ ‫ص‬ ْ ‫ك َف َتكُونَ ِم‬
َ ‫م‬ ِ ‫يد َأن تَ ُبو َء بِِإ ْث‬
ِ ‫مي َوِإ ْث‬ ُ ‫ِإنِّي ُأ ِر‬
“Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh) ku dan
dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni Neraka, dan yang demikian itulah
pembalasan bagi orang-orang yang zhalim.” [Al-Maa-idah: 29]
3. Batu
Bersuci dengan batu biasanya dilakukan untuk membersihkan najis muttawasitah ainiyah.
Batu yang digunakan untuk bersuci yang sifatnya keras,kesat, suci, dan tidak menghasilkan efek
lain,Maka boleh bersuci. Bersuci dengan tiga batu sudah di jelaskan oleh imam bukhari-muslim
nomor 157.

Hadits Sahih Riwayat al-Bukhari: 157


‫ َوِإ َذا‬، ْ‫ َو َم ْن ا ْستَجْ َم َر فَ ْليُوتِر‬، ْ‫ضَأ َأ َح ُد ُك ْم فَ ْليَجْ َعلْ فِي َأ ْنفِ ِه ثُ َّم لِيَ ْنثُر‬ َ ِ ‫ َأ َّن َرسُو َل هَّللا‬:َ‫ع َْن َأبِي هُ َر ْي َرة‬
َّ ‫ ِإ َذا تَ َو‬:‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬
ُ‫َت يَ ُده‬ ْ ‫ فَِإ َّن َأ َح َد ُك ْم الَ يَ ْد ِري َأ ْينَ بَات‬،‫ا ْستَ ْيقَظَ َأ َح ُد ُك ْم ِم ْن نَوْ ِم ِه فَ ْليَ ْغ ِسلْ يَ َدهُ قَ ْب َل َأ ْن يُ ْد ِخلَهَا فِي َوضُوِئ ِه‬.

Dari Abu Hurairah: Bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

Jika salah seorang dari kalian berwudhu, hendaklah ia memasukkan air ke dalam hidung lalu
mengeluarkannya, barangsiapa yang beristinja’ dengan batu hendaklah dengan bilangan ganjil,
dan jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, hendaklah ia membasuh kedua telapak
tangannya sebelum memasukkannya dalam bejana air wudhunya, sebab salah seorang dari kalian
tidak mengetahui dimana tangannya bermalam.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat saya tarik kesimpulan bahwa bersuci dengan batu
merupakan proses meringankan najis yang melekat pada benda atau tubuh manusia setelah itu
dilanjutkan dengan air mutlak.

o Benda lainnya
Bersuci bisa menggunakan benda lain seperti kayu, daun, kertas, dan benda suci lainnya.
Dengan tekstur benda keras, kesat, suci, dan tidak memberikan efek samping. Jika menggunakan
benda lainnya ini najisnya harus basah , jika sudah kering harus dengan air. Kita bisa bersuci
dengan benda yang teksturnya seperti penjelasan diatas, jika benda itu suci maka bisa bersuci
tapi setelah itu harus di bersihkan kembali dengan air mutlak agar benar-benar suci.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Alat-alat Bersuci
1. Air
Merupakan benda yang istimewa dan punya kedudukan khusus, yaitu menjadi media utama
untuk melakukan ibadah. Air media yang digunakan untuk menghilangkan najis dan juga hadas.

Allah berfirman:

‫  َوه َُو الَّ ِذ ۤيْ اَرْ َس َل ال ِّر ٰي َح بُ ْشر ًۢا بَ ْينَ يَ َديْ َرحْ َمتِ ٖه ۚ  َواَ ْنز َْلنَا ِمنَ ال َّس َمٓا ِ|ء َمٓا ًء طَهُوْ رًا‬

Artinya: dan dialah yang meniupkan angina (sebagai) pembawa kabar gembira sebelum
kedatangan rahmat-nya (hujan); dan kami turunkan dari langit air yang sangat bersih.

(QS. Al-Furqan 25: ayat 48)

Firman allah menjelaskan bahwasanya air adalah pokok utama untuk bersuci.
2. Tanah
Bersuci Dengan Tanah (Tayammum) memiliki makna al-qashdu, yaitu bermaksud.
Penggunaan tanah untuk bersuci jika tidak ada air atau mempunyai penyakit khusus.

Allah Ta’ala berfirman:

ْ َ‫سا َء َفل‬
‫م تَجِ ُدوا َما ًء‬ َ ِّ‫م الن‬ ْ ‫ط َأ ْو اَل َم‬
ُ ‫س ُت‬ ِ ‫ن ا ْلغَاِئ‬ َ ‫ح ٌد ِّمنكُم ِّم‬ َ ‫جا َء َأ‬
َ ‫س َف ٍر َأ ْو‬َ ‫ى‬ ٰ َ‫ى َأ ْو َعل‬ ٰ ‫ض‬َ ‫َوِإن كُن ُتم َّم ْر‬
‫ُم َوَأ ْي ِديكُم ِّم ْن ُه‬
ْ ‫هك‬ ِ ‫جو‬ ُ ‫حوا بِ ُو‬ ُ ‫س‬َ ‫ص ِعي ًدا طَيِّ ًبا َفا ْم‬ َ ‫موا‬ُ ‫م‬َّ َ‫َف َتي‬
Artinya: “… dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air
(kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah
dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu…” [Al-Maa-
idah: 6]

Karena sesungguhnya jika tidak ada air maka bertayamumlah menggunakan tanah itu
adalah keringanan yang diberikan dalam islam.

3. Batu
Bersuci dengan batu biasanya dilakukan untuk membersihkan najis muttawasitah ainiyah.
Batu yang digunakan untuk bersuci yang sifatnya keras,kesat, suci, dan tidak menghasilkan efek
lain,Maka boleh bersuci. Bersuci dengan tiga batu sudah di jelaskan oleh imam bukhari-muslim
nomor 157.
Bersuci dengan batu bertujuan meringankan najis yang menpel pada benda atau tubuh
manusia.

4. Benda lainnya
Bersuci bisa menggunakan benda lain seperti kayu, daun, kertas, dan benda suci lainnya.
Dengan tekstur benda keras, kesat, suci, dan tidak memberikan efek samping. Jika menggunakan
benda lainnya ini najisnya harus basah , jika sudah kering harus dengan air.
Benda apa saja bisa digunakan jika sesuai dengan syarat dan ketentuan yang ada untuk alat
bersuci

Daftar Pustaka

Al-Qur’an Al-Karim

Pptx alat-alat bersuci via gc

https://almanhaj.or.id/676-bersuci-tanah-tayamum.html

Sarwat, Ahmad. 2010. Fiqih Thaharah. Jakarta: DU Center Pres

https://sdit.alhasanah.sch.id

https://muslim.or.id

https://bimbinganislam.com

jurnal UIN Alauddin Makasar

Anda mungkin juga menyukai