Anda di halaman 1dari 12

PARADIGMA TEORI DALAM ISLAM

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teosofi yang diampu oleh

Bapak Busairi, S.Ud, M. Ag

Oleh:

Kelompok 1

Ach.Rofi’ies sholihin:23382071008

Rafly Firmansyah

Eka Ismatul Hawa :23382072026

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA

AGUSTUS 27
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Islam, agama yang kita anut dan dianut milyaran manusia di seluruh dunia, merupakan
way of life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di akhirat kelak. Ia
mempunyai satu sendi utama yang esensial: Berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang
sebaik-baiknya. Allah berfirman,

” Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya.” (QS.
17:9).

Kita yakini sepenuh hati, bahwa konsep apapun di dalam Islam akan membawa pada
kemaslahatan hidup di dunia dan jaminan kebahagiaan di akhirat, termasuk konsep
Pendidikan.

Berbicara tentang paradigma, tidak terlepas dari aspek epistemologi, dalam filsafat ilmu
yang disebut juga dengan istilah teori pengetahuan. Epistemologi memiliki obyek telaah yang
bersifat penjelas atas proses terbentuknya ilmu pengetahuan yang memunculkan pertanyaan-
pertanyaan utama seperti; Bagaimana sesuatu itu datang? Bagaimana kita mengetahuinya?
Bagaimana membedakannya dengan yang lain? Dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan
semacam ini adalah bentuk penegasan tentang hubungan sesuatu dengan situasi dan kondisi,
ruang serta waktu.[1]

B. Rumusan masalah

1. Apa yang dimaksud dengan paradigma?

2. Bagaimana paradigma ilmu pendidikan islam?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian paradigma

Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962). Paradigma dapat
didefinisikan sebagai kerangka konseptual atau model yang dengannya seorang ilmuwan
bekerja (a conceptual framework or model within which a scientist works).[2] Ia adalah
seperangkat asumsi-asumsi dasar yang menggariskan semesta partikular dari penemuan
ilmiah, menspesifikasi beragam konsep-konsep yang dapat dianggap absah maupun metode-
metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan dan menginterpretasikan data. Tegasnya
setiap keputusan tentang apa yang menyusun data atau observasi ilmiah dibuat dalam bangun
suatu paradigma.[3]

Robert Friedrichs, yang mempopulerkan istilah paradigma (1970), berpendapat, paradigma


sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi
pokok persoalan yang semestinya dipelajari.[4] Pengertian lain dikemukakan oleh George
Ritzer (1980), dengan menyatukan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari para
ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh
salahsatu cabang/disiplin ilmu pengetahuan.

Kuntowijoya mengutip pendapat beberapa tokoh dengan gaya bahasanya sendiri tentang
paradigma; Yang dimaksud dengan paradigma di sini, seperti yang yang difahami oleh
Thomas Kuhn bahwa pada dasarnya realitas sosial itu dikontruksi oleh Mode of Thought atau
mode of inquiry tertentu yang pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing tertentu
pula. Immanuel kant, misalnya menganggap “cara mengetahui” itu sebagai apa yang disebut
skema konseptual; Marx menamakannya sebagai ideologi; dan Wittgenstein melihatnya
sebagai cagar bahasa.[5]

Norman K.Denzin membagi paradigma kepada tiga elemen yang meliputi; epistimologi,
ontologi, dan metodologi. Epistimologi mempertanyakan tentang bagaimana cara kita
mengetahui sesuatu, dan apa hubungan anatara peneliti dengan pengetahuan. Ontologi
berkaitan dengan pertanyaan mendasar tentang hakikat realitas. Metodologi memfokuskan
pada bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan.[6]

Dari definisi dan muatan paradigma ini, Zamroni[7] mengungkapkan tentang posisi
paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuwan untuk merumuskan berbagai hal yang berkaitan
dengan:
1. Apa yang harus dipelajari.

2. Persoalan-persoalan apa yang harus dijawab.

3. Bagaimana metode untuk menjawabnya.

4. Aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang


diperoleh.

Berangkat dari hal tersebut di atas maka, Zaim Elmubarok menyimpulkan bahwa paradigma
adalah cara masing-masing orang memandang dunia, yang belum tentu cocok dengan
kenyataan. Paradigma adalah petanya, bukan wilayahnya. Paradigma adalah lensa kita, lewat
mana kita lihat segalanya, yang terbentuk oleh cara kita dibesarkan, pengalaman, serta
pilihan-pilihan.

B. Paradigma Ilmu Pendidikan Islam

Dalam Filsafat Pendidikan Islam, Prof.Tafsir menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah
“Memanusiakan manusia”. Manusia perlu dibantu agar ia berhasil menjadi manusia.
Seseorang dapat dikatakan telah menjadi manusia apabila ia telah memiliki sifat
kemanusiaan. Itu meunjukkan bahwa tidak mudah untuk menjadi manusia.[8] Maka di sini
perlunya pendidikan sebagai sarana “Pemanusiaan” tadi. Karena proyek pemanusiaan ini
sangat sulit, maka tidak bisa instan, dan asal-asalan.

Maka Bertolak dari asumsi bahwa life is education and education is life, dalam arti
pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup dan
kehidupan manusia adalah proses pendidikan (Long life education), atau konsep Islamnya
pendidikan sepanjang hayat, -Minal mahdi ila lahdi- maka pendidikan Islam pada dasarnya
hendak mngembangkan pandangan hidup Islami, yang diharapkan tercermin dalam sikap
hidup dan keterampilan hidup orang Islam. Dan hal ini sejalan dengan Tujuan Pendidikan
Nasional.

Mungkinkah Islam dapat dijadikan alternatif paradigma Ilmu Pendidikan? Satu sisi
pertanyaan itu dapat dibenarkan, sebab kajian Islam selalu bertolak dari dogmatika Illahi
yang harus diyakini kebenarannya, bukan bertolak dari realitas sosio-kultur manusia,
sedangkan persoalan-persoalan pendidikan lebih merupakan persoalan praktis, empiris, dan
pragmatis. Namun di sisi lain, pertanyaan tersebut perlu dikaji ulang. Sebab, tidak semua
persoalan pendidikan dapat dijawab melalui analisis Objektif-empiris, tetapi justru
membutuhkan analisis yang bersifat aksiomatis, seperti persoalan keberadaan Tuhan,
manusia, dan alam. Masalah-masalah ini lebih mudah dikaji melalui pendekatan agama.[9]

Seperti yang sudah saya jelaskan di awal tulisan, bahwa Islam yang memiliki sifat universal
dan kosmopolit tak terbantahkan untuk bisa merambah ke ranah kehidupan apa pun, termasuk
dalam ranah pendidikan. Ketika Islam dijadikan Paradigma Ilmu Pendidikan paling tidak
berpijak pada tiga alasan:
1. Ilmu Pendidikan sebagai ilmu humaniora tergolong ilmu normatif, karena ia terkait
oleh norma-norma tertentu. Pada taraf ini, nilai-nilai Islam sangat berkompeten untuk
dijadikan norma dalam Ilmu Pendidikan.[10] Adapun landasan normatif Islam dalam hal
pendidikan, sebagai berikut:

a. Islam meletakkan prinsip kurikulum, strategi, dan tujuan pendidikan berdasarkan


aqidah Islam. Pada aspek ini diharapkan terbentuk sumber daya manusia terdidik dengan
aqliyah Islamiyah (pola berfikir islami) dan nafsiyah islamiyah (pola sikap yang islami).

b. Pendidikan harus diarahkan pada pengembangan keimanan, sehingga melahirkan amal


shaleh dan ilmu yang bermanfaat. Prinsip ini mengajarkan pula bahwa di dalam Islam yang
menjadi pokok perhatian bukanlah kuantitas, tetapi kualitas pendidikan. Perhatikan
bagaimana Al Quran mengungkapkan tentang ahsanu amalan atau amalan shalihan (amal
yang terbaik atau amal shaleh).

c. Pendidikan ditujukan dalam kaitan untuk membangkitkan dan mengarahkan potensi-


potensi baik yang ada pada diri setiap manusia selaras dengan fitrah manusia dan
meminimalisir aspek yang buruknya

d. Keteladanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu proses pendidikan.
Dengan demikian sentral keteladanan yang harus diikuti adalah Rasulullah saw. Dengan
demikian Rasulullah saw. merupakan figur sentral keteladanan bagi manusia. Al quran
mengungkapkan bahwa “Sungguh pada diri Rasul itu terdapat uswah (teladan) yang terbaik
bagi orang-orang yang berharap bertemu dengan Allah dan hari akhirat”.[11]

2. Alasan kedua adalah, dalam menganalisis masalah pendidikan, para ahli selama ini
cenderung mengambil teori-teori dan falsafah Pendidikan Barat. Falsafah Pendidikan Barat
lebih bercorak sekuler yang memisahkan berbagai dimensi kehidupan. Sedangkan masyarakat
Indonesia lebih bersifat religius. Atas dasar itu, nilai-nilai ideal Islam sangat memungkinkan
untuk dijadikan acuan dalam mengkaji fenomena kependidikan.

3. Alasan ketiga adalah dengan menjadikan Islam sebagai Paradigma , maka keberadaan
Ilmu Pendidikan memiliki ruh yang dapat menggerakkan kehidupan spiritual dan kehidupan
yang hakiki. Tanpa ruh ini berarti pendidikan telah kehilangan ideologinya.

Makna Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan Adalah suatu konstruksi pengetahuan yang
memungkinkan kita memahami realitas Ilmu Pendidikan sebagaimana Islam memahaminya.
Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh nilai-nilai Islam dengan tujuan agar kita memiliki
hikmah (wisdom) yang atas dasar itu praktik pendidikan yang sejalan dengan nilai-nilai
normatif Islam. Pada taraf ini, Paradigma Islam menuntut adanya grand design tentang
ontologi,epistemologi, dan aksiologi pendidikan.

Fungsi paradigma ini pada dasarnya untuk membangun perspektif Islam dalam rangka
memahami realitas Ilmu Pendidikan. Tentunya hal ini harus ditopang oleh konstruksi
pengetahuan yang menempatkan wahyu sebagai sumber utamanya, yang pada gilirannya
terbentuk struktur transendental sebagai referensi untuk menafsirkan realitas pendidikan.
Islam sebagai Paradigma Ilmu pendidikan juga memiliki arti konstruksi sistem pendidikan
yang didasarkan atas nilai-nilai universal Islam. Bangunan sistem ini tentunya berpijak pada
prinsip-prinisp hakiki, yaitu prinsip at-tauhid, prinsip kesatuan makna kebenaran dan prinsip
kesatuan sumber sistem. Dari prinsip-prinsip tersebut selanjutnya diturunkan elemen-elemen
pendidikan sebagai World of view, terhadap pendidikan.

Paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur
kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam –yang
terwujud dalam apa-apa yang ada dalam al-Qur`an dan al-Hadits– menjadi qa’idah fikriyah
(landasan pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran
dan ilmu pengetahuan manusia (An-Nabhani, 2001).

Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya berdasarkan


Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang pertama kali
turun:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (Qs. al-‘Alaq : 1).

Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh berbagai
pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh lepas dari Aqidah
Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada
Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam (Al-Qashash : 81). [12]

Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah Islam memiliki sistem pendidikan
tersendiri? Ataukah sistem Pendidikan Islam itu hanya mengadopsi sistem pendidikan
kontemporer barat sambil mencantumkan beberapa haidts dan ayat-ayat Al-Qur’an yang
mendukungnya?

Rumusan system pendidikan Islam harus dikaitkan dengan pemikiran filosofis pendidikan
Islam. ‘Abd al-Rahman Salih ‘Abd Allah dalam Education Theory: A Quranic Outlook
menyatakan bahwa perumusan system pendidikan Islam dapat dilakukan melalui dua corak.
[13] Pertama, corak yang menghendaki adanya keterbukaan terhadap pandangan hidup dan
kehidupan nonmuslim. Corak ini berusaha meminjam konsep-konsep non-Islam dan
menggabungkannya ke dalam pemikiran pendidikan Islam. Kedua, corak yang berusaha
mengangkat pesan besar Illahi ke dalam kerangka pemikiran pendidikan. Konten pendidikan
ini berasal dari Al-Quran dan Hadits. Oleh karena keberadaan Al-Quran dan Hadits masih
bersifat global, maka konten pendidikan masih bersifat asas-asas dan prinsip-prinsip
pendidikan.

Kedua corak pemikiran yang ditawarkan di atas merupakan kerangka dasar bagi bangunan
paradigma pendidikan Islam. Asumsi yang mendasari kelompok pertama adalah bahwa tidak
ada salahnya jika pemikir muslim meminjam atau bahkan menemukan kebenaran dari pihak
lain. Nabi Muhammad SAW dalam suatu haditsnya bersabda: “Hikmah itu merupakan barang
yang hilang, jika ditemukan dari mana saja datangnya, maka ia berhak memilikinya”.[14]
Hadits ini memberikan sinyalemen agar pemikir muslim tidak segan-segan mengadopsi
pemikiran pendidikan non-Islam, dengan catatn pemikiran yang diadopsi tersebut
mengandung suatu kebenaran.

Sejarah telah membuktikan, bahwa kemunculan pendidikan sebagai disiplin ilmu yang
mandiri berasal dari pemikir-pemikir nonmuslim. Melalui metode empirisnya, mereka telah
menemukan konsep dan teori pendidikan, sehingga mereka banyak memberikan kontribusi
bagi berbagai disiplin ilmu lain yang berhubungan dengan pendewasaan manusia. Apa yang
mereka lakukan sebenarnya merupakan pemahaman terhadap suunah Allah yang berkaitan
dengan prilaku manusia, meskipun asumsi yang digunakan berlandaskan hukum alam. Di
satu sisi upaya mereka merupakan pengejawantahan dari firman Allah SWT dalam QS.
Fushshilat ayat 53; “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan)
Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri(anfus), sehingga jelaslah bagi mereka
bahwa Al-Quran itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa
sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” Dalam arti, mereka telah mempelajari ayat-
ayat afaq dan anfus, sebagai phenomena alam. Namun di sisi yang lain, upaya mereka perlu
mendapatkan penyucian (tazkiyah), dari yang netral etik menjadi yang sarat ideologis,
melalui proses islamisasi pendidikan.

Asumsi pemikiran kelompok kedua adalah bahwa Islam merupakan system ajaran yang
universal dan komprehenshif. Tak satupun persoalan, termasuk persoalan pendidikan, yang
luput dari jangkauan ajaran Islam. Allah SWT berfirman dalam QS al-An,am ayat 38;
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka
dihimpunkan.” Dan QS. Al-Nahl ayat 89; “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al
Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri”. Dua ayat di atas memberikan isyarat bahwa pengembangan
pendidikan Islam cukup digali dari sumber autentik Islam, yaitu Al Quran dan Hadits.

Corak pertama bersifat pragmatis. Artinya, corak yang lebih mengutamakan aspek-aspek
praktis dan kegunaannya. Formulasi system pendidikan Islam dapat diadopsi dari sistem
pendidikan kontemporer Barat yang sudah mapan. Transformasi ini tentunya mendapatkan
legalitas dari Al Quran dan Sunnah. Jadi, nash di sini hanya berfungsi sebagai justifikasi dan
legitimasi keberadaan system pendidikan kontemporer belaka. Upaya ini sebenarnya
bukanlah bermaksud mengadakan interpretasi adaptif, tetapi lebih jauh upaya ini berfungsi
sebagai penjabaran dan operasionalisasi universitas Islam. Islam memiliki nilai universal
selalu akomodatif terhadap produk peradaban, selama produk tersebut secara asasiah tidak
bertentangan dengan nilai dasar Islam.

Sistem pendidikan Islam model ini bersumber dari pemikiran filsafat aliran progresifisme,
esensialisme, perenialisme, pragmatism dan rekonstruksianisme. Apabila pemikiran masing-
masing aliran tersebut sejalan dengan nash, maka pemikirannya itu dijadikan sebagai wacana
pendidikan Islam. Tetapi jika bertentangan, maka pemikirannya ditolak. Model pragmatis ini
banyak diminati oleh para ahli pendidikan Islam. Di samping efektif dan efisien, model ini
telah teruji validitasnya dari masa-ke masa.

Sedangkan corak kedua bersifat idealistis. Artinya, formulasi system pendidikan Islam digali
dari ajaran ideal Islam sendiri. Corak ini menggunakan pola piker deduktif, dengan
membangun premis mayor(sebagai postulasi) yang dikaji dari nash. Bangunan premis mayor
ini dijadikan sebagai “kebenaran universal” untuk diterapkan pada premis minornya, yaitu
pendidikan. Dari proses ini akhirnya mendapatkan teori mengenai system pendidikan Islam.

Model idealistis ini membutuhkan kerja ekstra, karena harus berawal dari ruang yang kosong.
Prosedur mekanisme model ini adalah:

1. menyelesaikan persoalan kependidikan berdasarkan nash secara langsung. Prosedur ini


lajimnya menggunakan metode tematik (mawdlui), yaitu mengklasifikasikan ayat atau hadits
menurut kategorinya, kemudian menyimpulkannya berdasarkan kategori tersebut;

2. menyelesaikan persoalan kependidikan berdasarkan interpretasi para filsuf muslim,


seperti Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ibnu Bajjah, Ikhwan al-Shffah, al-Razi dan sebagainya. Ciri
utama interpretasi kelompok ini adalah mengutamakan pendidikan intelektual (al-‘aql);

3. menyelesaikan persoalan kependidikan berdasarkan interpretasi para sufi muslim,


seperti al-Ghazali, Ibn Arabi, Rabiah al-Adawiyah, al-Jilli, dan sebagainya. Ciri utama
interpretasi kelompok ini adalah sangat mengutamakan pendidikan intuisi (al-qalb aw al-
dawq);

4. menyelesaikan persoalan pendidikan berdasarkan interpretasi para pemikir muslim


kontemporer, seperti Iqbal, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, al-Afghani dan sebagainya.
Ciri utama interpretasi kelompok ini adalah hasil interpretasinya didukung oleh data ilmiah.

Kelebihan corak idealistis ini adalah: (1) ia dapat memproyeksikan bentuknya seislami
mungkin. Simbol-simbol dan substansi pendidikan diturunkan dari terminology Islam.; (2) ia
didasarkan atas kerangka dasar yang diyakini mutlak kebenarannya dan mengandung nilai-
nilai universal. Sedangkan kelemahannya adalah umat Islam belum mempunyai metodologi
yang sebaik di Barat. Sehingga upaya ini dikhawatirkan mengalami kegagalan, atau paling
tidak mengalami keterlambatan, sementara kemajuan system Barat semakin kokoh dan
melaju.

Untuk menghindari fanatisme dan kelemahan suatu model, maka pendekatan terbaik dalam
merumuskan system pendidikan Islam adalah dengan pendekatan eklektik. Maksud
pendekatan ini adalah mengambil suatu model yang dianggap terbaik untuk memecahkan dan
mengkaji suatu persoalan, dan mengambil model yang lain untuk mengkaji persoalan yang
lain jika pengambilan itu dirasa terbaik. Dengan kata lain, perumusan system pendidikan
Islam dapat menggunakan pendekatan campuran, antara yang pragmatis dan yang idealistis.

Pendidikan Islam merupakan salah satu disiplin ilmu keislaman yang membahas objek-objek
di seputar kependidikan. Pemahaman hakikat pendidikan Islam sebenarnya tercermin di
dalam sejarah dan falsafah Islam sendiri, sebab setiap proses pendidikan tidak terlepas dari
objek-objek keislaman. Pendidikan Islam semula mengambil bentuk sebagai:

1. asas-asas kependidikan. Asas-asas kependidikan yang dimaksud terakumulasi di dalam


Al-Quran dan As-Sunnah. Tak satupun persoalan, termasuk persoalan pendidikan, yang luput
dari jangkauan ajaran Islam, sekalipun cakupannya tidak menyentuh pada aspek-aspek teknik
oprasional. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-An’am ayat 38: “Tiadalah Kami alpakan
sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” Dan QS.
Al-Nahl ayat 89; “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah
diri”. Dua ayat di atas memberikan isyarat bahwa perumusan pengembangan pendidikan
cukup digali dari sumber autentik Islam, yaitu Al Quran dan Hadits.

2. konsep-konsep kependidikan. Konsep-konsep kependidikan yang dimaksud merupakan


hasil pemikiran, perenumgan dan interpretasi para ahli yang diinspirasikan dari Al-Quran dan
As-Sunnah, baik tentang konsep: (1) ontologi pendidikan, yang membahas hakikat Tuhan,
manusia dan alam yang menjadi kajian utama dalam pendidikan Islam; (2) epistemologi
pendidikan, yang membahas tentang epistemologi dan metodologi dalam pendidikan Islam;
dan (3) aksiologi pendidikan, yang membahas tentang sisyem nilai yang dikembangkan
dalam pendidikan Islam. Ketiga aspek tersebut telah terumuskan begitu rapi dari para filsuf
Muslim (seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibn Maskawaih, dan Ibnu Rusyd) dan para
sufi (seperti al-Ghazali, Rabiah al-Adawiyah, Ibnu Qayyim).

3. teori-teori kependidikan. Teori-teori kependidikan yang dimaksud merupakan hasil


kerja ilmiah dalam melihat pendidikan. Para ahli tidak lagi melihat pendidikan Islam dari
sudut yang ideal dan normative yang bersumber dari asas dan konsep pendidikan Islam, tetapi
lebih melihat dari sisi yang nyatanya. Sumber dari tata kerja ilmiah ini digali dari fenomena
pendidikan yang berkembang pada orang atau masyarakat Islam. Apa yang terjadi di dunia
empiris tentang orang atau masyarakat Islam dijadikan sebagai rujukan dalam membangun
teori-teori kependidikan Islam. Dalam kontesk ini, persyaratan ilmiah (seperti riset dan
eksperimen) menjadi bagian integral dalam membangun teori-teori pendidikan Islam.

BAB III

PENUTUP
A. kesimpulan

paradigma adalah cara masing-masing orang memandang dunia, yang belum tentu cocok
dengan kenyataan. Paradigma adalah petanya, bukan wilayahnya. Paradigma adalah lensa
kita, lewat mana kita lihat segalanya, yang terbentuk oleh cara kita dibesarkan, pengalaman,
serta pilihan-pilihan.

Islam yang memiliki sifat universal dan kosmopolit tak terbantahkan untuk bisa merambah ke
ranah kehidupan apa pun, termasuk dalam ranah pendidikan. Ketika Islam dijadikan
Paradigma Ilmu Pendidikan paling tidak berpijak pada tiga alasan

1. Ilmu Pendidikan sebagai ilmu humaniora tergolong ilmu normatif, karena ia terkait oleh
norma-norma tertentu. Pada taraf ini, nilai-nilai Islam sangat berkompeten untuk dijadikan
norma dalam Ilmu Pendidikan.

2. Alasan kedua adalah, dalam menganalisis masalah pendidikan, para ahli selama ini
cenderung mengambil teori-teori dan falsafah Pendidikan Barat. Falsafah Pendidikan Barat
lebih bercorak sekuler yang memisahkan berbagai dimensi kehidupan. Sedangkan masyarakat
Indonesia lebih bersifat religius. Atas dasar itu, nilai-nilai ideal Islam sangat memungkinkan
untuk dijadikan acuan dalam mengkaji fenomena kependidikan.

3. Alasan ketiga adalah dengan menjadikan Islam sebagai Paradigma , maka keberadaan
Ilmu Pendidikan memiliki ruh yang dapat menggerakkan kehidupan spiritual dan kehidupan
yang hakiki. Tanpa ruh ini berarti pendidikan telah kehilangan ideologinya.

Tak terbantahkan lagi bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Segala aspek kehidupan
manusia di atur di dalamnya. Tak terkecuali masalah pendidikan. Pendidikan di dalam Islam,
diarahkan untuk memanusiakan manusia, dengan bahasa lain untuk mengembalikan manusia
kepada fitrahnya. Manusia adalah makhluk yang taat, tunduk patuh kepada aturan, selalu
condong kepada kebenaran.Maka jelas di sini bahwa ketika Islam dijadikan paradigm Ilmu
Pendidikan, produk dari pendidikan itu sendiri akan sesuai dengan nilai-nilai Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana

Elmubarok, Zaim. 2009. Membumikan Pendidikan nilai, Bandung: Alfabeta

Hadits Riwayat At-Tirmidzi dari Abu Hurairah. Lihat Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa Ibn
Saurah, al-jami’al-shahih wa huwa sunan al-Turmuzi, Beirut: Dar al-Ahya’, t.t), kitab al-‘ilm

hayatulislam.multiply.com/journal/item/, akses tgl 22 deseber 2014

Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam, Interpretasi untuk aksi. Mizan: Bandung

Norman K.Denzin dan Yvonna S.Lincoln, 1994. Handbook of qualitative Research,


Thousand OAKS: SAGE publications

Syafiie, Inu Kencana. 2007. Pengantar Filsafat. Bandung : Rafika Aditama

Tafsir, Ahmad. 2010. Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Rosdakarya

terjemahan bebas dari ‘Abd al-Rahman Saleh.1982. Education theory: A Qur’anic Outlock,
Mekkah: Umm al-Qura University

Zamroni. 1992. Pengantar Pengembangan Teori sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana

[1] Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung : Rafika Aditama, 2007), hal. 10

[2] Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan nilai, (Bandung: Alfabeta 2009), cet.2,hal.
38.

[3] Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk aksi, (Mizan: Bandung 1991), cet.1,
hal. 167-168

[4] Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan nilai, (Bandung: Alfabeta 2009), cet.2,hal. 38

[5] Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk aksi, (Mizan: Bandung 1991), cet.1,
hal. 327

[6] Norman K.Denzin dan Yvonna S.Lincoln, Handbook of qualitative Research, (Thousand
OAKS: SAGE publications, 1994), hal. 99

[7] Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana,1992)

[8] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2010), cet ke-4, hal. 33

[9] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Kencana, 2008), cet
ke-2, hal. 1

[10] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Kencana, 2008), cet
ke-2, hal. 1-2
[11]

[12] hayatulislam.multiply.com/journal/item/, akses tgl 22 deseber 2014

[13] terjemahan bebas dari ‘Abd al-Rahman Saleh, Education theory: A Qur’anic Outlock,
(Mekkah: Umm al-Qura University,1982), hal. 35-36

[14] Hadits Riwayat At-Tirmidzi dari Abu Hurairah. Lihat Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa Ibn
Saurah, al-jami’al-shahih wa huwa sunan al-Turmuzi, (Beirut: Dar al-Ahya’, t.t), kitab
al-‘ilm, nomor 2887,hal. 51.

Anda mungkin juga menyukai