Anda di halaman 1dari 16

LANDASAN PENDIDIKAN ISLAM DAN

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata


kuliah “Filsafat Pendidikan Agama Islam”

Oleh

DIAN FARDA AL HASANI NIM 22.6.8.1886

Dosen Pemangku :
Dr. Bachtiar Hariyadi, M.Si

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS


SUNAN GIRI SURABAYA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

Keadaan Filsafat Pendidikan Islam yang diperdebatkan menjadikan


Kedudukannya juga dalam pertanyaan. Apakah ia mempunyai kontribusi
terhadap pendidikan dan juga terhadap Islam. Tetapi yang jelas bahwa dalam
pengembangan Pendidikan Islam diperlukan landasan ideal dan rasional yang
memberikan pandangan mendasar, menyeluruh dan sistematis tentang hakekat
yang ada di balik masalah pendidikan yang dihadapi. Dengan demikian Filsafat
Pendidikan menyumbangkan analisanya kepada ilmu pendidikan Islam tentang
hakekat masalah yang nyata dan rasional yang mengandung nilai-nilai dasar
yang dijadikan landasan atau petunjuk dalam proses kependidikan.
Sebagai Disiplin Ilmu Filsafat, Filsafat Pendidikan Islam mempunyai
sumber-sumber dasar pijakan yang dijadikan rujukan operasional disiplinnya.
Filsafat pendidikan ini adalah dalam lingkup Islam, maka sudah barang tentu ia
mengikuti ajaran islam dalam pembahasan masalah-amsalahnya. Ajaran dan
pendidikan islam itu sendiri bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadis, maka kita
akan mendapati keduanya sebagai rujukan utama dalam isu-isu filsafat
pendidikan Islam.
Paparan di atas memberikan sedikit gambaran tentang pengertian
filsafat pendidikan Islam, Kedudukan dan Sumbernya, tetapi gambaran tersebut
masih terbatas dan samar. Sebagai bagian dari pelaku pendidikan Islam tentunya
kita dituntut untuk mengerti seluk beluk Filsafat Pendidikan Islam untuk
kepentingan pengembangan Pendidikan Islam. Hal itu bisa kita mulai dengan
mempelajari pengertian, landasan ontologis, epistimologis dan aksiologis. Pelaku
pendidikan Islam baik apabila membaca makalah ini untuk melengkapi khasanah
pengetahuan Filsafat Pendidikan Islam. Demikianlah pendahuluan makalah ini
BAB II
PEMBAHASAN

A. Landasan Antologis
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti
sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi dapat diartikan sebagai
ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada1.
Dalam konsep filsafat ilmu Islam, segala sesuatu yang ada ini meliputi yang
nampak dan yang tidak nampak (metafisis).
Metafisika sebagai cabang filsafat mengenai kenyataan (realitas) berusaha
mencari hakikat sesuatu. Karena usahanya mencari hakikat, maka timbullah ilmu-ilmu
keagamaan atau ketuhanan, dan yang berhubungan dengan masalah apa.
Ontologi pendidikan Islam membahas hakikat substansi dan pola organisasi
pendidikan Islam. Secara ontologis, Pendidikan Islam adalah hakikat dari kehidupan
manusia sebagai makhluk berakal dan berfikir. Jika manusia bukan makluk berfikir,
tidak ada pendidikan. Selanjutnya pendidikan sebagai usaha pengembangan diri
manusia, dijadikan alat untuk mendidik2.
Kajian ontologi ini tidak dapat dipisahkan dengan Sang Pencipta. Allah telah
membekalkan beberapa potensi kepada kita untuk berfikir. Pertanyaan selanjutnya
apakah sebenarnya hakekat pendidikan Islam itu? Apakah pendidikan mesti diadakan
dan diyakini sebagai sesuatu hal yang penting bagi hidup manusia?
Tiga kata kunci tentang pendidikan Islam yaitu :
1. Ta’lim, kata ini telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan Islam.
Mengacu pada pengetahuan, berupa pengenalan dan pemahaman terhadap segenap
nama-nama atau benda ciptaan Allah. Rasyid Ridha, mengartikan ta’lim sebagai
proses transmisi berbagai Ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya
batasan dan ketentuan tertentu.
2. Tarbiyah, kata ini berasal dari kata Rabb, mengandung arti memelihara,
membesarkan dan mendidik yang kedalamannya sudah termasuk makna mengajar.
3. Ta’dib, Syeh Muhammad Naquib al-Attas mengungkapkan istilah yang paling
tepat untuk menunjukan pendidikan Islam adalah al-Ta’dib, kata ini berarti

1
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epitemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 69.
2
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 18.
pengenalalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam
diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu
di dalam tatanan penciptaan3.
Dari ketiga kata kunci di atas, berbagai pakar telah merumuskan tentang
pendidikan Islam, sebagai berikut:
 Marimba mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan
rohani menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
[6]
 Yusuf al Qardawi mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan
manusia seutuhnya akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan
keterampilannya.
 Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang
diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan
ajaran Islam.
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah
suatu sistem yang dapat mengarahkan kehidupan peserta didik sesuai dengan ideologi
Islam.
Dengan demikian secara ontologis pemahaman terhadap pendidikan Islam
tidak dapat dipisahkan dengan Allah selaku Pencipta manusia. Karena pendidikan
Islam ditujukan pada terbentuknya kepribadian Muslim yang dapat memenuhi hakikat
penciptaannya, yakni menjadi Pengabdi Allah.

B. Landasan Epistemologis
Epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan dan logos
yang berarti ilmu. Jadi epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang pengetahuan
dan cara memperolehnya.
Dengan kata lain, epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang menyoroti
atau membahas tentang tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan
keilmuan.
Dunia manusia nyaris selalu menjadi dunia pendidikan. Dalam pengertian ini, dunia
senantiasa mengakui pendidikan adalah sesuatu hal yang penting. Hal ini didasarkan
pada beragam tujuan nilai, termasuk salah satunya yang utama adalah tujuan-tujuan
etis: untuk membuat manusia manjadi lebih baik. Pandangan ini kemudian dilengkapi
3
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2012), 126.
dengan berbagai penjelasan bahwa pendidikan kemudian mempercayai instrument
utama guna mendidik manusia. Pendidikan mempercayai bahwa dengan membuat
manusia menjadi berpengetahuan akan menjadi baik.

Dari pendapat tersebut, terdapat pandangan yang mengatakan bahwa tanpa


pengetahuan, dunia manusia tidak akan pernah sungguh-sungguh mampu berdiri
menjadi dunia. Sebaliknya ia akan menjadi ruang lengang, tempat ribuan pasang mata
hidup dalam situasi yang begitu mati dan tanpa nyala apapun4.
Hanya saja sepanjang itu kita nyaris tidak pernah menelisik lebih jauh dan
mencoba kritis, dengan bertanya benarkah pengetahuan dapat membuat manusia
menjadi baik? Benarkah pengetahuan dapat membentuk manusia menjadi spesies yang
bermoral? Jika memang pengetahuan mampu melakukan keajaiban itu, apa sebenarnya
yang dimiliki oleh pengetahuan hingga ia dapat mengubah manusia yang jahat
menjadi manusia baru yang baik?
Epistemologi disebut juga sebagai teori pengetahuan, yakni cabang filsafat
yang membicarakan tentang cara memperoleh pengetahuan, hakikat pengetahuan dan
sumber pengetahuan. Menyimak dari pernyataan tersebut maka dalam pendidikan
Islam harus mengetahui pendekatan dan metode yang digunakan untuk memperoleh
pengetahuan. Ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk membangun
pengetahuan tentang pendidikan Islam diantaranya sebagai berikut:
1. Pendekatan pengalaman yaitu pemberian pengalaman kegamaan kepada peserta
didik dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan. Syaiful Bahri Djamrah
menyatakan bahwa pengalaman yang dilalui seseorang adalah guru yang terbaik5.
2. Pendekatan pembiasaan yaitu suatu tingkah laku tertentu yang sifatnya otomatis
tanpa direncanakan terlebih dahulu dan berlaku begitu saja yang ada kala tanpa
dipikirkan.
3. Pendekatan emosional ialah usaha untuk menggugah perasaan dan emosi peserta
didik dalam meyakini ajaran Islam serta dapat merasakan mana yang baik dan
mana yang buruk.
4. Pendekatan rasional adalah suatu pendekatan menggunakan rasio (akal) dalam
memahami dan menerima kebesaran dan kekuasaan Allah.
5. Pendekatan fungsional adalah usaha memberikan materi agama dengan
4
Teguh Wangsa Gandhi HW, Filsafat Pendidikan ( Jogjakarta: Ar- Ruzz Media, 2011), 92.
5
Syaiful Bahri Djmarah dan Azwan Zain, Strategi Belajar Mengajar ( Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), 70
menekankan kepada segi kemanfaatn pada peserta didik dalam kehidupan sehari-
hari, sesuai dengan tingkat perkembangannya.
6. Pendekatan ketauladanan adalah memperlihatkan ketauladanan,baik yang
berlangsung melalui penciptaan kondisi pergaulan yang akrab ntara personal
sekolah, perilaku pendidikan dan perilaku pendidik yang mencerminkan akhlak
terpuji, maupun yang tidak langsung melalui suguhan ilustrasi berupa kisah-kisah
ketauladanan.
Dengan demikian kita juga harus mengetahui metode yang dapat digunakan
untuk membangun pengetahuan tentang pendidikan Islam diantaranya sebagai berikut:
a) Metode Rasional (Manhaj ‘Aqli)
Metode Rasional adalah metode yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan
dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria-kriteria kebenaran
yang bisa diterima rasio. Menurut metode ini sesuatu dianggap benar apabila bisa
diterima oleh akal, seperti sepuluh lebih banyak dari lima. Tidak ada orang yang
mampu menolak kebenaran ini berdasarkan penggunaan akal sehatnya, karena
secara rasional sepuluh lebih banyak dari lima.6
b) Metode Intuitif (Manhaj Zawqi)
Metode intuitif merupakan metode yang khas bagi ilmuan yang menjadikan
tradisi ilmiah Barat sebagai landasan berfikir mengingat metode tersebut tidak
pernah diperlukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sebaliknya
dikalangan Muslim seakan-akan ada kesepakatan untuk menyetujui intuisi sebagai
satu metode yang sah dalam mengembangkan pengetahuan, sehingga mereka
telah terbiasa menggunakan metode ini dalam menangkap pengembangan
pengetahuan. Muhammad Iqbal menyebut intuisi ini dengan peristilahan “cinta”
atau kadang-kadang disebut pengalaman kalbu.
c) Metode Dialogis (Manhaj Jadali)
Metode dialogis yang dimaksudkan di sini adalah upaya menggali pengetahaun
pendidikan Islam yang dilakukan melalui karya tulis yang disajikan dalam bentuk
percakapan antara dua orang ahli atau lebih berdasarkan argumentasi-argumentasi
yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
d) Metode Komparatif (Manhaj Maqaran)
Metode komparatif adalah metode memperoleh pengetahuan (dalam hal ini

6
Mujamil Qomar, Epistimologi Pendidikan Islam ( Jakarta: Erlangga, 2008), 269.
pengetahuan pendidikan Islam, baik sesama pendidikan Islam maupun pendidikan
Islam dengan pendidikan lainnya). Metode ini ditempuh untuk mencari
keunggulan-keunggulan maupun memadukan pengertian atau pemahaman, supaya
didapatkan ketegasan maksud dari permasalahan pendidikan.
e) Metode Kritik (Manhaj Naqdi)
Metode kritik yaitu sebagai usaha untuk menggali pengetahuan tentang
pendidikan Islam degnan cara mengoreksi kelemahan-kelemahan suatu konsep
atau aplikasi pendidikan, kemudian menawarkan solusi sebagai altrnatif
pemecahannya.
Manusia yang pada mulanya hidup dengan pola apa adanya, karena
pengetahuan, kemudian memulai hidupnya dengan cara serta kesadaran-kesadaran
baru. Meskipun di era-era awal peran pengetahuan berkisar pada aspek-aspek yang
begitu pragmatis, terkait dengan berbagai pengubahan sisi pragsis keberkangsungan
hidup semata, lahirnya pengetahuan telah menjadi era baru yang sepenuhnya berbeda
dari sebelumnya.
Dalam fashion misalnya, manusi pada mulanya hidup seperti binatang tanpa
pakaian apapun, di era ini mulai mengalami gejala fashion, tertarik menggunakan
pakaian-pakaian ala kadarnya. Dalam pemikiran manusia yang baru inilah munculah
pengetahuan-pengatahun baru, yang dapat bermanfaat bagi perkembangan manusia
menjadi lebih baik.

C. Landasan Aksiologi
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang
berarti sesuai atau wajar dan logos yang berarti ilmu.Aksiologi dipahami sebagai teori
nilai. Kemudian Muzayyin Arifin memberikan definisi aksiologi sebagai suatu
pemikiran tentang masalah nilai- nilai termasuk nilai tinggi dari Tuhan, misalnya nilai
moral, nilai agama, dan nilai keindahan (estetika).7
Menurut Notonegoro, nilai dibedakan menjadi tiga macam, yaitu nilai
material, nilai vital, dan nilai kerohanian.
1. Nilai material adalah segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia
atau kebutuhan ragawi manusia.
2. Nilai vital adalah segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat
mengadakan kegiatan atau aktivitas.
7
Muzayyin Arifin. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), 8.
3. Nilai kerohanian adalah segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.
Nilai kerohanian meliputi:
a) Nilai kebenaran yang bersumber pada akal (rasio, budi, cipta) manusia;
b) Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan
manusia;
c) Nilai kebaikan atau nilai moral yang bersumber pada unsur kehendak (karsa)
manusia;
d) Nilai religius (agama) yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak
yang bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia.
Didalam ajaran Islam merupakan perangkat sistem nilai yaitu pedoman
hidup secara islami, sesuai dengan tuntunan Allah SWT. Aksiologi Pendidikan Islam
berkaitan dengan nilai-nilai, tujuan, dan target yang akan dicapai dalam pendidikan
Islam. Nilai-nilai tersebut harus dimuat dalam kurikulum pendidikan Islam,
diantaranya:
 Mengandung petunjuk Akhlak
 Mengandung upaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia dibumi dan
kebahagiaan di akherat.
 Mengandung usaha keras untuk meraih kehidupan yang baik.
 Mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan kehidupan dunia
dan akhirat.
Tujuan utama pendidikan Islam adalah untuk mendapatkan Ridha Allah
SWT. Dengan pendidikan Islam, diharapkan lahir individu-indidivu yang baik,
bermoral, berkualitas, sehingga bermanfaat bagi diri, keluaga, masyarakat, negara dan
ummat manusia secara keseluruhan. Meraih kebahagiaan dunia dan akherat.
Beberapa indikator dari tercapainya tujuan pendidikan islam dapat dibagi
menjadi tiga tujuan mendasar, yaitu:
1. Tercapainya anak didik yang cerdas. Ciri-cirinya adalah memiliki tingkat
kecerdasan intelektualitas yang tinggi sehingga mampu menyelesaikan masalah
yang dihadapi oleh dirinya sendiri maupun membantu menyelesaikan masalah
orang lain yang membutuhkannya.
2. Tercapainya anak didik yang memiliki kesabaran dan kesalehan emosional,
sehingga tercermin dalam kedewasaan menghadapi masalah di kehidupannya.
3. Tercapainya anak didik yang memiliki kesalehan spiritual, yaitu menjalankan
perintah Allah dan Rasulullah SAW. Dengan melaksanakan rukun Islam yang lima
dan mengejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya menjalankan shalat
lima waktu, menjalankan ibadah puasa, menunaikan zakat, dan menunaikan haji
ke Baitullah.
Memberi label “penting “ pada sesuatu hal tentu saja bukan sesuatu hal yang
sulit dilakukan, terutama jika pemberian itu dilakukan tanpa pertimbangan etika. Kita
bahkan dapat memberi label “ penting” padahal yang paling sepele dan paling remeh
atau sebaliknya memberi label pada sesuatu hal yang teremeh sebagai sesuatu hal yang
kemudian dianggap penting. Dalam pemberian label ini kualifkasi apapun
sesungguhnya tidak boleh dilakukan secara sembarangan atau tanpa didasarkan pada
pemahaman-pemahaman menyeluruh dan mendasar pada kualitas-kualitas situasi-
situasi yang meliputi sesuatu yang dikualifikasikan tersebut.8
Dalam pengertian ini jika kita menganggap sesuatu hal sebagai sesuatu yang
demikian, secara serta merta kita mesti pula telah memahami dengan baik apa,
mengapa, dan bagaimananya suatu hal tersebut dapat kita anggap sebagai sesuatu hal
yang begitu penting. Hal ini tidak hanya berlaku pada satu hal, tetapi berlaku pada
apapun, termasuk salah satunya pada pendidikan.

D. Penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam


Sebenarnya bentuk dan penyebutan lembaga Pendidikan di Indonesia sangat
banyak. Namun, secara garis besar –salah satunya yang mempunyai siswa terbanyak--
adalah lembaga pendidikan yang berbentuk madrasah, pesantren, dan sekolah.
Menurut Mohammad Ali Pendidikan Islam dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
bentuk. Pertama, pendidikan agama diselenggarakan dalam bentuk Pendidikan Agama
Islam (PAI) di satuan pendidikan pada semua jenjang dan jalur pendidikan. Itu artinya
dalam pemahaman penulis, pendidikan Islam hanya berwujud alokasi mata pelajaran
saja pada sekolah umum, yang wajib diberikan pada muridnya. Kedua, pendidikan
umum yang berciri khas Islam pada satuan pendidikan di semua jenjang dan jalur
pendidikan. Menurut penulis, baik Madrasah maupun Sekolah umum yang bercirikan
Islam (sekolah islam) misalnya SMP Islam atau SMP Maarif masuk ke dalam bentuk
nomer dua ini. Ketiga, pendidikan keagamaan Islam pada berbagai satuan pendidikan
diniyah dan pesantren yang diselenggarakan pada semua jalur pendidikan (tidak ada

8
Teguh Wangsa Gandhi HW, Filsafat Pendidikan, 105.
penjelasan tentang jenjang pendidikannya).Dari pernyataan tersebut, pemahaman yang
ada pada penulis tentang pesantren adalah pendidikan keagamaan secara
“kejenjangan” pendidikan tidak bisa disetarakan dengan pendidikan Madrasah dan
sekolah. Implikasinya, peserta didik dari pesantren murni (tanpa terlebih dahulu
berproses di madrasah atau sekolah umum) atau diniyah tidak bisa berpindah
(utamanya) ke jenjang pendidikan dasar dan menengah pada sekolah umum. Di sisi
lain, apabila didasarkan pada UU Sisdiknas 2003 (pasal 26 ayat 6 dan pasal 27)
digambarkan bahwa pendidikan keagamaan (termasuk pesantren dan diniyah) masuk
dan diakui keberadaannya sederajat dan setera (sesudah diadakan penilaian
penyetaraan yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan) dengan pendidikan
formal lain (Madrasah dan sekolah umum)9. Implikasinya adalah seluruh bentuk
pendidikan yang dikatakan sederajat bisa saling menerima pindahan atau pendidikan
lanjutan, tanpa mempersoalkan latar belakang jenis pendidikan sebelumnya.
Dari pembahasan di atas, maka dipandang perlu untuk mendefinisikan
istilah madrasah, pesantren, dan sekolah secara lebih konkrit yang didasarkan konteks
kekinian. Hal ini untuk membatasi pengertian dan adanya dasar pijakan jelas agar
terhindar dari kerancuan atau multi tafsir. Oleh karena itu perlu dirumuskan penjelasan
istilah sebagai berikut:
1. Madrasah
Madrasah adalah sekolah atau perguruan yang didasarkan pada agama Islam.
Sedangkan jenjangnya ada Madrasah Ibtidaiyah yaitu sekolah agama Islam tingkat
dasar (SD), Madrasah Sanawiyah yaitu sekolah agama (Islam) pada tingkat
menengah pertama (SMP) , dan Madrasah Aliah yaitu sekolah agama (Islam) pada
tingkat menengah atas (SMA). Sedang bila ditinjau dari aspek sejarah, setidaknya
ada dua faktor penting yang melatarbelakangi kemunculan madrasah. Pertama,
adanya penggugatan atas sistem pendidikan Islam tradisional yang kurang bisa
memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat. Kedua, adanya kekhawatiran atas
cepatnya perkembangan lembaga “sekolah” yang dipelopori oleh Belanda,
sehingga bisa menimbulkan pemikiran yang sekuler di Masyarakat. Oleh karena
itu, untuk mengatasi masalah tersebut masyarakat Muslim (utamanya modernis)
berusaha melakukan reformasi melalui upaya pengembangan pendidikan dan
pemberdayaan madrasah10. Dapat disimpulkan madrasah adalah lembaga
9
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003.
10
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan
pendidikan yang diakui secara hukum yang orientasi utamanya untuk mengadakan
pembaharuan pendidikan Islam. Baik dari segi keilmuan, manajemen, sistem
pembelajaran, dan pasca terbitnya SKB 3 Menteri 1975 yaitu untuk memenuhi
formalitas (ijazah dll). Dengan maksud bisa tercapainya generasi umat islam yang
mampu menguasai ilmu pengetahuan agama sekaligus ilmu pengetahuan umum
secara seimbang. Madrasah juga bisa dimaksudkan sebagai bentuk eksistensi
sekaligus identitas kultur keagamaan umat Islam dalam dunia pendidikan Modern.
Artinya, dengan memberikan label atau istilah “madrasah” pada lembaga
pendidikan maka terkesan memiliki nilai kelebihan sendiri.
2. Pesantren
Kata pesantren berasal dari kata dasar “santri,” sehingga bisa menjadi kata
pesantrian atau yang lebih dikenal dengan pesantren. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia kata pesantren berarti “asrama tempat santri atau tempat murid-murid
belajar mengaji” atau bisa diartikan sebagai “pondok.” Sedangkan kata pondok
punya arti pertama “bangunan untuk tempat sementara” (seperti yang didirikan di
ladang, di hutan), kedua “rumah (sebutan untuk merendahkan diri),” ketiga
bangunan tempat tinggal yang berpetak-petak dan berdinding bilik dan beratap
rumbai (tempat tinggal beberapa keluarga), empat “madrasah dan asrama (tempat
mengaji, belajar agama Islam).” Dari pernyataan tersebut, maka dapat dikatakan
secara kebahasaan, istilah “Pondok Pesantren” merupakan bentuk istilah
pemborosan kata. Terutama bila hal ini digunakan sebagai tema kajian dalam
tulisan ilmiah. Selain itu kata “pondok,” sebagaimana penjelasan di atas bisa
bermakna luas. Salah satunya bisa kepada konotasi negatif yaitu sebagai istilah
pengganti kata “rumah” yang diungkapkan untuk merendahkan diri. Adapun
menurut Mujamil Qomar istilah pondok bisa menjadi pembeda dengan pesantren
tatkala di dalamnya terdapat asrama. Makna pondok sebagai asrama itu pada
kenyataannya telah mengalami pergeseran “fungsi.” Awalnya untuk
memperlancar proses belajar dan adanya keterjalinan hubungan peserta didik
dengan ustad atau Kiai, pada akhirnya hanya sebagai tempat tidur semata bagi
pelajar atau mahasiswa yang belajar di lembaga (umum) lain. 11 Oleh karena itu
penggunaan istilah pesantren menurut penulis pada pembahasan selanjutnya lebih

Tinggi (Jakarta: RajaGrafindo, 2005), hlm. 183.


11
Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi (Jakarta:
Erlangga, Tanpa Tahun), hlm. 1.
tepat untuk digunakan secara konsisten. Dalam kajian hukum kenegaraan,
pesantren merupakan jenis pendidikan keagamaan, dimana menurut Undang-
undang bahwa “Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik
menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran
agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.”12 Dari situ dapat dikatakan bahwa
pesantren merupakan lembaga yang menfungsikan diri sebagai lembaga yang
hanya memfokusikan diri pada hal-hal yang terkait dengan ajaran agama Islam.
Artinya, pada pesantren bisa terdapat pondok (asrama) untuk menginap santri atau
bisa juga tidak ada sehingga santri pulang pergi dari rumah.
Dengan demikian, pesantren merupakan lembaga yang tumbuh dari bawah, yaitu
karena dikehendaki dan dibangun oleh masyarakat bahkan oleh perangkat
pemerintahan desa. Namun demikian, peran Kiai sebagai sosok utama dalam
pendirian dan pengembangannya sangat dominan. Bisa dikatakan bahwa
pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang paling otonom. Artinya
lembaga yang tidak bisa diintervensi dari sudut pandang apapun oleh pihak-pihak
luar kecuali atas izin Kiai. Dari sini dapat dilihat bahwa Kiai merupakan sosok
pemimpin yang menentukan kebijakan secara mutlak, sebagai pusat kurikulum,
dan sebagai “pemilik” pondok pesantren.

12
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 30 ayat 2
1. Sekolah
Kata “sekolah” salah satunya memiliki arti “bangunan atau lembaga untuk belajar
dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran.” Serta salah satu
dari beberapa arti lainnya yaitu “usaha menuntut kepandaian (ilmu pengetahuan);
pelajaran; pengajaran.” Sedangkan secara khusus sekolah agama diartikan sebagai
sekolah yang memberikan pendidikan dalam bidang keagamaan. Dari pengertian
tersebut apat diartikan bahwa pendidikan sekolah diselenggarakan tidak hanya
dikhususkan untuk mempelajari ilmu pengetahuan umum saja. Akan tetapi sebuah
usaha untuk menuntu kepandaian dan pembelajaran pada semua aspek ilmu
pengetahuan, termasuk agama.
Menurut H. A. R Tilaar yang dikutip oleh Agus Sholeh dalam sejarahnya, sekolah
merupakan lembaga pendidikan yang didirikan oleh Kolonial Belanda. Oleh sebab
itu wajar bila lembaga sekolah diposisikan secara istimewa, sehingga tidak
memberikan ruang yang proposional bagi umat Islam untuk mngembangkan
potensinya.13 Dapat disimpulkan bahwa “sekolah” bukan merupakan produk
sistem pendidikan asli Nusantara. Tidak seperti halnya pesantren yang secara
kultur merupakan asli Indonesia.
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
merupakan sebuah nilai yang tidak bisa dielakkan. Setiap elemen warga negara wajib
mengimplimentasikan perilaku, aturan, dan termasuk juga pendidikan yang
didasarkan pada Ketuhan Yang Maha Esa. Dengan kata lain, semua yang bersangkut
paut pada dunia pendidikan dimuarakan pada satu dasar utama yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa. Baru kemudian diturunkan ke dasar-dasar yang lain. Untuk cara
pelaksanaannya lebih rinci tergantung pada masing-masing bentuk pendidikan.
Hal tersebut sesuai dengan pembahasan halaman sebelumnya, yaitu tentang
UUD 1945 amandemen ke-4 Pasal 31 ayat 3. Serta menurut amanat UU Sisdiknas
No. 20 Tahun 2003 bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi

13
Agus Sholeh, “Posisi Madrasah di Tengah Tuntutan Kualtas,” dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam,
ed. Suwito dan Fauzan (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 243.
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”14
Lebih rinci berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 55
Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan disebutkan bahwa tujuan
penyelenggaraan pendidikan pesantren adalah untuk menanamkan keimanan dan
ketakwaan kepada Allah SWT, akhlak mulia, serta tradisi pesantren untuk
mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik untuk
menjadi ahli ilmu agama Islam seta menjadi muslim yang memiliki keterampilan
atau keahlianan sebagai penunjang pembangunan kehidupan yang Islami di
masyarakat

14
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 3.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari paparan yang telah disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan Sebagai
Berikut :
1. Landasan Filsafat dalam Pendidikan islam terdiri dari
a. Ontologis terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti
sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi dapat diartikan
sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada meliputi substansi
dan pola organisasi pendidikan Islam.
b. Epistemologis berasal dari kataepisteme yang berarti pengetahuan dan logos
yang berarti ilmu. Jadi epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang
pengetahuan dan cara memperolehnya. Dengan kata lain, epistemologi
adalah suatu cabang filsafat yang menyoroti atau membahas tentang tata
cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan dalam
pendidikan Islam.
c. Aksiologi dalam Pendidikan Islam sebagai suatu pemikiran tentang masalah
nilai- nilai termasuk nilai tinggi dari Tuhan, misalnya nilai moral, nilai
agama, dan nilai keindahan (estetika).
2. Penyelenggaraan pendidikan Islam di Indonesia secara “kurikulum” tidak pernah
bisa lepas dari pengaruh tokoh agama (kiai dan ulama). Sedangkan
pengembangan dan pembangunannya tidak bisa lepas dari peran serta
masyarakat dan kekuasaan (pemerintah). Kedudukan madrasah dan pesantren
tidak hanya sebagai identitas (simbol) keislaman, tapi juga sebagai tempat untuk
indoktrinasi nilai-nilai Islam. Sedangkan sekolah umum belum tentu akan mau
menanamkan nilai-nilai Islam dalam setiap aktivitasnya. Bila sekolah “umum”
itu berbasis pesantren maka nilai-nilai Islam akan ditanamkan. Namun, bila
sekolah itu berbasis “nasional” dan “dikendalikan” pemerintah maka akan
menanamkan nilai-nilai keindonesaan. Tentunya itu juga akan tergantung
Stakeholders dan otoritas dari sekolah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Adib, Mohammad. 2011. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epitemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
Arifin, Muzayyin. 2010. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara).
Basri, Hasan.2009. Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia).
Daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia.
Jakarta: Kencana, 2006.
Djmarah, Syaiful Bahri & Zain, Azwan. 1997. Strategi Belajar Mengajar ( Jakarta: PT. Rineka
Cipta).
Gandhi, Teguh Wangsa. 2011. Filsafat Pendidikan ( Jogjakarta: Ar- Ruzz Media).
Ihsan, Hamdani dan Ihsan, Fuad. 2001. Filsafat Pendidikan Islam ( Bandung: CV Pustaka
Setia).
Jalaluddin. 2012. Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia).
Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan
Perguruan Tinggi. Jakarta: RajaGrafindo, 2005.
Qomar , Mujamil. 2008. Epistimologi Pendidikan Islam ( Jakarta: Erlangga).
Qomar, Mujamil. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi.
Jakarta: Erlangga, Tanpa Tahun.
Ramayulis & Nizar, Syamsul. 2009. Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta: Kalam Mulia)
Sholeh, Agus. “Posisi Madrasah di Tengah Tuntutan Kualtas,” dalam Sejarah Sosial
Pendidikan Islam, ed. Suwito dan Fauzan. Jakarta: Kencana, 2005.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang, 2003), hlm. 4, 13.

Anda mungkin juga menyukai