Anda di halaman 1dari 8

CATATAN PENTING X

ALIRAN-ALIRAN DALAM PENDIDIKAN

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan
Islam

Dosen Pengampu : Dr. Pepen Supendi, M.Ag.

Disusun Oleh:

Indrie Dwi Lestari (1192100033) VI/A

JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2022
A. Pengertian Aliran Pendidikan
Aliran pendidikan adalah pemikiran- pemikiran yang membawa
pembaharuan dalam dunia pendidikan, pemikiran tersebut berlangsung
seperti suatu diskusi berkepanjangan, yakni pemikiran-pemikiran terdahulu
selalu ditanggapi dengan pro dan kontra oleh pemikir berikutnya, sehingga
timbul pemikiran yang baru, dan demikian seterusnya agar diskusi
berkepanjangan itu dapat dipahami perlu aspek dari aliran-aliran itu yang
harus dipahami.
B. Aliran Progresivisme
Aliran Progresivisme didirikan pada tahun 1918, muncul dan
berkembang pada permulaan abad XX di Amerika Serikat. Aliran
Progresivisme lahir sebagai pembaharu dalam dunia filsafat pendidikan
terutama sebagai lawan terhadap kebijakan-kebijakan konvensional yang
diwarisi dari abad XIX. Pencetus Aliran filsafat Progresivisme yang populer
adalah Jhon Dewey.
Dalam pandangan Progresivisme, manusia harus selalu maju (progress)
bertindak konstruktif, inovatif, reformatif, aktif dan dinamis. Sebab manusia
mempunyai naluri selalu menginginkan perubahan-perubahan. Menurut
Imam Barnadib, Progresivisme menghendaki pendidikan yang progresif
(maju), semua itu dilakukan oleh pendidikan agar manusia dapat mengalami
kemajuan (Progress), sehingga orang akan bertindak dengan intelegensinya
sesuai dengan tuntutan dan lingkungan (Barnadib, 2000: 75).
C. Aliran Kontruktivisme
Konstruktivisme yang dikembangkan Jean Piaget dalam bidang
pendidikan dikenal dengan nama kontruktivisme kognitif atau personal
contructivisme. Jean Piaget menyakini bahwa belajar akan lebih berhasil
apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik.
Aliran konstruktivisme adalah satu aliran filsafat yang menekankan bahwa
pengetahuan adalah kontruksi (bentukan). Pengetahuan bukanlah suatu tiruan
dari kenyataan (realitas), pengetahuan merupakan akibat dari suatu
konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang. Seseorang dapat membentuk
skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk
pengetahuan. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dan setiap kali
akan mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru.
D. Aliran Humanistik
Aliran humanistik muncul pada pertengahan abad 20 sebagai reaksi teori
psikodinamika dan behavioristik. Salah satu tokoh aliran humanistik terkenal
adalah Abraham Harold Maslow (1908-1970). Maslow dikenal sebagai
pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow percaya bahwa manusia
tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya
yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy
of Need (Hirarki Kebutuhan). Maslow menggunakan piramida sebagai
peraga untuk memvisualisasi gagasannya mengenai teori hirarki kebutuhan
(Freire, 2008: 38-42).
Dalam konteks humanisme, pendidik harus mendorong peserta didiknya
untuk mencapai keberhasilan dan prestasi yang tinggi, serta memberikan
penghargaan atas prestasi yang tinggi, memberikan penghargaan atas prestasi
yang mereka capai, betapapun kecilnya, baik berupa ungkapan verbal
maupun melalui ungkapan non-verbal. Penghargaan yang tulus dari seorang
guru akan menumbuhkan perasaan sukses dalam diri peserta didik serta dapat
mengembangkan sikap dan motivasi tinggi untuk berusaha mencapai
kesuksesan. Kalau terdapat peserta didik yang gagal tetap perlu diberi
penghargaan atas segala kemauan, semangat dan keberanian dalam
melakukan suatu aktivitas.
E. Aliran Teologi dan Pengaruh Pemikirannya Bagi Pendidikan Islam
Dalam literatur Barat, istilah teologi banyak digunakan untuk agama
Kristen, yaitu suatu kepercayaan atau dogma yang menjadi dasar keyakinan.
Sementara dalam agama Islam, istilah teologi lebih banyak digunakan degan
sebutan ilmu kalam atau ilmu tauhid. Walaupun demikian, teologi pada
hakikatnya adalah sama-sama membicarakan mengenai keesaan Tuhan.
Dalam konteks Islam, teologi adakalanya lebih baik disandingkan dengan
term “Islam” untuk menegaskan bahwa teologi yang dimaksud adalah teologi
yang bernafaskan agama Islam. Teologi itu sendiri berasal dari bahasa Inggris
theologi dan dari bahasa Yunani theologia (berakar dari dua kata, yakni theos
yang berarti Tuhan dan logos yang berarti wacana ilmu) (Syafi’e, 2013, hlm.
2).
F. Aliran Pendidikan Islam dan Ide-Idenya
1. Pendidikan Islam dengan Pandangan Qadariyah
Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh seorang yang bernama
Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimasyqi. Ma’bad al-Juhani adalah
seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan
al-Basri. Adapun Ghailan alDimasyqi adalah seorang orator yang
berasal dari Damaskus. Ma‟bad al-Juhani menjadikan Irak sebagai
daerah sasaran pengembangan paham ini dalam waktu yang lama,
sedangkan Ghailan al-Dimasyqi mengembangkan di daerah
Damaskus dan Syam. Adapun corak pemikiran paham Qadariyah
lebih mengedepankan sikap rasionalitas, otoritas akal yang sangat
berperan dalam segala perbuatan atau aktivitas manusia tanpa adanya
campur tangan Tuhan. Dalam filsafat, paham Qadariyah disebut
paham indeterminisme sebagai lawan determinisme (Jabariyah).
2. Pendidikan Islam dengan Pandangan Jabariyah
Jabariyah adalah paham yang menganggap bahwa segala
perbuatan manusia tunduk pada kehendak Tuhan semata. Dengan
demikian jika dikaitkan dengan pendidikan Islam maka pendidikan
sama sekali tidak mempunyai daya atau kekuatan untuk
mempengaruhi anak. Pendidikan hanya dapat memberi polesan luar
dari tingkah laku sosial anak, sedangkan bagian internal dari
kepribadian anak didik tidak dapat ditentukan, sehingga akan
melahirkan sikap pesimisme karena tidak adanya kepercayaan akan
nilai-nilai dari pendidikan sehingga anak itu diterima apa adanya. Bila
diinterpretasikan lebih lanjut dari istilah fitrah sebagaimana yang
telah disebutkan di atas, dapat mengandung implikasi kependidikan
yang berkonotasi kepada paham nativisme. Oleh karena itu, fitrah
mengandung makna “kejadian” yang di dalamnya berisi potensi dasar
beragama yang benar dan lurus, yaitu Islam. Potensi dasar ini tidak
dapat diubah oleh apa pun karena fitrah itu merupakan ciptaan Allah
yang tidak akan mengalami perubahan, baik isi maupun bentuknya
dalam tiap pribadi manusia.
3. Pendidikan Islam dengan Pandangan Asy’ariyah
Asy-Ariyah sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa ia
merupakan paham sebagai lanjutan dari Jabariyah, hanya saja ia
mengambil jalan tengah antara golongan rasionalis dan golongan
tekstualis. Tidak menjauhkan diri dari pemakaian akal pikiran dan
argumentasi pikiran yang tugasnya tidak lebih dari memperkuat nash-
nash Alquran dan hadis. Jika dikaitkan dengan pandangannya
mengenai pendidikan Islam maka manusia sesuai dengan teori
kasbnya bahwa manusia dapat berkehendak untuk melaksanakan
proses pendidikan Islam, adapun mengenai berhasil atau tidaknya
proses tersebut maka Tuhanlah yang berkuasa menentukannya, sebab
manusia hanya dapat berkehendak akan tetapi Tuhanlah yang
menciptakan kehendak yang ada pada diri manusia tersebut.
G. Pengaruh Teologi dan Aliran Pendidikan Islam dalam Praktek
Pendidikan Islam di Indonesia
Pada akhir abad ke-20 M ini pendidikan Islam di Indonesia semakin
terbuka menerima metode ilmu pengetahuan dalam mengembangkan studi-
studi keislaman, sehingga cara berpikir rasional dan objektif semakin banyak
mendapatkan perhatian. Suatu hal yang sangat menunjang berkembangnya
cara berpikir rasional dan objektif itu adalah sarana informasi dari media
massa, seperti pers, radio, televisi dan internet yang semakin mudah
dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Dalam era globalisasi seperti
sekarang ini, sangat mungkin terjadi pergeseran nilai budaya, sekurang-
kurangnya dalam bentuk adaptasi terhadap nilai budaya yang lebih positif.
Dewasa ini di Indonesia belum tampak seberapa jauh paham teologi rasional
menjadi panutan masyarakat Islam, oleh karena penelitian mengenai hal ini
masih sangat langka dilakukan oleh para peneliti. Akan tetapi dapat diduga
bahwa orang-orang Islam yang telah menerima kehadiran ilmu pengetahuan
modern sebagai suatu hal yang dapat dipertemukan dengan nilai- nilai
kebenaran yang terkandung dalam ajaran Islam adalah mereka yang
mendukung teologi yang bercorak rasional, yakni paham teologi yang
menekankan kebebasan manusia.
Demikianlah tinjauan historis tentang hubungan antara corak
perkembangan pendidikan Islam dan aliran teologi. Dalam era globalisasi
informasi sekarang ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak
hanya menyentuh pemikiran orang-orang terpelajar, melainkan juga
disaksikan oleh masyarakat umum melalui media massa: pers, radio, televisi
dan internet, sehingga pandangan teologi umat Islam dimungkinkan
beradaptasi ke arah yang lebih rasional. (Syam 2016).
H. Pengaruh Ideologi Lain dalam Praktek Pendidikan baik Islam atau
Sekuler
a) Aliran Progresivisme
Dalam bidang kurikulum Progresivisme menghendaki kurikulum
yang bersifat luwes dan terbuka. Kurikulum dapat dirubah dan
dibentuk, dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman dan
Iptek. Hal ini sejalan dengan kenyataan sejarah yang menunjukkan
adanya perkembangan dan perubahan kurikulum di Indonesia, yang
dimulai dari Rencana Pembelajaran pada tahun 1947, Kurikulum
tahun 1975, Kurikulum tahun 1984, kurikulum tahun 1994,
kurikulum tahun 2004 (KBK) dan Kurikulum 2006 (KTSP) dan
kurikulum tahun 2013 yang belum dilaksanakan menyeluruh karena
masih banyak problem dan kajian yang mendalam terlebih dalam
masalah evaluasi dan lainya. Dalam kurikulum pendidikan aliran
Progresivisme ini menghendaki lembaga pendidikan memiliki
kurikulum yang bersifat fleksibel, dinamis, tidak kaku, tidak terkait
dengan doktrin-doktrin tertentu, bersifat terbuka, memilki relevansi
dengan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum pendidikan. Salah
satu dari prinsip pengembangan kurikulum dikembangkan atas dasar
kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni agar dapat
berkembang secara dinamis (Sutrisno, 2012: 88). Dalam konteks
model pengembangan kurikulum pendidikan, terdapat komponen-
komponen yang saling terkait secara sistemik, yakni komponen
kompetensi, materi, metode dan juga evaluasi.
b) Aliran Kontruktivisme
Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah proses mengkonstruksi
pengetahuan. Proses konstruksi itu dilakukan secara pribadi dan
sosial. Proses ini adalah proses aktif, sedangkan mengajar bukanlah
memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu
kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri
pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan siswa dalam
membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, dan
bersikap kritis. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri.
Konstruktivisme dalam pembelajaran mempengaruhi dari
pembentukan kurikulum, perencanaan, pelaksanaan, penilaian hingga
evaluasi pembelajaran. Konstruktivisme sangat menitik beratkan
tentang apa, dan bagaimana peserta didik mengetahui pengetahuan.
Peserta didik akan melakukan rekonstruksi pengetahuan sebelumnya
setelah mendapatkan pengetahuan baru yang merupakan interaksi
dengan lingkungan belajarnya. Selain mementingkan proses,
konstruktivisme juga mementingkan hasil yang di dapatkan oleh
peserta didik.
c) Aliran Humanistik
Pendekatan berpusat pada peserta didik (humanistic), memandang
pengajaran lebih holistik dimana belajar difokuskan dengan arah yang
jelas untuk membantu mengembangkan potensi peserta didik secara
utuh dan optimal. Oleh karena itu pengembangan kurikulum lebih
menekankan pada pelayanan peserta didik menemukan makna dalam
belajar sesuai tingkat pertumbuhan dan perkembangannya, serta
mengakomodasi kebutuhan pengembangan kemampuan, minat, bakat
dan kebutuhan-kebutuhan khusus peserta didik. Pembelajaran harus
sebanyak mungkin melibatkan peserta didik, tetapi guru harus
menjadi fasilitator yang bertugas memberikan kemudahan belajar
(facilitate learning) kepada seluruh peserta didik, agar mereka dapat
belajar dalam suasana yang menyenangkan, gembira, penuh
semangat, tidak cemas, berani mengemukakan pendapat secara
terbuka dan lainnya.
Dalam mengaplikasikan pendekatan pembelajaran yang
humanistik, dalam hal ini guru yang berperan sebagai fasilitator
mempunyai beberapa ciri-ciri sebagai berikut:
1) Merespon perasaan siswa
2) Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi
yang sudah dirancang
3) Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
4) Menghargai siswa
5) Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
6) Menyesuaikan isi kerangka berfikir siswa, penjelasan untuk
menetapkan kebutuhan segera dari siswa
7) Tersenyum pada siswa dan tidak terbawa emosi. (Harper dan
Row, 1999: 26-32).

Anda mungkin juga menyukai