Anda di halaman 1dari 11

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

A.   PENDAHULUAN
Filsafat pendidikan merupakan titik permulaan dalam proses pendidikan, juga
menjadi tulang punggung kemana bagian-bagian yang lain dalam pendidikan itu
bergantung dari segi tujuan-tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, metode
mengajar, penilaian adminitrasi, alat-alat mengajar, dan lain-lain lagi aspek pendidikan
yang memberinya arah, menunjuk jalan yang akan dilaluinya dan meletakkan dasar-
dasar dan prinsip tempat tegaknya.
Banyak orang yang termenung pada saat tertentu, kadang-kadang karena
membingungkan dan kadang-kadang karena rasa ingin tahu dan berfikir sesuatu yang
yang dianggap pokok. Apakah kehidupan? Bagaimana dapat terjadi cinta yang kuat
antara suami istri? Mengapa diciptakan langit dan bumi? Apakah hubungan adanya
siang dan malam? Dan lain sebagainya. Banyak sekali pertanyaan yang berdengung-
dengung di benak kita yang kadang kita sendiri tidak tahu apa alasannya, bak lebah
yang mencari bunga untuk dihinggapi.
Sebelum memasuki segmen pengertian Filsafat Pendidikan Islam tentu harus
diawali dengan bahasan tentang pengertian filsafat pendidikan secara umum. Menurut
Imam Barnadib, filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada hakekatnya merupakan
jawaban dari berbagai pertanyaan dalam lapangan pendidikan. (Said, 1996) Jadi filsafat
pendidikan berusaha akan menjawab semua problematika dalam masalah pendidikan
berdasarkan analisa filosofis sehingga tujuan pendidikan itu dapat tercapai dengan
maksimal.
Sebab masyarakat yang akan kita bicarakan itu adalah masyarakat Islam yang
sebagian besar anggota-anggotanya ingin melaksanakn Islam dengan sempurna dalam
segala urusan kehidupan dan berusaha member corak Islam atas seluruh sistemnya.
Filsafat pendidikan berfungsi sebagai pedoman bagi usaha-usaha perbaikan,
meningkatkan kemajuan dan dasar yang kokoh bagi tegaknya system pendidikan.
Sebelum kita menginjak dalam pembahasan tentang aliran-aliran yang ada dalam
Islam, sebaiknya kita mengetahui dahulu tentang makna dan arti Filsafat Pendidikan
Islam. Adapun filsafat pendidikan Islam, dalam hal ini al-Syaibani menjelaskan bahwa
filsafat pendidikan Islam adalah sebagai prinsip-prinsip dan berbagai kepercayaan yang
berasal dari ajaran Islam atau sesuai dengan jiwa Islam yang mengandung kepentingan
pelaksanaan dan bimbingan dalam bidang pendidikan.
Filsafat pendidikan yang berdasarkan pada Islam ini tidak lain adalah pandangan
dasar pendidikan yang bersumberkan ajaran Islam dan orientasi pemikirannya
bedasarkan ajaran tersebut. Dari pengertian tersebut, berarti terdapat beberapa unsure
dalam pendidikan Islam yaitu landasan-landasan pendidikan Islam berupa al-Qur’an
dan as-Sunnah, bersifat filosofis yang mendasar sampai ke akar persoalan, memberikan
tujuan dan proses yang beriorentasi ajaran Islam. (al-Syaibani, 1979)
Menurut Zuhairini, dkk (1995) Filsafat Pendidikan Islam adalah studi tentang
pandangan filosofis dari system dan aliran filsafat dalam Islam terhadap masalah-
masalah kependidikan dan bagaimana pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan
perkembangan manusia muslim umat Islam. Sedangkan Abuddin Nata (1997)
mendefinisikan Filsafat Pendidikan Islam adalah suatu kajian secara filosofis mengenai
berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada al-
Qur’a dan hadist sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli khususnya filosof
muslim sebagai sumber skunder.[1]
Mungkinkah seorang dapat dianggap sebagai filosof Islam? Apabila ia sendiri tidak
paham landasan-landasan pemikirannya. Menurut Ibnu Miskawaih, syariat agama
merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia. Pendidikan juga
berpengaruh terhadap corak hitam putih dalam pemikiran seorang insan.
Setiap filosof pendidikan Barat maupun filosof pendidikan Islam pasti mempunyai
aliran yang dicetuskan maupun yang dianut oleh masing-masing orang. Misalnya saja
dalam filsafat pendidikan Barat ada yang namanya aliran Nativisme, aliran
Naturalisme, aliran Empirisme, aliran Konvergensi, dan lain-lain. Tidak berbeda pula
dengan filssafat pendidikan Islam, di dalamnya juga terdapat banyak aliran yang
berbeda tetapi konteks dan rujukan tetap kepada al-Qur’an dan al-Hadist.
Maka pentingnya makalah ini di buat untuk mengetahui tentang aliran-aliran
filsafat pendidikan Islam dan juga implikasinya dalam pemikiran dan pendidikan.
Aliran-aliran Religius Konservatif dengan tokoh utama Imam al Ghazali, aliran
Religius Rasional dengan tokoh utama Ikhwan as Sofa dan aliran Pragmatis
Instrumental dengan tokoh utaman Ibnu Khaldun.
Pemetaan demikian berdasarkan pada konsep keilmuan yang berlandaskan aliran
pendidikan Islam yang telah mereka pelajari. Menariknya, konsep keilmuan ternyata
diakui sebagai tema sentra ataupun spektrum tradisi intelektual. Berdasarkan “peta”
aliran itu, bahwa khazanah pemikiran pendidikan Islam tidaklah monolitik dan
uniform, melainkan variatif dan plural seperti tradisi pemikiran plural lainnya.[2]
Dalam buku karya bapak Muhaimin dijelaskan selain aliran yang telah disebutkan
diatas masih ada aliran yang lain yaitu, aliran Perenial-Esensial Salafi, aliran Perenial
Madzhabi, aliran Modernis, aliran Perenial-Esensialis Konstektual Falsikatif dan aliran
Rekonstruksi Sosial. Masing-masing mempunyai dan ciri-ciri pemikiran, yang
berimplikasi pada fungsi pendidikan itu sendiri.
Selanjutnya, akan dibahas secara rinci akan pengertian dan implikasi aliran filsafat
pendidikan Islam dalam pendidikan.

1.     Aliran Religius Konserfatif ( al Muhafid)


Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah Imam al Ghazali, Ibnu Hajar al Haitami, Ibnu
Sahnun dan Nasirudin at Thusi. Aliran ini cenderung murni keagamaan dan aliran ini
memaknai ilmu dengan makna yang sempit. Menurut at Thusi ilmu adalah yang
berguna di hari ini dan akan membawa manfaat di akhirat kelak.[3] Bila kita mau
mengamalkan apa yang kita dapatkan dan terapkan maka inilah makna ilmu yang
sebenarnya. Dimana ilmu dapat menjadi sarana agar menjadi orang yang lebih baik dan
mau menjadikan orang lain untuk lebih baik, inilah ilmu yang sebenarnya.
Al-Gazali termasuk filosof pendidikan Islam berpaham empiris, yang menekankan
pentingnya pendidikan terhadap pertumbuhan perkembangan anak didik. Menurutnya,
seorang anak tergantung kepada kedua orang tuanya yag mendidiknya. Telah tertulis
dalam hadist Nabi SAW ‫ أو ينصرانه أو‬H‫" ك ّل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهوّدانه‬:‫م‬.‫قال رسول هللا ص‬
‫"يمجّسانه‬ Tujuan pendidikan (jangka pendek) menurut al-Ghazali ialah diraihnya profesi
manusia sesuai dengan bakat dan kemampuannya. (al-Ibrashi, 1990) syarat untuk
mencapai tujuan ini, manusia harus memanfaatkan dan mengembangkan ilmu
pengetahuan sesuai dengan bakatnya.
Al Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi:
a.       Berdasarkan pembidangannya, ilmu dibagi menjadi dua:
1.      Ilmu Syar’iyah, ilmu yang berasal dari para Nabi,[4] terdiri atas:
a.       Ilmu Ushul/ilmu pokok. Contoh: ilmu al Qur’an dan ilmu Hadis
b.      Ilmu Furu’/ilmu cabang. Contoh: ilmu Fiqh dan Akhlaq
c.       Ilmu Pengantar/muqoddimah. Contoh: ilmu Bahasa dan Gramatika
d.      Ilmu Pelengkap/mutammimah.
2.      Ilmu Ghoiru Syar’iyah, ilmu yang berasal dari ijtihad ‘ulama’ dan
intelektual muslim.
b.      Berdasarkan sifatnya, ilmu dibagi menjadi dua yaitu
ilmu terpuji(mahmudah) dan ilmu tercela( madzmumah). Menurut Imam al
Ghazali ilmu yang terpuji wajib dipelajari dan dipahami, sementara ilmu yang
tercela wajib dihindari.
Al-Ghazali juga berpendapat bahwa di dalam proses pendekatan
pembelajaran, ada 2 macam yakni ta’lim insani dan ta’lim rabbani.[5] Ta’lim
insani adalah belajar dengan bimbingan manusia. Pendekatan ini adalah cara
umum yang biasanya dilakukan orang dan biasanya dilakukan dengan
menggunakan alat-alat peraga inderawi yang diakui oleh orang-orang berakal.
Ta’lim insani dibagi menjadi 2:
a)      Proses eksternal melalui proses belajar mengajar
Dalam proses belajar sebenarnya terjadi proses eksplorasi pengetahuan
sehingga menghasilkan perubahan-perubahan perilaku. Seorang guru
menyampaikan ilmu yang mereka miliki dan murid berusaha untuk menggali
dan menggali dan mengerti apa yang ingin diketahui.
b)      Proses internal melalui proses tafakkur
Tafakkur diartikan dengan membaca realitas dalam dimensi wawasan
spiritual dan penguasaan pengetahuan hikmah. Proses tafakkur dilakukan
dengan pembersihan jiwa terlebih dahulu dari segala sifat yang mengotori hati.

Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu-ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh


dengan kesempurnaan rasio dan kejernihan akal budi. Karena, hanya dengan
rasiolah manusia mampu menerima amanat dari Allah dan mendekatkan diri
kepada-Nya. Pemikiran al-Ghazali ini sejalan dengan aliran Mu’tazilah yang
berpendapat bahwa rasio mampu menetapkan baik buruknya sesuatu.
Pola umum pemikiran imam al Ghazali antara lain:
a.       Kegiatan menuntut ilmu tiada lain berorientasi pada pencapaian ridha
Allah.
b.      Teori ilmu ilhami sebagai landasan teori pendidikannya, dan diperkuat
dengan sepuluh kode etik peserta didik.
c.       Tujuan agamawi merupakan tujuan puncak kegiatan menuntut ilmu.
d.      Pembatasan term al-‘ilm hanya pada ilmu tentang Allah.
e.       Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah, agar dapat
mensucikan jiwa dengan akhlaq al-karimah ( Q.S.Al An’aam/6:162;Adz
Dzariyat/ 51:56).
f.       Belajar dengan bertahap dengan memulai pelajaran yang mudah ke sukar
atau dari fardhu ‘ain menuju fardhu kifayah ( Q.S.Al Fath/48:49)
Rumusan tujuan pendidikan aliran ini didasarkan pada firman Allah swt, tentang
tujuan penciptaan manusia yaitu :
“ Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepada-Ku ( Q.S.
al-dzariat: 56).”
Sedangkan menurut Ibnu Jama’ah, para penuntut ilmu harus mengawali belajarnya
dengan al-Quran, menghafal dan menafsirkannya.  Kemudian, ilmu-ilmu yang perlu
diprioritaskan adalah Ulumul Quran, al-Hadits, Ulumul Hadits, Ushul, Nahwu dan
Sharaf.
Implikasi aliran ini terhadap pendidikan, mengenai proses pembelajaran harus ada
integrasi antara materi, metode dan media pendidikan. Seluruh komponen harus bisa
dimaksimalkan pemakaiannya dalam pendidikan.Materi pengajaran yang diberikan
harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak, baik dalam hal usia, integrasi,
maupun minat dan bakatnya. Jangan sampai anak diberi materi pengajaran yang justru
merusak akidah dan akhlaknya.

Adapun metode pendidikan yang diklasifikasikan oleh al-Ghazali menjadi dua


bagian:
Pertama, metode khusus pendidikan agama, metode ini memiliki orientasi kepada
pengetahuan aqidah karena pendidikan agama pada realitasnya lebih sukar
dibandingkan dengan pendidikan umum lainnya.
Kedua, metode khusus pendidikan akhlaq, al-Ghazali (1991) mengungkapkan:
“Sebagaimana dokter, jikalau memberikan pasiennya dengan satu macam obat saja,
niscaya akan membunuh kebanyakan orang sakit, begitupun guru, jikalau
menunjukkkan hanya satu jalan kepada murid, niscaya membinasakan hati mereka.
Adapun ilmu yang paling baik diberikan pada taraf pertama ialah agama dan
syari’at, terutama al-Qur’an. Begitu pula metode/media yang diterapkan juga harus
mendukung; baik secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis, bagi keberhasilan
proses pengajaran. Pendidikan benar-benar ditujukan untuk mendekatkan diri kepada
Allah, dunia bukanlah tujuan utama.

2.     Aliran Religius Rasional ( ad Diny al ‘Aqlany)


Tokoh-tokoh aliran ini adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu
Miskawaih. Aliran ini dijuluki “pemburu” hikmah Yunani di belahan dunia Timur,
dikarenakan pergumulan intensifnya dengan rasionalitas Yunani.
Menurut Ikhwan al-Shafa[6], yang dimaksud dengan ilmu adalah gambaran tentang
sesuatu yang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui. Proses pengajaran
adalah usaha transformatif terhadap kesiapan ajar agar benar-benar menjadi riil, atau
dengan kata lain, upaya transformatif terhadap jiwa pelajar yang semula berilmu
(mengetahui) secara potensial, agar menjadi berilmu (mengetahui) secara riil-aktual.
Dengan demikian, inti proses pendidikan adalah pada kiat transformasi potensi-potensi
manusia agar menjadi kemampuan “psikomotorik”.[7]
Ikhwan berpendapat bahwa akal sempurna mengemanasikan keutamaan-keutamaan
pada jiwa dan dengan emanasi ini eternalitas akal menjadi penyebab keberadaan jiwa.
Kesempurnaan akal menjadi penyebab keabadian jiwa dan supremasi akal menjadi
penyebab kesempurnaan jiwa.[8] Pandangan dualisme jiwa-akal Ikhwan tersebut
merupakan bukti dari pengaruh pemikiran Plato.
Menurut Ikhwan, jiwa berada pada posisi tengah antara dunia fisik-materiil dan
dunia akal. Hal inilah yang menjadikan pengetahuan manusia menempuh laju “linier-
progresif” melalui tiga cara, yaitu: (1) Dengan jalan indera, jiwa dapat mengetahui
sesuatu yang lebih rendah dari substansi dirinya; (2) Dengan jalan burhan(penalaran-
pembuktian logis), jiwa bisa mengetahui sesuatu yang lebih tinggi darinya; dan (3)
Dengan perenungan rasional, jiwa dapat mengetahui substansi dirinya.[9]
Dari hasil pembahasannya Ikhwan al Shafa menyusun sebuah buku yang terdiri
dari sejumlah risalah yang berjudul “ Rasail Ikhwan al Shafa wa al-Kullah al-Wafa”.
Kitab ini terdiri atas empat jilid yang berisikan ikhtisar tentang pengetahuan yang ada
ketika itu yang mencakup semua objek studi manusia, seperti: ilmu pasti, ilmu alam,
musik, etika, biologi, kimia, metodologi, gramatika, botani, metafisika, alam akhirat
dan lain sebagainya.
Menurut Ikhwan, setiap anak lahir dengan membawa sejumlah bakat yang perlu
diaktualisasikan dan pendidik seharusnya mengangkat potensi laten yang terdapat
dalam anak tersebut. Di sini pendidik dan orang tua dituntut untuk memberikan contoh
yang baik dalam perilaku sehari-harinya, sehingga menjadi panutan ke arah yang lebih
baik.
Pada mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses
manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi
ini melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah
al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi atau
daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan
(al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi.
Menurut Ikhwan al Safa, hakikat manusia terletak pada jiwanya. Sementara jasad
merupakan penjara bagi jiwa. Oleh karena itu, ruang lingkup jasad hendaknya
dipersempit, sedangkan ruang lingkup jiwa diperluas. Manusia hendaknya hidup zuhud
agar jiwanya lebih luasa atas tubuhnya. Kehidupan yang demikian akan mensucikan
jiwanya dalam mengaharap cinta Allah.[10]
Teologi meliputi keyakinan atau akidah Ikhwan al-Shafa, persahabatan, keimanan,
hukum Allah, kenabian, dakwah, ruhani, tatanegara, struktur alam, dan magis.Tujuan
pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa adalah untuk peningkatan harkat manusia kepada
tingkatan yang tertinggi (malaikat yang suci), agar dapat meraih ridha Allah SWT.
Sedikit berbeda antara Ikhwan al Safa dan Ibnu Miskawaih, apabila Ikhwan al
Shafa lebih terfokus kepada anak didik, Ibnu Miskawaih terkonsentrasi dengan suatu
kedudukan ilmu dan budi pekerti. Menurut Busyairi Majidi (1997) Ibnu Miskawaih
Miskawaih menempatkan ilmu ke dalam suatu kedudukan berdasarkan objek ilmu itu.
Ilmu yang paling mulia menurutnya adalah ilmu pendidikan, karena objek kajiannya
terletak pada budi pekerti manusia, menyangkut subtansi manusia.[11] Dan segala ilmu
yang mengembangkan quwwatu al-nathiqoh adalah ilmu yang paling mulia.
Martabat suatu ilmu sesuai dengan urutan martabat hakikat objek ilmu itu dalam
alam ini, misalnya ilmu tentang manusia lebih mulia dari ilmu hewan, dan ilmu hewan
lebih mulia daripada ilmu tumbuh-tumbuhan, dan ilmu tumbuhan lebih mulai daripada
ilmu geologi, geologi (ilmu jamadat). (Basyir, 1993).
Konsep pendidikan Ibnu Miskawaih, sebagaimana yang tercermin dalam awal
kitabnya Tahdzib al-Akhlaqialah terwujudnya pribadi susila. Khuluq adalah alamiah,
namun bisa berubah cepat atau lambat. Pemikiran Miskawaih ini, menolak sebagain
pemikiran Yunani bahwa karakter tidak bisa berubah karena ia berasal dari watak dan
pembawaan. Miskawaih memberikan ilustrasi; bahwa anak yang dididik dengan suatu
cara tertentu berbeda secara mencolok dalam menerima nilai-nilai akhlaq yang luhur.
Materi pendidikan, menurut Ibnu Miskawaih adalah hal-hal yang wajib bagi
kebutuhan jasmani untuk membentuk akhlaq yang mulia yaitu materi yang
berhubungan dengan ibadah fisik, seperti: sholat, puasa dan zakat. Dan hal-hal yang
berhubungan dengan jiwa yaitu aqidah yang benar. Dan hal yang berhubungan dengan
sesama manusia. Seperti; ilmu mu’amalat, pertanian dan perkawinan.
Sesungguhnya materi pendidikan yang dianut oleh Ibnu Miskawaih dipengaruhi
faham ontologism.[12] Ibnu Miskawaih mengisyaratkan tiga metode pendidikan secara
umum, yaitu keteladanan, latihan (riyadhah) dan tarqhib dan tarhib. Tarqhib artinya
janji disertai bujukan dan rayuan untuk memotivasi beramal shaleh. Dan tarhib artinya
ancaman melalui hukuman yang disebabkan perbuatan dosa, kesalahan atuapun
perbuatan yang melanggar syari’at. (al-Nahlawi, 1987). Sedangkan latihan barangkali
dipengaruhi oleh pemikiran sufistik.
Tokoh lain dari aliran ini adalah Al-Farabi. Ia menganalisis manusia secara
“fungsional-organik”. Ia membagi potensi manusia menjadi enam tingkatan, yaitu:
a.       Potensi al-ghadziyyah  (organ-organ tubuh yang berguna untuk mencerna
makanan). Potensi ini timbul setelah manusia lahir.
b.      Potensi perasa, yaitu bisa merasakan hawa dingin atau panas, dan lain-lain.
c.       Merespon dan bereaksi.
d.      Potensi mutakhayyilah (imajinasi), yaitu mengasosiasikan dan memilah-milah
unsur-unsur stimuli dengan aneka model.
e.       Potensi muthlaqah (mengabstraksi), yaitu menalar, mengidentifikasi antara yang
indah dan yang jelek, memungkinkan berkreasi dan berinovasi.
Implikasi aliran ini terhadap pendidikan adalah ilmu pengetahuan tidak hanya
sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga sebagai saran untuk
meningkatkan derajat manusia pada tingkatan yang tinggi, baik dalam lingkungan
sosial maupun dalam pandangan agama. Pembentukan akhlaq dengan berlandaskan al-
Qur’an dan al-Hadist.
Intisari daripada aliran religius rasional adalah tidak hanya mengedepankan agama,
tetapi juga ilmu yang lainnya dianggap penting juga. Karena kita hidup di dunia dan
akhirat.

3.     Aliran Pregmatis Instrumental


Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan ilmu pembelajaran adalah
pembawaan manusia karena adanya kesanggupan berfikir. Dalam proses belajar
manusia harus sungguh-sungguh dan memiliki bakat. Dalam mencapai pengetahuan
yang beraneka ragam, seseorang tidak hanya membutuhkan ketekunan, tapi juga bakat.
Seseorang perlu mengembangkan keahliannya dibidang tertentu.
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa: al-Ilm wa al-Ta’lim Thabi’iyyun fi al’Umran al-
Basyari. (Khaldun, 1979). Pengetahuan dan pendidikan merupakan tuntutan alami dari
peradaban (al-‘Umran) manusia. Hal itu dimungkinkan karena manusia dibekali
dengan akal, yang dengan akal itu manusia berpikir dan memiliki motivasi untuk
mengetahui sesuatu. Dengan berpikir berarti bersosialisasi dengan realitas di
sekitarnya.
Ide tentang adanya hubungan antara ilmu dan peradaban memunculkan sesuatu ide
yang lain yang merupakan konsekuensi logisnya yaitu: al-‘Ulum innama Takastsrat
Haisu yaksuru al’Umran wa Ta’adzaa al-hadarah. Pengetahuan akan berkembang
sesuai dengan perkembangan peradaban.
Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kelompok:
a.       Ilmu lisan (bahasa), tata bahasa dan sastra,
b.      Ilmu naqli, ilmu yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits, berupa ilmu
tafsir,     sanad, serta istinbat tentang kaidah-kaidah fiqh.
c.       Ilmu naqli, ilmu yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits, berupa ilmu tafsir,
sanad, serta istinbat tentang kaidah-kaidah fiqh.
Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, yaitu:
a.       Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill) dalam bidang tertentu. Orang
awam bisa meneliti, pemahaman yang sama tentang suatu persoalan dengan
seorang ilmuwan. Akan tetapi potensi al-malakahtidak bisa demikian oleh
setiap orang, kecuali setelah ia benar-benar memahami dan mendalami suatu
disiplin tertentu.
b.      Penguasaan ketrampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman
(lingkungan dan materi). Dalam hal ini pendidikan hendaknya ditujukan untuk
memperoleh ketrampilan yang tinggi pada potensi tertentu. Pendekatan ini akan
menunjang kemajuan dan kontinuitas sebuah kebudayaan, serta peradaban umat
manusia di muka bumi.
c.       Pembinaan pemikiran yang baik. Kemampuan berpikir merupakan jenis
pembeda antara manusia dengan binatang. Oleh karena itu, pendidikan
hendaknya di format dan dilaksanakan dengan terlebih dahulu memperhatikan
pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi psikologis peserta didik.
Implikasi aliran ini terhadap pendidikan adalah dalam pembelajaran, Ibnu Khaldun
lebih memilih metode secara gradual sedikit demi sedikit, pertama-tama disampaikan
permasalahan pokok tiap bab, lalu dijelaskan secara global dengan mempertimbangkan
tingkat kecerdasan dan kesiapan anak didik, hingga selesai materi per-bab.
Kedua, memilah-milah antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai instrinsik, semisal
ilmu-ilmu keagamaan, kealaman, dan ketuhanan, dengan ilmu-ilmu yang instrumental,
semisal ilmu-ilmu kebahasa-Araban, dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilmu
keagamaan, serta logika yang dibutuhkan oleh filsafat. Pendidikan diupayakan agar
peserta didik benar-benar menguasai suatu bidang ilmu pengetahuan yang memang
telah menjadi bakatnya, yang nantinya dapat meningkatkan kehidupan sosialnya di
masyarakat.
Menurut Ibnu Khaldun, orang yang mendapat keahlian dalam bidang tertentu
jarang sekali ahli pada bidang lainnya, misalnya tukang jahit. Hal ini lantaran sekali
seseorang menjadi ahli hingga keahliannya itu tertanam berurat akar di dalam jiwanya.
Alasannya karena keahlian merupakan sifat atau corak jiwa yang tidak dapat tumbuh
serempak. (Abuddin Nata, 1997).
Selain aliran-aliran yang telah disebutkan diatas ada beberapa aliran filsafat
pendidikan Islan yang ditinjau dari tipologi yaitu, aliran Perenial-Esensial Salafi, aliran
Perenial Madzhabi, aliran Modernis, aliran Perenial-Esensialis Konstektual Falsikatif
dan aliran Rekonstruksi Sosial. Masing-masing mempunyai dan ciri-ciri pemikiran,
yang berimplikasi pada fungsi pendidikan itu sendiri.
Perenial-Esensial Salafi aliran yang bersumber dari al Qur’an dan as- Sunah
bersikap regresif dan konservatif dalam mempertahankan nilai-nilai era salaf, serta
berwawasan kependidikan Islam yang beriorentasi pada masa silam (era salafi). Ciri-
ciri pemikirannya adalah ia menjawab persoalan pendidikan dalam konsteks wacana
salafi, memahami nash secara tekstual-lughawi, penafsiran ayat dengan ayat lain, ayat
dengan hadis maupun hadis dengan hadis sehingga kurang adanya perkembangan dan
elaborasi.
Fungsi pendidikan Islam baginya adalah melestarikan budaya masyarakat salaf
yang dianggap ideal serta mengembangkan potensi dan interaksinya dengan nilai dan
budaya masyarakat era salaf.
Perenial-esensialis mazhabi aliran yang bersumber dari al Qur’an dan as-Sunah
dan bersikap regresif dan konservatif dalam mempertahankan nilai-nilai dan pemikiran
para pendahulunya, mengikuti aliran, pemahaman dan pemikiran terdahulu yang
dianggap mapan, serta berwawasan kependidikan Islam yang tradisional dan
beriorentasi pada masa silam. Ciri-ciri pemikirannya menekankan pada
pemberiah syarh dan hasyiyah terhadap pemikiran pendahulunya, dan kurang adanya
keberanian untuk mengkritik dan mengubah subtansi materi pendidikan pendahulunya.
Fungsi pendidikan Islam adalah melestarikan dan mempertahankan nilai, budaya,
dan tradisi dari satu generasi ke generasi, serta pengembangan potensi dan interaksinya
dengan nilai dan budaya masyarakat yang terdahulu.
Modernis aliran yang bersumber dari al Qur’an dan as-Sunah, menekankan
perlunya berfikir bebas dan terbuka dengan tetap terikat oleh nilai-nilai kebenaran
universal sebagaimana yang terkandung dalam wahyu Illahi; progressif dan dinamis
dalam menghadapi dan merespon tuntutan kebutuhan lingkungan atau zaman; serta
berwawasan kependidiksn Islam kontemporer. Ciri-ciri pemikirannya adalah tidak
berkepentingan untu mempertahankan dan melestarikan pemikiran dan sistem
pendidikan para pendahulunya, lapang dada dan menerima pemikiran dari manapun
dan siapapun dan selalu menyesuaikan perkembangan sosial dan iptek.
Tugas pendidikan Islam adalah untuk mengembangkan kemampuan peserta didik
secara optimal, aliran ini hampir sama dengan aliran religius rasional yang diprakarsai
oleh Ikhwan al Shafa. Sedangkan fungsi daripada pendidikan Islam adala sebagai:
1.      Upaya pengembangan potensi peserta didik secara optimal, baik potensi jasmani, akal
maupun hati,
2.      Upaya interaksi potensi dengan tuntutan dan kebutuhan lingkungannya,
3.      Rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus agar dapat berbuat sesuatu secara
intelegen  yang dilandasi dengan iman dan taqwa kepada Allah Swt.
Perenial-esensialis konstektual –falsikatif aliran yang bersumber dari al Qur’an dan
as-Sunah, menekankan perlunya sikap konserfatif dan regresif terutama dalam konteks
pendidikan agama, yang lebih mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu
dengan jalan melakukan kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan
wawasan-wawasan kependidikan Islam masa sekarang yang selaras dengan tuntutan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan yang ada, wawasan
kependidikan Islam yang concern terhadap kesinambungan pemikiran pendidikan
Islam dalam merespon tuntutan perkembangan iptek dan perubahan sosial yang ada.
Ciri-ciri aliran ini:
1.      Menghargai pemikiran pendidikan Islam yang berkembang pada era salaf,
klasik dan pertengahan.
2.      Mendudukan pemikiran pendidikan Islam era salaf dan klasik serta pertengahan
dalam konteks ruang dan zamannya untuk difalsifikasi.
3.      Rekonstruksi pemikiran pendidikan Islam terdahulu yang di anggap kurang
relevan dengan tuntutan dan kebutuhan era kontemporer.
Fungsi pendidikan Islam menurut aliran ini adalah sebagai:
1.      Upaya pengembangan potensi secara optimal serta interaksinya dengan
tuntutan dan kebutuhan lingkungan  tanpa mengabaikan tradisi yang sudah
mengakar.
2.      Menumbuhkan nilai-nilai Ilahiyah dan insaniyah dalam konteks perkembangan
Iptek dan perubahan sosial yang ada.
Rekonstruksi sosial aliran yang bersumber dari al Qur’an dan as-Sunah, di samping
menekankan sikap progressif dan dinamis, juga sikap proaktif dan antisipasif dalam
menghadapi menghadapi perkembangan Iptek, tuntutan perubahan, dan beriorentasi
pada masa depan dan menuntut kreatifitas.
Tugas pendidikan Islam terutama membantu agar manusia menjadi makhluk yang
cakap dan selanjutnya manusia mampu bertanggung jawab terhadap pengembangan
masyarakat yang dilandasi iman dan taqwa kepada Allah. Karena hakikatnya manusia
adalah khalifah Allh fil ardhi yang mampu untuk memecahkan permasalahan yang ada
dengan potensi jismiah dan nafsiah yang mengandung dimensi al-nafsu, al ‘aql dan al-
qalb (temuan Baharuddin, 2001), sehingga ia siap mengaktualisasikan potensinya
dalam konteks hubungan horisontal (habl min al-nas), yang diwujudkan dalam bentuk
rekonstruksi sosial  secara berkelanjutan untuk mencapai ridhoNya.
Fungsi pendidikan Islam adalah sebagai:
1.      Upaya menumbuh kembangkan kreativitas secara berkelanjutan
2.      Upaya memperkaya khazanah budaya manusia, dengan memperkaya isi nilai-
nilai insani dan Ilahi
3.      Upaya menyiapkan tenaga kerja yang produktif yang berjiwa spirit Islam.
Kelima aliran ini dikonseptualisasikan dari hasil kajian terhadap aliran-aliran
filsafat pendidikan pada umumnya, serta mencermati pola-pola pemikiran Islam yang
berkembang dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman serta era modernitas,
dan kajian kritis terhadap corak pemikiran pendidikan Islam yang berkembang pada
umumnya sebagaimana terkandung dalam karya para ulama dan cendekiawan muslim
dalam bidang pendidikan Islam.
Sebagai calon pendidik bukankah kewajiban kita untuk memahami dan
mengamalkan aliran mana yang sesuai dengan pendidikan saat ini? Atau kita dapat
memadukan antara satu aliran dengan aliran yang lainnya tanpa harus mengurangi nilai
karena satu dengan yang lainnya saling melengkapi.
Contohnya saja, Filsafat Pendidikan Islam yang ada pada negara kita.
Kecenderungan pola kajian pemikiran pendidikan Islam Indonesia, sebagaimana
diamati oleh Azra, berbagai kecenderungan tersebut terkait dengan latar belakang
mereka, baik latar belakang pendidikan maupun aktifitas mereka dalam kegiatan
kemasyarakatan.
Terbatasnya literatur filsafat pendidikan Islam di Indonesia yang notabene sangat
dibutuhkan oleh masyarakat akademis, juga mendorong penulisannya yang cenderung
bersifat pragmatis, yang berimplikasi pada kesenjangan antara idealitas pemikiran
mereka dengan realitas simbol-simbol pemikirannya sebagaimana tertuang dalam
karya-karya mereka.
Menurut Muhaimin, yang perlu dikembangkan di Indonesia adalah rekonstruksi
sosial yang teosentris, dengan landasan pemikiran bahwa:
1)      Bangsa Indonesia mengakui Pancasila sebagai dasar Negara, sila pertama adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam konstek ajaran Islam, sila tersebut dimaknai dengan
konsep tauhid, yang mencangkup konsep-konsep tauhid uluhiyah, ububiyah, mulkiyah dan
rahmaniyah
2)      Bangsa Indonesia hidup dalam pluralisme yang sangat rentan terhadap konflik-konflik,
namun tetap bertekad ber-Bhineka Tunggal Ika. Pengembangan Pendidikan Islam berusaha
untuk menciptakan ukhuwah Islamiyah dalam arti luas.
3)      Perlunya pendidikan Islam untuk menyiapkan keunggulan manusia dalam Iptek, yang
produktif, kompetitif, dengan tetap memiliki kesadaran akan hak dan kewajiban dalam
kehidupan bersama dalam alam demokratis.
Dari dulu sampai sekarang ini pendidikan merupakan hal yang paling penting untuk
membawa mereka kepada kehidupan yang lebih baik, dan masalah sukses tidaknya
pendidikan tidak lepas dari faktor pembawaan dan lingkungan. Pembawaan dan
lingkungan merupakan hal yang tidak mudah untuk di jelaskan sehingga memerlukan
penjelasan dan uraian yang tidak sedikit telah bertahun-tahun lamanya para ahli didik,
ahli biologi, ahli psikologi,dan lain-lain memikirkan dan berusaha mencari jawaban,
tentang perkembangan manusia itu sebenarnya bergantung kepada pembawaan ataukah
lingkungan.
Dari aliran-aliran di atas dapat disimpulkan pula bahwa pada masing-masing aliran
terdapat persamaan dan perbedaan yang dapat kita lihat dengan gamblang diantaranya
yakni persamaannya sama-sama bersumber dari al-Quran dan as sunnah, kemudian
perbedaannya terletak pada ciri-ciri dan fungsi aliran-aliran tersebut dalam filsafat
pendidikan Islam.
Manfaat dengan kita mempelajari atau mengetahui aliran-aliran di atas juga dapat
dipakai sebagai alat untuk memahami model-model pemikiran melalui telaah terhadap
karya-karya ilmiah atau buku-buku, sehingga dapat dijelaskan aliran manakah yang
lebih dominan dan menonjol dalam pembahasan aliran-aliran filsafat pendidikan islam.
Sehingga kita juga dapat menentukan arah yang tepat dalam berpinjak dalam dunia
pendidikan khususnya  pendidikan islam.
Perbedaan aliran-aliran yang ada sebaiknya disikapi dengan cara yang bijaksana
dan positif, agar tercapai hakikat dan tujuan yang diharapkan.

PENUTUP
SIMPULAN
1.      Dari pembahasan di atas dapat kita kerucutkan ada dua macam aspek aliran filsafat
pendidikan Islam, yaitu segi konsep keilmuan dan segi pola-pola pemikiran dan
sumbernya. Aliran filsafat pendidikan Islam dari segi konsep keilmuan ada tiga yaitu
aliran religius konserfatif, aliran religius rasional dan aliran pragmatis instrumental.
Aliran filsafat pendidikan Islam dari segi pola pemikiran dan sumbernya ada lima yaitu
aliran perenial-esensial salafi, aliran perenial-esensial salafi, aliran modernis, aliran
perenial-esensialis konstektual-falsikatif dan aliran rekonstruksi sosial.
2.      Masing-masing aliran terdapat persamaan dan perbedaan yang dapat kita lihat dengan
gamblang diantaranya yakni persamaannya sama-sama bersumber dari al-Quran dan as
sunnah, kemudian perbedaannya terletak pada ciri-ciri dan fungsi aliran-aliran tersebut
dalam filsafat pendidikan Islam.
SARAN
1.     Penggunaan setiap aliran dalam metode pendidikan hendaknya diselaraskan dengan
tujuan pendidikan yang telah dirumuskan, tingkat usia peserta didik, kecerdasan bakat
dan fitrahnya.
2.     Bersikap positif dan bijaksana untuk menyikapi semua perbedaan aliran yang ada.

DAFTAR PUSTAKA
Mahmud Arif, dalam “Pengantar Penerjemah” Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan
Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis karya Muhammad Jawwad Ridla, (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 2002).
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis,
(Jakarta: Ciputat Press, 2002)
Dr. H. Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan,
Pengembangan Kurikulum hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung: Nuansa,
2003)
Dr. Jalaludin & Drs. Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan
Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta: Rajawali Pers)
H. Ahmad Syar’I M.Pd, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005)
/Filsafat Pendidikan Islam/Silabus/aliran-utama-filsafat-pendidikan.html
/Filsafat Pendidikan Islam/Silabus/aliran-filsafat-pendidikan-islam.html
/Filsafat Pendidikan Islam/Silabus/Resume aliran-aliran filsafat pendidikan islam _
elamin.htm

[1] H. Ahmad Syar’I M. Pd, Fislafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 6
[2] Mahmud Arif, dalam “Pengantar Penerjemah” Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam:
Perspektif Sosiologis-Filosofis karya Muhammad Jawwad Ridla, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2002).

[3] Filsafat Pendidikan Islam/Silabus/aliran-utama-filsafat-pendidikan. html. 523


[4] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta:
Ciputat Press, 2002), 90.
[5] Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2010)
[6] Sebuah perkumpulan rahasia yang bergerak dalam lapangan ilmu pengetahuan dan asas utama
perkumpulan ini adalah persaudaraan yang dilakukan dengan tulus ikhlas, kesetiakawanan yang suci
dan murni, serta saling menasehati antara sesama anggota untuk menuju ridho Illahi dan tidak melalui
jalan radikal-revolusioner.
[7] Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam,78.
[8] Ibid., 85-86.
[9] Ibid., 87.
[10] Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi, h. 24
[11] H. Ahamad Syar’I M. Pd, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005)
[12] Ibid, hlm. 93-94

Anda mungkin juga menyukai