PEMBAHASAN
1.1
FiIlsafat Pendidikan Islam, meskipun sedikit banyak dipengaruhi oleh aliran-aliran filsafat
yunani, namun bukan berarti bahwa Filsafat Pendidikan Islam mengadopsi pemikiranpemikirannya, karena Filsafat Pendidikan Islam memiliki konsep tersendiri dalam memandang
kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan yang bersumber pada wahyu ilahi.
Pandangan-pandangan tersebut penulis batasi pada beberapa pandangan berikut:
1. Prinsip Keseimbangan
Dalam Filsafat Pendidikan Islam, pendidikan seyogyanya mampu mengarahkan manusia pada
kehidupan yang seimbang, baik keseimbangan antara roh dan jasad, keseimbangan antara
materil dan spiritual, keseimbangan antara individu dan masyarakat, serta keseimbangan
duniawi dan ukhrawi,1[1] tidak seperti Filsafat Idealisme yang mengutamakan kemutlakan roh
dan mengabaikan hal-hal yang bersifat materi (fisik), tidak juga seperti Filsafat Realisme yang
cenderung lebih menekankan pada aspek fisik dalam proses pendidikan, tidak juga aliran
Filsafat Sosialisme yang mengakui kemutlakan materi, mengabaikan dan melupakan faktor
rohani pada diri seseorang dan manjadikan manusia sebagai materialis yang mengingkari nilainilai rohani.
Namun meskipun demikian, dalam beberapa aspek Filsafat Pendidikan memiliki prinsip-prinsip
yang serupa dengan prinsip idealism, terutama idealism spiritualistis. Hal ini disebabkan,
karena idealism mengakui adanya zat tertinggi yang menciptakan realitas alam semesta serta
nilai-nilai agama,2[2] tidak seperti aliran filsafat eksistensialisme yang menekankan agar masingmasing individu diberi kebebasan mengembangkan potensinya secara maskimal, tanpa ada
batas (mutlak), tidak juga seperti aliran filsafat pragmatism yang menganggap baik dan benar
terhadap semua jalan (cara) yang mengantarkan pada kebermanfaatan.
Bagaimanapun juga manusia adalah makhluk yang memiliki keterbatasan. Dalam hal ini
Filsafat Pendidikan Islam memandang manusia (peserta didik) sebagai makhluk yang memiliki
kebebasan dan potensi untuk berkembang. Untuk itu, kebebasan manusia tersebut hendaknya
senantiasa diarahkan kepada kebaikan, yaitu kebebasan yang tetap menempatkan manusia pada
posisi mulia, bukan sebaliknya.
Manusia juga tidak bisa bebas melakukan segala cara untuk mencapai kebermanfaatan. Karena
pendekatan yang demikian merupakan suatu pendekatan yang berbahaya dan bisa menyalahi
nilai-nilai ilahiah. Akibatnya, manusia akan banyak mengorbankankeimanan yang ada padanya
demi sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupannya. Sementara menurut Islam, tidak semua yang
bermanfaat tersebut baik dan sesuai dengan nilai-nilai agama yang dapat mengantarkan
manusia mencapai kebahagiaan yang tertinggi dari kehidupan.
4. Pandangan Hidup
Dalam Filsafat Pendidikan Islam, semua aktivitasnya termasuk di dalamnya aktivitas dalam
bidang pendidikan haruslah didasari oleh tugas pokok dan fungsi penciptaannya di dunia ini
yaitu menjadi khalifah dan beribadah kepada Allah, bukan mengabdi kepada Negara atau partai
seperti sosialisme dan komunisme, tidak juga mengabdi kepada kepentingan seperti
pragmatisme, yang intinya tidak mengabdi kepada selain Allah.3[3]
2[2] Lihat al-Quran surah al-Nisaa [4] : 1
3[3] http:///rumahuus.blogspot.com/aliran-aliran-dalam-filsafat-pendidikan.html
1.2
Aliran-aliran Dalam Pendidikan Islam
1. Aliran Agamis Konservatif (Al-Muhafidz)
Tokoh-tokoh aliran ini adalah al-Ghazali, Nasiruddin al-Thusi, Ibnu Jamaah, Sahnun, Ibnu
Hajar al-Haitami, dan al-Qabisi.
Aliran al-Muhafidz cenderung bersikap murni keagamaan. Aliran ini memaknai ilmu dengan
pengertian sempit. Menurut al-Thusi, ilmu yang utama hanyalah ilmu-ilmu yang dibutuhkan
saat sekarang, yang jelas akan membawa manfaat di akhirat kelak.
Menurut Dra. Hj. Hasniyati Gani Ali M.Pd dalam bukunya ilmu pendidikan Islam mengatakan
bahwa, teori aliran ini lebih menfokuskan pendidikan pada aspek keagamaan sebab mereka
memaknai ilmu hanya secara sempit yaitu ilmu yang harus dipelajari setiap individu adalah
ilmu yang dibutuhkan pada saat ia hidup di dunia yag hanya bermanfaat kelak di akhirat. 4[4]
Menurut aliran ini ilmu diklasifikasikan menjadi: pertanma, ilmu tentang cara melakukan
kewajiban-kewajiban agama. Kedua, ilmu yang bersifat fardu kifayah.
Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi:
Berdasarkan pembidangannya, ilmu dibagi menjadi dua bidang:
1) Ilmu syariyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari para Nabi, terdiri atas:
a. Ilmu ushul (ilmu pokok). Contoh: ilmu al-quran, sunah nabi, pendapat-pendapat sahabat
dan ijma.
b. Ilmu furu (cabang). Contoh: fiqh dan akhlak.
c. Ilmu pengantar (mukaddimah). Contoh: ilmu bahasa dan gramatika.
d. Ilmu pelengkap (mutammimah).
2) Ilmu ghoiru syariyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari ijtihad ulama atau intelektual
muslim, terdiri atas:
a. Ilmu terpuji. Misalnya: ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu pustaka.
b. Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan). Misalnya: kebudayaan, sastra, sejarah, puisi.
4[4] Hasniyati Gani Ali, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Quantum Teaching, 2008, hal
50
c.
Ilmu yang tercela (merugikan). Misalnya: ilmu tenung, sihir dan bagian-bagian tertentu
dari filsafat.
Berdasarkan status hukum mempelajarinya, dapat digolongkan menjadi:
1)
Ilmu yang fardlu ain, yakni ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu muslim.
Contoh: ilmu tentang tata cara shalat, dan puasa. Kemudian, ilmu yang fardlu ain ini, oleh alGhazali, dibagi menjadi dua yaitu: Ilmu Muamalah dan ilmu Mukasyafah.
2) Ilmu yang fardlu kifayah, yakni ilmu yang bila sebagian umat Islam telah mempelajarinya,
maka yang lain tidak tertuntut kewajiban mempelajarinya. Contoh: ilmu kedokteran, ilmu
hitung dan perdagangan.
Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu-ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh dengan
kesempurnaan rasio dan kejernihan akal budi. Karena, hanya dengan rasiolah manusia mampu
menerima amanat dari Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pemikiran al-Ghazali ini
sejalan dengan aliran Mutazilah yang berpendapat bahwa rasio mampu menetapkan baik
buruknya sesuatu.
Pola umum pemikiran al-Ghazali dalam pendidikannya antara lain:
1) Kegiatan menuntut ilmu tiada lain berorientasi pada pencapaian ridha Allah.
2) Teori ilmu ilhami sebagai landasan teori pendidikannya, dan diperkuat dengan sepuluh
kode etik peserta didik.
3) Tujuan agamawi merupakan tujuan puncak kegiatan menuntut ilmu.
4) Pembatasan term al-ilm hanya pada ilmu tentang Allah.
Sedangkan menurut Ibnu Jamaah, para penuntut ilmu harus mengawali belajarnya dengan alQuran, menghafal dan menafsirkannya. Kemudian, ilmu-ilmu yang perlu diprioritaskan adalah
Ulumul Quran, al-Hadits, Ulumul Hadits, Ushul, Nahwu dan Sharaf.5[5]
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran utama aliran konservatif antara lain:
5[5] sarjanaspdi.blogspot.com/aliran-aliran-filsafat-islam.html
1)
Ilmu adalah ilmu al-hal, yaitu ilmu yang dibutuhkan saat sekarang yang bisa membawa
manfaat di akhirat.
2) Ilmu-ilmu selain ilmu keagamaan adalah sia-sia.
3) Ilmu hanya bisa diperoleh melalui rasio.
pada
kiat
transformasi
potensi-potensi
manusia
agar
menjadi
kemampuan
psikomotorik.
Ikhwan berpendapat bahwa akal sempurna mengemanasikan keutamaan-keutamaan pada jiwa
dan dengan emanasi ini eternalitas akal menjadi penyebab keberadaan jiwa. Kesempurnaan
akal menjadi penyebab keabadian jiwa dan supremasi akal menjadi penyebab kesempurnaan
jiwa. Pandangan dualisme jiwa-akal Ikhwan tersebut merupakan bukti dari pengaruh pemikiran
Plato.
6[6] Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Ailiran Utama Teori Pendidikan Islam, Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 2002, hal 79
Menurut Ikhwan, jiwa berada pada posisi tengah antara dunia fisik-materiil dan dunia akal. Hal
inilah yang menjadikan pengetahuan manusia menempuh laju linier-progresif melalui tiga
cara, yaitu:
1)
Dengan jalan indera, jiwa dapat mengetahui sesuatu yang lebih rendah dari substansi
dirinya.
2) Dengan jalan burhan (penalaran-pembuktian logis), jiwa bisa mengetahui sesuatu yang
lebih tinggi darinya.
3) Dengan perenungan rasional, jiwa dapat mengetahui substansi dirinya.
Ikhwan tidak sependapat dengan ide Plato yang menganggap bahwa belajar tiada lain hanyalah
proses mengingat ulang. Ikhwan menganggap bahwa semua pengetahuan berpangkal pada
cerapan inderawiah. Segala sesuatu yang tidak dijangkau oleh indera, tidak dapat
diimajinasikan, segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, maka tidak bisa dirasiokan.
Kalangan Ikhwan sangat memberi tempat terhadap ragam disiplin ilmu yang berkembang dan
bermanfaat bagi kemajuan hidup manusia. Implikasinya adalah konsep ilmu berpangkal pada
kesedia-kalaan ilmu tanpa pembatasan.
Ikhwan membagi ragam disiplin ilmu sebagai berikut:
1) Ilmu-ilmu Syariyah (keagamaan), yaitu:
a) Ilmu Tanzil (ilmu Quran-Hadits)
b) Ilmu Tawil (ilmu penafsiran)
c) Ilmu Akhbar (ilmu penyampaian informasi keagamaan)
d) Ilmu pengkajian sunnah dan hokum.
e) Ilmu ceramah keagamaan, ilmu kezuhudan dan tabir mimpi.
2) Ilmu-ilmu Filsafat
a) Riyadliyyat (ilmu-ilmu eksak)
b) Mantiqiyyat (retorika-logika)
c) Thabiiyyat (ilmu kealaman atau fisika)
d) Teologi (ketuhanan).
3) Ilmu-ilmu Riyadliyyat (matematik)
a) Ilmu kitabah-qiraat (baca-tulis)
b) Ilmu Nahwu (bahasa dan gramatika)
c) Ilmu hitung dan transaksi
d) Ilmu syiir dan prosa
e) Ilmu peramalan
f)
g)
h)
i)
7[7] sarjanaspdi.blogspot.com/aliran-aliran-filsafat-islam.htm
ukhrowi, keduanya harus memberikan keuntungan, karena baginya pendidikan adalah jalan
untuk memperoleh rizki.
Dia menglasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan tujuan fungsionalnya, yaitu:
a) Ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik. Misal: ilmu-ilmu keagamaan, Ontologi dan Teologi.
b) Ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental bagi ilmu instrinsik. Misal: kebahasaAraban bagi ilmu syariy, dan logika bagi ilmu filsafat.
Berdasarkan sumbernya, ilmu dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a) Ilmu aqliyah (intelektual) yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari olah pikir rasio, yakni
ilmu Mantiq (logika), ilmu alam, Teologi dan ilmu Matematik.
b) Ilmu naqliyah yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari hasil transmisi dari orang terdahulu,
yakni ilmu Hadits, ilmu Fiqh, ilmu kebahasa-Araban, dan lain-lain.
Menurut Ibnu Khaldun, daya pikir manusia merupakan karya-cipta khusus yang telah
didesain Tuhan. Manusia pada dasarnya adalah jahil (tidak tahu), ia menjadi alim (tahu) karena
manusia belajar.
Ibn Khaldun menjadikan kealamiahan sebagai salah satu sumber pengetahuan rasional. Ia
membebaskan rasio dari dari kungkungan naql (dogma, tradisi) dan menjadikannya sebagai
sumber otonom pengetahuan. Ia menyatakan bahwa ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas
yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di
dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala konklusif yang lahir dari
terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Menurutnya
bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis
insani.
Dari pemikiran Ibnu Khaldun di atas, maka ide pokok pemikiran aliran Pragmatis antara lain:
1) Manusia pada dasarnya tidak tahu, namun ia menjadi tahu karena proses belajar.
2) Akal merupakan sumber otonom ilmu pengetahuan.
3) Keseimbangan antara pengetahuan duniawi dan ukhrawi.
8[1]
10[3]
8
9
10
11
12
14[7]
13
14
sarjanaspdi.blogspot.com/aliran-aliran-filsafat-islam.html