BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan dengan inti kegiatan pelayanan preventif,
kuratif, rehabilitatif dan promotif. Kegiatan tersebut akan menimbulkan dampak positif dan
negatif. Dampak positif adalah meningkatnya derajat kesehatan masyarakat, sedangkan dampak
negatifnya antara lain adalah sampah dan limbah medis maupun non medis yang dapat
menimbulkan penyakit dan pencemaran yang perlu perhatian khusus.Oleh karenanya perlu upaya
penyehatan lingkungan rumah sakit yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dan karyawan
akan bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari sampah maupun limbah rumah sakit.
Sampah atau limbah rumah sakit dapat mengandung bahaya karena dapat bersifat racun,
infeksius dan juga radioaktif.
Karena kegiatan atau sifat pelayanan yang diberikan, maka rumah sakit menjadi depot segala
macam penyakit yang ada di masyarakat, bahkan dapat pula sebagai sumber distribusi penyakit
karena selalu dihuni, dipergunakan, dan dikunjungi oleh orang-orang yang rentan dan lemah
terhadap penyakit. Di tempat ini dapat terjadi penularan baik secara langsung (cross
infection), melalui kontaminasi benda-benda ataupun melalui serangga (vector borne
infection) sehingga dapat mengancam kesehatan masyarakat umum.
1.3. Tujuan
Agar masyarakat mengetahui sifat dan pengaruh limbah rumah sakit terhadap kesehatan
Mengetahui jenis-jenis limbah rumah sakit.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENANGANAN LIMBAH RUMAH SAKIT
Rumah sakit sebagai tempat pelayanan kesehatan diantaranya melaksanakan kegiatan dalam
katagori diagnosa dan pengobatan, perawatan, bahkan tindakan rehabilitasi. Rumah sakit dari
aspek kesehatan lingkungan dapat berpotensi, antara lain :
Dapat menjadi media pemaparan atau penularan bagi para pasien, petugas maupun
pengunjung oleh agent (komponen penyebab) penyakit yang terdapat di dalam lingkungan rumah
sakit (Darpito, 2003).
2.
Sebagai penghasil sampah dan limbah yang berdampak bagi kesehatan masyarakat dan
lingkungan sekitar.
Dasar pelaksanaan penyehatan lingkungan rumah sakit Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1204/MENKES/SK/X/2004
Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.
Ruang lingkup kesehatan lingkungan sesuai Permenkes 1204 tahun 2004 antara lain :
1.
Penyehatan ruang bangunan dan halaman rumah sakit.
2.
Hygiene sanitasi makanan dan minuman.
3.
Penyehatan air.
4.
Pengelolaan limbah.
5.
Penyehatan tempat pencucian linen (laundry).
6.
Pengendalian serangga, tikus, dan binatang pengganggu.
7.
Dekontaminasi melalui sterilisasi dan disinfeksi.
8.
Pengamanan dampak radiasi.
1.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Upaya kesehatan lingkungan rumah sakit bertujuan untuk mewujudkan lingkungan rumah sakit
baik in door ataupun out door yang aman, nyaman, dan sehat bagi para pasien, pekerja,
pengunjung dan masyarakat di sekitar rumah sakit, kejadian pencemaran lingkungan dan
gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh rumah sakit dapat ditekan sekecil mungkin atau bila
mungkin dihilangkan.
Pengelolaan limbah dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan terhadap limbah
mulai dari tahap pengumpulan di tempat sumber, pengangkutan, penyimpanan serta tahap
pengolahan akhir yang berarti pembuangan atau pemusnahan.
Tindakan pertama yang harus dilakukan sebelum melakukan pengelolaan limbah dari
tindakanpreventif dalam bentuk pengurangan volume atau bahaya dari limbah yang dikeluarkan
ke lingkungan. Atau minimasi limbah. Beberapa usaha minimasi meliputi beberapa tindakan
seperti usaha reduksi pada sumbernya, pemanfaatan limbah,daur ulang, pengolahan limbah, serta
pembuangan limbah sisa pengolahan.
Sedangkan tata lakana penanganan limbah medis sesuai permenkes meliputi kegiatan Minimisasi
dan Pemilahan Limbah dengan rincian kegiatan sebagai berikut :
2.1.1 USAHA UNTUK MEMINIMALISIR LIMBAH :
Menyeleksi bahan-bahan yang kurang menghasilkan limbah sebelum membelinya.
Menggunakan sedikit mungkin bahan bahn akimia.
Menyeleksi bhan-bahan yang kurang menghasilkan limbah sebelum membelinya.
Menggunakan sedikit mungkin bahan-bahan kimia
Mengutamakan metode pembersihan secara fisik dari pada secara kimiawi.
Mencegah bahan-bahan yang dapat menjadi limbah seperti dalam kegiatan petugas kesehatan
dan kebersihan.
7. Memonitor alur penggunaan bahan kimia dari bahan baku sampai menjadi limbah bahan
berbahaya dan beracun.
8. Memesan bahan-bahan sesuai kebutuhan.
9. Menggunakan bahan yang diproduksi lebih awal untuk menghindari kadarwasa.
10. Menghabiskan bahan dari setiap kemasan.
11. Mengejek tanggal kadarwasa bahan pada saat diantara oleh distributor.
PEMILIHN LIMBAH
1. dilakukan pemilihan junis limbah medis mulai dari sumber yang terdiri limbah infeksius, limbah
patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi.
2. Pemisahan limbah berbahaya dari semua limbah pada tempat pengahasil limbah adalah kunci
pembuangan yang baik.
Tempat penampungan sementara
Bagi rumah sakit yang mempunyai insinerator di lingkunagan harus membakar limbah
selambat-lambatnya 24 jam.
Bagi rumah sakit yang tidak mempunyai insinator, maka limbah medis harus dimusnahkan
melalui kerjasama dengan rumah sakit lain atau pihak lain yang mempunyai insenator untuk
dilakukan pemusnahan.
Transportasi penganggkut limbah
Kantong limbah medis sebelum dimasukan ke kendaraan pengangkut harus diletakan dalam
kontairner yang uat dan tertutup.
Pengangkut limbah keluar rumah sakit menggunakan kendaraan khusus.
Kantong limbah medis harus aman dari jangkauan manusia atau binatang.
Petugas yang menangani limbah harus menggunakan APD yang terdiri : topi/helm, masker,
pelindung mata, pakaian panjang.
Pengumpulan limbah medis
Pengumpulan limbah medis dari setiap ruangan penghasil limbah mengguanakan troli khusus
yang tertutup.
Penyimpanan limbah medis harus sesuai iklim tropis yaitu pada musim huajn paling lama 48 jam
dan musim kemarau paling lama 24 jam.
Persyaratan pewadahan limbah medis
Syarat tempat pewadahan limbah antara lain :
Terbuat dari bahan yang kuat, cukup ringan, tahan karat, kedap air, dan mempunyai permukaan
yang halus pada bagian dalam misalnya fiberglass
Di stiap sumber penghasil limbah medis harus terik diangkat setiap sedia tempat pewadahan yang
terpisah dengan limbah non-medis
Kantong plastik di angkat setiap hari atau kurang sehari apabila 2/3 bagian telah terisi limbah
Untuk benda-benda tajam hendaknya di tampung pada tempat khusus (safety box) seperti botol
atau karton yang aman
Syarat benda tajam harus ditampung pada tempat khusus (safety box) seperti botol, jerigen atau
karton yang aman
Tempat perwadahan limbah medis infeksius dan sitotoksik yang tidak langsung kontak dengan
limbah harus segera dibersihkan dengan larutan desinfektan apabilka akan dipergunakan
kembali, sedangkan untuk kantong plastik yang telah di pakai dan kontak langsung dengan
limbah tersebut tidak boleh digunakan lagi.
2.1.2 Karakteristik Limbah Rumah Sakit
Sampah dan limbah rumah sakit adalah semua sampah dan limbah yang dihasilkan oleh
kegiatan rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya.Apabila dibanding dengan kegiatan
instansi lain, maka dapat dikatakan bahwa jenis sampah dan limbah rumah sakit dapat
dikategorikan kompleks. Secara umum sampah dan limbah rumah sakit dibagi dalam dua
kelompok besar, yaitu sampah atau limbah klinis dan non klinis baik padat maupun cair.
Limbah klinis adalah yang berasal dari pelayanan medis, perawatan, gigi, veterinari,
farmasi atau sejenis, pengobatan, perawatan, penelitian atau pendidikan yang menggunakan
bahan-bahan beracun, infeksius berbahaya atau bisa membahayakan kecuali jika dilakukan
pengamanan tertentu. Bentuk limbah klinis bermacam-macam dan berdasarkan potensi yang
terkandung di dalamnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) Limbah benda tajam
Limbah benda tajam adalah obyek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung atau
bagian menonjol yang dapat memotong atau menusuk kulit seperti jarum hipodermik,
perlengkapan intravena, pipet pasteur, pecahan gelas, pisau bedah. Semua benda tajam ini
memiliki potensi bahaya dan dapat menyebabkan cedera melalui sobekan atau tusukan. Bendabenda tajam yang terbuang mungkin terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan
mikrobiologi, bahan beracun atau radioaktif.
2) Limbah infeksius
Limbah infeksius mencakup pengertian sebagai berikut:
a. Limbah yang berkaitan dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular
(perawatan intensif)
b. Limbah laboratorium yang berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi dari poliklinik dan
ruang perawatan/isolasi penyakit menular.
3) Limbah jaringan tubuh
Limbah jaringan tubuh meliputi organ, anggota badan, darah dan cairan tubuh, biasanya
dihasilkan pada saat pembedahan atau otopsi.
4) Limbah sitotoksik
Limbah sitotoksik adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin terkontaminasi dengan
obat sitotoksik selama peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi sitotoksik. Limbah yang
terdapat limbah sitotoksik didalamnya harus dibakar dalam incinerator dengan suhu diatas
1000oc
5) Limbah farmasi
Limbah farmasi ini dapat berasal dari obat-obat kadaluwarsa, obat-obat yang terbuang
karena batch yang tidak memenuhi spesifikasi atau kemasan yang terkontaminasi, obat-obat
yang dibuang oleh pasien atau dibuang oleh masyarakat, obat-obat yang tidak lagi diperlukan
oleh institusi yang bersangkutan dan limbah yang dihasilkan selama produksi obat-obatan.
6) Limbah kimia
Limbah kimia adalah limbah yang dihasilkan dari penggunaan bahan kimia dalam tindakan
medis, veterinari, laboratorium, proses sterilisasi, dan riset.
7) Limbah radioaktif
Limbah radioaktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop yang berasal dari
penggunaan medis atau riset radio nukleida. Limbah ini dapat berasal dari antara lain : tindakan
kedokteran nuklir, radio-imunoassay dan bakteriologis; dapat berbentuk padat, cair atau gas.
Limbah cair yang dihasilkan rumah sakit mempunyai karakteristik tertentu baik fisik, kimia dan
biologi.
8)Limbah Plastik
Limbah plastik adalah bahan plastik yang dibuang oleh klinik, rumah sakit dan sarana
pelayanan kesehatan lain seperti barang-barang dissposable yang terbuat dari plastik dan juga
pelapis peralatan dan perlengkapan medis.
Selain sampah klinis, dari kegiatan penunjang rumah sakit juga menghasilkan sampah
non klinis atau dapat disebut juga sampah non medis. Sampah non medis ini bisa berasal dari
kantor/administrasi kertas, unit pelayanan (berupa karton, kaleng, botol), sampah dari ruang
pasien, sisa makanan buangan; sampah dapur (sisa pembungkus, sisa makanan/bahan makanan,
sayur dan lain-lain). Limbah cair yang dihasilkan rumah sakit mempunyai karakteristik tertentu
baik fisik, kimia dan biologi. Limbah rumah sakit bisa
4 mengandung bermacam-macam
mikroorganisme, tergantung pada jenis rumah sakit, tingkat pengolahan yang dilakukan sebelum
dibuang dan jenis sarana yang ada (laboratorium, klinik dll).
Tentu saja dari jenis-jenis mikroorganisme tersebut ada yang bersifat patogen. Limbah
rumah sakit seperti halnya limbah lain akan mengandung bahan-bahan organik dan anorganik,
yang tingkat kandungannya dapat ditentukan dengan uji air kotor pada umumnya seperti BOD,
COD, TTS, pH, mikrobiologik, dan lainlain.
Melihat karakteristik yang ditimbulkan oleh buangan/limbah rumah sakit seperti tersebut
diatas, maka konsep pengelolaan lingkungan sebagai sebuah sistem dengan berbagai proses
manajemen didalamnya yang dikenal sebagai Sistem Manajemen Lingkungan (Environmental
Managemen System) dan diadopsi Internasional Organization for Standar (ISO) sebagai salah
satu sertifikasi internasioanal di bidang pengelolaan lingkunan dengan nomor seri ISO 14001
perlu diterapkan di dalam Sistem Manajemen Lingkungan Rumah Sakit.
2.1.3 Pengaruh Limbah Rumah Sakit Terhadap Lingkungan dan Kesehatan
Pengaruh limbah rumah sakit terhadap kualitas lingkungan dan kesehatan dapat
menimbulkan berbagai masalah seperti
a. Gangguan kenyamanan dan estetika
Ini berupa warna yang berasal dari sedimen, larutan, bau phenol, eutrofikasi dan rasa dari bahan
kimia organik.
b. Kerusakan harta benda
Dapat disebabkan oleh garam-garam yang terlarut (korosif, karat), air yang berlumpur dan
sebagainya yang dapat menurunkan kualitas bangunan di sekitar rumah sakit.
c. Gangguan/kerusakan tanaman dan binatang
Ini dapat disebabkan oleh virus, senyawa nitrat, bahan kimia, pestisida, logam nutrien tertentu
dan fosfor.
d. Gangguan terhadap kesehatan manusia
Ini dapat disebabkan oleh berbagai jenis bakteri, virus, senyawa-senyawa kimia, pestisida, serta
logam seperti Hg, Pb, dan Cd yang berasal dari bagian kedokteran gigi.
e. Gangguan genetik dan reproduksi
Meskipun mekanisme gangguan belum sepenuhnya diketahui secara pasti, namun beberapa
senyawa dapat menyebabkan gangguan atau kerusakan genetik dan sistem reproduksi manusia
misalnya pestisida, bahan radioaktif.
Limbah padat
Untuk memudahkan mengenal jenis limbah yang akan dimusnahkan, perlu dilakukan
penggolongan limbah. Dalam kaitan dengan pengelolaan, limbah klinis dikategorikan menjadi 5
golongan sebabagi berikut :
Golongan A :
(1)
Dressing bedah, swab dan semua limbah terkontaminasi dari kamar bedah.
(2)
Bahan-bahan kimia dari kasus penyakit infeksi.
(3)
Seluruh jaringan tubuh manusia (terinfeksi maupun tidak), bangkai/jaringan hewan dari
laboratorium dan hal-hal lain yang berkaitan dengan swab dan dreesing.
Golongan B :
Syringe bekas, jarum, cartridge, pecahan gelas dan benda-benda tajam lainnya.
Golongan C :
Limbah dari ruang laboratorium dan postpartum kecuali yang termasuk dalam golongan A.
Golongan D :
Limbah bahan kimia dan bahan-bahan farmasi tertentu.
Golongan E :
Pelapis Bed-pan Disposable, urinoir, incontinence-pad, dan stomach.
2.1.5 Pelaksanaan pengelolaan
Dalam pelaksanaan pengelolaan limbah klinis perlu dilakukan pemisahan penampungan,
pengangkutan, dan pengelolaan limbah pendahuluan.
1) Pemisahan
Golongan A
Dressing bedah yang kotor, swab dan limbah lain yang terkontaminasi dari ruang pengobatan
hendaknya ditampung dalam bak penampungan limbah klinis yang mudah dijangkau bak sampah
yang dilengkapi dengan pelapis pada tempat produksi sampah Kantong plastik tersebut
hendaknya diambil paling sedikit satu hari sekali atau bila sudah mencapai tiga perempat penuh.
Kemudian diikat kuat sebelum diangkut dan ditampung sementara di bak sampah klinis.
Bak sampah tersebut juga hendaknya diikat dengan kuat bila mencapai tiga perempat
penuh atau sebelum jadwal pengumpulan sampah. Sampah tersebut kemudian dibuang dengan
cara sebagai berikut :
a) Sampah dari haemodialisis
Sampah hendaknya dimasukkan dengan incinerator. Bisa juga digunakan autoclaving, tetapi
kantung harus dibuka dan dibuat sedemikian rupa sehingga uap panas bisa menembus secara
efektif.
(Catatan: Autoclaving adalah pemanasan dengan uap di bawah tekanan dengan tujuan sterilisasi
terutama untuk limbah infeksius).
b) Limbah dari unit lain :
Limbah hendaknya dimusnahkan dengan incinerator. Bila tidak mungkin bisa menggunakan cara
lain, misalnya dengan membuat sumur dalam yang aman.
Prosedur yang digunakan untuk penyakit infeksi harus disetujui oleh pimpinan yang
bertanggungjawab, kepala Bagian Sanitasi dan Dinas Kesehatan c/q Sub Din PKL setempat.
Semua jaringan tubuh, plasenta dan lain-lain hendaknya ditampung pada bak limbah klinis atau
kantong lain yang tepat kemudian dimusnahkan dengan incinerator.
Perkakas laboratorium yang terinfeksi hendaknya dimusnahkan dengan incinerator.
Incinerator harus dioperasikan di bawah pengawasan bagian sanitasi atau bagian laboratorium.
Golongan B
Syringe, jarum dan cartridges hendaknya dibuang dengan keadaan tertutup.
Sampah ini hendaknya ditampung dalam bak tahan benda tajam yang bilamana penuh (atau
dengan interval maksimal tidak lebih dari satu minggu) hendaknya diikat dan ditampung di
dalam bak sampah klinis sebelum diangkut dan dimasukkan dengan incinerator.
Penampungan
Sampah klinis hendaknya diangkut sesering mungkin sesuai dengan kebutuhan. Sementara
menunggu pengangkutan untuk dibawa ke incinerator atau pengangkutan oleh dinas kebersihan
(atau ketentuan yang ditunjuk), sampah tersebut hendaknya :
a)
Disimpan dalam kontainer yang memenuhi syarat.
b)
Di lokasi/tempat yang strategis, merata dengan ukuran yang disesuaikan dengan frekuensi
pengumpulannya dengan kantong berkode warna yang telah ditentukan secara terpisah.
c)
Diletakkan pada tempat kering/mudah dikeringkan, lantai yang tidak rembes, dan
disediakan sarana pencuci.
d) Aman dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab; dari binatang, dan bebas dari
infestasi serangga dan tikus.
e)
Terjangkau oleh kendaraan pengumpul sampah (bila mungkin)
Sampah yang tidak berbahaya dengan penanganan pendahuluan (jadi bisa digolongkan dalam
sampan klinis), dapat ditampung bersama sampah lain sambil menunggu pengangkutan.
B) Limbah Cair
Limbah rumah sakit mengandung bermacam-macam mikroorganisme, bahan-bahan
organik dan an-organik. Beberapa contoh fasilitas atau Unit Pengelolaan Limbah (UPL) di rumah
sakit antara lain sebagai berikut:
1)
Sistem ini terpilih untuk pengolahan air limbah rumah sakit di kota, karena tidak
memerlukan lahan yang luas. Kolam oksidasi dibuat bulat atau elips, dan air limbah dialirkan
secara berputar agar ada kesempatan lebih lama berkontak dengan oksigen dari udara (aerasi).
Kemudian air limbah dialirkan ke bak sedimentasi untuk mengendapkan benda padat dan
lumpur. Selanjutnya air yang sudah jernih masuk ke bak klorinasi sebelum dibuang ke selokan
umum atau sungai. Sedangkan lumpur yang mengendap diambil dan dikeringkan padaSludge
drying bed (tempat pengeringan Lumpur). Sistem kolam oksidasi ini terdiri dari :
1. Pump Swap (pompa air kotor)
2. Oxidation Ditch (pompa air kotor)
3. Sedimentation Tank (bak pengendapan)
4. Chlorination Tank (bak klorinasi)
5. Sludge Drying Bed ( tempat pengeringan lumpur, biasanya 1-2 petak).
6. Control Room (ruang kontrol)
3)
oksidasinya. Oleh sebab itu sebelum effluent dialirkan ke bak klorida ditampung dulu di bak
stabilisasi untuk memberikan kesempatan oksidasi zat-zat tersebut di atas, sehingga akan
menurunkan jumlah klorin yang dibutuhkan pada proses klorinasi nanti.
Sistem Anaerobic Treatment terdiri dari komponen-komponen antara lain sebagai berikut :
1. Pump Swap (pompa air kotor)
2. Septic Tank (inhaff tank)
3. Anaerobic filter.
4. Stabilization tank (bak stabilisasi)
5. Chlorination tank (bak klorinasi)
6. Sludge drying bed (tempat pengeringan lumpur)
7. Control room (ruang kontrol)
Sesuai dengan debit air buangan dari rumah sakit yang juga tergantung dari besar kecilnya rumah
sakit, atau jumlah tempat tidur, maka kontruksi Anaerobic Filter Treatment Systemdapat
disesuaikan dengan kebutuhan tersebut, misalnya :
a)
b)
c)
d)
e)
f)
Incinerator
Beberapa hal yang perlu diperhatikan apabila incinerator akan digunakan di rumah sakit
antara lain : ukuran, desain, kapasitas yang disesuaikan dengan volume sampah medis yang akan
dibakar dan disesuaikan pula dengan pengaturan pengendalian pencemaran udara, penempatan
lokasi yang berkaitan dengan jalur pengangkutan sampah dalam kompleks rumah sakit dan jalur
pembuangan abu, serta perangkap untuk melindungi incinerator dari bahaya kebakaran.
Keuntungan menggunakan incinerator adalah dapat mengurangi volume sampah, dapat
membakar beberapa jenis sampah termasuk sampah B3 (toksik menjadi non toksik, infeksius
menjadi non infeksius), lahan yang dibutuhkan relatif tidak luas, pengoperasinnya tidak
tergantung pada iklim, dan residu abu dapat digunakan untuk mengisi tanah yang rendah.
Sedangkan kerugiannya adalah tidak semua jenis sampah dapt dimusnahkan terutama sampah
dari logam dan botol, serta dapat menimbulkan pencemaran udara bila tidak dilengkapi dengan
pollution control berupa cyclon (udara berputar) atau bag filter (penghisap debu). Hasil
pembakaran berupa residu serta abu dikeluarkan dari incinerator dan ditimbun dilahan yang
rendah. Sedangkan gas/pertikulat dikeluarkan melalui cerobong setelah melalui sarana pengolah
pencemar udara yang sesuai.
2.2 PENANGAN KECELAKAAN
Selain upaya pencegahan juga perlu disediakan sarana untuk menanggulangi kecelakaan yang
terjadi di tempat kerja yaitu :
1. Penyediaan P3K
Peralatan P3K yang ada sesuai dengan jenis kecelakaan yang mungkin terjadi di tempat kerja
untuk mengantisipasi kondisi korban menjadi lebih parah apabila terjadi kecelakaan, peralatan
tersebut harus tersedia di tempat kerja dan mudah dijangkau, petugas yang bertanggung jawab
melaksanakan P3K harus kompeten dan selalu siap apabila terjadi kecelakaan di tempat kerja.
2. Penyediaan peralatan dan perlengkapan tanggap darurat
Kecelakaan kerja yang terjadi di tempat kerja terkadang tanpa kita sadari seperti terkena bahan
kimia yang bersifat korosif yang dapat menyebabkan iritasi pada kulit / mata atau terjadinya
kebakaran, untuk menanggulangi keadaan tersebut perencanaan dan penyediaan perlatan /
perlengkapan tanggap darurat di tempat kerja sangat diperlukan seperti pemadam kebakaran,
hidran, peralatan emergency shower, eye shower dengan penyediaan air yang cukup, semua
peralatan ini harus mudah dijangkau.
2.2.4 Sistem Pelaporan dan Statistik data Kecelakaan Kerja
Pelaporan dan statistik data kecelakaan dilakukan dengan penilaian dan analisa kecelakaan yang
ditemukan di tempat kerja, hal ini di tujukan untuk upaya pencegahan kecelakaan, data ini juga
berguna untuk menilai besarnya biaya penggantian perawatan bagi korban kecelakaan, data ini
juga berguna untuk menilai besarnya biaya penggantian perawatan bagi korban kecelakaan.
Adapun tujuan utamanya yaitu :
1. Memperkirakan penyebab dan besarnya permasalahan kecelakaan yang terjadi.
2. Mengidentifkasi pencegahan utama yang dibutuhkan.
3. Mengevaluasi efektivitas pencegahan yang dilakukan.
4. Memonitor resiko bahaya, peringatan bahaya dan kampanye keselamatan kerja.
5. Mencari masukan informasi dari pencegahan yang dilakukan.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Keselamatan kerja di rumah sakit sangat diperlukan agar kesehatan pekerja dan pasien
yang berada di rumah sakit tersebut terjamin keselamatan dan kesehatanya. Adapun kecelakaan
yang ada pada saat itu sangat berbahaya bukan hanya menyebabkan tubuh kita merasakan sakit
tetapi bisa juga menyebabkan kematian.
3.2 SARAN
Terapkan k3 dalam kehidupan sehari-hari untuk mencegah terjadinya kecelakaan pada saat
bekerja di laboratorium dan di rumah sakit. Bukan hanya di laboratorim dan dirumah sakit saja
kecelakaan itu bisa terjadi untuk itu dimanapun kita bekerja harus selalu memperhatikan
keselamata dirinya dan lingkungan sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Agustiani E, Slamet A, Winarni D (1998). Penambahan PAC pada proses lumpur aktif untuk
pengolahan air limbah rumah sakit: laporan penelitian. Surabaya: Fakultas Teknik IndustriInstitut
Teknologi Sepuluh Nopember
Agustiani E, Slamet A, Rahayu DW (2000). Penambahan powdered activated carbon (PAC) pada
proses lumpur aktif untuk pengolahan air limbah rumah sakit. Majalah IPTEK: jurnal ilmu
http://astutisari.blogspot.co.id/2015/01/makalah-k3-limbah-rumah-sakit.html
1.
2.
3.
4.
yaitu
kerja
yang
tidak
RUANG LINGKUP K3
Ruang lingkup hyperkes dapat dijelaskan sebagai berikut (Rachman, 1990) :
a.
b.
c. Penerapan
Hyperkes
dilaksanakan
secara
holistik
sejak
hingga perolehan hasil dari kegiatan industri barang maupun jasa.
perencanaan
2.
3.
1.
Bahan-bahan kimia yang berbahaya yang perlu kita kenal jenis, sifat, cara
penanganan, dan cara penyimpanannya.Contohnya: bahan kimia beracun, mudah
terbakar, eksplosif, dan sebagainya.
2.
3.
Ketiga sumber tersebut diatas saling berkaitan, tetapi praktis potensi bahaya
terletak pada keunikan sifat bahan kimia yang digunakan. Masing-masing sumber
beserta keterkaitannya perlu dipahami lebih detail agar dapat memperkirakan
setiap kemungkinan bahaya yang mungkin terjadi sehingga mampu mencegah atau
menghindarinya.Selain itu, perlu pula dipahami tentang alat pelindung diri serta
cara penanggulangannya bila terjadi kecelakaan.
4.
2.
3.
4.
5.
3.
Dikeringkan dan olesi dengan salep levertran atau luka ditutup dengan kapas
steril atau kapas yang telah dibasahi asam pikrat.
4.
Terkena bromin
1.
Segera dicuci dengan larutan amonia encer
2.
Terkena phospor
1.
Kulit yang terkena segera dicuci dengan air sebanyak-banyaknya
2.
Keracunan
Keracunan zat melalui pernafasan
Akibat zat kimia karena menghirup Cl2, HCl, SO2, NO2, formaldehid, ammonia.
Menghindarkan korban dari lingkungan zat tersebut, kemudian pindahkan korban ke
tempat yang berudara segar.
Jika korban tidak bernafas, segera berikan pernafasan buatan dengan cara
menekan bagian dada atau pemberian pernafasan buatan dari mulut ke mulut
korban
1.
Jas Praktikum, merupakan pengaman langsung, terbuat dari bahan yang baik,
yaitu tidak mudah terbakar, tidak berupa bahan konduktor listrik maupun panas,
tahan bahan kimia.
2.
Ventilasi, desain laboratorium yang baik harus memiliki ventilasi yang cukup dan
memadai dengan sirkulasi udara segar yang baik.
3.
1.
telah
2.
http://blogger-ulin.blogspot.co.id/2013/01/kecelakaan-yang-terjadi-dilaboratorium.html
kerusakan,
yang
sekurang-kurangnya
Contoh Kasus Kecelakaan Kerja Yang Terjadi Dengan Berbagai Faktor Beserta Analisanya.
1.
Para korban yang tewas semuanya warga Cilacap yakni Feri Kisbianto, Jumono, Puji Sutrisno dan
Kasito. Sedangkan pekerja yang bernama Adi Purwanto berhasil menyelamatkan diri, namun mengalami
luka parah.
Menurut salah seorang rekan pekerja, air panas tersebut mengucur ke dalam tangki setelah tombol
kran dibuka oleh salah seorang karyawan pabrik. Diduga operator kran tidak mengetahui jika pekerjaan
didalam
tangki
tersebut
belum
selesai.
Hingga saat ini belum diperoleh keterangan resmi terkait kecelakaan kerja tersebut, karena semua
pimpinan di Pabrik PT Darma Pala Usaha Sukses berusaha menghindar saat ditemui wartawan.
Sementara polisi juga belum mau memberikan keterangan atas musibah tersebut.
Analisis Kasus
Jika ditinjau dari faktor penyebab kecelakaan kerja, penyebab dasar kecelakaan kerja adalah human
error. Dalam hal ini, kesalahan terletak pada operator kran. Menanggapi kecelakaan yang telah
menewaskan empat orang tersebut, seharusnya sang operator kran bersikap lebih hati-hati serta teliti
yaitu dengan benar-benar memastikan bahwa tangki gula krsital tersebut telah kosong serta aman
dialirkan air ke dalamnya, maka mungkin kecelakaan kerja tersebut tidak akan terjadi. Karyawan saat
memasuki tangki seharusnya juga mengenakan alat-alat pelindung diri agar terhindar dari bahaya
kecelakaan kerja.
Kemudian penyebab kecelakaan yang lain adalah kurangnya pengawasan manajemen dalam bidang
kesehatan, keselamatan, dan keamanan pada perusahaan tersebut. Sistem manajemen yang baik
seharusnya lebih ketat pengawasannya terhadap alat ini menyadari alat ini memiliki risiko yang besar
untuk menghasilkan kerugian. Beberapa tindakan manajemen yang bisa dilakukan adalah dengan
meletakkan kamera-kamera di dalam alat tersebut sehingga operator kran dapat memastikan bahwa di
dalam tangki benar-benar tidak ada orang. Kemudian, apabila teknologi yang lebih canggih dapat
diterapkan di sana, maka pada tangki tersebut dapat dipasang sebuah alat pendeteksi di mana apabila di
dalam tangki masih terdapat orang atau benda asing, maka ada sebuah lampu yang menyala yang
mengindikasikan di dalam tangki tersebut terdapat orang atau benda asing.
2.
JAKARTA - Ledakan yang terjadi di lantai 3 Gedung Puslabfor Mabes Polri pukul
13.30 WIB. Seorang korban luka, bernama Iptu Syarifuddin diketahui sedang
menganalisa bahan kimia dan menggunakan tabung pemanas untuk menganalisa
logam. Tiba-tiba ledakan pun terjadi akibat tangki untuk tabung pemanas rusak.
"Sedang kita analisa, tapi ini kecelakaan kerja, itu Syarifuddin namanya, dia ahli
kimia kecelakaannnya karena kimia juga. Dia sedang kerja tahu-tahu meletus," kata
Kapuslabfor Mabes Polri, Brigjen Budiono di Mabes Polri, Jakarta Jumat (4/2/2011).
Dijelaskan Budiono penyebab ledakan adalah tabung berukuran tiga liter. "Tangki
untuk tabung pemanas. Dia (Syarifuddin) sedang menganalisa logam. Akibat
ledakan itu kaca pintu rusak dan melukai tangannya," kata Budiono.
Ditegaskan Budiono penyebab ledakan adalah tabung pemanas untuk analisa
logam.
Lebih lanjut ia menegaskan, tak ada korban luka lain selain Syarifuddin. "Dia
Sendirian, sementara kami sembahyang Jumat, saat ini ia sudah dibawa ke Rumah
Sakit Tebet," kata Budiono.
Analisa Kasus
Menurut saya, kecelakaan diatas adalah kecelakaan kerja akibat faktor teknis
karena kecelakaan tersebut terjadi disebabkan oleh ledakan tabung pemanas ketika
sedang menganalisa bahan kimia untuk menganalisa logam. Akibatnya tangan
Syarifuddin terluka. Nah ini sebagai akibat dari minimnya penerapan standar
keselamatan kerja di kalangan pekerja. Yang pertama, tidak melengkapi diri dengan
alat-alat keselamatan kerja, padahal dengan perlengkapan keselaman kerja
merupakan alat antisipasi terhadap kemungkinan negatif yang timbul saat bekerja.
Kedua, tidak konsentrasi. Dan yang ketiga, kurang memperhatikan alat-alat yang
menunjang pekerjaannya, karena bekerja di laboratorium maka sebelum bekerja
sudah seharusnya memeriksa apakah alat yang akan kita gunakan layak pakai atau
tidak, jika rusak maka lebih baik tidak dipergunakan sebelum diperbaiki terlebih
dahulu atau diganti dengan alat yang baru. Oleh karena itu, dalam bekerja kita
harus menerapkan secara tepat konsep-konsep keselamatan kerja sebagai langkah
antisipasi yang sangat penting bagi keamanan dan kesehatan kita saat bekerja.
Dengan langkah ini maka setidaknya kita telah mempersiapkan diri untuk
mencegah terjadinya kecelakaan tersebut.
3.
kerja akibat fenomena alam. Longsoran terjadi di fasilitas pelatihan pertambangan bawah tanah PT
Freeport, tepatnya mill 74. Akibat adanya kejadian itu, ujar Didi, ada laporan resmi dari PT Freeport, yang
isinya adalah sekitar 40 pekerja tambang terjebak didalam areal fasilitas pelatihan tambang bawah tanah
di mill 74. Dimana sementara ini sedang dilakukan upaya pencarian dan evakuasi. Dari 40 orang, enam
orang sudah terevakuasi, empat orang dinyatakan hidup dan dua orang lainnya meninggal. Saat ini
korban selamat sedang dirawat secara intensif di rumah sakit setempat, ujarnya.
Dikatakannya, disaat longsoran ini diatasi, kondisi 34 orang karyawan yang masih terjebak di bawah
tanah belum diketahui pasti, karena sampai saat ini masih dilakukan pencarian. Yang paling tahu adalah
manajemen Freeport bukan kami, karena ini adalah kecelakaan kerja, maka menjadi domainnya
perusahaan.
Analisa Kasus
Menurut pendapat saya, kecelakaan tersebut merupakan kecelakaan kerja akibat dari faktor alam
karena kecelakaan tersebut terjadi disebabkan adanya longsoran di lokasi penambangan yang
menyebabkan 40 orang penambang terjebak di dalam longsoran tersebut. Untuk mencegah terjadinya
kecelakaan kerja tersebut, sebaiknya perusahaan harus melakukan analisa dan riset terlebih dahulu
tentang keadaan alam yang ada di daerah tersebut meliputi cuaca dan keadaan dan kontur tanah di
tempat sekitar penambangan. Dan bagi penambang haruslah mengikuti instruksi-instruksi untuk
mencegah terjadinya kecelakaan kerja. Diantaranya dengan menggunakan helm, baju safety, sepatu boot
dan membawa alat komunikasi yang berguna untuk memberi tahu pekerja yang berada di atas bila terjadi
longsoran.
DAFTAR PUSTAKA
http://hitamandbiru.blogspot.com/2012/08/makalah-keselamatan-dan-kesehatan kerja.html#ixzz2UaJ0rL8E
http://hafizhamuliani.blogspot.com/2012/03/tugas-saya-kasus-kecelakaan-kerja.html
Berita SINDO.
Diposkan oleh zhainal99 di 23.41
http://zhainal99.blogspot.co.id/2014/05/contoh-contoh-kecelakaan-kerja-yang.html
BAB I
PENDAHULUAN
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan suatu pemikiran dan upaya untuk
menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani. Dengan
keselamatan dan kesehatan kerja maka para pihak diharapkan dapat melakukan
pekerjaan dengan aman dan nyaman. Pekerjaan dikatakan aman jika apapun yang
dilakukan oleh pekerja tersebut, resiko yang mungkin muncul dapat dihindari.
Pekerjaan dikatakan nyaman jika para pekerja yang bersangkutan dapat melakukan
pekerjaan dengan merasa nyaman dan betah, sehingga tidak mudah capek.
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu aspek perlindungan
tenaga kerja yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Dengan
menerapkan teknologi pengendalian keselamatan dan kesehatan kerja, diharapkan
tenaga kerja akan mencapai ketahanan fisik, daya kerja, dan tingkat kesehatan
yang tinggi. Disamping itu keselamatan dan kesehatan kerja dapat diharapkan
untuk menciptakan kenyamanan kerja dan keselamatan kerja yang tinggi. Jadi,
unsur yang ada dalam kesehatan dan keselamatan kerja tidak terpaku pada faktor
fisik, tetapi juga mental, emosional dan psikologi.
Meskipun ketentuan mengenai kesehatan dan keselamatan kerja telah diatur
sedemikian rupa, tetapi dalam praktiknya tidak seperti yang diharapkan. Begitu
banyak faktor di lapangan yang mempengaruhi kesehatan dan keselamatan kerja
seperti faktor manusia, lingkungan dan psikologis. Masih banyak perusahaan yang
tidak memenuhi standar keselamatan dan kesehatan kerja. Begitu banyak berita
kecelakaan kerja yang dapat kita saksikan. Dalam makalah ini kemudian akan
dibahas mengenai permasalahan kesehatan dan keselamatan kerja serta
bagaimana mewujudkannya dalam keadaan yang nyata.
BAB II
PEMBAHASAN
alat pengaman diri yang harus dipakai saat bekerja, dan cara melakukan
pekerjaannya. Sedangkan untuk pekerja yang telah dipekerjakan, pengusaha wajib
memeriksa kesehatan fisik dan mental secara berkala, menyediakan secara cumacuma alat pelindung diri, memasang gambar-gambar tanda bahaya di tempat kerja
dan melaporkan setiap kecelakaan kerja yang terjadi kepada Depnaker setempat.
Para pekerja sendiri berhak meminta kepada pimpinan perusahaan untuk
dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja, menyatakan
keberatan bila melakukan pekerjaan yang alat pelindung keselamatan dan
kesehatan kerjanya tidak layak. Tetapi pekerja juga memiliki kewajiban untuk
memakai alat perlindungan diri yang diwajibkan dan menaati persyaratan
keselamatan dan kesehatan kerja yang berlaku. Setelah mengetahui urgensi
mengenai kesehatan dan keselamatan kerja, koordinasi dari pihak-pihak yang ada
di tempat kerja guna mewujudkan keadaan yang aman saat bekerja akan lebih
mudah terwujud.
Lalu Husni secara lebih jauh mengklasifikasikan ada empat faktor penyebab
kecelakaan kerja yaitu:
a.
b. Faktor material atau peralatannya, misalnya bahan yang seharusnya dibuat dari
besi dibuat dengan bahan lain yang lebih murah sehingga menyebabkan
kecelakaan kerja.
c.
Perbuatan bahaya, misalnya metode kerja yang salah, sikap kerja yang teledor
serta tidak memakai alat pelindung diri.
Kondisi/keadaan bahaya, misalnya lingkungan kerja yang tidak aman serta
pekerjaan yang membahayakan.
d.
Faktor lingkungan kerja yang tidak sehat, misalnya kurangnya cahaya, ventilasi,
pergantian udara yang tidak lancar dan suasana yang sumpek.
Dari beberapa faktor tersebut, Sumamur menyederhanakan faktor penyebab
kecelakaan kerja menjadi dua yaitu:
a.
b.
a.
Kerusakan
b.
Kekacauan organisasi
c.
d.
e.
Kematian
2.
Analisis Kasus
Jika ditinjau dari faktor penyebab kecelakaan kerja, penyebab dasar kecelakaan
kerja adalah human error. Dalam hal ini, kesalahan terletak pada operator kran.
3.
keselamatan kerja. Beberapa hal yang menjadi ruang lingkup tugas panitia tersebut
adalah masalah kendali tata ruang kerja, pakaian kerja, alat pelindung diri dan
lingkungan kerja.
a. Tata ruang kerja yang baik adalah tata ruang kerja yang dapat mencegah
timbulnya gangguan keamanan dan keselamatan kerja bagi semua orang di
dalamnya. Barang-barang dalam ruang kerja harus ditempatkan sedemikian rupa
sehingga dapat dihindarkan dari gangguan yang ditimbulkan oleh orang-orang yang
berlalu lalang di sekitarnya. Jalan-jalan yang dipergunakan untuk lalu lalang juga
harus diberi tanda, misalnya dengan garis putih atau kuning dan tidak boleh
dipergunakan untuk meletakkan barang-barang yang tidak pada tempatnya.
Kaleng-kaleng yang mudah bocor atau terbakar harus ditempatkan di tempat yang
tidak beresiko kebocoran. Jika perusahaan yang bersangkutan mengeluarkan sisa
produksi berupa uap, maka faktor penglihatan dan sirkulasi udara di ruang kerja
juga harus diperhatikan
b. Pakaian kerja sebaiknya tidak terlalu ketat dan tidak pula terlalu longgar. Pakaian
yang terlalu longgar dapat mengganggu pekerja melakukan penyesuaian diri
dengan mesin atau lingkungan yang dihadapi. Pakaian yang terlalu sempit juga
akan sangat membatasi aktivitas kerjanya. Sepatu dan hak yang terlalu tinggi juga
akan beresiko menimbulkan kecelakaan. Memakai cincin di dekat mesin yang
bermagnet juga sebaiknya dihindari.
c. Alat pelindung diri dapat berupa kaca mata, masker, sepatu atau sarung
tangan. Alat pelindung diri ini sangat penting untuk menghindari atau mengurangi
resiko kecelakaan kerja. Tapi sayangnya, para pekerja terkadang enggan memakai
alat pelindung diri karena terkesan merepotkan atau justru mengganggu aktivitas
kerja. Dapat juga karena perusahaan memang tidak menyediakan alat pelindung
diri tersebut.
d. Lingkungan kerja meliputi faktor udara, suara, cahaya dan warna. Udara yang baik
dalam suatu ruangan kerja juga akan berpengaruh pada aktivitas kerja. Kadar udara
tidak boleh terlalu banyak mengandung CO2, ventilasi dan AC juga harus
diperhatikan termasuk sirkulasi pegawai dan banyaknya pegawai dalam suatu
ruang kerja. Untuk mesin-mesin yang menimbulkan kebisingan, tempatkan di
ruangan yang dilengkapi dengan peredam suara. Pencahayaan disesuaikan dengan
kebutuhan dan warna ruang kerja disesuaikan dengan macam dan sifat
pekerjaan. (Slamet Saksono, 1988: 104-111).
Untuk kasus seperti yang terjadi pada pabrik gula di atas, ada beberapa alternatif
pencegahan selain yang tadi telah disebutkan. Tindakan tersebut dapat berupa:
a.
Dilakukan penelitian yang bersifat teknis meliputi sifat dan ciri-ciri bahan yang
berbahaya, pencegahan peledakan gas atau bahan beracun lainnya. Berilah tandatanda peringatan beracun atau berbahaya pada alat-alat tersebut dan letakkan di
tempat yang aman.
(ii)
(iii)
(iv)
perawatan medis, dan/ atau perawatan di rumah sakit, (iii) biaya rehabilitasi, dan
(iv) pembayaran tunai untuk santunan cacat atau santunan kematian.
e. Konvensi-konvensi ILO yang berkaitan dengan K3
Pada tahun 2003, Indonesia masih belum meratifikasi Konvensi-konvensi ILO
yang berkaitan dengan K3 kecuali Konvensi ILO No 120/ 1964 tentang Higiene
(Komersial dan Perkantoran). Tetapi hingga tahun 2000, Indonesia sudah
meratifikasi seluruh Konvensi Dasar ILO tentang Hak Asasi Manusia yang semuanya
berjumlah delapan.
Karena Indonesia mayoritas masih merupakan negara agraris dengan
sekitar 70% wilayahnya terdiri dari daerah pedesaan dan pertanian, Konvensi ILO
yang terbaru, yaitu Konvensi No. 184/ 2001 tentang Pertanian dan Rekomendasinya,
dianggap merupakan perangkat kebijakan yang bermanfaat. Tetapi secara luas
Indonesia dipandang tidak siap untuk meratifikasi Konvensi ini karena rendahnya
tingkat kesadaran K3 di antara pekerja pertanian. Tingkat pendidikan umum pekerja
pertanian di Indonesia juga rendah, rata-rata hanya 3 sampai 4 tahun di sekolah
dasar (Markkanen, 2004 : 16)
2. Penegakan Hukum
Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan peraturan hukum terkait K3 kemudian
membentuk lembaga-lembaga penunjang diantaranya :
a. Direktorat Pengawasan Norma K3 di DEPNAKERTRANS
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pengawasan/ inspeksi keselamatan
kerja telah didesentralisasikan dan tanggung jawab untuk pengawasan tersebut
telah dialihkan ke pemerintah provinsi sejak tahun 1984. Di Direktorat Jenderal
Pengawasan Ketenagakerjaan DEPNAKERTRANS, sekitar 1,400 pengawas dilibatkan
dalam pengawasan ketenagakerjaan secara nasional. Sekitar 400 pengawas
ketenagakerjaan memenuhi kualifikasi untuk melakukan pengawasan K3 di bawah
yurisdiksi Direktorat Pengawasan Norma K3 (PNKK).
b. Pusat Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan
Pelayanan kesehatan kerja adalah tanggung jawab Pusat Kesehatan Kerja di bawah
Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Pusat ini dibagi menjadi (i) Seksi
Pelayanan Kesehatan Kerja, (ii) Seksi Kesehatan dan Lingkungan Kerja, dan (iii) Unit
Administrasi.
Pusat ini sudah menyusun Rencana Strategis Program Kesehatan Kerja untuk
melaksanakan upaya nasional. K3 merupakan salah satu program dalam mencapai
Visi Indonesia Sehat 2010, yang merupakan kebijakan Departemen Kesehatan saat
ini. Visi Indonesia Sehat 2010 dibentuk untuk mendorong pembangunan kesehatan
nasional, meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata dan terjangkau untuk
perorangan, keluarga, dan masyarakat .
c. Dewan Tripartit National Keselamatan dan Kesehatan Kerja (DK3N)
Dewan K3 Nasional (DK3N) dibentuk oleh DEPNAKERTRANS pada tahun 1982
sebagai badan tripartit untuk memberikan rekomendasi dan nasihat kepada
Pemerintah di tingkat nasional. Anggota Dewan ini terdiri dari semua instansi
pemerintah yang terkait dengan K3, wakil-wakil pengusaha dan pekerja dan
organisasi profesi. Tugasnya adalah mengumpulkan dan menganalisa data K3 di
tingkat nasional dan provinsi, membantu DEPNAKERTRANS dalam membimbing dan
mengawasi dewan-dewan K3 provinsi, melakukan kegiatan-kegiatan penelitian, dan
menyelenggarakan program-program pelatihan dan pendidikan. Selama periode
1998-2002, DK3N telah menyelenggarakan sekurangkurangnya 27 lokakarya dan
seminar mengenai berbagai subyek di sektor-sektor industri terkait. DK3N juga
telah menerbitkan sejumlah buku dan majalah triwulan.
Pada hakikatnya kita memang tidak akan menemukan konsep dan realita yang
berjalan bersamaan, begitu pula dengan implementasi dari K3 yang belum bisa
berjalan maksimal apabila belum ada komitmen yang tegas dari berbagai pihak
baik pmerintah, pengusaha dan lembaga terkait lainnya dalam melaksanakan K3.
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Husni, Lalu. 2003. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Markkanen, Pia K. 2004. Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Indonesia. Jakarta :
Internasional Labour Organisation Sub Regional South-East Asia and The Pacific
Manila Philippines
Saksono, Slamet. 1998. Administrasi Kepegawaian. Yogyakarta: Kanisius.
Sumamur. 1981. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta: Gunung
Agung.
Sutrisno dan Kusmawan Ruswandi. 2007. Prosedur Keamanan, Keselamatan, & Kesehatan
Kerja. Sukabumi: Yudhistira.
Sumber Internet:
http://sarisolo.multiply.com/journal/item/35/kecelakaan_kerja_di_perusahaan.
http://saintek.uin-suka.ac.id/file_kuliah/manajemen%20lab%20kimia.doc.
http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/10/kesehatan-dan-keselamatan-kerja-k3.html
http://araralututu.wordpress.com/2009/12/19/my-k3ll-project/
http://solehpunya.wordpress.com/2009/02/03/implementasi-k3-di-indonesia/
oleh berbagai kalangan di lingkungan Departemen Tenaga Kerja, angka kecelakaan kerja yang
tercatat dicurigai hanya mewakili tidak lebih dari setengah saja dari angka kecelakaan kerja yang
terjadi. Hal ini disebabkan oleh beberapa masalah, antara lain rendahnya kepentingan
masyarakat untuk melaporkan kecelakaan kerja kepada pihak yang berwenang, khususnya PT.
Jamsostek. Pelaporan kecelakaan kerja sebenarnya diwajibkan oleh undang-undang, namun
terdapat dua hal penghalang yaitu prosedur administrasi yang dianggap merepotkan dan nilai
klaim asuransi tenaga kerja yang kurang memadai. Di samping itu, sanksi bagi perusahaan yang
tidak melaporkan kasus kecelakaan kerja sangat ringan.
Sebagian besar dari kasus-kasus kecelakaan kerja terjadi pada kelompok usia produktif. Kematian
merupakan akibat dari kecelakaan kerja yang tidak dapat diukur nilainya secara ekonomis.
Kecelakaan kerja yang mengakibatkan cacat seumur hidup, di samping berdampak pada
kerugian non-materil, juga menimbulkan kerugian materil yang sangat besar, bahkan lebih besar
bila dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan oleh penderita penyakit-penyakit serius seperti
penyakit jantung dan kanker.
Masalah umum mengenai K3 ini juga terjadi pada penyelenggaraan konstruksi. Tenaga kerja di
sektor jasa konstruksi mencakup sekitar 7-8% dari jumlah tenaga kerja di seluruh sektor, dan
menyumbang 6.45% dari PDB di Indonesia. Sektor jasa konstruksi adalah salah satu sektor yang
paling berisiko terhadap kecelakaan kerja, disamping sektor utama lainnya yaitu pertanian,
perikanan, perkayuan, dan pertambangan. Jumlah tenaga kerja di sektor konstruksi yang
mencapai sekitar 4.5 juta orang, 53% di antaranya hanya mengenyam pendidikan sampai
dengan tingkat Sekolah Dasar, bahkan sekitar 1.5% dari tenaga kerja ini belum pernah
mendapatkan pendidikan formal apapun. Sebagai besar dari mereka juga berstatus tenaga kerja
harian lepas atau borongan yang tidak memiliki ikatan kerja yang formal dengan perusahaan.
Kenyataan ini tentunya mempersulit penanganan masalah K3 yang biasanya dilakukan dengan
metoda pelatihan dan penjelasan-penjelasan mengenai Sistem Manajemen K3 yang diterapkan
pada perusahaan konstruksi.
Risiko Kecelakaan Kerja Pada Proyek Konstruksi
Industri jasa konstruksi merupakan salah satu sektor industri yang memiliki risiko kecelakaan
kerja yang cukup tinggi. Berbagai penyebab utama kecelakaan kerja pada proyek konstruksi
adalah hal-hal yang berhubungan dengan karakteristik proyek konstruksi yang bersifat unik,
lokasi kerja yang berbeda-beda, terbuka dan dipengaruhi cuaca, waktu pelaksanaan yang
terbatas, dinamis dan menuntut ketahanan fisik yang tinggi, serta banyak menggunakan tenaga
kerja yang tidak terlatih. Ditambah dengan manajemen keselamatan kerja yang sangat lemah,
akibatnya para pekerja bekerja dengan metoda pelaksanaan konstruksi yang berisiko tinggi.
Untuk memperkecil risiko kecelakaan kerja, sejaka awal tahun 1980an pemerintah telah
mengeluarkan suatu peraturan tentang keselamatan kerja khusus untuk sektor konstruksi, yaitu
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per-01/Men/1980.
Peraturan mengenai keselamatan kerja untuk konstruksi tersebut, walaupun belum pernah
diperbaharui sejak dikeluarkannya lebih dari 20 tahun silam, namun dapat dinilai memadai untuk
kondisi minimal di Indonesia. Hal yang sangat disayangkan adalah pada penerapan peraturan
tersebut di lapangan. Rendahnya kesadaran masyarakat akan masalah keselamatan kerja, dan
rendahnya tingkat penegakan hukum oleh pemerintah, mengakibatkan penerapan peraturan
keselamatan kerja yang masih jauh dari optimal, yang pada akhirnya menyebabkan masih
tingginya angka kecelakaan kerja. Akibat penegakan hukum yang sangat lemah, King and
Hudson (1985) menyatakan bahwa pada Tantangan Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja
pada Proyek Konstruksi di Indonesia proyek konstruksi di negara-negara berkembang, terdapat
tiga kali lipat tingkat kematian dibandingkan dengan di negara-negara maju.
Dari berbagai kegiatan dalam pelaksanaan proyek konstruksi, pekerjaan-pekerjaan yang paling
berbahaya adalah pekerjaan yang dilakukan pada ketinggian dan pekerjaan galian. Pada kedua
jenis pekerjaan ini kecelakaan kerja yang terjadi cenderung serius bahkan sering kali
mengakibatkan cacat tetap dan kematian. Jatuh dari ketinggian adalah risiko yang sangat besar
dapat terjadi pada pekerja yang melaksanakan kegiatan konstruksi pada elevasi tinggi. Biasanya
kejadian ini akan mengakibat kecelakaan yang fatal. Sementara risiko tersebut kurang dihayati
oleh para pelaku konstruksi, dengan sering kali mengabaikan penggunaan peralatan pelindung
(personal fall arrest system) yang sebenarnya telah diatur dalam pedoman K3 konstruksi. Jenisjenis kecelakaan kerja akibat pekerjaan galian dapat berupa tertimbun tanah, tersengat aliran
listrik bawah tanah, terhirup gas beracun, dan lain-lain. Bahaya tertimbun adalah risiko yang
sangat tinggi, pekerja yang tertimbun tanah sampai sebatas dada saja dapat berakibat kematian.
Di samping itu, bahaya longsor dinding galian dapat berlangsung sangat tiba-tiba, terutama
apabila hujan terjadi pada malam sebelum pekerjaan yang akan dilakukan pada pagi keesokan
harinya. Data kecelakaan kerja pada pekerjaan galian di Indonesia belum tersedia, namun
sebagai perbandingan, Hinze dan Bren (1997) mengestimasi jumlah kasus di Amerika Serikat
yang mencapai 100 kematian dan 7000 cacat tetap per tahun akibat tertimbun longsor dinding
galian serta kecelakaan-kecelakaan lainnya dalam pekerjaan galian.
Masalah keselamatan dan kesehatan kerja berdampak ekonomis yang cukup signifikan. Setiap
kecelakaan kerja dapat menimbulkan berbagai macam kerugian. Di samping dapat
mengakibatkan korban jiwa, biaya-biaya lainnya adalah biaya pengobatan, kompensasi yang
harus diberikan kepada pekerja, premi asuransi, dan perbaikan fasilitas kerja. Terdapat biayabiaya tidak langsung yang merupakan akibat dari suatu kecelakaan kerja yaitu mencakup
kerugian waktu kerja (pemberhentian sementara), terganggunya kelancaran pekerjaan
(penurunan produktivitas), pengaruh psikologis yang negatif pada pekerja, memburuknya
reputasi perusahaan, denda dari pemerintah, serta kemungkinan berkurangnya kesempatan
usaha (kehilangan pelanggan pengguna jasa). Biaya-biaya tidak langsung ini sebenarnya jauh
lebih besar dari pada biaya langsung. Berbagai studi
menjelaskan bahwa rasio antara biaya tidak langsung dan biaya langsung akibat kecelakaan
kerja konstruksi sangat bervariasi dan diperkirakan mencapai 4:1 sampai dengan bahkan 17:1
(The Business Roundtable, 1991).
Pedoman K3 Konstruksi
Pemerintah telah sejak lama mempertimbangkan masalah perlindungan tenaga kerja, yaitu
melalui UU No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja. Sesuai dengan perkembangan jaman,
pada tahun 2003, pemerintah mengeluarkan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang
undang ini mencakup berbagai hal dalam perlindungan pekerja yaitu upah, kesejahteraan,
jaminan sosial tenaga kerja, dan termasuk juga masalah keselamatan dan kesehatan kerja.
Aspek ketenagakerjaan dalam hal K3 pada bidang konstruksi, diatur melalui Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER-01/MEN/1980 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
pada Konstruksi Bangunan. Peraturan ini mencakup ketentuan-ketentuan mengenai keselamatan
dan kesehatan kerja secara umum maupun pada tiap bagian konstruksi bangunan. Peraturan ini
lebih ditujukan untuk konstruksi bangunan, sedangkan untuk jenis konstruksi lainnya masih
banyak aspek yang belum tersentuh. Di samping itu, besarnya sanksi untuk pelanggaran
terhadap peraturan ini sangat minim yaitu senilai seratus ribu rupiah. Sebagai tindak lanjut
dikeluarkannya Peraturan Menakertrans tersebut, pemerintah menerbitkan Surat Keputusan
Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Tenaga Kerja No.Kep.174/MEN/1986104/KPTS/1986: Pedoman Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi.
Pedoman yang selanjutnya disingkat sebagai Pedoman K3 Konstruksi ini merupakan pedoman
yang dapat dianggap sebagai standar K3 untuk konstruksi di Indonesia. Pedoman K3 Konstruksi
ini cukup komprehensif, namun terkadang sulit dimengerti karena menggunakan istilah-istilah
yang tidak umum digunakan, serta tidak dilengkapi dengan deskripsi/gambar yang memadai.
Kekurangankekurangan tersebut tentunya sangat menghambat penerapan pedoman di lapangan, serta
dapat menimbulkan perbedaan pendapat dan perselisihan di antara pihak pelaksana dan pihak
pengawas konstruksi.
Pedoman K3 Konstruksi selama hampir dua puluh tahun masih menjadi pedoman yang berlaku.
Baru pada tahun 2004, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, yang kini dikenal
sebagai Departemen Pekerjaan Umum, amulai memperbarui pedoman ini, dengan
dikeluarkannya KepMen Kimpraswil No. 384/KPTS/M/2004 Tentang Pedoman Teknis Keselamatan
dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi Bendungan. Pedoman Teknis K3
Bendungan yang baru ini khusus ditujukan untuk proyek konstruksi bendungan, sedangkan
untuk jenis-jenis proyek konstruksi lainnya seperti jalan, jembatan, dan bagunan gedung, belum
dibuat pedoman yang lebih baru. Namun, apabila dilihat dari cakupan isinya, Pedoman Teknis K3
untuk bendungan tersebut sebenarnya dapat digunakan pula untuk jenis-jenis proyek konstruksi
lainnya. Pedoman Teknis K3 Bendungan juga mencakup daftar berbagai penyakit akibat kerja
yang hrus dilaporkan. Bila dibandingkan dengan standar K3 untuk jasa konstruksi di Amerika
Serikat misalnya, (OSHA, 29 CFR Part 1926), Occupational Safety and Health Administration
(OSHA), sebuah badan khusus di bawah Departemen Tenaga Kerja yang mengeluarkan pedoman
K3 termasuk untuk bidang konstrusksi, memperbaharui peraturan K3-nya secara berkala (setiap
tahun). Peraturan atau pedoman teknis tersebut juga sangat komprehensif dan mendetil. Hal lain
yang dapat dicontoh adalah penerbitan brosur-brosur penjelasan untuk menjawab secara spesifik
berbagai isu utama yang muncul dalam pelaksanaan pedoman Tantangan Masalah Keselamatan
dan Kesehatan Kerja pada Proyek Konstruksi di Indonesia teknis di lapangan. Pedoman yang
dibuat dengan tujuan untuk tercapainya keselamatan dan kesehatan kerja, bukan hanya sekedar
sebagai aturan, selayaknya secara terus menerus disempurnakan dan mengakomodasi masukanmasukan dari pengalaman pelaku konstruksi di lapangan. Dengan demikian, pelaku konstruksi
akan secara sadar mengikuti peraturan untuk tujuan keselamatan dan kesehatan kerjanya
sendiri.
PENGAWASAN DAN SISTEM MANAJEMEN K3
Menurut UU Ketenagakerjaan, aspek pengawasan ketenagakerjaan termasuk masalah K3
dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang harus memiliki kompetensi dan
independensi. Pegawai pengawas perlu merasa bebas dari pengaruh berbagai pihak dalam
mengambil keputusan. Di samping itu, unit kerja pengawasan ketenagakerjaan baik pada
pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan
pelaksanaan pengawasan kepada Menteri Tenaga Kerja. Pegawai pengawasan ketenagakerjaan
dalam melaksanakan tugasnya wajib merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut
dirahasiakan dan tidak menyalah gunakan kewenangannya. Pegawai pengawas ini sangat minim
jumlahnya, pegawai pengawas K3 di Departemen Tenaga Kerja pada tahun 2002 berjumlah 1.299
orang secara nasional, yang terdiri dari 389 orang tenaga pengawas struktural dan 910 orang
tenaga pengawas fungsional. Para tenaga pengawas ini jumlahnya sangat minim bila
dibandingkan dengan lingkup tugasnya yaitu mengawasi 176.713 perusahaan yang mencakup
91,65 juta tenaga kerja di seluruh Indonesia. Pemerintah menyadari bahwa penerapan masalah
K3 di perusahaan-perusahaan tidak dapat diselesaikan dengan pengawasan saja. Perusahaanperusahaan perlu berpatisipasi aktif dalam penanganan masalah K3 dengan menyediakan
rencana yang baik, yang dikenal sebagai Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
atau SMK3. SMK3 ini merupakan tindakan nyata yang berkaitan dengan usaha yang dilakukan
oleh seluruh tingkat manajemen dalam suatu organisasi dan dalam pelaksanaan pekerjaan, agar
seluruh pekerja dapat terlatih dan termotivasi untuk melaksanakan program K3 sekaligus bekerja
dengan lebih produktif.
UU Ketenagakerjaan mewajibkan setiap perusahaan yang memiliki lebih dari 100 pekerja, atau
kurang dari 100 pekerja tetapi dengan tempat kerja yang berisiko tinggi (termasuk proyek
konstruksi), untuk mengembangkan SMK3 dan menerapkannya di tempat kerja. SMK3 perlu
dikembangkan sebagai bagian dari sistem manajemen suatu perusahaan secara keseluruhan.
SMK3 mencakup hal-hal berikut: struktur organisasi, perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab,
prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan,
pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam
rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja
yang aman, efisien, dan produktif. Kementrian Tenaga Kerja juga menunjuk tenaga-tenaga
inspektor/pengawas untuk memeriksa perusahaan-perusahaan dalam menerapkan aturan
mengenai SMK3.Para tenaga pengawas perlu melalukan audit paling tidak satu kali dalam tiga
tahun.
Perusahaan- perusahaan yang memenuhi kewajibannya akan diberikan sertifikat tanda bukti.
Tetapi peraturan ini kurang jelas dalam mendifinisikan sanksi bagi perusahaan-perusahaan yang
tidak memenuhi kewajibannya. Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai masalah K3, yaitu salah satunya dengan
memberikan apresiasi kepada para pengusaha yang menerapkan prinsip-prinsip K3 dalam
operasional perusahaan yang berupa penghargaan tertulis serta diumumkan di media-media
massa, seperti yang dilakukan oleh Direktorat Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan
Kerja, Departemen Tenaga Kerja bekerja sama dengan Majalah Warta Ekonomi dan PT Dupont
Indonesia.
Untuk tahun 2005 silam, pemenang penghargaan tersebut adalah PT. Total E&P Indonesia
(kategori Industri Pertambangan, Minyak, dan Gas), PT. Nestle Indonesia (kategori Industri
Consumer Goods), dan PT. Amoco Mitsui PTA Indonesia serta PT. Wijaya Karya (kategori Industri
Lainnya). Keempat pemenang ini disaring dari 125 finalis. Melihat nama-nama perusahaan yang
mendapatkan penghargaan, menunjukkan bahwa sebagian pelaku usaha yang sangat menyadari
masalah K3 adalah perusahaan-perusahaan multinasional. Namun, yang menarik adalah bahwa
terdapat satu perusahaan kontraktor nasional (BUMN) yaitu PT. Wijaya Karya sudah berada pada
jajaran perusahaan-perusahaan yang memiliki komitmen tinggi terhadap masalah K3. Memang
terdapat pengaruh positif budaya K3 yang dirasakan oleh pelaku konstruksi nasional, yang
dibawa oleh perusahaan-perusahaan asing yang menerapkan prinsip-prinsip K3 di proyek-proyek
konstruksi, sehingga sedikit banyak memaksa perubahan perilaku para tenaga kerja konstruksi.
Kesimpulan
Dari uraian mengenai berbagai aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada penyelenggaraan
konstruksi di Indonesia, dapat diambil kesimpulan bahwa bebagai masalah dan tantangan yang
timbul tersebut berakar dari rendahnya taraf kualitas hidup sebagian besar masyarakat. Dari
sekitar 4.5 juta pekerja konstruksi Indonesia, lebih dari 50% di antaranya hanya mengenyam
pendidikan maksimal sampai dengan tingkat Sekolah Dasar. Mereka adalah tenaga kerja lepas
harian yang tidak meniti karir ketrampilan di bidang konstruksi, namun sebagian besar adalah
para tenaga kerja dengan ketrampilan seadanya dan masuk ke dunia jasa konstruksi akibat dari
keterbatasan pilihan hidup.
Permaslahan K3 pada jasa konstruksi yang bertumpu pada tenaga kerja berkarakteristik
demikian, tentunya tidak dapat ditangani dengan cara-cara yang umum dilakukan di negara
maju. Langkah pertama perlu segera diambil adalah keteladanan pihak Pemerintah yang
mempunyai fungsi sebagai pembina dan juga the biggest owner. Pihak pemilik proyek lah yang
memiliki peran terbesar dalam usaha perubahan paradigma K3 konstruksi. Dalam
penyelenggaraan proyek-proyek konstruksi yang didanai oleh APBN/APBD/Pinjaman Luar Negeri,
Pemerintah antara lain dapat mensyaratkan penilaian sistem K3 sebagai salah satu aspek yang
memiliki bobot yang besar dalam proses evaluasi pemilihan penyedia jasa. Di samping itu, hal
yang terpenting adalah aspek sosialisasi dan pembinaan yang terus menerus kepada seluruh
komponen Masyarakat Jasa Konstruksi, karena tanpa program-program yang bersifat partisipatif,
keberhasilan penanganan masalah K3 konstruksi tidak mungkin tercapai.
Diposkan oleh LinLin di 06.03
http://herlin171.blogspot.co.id/2010/05/studi-kasus-kecelakaan-kerjakonstruksi.html
Oleh: Nuraini, MKes. Rumah Sakit merupakan suatu unit pelayanan jasa kesehatan
kepada masyarakat. Untuk dapat memperoleh keunggulan dan daya saing maka rumah
sakit harus mendapat perhatian khusus dalam peningkatan kualitas pelayanannya secara
profesional terhadap konsumen, yakni pasien yang dirawat ataupun rawat jalan.
Rumah sakit dalam kaca mata publik merupakan unit pelayanan fungsional sebagai unit
dalam pelayanan penyuluhan, pencegahan dan penanganan kasus-kasus segala jenis
penyakit.
Penyakit akibat kerja dapat menyerang semua tenaga kerja di rumah sakit, baik tenaga
medis maupun non medis akibat pajanan biologi, kimia dan fisik di dalam lingkungan
kerja rumah sakit itu sendiri. Rumah sakit merupakan tempat berkumpulnya orang-orang
sakit maupun sehat, atau anggota masyarakat baik petugas maupun pengunjung, pasien
yang mendapat perawatan di rumah sakit dengan berbagai macam penyakit menular.
Hal ini membuat rumah sakit merupakan tempat kerja yang memiliki resiko terhadap
gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja bagi petugas. Berbagai macam penyakit yang
ada di lingkungan rumah sakit memungkinkan rumah sakit menjadi tempat penularan
penyakit infeksi baik bagi pasien, tenaga kerja maupun pengunjung. Petugas di
lingkungan rumah sakit sangat beresiko dengan kontak langsung terhadap agent
penyakit menular melalui darah, sputum, jarum suntuk dan lain-lain.
Persepsi publik beranggapan bahwa rumah sakit merupakan sarana kesehatan yang
bersih dan sehat, sehingga tenaga kerja yang ada di lingkungan rumah sakit tidak akan
terserang penyakit. Jika kita menilai bahwa rumah sakit merupakan industri pelayanan
kesehatan yang tidak sedikit dikunjungi masyarakat setiap hari bahkan pada unit
pelayanan tertentu yang menggunakan tenga kerja shift selalu ada selama 24 jam, sudah
seharusnya upaya kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit bukan merupakan
hal yang tabu untuk dapat diterapkan.
Dalam hal ini juga sangat bermanfaat bagi tenaga kerja yang ada di lingkungan rumah
sakit sebagai upaya perlindungan dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
Pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) di rumah sakit harus dapat menjadi perhatian
khusus agar tenaga kerja mampu melaksanakan peran dan fungsinya dengan baik. Hal
ini sesuai dengan paradigma sumber daya manusia sebagai human capital di rumah
sakit.
Hal ini juga menjadi sangat kompleks karena adanya pembagian tugas beraneka ragam
profesi yang bekerja di lingkungan rumah sakit, dan masing-masing profesi akan memiliki
norma dan budaya kerja yang berbeda-beda. Kondisi seperti ini yang membuat
manajemen SDM di lingkungan rumah sakit penuh tantangan.
Oleh karena itu jika tenaga kerja di lingkungan rumah sakit terkapar dengan penyakit
akibat kerja, maka banyak hal yang akan terganggu dalam efisien dan fungsi tenaga
kerja di rumah sakit. Sesuai dengan rekomendasi ILO dalam kewajiban setiap warga
negara untuk dapat melaksanakan dan mengevaluasi kebijakan nasional dalam
penerapan kesehatan dan keselamatan kerja di lingkungan kerja, mengingat rumah sakit
merupakan sarana kesehatan yang memiliki banyak tenaga kerja baik medis maupun non
medis yang beresiko mengalami kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
Tenaga kerja dalam UU No. 14 berhak mendapat perlindungan atas kesehatan,
keselamatan, kesusilaan, pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan
martabat manusia dan moral agama. Dalam hal ini perlu adanya upaya perlindungan
kesehatan dan keselamatan kerja bagi petugas di lingkungan rumah sakit.
Penyebab Penyakit Akibat Kerja
Penyakit akibat kerja merupakan seuatu hambatan pada tingkat keamanan dalam
bekerja, dalam hal ini perlu adanya upaya pencegahan, baik untuk keselamatan maupun
kesehatan para pekerja yang ada di lingkungan rumah sakit. Penyakit akibat kerja atau
berhubungan dengan pekerjaan dapat disebabkan oleh pemajanan di lingkungan kerja
secara terus menerus setiap hari.
Untuk mengantisipasi hal ini, maka langkah awal yang penting adalah
pengenalan/identifikasi bahaya yang bisa timbul dan dievaluasi, kemudian dilakukan
upaya pengendalian dengan cara melihat dan mengenal (walk through inspections).
Dalam lingkungan kerja seseorang dapat terganggu kesehatannya, dan gangguan
kesehatan akibat lingkungn kerja ini cukup banyak terjadi. Penyakit akibat kerja salah
satunya terjadi karena disebabkan kondisi lingkungan kerja seperti udara dingin, panas,
bising, bahan kimia, debu dan lain-lain. Gangguan kesehatan pada pekerja juga dapat
disebabkan oleh faktor yang berhubungan dengan pekerjaan maupun faktor yang tidak
berhubungan dengan pekerjaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa status
kesehatan masyarakat pekerja dipengaruhi tidak hanya oleh bahaya di lingkungan kerja
tetapi juga oleh faktor kesehatan pekerja yang akan berpengaruh pada prilaku pekerja
yang tidak konsentrasi.
Berikut ini merupakan contoh penyakit akibat kerja yang merupakan penyebab dari
lingkungan kerja:
a. Faktor fisik
- Suara tinggi yang bising melewati ambang batas normal dapat menyebabkan ketulian
- Tempratur tinggi dapat menyebabkan hyperpireksi, heat cramp, heatstres.
- Radiasi sinar elektromagnetik, radioaktif dapat menyebabkan katarak, tumor dan lainlain.
- Tekanan udara yang tinggi dapat menyebabkan coison disease
- Getaran dapat menyebabkan gangguan proses metabolism polineurutis, gangguan
syaraf.
- Penerangan yang kurang dapat merusak penglihatan.
b. Faktor Kimia
- Bahan-bahan kimia yang masuk melalui saluran pernafasan yang dapat membuat efek
samping alergi, iritasi, korosif, asphyxia.
bahwa dalam lingkup pekerjaan di bidang kesehatan mempunyai banyak resiko terhadap
kesehatan pekerja. Tenaga kerja (tenaga medis dan non medis) yang beresiko terhadap
penyakit akibat kerja di rumah sakit antara lain:
a. Perawat yang setiap hari kontak dengan pasien dalam waktu yang cukup lama 6
sampai 8 jam perhari, sehingga selalu terpajan terhadap mikroorganisme pathogen dapat
membawa infeksi dari satu pasien ke pasien yang lain. Hasil penelitian membuktikan
bahwa tenaga kerja perawat banyak ditemukan cedera sprain dan strain, nyeri pinggang,
merupakan keluhan terbanyak yang ditemukan pekerja perawat di rumah sakit. Luka
sayat dan tusukan jarum yang tidak sesuai prosedur penggunaannya atau pada saat
pencucian instrument tajam yang beresiko tersayat.
b. Dokter dapat tertular penyakit dari pasien, terpapar bahan kimia anesthesi halotan
yang mudah menguap merembes menembus masker sehingga menyebabkan gangguan
somatic, nyeri kepala, mual sampai gangguan fungsi saraf pusat. Robeknya sarung
tangan dapat menyebabkan cedera sayatan dan tusukan jarum.
c. Dokter gigi, tingginya kadar HBsAg dan anti HBC para dokter gigi disbanding dengan
petugas kesehatan lain, hal ini diduga sebagai pajanan air ludah pasien, penyakit infeksi
akibat kerja, pajanan dosis rendah seperti merkuri, pajanan bahan penambal lubang gigi
yang berkepanjagan dapat menyebabkan gangguan gastrointestinal, lesu, anorexia.
Nyeri punggung juga sering dialami oleh karena posisi kerja yang tidak ergonomis.
d. Petugas Gizi, sebagai penyaji diet atau makanan pasien, dalam hal ini petugas gizi
pada umumnya terpajan salmonella dari bahan mentah ikan, daging dan sayuran yang
setiap hari terpapar sehingga beresiko terjadi gangguan gastrointestinal.
e. Petugas Farmasi yan melayani pembelian dan penyediaan obat-obat pasien segala
penyakit, yang setiap hari akan menghirup bahan-bahan kimia segala jenis obat-obatan
yang merembes dan menembus masker, hal ini dapat menyebabkan resiko keracunan.
f. Petugas Laboratorium yang setiap hari melakukan pemeriksaan darah, urin, sputum,
feses pasien dengan segala jenis penyakit sehingga akan beresiko terpajan bakteri
maupun virus yang berasal dari bahan objek pemeriksaan.
g. Petugas Radiologi, radiasi merupakan pajanan yang sangat berbahaya bagi gangguan
kesehatan pekerja, dalam hal ini perlu adanya petugas yang lebih bertanggung jawab
dalam upaya pengendaliannya.
h. Petugas londri rumah sakit yang setiap hari terpajan dengan bahan linen yang berasal
dari bekas pakai pasien dengan segala jenis penyakit menular, hal ini dapat
menyebabkan penyebaran bakteri maupun virus yang berasal dari linen kotor. Bakteri
dan virus menyebar pada saat petugas londri melakukan seleksi jenis linen, sehingga
sangat beresiko terhadap penyakit gangguan pernafasan.
i. Petugas rumah tangga di lingkungan rumah sakit yang setiap hari membersihkan lantai
semua bagian tempat rawat inap pasien segala penyakit menular, yang terpapar dengan
bakteri maupun virus, sehingga dapat mengakibatkan virus dan bakteri berterbangan dan
terhirup petugas, hal ini dapat mengakibatkan penyakit gangguan sistem pernafasan dan
infeksi lainnya.
Upaya Pencegahan dan Pengendalian
Agar tenaga kerja di lingkungan rumah sakit tetap efisien dan produktif dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya serta tidak mengalami penyakit akibat
kerja maka tindakan untuk mengantisipasi hal tersebut perlu adanya penerapan
manajemen kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit,
Manajemen kesehatan dan keselamatan kerja rumah sakit melibatkan semua unsur
manajemen, karyawan dan lingkungan kerja yang terintegrasi sebagai upaya pencegahan
dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja di lingkungan rumah sakit
yang bertujuan adalah menciptakan tempat kerja yang aman, sehat serta bebas dari
pencemaran paparan lingkungan kerja, yang pada akhirnya dapat meningkatkan
efesiensi dan produktifitas kerja.
Langkah awal yang peting adalah upaya pengendalian di lingkungan kerja rumah sakit
antara lain kesehatan kerja bagi karyawan, sanitasi lingkungan rumah sakit, pengamanan
pasien, pengunjung maupun petugas rumah sakit dan lain-lain. Upaya-upaya yang dapat
dilakukan untuk mengurangi dan mnghindarkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat
kerja adalah sebagai berikut:
a. Melakukan substitusi pengenalan lingkungan kerja dengan cara melihat dan menganal
potensial bahaya lingkungan kerja. Mengganti peralatan kerja yang tidak layak pakai.
b. Evaluasi lingkungan kerja dalam hal ini menilai karakteristik dan besarnya potensipotensi bahaya yang mungkin timbul sehingga dengan mudah dapat memprioritaskan
dalam mengatasi masalah yang lebih potensial.
c. Pengendalian lingkungan kerja dengan melakukan tindakan mengurangi bahkan
menghilangkan pajanan terhadap gangguan kesehatan pekerja dilingkungan kerja
dengan cara teknologi pengendalian.
d. Pengendalian administratif dengan mengingatkan pekerja untuk dapat menggunakan
alat pelindung diri yang baik dan benar, membuat rambu-rambu bahaya dilingkungan
kerja yang berpotensi bahaya.
e. Pemeriksaan kesehatan pekerja secara berkala untuk mencari faktor penyebab dan
upaya pengobatan.
f. Pendidikan dan penyuluhan kesehatan dan keselamatan kerja bagi pekerja di
lingkungan rumah sakit.
g. Pengendalian fisik lingkungan kerja, mengidentifikasi suhu, kelembaban,
pencahayaan, getaran, kebisingan, pengendalian sistem ventilasi dan lain-lain.
h. Melakukan pengawasan dan monitoring secara berkala pada lingkungan kerja rumah
sakit.
i. Substitusi dari bahan kimia, alat kerja dan prosedur kerja.
Pada saat ledakan terjadi, pelajar itu baru saja membuka vertical hood sashes untuk memanipulasi
thermometer. Ia mengalami cidera pada wajah dimana percikan material mengakibatkan luka bakar.
Untungnya pelajar itu menggunakan kacamata keselamatan yang mencegah terjadinya kerusakan
matanya. Teman nya yang membantu ia saat itu dengan menghubungi petugas keselamatan. Ia
juga memadamkan api yang dihasilkan dari ledakan dengan menggunakan pemadam api ringan
yang tersedia di dalam lab.
Pelajaran yang dapat diambil dari kecelakaan ini adalah sebagai berikut: (Kamu mungkin bisa
mengidentifikasi penyebab lainnya.)
1.
Jangan pernah bekerja sendiri ketika melakukan prosedur eksperimen yang memiliki potensi
bahaya.
2.
Selalu meninjau ulang protokol eksperimen dan disahkan oleh penasehat peneliti dan atau
Ketika memungkinkan, jaga hood, shield terpasang untuk melindungi Anda. Selalu berhati-hati
dalam membuat prosedur dan peralatan eksperimen seperti manipulasi minum diperlukanhal ini
secara signifikan mengurangi resiko potensu papadan dan bahaya.
4.
Selalu mengenakan alat pelindung diri. Pelindung muka dalam pekerjaan ini dapat melindungi
5.
Selalu menjaga kuantiti zat kimia tambahan disimpan di lokasinya yang tepat.
Lab ini memiliki bermacam-macam botol kimia yang di letakan pada meja lab. Jika api tidak segera
dipadamkan, muatan api di dalam lab dapat menjadi sulit untuk dipadamkan.
Semoga dengan kasus kecelakaan di labolatorium ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua
untuk tetap mengutamakan keselamatan dimanapun Anda berada.
http://blognyaindrakosasih.blogspot.co.id/2012/05/kasus-kecelakaan-dilaboratorium_18.html
1. Dawami Arijan (dilarikan ke R.S. Bunda Margonda dan sudah diizinkan pulang)
2. Apriantika Sari (dilarikan ke R.S. Bunda Margonda dan sudah diizinkan pulang)
3. Chareza Lutfi Ramadhan (dilarikan ke R.S. Bunda Margonda dan sudah diizinkan pulang)
4. Della Syariyana (dilarikan ke R.S. Graha Permata Ibu sudah diperbolehkan pulang)
5. Chavella Avatara (dilarikan ke R.S. Graha Permata Ibu sudah diperbolehkan pulang)
6. Aulika Desthahrina Nareswara (mengalami luka ringan, dibawa ke PKM)
7. AA Sagung W Kumala Dewi (mengalami luka ringan, dibawa ke PKM)
8. Adam Arditya Fajriawan (mengalami luka ringan, dibawa ke PKM)
9. Agung Kristiyanto (mengalami luka ringan, dibawa ke PKM)
10. Arini Andriani (mengalami luka ringan, dibawa ke PKM)
11. Andini Gahayati B.R (mengalami luka ringan, dibawa ke PKM)
12. Adhnina Fithra Azzahra (mengalami luka ringan, dibawa ke PKM)
Sementara 2 mahasiswa mengalami luka serius. "Luka berat 2 orang mahasiswa bernama
Delbika Y Chumala dan Citra Sari Purbandini dirawat di RS Bunda, Jalan Margonda, Depok.
Sementara korban luka ringan 12 orang. Saat ini sejumlah korban ledakan di laboratorium
kimia Kampus UI tersebut masih dalam penanganan tim medis," pungkas Devfanny. (Ans)
http://news.liputan6.com/read/2191996/ini-penyebab-ledakan-di-lab-kimia-kampusui
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kondisi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) perusahaan di Indonesia secara umum diperkirakan termasuk
rendah. Pada tahun 2005 Indonesia menempati posisi yang buruk jauh di bawah Singapura, Malaysia, Filipina dan
Thailand. Kondisi tersebut mencerminkan kesiapan daya saing perusahaan Indonesia di dunia internasional masih
sangat rendah. Indonesia akan sulit menghadapi pasar global karena mengalami ketidakefisienan pemanfaatan
tenaga kerja (produktivitas kerja yang rendah). Padahal kemajuan perusahaan sangat ditentukan peranan mutu
tenaga kerjanya. Karena itu disamping perhatian perusahaan, pemerintah juga perlu memfasilitasi dengan peraturan
atau aturan perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Nuansanya harus bersifat manusiawi atau
bermartabat.
Keselamatan kerja telah menjadi perhatian di kalangan pemerintah dan bisnis sejak lama. Faktor
keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait dengan kinerja karyawan dan pada gilirannya pada kinerja
perusahaan. Semakin tersedianya fasilitas keselamatan kerja semakin sedikit kemungkinan terjadinya kecelakaan
kerja.
Di era globalisasi dan pasar bebas WTO dan GATT yang akan berlaku tahun 2020 mendatang, kesehatan
dan keselamatan kerja merupakan salah satu prasyarat yang ditetapkan dalam hubungan ekonomi perdagangan
barang dan jasa antar negara yang harus dipenuhi oleh seluruh negara anggota, termasuk bangsa Indonesia. Untuk
mengantisipasi hal tersebut serta mewujudkan perlindungan masyarakat pekerja Indonesia; telah ditetapkan Visi
Indonesia Sehat 2010 yaitu gambaran masyarakat Indonesia di masa depan, yang penduduknya hidup dalam
lingkungan dan perilaku sehat, memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta
memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan
tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas
dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas
kerja.
Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi pekerja dan pengusaha,
tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan
berdampak pada masyarakat luas.
Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan petugas kesehatan dan non kesehatan
kesehatan di Indonesia belum terekam dengan baik. Jika kita pelajari angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di
beberapa negara maju (dari beberapa pengamatan) menunjukan kecenderungan peningkatan prevalensi. Sebagai
faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas serta keterampilan pekerja yang
kurang memadai. Banyak pekerja yang meremehkan risiko kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat pengaman
walaupun sudah tersedia. Dalam penjelasan undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan telah
mengamanatkan antara lain, setiap tempat kerja harus melaksanakan upaya kesehatan kerja, agar tidak terjadi
gangguan kesehatan pada pekerja, keluarga, masyarakat dan lingkungan disekitarnya.
Setiap orang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuan hidupnya. Dalam bekerja Keselamatan dan
kesehatan kerja (K3) merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan karena seseorang yang mengalami
sakit atau kecelakaan dalam bekerja akan berdampak pada diri, keluarga dan lingkungannya. Salah satu komponen
yang dapat meminimalisir Kecelakaan dalam kerja adalah tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan mempunyai
kemampuan untuk menangani korban dalam kecelakaan kerja dan dapat memberikan penyuluhan kepada
masyarakat untuk menyadari pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja.
B.
Permasalahan
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah
ini adalah bagaimana peran tenaga kesehatan dalam menangani korban kecelakaan kerja dan mencegah
kecelakaan kerja guna meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja.
C.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui peran tenaga kesehatan dalam menangani korban
kecelakaan kerja dan mencegah kecelakaan kerja guna meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja.
BAB II
PEMBAHASAN
Laboratorium adalah sarana yang dipergunakan untuk melakukan pengukuran, penetapan, dan pengujian
terhadap bahan yang digunakan untuk penentuan formula obat yang akan dibuat. Laboratorium Kesehatan adalah
sarana kesehatan yang melaksanakan pengukuran, penetapan dan pengujian terhadap bahan yang berasal dari
manusia atau bahan yang bukan berasal dari manusia untuk penentuan jenis penyakit, penyebab penyakit, kondisi
kesehatan dan faktor yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan perorangan dan masyarakat.
Untuk dapat menerapkan K3 yang baik, fasilitas laboratorium harus memenuhi beberapa persyaratan berikut ini:
1. Harus mempunyai sistem ventilasi yang memadai agar sirkulasi udara berjalan lancar.
2. Harus mempunyai alat pemadam kebakaran terhadap bahan kimia yang berbahaya yang dipakai.
3. Harus menyediakan alat pembakar gas yang terbuka untuk menghindari bahaya kebakaran.
4. Meja yang digunakan harus diberi bibir untuk menahan tumpahan larutan yang mudah terbakar, korosif dan
melindungi tempat yang aman dari bahaya kebakaran
5. Menyediakan dua buah jalan keluar untuk keluar dari kebakaran dan terpisah sejauh mungkin.
6. Tempat penyimpanan di laboratorium di desain untuk mengurangi sekecil mungkin risiko oleh bahan-bahan
berbahaya dalam jumlah besar.
7. Harus tersedianya alat Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K).
8. Kesiapan menghindari panas sejauh mungkin dengan memakai alat pembakar gas yang terbuka untuk
menghindari bahaya kebakaran.
9. Untuk menahan tumpahan larutan yang mudah terbakar dan melindungi tempat yang aman dari bahaya
kebakaran dapat disediakan bendung bendung talam.
IDENTIFIKASI MASALAH KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA LABORATORIUM KESEHATAN DAN
PENCEGAHANNYA
A. Kecelakaan Kerja
Kecelakaan kerja adalah kejadian yang tidak terduga dan tidak diharapkan. Biasanya kecelakaan menyebabkan,
kerugian material dan penderitaan dari yang paling ringan sampai kepada yang paling berat. Kecelakaan di
laboratorium dapat berbentuk 2 jenis yaitu :
1. Kecelakaan medis, jika yang menjadi korban adalah pasien
2. Kecelakaan kerja, jika yang menjadi korban adalah petugas laboratorium itu sendiri.
Penyebab kecelakaan kerja dapat dibagi dalam kelompok :
1. Kondisi berbahaya (unsafe condition), yaitu yang tidak aman dari:
a. Mesin, peralatan, bahan dan lain-lain
b. Lingkungan kerja
c. Proses kerja
d. Sifat pekerjaan
e. Cara kerja
2. Perbuatan berbahaya (unsafe act), yaitu perbuatan berbahaya dari manusia, yang dapat terjadi antara lain karena:
a. Kurangnya pengetahuan dan keterampilan pelaksana
b. Cacat tubuh yang tidak kentara (bodily defect)
Semua bahan yang ada di lab harus dianggap infeksius atau toksis
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesehatan dan keselamatan kerja di Laboratorium Kesehatan bertujuan agar petugas, masyarakat dan lingkungan
laboratorium kesehatan saat bekerja selalu dalam keadaan sehat, nyaman, selamat, produktif dan sejahtera. Untuk
dapat mencapai tujuan tersebut, perlu kemauan, kemampuan dan kerjasama yang baik dari semua pihak. Pihak
pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan sebagai lembaga yang bertanggung-jawab terhadap kesehatan
masyarakat, memfasilitasi pembentukan berbagai peraturan, petunjuk teknis dan pedoman K3 di laboratorium
kesehatan serta menjalin kerjasama lintas program maupun lintas sektor terkait dalam pembinaan K3 tersebut.
Keterlibatan dan komitmen yang tinggi dari pihak manajemen atau pengelola laboratorium kesehatan mempunyai
peran sentral dalam pelaksanaan program ini. Demikian pula dengan pihak petugas kesehatan dan non kesehatan
yang menjadi sasaran program K3 ini harus berpartisipasi secara aktif, bukan hanya sebagai obyek tetapi juga
berperan sebagai subyek dari upaya mulia ini.
A.
Saran
Kesehatan dan keselamatan kerja sangat penting dalam pembangunan karena sakit dan kecelakaan kerja
akan menimbulkan kerugian ekonomi (lost benefit) suatu perusahaan atau negara olehnya itu kesehatan dan
keselamatan kerja harus dikelola secara maksimal bukan saja oleh tenaga kesehatan tetapi seluruh masyarakat.
http://analismuslim.blogspot.co.id/2011/11/sumber-kecelakaan-kerja-dilaboratorium.html