Anda di halaman 1dari 44

FARMAKOLOGI I dan TOXICOLOGI

Makalah ini di ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Farmakologi I dan
Toxicologi
Dosen Pengampu:
Arif Santoso, S.Farm.,Apt

Disusun oleh :

Himatul Mukaromah ( 1513206002 )

Vony Intan Prasasti ( 1513206007 )

Damara Gaya Kirana ( 1513206016 )

Ameylia Indah Widuri (1513206022)

S1 FARMASI SEMESTER IV
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
KARYA PUTRA BANGSA TULUNGAGUNG
2017

KATA PENGANTAR

1
Dalam penyusunan makalah ini, kami banyak mendapat tantangan dan
hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan dan hambatan itu
bisa teratasi. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga
bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.

Kami sudah berusaha menyempurnakan isi makalah ini. Tapi menurut kami
makalah ini masih belum sempurna baik dari bentuk penyusunan maupun materinya.
Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita
semua. Amin.

Tulungagung , 24 Maret 2017

Penulis

DAFTAR ISI

2
KATA PENGANTAR.......................................................................................... 2

DAFTAR ISI........................................................................................................ 3

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang. ............................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................... 6
1.3 Manfaat........................................................................................................... 6
1.4 Tujuan............................................................................................................. 6

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dari antihistamin atau anti alergi................................................ 7
2.2 Pengertian dari serotonin dan anti serotonin................................................ 30
2.3 Reseptor dan obat antihistamin.................................................................... 7

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 45

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

3
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sewaktu diketahui bahwa histamine mempengaruhi banyak proses faalan
dan patologik, maka dicarikan obat yang dapat mengantagonis efek histamine.
Efinefrin merupakan antagonis faalan pertama yang digunakan. Antara tahun
1937 1972, berates ratus antihistamin dtemukan dan sebagian digunakan dalam
terapi, tetapi efeknya tidak bayak berbeda. Antihistamin misalnya antergan,
neoantergan, difenhidramin, dan tripelenamin dalam dosisi terapi efektif untuk
mengobati udem, eritem dan pruritus, tetapi tidak dapat melawan efek
hipersekresi asam lambung akibat histamine. Antihistamin tersebut diatas
digolongkan dalam antihistamin penghambat reseptor H1 ( AH1 ).
Histamin adalah senyawa yang terlibat dalam respon imunitas lokal,
selain itu senyawa ini juga berperan sebagai neurotransmitter di susunan saraf
pusat dan mengatur fungsi fisiologis di lambung. Sebenarnya histamin sendiri
terdapat di hampir semua jaringan tubuh manusia dalam jumlah kecil .
Konsentrasi terbesar terdapat di kulit,, paru-paru dan mukosa
gastrointestinal. Histamin dibentuk oleh histidin dengan bantuan enzim histidine
decarboxylase (HDC). Selanjutnya histamin yang terbentuk akan diinaktivasi dan
disimpan dalam granul mast cell dan basofil (sel darah putih). Sesungguhnya
pemakaian obat antihistamin hanya menghilangkan gejala alergi dan menghindari
serangan yang lebih besar di masa mendatang, tidak menyembuhkan alergi. Jika
penderita kontak lagi dengan alergen, maka alergi akan muncul kembali. Oleh
karena itu, yang terbaik untuk mengatasi alergi adalah dengan menghindari
kontak dengan alergen, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, meningkatkan
sistem kekebalan tubuh serta menjauhi stress. Efek samping dari antihistamin
secara umum adalah mengantuk, mulut kering, gangguan saluran cerna,
gangguan urin dan terkadang iritasi. Banyak sekali obat yang dapat meyebabkan
efek mengantuk karena obat tersebut menekan susunan saraf pusat. Maka sering
kita melihat pada kemasan obat bahwa kita dilarang mengendalikan kendaraan
setelah minum obat tersebut.

4
Alergi merupakan suatu reaksi abnormal yang terjadi di tubuh akibat
masuknya suatu zat asing. Sering kali kita mengalami alergi, misal alergi kulit
yang menjadi merah, gatal dan bengkak sampai alergi yang membuat sesak
nafas. Penyebab demikian adanya senyawa/zat dalam tubuh kita (senyawa
endogen) yang disebut dengan autokoid. Autokoid adalah zat yang dihasilkan
oleh sel tertentu dalam tubuh yang dapat menimbulkan suatu efek fisiologis baik
dalam keadaan normal maupun patologik. Adapun jenis-jenis autokoid antara lain
histamin dan serotonin.
Sedangkan serotonin adalah Sebuah vasokonstriktor , dibebaskan oleh
trombosit darah , yang menghambat sekresi lambung dan merangsang otot polos ,
hadir dalam konsentrasi yang relatif tinggi di beberapa daerah dari sistem saraf
pusat ( hipotalamus , ganglia basal ) , dan terjadi di banyak jaringan perifer dan
sel-sel dan tumor karsinoid . Sekitar 80 persen dari total serotonin tubuh
manusia terletak di selenterochromaffin dalam usus, di mana ia digunakan untuk
mengatur gerakan usus. Sisanya disintesis di neuron serotonergik di SSP di
mana ia memiliki berbagai fungsi, termasuk regulasi suasana hati, nafsu
makan, tidur, kontraksi otot, dan beberapa fungsi kognitif termasuk memori dan
belajar, dan dalam trombosit darah di mana ia membantu untuk
mengatur hemostasis dan darah pembekuan. Serotonin juga berkontribusi
dalam pertumbuhan beberapa jenis sel yang turut berperan dalam penyembuhan
luka. Diantara semua fungsi itu, fungsi utama serotonin adalah
sebagai neurotransmitter pada susunan saraf pusat di otak. Bila tingkat
serotonin di otak berubah, perilaku seseorang juga akan berubah. Konsep ini
akan menjadi salah satu dasar ditemukannya berbagai obat yang saat ini sering
dikonsumsi seperti parasetamol, aspirin, sampai morfin.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa pengertian dari antihistamin atau anti alergi ?
1.2.2 Apa pengertian dari serotonin dan anti serotonin ?
1.2.3 Bagaimana reseptor dan obat antihistamin ?

5
1.3 Manfaat
Dengan selesainya penulisan makalah ini penulis mempunyai harapan
pada masa yang akan datang semoga makalah ini mudah mudahan bermanfaat
untuk menambah ilmu pengetahuan tentang Histamin dan serotonin,
menambah wawasan tentang anti alergi dan anti serotonin serta penerapannya
didalam kefarmasian.

1.4 Tujuan

1.4.1 Mengetahui tentang antihistamin atau antialergi

1.4.2 Mengetahui tentang serotonin

1.4.3 Mengetahui reseptor dan obat antihistamin

6
BAB II
PEMBAHASAN
2.4 Pengertian dari antihistamin atau anti alergi
Antihistamin merupakan salah satu obat yang paling banyak digunakan,

karena antihistamin adalah obat yang paling bermanfaat untuk mengatasi penyakit

alergi seperti rhinitis,urtikaria,pruritus,dan lain-lain. Walaupun selama ini

ahtihistamin dianggap sebagai obat yang cukup aman, namun efek samping sedasi

(rasa mengantuk) menyebabkan penurunan daya tangkap, terutama pada

antihistamin generasi pertama, sangat mengganggu aktivitas sehari-hari. Oleh

sebab itu, untuk penanganan penyakit alergi gunakan antihistamin yang aman dan

efektif.
Antihistamin (antagonis histamin) adalah zat yang mampu mencegah

penglepasan atau kerja histamin. Istilah antihistamin dapat digunakan untuk

menjelaskan antagonis histamin yang mana pun, namun seringkali istilah ini

digunakan untuk merujuk kepada antihistamin klasik yang bekerja pada reseptor

histamin H1.
Antihistamin ini biasanya digunakan untuk mengobati reaksi alergi, yang

disebabkan oleh tanggapan berlebihan tubuh terhadap alergen (penyebab alergi),

seperti serbuk sari tanaman. Reaksi alergi ini menunjukkan penglepasan histamin

dalam jumlah signifikan di tubuh.

2.5 Reseptor dan obat antihistamin


Antihistamin digolongkan menjadi 3 :
1. Antagonis reseptor Histamin H1 (Antihistaminika Klasik)

a. Kimia

7
Struktur dasar AH1 adalah sebagai berikut :

Dengan Ar = aril dan X dapat diganti dengan N, C atau -C-O-. Pada


struktur AH1 ini terdapat gugus etilamin yang juga ditemukan pada
rumus bangun histamine.
Secara kimia AH1 dibedakan atas beberapa golongan yang dapat
dilihat pada label 18-1.

b. Farmakologi
ANTAGONISME TERHADAP HISTAMIN
AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan
bermacam-macam otot polos; selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati
reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai penglepasan
histamin endogen berlebihan.
Otot polos. Secara umum AH1 efektif menghambat kerja histamin
pada otot polos (usus, bronkus). Bronkokonstriksi akibat histamin dapat
dihambat oleh AHt pada percobaan dengan marmot.
Permeabilitas kapiler. Peninggian permeabilitas kapiler dan udem
akibat histamin, dapat dihambat dengan efektif oleh AH1.
Reaksi anafilaksis dan alergi. Reaksi anafilaksis dan beberapa
reaksi alergi refrakter terhadap pemberian AH1, karena di sini bukan
histamin saja yang berperan tetapi autakoid lain juga dilepaskan.
Efektivitas AH1 melawan reaksi hipersensitivitas berbeda-beda,
tergantung beratnya gejala akibat histamin.
Kelenjar eksokrin. Efek perangsangan histamin terhadap sekresi
cairan lambung tidak dapat dihambat oleh AH1. AH1 dapat mencegah
asfiksi pada marmot akibat histamin, tetapi hewan ini mungkin mati
karena AH1 tidak mencegah perforasi lambung akibat hipersekresi cairan

8
lambung. AH1 dapat menghambat sekresi saliva dan sekresi kelenjar
eksokrin lain akibat histamin.
Susunan saraf pusat. AH1 dapat merangsang maupun menghambat
SSP. Efek perangsangan yang kadang-kadang terlihat dengan dosis AH1
biasanya ialah insomnia, gelisah dan eksitasi. Efek perangsangan ini juga
dapat terjadi pada keracunan AH1. Dosis terapi AH1 umumnya
menyebabkan penghambatan SSP dengan gejala misalnya kantuk,
berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat. Golongan
etanolamin misalnya difenhidramin paling jelas menimbulkan kantuk,
akan tetapi kepekaan pasien berbeda-beda untuk masing-masing obat.
Antihistamin yang relatif baru misalnya terfenadin, astemizol, tidak atau
sangat sedikit menembus sawar darah otak sehingga pada kebanyakan
pasien biasanya tidak menyebabkan kantuk, gangguan koordinasi atau
efek lain pada SSP. Obat-obat tersebut digolongkan sebagai antihistamin
nonsedatif. Dalam golongan ini termasuk juga loratadin, akrivastin,
mequitazin, setirizin yang data klinisnya masih terbatas. AH1 juga efektif
untuk mengobati mual dan muntah akibat peradangan labirin atau sebab
lain. Difenhidramin dapat mengatasi paralisis agitans, mengurangi
rigiditas dan memperbaiki kelainan pergerakan.
Anestesi lokal. Beberapa AH1 bersifat anestetik lokal dengan
intensitas berbeda. AH1 yang baik sebagai anestesi lokal ialah
prometazin dan pirilamin. Akan tetapi untuk menimbulkan efek tersebut
dibutuhkan kadar yang beberapa kali lebih tinggi dari pada sebagai
antihistamin.
Antikolinergik. Banyak AH1 bersifat mirip atropin. Efek ini tidak
memadai untuk terapi, tetapi efek antikolinergik ini dapat timbul pada
beberapa pasien berupa mulut kering, kesukaran miksi dan impotensi.
Terfenadin dan astemizol tidak berpengaruh terhadap reseptor
muskarinik.

9
Sistem kardiovaskular. Dalam dosis terapi, AH1 tidak
memperlihatkan efek yang berarti pada sistem kardiovaskular. Beberapa
AH1 memperlihatkan sitat seperti kuinidin pada konduksi miokard
berdasarkan sifat anestetik lokalnya.
Tabel 18.1.Penggolongan Antihistamin (AH1) dengan Masa Kerja,
Bentuk Sediaan dan Dosisnya
Golongan Obat dan Masa Bentuk Dosis
Tunggal
Contohnya Kerja Sediaan Dewasa
1. ETANOLAMIN
Difenhidramin HCl 4-6 Kapsul 25 mg dan 50 50 mg
mg. Eliksir 5 mg
10 mg/5 ml, Larutan
suntikan 10 mg/ml
Tablet 50 mg, Larutan
suntikan 50 mg/ml
Tablet 4 mg, Eliksir 5
mg/5 ml 50 mg

2. ETILENDIAMIN
Tripelenamin HCl 4-6 Tablet 25 mg dan 50 50 mg
mg Krem 2%,
salep 2% Eliksir
37,5 mg/5 ml Kapsul
75 mg; Tablet 25 mg
dan 50 mg

Tripelenamin sitrat 4-6 75 mg

10
3. ALKILAMIN
Bromfeniramin 4-6 Tablet 4 mg, Eliksir 2 4 mg
maleat mg/5 ml
Tablet 4 mg, sirop 2,5
mg/5 ml
Klorfeniramin
maleat Tablet 4 mg
4-6 2-4 mg
4. PIPERAZIN
Klorsiklizin HCl 8-12 Tablet 25 mg dan 50 50 mg
mg Tablet 50 mg;
Supositoria 50 mg
Siklizin HCl 4-6 dan 100 mg 50 mg

50 100
Siklizin laktat 4-6 Larutan 50 mg
mg
suntikan 50 mg/ml
Tablet 25 mg Sirop 10
mg/5 ml

Meklizin HCl 12-24 25 50 mg


5. FENOTIAZIN
Tablet 12,5 mg, 25
Prometazin HCl 4-6 mg dan 50 mg 25-50 mg
Larutan suntikan 25
mg dan 50 mg/ 5
ml Supositoria 25 mg dan
50 mg Tablet 4 mg,
sirop 4 mg/5 ml 25-50 mg
6. PIPERIDIN
(ANTIHISTAMIN 12-24 Tablet 60 mg Tablet 1060 mg
NONSEDATIF) mg Tablet 10 mg
Terfenadin Astemizol< 24 10 mg
Loratadin
12 10 mg

11
7. LAIN-LAIN
Azatadin + 12 Tablet 1 mg, Sirop 0,51 mg
mg/5 ml
Tablet 4 mg, sirop 2 mg/5
ml
Tablet 50 mg
Siproheptadin +6 4 mg

c. Farmakokinetik.

Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara


baik. Efeknya timbu115-30 menit setelah pemberian oral dan
maksimal simal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 setelah pemberian dosis
tunggal kira-kira 4-6 jam, untuk golongan klorsiklizin 8-12 jam.
Difenhidramin yang diberikan secara oral akan mencapai kadar maksimal
dalam darah setelah kira-kira 2 jam dan menetap pada kadar tersebut untuk 2
jam berikutnya, kemudian dieliminasi dengan masa paruh kirakira 4 jam.
Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal,
otak, otot dan kulit kadarnya lebih rendah. Tempat utama biotransformasi
AH1 ialah hati, tetapi dapat juga pada paru-paru dan ginjal. Tripelenamin
mengalami hidroksilasi dan konjugasi sedangkan klorsiklizin dan siklizin
terutama mengalami demetilasi. AH1 diekskresi melalui urin setelah 24 jam,
terutama dalam bentuk metabolitnya.

d. Efek Samping.

Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walupun


jarang bersitat serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan.
Terdapat variasi yang besar dalam toleransi terhadap obat antar individu,
kadang-kadang efek samping ini sangatmengganggu sehingga terapi perlu
dihentikan. Efek samping yang paling sering ialah sedasi, yang justru

12
menguntungkan bagi pasien yang dirawat di RS atau pasien yang perlu
banyak tidur. Tetapi efek ini mengganggu bagi pasien yang memerlukan
kewaspadaan tinggi sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya
kecelakaan. Pengurangan dosis atau penggunaan AH1 jenis lain
mungkin dapat mengurangi efek sedasi ini. Astemizol, terfenadin, loratadin
tidak atau kurang menimbulkan sedasi.

Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1


ialah vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur,
diplopia, euforia, gelisah, insomnia dan tremor. Efek samping yang termasuk
sering juga ditemukan ialah nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan
pada, epigastrium, konstipasi atau diare; efek samping ini akan berkurang,
bila AH1 diberikan sewaktu makan. Penggunaan astemizol, suatu
antihistamin_nonsedatif, selama lebih dari 2 minggu dilaporkan dapat
menyebabkan bertambahnya nafsu makan dan berat badan.

Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut
kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada
tangan. Insidens efek samping karena efek antikolinergik tersebut
kurang pada pasien yang mendapat antihistamin nonsedatif.

AH1 bisa menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih


sering terjadi akibat penggunaan bkal berupa dermatitis alergik. Demam dan
fotosensitivitas juga pernah dilaporkan terjadi. AH1 sangat jarang
menimbulkan komplikasi berupa leukopenia dan agranulositosis.

Pada beberapa pasien astemizol dilaporkan menyebabkan torsades


de pointes dan tertenadin dengan dosis 2-3 x di atas dosis yang
dianjurkan menyebabkan aritmia jantung. Selain itu laporan kasus
menunjukkan bahwa pemberian terfenadin dengan dosis yang dianjurkan
pada pasien yang mendapat ketokonazol, troleandomisin, eritromisin atau

13
lain makrolld dapat memperpanjang interval QT dan mencetuskan
terjadinya aritmia ventrikel. Hal ini juga dapat terjadi pada pasien dengan
gangguan fungsi hati yang berat dan pasien-pasien yang peka terhadap
terjadinya perpanjangan interval QT (seperti pasien hipokalemia).
Kemungkinan adanya hubungan kausal antara penggunaan antihistamin non
sedatif dengan terjadinya aritmia yang berat perlu dibuktikan lebih lanjut.
Golongan piperazin pada hewan percobaan dapat menimbulkan efek
teratogenik; dan sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil.

e. Intoksikasi Akut AH1.

Keracunan akut AH1 terjadi karena obat golongan ini sering


terdapat sebagai obat persediaan dalam rumah tangga. Pada anak, keracunan
terjadi karena kecelakaan, sedangkan pada orang dewasa akibat usaha bunuh
diri. Dosis 20-30 tablet AH1 sudah bersifat letal bagi anak.

Efek sentral AH1 merupakan efek yang berbahaya. Pada anak


kecil efek yang dominan ialah perangsangan dengan manitestasi halusinasi,
eksitasi, ataksia, inkoordinasi, atetosis dan kejang. Kejang ini kadang-kadang
disertai tremor dan pergerakan atetoid yang bersifat tonik-klonik yang sukar
dikontrol. Gejala lain mirip gejala keracunan atropin misalnya midriasis,
kemerahan di muka dan sering pula timbul demam. Akhirnya terjadi koma
dalam dengan kolaps kardiorespiratoar yang disusul kematian dalam 2-
18 jam. Pada orang dewasa, manifestasi keracunan biasanya berupa
depresi pada permulaan, kemudian eksitasi dan akhirnya depresi SSP lebih
lanjut.

f. Pengobatan.

Pengobatan diberikan secara simtomatik dan suportif karena tidak


ada antidotum spesifik. Depresi SSP oleh AH1 tidak sedalam yang
ditimbulkan oleh barbiturat. Pemapasan biasanya tidak mengalami

14
gangguan yang berat dan tekanan darah dapat dipertahankan secara baik.
Bila terjadi gagal napas, maka dilakukan napas buatan, tindakan ini lebih
baik daripada memberikan analeptik

yang justru akan mempermudah timbulnya konvulsi. Bila


terjadi konvulsi, maka diberikan tiopental atau diazepam.

g. Perhatian.

Sopir atau pekerja yang memerlukan kewaspadaan yang


menggunakan AH1 harus diperingatkan tentang kemqngkinan timbulnya
kantuk. Juga AH1 sebagai campuran pada resep harus digunakan dengan
hati-hati karena efek AH1 bersifat aditif dengan alkohol, obat penenang atau
hipnotik sedatif.

h. Indikasi.

AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit


alergi dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan.

Penyakit alergi. AH1 berguna untuk mengobati alergi tipe


eksudatif akut misalnya pada polinosis dan urtikaria. Efeknya bersifat
paliatif, membatasi dan menghambat efek histamin yang dilepaskan
sewaktu_ reaksi antigen-antibodi terjadi. AH1 tidak berpengaruh terhadap
intensitas reaksi antigen-antibodi yang merupakan penyebab berbagai
gangguan alergik. Keadaan ini dapat diatasi hanya dengan menghindari
alergen, desensitisasi atau menekan reaksi tersebut dengan kortikosteroid.
AH1 tidak dapat melawan reaksi alergi akibat peranan autakoid lain. Asma
bronkial terutama disebabkan oleh SRS- A atau leukotrien, sehingga AH1
saja tidak efektif. AH1 dapat mengatasi asma bronkial ringan bila diberikan
sebagai profilaksis. Untuk asma bronkial berat, aminofilin, epinefrin dan
isoproterenol merupakan pilihan utama. Pada anafilaktis, AH1 hanya

15
merupakan tambahan dari epinefrin yang merupakan obat terpilih.
Pada angioudem berat dengan udem laring, epinefrin juga paling baik
hasilnya. Epinefrin merupakan obat terpilih untuk mengatasi krisis alergi
karena epinefrin : (1) lebih efektif daripada AH1; (2) efeknya lebih cepat; (3)
merupakan antagonis tisiologik dari histamin dan autakoid lainnya. Artinya
epinefrin mengubah respons vasodilatasi akibat histamin dan autakoid lain
menjadi vasokonstriksi. Demikian pula AH1 dapat melawan efek
bronkokonstriksi oleh histamin tetapi tidak bersifat bronkodilatasi seperti
yang diperlihatkan epinefrin.

AH1 dapat menghilangkan bersin, rinore dan gatal, pada mata,


hidung dan tenggorokan pada pasien seasonal hay fever. AH1 efektif
terhadap alergi yang, disebabkan debu, tetapi kurang efektif bila jumlah
debu banyak dan kontaknya lama. Kongesti hidung, kronik lebih refrakter
terhadap AH1. AH1 tidak efektif pada rinitis vasomotoi. Manfaat AH1
untuk mengobati batuk pada anak dengan asma diragukan, karena AH1
mengentalkan sekresi bronkus sehingga dapat menyulitkan ekspektorasi.
AHI efektif untuk mengatasi urtikaria akut, sedangkan pada urtikaria kronik
hasilnya kurang baik. Kadang-kadang AH1 dapat mengatasi dermatitis
atopik, dermatitis kontak, dan gigitan serangga.

Reaksi transfusi darah tipe nonhemolitik dan nonpirogenik ringan


dapat diatasi dengan AH1. Demikian juga reaksi alergi seperti gatal-gatal,

urtikaria dan angloudem umumnya dapat diobati dengan AH1

2. Antagonis reseptor Histamin H2


Reseptor histamin H2 berperan dalam efek histamin terhadap sekresi
cairan lambung, perangsangan jantung serta relaksasi uterus tikus dan
bronkus domba. Beberapa jaringan seperti otot polos pembuluh darah
mempunyai kedua reseptor yaitu H1 dan H2.

16
a. Simetidin Dan Ranitidin

Farmakodinamik.

Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan


reversibel. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang, sekresi cairan
lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau ranftidin sekresi cairan
lambung dihambat. Pengaruh fisiologi simetidin dan raniticlin terhadap
reseptor H2 lainnya, tidak begitu penting. Walaupun tidak lengkap
simetidin dan ranitidin dapat menghambat sekresi cairan lambung akibat
perangsangan obat muskarinik atau gastrin. Simetidin dan ranitidin
mengurangi volume dan kadar ion hidrogen cairan lambung. Penurunan
sekresi asam lambung mengakibatkan perubahan pepsinogen menjadi
pepsin juga menurun.

Farmakokinetik

Bioavailabilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan setelah


pemberian IV atau IM. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorpsi
simetidin diperlambat oleh makanan, sehingga simetidin diberikan bersama
atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang efek pada
periode pasca makan. Absorpsi simetidin terutama terjadi pada menit ke 60
- 90. Simetidin masuk ke dalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal 10
- 20% dari kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV dan 40% dari
dosis oral simetidin diekskresi dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh
eliminasinya sekitar 2 jam.

Bioavailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan


meningkat pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7 - 3 jam
pada orang dewasa, dan memanjang pada orang tua dan pada pasien gagal
ginjal. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang
meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak plasma dicapai

17
dalam 1-3 jam setelah penggunaan 150 mg ranitidin secara oral, dan yang
terikat protein plasma hanya 15%. Ranitidin mengalami metabolisme lintas
pertama di hati dalam jumlah cukup besar setelah pemberianvral.
Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal, sisanya
melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidin yang diberikan IV dan 30% dari
yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin dalam bentuk asal.

Efek samping

Insidens efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya


berhubungan dengan penghambatan terhadap reseptor H2; beberapa
efek samping lain tidak berhubungan dengan penghambatan reseptor. Efek
samping IN antara lain nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual,
diare, konstipasf, ruam kulit, pruritus, kehilangan libido dan Impoten.

Simetidin mengikat reseptor androgen dengan akibat disfungsi


seksual dan ginekomastla. Ranitidin tidak berefek antiandrogenik sehingga
penggantian terapi dengan ranitidin mungkin akan menghilangkan
impotensi dan ginekomastia akibat simetidin. Simetidin IV akan
merangsang sekresi prolaktin, tetapi hal ini pernah pula dilaporkan
setelah pemberian simetidin kronik secara oral. Pengaruh ranitidin terhadap
peninggian prolaktin ini kecil.

Interaksi Obat

Antasid dan metoklopramid mengurangi bioavailabilitas oral


simetidin sebanyak 20-30%. Interaksi ini mungkin tidak bermakna secara
klinis, akan tetapi dianjurkan selang waktu minimal 1 jam antara
penggunaan antasid atau metoklopramid dan simetidin oral.

Ketakonazol harus diberikan 2 jam sebelum pemberian


simetidin karena absorpsi ketakonazol berkurang sekitar 50% bila diberikan
bersama simetidin. Selain itu ketakonazol membutuhkan pH asam untuk

18
dapat bekerja dan menjadi kurang efektif pada pH lebih tinggi yang terjadi
pada pasien yang juga mendapat AH2.

Simetidin terikat sitokrom P-450 sehingga menurunkan aktivitas


enzim mikrosom hati, jadi obat lain akan terakumulasi bila diberikan
bersama simetidin. Obat yang metabolismenya dipengaruhi simetidin ialah
wart arm, fenitoin, kafein, teofilin, fenobarbital, karbamazepin, diazepam,
propranolol, metoprolol dan imipramin.

Ranitidin lebih jarang berinteraksi dengan obat lain


dibandingkan dengan simetidin, akan tetapi makin banyak obat dilaporkan
berinteraksi dengan ranitidin. Nifedifin warfarin; teofilin dan metoprolol
dilaporkan berinteraksi dengan ranitidin. Selain penghambatan terhadap
sitokrom P-450 diduga ada mekanisme lain yang berperan dalam
interaksi obat. Ranitidin dapat menghambat absorpsi diazepam dan
mengurangi kadar plasmanya sejumtah 25%. Obat-obat ini diberikan
dengan selang waktu minimal 1 jam.

Penggunaan ranitidin bersama antasid atau antikolinergik sebaiknya


diberikan dengan selang waktu 1 jam.

Simetidin dan rartitidin cenderung menurunkan aliran darah hati


sehingga akan memperlambat bersihan obat lain. Simetidin dapat
menghambat alkohol dehidrogenase dalam mukosa lambung dan
menyebabkan peningkatan kadar alkohol serum. Simetidin juga
mengganggu disposisi dan meningkatkan kadar lidokain serta
meningkatkan antagonis kalsium dalam serum. Obat IN tak tercampurkan
dengan barbiturat dalam larutan IV. Simetidin dapat menyebabkan berbagal
gangguan SSP terutama pada pasien usia lanjut atau dengan penyakit hati
atau ginjal. Gejala gangguan SSP berupa slurred speech, somnolen, letargi,
gelisah, bingung, disorientasi, agitasi, halusinasi dan kejang. Gejala-gejala
tersebut hilang/membaik bila pengobatan dihentikan. Gejala seperti

19
demensia dapat timbul pada penggunaan simetidin bersama obat psikotropik
atau sebagai efek samping simetidin. Ranitidin menyebabkan gangguan SSP
ringan, mungkin karena sukarnya melewati sawar darah otak.

Efek samping simetidin yang jarang terjadi ialah trombositopenia,


granulositopenia, toksisitas terhadap ginjal atau hati. Peningkatan ringan
kreatinin plasma mungkin disebabkan oleh kompetisi ekskresi
simetidin dan kreatinin. Simetidin (tidak ranitidin) dapat meningkatkan
beberapa respons imunitas seluler (cell-mediated immune response)
terutama pada individu dengan depresi sistem imunologik. Pemberian
simetidin dan ranitidin IV sesekali menyebabkan bradikardi dan efek
kardiotoksik lain.

Posologi

Simetidin tersedia dalam bentuk tablet 200, 300 dan 400 mg. Dosis
yang dianjurkan untuk pasien tukak duodeni dewasa ialah 4 kali 300 mg,
bersama makan dan sebelum tidur; atau 200 mg bersama makan dan
400 mg sebelum tidur. Simetidin juga tersedia dalam bentuk sirup 300 mg/5
ml, dan larutan suntik 300 mg/2 ml.

Ranitidin tersedia dalam bentuk tablet 150 mg dan larutan suntik 25


mg/ml, dengan dosis 50 mg IM atau IV tiap 6-8 jam. Ranitidin 4-10 kali
lebih kuat daripada simetidin sehingga cukup diberikan setengah dosis
simetidin; ranitidin bekerja untuk waktu lama (8-12jam). Dosis yang
dianjurkan dua kali 150 mg/hari.

Indikasi

Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik.


Penghambatan 50% sekresi asam lambung dicapai bila kadar simetidin
plasma 800 ng/ml atau kadar ranitidin plasma 100 ng/ml.

20
Tetapi yang lebih penting adalah efek penghambatannya selama 24 jam.
Simetidin 1000 mg/ hari menyebabkan penuruvan kira-kira 50% dan
ranitidin 300 mg/hari menyebabkan penurunan 70% sekresi asam lambung;
sedangkan terhadap sekresi asam malam hari, masing- masing menyebabkan
penghambatan 70 dan 90%.

Simetidin, ranitidin atau antagonis reseptor H2 mempercepat


penyembuhan tukak lambung dan tukak duodenum. Pada sebagian
besar pasien pemberian obat-obat tersebut sebelum tidur dapat
mencegah kekambuhan tukak duodeni bila obat diberikan sebagai terapi
pemeliharaan. Akan tetapi manfaat terapi pemeliharasn dalam pencegahan
tukak lambung selama lebih dari satu tahun belum jelas diketahui.

AH2 sama etektit dengan pengobatan intensif dengan antasid


untuk penyembuhan awal tukak lambung dan duodenum. Untuk refluks
esofagitis seperti halnya dengan antasid antagonis reseptor H2
menghilangkan gejalanya tetapi tidak menyembuhkan lesi.

Pada penggunaan jangka panjang respons pasien kadang-kadang


dilaporkan berkurang, tetapi makna klinis fenomena ini masih
menunggu studi lebih lanjut.

Terhadap tukak peptikum yang diinduksi oleh obat AINS, AH2


dapat mempercepat penyembuhan tetapi tidak dapat mencegah terbentuknya
tukak. Pada pasien yang sedang mendapat AINS antagonis reseptor
H2 dapat mencegah kekambuhan tukak duodenum tetapi tidak bermanfaat
untuk tukak lambung.

Simetidin dan ranitidin telah digunakan dalam penelitian untuk


stress ulcer dan perdarahan, dan ternyata obat-obat tersebut lebih
bermanfaat untuk profilaksis daripada untuk pengobatan.

21
AH2 juga bermanfaat untuk hipersekresi asam lambung pada
sindrom Zollinger-Ellison. Dalam hal ini mungkin lebih baik digunakan
ranitidin untuk mengurangi kemungkinan timbutnya efek samping obat
akibat besarnya dosis simetidin yang diperlukan. Ranitidin juga
mungkin lebih baik dari simetidin untuk pasien yang mendapat banyak obat
(terutama obat-obat yang metabolismenya dipengaruhi oleh simetidin),
pasien yang refrakter terhadap simetidin, pasien yang tidak tahan efek
samping simetidin dan pada pasien usia lanjut.

b. Famotidin

Farmakodinamik.

Seperti halnya dengan simetidin dan ranitidin, famotidin merupakan


AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada keadaan
basal, malam dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin tiga kali
lebih poten daripada ranitidin dan 20 kali lebih poten daripada
simetidin.

Indikasi.

Efektivitas obat untuk ini tukak duodenum dan tukak lambung


setelah 8 minggu pengobatan sebanding dengan ranitidin dan simetidin.
Pada penelitian berpembanding selama 6 bulan, famotidin juga mengurangi
kekambuhan tukak duodenum yang secara klinis bermakna.
Famotidin kira-kira sama efektif dengan AH2 lainnya pada pasien
sindrom Zollinger-Ellison, meskipun untuk keadaan ini omeprazol
merupakan obat terpilih. Efektivitas famotidin untuk profilaksis tukak
lambung, refluks esofagitis dan pencegahan tukak stres pada saat ini
sedang diteliti.

Efek Samping

22
Efek samping famotidin biasanya ringan dan jarang terjadi,
misalnya sakit kepala, pusing, konstipasi dan diare. Seperti halnya dengan
ranitidin, famotidin nampaknya lebih baik dari simetidin karena belum
pernah dilaporkan terjadinya efek antiandrogenik. Famotidin harus
digunakan hati-hati pada wanita menyusui karena belum diketahui
apakah obat ini disekresi kedalam air susu ibu.

Interaksi Obat

Sampai saat ini interaksi yang bermakna dengan obat lain belum
dilaporkan meskipun baru diteliti terhadap sejumlah kecil obat. Famotidin
tidak mengganggu oksidasi diazepam, teofilin, warfarin atau fenitoin di
hati. Ketokonazol membutuhkan pH asam untuk bekerja sehingga
kurang efektif bila diberikan bersama AH2.

Farmakokinetik

Famotidin mencapai kadar pucak di plasma kira- kira dalam 2 jam


setelah penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam dan
bioavailabilitas 40-50%. Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida.
Setelah dosis oral lunggal, sekitar 25% dan dosis ditemukan dalam
bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi
dapat melebihi 20 jam.

Dosis

Oral dewasa, pada tukak duodenum atau tukak lambung aktif 40


mg satu kali sehari pada saat akan tidur. Umumnya 90% tukak sembuh
setelah 8 minggu pengobatan. Pada pasien tukak peptik tanpa
komplikasi dan bersihan kreatinin < 10 ml/menit, dosis awal 20 mg
pada saat akan tidur. Dosis pemelharaan untuk pasien tukak duodenum 20
mg. Untuk pasien sindrom Zollinger-Ellison dan lain keadaan hipersekresi

23
asam lambung, dosis harus diindividualisasi. Dosis awal per oral yang
dianjurkan 20 mg tiap 6 jam.

Intravena : Pada pasien hipersekresi asam lambung tertentu atau


pada pasien yang tidak dapat diberikan sediaan oral, famotidin
diberikan intravena 20 mg tiap 12 jam. Dosis obat untuk pasien harus
dititrasi berdasarkan jumlah asam lambung yang disekresi.

c. Nizatidin

Farmakodinamik.

Potensi nizatidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang


lebih sama dengan ranitidin.

Indikasi.

Efektivitas untuk pengobatan gangguan asam lambung


sebanding dengan ranitidin dan simetidin. Dengan pemberian satu atau dua
kali sehari biasanya dapat menyembuhkan tukak duodeni dalam 8 minggu
dan dengan pemberian satu kali sehari nizatidin mencegah kekambuhan.
Meskipun data nizatidin masih terbatas efektivitasnya pada tukak
lambung nampaknya sama dengan AH2 lainnya. Pada refluks
esofagitis, sindrom ZollingerEllison dan gangguan asam lambung
lainnya nizatidin diperkirakan sama efektif dengan ranitidin meskipun
masih diperlukan pembuktian lebih lanjut.

Efek Samping

Nizatidin umumnya jarang menimbulkan efek samping. Efek


samping ringan saluran cerna dapat terjadi. Peningkatan kadar asam urat
dan transaminase serum ditemukan pada beberapa pasien dan nampaknya
tidak menimbulkan gejala klinik yang bermakna. Seperti halnya dengan
AH2 lainnya, potensi nizatidin untuk menimbulkan hepatotoksisitas rendah.

24
Pada tikus nizatidin dosis besar berefek antiandrogenik, tetapi efek tersebut
belum terlihat pada uji klinik. Nizatidin dapat menghambat alkohol
dehidrogenase pada mukosa lambung dan menyebabkan kadar alkohol
yang lebih tinggi dalam serum. Dalam dosis ekuivalen simetidin, nizatidin
tidak menghambat enzim mikrosom hati yang memetabolisme obat. Pada
sukarelawan sehat tidak dilaporkan terjadinya interaksi obat bila nizatidin
diberikan bersama teofilin, lidokain, wartarin, klordiazepoksid, diazepam
atau lorazepam. Penggunaan bersama antasid tidak menurunkan absorpsi
nizatidin secara bermakna. Ketokonazol yang membutuhkan pH asam
menjadi kurang efektif bila pH lambung lebih tinggi pada pasien yang
mendapat AH2.

Farmakokinetik

Bioavailabilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak dipengaruhi


oleh makanan atau antikolinergik. Bersihan menurun pada pasien uremik
dan usia lanjut.

Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai


dalam 1 jam, masa paruh plasma sekitar 1 1/2 jam dan lama kerja
sampai dengan 10 jam. Nizatidin diekskresi terutama melalui ginjal;
90% dari dosis yang digunakan ditemukan di urin dalam 16 jam.

Dosis

Oral: untuk orang dewasa dengan tukak duodenum aktif dosis 300
mg sekali sehari pada seat akan tidur atau 150 mg 2 kali sehari, tukak
sembuh pada 90% kasus setelah 8 minggu pengobatan. Pada pasien
tukak peptik tanpa komplikasi dan bersihan kreatinin kurang dari 10
ml/menit dosis awal harus dikurangi 50%. Untuk pengobatan pemeliharaan
tukak duodenum, dosis 150 mg pada saat akan tidur lebih efektif dari pada
plasebo.

25
Untuk pasien dewasa dengan tukak lambung aktif digunakan dosis
yang sama dengan pasien tukak duodenum, akan tetapi masih diperlukan
pembuktian lebih lanjut mengenai hal tersebut.

3. Pemilihan Sediaan

Banyak golongan AH1 yang digunakan dalam terapi, tetapi


efektivitasnya tidak banyak berbeda, perbedaan antar jenis obat hanya dalam
hal potensi, dosis, efek samping dan jenis sediaan yang ada. Sebaiknya
dipilih AH1 yang efek terapinya paling besar dengan efek samping
seminimal mungkin, tetapi belum ada AH1 yang ideal seperti ini. Selain
ditentukan berdasarkan potensi terapeutik dan beratnya efek samping,
pemilihan sediaan perlu dipertimbangkan berdasarkan adanya variasi antar
individu. Karena itu perlu dicoba dan diperhatikan efek yang
menguntungkan dan efek samping apa yang timbul akibat pemberian AH1.

Walaupun antagonis reseptor H2 lebih kuat menghambat sekresi


asam lambung dari pada obat antikolinergik, antagonis reseptor H2 tidak
lebih efektif daripada terapi intensif dengan antasida pada pasien esofagitis
Yefluks, tukak lambung, tukak duodeni atau pencegahan tukak lambung
akibat stres. Antagonis reseptor H2 disediakan sebagai obat afternatif untuk
pasien yang tidak memberikan respons baik terhadap pengobatan antaskia
jangka panjang.

3. Antialergi lain
AH1 tidak sepenuhnya etektif untuk pengobatan simtomatik reaksi
hipersensitivitas akut. Hal ini disebabkan oleh fungsi histamin yang
sebenarnya merupakan pemacu untuk dibentuk dan dilepasnya autakoid lain.
Baru kemudian histamin dan autakoid lain ini bersama-sama menimbulkan
simtom alergi. Untuk menghambat semua efek ini diperlukan penghambat
berbagai autakoid tersebut, hal ini pada kenyataannya sulit dicapai, sebab
belum tersedia penghambat untuk semua autakoid. Itutah sebabnya

26
pengobatan reaksi alergi lebih ditujukan pada penggunaan antagonis
fisiologis misalnya epinefrin pada anafilaksis dan kortikosteroid pada gejala
alergi yang tidak berespons terhadap AH1. Tetapi terapi ini, seperti halnya
penghambat autakoid, tidak tertuju pada penyebabnya.
Salah satu terapi hipersensitivitas lain ialah secara profilaksis yaitu
menghambat produksi atau penglepasan autakoid dari sel mast dan basofil
yang telah disensitisasi oleh antigen spesifik.
a. Natrium Kromolin

Kromolin adalah obat yang dapat menghambat penglepasan


histamin dari sel mast paru-paru dan tempat-tempat tertentu, yang
diinduksi oleh antigen. Walaupun penggunaan kromolin terbatas, obat ini
berharga untuk profilaksis asma bronkial dan kasus atopik tertentu.
Kimia
Natrium kromolin merupakan garam dinatrium, dengan rumus
sebagai berikut : 4-4'-diokso-5-5'- (2 hidroksi trimetalin dioksi) di (4H
kromomen -2 karboksilat).

Natrium kromolin

Farmakodinamik

Kromolin tidak merelaksasi bronkus atau otot polos lain. Kromolin


juga tidak menghambat respons otot tersebut terhadap berbagai obat yang
bersifat spasmogenik. Tetapi kromolin menghambat penglepasan histamin
dan autakoid lain termasuk leukotrien dari paru-paru manusia pada proses
alergi yang diperantai IgE.

Karena itu kromolin mengurangi bronkospasme. Hambatan


penglepasan leukotrien terutama penting pada penderita asma bronkial,
karena leukotrien merupakan penyebab utama bronkokonstriksi. Kromolin

27
bekerja pada sel mast paru-paru, yaitu sasaran primer dalam reaksi
hipersensitivitas tipe cepat. Kromolin tidak menghambat ikatan IgE
dengan sel mast atau interaksi antara kompleks sel IgE dengan antigen
spesifik, tetapi menekan respons sekresi akibat reaksi tersebut.

Farmakokinetik

Kromolin diabsorpsi amat buruk setelah pemberian oral, karena itu


perlu diberikan secara inhalasi pada penderita asma brohkial. Dengan
turbo inhaler 10% bubuk halus kromolin dapat mencapai paru-paru bagian
dalam, kemudian kromolin diabsorpsi masuk, peredaran darah, dengan
waktu paruh kira-kira 80 menit. Kromolin tidak dibiotransformasi, dan
diekskresi dalam bentuk asal 50% bersama urin dan 50% dalam empedu.

Toksisitas

Kromolin umumnya terterima baik. Jarang timbul reaksi yang tidak


diinginkan walaupun setelah penggunaan terus-menerus selama bertahun-
tahun. Reaksi yang paling sering yang mungkin ada hubungannya dengan
efek iritasi bubuk halus kromolin pada paru-paru ialah bronkospasme, batuk,
kongesti hidung, iritasi faring dan wheezing. Kadang-kadang timbul gejala
pusing, disuria, bengkak dan nyeri sendi, mual, sakit kepala dan
kemerahan kulit. Gejala lebih serius dan jarang terjadi yaitu reaksi
hipersensitivitas misalnya udem laring, angioudem, urtikaria dan anafilaksis.

Sediaan

Natrium kromolin untuk inhalasi tersedia dalam bentuk kapsul


yang mengandung 20 mg kromolin bubuk halus dicampur dengan laktosa.
Obat ini diberikan dengan turbo inhaler 4 kali sehari. Larutan kromolin
dapat diberikan secara inhalasi dengan menggunakan nebulizer. Larutan
kromolin 4% mengandung 5,2 mg kromolin setiap kali semprot. Dosis

28
yang dianjurkan sekali semprot 3-6 kali sehari. Juga tersedia pula larutan
kromolin 4% untuk tetes mata dengan dosis 4-6 kali 1-2 tetes/ hari:

Indikasi

Penggunaan utama kromolin untuk terapi profilaktik asma


bronkial. Efek protektii kromolin berakhir setelah beberapa jam.
Kromolin tidak bermanfaat untuk terapi asma bronkial akut atau pada
status asmatikus. Kromolin diindikasikan pula untuk rinitis alergika
dan penyakit atopik pada mata.

b. Ketotifen

Ketotifen atau 4 (1-metil-4 piperidiliden (-4H-benzo-(4,5)-


siklohepta (1,2-b) tiofen 10 (9H)-one hidrogen fumarat, bersifat
antianafilaktik karena menghambat penglepasan histamin. Ketotifen
juga bersifat antihistamin kuat. Rumus molekul ketotifen adalah
sebagai berikut:

Farmakokinetik

Ketotifen fumarat diabsorpsi dari saluran cerna. Bentuk utuh


dan metabolitnya diekskresi bersama urin dan tinja.

Efek Samping

29
Efek samping ketotitert sama seperti efek samping AH1. Pernah
dilaporkan ketotifen meningkatkan nafsu makan dan menambah berat
badan. Kombinasi ketotifen dengan antidiabetik oral telah
dilaporkan dapat menurunkan jumlah trombosit secara
reversible, karena itu kombiliasi kedua obat itu harus dihindarkan.
Ketotifen harus diberikan secara hati-hati pada penderita yang alergi
terhadap obat ini.

Indikasi

Ketotifen telah digunakan uritsik profilaksis asma bronkial.


Untuk tujuan ini ketotifen digunakan secara oral untuk jangka waktu
12 bulah.

Sediaan

Ketotifen tersedia dalam tablet 1 mg dan sirup 0,2 mg/ml. Satu


mg ketotifen identik dengan 1,38 mg ketotifen fumarat. Dosis
dewasa ketotifen fumarat untuk profilaksis asma bronkial ialah 2 kali
1,38 2,76 mg.

2.6 Pengertian dari serotonin dan anti serotonin


Serotonin ialah 3 ( -aminoetil)-5-hidroksiindol. Seperti histamin,
serotonin terdapat banyak pada tumbuh-tumbuhan dan hewan. Misalnya pada
vertebrata, hewan laut, moluska, artropoda, coelenterata; pada buah- buahan
misalnya nenas, pisang, buah prem dan berbagai buah yang berkulit keras
seperti kelapa, kemiri dan sebagainya. Juga terdapat pada sengatan lebah dan
kalajengking.

Banyak senyawa sejenis serotonin, sintetik atau alamiah, dan triptamin


dalam dosis tinggi memperlihatkan aktivitas farmakologik sentral dan
perifer. Sehubungan dengan kemungkinan fungsi fisiologik 5- HT endogen
dalam SSP, banyak senyawa sejenis memperlihatkan efek sangat kuat terhadap

30
otak. Misalnya LSD, yang terkenal sebagai obat psikotomimetik yang sangat
kuat. Kadar normal serotonin dalam darah 0,1-0,3 pg/ml, sedangkan pada
pasien karsinoid 0,5-2,7 g/ml

b. Farmakologi

Fungsi.

5-HT terutama berfungsi sebagai transmitor saraf triptaminergik di otak.


Selain itu 5-HT juga berfungsi sebagai prekursor hormon melatonin dari pineal.
Pada saluran cerna 5-HT berfungsi mengatur motilitas saluran cerna dan 5-HT
yang dilepaskan dari trombosit diduga berperanan dalam hemostasis atau
penyakit vaskular misalnya penyakit Raynaud.

Pernapasan.

Penyuntikan serotonin IV pada anjing dan manusia biasanya


menyebabkan peninggian selintas volume semenit disertai perubahan frekuensi
pernafasan yang variabel. Pada dosis lebih rendah, efek yang terjadi terutama
disebabkan oleh stimulasi kemoreseptor karotis dan aorta. Hal tersebut
diperkuat dengan kenyataan bahwa pengangkatan korpus karotikus pada
manusia akan menghilangkan efek serotonin yang diberikan intrakarotis.

31
Serotonin menyebabkan bronkokonstriksi pada berbagai hewan dan pasien
asma. Hal ini terutama didasarkan perangsangan langsung otot polos
bronkus dan sebagian kecil karena refleks. Serotonin jarang menyebabkan
kematian karena cepat terjadi takifilaksis.

Sistem kardiovaskular.

Efek 5-HT pada sistem kardiovaskular secara umum serupa dengan efek
histamin atau bradikinin. Efek ini dilangsungkan lewat reseptor 5-HT1 dan 5-
HT2.

Vasokonstriksi.
Stimulasi reseptor 5-HT menyebabkan konstriksi arteri, vena dan venula.
Efek ini umumnya dilangsungkan lewat reseptor 5-HT2 tetapi pada arteri
basilaris dilangsungkan lewat reseptor 5-HT1 khususnya 5-HT1D. Organ
yang terutama terkena ialah alat kelamin, ginjal, paru-paru dan otak. Di
samping efek langsung, 5-HT juga memperkuat efek kontraksi oleh
norepinefrin, histamin atau angiotensin II. Efek ini dianggap memperkuat kerja
trombosit dalam proses hemostasis.

Vasodilatasi.

5-HT lewat reseptor 5-HT1 menimbulkan vasodilatasi dengan cara


melepaskan EDRF (endothelium-derived relaxing factor) dan prostaglandin
dari sel endotel dengan akibat timbulnya relaksasi otot polos pembuluh darah.
Efek ini terjadi terutama pada pembuluh darah kecil misalnya arteriol.
Stimulasi reseptor 5-HT1 pada terminal saraf simpatis menghambat
penglepasan norepinefrin, yang juga menurunkan tonus vaskular. 5-HT
tidak menimbulkan perubahan permeabilitas kapiler.

Tekanan darah.

32
5-HT agaknya tidak mempengaruhi tekanan darah dalam keadaan
normal. Tetapi bila terjadi aktivasi trombosit pada keadaan tertentu
tekanan darah dapat meningkat.

Jantung.

5-HT menimbulkan efek inotropik dan kronotropik positif melalui


reseptor 5-HT1. Efek ini berkurang bila reseptor 5-HT3 pada saraf aferen
baroreseptor dan kemoreseptor dirangsang. Perangsangan reseptor 5-HT3 pada
ujung saraf vagal yang terdapat pada pembuluh koroner menimbulkan
kemoretleks koroner (Bezold- Jarisch), berupa penghambatan simpatis dan
meningkatnya aktivitas aferen vagus jantung sehingga terjadi bradikardia dan
hipotensi.

Vena.

Konstriksi vena biasanya terjadi pada pemberian serotonin secara


infus. Konstriksi vena kecil mungkin merupakan suatu faktor penyebab
sianosis.

OTOT POLOS

Saluran cerna

Penyuntikan serotonin IV merangsang saluran cerna. Usus halus


manusia sangat sensitif; dosis besar akan menyebabkan kolik dan pengeluaran
isi usus besar. Efek serotonin yang dominan terhadap otot polos saluran cerna
ialah stimulasi, tetapi dapat juga terjadi relaksasi, misalnya pada kolon distal
manusia: Serotonin membawa ion Ca ke dalam sel-sel otot yang selanjutnya
mengaktifkan kompleks aktomiosin sehingga terjadi kontraksi.

Saluran cerna dirangsang secara langsung maupun melalui


perangsangan sel ganglion dan ujung sarat intramural. Akibatnya terjadi
peningkatan kontraksi dan tonus otot polos, kejang abdomen, mual dan

33
muntah. Derajat stimulasi ini tergantung dari kadar serotonin, spesies dan
bagian saluran cerna. Penglepasan serotonin dari sel ialah untuk regulasi
peristalsis. Pemberian serotonin eksogen akan menimbulkan peristalsis
yang disusul dengan pengeluaran serotonin endogen. Kadar serotonin
meninggi dalam darah manusia pada keadaan hiperperistaltik. Pada karsinoid
maligna; sel argentafin (kromafin) bertambah; sintesis, penyimpanan dan
penglepasan serotonin bertambah pula. Gejala dari tumor ini ialah kolik
intermiten, diare, flushing, sianosis, hipertensi, takikardia, takipnea,
bronkokonstriksi. Penyuntikan serotonin IV akan menyebabkan meningkatnya
kontraksi usus. Pertama-tama terjadi spasme yang diikuti oleh peninggian
tonus dengan kontraksi propulsif yang ritmik, kemudian terjadi periode
inhibisi. Dua macam reseptor serotonin ditemukan di usus yaitu D dan
M. Peristaltik usus tergantung dari berbagai faktor : (1) sensitisasi reseptor
presor intramural; (2) permulaan terjadinya refleks dan (3) peninggian
sensitivitas sel ganglion dari serat otot terhadap asetilkolin.

Otot polos
lain

5-HT dapat secara langsung menyebabkan kontraksi otot polos uterus


dan bronkus. Saraf aferen bronkus juga dapat mengalami stimulasi sehingga
frekuensi napas meningkat. Efek ini menjadi lebih hebat pada pasien asma
atau karsinoid.

Kelenjar eksokrin.

Pemberian serotonin per infus pada anjing akan mengurangi sekresi


asam lambung tetapi meningkatkan sekresi mukus. Kelenjar eksokrin lain
memperlihatkan respons yang bervariasi terhadap 5-HT.

Metabolisme karbohidrat.

Pemberian serotonin IV dosis besar pada anjing akan menyebabkan


meningkatnya kadar gula darah, penurunan glikogen hati dan peningkatan

34
aktivitas fosforilase. Efek ini bukan efek langsung, diduga melalui
penglepasan epinefrin.

Ujung saraf.

5-HT dapat menstimulasi atau menghambat saraf tergantung dari tempat


dan jenis reseptor yang ada. Stimulasi reseptor 5-HT1 pada ujung saraf
adrenergik menghambat penglepasan norepinefrin akibat stimulasi susunan
saraf simpatis. Stimulasi reseptor 5-HT3 yang terdapat pada berbagai
saraf sensoris menimbulkan depolarisasi dengan manifestasi berupa
nyeri, gatal, perangsangan refleks napas dan kardiovaskular.

Ganglia otonom.

Serotonin dosis-tinggi memperlihatkan efek stimulasi pada ganglia


otonom misalnya pada ganglion servikalis superior dan ganglion mesenterika
inferior (lihat efeknya terhadap otot polos saluran cerna). Dosis yang lebih
rendah memudahkan atau menghambat transmisi ganglion tergantung dari
kondisi percobaan.

Medula adrenal.

Bila disuntikkan dalam arteri yang menuju kelenjar adrenal, serotonin


menyebabkan penglepasan katekolamin. Hasil yang sama akan diperoleh
bila diberikan secara IV dengan dosis yang sangat besar.

Trombosit.

Pada daerah cedera vaskular, trombosit melepaskan 5-HT bersama


ADP, metabolit asam arakidonat (mis. tromboksan A2) dan mediator lainnya.
Membran trombosit mengandung reseptor 5HT yang bila terangsang
mempermudah agregasi.

Aktivasi reseptor ini umumnya menimbulkan respons yang lemah,


tetapi bila terdapat agonis lain seperti kolagen, maka 5-HT dapat

35
menimbulkan aktivasi trombosit secara maksimal. Jadi 5-HT
meningkatkan agregasi dan mempercepat penggumpalan darah sehingga
mempercepat hemostasis.

Susunan saraf pusat.

Kadar serotonin relatif tinggi di hipotalamus dan otak tengah, sedikit


pada korteks serebri dan serebelum. Serotonin berfungsi sebagai
neurotransmitor yang dilepaskan oleh saraf yang tersebar luas dalam otak,
yang mungkin merupakan daerah sasaran (target) pelbagai obat psikoaktif
(LSD, reserpin dan sebagainya). Serotonin bersifat sangat polar sehingga
tidak dapat menembus sawar darah otak.

c. Serotonin Endogen

Distribusi

Tubuh orang dewasa mengandung kira-kira 5-10 mg serotonin.


Dari jumlah ini 90% terdapat dalam saluran cerna, terutama di sel-sel
enterokromafin. Sisanya terdapat dalam trombosit dan otak; sel mast
manusia normal tidak mengandung serotonin, kecuali bila ia menderita
tumor sel mast.

Sumber, sintesis dan penyimpanan.

Serotonin, kecuali dalam trombosit, disintesis secara lokal


karena trombosit tidak mempunyai enzim triptofan hidroksilasetlan 5-HTP
dekarboksilase. Pengambilan serotonin, ke dalam trombosit terjadi ketika
sel ini malewati pembuluh darah usus yang mengandung serotonin dengan
kadar tinggi. Pengambilan ini terjadi secara aktif karena afinitasnya yang
tinggi, dengan mekanisme yang sama dengan re-uptake neurotransmitor di
ujung saraf adrenergik. Bila serotonin intrasel berlebihan, maka MAO
akan mengubahnya menjadi 5-hidroksi-indol asetat (5-HIAA) yang dapat
ke luar se1. Serotonin dilepas dari vesikel di bawah pengaruh trombin,

36
melalui mekanisme eksositotik (penyatuan vesikel dengan membran
plasma dan pengosongan isinya).

Laju malih (turn over rate).

Serotonin secara terus menerus diproduksi dan dihancurkan dalam


usus dan otak. Waktu paruh serotonin dalam otak kira-kira 1 jam dan
dalam saluran cerna 17 jam. Serotonin yang terdapat dalam trombosit
hanya dilepas bila dimetabolisme atau dengan pengaruh thrombin.

d. Farmakokinetik

5-HT endogen atau eksogen mengalami deaminasi oksidatif oleh


MAO menjadi 5-hidroksi indolasetaldehid, yang kemudian akan dioksidasi
lagi menjadi asam 5-HIAA oleh enzim aldehid dehidrogenase dan 5-
hidroksitriptofol (5-HTOL) oleh enzim alkohol dehidrogenase (lihat
Gambar 19-2).

5-HIAA sebagai metabolit utama diekskresi ke dalam urin (2-10


mg/hari). Pasien karsinoid maligna mengekskresi 5-HIAA dalam jumlah.
besar (25 mg - 1 g selama 24 jam) yang dipakai sebagai uji diagnostik
penyakit ini. Bila makan buah-buahan dan kacang-kacangan yang kaya
serotonin maka ekskresi 5-HIAA akan meningkat.

e. Sediaan

Tidak ada sediaan serotonin kecuali untuk penelitian yang tersedia


dalam bentuk kompleks dengan kreatinin sulfat. Pemberian serotonin
secara oral yang diikuti dengan pengukuran 5-HIAA dalam urin
menunjukkan derajat penghambatan MAO.

37
Gambar 19-2. Metabolisme
serotonin

Antiserotonin

Alkaloid ergot dan turunannya pertama kali dikenal sebagai


penghambat serotonin (5-HT), terutama terhadap efeknya pada otot polos.
Efek penghambatan ini paling kuat diperlihatkan oleh lisergat dietilamida
(LSD), 2-bromo-LSD dan metisergid.

Senyawa indol juga banyak merupakan antagonis 5-HT. Tetapi usaha


untuk menyelidiki respons yang kompleks terhadap 5-HT dipersulit
oleh tidak adanya antagonis terhadap berbagai jenis reseptor 5-HT yang
selektit dan poten. Misalnya metisergid dan siproheptadin yang merupakan
antagonis 5HT, juga mempunyai efek farmakologik lain yang kuat.
Ketanserin merupakan contoh antagonis 5HT2 yang sangat selektif
(walaupun mempunyai efek penghambatan reseptor alfa adrenergik
dll.) yang mempunyai efek spesifik.

38
a. Ketanserin
Ketanserin merupakan prototip golongan antagonis serotonin, dengan
rumus molekul sebagai berikut :

Ketanserin merupakan penghambat reseptor 5-HT2 selektif tanpa


memperlihatkan efek terhadap reseptor 5-HT1. Tetapi ketanserin juga
mempunyai afinitas yang berarti terhadap reseptor H1 adrenergik dan
reseptor H1 (histamin). Obat ini juga menghambat secara ringan reseptor
dopamin. Ketanserin mengantagonisasi efek vasokonstriksi 5-HT pada
berbagai sediaan vaskular, sehingga mungkin bermanfaat untuk
pengobatan hipertensi, klaudikasio intermiten dan fenomen Raynaud.
Ketanserin menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi, tetapi
ritanserin, suatu antagonis 5-HT2 yang lebih selektif tidak mempunyai efek
antihipertensi pada dosis ekuivalen dengan ketanserin sebagai antagonis 5-
HT2. Mekanisme kerja ketanserin sebagai antihipertensi diduga merupakan
gabungan efeknya terhadap reseptor 5-HT1 dan 1- adrenergik. Efek
penurunan tekanan darah ini agaknya terjadi karena menurunnya tonus
pembuluh kapasitans (capacitance vessels) dan resistans (resistance
vessels). Potensi antihipertensif ketanserin kira-kira sebanding dengan
penghambat adrenergik A atau diuretik. Efek samping yang dapat terjadi
umumnya ringan seperti mengantuk, mulut kering, pusing dan mual.
Ketanserin juga menghambat respons kontraksi otot trakea dan efek
agregasi trombosit akibat 5-HT, sedangkan agregasi trombosit sebab
agonis lain tidak begitu dipengaruhi.

b. Metisergid

Kimia. Struktur kimia metisergid ialah seperti terlihat di bawah ini :

39
Farmakologi.

Metisergid menghambat efek vasokonstriksi dan presor serotonin


pada otot polos vaskular. Efek terhadap susunan saraf sangat kecil.
Walaupun obat ini suatu derivat ergot, sifat vasokonstriksi dan
oksitosiknya jauh lebih lemah daripada alkaloid ergot.

Obat ini dapat digunakan untuk mencegah serangan migren dan


sakit kepala vaskular lainnya, termasuk sindrom Horton. Penggunaan
profilaksis mengurangi frekuensi dan intensitas serangan sakit kepala.
Rebound headache sering terjadi bila obat ini dihentikan. Metisergid tidak
bermanfaat pada migren akut, bahkan merupakan kontraindikasi.

Cara kerja metisergid dalam mengatasi sakit kepala vaskular


tidak diketahui, hubungannya dengan serotonin masih diragukan.
Metisergid berguna untuk pengobatan diare dan malabsorbsi pada pasien
karsinoid dan dumping syndrome pasca gastrektomi. Tetapi obat ini tidak
efektif pada pengobatan gejala yang ditimbulkan oleh zat lain yang
dikeluarkan oleh tumor karsinoid (mis. kinin) sehingga untuk pengobatan
tumor karsinoid lebih baik digunakan oktreotida asetat (suatu analog
somatostatin) yang menghambat sekresi semua mediator pada tumor ini.

Efek samping

Yang paling sering ialah gangguan saluran cerna berupa : heart


burn, diare, kejang perut, mual dan muntah. Efek samping lain ialah :
insomnia, nervositas, euforia, hatusinasi, bingung, kelemahan badan dan

40
nafsu makan hilang. Pada penggunaan lama mungkin timbul suatu
kelainan yang agak jaranig ditemukan tetapi dapat fatal, yaitu fibrosis
inflamatoar (fibrosis retroperitoneal, fibrosis pleuropulmoner, fibrosis
koroner dan endokardial). Biasanya fibrosis ini menghilang bila obat
dihentikan, tetapi lesi pada jantung dapat menetap.

Posologi.

Metisergid maleat yang digunakan ialah 2 mg. Dosis dewasa : 4-6


mg/hari, dibagi dalam beberapa dosis.

c. Siproheptadin

Kimia.

Struktur kimia siproheptadin ialah sebagai berikut :

Struktur siproheptadin

Farmakologi.

Siproheptadin merupakan antagonis histamin (H1) dan serotonin


yang kuat. Siproheptadin melawan efek bronkokonstriksi akibat
pemberian histamin pada marmot, dengan potensi yang menyamai atau
melampaui antihistamin yang paling kuat. Obat ini juga menghambat efek
bronkokonstriktor, stimulasi rahim dan udem oleh serotonin pada hewan
coba dengan aktivitas yang sebanding atau melebihi LSD. Selain itu
siproheptadin mempunyai aktivitas antikolinergik dan efek depresi SSP
yang lemah.

41
Siproheptadin bermanfaat untuk pengobatan alergi kulit seperti
dermatosis pruritik yang tidak teratasi dengan antihistamin. Berdasarkan
efek antiserotoninnya, obat ini digunakan pada dumping syndrome pasca
gastrektomi dan hipermotilitas usus pada karsinoid. Penggunaannya pada
karsinoid lambung berdasarkan kedua efek tersebut. Akan tetapi saat ini
oktreotida lebih disukai dalam pengobatan supresi gejala karsinoid.

Efek samping.

Yang paling menonjol ialah perasaan mengantuk. Efek samping


lain yang jarang terjadi ialah : mulut kering, anoreksia, mual, pusing
dan pada dosis tinggi dapat menyebabkan ataksia. Yang menarik
perhatian, siproheptadin sering menyebabkan berat badan bertambah,
yang pada anak-anak disertai dengan percepatan pertumbuhan.
Mekanismenya mungkin melalui perubahan pengaturan sekresi
hormon pertumbuhan. Penggunaannya dalam klinik sebagai penambah
nafsu makan diragukan.

Posologi.

Siproheptadin hidroklorida, dalam bentuk tablet 4 mg dan sirup


yang mengandung 2 mg/5 ml. Dosis dewasa : 3-4 kali sehari 4 mg dengan
dosis total tidak lebih dari 0,5 mg/kgBB.

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

42
1. Autakoid adalah zat yang dihasilkan oleh sel tertentu dalam tubuh yang
dapat menimbulkan suatu efek fisiologis.

2. Antihistamin merupakan salah satu obat yang paling banyak digunakan,


karena antihistamin adalah obat yang paling bermanfaat untuk mengatasi
penyakit alergi seperti rhinitis,urtikaria,pruritus,dan lain-lain

3. Antihistamin digolongkan menjadi 3 :

a. Antagonis reseptor Histamin H1

b. Antagonis reseptor Histamin H2

c. Obat antialergi lain lain

4. Serotonin ialah 3 ( -aminoetil)-5-hidroksiindol. Seperti histamin,


serotonin terdapat banyak pada tumbuh-tumbuhan dan hewan. Misalnya
pada vertebrata, hewan laut, moluska, artropoda, coelenterata; pada buah-
buahan misalnya nenas, pisang, buah prem dan berbagai buah yang
berkulit keras seperti kelapa, kemiri dan sebagainya. Juga terdapat pada
sengatan lebah dan kalajengking.

5. Antiserotonin :

a. Siproheptadin

b. Metisergid

c. Ketanserin

DAFTAR PUSTAKA

43
1. Ganiswarna G. Sulistyo.1995. FARMAKOLOGI dan TERAPI. Edisi 4. Gaya
Baru : Jakarta.

2. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Penerbit EGC.

3. Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokeran


Universitas Sriwijaya. 2004. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Edisi 2. Jakarta.
Penerbit EGC.

4. Tjay, T. H. & Rahardja, K. 2007. Obat-obat Penting. Jakarta: PT Elex


Media Komputindo.

44

Anda mungkin juga menyukai