spesies kristalin dengan perbedaan kisi internal. Stabilitas kimia, sifat prosessing atau
ketersediaan hayati berubah akibat polimorfisme.
Senyawa organik maupun senyawa anorganik yang memiliki minimal dua bentuk
kristal yang berbeda dalam bentuk padatnya disebut bentuk polimorfisme. Bentuk
polimorfisme ini pada umunya dibedakan atas dua golongan yaitu:
1. Bentuk stabil
2. Bentuk meta stabil
Bentuk stabil lebih dikenal sebagai bentuk “kristal”, sedangkan bentuk amorf pada
umunya tidak dalam bentuk metastabil yang lebih populer dengan sebutan bentuk “amorf”.
Bentuk amorf ini tidak dalam bentuk stabil karena pada proses pembuatan atau pada proses
penyimpanannya dapat berubah menjadi bentuk kristal yang lebih stabil. Perubahan bentuk
amorf menjadi bentuk kristal dapat disebabkan oleh beberapa faktor suhu, dan tekanan dalam
waktu cepat atau lambat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam pemilihan bahan zat
berkhasiat yang berupa amorf perlu diperhatikan apakah bentuk kristal pada awalnya. Sebab
apabila pemilihan tersebut terjadi kekeliruan dalam pemilihan bentuk-bentuk tersebut dapat
menyebabkan tidak stabilnya sedian farmasi yang dihasilkan.
Walaupun bentuk amorf pada umunya mudah larut, sehingga akan diperoleh
bioavailablitas yang lebih besar dibandingkan dengan bentuk kristal yang stabil, tetapi oleh
karena itu sifatnya mudah mengalami perubahan bentuk menjdai bentuk yang stabil, maka
disarankan untuk tidak menggunkan bentuk kristal amorf dalam sediaan farmasi.
Perbedaan antara bentuk amorf dengan bentuk kristal adalah pada perbedaan dalam
bentuk kelarutan, titik leleh dan pola difraksi sinar x-nya. Ada beberapa senyawa yang
memiliki bnetuk polimorfisme yang dikenal adalah kortison asetat dengan empat bentuk
polimorfi, dimana satu bentuk diantaranya stabil dalam media cair. Kloramfenikol palmitat
dengan bentuk polimorfik dengan satu bentuk stabil dalam media cair dan lain-lain.
Untuk mengetahui bentuk polimerfik suatu bahan berkhasiat atau bahan pembantu
dapat digunakan salah satu dari beberapa cara sebagai berikut:
1. Disolusi, pengamatan terhadap bentuk amorf yang memiliki kecepatan disolusi lebih
besar.
2. Difraksi sinar X, setiap bentuk kristal memiliki susunan kisi kristal yang berbeda dan
perbedaan tersebut akan tampak dalam perbedaan spektra sinar X.
3. Analisa inframerah, adanya perbedaan pada penyusunan kristal akan berpengaruh terhadap
energi ikatan molekul sehingga akan berpengaruh pula terhadap spektra inframerahnya.
4. Differential Scanning Colorimetry and Differenstial thermal analysis.
Perubahan satu bentuk polimorfik menjadi bentuk lainnya, juga akan melibatkan
perubahan energi dimana panas yang terbentuk dideteksi oleh alat tersebut.
Perbedaan utama dari solida dan bentuk fisik lain adalah apakah padatan berbentuk
kristalin atau amorf. Pada karakterisasi Kristal,atom dan molekul ditetapkan secara berulang
dalam susunan tiga dimensi,sedangkan pada bentuk amorf, atom atau molekul tersusun secara
acak seperti dalam suatu cairan.
Semua bentuk amorf dan bentuk kristalin akan dikonversi menjadi bentuk kristalin
stabil. Polimorf menstabilkan akan dikonversi menjadi bentuk stabil secara pelahan-lahan atau
secara cepat (bergantung zatnya), dan ini merupakan hal yang sangat penting dalam farmasi
adalah bentuk yang cukup stabil untuk menjamin usia guna-sediaan dan ketersediaan hayati.
Telah diketahui bahwa simetidin memiliki tiga bentuk polimorf A, B dan C. Pada
umumnya energi termal atau tribomekanik akan mengubah polimorf simetidin. Dalam hal ini,
transformasi polimorfik tersebut akan diikuti melalui perubahan disolusi. Polimorf simetidin
dihasilkan melalui metode rekristalisai dari berbagai pelarut yang berbeda. Karakterisasi
dengan menggunakan DSC, difraktometer Sinar-X serbuk, dan mikroskop electron (SEM).
Penggilingan bahan baku dan polimorf simetidin selama 30. 60, 90, 120, dan 150 menit diikuti
dengan uji disolusinya. Transformasi polimorfik terjadi pada polimorf C menjadi bentuk stabil
, sedangkan polimorf A dan B masing masing masih dalam bentuk stabil. Polimorf A, B, dan
C masing masing menunjukkan crystal habit dan difraktogram yang berbeda. Produk
penggilingan bahan baku, A, B, dan C menunjukkan habit yang mirip. Profil disolusi
menunjukkan bahwa hasil penggilingan bentuk murni dan polimorf simetidin tidak
meningkatkan laju disolusi tetapi bahkan menurunkan. Dapat disimpulkan bahwa polimorf A
merupakan bentuk yang paling stabil di antara bentuk polimorf simetidin diikuti B dan C.
Dalam profil disolusi, polimorf C menunjukkan laju disolusi terendah dan penggilingan tidak
meningkatkan laju disolusi simetidin. Dengan demikian dalam pemilihan bahan baku simetidin
diperlukan pemahaman terhadap polimorf yang sebaiknya digunakan dengan tujuan untuk
memperoleh sediaan yang baik.
Bentuk kristal natrium diklofenak adalah monoklin jika di rekristalisasi dan diuapkan perlajan
atau dari aseton. Bentuk lainnya adalah orthorombus hasil rekristalisasi dari metanol panas
yang diuapkan perlahan. Bentuk pseudo-polimorfismenya adalah diklofenak natrium
tetrahidrat dan pentahidrat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Goeswin Agoes. 2008. Pengembangan Sediaan Farmasi. ITB : Bandung
2. Soewandi, Sunandi Nurono. 2007. Polimorfisme Diklofenak Natrium. J.Sains Tek. Far.,
12(1)2007.
3. Fadholi, A. 2013. Disolusi dan Pelepasan Obat in Vitro Hal. 2; 60-61. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.