Anda di halaman 1dari 33

PATOFISIOLOGI

RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI


BAKTERI, VIRUS, ALERGEN, DAN PARASIT

OLEH KELOMPOK 6 :
1. IDA AYU MADE NAMAYANTI (P07120019046)
2. WAYAN YULI (P07120019061)
3. NI KOMANG AYU TIARA DEWI (P07120019071)
4. NI KADEK LARAS (P07120019073)
5. I MADE KARTEDI PUTRA (P07120019078)

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
2019/2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,karena telah
melimpahkan rahmatNya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga
makalah“respon imun terhadap infeksi” ini bisa selesai pada waktunya.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna,sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat
membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik.

Denpasar,23 april 2020

Kelompok 6

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...............................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................4
1.3 Tujuan............................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Respon Imun Terhadap Infeksi Bakteri.........................................................5
2.2 Patogenesis Infeksi Virus…………………………………….………….11
2.3 Respon Imun Terhadap Infeksi Virus............................................................14
2.4 Respon Imun Terhadap Infeksi Alergen........................................................19
2.5 Respon Imun Terhadap Infeksi Parasit………………...........................24

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan ...................................................................................................32
3.2 Saran..............................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................33

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Imonologi atau Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama
penyakit infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam
resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel,
molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respons imun.
Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap
bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup.
Mikroba dapat hidup ekstraseluler, melepas enzim dan menggunakan
makanan yang banyak mengandung gizi yang diperlukannya. Mikroba lain
menginfeksi sel pejamu dan berkembang biak intraseluler dengan menggunakan
sumber energi sel pejamu. Baik mikroba ekstraseluler maupun intraseluler dapat
menginfeksi subyek lain, menimbulkan penyakit dan kematian, tetapi banyak
juga yang tidak berbahaya bahkan berguna untuk pejamu. Pertahanan imun
terdiri atas sistem imun alamiah atau nonspesifik (nature innate/ native) dan
didapat atau spesifik (adaptive/ acquired).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana respon imun terhadap infeksi bakteri?
2. Bagaimana patogenesis masuknya virus?
3. Bagaimana respon imun terhadap infeksi virus?
4. Bagaimana respon imun terhadap infeksi alergen?
5. Bagaimana respon imun terhadap infeksi parasit?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana respon imun terhadap infeksi bakteri
2. Untuk mengetahui patogenesi masuknya virus
3. Untuk mengetahui bagaimana respon imun terhadap infeksi virus
4. Untuk mengetahui bagaimana respon imun terhadap infeksi alergen
5. Untuk mengetahui bagaimana respon imun terhadap infeksi parasit

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Respon imun terhadap infeksi Bakteri


Sistem imun merupakan sistem koordinasi respons biologik yang
bertujuan melindungi integritas dan identitas individu serta mencegah invasi
organisme dan zat yang berbahaya di lingkungan yang dapat merusak dirinya.
Sistem imun mempunyai sedikitnya 3 fungsi utama. Yang pertama
adalah suatu fungsi yang sangat spesifik yaitu kesanggupan untuk mengenal dan
membedakan berbagai molekul target sasaran dan juga mempunyai respons yang
spesifik. Fungsi kedua adalah kesanggupan membedakan antara antigen diri dan
antigen asing. Fungsi ketiga adalah fungsi memori yaitu kesanggupan melalui
pengalaman kontak sebelumnya dengan zat asing patogen untuk bereaksi lebih
cepat dan lebih kuat daripada kontak pertama.
A. Mekanisme Imunitas terhadap Antigen yang Berbahaya.
Ada beberapa mekanisme pertahanan tubuh dalam mengatasi agen
yang berbahaya di lingkungannya yaitu:
a. Pertahanan fisik dan kimiawi
Kulit, sekresi asam lemak dan asam laktat melalui kelenjar keringat dan
sebasea, sekresi lendir, pergerakan silia, sekresi airmata, air liur, urin,
asam lambung serta lisosim dalam airmata.
b. Simbiosis dengan bakteri flora normal yang memproduksi zat yang dapat
mencegah invasi mikroorganisme seperti laktobasilus pada epitel organ.
c. Innate immunity.
d. Imunitas spesifik yang didapat.
B. Innate Immunity
Merupakan mekanisme pertahanan tubuh nonspesifik yang mencegah
masuknya dan menyebarnya mikroorganisme dalam tubuh serta mencegah
terjadinya kerusakan jaringan. Ada beberapa komponen innate immunity
yaitu :
a. Pemusnahan bakteri intraselular oleh sel polimorfonuklear (PMN) dan
makrofag.

5
b. Aktivasi komplemen melalui jalur alternatif.
c. Degranulasi sel mast yang melepaskan mediator inflamasi.
d. Protein fase akut: C-reactive protein (CRP) yang mengikat
mikroorganisme, selanjutnya terjadi aktivasi komplemen melalui jalur
klasik yang menyebabkan lisis mikroorganisme.
e. Produksi interferon alfa (IFN α) oleh leukosit dan interferon beta (IFN β)
oleh fibroblast yang mempunyai efek antivirus.
f. Pemusnahan mikroorganisme ekstraselular oleh sel natural killer (sel NK)
melalui pelepasan granula yang mengandung perforin.
g. Pelepasan mediator eosinofil seperti major basic protein (MBP) dan
protein kationik yang dapat merusak membran parasit.
C. Imunitas Spesifik
Imunitas Spesifik didapat bila mikroorganisme dapat melewati
pertahanan nonspesifik/innate immunity, maka tubuh akan membentuk
mekanisme pertahanan yang lebih kompleks dan spesifik. Mekanisme
imunitas ini memerlukan pengenalan terhadap antigen lebih dulu. Mekanisme
imunitas spesifik ini terdiri dari:
a. Imunitas humoral Produksi
antibodi spesifik oleh sel limfosit B (T dependent dan non T dependent).
b. Cell mediated immunity (CMI)
Sel limfosit T berperan pada mekanisme imunitas ini melalui:
a) Produksi sitokin serta jaringan interaksinya.
b) Sel sitotoksik matang di bawah pengaruh interleukin 2(IL-2) dan
interleukin 6(IL-6).
D. Prosesi dan Presentasi Antigen
Respons imun tubuh dipicu oleh masuknya antigen/ mikroorganisme
ke dalam tubuh dan dihadapi oleh sel makrofag yang selanjutnya akan
berperan sebagai antigen presenting cell (APC). Sel ini akan menangkap
sejumlah kecil antigen dan diekspresikan ke permukaan sel yang dapat
dikenali oleh sel limfosit T penolong (Th atau T helper). Sel Th ini akan
teraktivasi dan (selanjutnya sel Th ini) akan mengaktivasi limfosit lain seperti
sel limfosit B atau sel limfosit T sitotoksik. Sel T sitotoksik ini kemudian

6
berpoliferasi dan mempunyai fungsi efektor untuk mengeliminasi antigen.
Setiap prosesi ini sel limfosit dan sel APC bekerja sama melalui kontak
langsung atau melalui sekresi sitokin regulator. Sel-sel ini dapat juga
berinteraksi secara simultan dengan sel tipe lain atau dengan komponen
komplemen, kinin atau sistem fibrinolitik yang menghasilkan aktivasi fagosit,
pembekuan darah atau penyembuhan luka. Respons imun dapat bersifat lokal
atau sistemik dan akan berhenti bila antigen sudah berhasil dieliminasi
melalui mekanisme kontrol.
E. Peran Major Histocompatibility Antigen (MHC)
Telah disebutkan di atas bahwa respons imun terhadap sebagian besar
antigen hanya dimulai bila antigen telah ditangkap dan diproses serta
dipresentasikan oleh sel APC. Oleh karena itu sel T hanya mengenal
imunogen yang terikat pada protein MHC pada permukaan sel lain. Ada 2
kelas MHC yaitu:
a. Protein MHC kelas I. Diekspresikan oleh semua tipe sel somatik dan
digunakan untuk presentasi antigen kepada sel TCD8 yang sebagian besar
adalah sel sitotoksik. Hampir sebagian besar sel mempresentasikan antigen
ke sel T sitotoksik (sel Tc) serta merupakan target/sasaran dari sel Tc
tersebut.
b. Protein MHC kelas II. Diekspresikan hanya oleh makrofag dan beberapa
sel lain untuk presentasi antigen kepada sel TCD4 yang sebagian besar
adalah sel T helper (Th). Aktivasi sel Th ini diperlukan untuk respons
imun yang sesungguhnya dan sel APC dengan MHC kelas II merupakan
poros penting dalam mengontrol respons imun tersebut.
F. Respons Imun terhadap Bakteri Ekstraselular
Bakteri ekstraselular dapat menimbulkan penyakit melalui beberapa
mekanisme yaitu:
a. Merangsang reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi jaringan di
tempat infeksi. Sebagai contoh misalnya kokus piogenik yang sering
menimbulkan infeksi supuratif yang hebat.
b. Produksi toksin yang menghasilkan berbagai efek patologik. Toksin dapat
berupa endotoksin dan eksotoksin. Endotoksin yang merupakan komponen

7
dinding bakteri adalah suatu lipopolisakarida yang merupakan stimulator
produksi sitokin yang kuat, suatu ajuvan serta activator poliklonal sel
limfosit B. Sebagian besar eksotoksin mempunyai efek sitotoksik dengan
mekanisme yang belum jelas benar. Sebagai contoh toksin difteri
menghambat sintesis protein secara enzimatik serta menghambat faktor
elongasi-2 yang diperlukan untuk sintesis semua peptida. Toksin kolera
merangsang sintesis AMP siklik (cAMP) oleh sel epitel usus yang
menyebabkan sekresi aktif klorida, kehilangan cairan serta diare yang
hebat. Toksin tetanus merupakan suatu neurotoksin yang terikat motor
endplate pada neuromuscular junction yang menyebabkan kontraksi otot
persisten yang sangat fatal bila mengenai otot pernapasan. Toksin
klostridium dapat menyebabkan nekrosis jaringan yang dapat
menghasilkan gas gangren. Respons imun terhadap bakteri ekstraselular
ditujukan untuk eliminasi bakteri serta netralisasi efek toksin.
G. Imunitas Alamiah terhadap Bakteri Ekstraselular
Respons imun alamiah terhadap bakteri ekstraselular terutama melalui
mekanisme fagositosis oleh neutrofil, monosit serta makrofag jaringan.
Resistensi bakteri terhadap fagositosis dan penghancuran dalam makrofag
menunjukkan virulensi bakteri. Aktivasi komplemen tanpa adanya antibodi
juga memegang peranan penting dalam eliminasi bakteri ekstraselular.
Lipopolisakarida (LPS) dalam dinding bakteri gram negatif dapat
mengaktivasi komplemen jalur alternatif tanpa adanya antibodi. Salah satu
hasil aktivasi komplemen ini yaitu C3b mempunyai efek opsonisasi bakteri
serta meningkatkan fagositosis. Selain itu terjadi lisis bakteri melalui
membrane attack complex (MAC) serta beberapa hasil sampingan aktivasi
komplemen dapat menimbulkan respons inflamasi melalui pengumpulan
(recruitment) serta aktivasi leukosit.
Endotoksin yang merupakan LPS merangsang produksi sitokin oleh
makrofag serta sel lain seperti endotel vaskular. Beberapa jenis sitokin
tersebut antara lain tumour necrosis factor (TNF), IL-1, IL-6 serta beberapa
sitokin inflamasi dengan berat molekul rendah yang termasuk golongan IL-8.

8
Fungsi fisiologis yang utama dari sitokin yang dihasilkan oleh
makrofag adalah merangsang inflamasi non-spesifik serta meningkatkan
aktivasi limfosit spesifik oleh antigen bakteri. Sitokin akan menginduksi
adhesi neutrofil dan monosit pada endotel vaskular pada tempat infeksi yang
diikuti migrasi, akumulasi lokal serta aktivasi sel inflamasi. Kerusakan
jaringan yang terjadi adalah akibat efek samping mekanisme pertahanan
untuk eliminasi bakteri tersebut. Sitokin juga merangsang demam dan sintesis
protein fase akut. Banyak fungsi sitokin yang sama yaitu sebagai ko-
stimulator sel limfosit T dan B yang menghasilkan mekanisme amplifikasi
untuk imunitas spesifik. Sitokin dalam jumlah besar atau produknya yang
tidak terkontrol dapat membahayakan tubuh serta berperan dalam menifestasi
klinik infeksi bakteri ekstraselular. Yang paling berat adalah gejala klinis oleh
infeksi bakteri Gram-negatif yang menyebabkan disseminated intravascular
coagulation (DIC) yang progresif serta syok septik atau syok endotoksin.
Sitokin TNF adalah mediator yang paling berperan pada syok endotoksin ini.
H. Imunitas Spesifik terhadap Bakteri Ekstraselular
Kekebalan humoral mempunyai peran penting dalam respons
kekebalan spesifik terhadap bakteri ekstraselular. Lipopolisakarida
merupakan komponen yang paling imunogenik dari dinding sel atau kapsul
mikroorganisme serta merupakan antigen yang thymus independent. Antigen
ini dapat langsung merangsang sel limfosit B yang menghasilkan
imunoglobin (Ig)M spesifik yang kuat. Selain itu produksi IgG juga
dirangsang yang mungkin melalui mekanisme perangsangan isotype
switching rantai berat oleh sitokin.
Respons sel limfosit T yang utama terhadap bakteri ekstraselular
melalui sel TCD4 yang berhubungan dengan molekul MHC kelas II yang
mekanismenya telah dijelaskan di atas. Sel TCD4 berfungsi sebagai sel
penolong untuk merangsang pembentukan antibodi, aktivasi fungsi fagosit
dan mikrobisid makrofag.
Ada 3 mekanisme efektor yang dirangsang oleh IgG dan IgM serta
antigen permukaan bakteri :

9
a. Opsonisasi bakteri oleh IgG serta peningkatan fagositosis dengan
mengikat reseptor Fc_ pada monosit, makrofag dan neutrofil. Antibodi
IgG dan IgM mengaktivasi komplemen jalur klasik yang menghasilkan
C3b dan iC3b yang mengikat reseptor komplemen spesifik tipe 1 dan tipe
3 dan selanjutnya terjadi peningkatan fagositosis. Pasien defisiensi C3
sangat rentan terhadap infeksi piogenik yang hebat.
b. Netralisasi toksin bakteri oleh IgM dan IgG untuk mencegah penempelan
terhadap sel target serta meningkatkan fagositosis untuk eliminasi toksin
tersebut.
c. Aktivasi komplemen oleh IgM dan IgG untuk menghasilkan mikrobisid
MAC serta pelepasan mediator inflamasi akut.
I. Respons Imun terhadap Bakteri Intraselular
Sejumlah bakteri dan semua virus serta jamur dapat lolos dan
mengadakan replikasi di dalam sel pejamu. Yang paling patogen di antaranya
adalah yang resisten terhadap degradasi dalam makrofag. Sebagai contoh
adalah mikrobakteria serta Listeria monocytogenes.
J. Imunitas Alamiah terhadap Bakteri Intraselular
Mekanisme terpenting imunitas alamiah terhadap mikroorganisme
intraselular adalah fagositosis. Akan tetapi bakteri patogen intraselular relatif
resisten terhadap degradasi dalam sel fagosit mononuklear. Oleh karena itu
mekanisme kekebalan alamiah ini tidak efektif dalam mencegah penyebaran
infeksi sehingga sering menjadi kronik dan eksaserbasi yang sulit diberantas.
K. Respons Imun Spesifik terhadap Bakteri Intraselular
Respons imun spesifik terhadap bakteri intraselular terutama
diperankan oleh cell mediated immunity (CMI). Mekanisme imunitas ini
diperankan oleh sel limfosit T tetapi fungsi efektornya untuk eliminasi bakteri
diperani oleh makrofag yang diaktivasi oleh sitokin yang diproduksi oleh sel
T terutama interferon α (IFN α). Respons imun ini analog dengan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat.
Antigen protein intraselular merupakan stimulus kuat sel limfosit T.
Beberapa dinding sel bakteri mengaktivasi makrofag secara langsung

10
sehingga mempunyai fungsi sebagai ajuvan. Misalnya muramil dipeptida
pada dinding sel mikrobakteria.
Telah disebutkan di atas bahwa fungsi sel limfosit T pada CMI adalah
produksi sitokin terutama IFN α. Sitokin INF α ini akan mengaktivasi
makrofag termasuk makrofag yang terinfeksi untuk membunuh bakteri.
Beberapa bakteri ada yang resisten sehingga menimbulkan stimulasi antigen
yang kronik. Keadaan ini akan menimbulkan pengumpulan lokal makrofag
yang teraktivasi yang membentuk granuloma sekeliling mikroorganisme
untuk mencegah penyebarannya. Reaksi inflamasi seperti ini berhubungan
dengan nekrosis jaringan serta fibrosis yang luas yang menyebabkan
gangguan fungsi yang berat. Jadi kerusakan jaringan ini disebabkan terutama
oleh respons imun terhadap infeksi oleh beberapa bakteri intraselular. Contoh
yang jelas dalam hal ini adalah infeksi mikobakterium. Mikobakterium tidak
memproduksi toksin atau enzim yang secara langsung merusak jaringan yang
terinfeksi. Paparan pertama terhadap Mycobacterium tuberculosis akan
merangsang inflamasi selular lokal dan bakteri mengadakan proliferasi dalam
sel fagosit. Sebagian ada yang mati dan sebagian ada yang tinggal dormant.
Pada saat yang sama, pada individu yang terinfeksi terbentuk imunitas sel T
yang spesifik. Setelah terbentuk imunitas, reaksi granulomatosa dapat terjadi
pada lokasi bakteri persisten atau pada paparan bakteri berikutnya. Jadi
imunitas perlindungan dan reaksi hipersensitif yang menyebabkan kerusakan
jaringan adalah manifestasi dalam respons imun spesifik yang sama.

2.2 Patogenesis Infeksi Virus


Patogenesis virus merupakan suatu tahapan akhir terjadinya penyakit
setelah infeksi virus. Patogenesis virus ini berakibat timbulnya suatu penyakit
klinis atau subklinis (tidak bergejala) yang merupakan hasil interaksi antara
beberapa faktor antara virus dan inang.Infeksi berbeda dengan penyakit, dan
kapasitas bakteri menyebabkan penyakit tergantung pada patogenitasnya.
Adapun tahapan patogenitas infeksi virus, sebagai berikut :

11
a. Masuk ke Host(Port d’entree)
Tahap pertama pada infeksi virus, terlepas dari apakah virus adalah
patogen atau tidak. Dalam kasus infeksi patogen, tempat masuk dapat
mempengaruhi gejala penyakit yang dihasilkan. Infeksi dapat terjadi melalui :
a) Kulit – sel mati, sehingga tidak dapat mendukung replikasi virus.
Kebanyakan virus yang menginfeksi melalui kulit memerlukan
pelanggaran dalam integritas fisik penghalang ini efektif, misalnya luka
atau lecet. Banyak virus menggunakan vektor, misalnya kutu, nyamuk atau
kelelawar vampir melanggar penghalang.
b) Saluran pernapasan – Berbeda dengan kulit, saluran pernapasan dan semua
permukaan mukosa lainnya memiliki mekanisme pertahanan kekebalan
tubuh yang canggih, serta mekanisme penghambatan non-spesifik (epitel
bersilia, sekresi lendir, suhu yang lebih rendah) yang harus mengatasi
virus.
c) Saluran pencernaan – lingkungan yang tidak bersahabat, asam lambung,
garam empedu, dll
d) Kemih saluran – relatif kurang bermusuhan dari atas, namun lebih jarang
terkena virus asing.
e) Konjungtiva – sebuah situs terbuka dan relatif terlindungi
f) Plasenta – Virus mencapai plasenta jika ibu mengalami viremia. Virus
dapat berkembang biak dahulu dalam plasenta atau langsung masuk ke
janin. Kelainan yang terjadi tergantung dari jenis virus dan usia kehamilan.
Contoh dari virus ini adalah virus rubella, cytomegalo virus dan kadang-
kadang virus varicela.
b. Replikasi Primer
Setelah mendapatkan masuk ke host potensial, virus harus memulai
infeksi dengan memasukkan sel rentan. Hal ini sering menentukan apakah
infeksi akan tetap terlokalisasi di tempat masuk atau menyebar menjadi
infeksi sistemik.
c. Menyebarkan Sepanjang Host
Terlepas dari kontak sel-sel langsung, ada 3 mekanisme utama untuk
menyebar ke seluruh host :

12
a) Melalui aliran darah
Virus dapat masuk ke aliran darah dengan inokulasi langsung –
misalnya Vektor arthropoda, transfusi darah atau I.V. penyalahgunaan
narkoba. Virus dapat bepergian bebas di plasma (togaviruses, Enterovirus),
atau dalam hubungan dengan sel darah merah (Orbiviruses), platelet
(HSV), limfosit (EBV, CMV) atau monosit (Lentivirus). Viremia primer
biasanya berlangsung dan diperlukan untuk menyebar ke aliran darah,
diikuti oleh lebih umum, viremia sekunder titer tinggi sebagai virus
mencapai jaringan target lain atau ulangan langsung di dalam sel darah.
b) Melalui aliran saraf
Seperti di atas, menyebar ke sistem saraf didahului oleh viremia
primer. Dalam beberapa kasus, penyebaran terjadi secara langsung melalui
kontak dengan neuron di lokasi utama infeksi, dalam kasus lain melalui
aliran darah. Setelah di saraf perifer, virus dapat menyebar ke SSP dengan
transportasi aksonal sepanjang neuron (classic – HSV). Virus bisa
menyeberang sambungan sinaptik karena ini sering mengandung reseptor
virus, memungkinkan virus untuk melompat dari satu sel ke sel lainnya.
c) Menyeberang melalui jaringan
d. Selular / Tissue Tropisme
Tropisme – kemampuan virus untuk bereplikasi dalam sel tertentu
atau jaringan – dikendalikan sebagian oleh rute infeksi tetapi sebagian besar
oleh interaksi protein lampiran virus (VAP) dengan molekul reseptor spesifik
pada permukaan sel, dan memiliki pengaruh yang besar pada patogenesis.
Banyak V.A.P. ‘s dan reseptor virus yang sekarang dikenal.
b. Tuan Respon Kekebalan Tubuh
Dibahas di tempat lain – jelas memiliki dampak yang besar pada hasil
infeksi.
c. Replikasi Sekunder
Terjadi pada infeksi sistemik ketika virus mencapai jaringan lain di
mana ia mampu replikasi, misalnya Virus polio (usus epitel – neuron di otak
& sumsum tulang belakang) atau Lentivirus (makrofag – CNS + jaringan

13
lainnya). Jika virus dapat dicegah dari jaringan luas di mana replikasi
sekunder dapat terjadi, umumnya tidak ada hasil penyakit.
d. Cell / Kerusakan Jaringan
Virus dapat mereplikasi secara luas di seluruh tubuh tanpa gejala
penyakit jika mereka tidak menyebabkan kerusakan sel yang signifikan atau
kematian. Retrovirus umumnya tidak menyebabkan kematian sel,
dibebaskan dari sel dengan tunas bukan oleh lisis sel, dan menyebabkan
infeksi persisten, bahkan yang lulus secara vertikal kepada keturunannya jika
mereka menginfeksi garis kuman. (Semua genom vertebrata termasuk
manusia yang diisi dengan genom retrovirus yang telah bersama kami
selama jutaan tahun). Sebaliknya, picornavirus menyebabkan lisis dan
kematian sel-sel di mana mereka meniru, menyebabkan demam dan
peningkatan sekresi lendir dalam kasus Rhinoviruses, kelumpuhan atau
kematian (biasanya karena kegagalan pernapasan) untuk Virus polio.

Dua mekanisme memungkinkan virus influenza untuk mengubah konstitusi


antigeniknya
1. Antigenik Drift: akumulasi bertahap mutasi kecil (misalnya substitusi
nukleotida) dalam genom virus yang mengakibatkan halus diubah coding
potensial dan karena itu diubah antigenisitas, yang mengakibatkan penurunan
pengakuan oleh sistem kekebalan tubuh. Proses ini terjadi pada semua virus
sepanjang waktu, tetapi pada tingkat yang sangat berbeda, misalnya RNA
virus => virus DNA. Sebagai tanggapan, sistem kekebalan tubuh selalu
beradaptasi dengan pengakuan dan respon terhadap struktur antigenik baru –
tetapi selalu satu langkah di belakang. Namun dalam banyak kasus, sistem
kekebalan tubuh akhirnya mampu mengalahkan virus, sehingga izin.
2. Antigenik Shift: Apakah perubahan mendadak dan besar dalam antigenisitas
dari virus karena rekombinasi genom virus dengan genom lain tipe antigenik
yang berbeda. Proses ini menghasilkan awalnya dalam kegagalan sistem
kekebalan tubuh untuk mengenali jenis antigen baru, memberikan virus di
atas angin.

14
2.3 Respon Imun Terhadap Infeksi Virus

A. Respons Imun Nonspesifik Terhadap Infeksi Virus

Secara jelas terlihat bahwa respons imun yang terjadi adalah


timbulnya interferon dan sel natural killler (NK) dan antibodi yang spesifik
terhadap virus tersebut. Pengenalan dan pemusnahan sel yang terinfeksi
virus sebelum terjadi replikasi sangat bermanfaat bagi pejamu. Permukaan
sel yang terinfeksi virus mengalami modifikasi, terutama dalam struktur
karbohidrat, menyebabkan sel menjadi target sel NK. Sel NK mempunyai
dua jenis reseptor permukaan. Reseptor pertama merupakan killer activating
receptors, yang terikat pada karbohidrat dan struktur lainnya yang
diekspresikan oleh semua sel. Reseptor lainnya adalah killer inhibitory
receptors, yang mengenali molekul MHC kelas I dan mendominasi signal
dari reseptor aktivasi. Oleh karena itu sensitivitas sel target tergantung pada
ekspresi MHC kelas I. Sel yang sensitif atau terinfeksi mempunyai MHC
kelas I yang rendah, namun sel yang tidak terinfeksi dengan molekul MHC
kelas I yang normal akan terlindungi dari sel NK. Produksi IFN-α selama
infeksi virus akan mengaktivasi sel NK dan meregulasi ekspresi MHC pada
sel terdekat sehingga menjadi resisten terhadap infeksi virus. Sel NK juga
dapat berperan dalam ADCC bila antibodi terhadap protein virus terikat
pada sel yang terinfeksi.
Beberapa mekanisme utama respons nonspesifik terhadap virus, yaitu :
a. Infeksi virus secara langsung yang akan merangsang produksi IFN oleh
sel-sel terinfeksi; IFN berfungsi menghambat replikasi virus
b. Sel NK mampu membunuh virus yang berada di dalam sel, walaupun
virus menghambat presentasi antigen dan ekspresi MHC klas I. IFN tipe I
akan meningkatkan kemampuan sel NK untuk memusnahkan virus yang

15
berada di dalam sel. Selain itu, aktivasi komplemen dan fagositosis akan
menghilangkan virus yang datang dari ekstraseluler dan sirkulasi.

B. Respons Imun Spesifik Terhadap Infeksi Virus

Mekanisme respons imun spesifik ada dua jenis yaitu respons


imunitas humoral dan selular. Respons imun spesifik ini mempunyai peran
penting yaitu :
a. Menetralkan antigen virus dengan berbagai cara antara lain menghambat
perlekatan virus pada reseptor yang terdapat pada permukaan sel
sehingga virus tidak dapat menembus membran sel, dan dengan cara
mengaktifkan komplemen yang menyebabkan agregasi virus sehingga
mudah difagositosis
b. Melawan virus sitopatik yang dilepaskan dari sel yang lisis.

Molekul antibodi dapat menghambat kombinasi virus dengan


reseptor pada sel, sehingga mencegah penetrasi dan multiplikasi intraseluler,
seperti pada virus influenza. Antibodi juga dapat menghancurkan partikel
virus bebas melalui aktivasi jalur klasik komplemen atau produksi agregasi ,
meningkatkan fagositosis dan kematian intraseluler.

Kadar konsentrasi antibodi yang relatif rendah juga dapat


bermanfaat khususnya pada infeksi virus yang mempunyai masa inkubasi
lama, dengan melewati aliran darah terlebih dahulu sebelum sampai ke
organ target, seperti virus poliomielitis yang masuk melalui saluran cerna,
melalui aliran darah menuju ke sel otak. Di dalam darah, virus akan
dinetralisasi oleh antibodi spesifik dengan kadar yang rendah, memberikan

16
waktu tubuh untuk membentuk resposn imun sekunder sebelum virus
mencapai organ target.

Infeksi virus lain, seperti influenza dan common cold, mempunyai


masa inkubasi yang pendek, dan organ target virus sama dengan pintu
masuk virus. Waktu yang dibutuhkan respons antibodi primer untuk
mencapai puncaknya menjadi terbatas, sehingga diperlukan produksi cepat
interferon untuk mengatasi infeksi virus tersebut. Antibodi berfungsi
sebagai bantuan tambahan pada fase lambat dalam proses penyembuhan.
Namun, kadar antibodi dapat meningkat pada cairan lokal yang terdapat di
permukaan yang terinfeksi, seperti mukosa nasal dan paru. Pembentukan
antibodi antiviral, khususnya IgA, secara lokal menjadi penting untuk
pencegahan infeksi berikutnya. Namun hal ini menjadi tidak bermanfaat
apabila terjadi perubahan antigen virus.

Virus menghindari antibodi dengan cara hidup intraseluler. Antibodi


lokal atau sistemik dapat menghambat penyebaran virus sitolitik yang
dilepaskan dari sel pejamu yang terbunuh, namun antibodi sendiri tidak
dapat mengontrol virus yang melakukan budding dari permukaan sel
sebagai partikel infeksius yang dapat menyebarkan virus ke sel terdekat
tanpa terpapar oleh antibodi, oleh karena itu diperlukan imunitas seluler.

Respons imunitas seluler juga merupakan respons yang penting


terutama pada infeksi virus nonsitopatik. Respons ini melibatkan sel T
sitotoksik yang bersifat protektif, sel NK, ADCC dan interaksi dengan MHC
kelas I sehingga menyebabkan kerusakan sel jaringan. Dalam respons
infeksi virus pada jaringan akan timbul IFN (IFN-a dan IFN-b) yang akan
membantu terjadinya respons imun yang bawaan dan didapat.
Peran antivirus dari IFN cukup besar terutama IFN-a dan IFN-b.
Kerja IFN sebagai antivirus adalah :
a. Meningkatkan ekspresi MHC kelas I
b. Aktivasi sel NK dan makrofag
c. Menghambat replikasi virus

17
d. Menghambat penetrasi ke dalam sel atau budding virus dari sel yang
terinfeksi.
Limfosit T dari pejamu yang telah tersensitisasi bersifat sitotoksik
langsung pada sel yang teinfeksi virus melalui pengenalan antigen pada
permukaan sel target oleh reseptor αβ spesifik di limfosit. Semakin cepat sel
T sitotoksik menyerang virus, maka replikasi dan penyebaran virus akan
cepat dihambat.
Sel yang terinfeksi mengekspresikan peptida antigen virus pada
permukaannya yang terkait dengan MHC kelas I sesaat setelah virus masuk.
Pemusnahan cepat sel yang terinfeksi oleh sel T sitotoksik αβ mencegah
multiplikasi virus. Sel T sitotoksik γδ menyerang virus (native viral coat
protein) langsung pada sel target.Sel T yang terstimulasi oleh antigen virus
akan melepaskan sitokin seperti IFN-γ dan kemokin makrofag atau monosit.
Sitokin ini akan menarik fagosit mononuklear dan teraktivasi untuk
mengeluarkan TNF. Sitokin TNF bersama IFN-γ akan menyebabkan sel
menjadi non-permissive, sehingga tidak terjadi replikasi virus yang masuk
melalui transfer intraseluler. Oleh karena itu, lokasi infeksi dikelilingi oleh
lingkaran sel yang resisten. Seperti halnya IFN-α, IFN-γ meningkatkan
sitotoksisitas sel NK untuk sel yang terinfeksi.
Antibodi dapat menghambat sel T sitotoksik γδ melalui reaksi
dengan antigen permukaan pada budding virus yang baru mulai, sehingga
dapat terjadi proses ADCC. Antibodi juga berguna dalam mencegah
reinfeksi.
Beberapa virus dapat menginfeksi sel-sel sistem imun sehingga
mengganggu fungsinya dan mengakibatkan imunodepresi, misalnya virus
polio, influenza dan HIV atau penyakit AIDS. Sebagian besar virus
membatasi diri (self-limiting), namun sebagian lain menyebabkan gejala
klinik atau subklinik. Penyembuhan infeksi virus pada umumnya diikuti
imunitas jangka panjang. Pengenalan sel target oleh sel T sitotoksik spesifik
virus dapat melisis sel target yang mengekspresikan peptida antigen yang
homolog dengan region berbeda dari protein virus yang sama, dari protein
berbeda dari virus yang sama atau bahkan dari virus yang berbeda. Aktivasi

18
oleh virus kedua tersebut dapat menimbulkan memori dan imunitas spontan
dari virus lain setelah infeksi virus inisial dengan jenis silang. Demam
dengue dan demam berdarah dengue merupakan infeksi virus akut yang
disebabkan oleh empat jenis virus dengue. Imunitas yang terjadi cukup lama
apabila terkena infeksi virus dengan serotipe yang sama, tetapi bila dengan
serotipe yang berbeda maka imunitas yang terjadi akan berbeda. Gangguan
pada organ hati pada demam berdarah dengue telah dibuktikan dengan
ditemukannya RNA virus dengue dalam jaringan sel hati dan organ limfoid.
Virus dengue ternyata menyerang sel kupffer dan hepatosit sehingga terjadi
gangguan di hati.
2.4 Respon Imun Terhadap Infeksi Alergen
A. Definisi
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di
mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi
terhadap bahan-bahan yang umumnya non imunogenik. Dengan kata lain,
tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan
yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang
menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen. Reaksi alergi terjadi
ketika tubuh salah mengartikan zat yang masuk sebagai zat yang berbahaya.
Sejalan dengan definisi ini, alergi makanan merupakan reaksi sistem
kekebalan yang terjadi segera setelah mengonsumsi makanan tertentu. 
Bahkan sejumlah kecil makanan penyebab alergi dapat memicu tanda dan
gejala seperti masalah pencernaan, gatal-gatal atau bengkak saluran udara.
Pada beberapa orang, alergi makanan dapat menyebabkan gejala parah atau
bahkan reaksi yang mengancam nyawa yang dikenal sebagai anafilaksis.
Kadang, alergi makanan disalah artikan dengan kondisi yang lebih umum
terjadi, yaitu intoleransi terhadap makanan. Intoleransi terhadap makanan
kondisinya lebih ringan dari alergi karena tidak melibatkan sistem kekebalan
tubuh. 
B. Mekanisme Alergi
Seseorang dapat terpajan alergen dengan menghirup, menelan, atau
mendapatkan pada atau di bawah kulit. Setelah seseorang terkena alergi,

19
serangkaian kegiatan menciptakan reaksi alergi. Reaksi imunologis tubuh
mempengaruhi timbulnya alergi terhadap makanan. Reaksi ini melibatkan
imunoglobulin, yaitu protein yang membantu dalam respon kekebalan tubuh,
tepatnya Imonuglobulin E (IgE) yang membentuk respon imun tubuh. Respon
imun yang muncul dalam reaksi alergi melalui dua tahap, yaitu tahap
sensitisasi alergen dan tahap elisitasi.
a. Tahap sensitisasi
muncul ketika tubuh memproduksi antibodi IgE yang spesifik.
Tahap sensitisasi ini juga disebut dengan tahap induksi, merupakan kontak
pertama dengan alergen (yaitu ketika mengkonsumsi makanan penyebab
alergi).
b. Tahap Elisitasi
Fase elisitasi terjadi jika terdapat pajanan ulang. Ketika terpajan
dengan makanan (penyebab alergi) yang sama, protein akan mengikat
molekul di sel mediator (sel basofil dan sel mast). Tahap elisitasi ini
menyebabkan tubuh mengeluarkan molekul yang menyebabkan inflamasi
(seperti leukotrien dan histamin). Efek yang timbul serta keparahan alergi
dipengaruhi oleh konsentrasi dan tipe alergen, rute pajanan, dan sistem
organ yang terlibat (misalnya kulit, saluran cerna, saluran pernapasan, dan
darah).
Antibodi melampirkan ke bentuk sel darah yang disebut sel mast.
sel Mast dapat ditemukan di saluran udara, di usus, dan di tempat lain.
Kehadiran sel mast dalam saluran udara dan saluran pencernaan membuat
daerah ini lebih rentan terhadap paparan alergen. Mengikat alergen ke
IgE, yang melekat pada sel mast. Hal ini menyebabkan sel mast untuk
melepaskan berbagai bahan kimia ke dalam darah. Histamin, senyawa
kimia utama, menyebabkan sebagian besar gejala reaksi alergi.

20
Skema mekanisme alergi (fda.gov)
.
C. Etiologi
Faktor yang berperan dalam alergi yaitu :
a. Faktor Internal
a) Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi :
asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi
imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen
makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi
makanan tertentu.
Imaturitas usus (Ketidakmatangan Usus) Secara mekanik integritas
mukosa usus dan peristaltik merupakan pelindung masuknya alergen
ke dalam tubuh. Secara kimiawi asam lambung dan enzim pencernaan
menyebabkan denaturasi allergen. Secara imunologik sIgA pada
permukaan mukosa dan limfosit pada lamina propia dapat menangkal
allergen masuk ke dalam tubuh. Pada usus imatur system pertahanan
tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi, sehingga
memudahkan alergen masuk ke dalam tubuh.
b) Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai
janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan
dan norma kehidupan setempat. Alergi dapat diturunkan dari orang tua
atau kakek/nenek pada penderita. Bila ada orang tua, keluarga atau

21
kakek/nenek yang menederita alergi kita harus mewaspadai tanda
alergi pada anak sejak dini. Bila ada salah satu orang tua yang
menderita gejala alergi, maka dapat menurunkan resiko pada anak
sekitar 17 – 40%, Bila ke dua orang tua alergi maka resiko pada anak
meningkat menjadi 53 – 70%.
c) Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan
penyerapan alergen bertambah.
b. Fakor Eksternal
a) Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis
(sedih, stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
b) Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut
prevalensinya: ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c) Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.
c. Faktor Risiko
a) Riwayat keluarga.
Terdapat potensi menderita alergi makanan, jika banyak keluarga
yang mengalami gangguan ini. 
b) Alergi makanan masa lalu.
Pada masaanak-anak mungkin seseorang dapat mengatasi gangguan
alergi makanan, namun dalam beberapa kasus, gangguan ini kembali
di kemudian hari.
c) Alergi lain.
Jika sudah alergi terhadap satu makanan, mungkin mempunyai risiko
alergi terhadap makanan lainnya. Demikian juga, jika memiliki jenis
reaksi alergi yang lain,seperti demam atau eksim, risiko mengalami
alergi makanan lebih besar.
d) Usia.
Alergi makanan yang paling umum terjadi pada anak-anak, terutama
balita dan bayi. Ketika bertambah tua, tubuh cenderung untuk
menyerap komponen makanan atau makanan yang memicu alergi.
Untungnya, anak-anak biasanya dapat mengatasi alergi terhadap susu,

22
gandum kedelai, dan telur. Alergi parah dan alergi terhadap kacang-
kacangan dan kerang mungkin dapat diderita seumur hidup.
e) Asma.
Asma dan alergi makanan biasanya terjadi bersama-sama. Ketika
terjadi, baik alergi makanan dan atau gejala asma, bisa menjadi lebih
parah.
D. Patofisiologi
Saat  pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh 
seseorang  yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena
alergi. Namun ketika untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi
makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala timbulnya alergi pada
kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan
mengenali alergen yang masuk yang  akan memicu aktifnya sel T, dimana
sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk  mengaktifkan antibodi (Ig
E). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang
dikeluarkan oleh basofil.
Apabila seseorang mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh
alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal  yaitu,:
a. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan
efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang
misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi
peradangan yang menyebabkan panas.
b. Alergen  tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang
merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang
banyak, kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui
pembuluh darah.   Saat mereka mencapai kulit, alergen akan
menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria,
kemerahan pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru
paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang
paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini
ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan
bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian.

23
2.5 Respon Imun Terhadap Infeksi Parasit
A. Imunitas Pada Cacing
Sistem kekebalan tubuh relatif tidak efisien dalam mengendalikan
parasit cacing. Keberadaan parasite telah beradaptasi di dalam tubuh, dengan
begitu dengan adanya kebutuhan, mereka telah berevolusi untuk mengatasi
atau menghindari respon imun. Oleh karena itu parasit cacing yang patogen
tidak mengalami kesalahan adaptasi tetapi parasit obligat yang sepenuhnya
menyesuaikan hidupnya yang sangat tergantung dalam mencapai beberapa
bentuk akomodasi dengan hospes. Tidak seperti protozoa, jumlah cacing yang
ada dalam individu akan ada lebih dari jumlah cacing yang telah
mendapatkan akses kedalam hospes. Akibatnya, parasit cacingbiasanya hanya
menyebabkan penyakit ringan atau subklinis.
Keberadaan cacing menyebabkan morbiditas tapi tidak mortalitas.
Ketika cacing menyerang hospes yang mereka tidak sepenuhnya beradaptasi
biasanya walau dalam jumlah besar tidak terjadi penyakit akut. Variasi yang
sangat luas menurutjumlah parasit dalam suatu populasi hewan biasanya tidak
terdistribusi normal tetapi menunjukkan pola overdispersed. Dengan kata
lain, sebagian kecil individu mungkin sebagai tempat hidup mayoritas parasit.
Sebagian besar hewan merupakan tempat hidup beberapa cacing, tetapi
beberapa hewan sebagai tempat hidup banyak cacing. Ukuran jumlah parasit
pada hospes dikendalikan oleh faktor genetik dan oleh respon imun hospes
untuk parasit tersebut.Beberapa hewan mungkin cenderung untuk mengalami
infeksi berat sebagai akibat dari faktor genetik, perilaku, gizi, atau
lingkungan. Predisposisi ini juga mungkin mencerminkan perbedaan dalam
paparan, kerentanan, atau perlawanan.
B. Kekebalan Bawaan
Faktor bawaan yang mempengaruhi infestasi cacing tidak hanya
mencakup efek hospes yang diturunkan tetapi juga pengaruh parasit lain
dalam hospes yang sama. Kehadiran cacing dewasa di usus dapat menunda
perkembangan lebih lanjut dari tahap larva dari spesies yang sama dalam
jaringan. Misalnya, betis yang terinfeksi Sistiserkus bovis menunjukkan
peningkatan resistensi terhadap infestasi lebih lanjut oleh parasit ini.

24
Demikian pula, domba dapat memperoleh resistensi terhadap Echinococcus
granulosus sehingga dosis berganda dengan sejumlah besar telur tidak
mengakibatkan pengembangan jumlah cacing yang banyak. Dosis asli telur
dapat merangsang penolakan dosis berikutnya. Kompetisi antarspesies di
antara cacing untuk habitat yang sama dan nutrisi dalam saluran usus juga
akan mempengaruhi angka, lokasi dan komposisi jumlah cacing didalam
tubuhhewan.
Faktor bawaan hospes yang mempengaruhi jumlah cacing meliputi
usia, jenis kelamin dan yang paling penting adalah latar belakang genetik dari
hospes. Pengaruh umur dan jenis kelamin pada jumlah cacing tampaknya
sebagian besar dipengaruhi oleh hormon. Pada hewan yang memiliki siklus
seksual musiman, parasit cacing cenderung untuk menyinkronkan siklus
reproduksi mereka dengan siklus reproduksi hospes mereka. Misalnya,
domba betina menunjukkan peningkatan jumlah telur nematoda di tinja pada
musim semi, yang bertepatan dengan musim beranak dan timbulnya laktasi.
Demikian pula, perkembangan larva cacing pada sapi di awal musim dingin
cenderung dihambat sampai musim semi.fenomena ini disebut hypobiosis.
Larva Toxocara canis dapat bermigrasi dari induk yang terinfeksi dari hati ke
janin anjing, sehingga terjadi infeksi kongenital. Setelah lahir , anak anjing
yang terinfeksi dapat menginfeksi ulang ibu (induk) mereka dengan lebih
konvensional melalui rute fecal-oral.
Contoh mediasi genetik resistensi terhadap cacing terlihat
perlawanan yang unggul oleh domba dengan hemoglobin A ke Haemonchus
contortus dan Ostertagia circumcincta dibandingkan dengan domba dengan
hemoglobin B. Alasan untuk ini tidak begitu jelas, tetapi domba dengan Hb A
dapat menjagadiri lebih efektif terhadap reaksi obat dan memiliki respon
imun yang lebih baik untuk banyak antigen lain juga. Contoh lain adalah
peningkatan ketahanan terhadap Cooperia oncophora ditemukan pada sapi
Zebu dibandingkan dengan sapi Eropa. Dalam banyak kasus resistensi
terhadap parasit ini terkait dengan MHC.Dengan demikian ternak yang
memiliki BoLA-Aw7 dan A36 cenderung memiliki jumlah telur yang lebih
sedikit pada tinja, sedangkan ternak yang memiliki Aw3 cenderung memiliki

25
jumlah telur yang banyak.Beberapa BoLA haplotype juga dapat dikaitkan
dengan tingkat antibodi yang tinggi terhadap ostertagia. SLA kompleks telah
memiliki peranan tertentu pada babi kecil, dan efek dari MHC terhadap
imunitas parasit dapat dinilai dalam spesies ini. Jadi dalam suatu studi ada
50% lebih rendah jumlah larva ototTrichinella spiralis yang menginfeksi
anak babi cc dibandingkan babi dengan dd atau haplotype aa. Setiap hewan
membawa setidaknya satu salinan alel yang menunjukkan tingginya
kemampuan untuk membunuh encysted larva otot-47% dari babi yang
membawa alel yang merespon Trichinella dibandingkan dengan 8% dari babi
yang kekurangan alel ini. Tanggapan ini ditandai dengan dominasi limfosit
dan makrofag dalam reaksi selular di sekitar larva.
Tidak seperti bakteri atau protozoa, cacing parasit memiliki kutikula
ekstraseluler tebal yang melindungi membran nematoda hypodermal plasma.
Beberapa nematoda juga memiliki mantel longgar yang mereka dapat dengan
mudah mengeluarkannya ketika diserang ,untuk memastikan bahwa mereka
tidak dapat matikan oleh pertahanan kekebalan konvensional. Kutikula cacing
tidak dapat ditembus oleh kompleks serangan membran komplemen atau oleh
perforins sel T. Jika sistem kekebalan tubuh berhasil menyerang parasit ,itu
berarti kutikulanya harus hancur atau menyerang parasit melalui titik-titik
lemah pada permukaannyadan bisa juga menyerang saluran pencernaan dari
parasit. Cacing parasit dewasa di usus direspon oleh enzimhospes, IgA dan
musin.
C. Mekanisme Kekebalan Cacing
Parasit cacing umumnya mendapatkan respon Th2 yang sangat kuat
dan ditandai dengan produksi IL-4 yang tinggi, antibodi IgE dan sejumlah
besar eosinofil dan sel mast.Antigen imunodominan nematoda adalah
nematoda poliprotein alergen / antigen (NPA).Lipid protein yang memicu
respon Th2 dan merangsang pembentukan IgE.Protease cacing juga ampuh
dalam menyebabkan reaksi alergi dan bertindak langsung pada sel mast dan
basofil untuk menginduksi degranulasi.
Contoh terbaik untuk menganalisis kekebalan pada cacing adalah
cacing pada tikus, karena strain tikus inbrida berbeda dalam kemampuan

26
mereka untuk mengeluarkan atau melawan nematoda usus. Variabilitas ini
adalah hasil dari kegiatan relatif subset sel T. Kecenderungan konsisten
terhadap infeksi terlihat pada tikus Outbred reinfected dengan Trichuris
trichiura. Setelah infeksi pertama dapat diobati dengan menggunakan obat
cacing.Pengeluaran nematoda usus tergantung pada sel T helper. Tikus yang
mengeluarkan parasit mereka me-mount respon yang didominasi Th2. Tikus
yang tidak dapat mengendalikan beban cacing dan menjadi kronis akan me-
mount respon Th1. Respon Th2 terkait dengan produksi IL-4, IL-10 dan IL-
13, yang mengarah ke mobilisasi eosinofil, akumulasi sel mast dan akhirnya
memproduksi IgE. Pengusiran cacing disertai dengan mukosa infiltrasi sel
mast, eosinofil usus, serum IgE dan tingkat IgG1-parasit tertentu menjadi
tinggi.Sitokin Th2 juga memiliki efek langsung ke populasi cacing.Misalnya,
tikus dengan IL-4 atau IL-13 yang rendah lebih rentan terhadap Trichuris
muris dari tikus normal.Jika IL-4 dinetralkan dengan pemberian antibodi
spesifik atau jika stimulator Th1 IL-12 diberikan, tikus kehilangan
kemampuan mereka untuk mengusir cacing dan menjadi terinfeksi
kronis.Demikian juga, jika TNF-α dinetralkan, tikus juga kehilangan
kemampuan mereka untuk mengusir cacing. Di sisi lain, netralisasi sitokin
Th1 IFN-γ atau IL-18 memungkinkan tikus terinfeksi kronis.
Beberapa strain inbrida tikus menunjukkan resistensi split untuk T.
muris. Beberapa me-mount respon Th2 dan mengeluarkan cacing dari tubuh
merekadan yang lainnya membuat respon Th1 dan tetap terinfeksi.Strain
parasit berbeda dalam kemampuan mereka untuk memicu respons Th1 dan
Th2. Hal ini mungkin karena adanya kekebalan tubuh melawan parasit.
Dengan demikian T.muris dapat menghasilkan molekul yang berkaitan
dengan IFN-γ yang akan menekan respon Th2 dan meningkatkan
kelangsungan hidup parasit atau, perbedaan mungkin karena dosis
parasit.Jadi infestasi rendahnya tingkat T.muris merangsang respon Th1 dan
parasit bertahan.Jika dosis yang lebih tinggi dari parasit yang diberikan, ini
secara bertahap berubah menjadi respon Th2 dan parasit dikeluarkan.Oleh
karena itu ambang infeksi mungkin penting untuk perkembangan resistensi.

27
Sel T dalam epitel usus dapat diaktifkan oleh kehadiran cacing usus
tanpa perlu pengolahan antigen konvensional.Pada tikus, sel T intraepithelial
ini cenderung menghasilkan IFN-γ dalam menanggapi patogen intraseluler
seperti Listeria monocytogenes, sedangkan mereka menghasilkan IL-4 dalam
menanggapi nematoda Nippostrongylusbrasiliensis.
Mamalia mengembangkan kekebalan terhadap sebagian besar cacing
setelah beberapa bulan. Dengan kata lain, kemampuan parasit untuk
mencegah serangan imunologi terbatas dan hal ini menguntungkan hospes.
Parasitostertagia, kecuali sapi tetap rentan terhadap infeksi ulang oleh
ostertagia selama berbulan-bulan, dan kekebalan yang dapat menghambat
produksi larva tidak terlihat sampai hewan berusia lebih dari 2 tahun.Pada
domba yang baru saja mengalami self-obat, konsentrasi IgE tinggi dan
aktivasi antigen cacing akan menghasilkan anafilaksis akut, dalam hal ini
terjadi hipersensitivitas tipe 1. Reaksi serupa di lihat padafascioliasis di betis,
di mana jumlah titer antibodi PCA yang tepat dapat mengeluarkan parasite.
Makrofag, trombosit dan eosinofil memiliki FceR (CD23).sel ini
karena dapat mengikat IgE setelah diopsonisasi, parasite akan menjadi aktif
dan dapat membunuh antigen yang masuk. sehingga pada kucing yang
terinfeksi cacing Brugiafilarial pabangi, jika hewan yang terinfeksi parasit
memiliki kadar IgE yang tinggi dapat membantu dalam membunuh cacing
dewasa. Dalam kucing sebaliknya yang gagal untuk me-mount respon IgE
yang tinggi menyebabkan cacing filarial mampu bertahan.Makrofag yang
mengikat larva cacing melalui IgE menjadi aktif dengan peningkatan enzim
lisosom, produksi oksidan, IL-1, leukotrien, prostaglandin dan platelet-
mengaktifkan faktor dapat meningkatkan kehancuran parasite.
Eosinofil masuk melalui kemotaksisnya sel mast.Sitokin seperti IL-5
dari sel Th2 juga memobilisasi sumsum tulang untuk mengarahkan sejumlah
besar eosinophil kedalam system sirkulasi. Ada juga kemokin lain untuk
menghadirkan eosinofil dan mencakup banyak kemokin yang berbeda.
Eotaxins (CCL11, CCL24, CCL26) memiliki aktivitas kemotaktik selektif
untuk eosinofil. Mereka bertindak secara sinergis dengan IL-5.Parasit dapat
menyebabkan dua gelombang migrasi eosinofil. Yang pertama adalah

28
diprovokasi oleh sel mast atau produk parasit yang diturunkan, kedua oleh
IL-5 dan sitokin lain dari sel Th2.
D. Eosinofil dan Destruksi Parasit
Eosinofil menghancurkan cacing parasit karena mereka memiliki Fc
reseptors.Eosinofil dapat mengikat antibodi parasit yang berlapis,
degranulasi, dan melepaskan granulnya langsung kedalam kutikula
anjing.Granul ini mencakup oksidan dan oksida nitrat yang dihasilkan oleh
eosinofil peroksidase, dan enzim litik seperti lysophospholipase dan
fosfolipase.Major basic protein (MBP) dapat merusak kutikula dari
Schistosomula,Fasciola dan Trichinelladengan konsentrasi yang
rendah.Eosinofil cationik protein (ECP) dan eosinofil neurotoxin
ribonucleases dapat mematikan cacing.Mengingat keragaman cacing parasit,
penting untuk menunjukkan bahwa eosinofil mungkin tidak efektif terhadap
semua parasit.Mereka mungkin paling efektif terhadap larva yang ada di
jaringan, bahkan parasite larva juga dapat menghindari kehancuran.Misalnya,
larva Toxocara canis.Terkena eosinofil in vitro, hanya menumpahkan mantel
luar mereka bersama-sama dengan sel terpasang.
E. Sel perantara imun
Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, antigen cacing lebih
merangsang respon Th2, dan respon TH1 sedikit memberi perlindungan.
meskipun, sel T sitotoksik dapat menyerang cacing yang tertanam dalam
mukosa usus atau yang mengalami migrasi jaringan. Reaksi sel imun mediet
menunjukkan terjadi infeksi pada Trichinella spiralis dan Trichostrongylus
colubriformis. Sebelumnya, kekebalan dapat ditransfer ke hewan normal
dengan proliferasi limfosit yang juga positif ditemukan dalam infeksi. Dalam
kasus T. colubriformis, kekebalan dapat ditransfer ke hewan yang normal dari
yang imun dengan sel dan serum, dan tempat perlekatan pada tubuh cacing
untuk infiltrasi limfosit secara masif. Limfosit dari domba terinfeksi H.
contortus akan melepaskan sitokin dan respon terbagi terhadap antigen
cacing, dan telah menunjukkan bahwa kekebalan terhadap organisme ini
diadopsi dapat ditransfer ke domba sinergik dengan menggunakan pertahanan
limfosit.

29
Pada infeksi cacing pita Taenia Solium, kista hidup memicu respon
Th2 dan dengan demikian memproduksi IgE. Akan tetapi, setelah kista mati,
mereka merangsang respon Th1 dan formasi granuloma. Biopsi
menunjukkan IL-I2, IL-2, dan IFN-y terkait dengan granuloma melingkupi
kista cacing yang sekarat. Mungkin bahwa respon Th1 terjadi hanya ketika
parasit tidak bisa lagi memodulasi respon imun inang.
Sel T peka/sensitif menyerang cacing dengan dua mekanisme.
Pertama, pengembangan penundaan hipersensitivitas menarik sel
mononuklear ke lokasi invasi larva dan membuat lingkungan setempat tidak
cocok untuk pertumbuhan atau migrasi. Kedua, sitotoksit dari limfosit dapat
menyebabkan kematian larva. Pengobatan dari hewan coba dengan vaksin
BCG, sebuah pengobatan yang merangsang sel T, menghambat metastasis
kista hidatit (E. granulosus). pada hewan perlakukan ruang yang mengelilingi
kista dapat diisi dengan lymphocytes yang besar. Umum untuk mengamati
limfosit besar yang melekat kuat pada larva nematoda yang berimigrasi
secara in vivo.
Dalam infestasi cacing pita di mana parasit kista (metacestode)
tumbuh dalam host, parasit harus mendapatkan protein untuk makanan.
Namun, sistiserka dari Taeniaovis benar-benar tumbuh lebih besar dengan
adanya serum kekebalan dari dalam serum parasit. Nonimun memiliki
reseptor Fc untuk imunoglobulin host, dan ada kemungkinan bahwa
imunoglobulin ini dapat berfungsi sebagai sumber makanan bagi parasit.
Sejak cairan kista mengandung limfosit mitogen, dapat disarankan bahwa ini
mungkin merangsang produksi imunoglobulin yang kemudian dapat dicerna
oleh parasit.
Kompleksitas resistensi untuk cacingan ditunjukkan baik pada
domba dibesarkan untuk ketahanan terhadap H.Contortus ada perbedaan
dengan hubungannya dengan domba rentan.
Dalam sel B fungsional; domba yang resisten memiliki secara
signifikan IgA-dan IgG1 yang berlebih mengandung sel. Ada juga bukti
perbedaan dalam fungsi sel T, karena domba resisten merespon lebih baik
terhadap antigen T-dependent seperti ovalbumin, dan pengobatan domba

30
resisten dengan antibodi monoklonal untuk CD4 sepenuhnya memblokir
perlawanan mereka terhadap H. concortus. Jumlah sel mast mukosa dan
jaringan eosinofilia juga berkurang pada domba yang diobati. Secara kontras,
menipisnya sel CD8 + tidak berpengaruh pada resistensi/ketahanan. Pada
umumnya, domba resisten memiliki jumlah eosinofil lebih tinggi, dan
menariknya, domba yang resisten ini lebih tenang dari pada domba rentan.
Meskipun respon IgE-dependent eosinofil-mediatedmungkin
mekanisme yang paling signifikan dari perlawanan terhadap cacing larva,
immunoglobulin lain juga memainkan peran protektif.Mekanisme yang
terlibat termasuk netralisasi antibodi-mediatedprotease larva, memblokir pori-
pori anal dan oral larva oleh kekebalan-kompleks, dan pencegahan ecdysis
dan penghambatan perkembangan larva oleh antibodi terhadap selubung luar
antigen.Antibodi terhadap enzim glutathione-S-transferase melindungi
terhadap Fasciola hepatica pada domba.Enzim lain mungkin diblokir oleh
antibodi yang bertindak terhadap cacing dewasa, menghentikan produksi
telur, atau mengganggu perkembangan cacing. Dengan demikian cacing
betina Ostertagia ostertagi gagal untuk mengembangkan vulva flaps ketika
tumbuh di sistem kekebalan kulit. Demikian pula, morfologi spicule dapat
berubah pada Cooperia jantan dari sistem kekebalan hospes. Penurunan
penumpahan telur signifikan karena mengurangi penularan parasit dalam
kawanan.
F. Penghindaran Respon Imun oleh Helminthes/Cacing
Molecular mimikri merupakan kemampuan helminthes untuk meniru
struktur dan fungsi dari molekul sel hospes, cacing meliputi dirinya dengan
antibodi dari sel hospes. Cacing mengganti permukaannya dengan menyerap
MHC nonpolymorphic. Immunosupression penghambat aktivasi dari sel
limfosit. Infestasi dari Ostertagia ostertagi dan Trichostrongylus axei dapat
menekan respon dari limfosit terhadap mitogen pada anak sapi.

31
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Imunologi adalah ilmu yang mempelajari tentang proses pertahanan atau
imunitas terhadap senyawa makromolekuler atau organisme asing yang masuk
ke dalam tubuh. Zat asing dapat berupaVirus, Bakteri, Protozoa atau parasit.
Sistem imun terbagi dua berdasarkan perolehannya atau asalnya, yaitu Sistem
Imun Nonspesifik (Sistem imun alami) merupakan lini pertama sedangkan
Sistem Imun Spesifik (Sistem imun yang didapat/hasil adaptasi) merupakan lini
kedua dan juga berfungsi terhadap serangan berikutnya oleh mikroorganisme
patogen yang sama.
Masing-masing dari sistem imun mempunyai komponen seluler dan
komponen humoral, walaupun demikian, kedua sistem imun tersebut saling
bekerjasama dalam menjalankan fungsinya untuk mempertahankan tubuh.
3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan
juga penulis untuk dapat dijadikan pembelajaran dan acuan untuk mengikuti
proses belajar mengajar. Kami sangat menyadari makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan, baik itu dari isi maupun teknik penulisan. Oleh sebab itu,
kami sangat mengharapkan kritik, saran, dan tanggapan dari para pembaca guna
perbaikan paper yang akan datang.

32
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/29578537/Makalah_Sistem_Imun.doc

https://www.academia.edu/23319964/Respons_Imun_Terhadap_Infeksi_Bakteri

https://www.academia.edu/37532409/ASPEK_PATOGEN_DAN_RESPON_IMUN_T
ERHADAP_INFEKSI_VIRUS

https://www.academia.edu/26066512/MAKALAH_IMMUNOLOGI_Respon_Imun_Te
rhadap_Infeksi_Parasit_Oleh

https://www.academia.edu/9045789/HIPERSENSITIVITAS

33

Anda mungkin juga menyukai