Anda di halaman 1dari 9

UAS Filsafat Pendidikan Islam

Dosen : Prof. Dr. H. Jamali, M.Ag.


Nama : M. Fakri Islami Arif
NIM : 18086030020
Mahasiswa PAI-B Semester 2, Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati

SOAL 1
Pendidikan individu dari beberapa individu mempunyai filsafat sendiri dalam kehidupannya, untuk
diterapkan di dalam pengembangan pembelajaran dan masalah pengajaran yang dihadapkan pada
individu (siswa). Untuk menuntun ke arah pertumbuhan dan perkembangan bagi pemuda yang akan
hidup di masyarakat (bangsa) yaitu sifat cinta tanah air dan mewujudkan kebahagiaan pada
golongannya, serta mengambil hikmah untuk masyarakat dari perbedaan-perbedaan yang terjadi
diantara rakyat.
Maka dari itu muncullah filsafat pendidikan, dan dengan filsafat kegiatan pendidikan yang terjadi di
masyarakat menjadi berbeda walau tujuannya sama. Dan dari filsafat pula sekolah didirikan.
Filsafat pendidikan bermakna meneapkan pandangan-pandangan, pemikiran filsafat yang
berhubungan dengan kehidupan di dunia pendidikan dan peraturannya, dalam metode khusus
dengan tujuan menggerakkan pemuda dan masyarakat supaya mendapatkan kehidupan yang
bahagia, beradaptasi dengan manusia yang hidup bersamanya, meningkatkan taraf hidup dan
kesemuanya itu merupakan tindakan (untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang kita inginkan).
Kaitannya dengan pendidikan Islam, filsafat menempati tempat yang sentral guna menemukan
hakikat pendidikan Islam yang sebenarnya. Pendidikan Islam berorientasi pada perubahan perilaku
ke arah yang lebih baik sehingga dapat mencetak kader-kader bangsa yang berbudi luhur dan
bertakwa kepada alh SWT. Oleh karena itu dengan berfikir secara filosofis, diharapkan pendidik
dapat menemukan format pendidikan Islam yang ideal untuk tercapainya tujuan pendidikan Islam.
Alquran dan Assunnah memberikan dasar-dasar yang memadai untuk mengembangkan landasan
filosofis bagi pendidikan, yang dapat kita sebut sebagai Filsafat Pendidikan Islam. Dalam hal ini
pemikiran yang didasarkan pada doktrin-doktrin Alquran dan Assunnah tersebut harus mampu
diaplikasikan dalam tataran praktis-pragmatis. Secara ontologis pemikiran ini berkaitan dengan
tujuan pendidikan Islam, yang secara idealis mencapai ultimate-goal sebagai insan-kamil. Adapun
dalam konteks kehidupan duniawi hendak membina potensi-potensi manusia agar mampu
melaksanakan amanah Allah sebagai khalifah di muka bumi. Yaitu diri-diri yang mampu berbuat
dan bekerja didasari oleh akhlak terpuji, dan secara bersama-sama dalam komunitas membangun
peradaban dan kebudayaan yang berbasis pada kesadaran ruhani.
Adapun secara epistemologis berkaitan dengan muatan pendidikan Islam dan cara
mengomunikasikan muatan kepada para pembelajar oleh agen-agen pendidikan. Muatan pendidikan
Islam harus mencakup ilmu-ilmu untuk mengenali Tuhan (ma’rifatullah), ilmu-ilmu untuk
mengetahui rahasia alam semesta, ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu-ilmu kehidupan. Dalam Islam,
ilmu-ilmu ini bersifat instrumental, dalam rangka meningkatkan spritualitas diri penataan hidup,
pencapaian kebahagiaan lahir batin dan dinamisasi peradaban. Oleh karena itu, komunikasi dalam
interaksi pendidikan meniscayakan tersentuhnya kelima dimensi kemanusiaan dalam proses
pendidikan, yaitu ruh, akal, emosi, hawa nafsu dan anggota tubuh. Dalam hal inilah guru, yang
berperan sebagai mu’allim, mursyid dan murabbi, harus mengembangkan diri sebagai medium-
exemplaris artinya mereka harus berfungsi sekaligus sebagai medium pendidikan (means) dalam
proses pendidikan yang tak terbatas oleh ruang dan waktu. Sedangakan secara eksiologis berkaitan
dengan nilai pendidikan Islami yang lebih menekankan pada motif ta’abbudi (keibadahan) dan
berorientasi ukhrawi dari setiap pihak yang terlibat dalam proses pendidikan.

HARAMNYA FILSAFAT DALAM SUNNI

1
Melalui ilmu filsafatlah, intervensi pemikiran asing masuk dalam Islam. Tidaklah muncul ideologi
filsafat dan pemikiran yang serupa dengannya kecuali setelah umat Islam mengadopsi dan
menerjemahkan ilmu-ilmu yang berasal dari Yunani melalui kebijakan pemerintahan di bawah
kendali al-Makmûn masa itu.
Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan, “Adapun sumber intervensi pemikiran dalam ilmu dan
akidah adalah berasal dari filsafat. Ada sejumlah orang dari kalangan ulama kita belum merasa puas
dengan apa yang telah dipegangi oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu merasa cukup
dengan al-Qur`ân dan Sunnah. Mereka pun sibuk dengan mempelajari pemikiran-pemikiran kaum
filsafat. Dan selanjutnya menyelami ilmu kalam yang menyeret mereka kepada pemikiran yang
buruk yang pada gilirannya merusak akidah”.
Ketika orang sudah memasuki dimensi filsafat, tidak ada kebaikan sedikit pun yang dapat ia raih.
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Jarang sekali orang mempelajarinya (ilmu kalam dan
filsafat) kecuali akan terkena bahaya dari mereka (kaum filosof)”.
Karena itu, tidak heran bila Ibnu Shalâh rahimahullah memvonis ilmu filsafat sebagai biang
ketololan, rusaknya akidah, kesesatan, sumber kebingungan, kesesatan dan membangkitkan
penyimpangan dan zandaqah (kekufuran).
Begitu banyak ungkapan Ulama Salaf yang berisi celaan terhadap ilmu warisan bangsa Yunani ini
dan selanjutnya mereka mengajak untuk berpegang teguh dengan wahyu.
DOMAIN FILSAFAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM
Islam merupakan genealogi termuda dalam gen agama-agama mapan di muka bumi ini. Walaupun
pada kenyataannya Islam adalah genealogi termuda bukan berarti Islam adalah agama terakhir yang
berbicara tentang pendidikan dan maknanya bagi kehidupan manusia. Dalam hal ilmu pengetahuan
dan teknologi pada dasarnya Islam merupakan agama terdepan yang menganjurkan manusia untuk
menjadi manusia yang berilmu. Di samping itu, untuk lebih jelasnya, bahwa Alquran telah
memandang bahwa pendidikan merupakan persoalan pertama dan utama dalam membangun dan
memperbaiki kondisi umat manusia di muka bumi ini.
Pendidikan Islam yang memiliki titik tekan berbeda dengan pendidikan pada umumnya kemudian
harus melihat dengan cara berbeda pula agar konsepnya kemudian benar-benar dipahami secara
utuh oleh semua orang, terutama bagi pendidik dan peserta didik. Jika dalam pendidikan pada
umumnya dasar logikanya bertumpu pada rasionalitas dan pragmatisme. Tentu di sini pendidikan
Islam adalah berbeda dengan pendidikan pada umumnya. Perbedaan itulah yang pada
pelaksanaannya juga berbeda. Tentu di sini penanaman sikap yang bersumber dari iman dan takwa
adalah hal pertama dan utama.
Dalam hal ini, maka kita harus mengetahui dasar dari konsep pendidikan Islam yang merupakan
konsep yang berbeda dengan konsep pendidikan pada umumnya. Perbedaan konsep itulah yang
perlu kita pahami bersama. Agar pada akhirnya semua orang yang menjalankan atau pun yang
terlibat secara aktif dalam melaksanakan, menjalankan, dan mengembangkan pendidikan Islam dari
tingkat dasar, menengah, atas, hingga perguruan tinggi memahami secara jelas dasar dari
pendidikan Islam.
Untuk lebih jelasnya bahwa konsep ilmu pengetahuan dalam Islam ketika berbicara tentang
ontologi, epistemologi, dan aksiologinya tentu sama dengan konsep pendidikan secara umum.
Namun di sini akan berbeda ketika Islam sebagai agama menjadi bagian di dalamnya. Ontologi,
epistemologi, dan aksiologi dalam pendidikan Islam sangatlah berbeda dengan ontologi,
epistemologi, dan aksiologi dalam kajian lain. Maka untuk itu penulis akan mencoba mengulas
bagaimana sebenarnya ontologi, epistemologi, dan aksiologi dalam pendidikan Islam sehingga
dapat dikatakan berbeda dengan pendidikan secara umum dalam kajian tersebut.

Ontologi dalam Pendidikan Islam

2
Penjelasan mengenai Ontologi penulis sampaikan sebagaimana disebutkan oleh Amsal Bakhtiar,
dalam bukunya “Filsafat Ilmu”, menyatakan bahwa, orang akan menghadapi persoalan
bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini ? Pertama kali orang dihadapkan
pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan
yang kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).
Permasalahan pendidikan Islam yang menjadi perhatian ontologi menurut Muhaimin adalah bahwa
dalam penyelenggaraan pendidikan Islam diperlukan pendirian mengenai pandangan manusia,
masyarakat dan dunia. Pertanyaan-pertanyaan ontologis ini berkisar pada: apa saja potensi yang
dimiliki manusia? Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadith terdapat istilah fitrah, samakah potensi dengan
fitrah tersebut? Potensi dan atau fitrah apa dan dimana yang perlu mendapat prioritas
pengembangan dalam pendidikan Islam? Apakah potensi dan atau fitrah itu merupakan pembawaan
(faktor dasar) yang tidak akan mengalami perubahan, ataukah ia dapat berkembang melalui
lingkungan atau faktor ajar?
Lebih luas lagi apa hakekat budaya yang perlu diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya? Ataukah hanya ajaran dan nilai Islam sebagaimana terwujud dalam realitas sejarah
umat Islam yang perlu diwariskan kepada generasi berikutnya? Inilah aspek ontologis yang perlu
mendapat penegasan.
Menurut Al-Aziz, pendidik adalah orang yang bertanggungjawab dalam menginternalisasikan nilai-
nilai religius dan berupaya menciptakan individu yang memiliki pola pikir ilmiah dan pribadi yang
sempurna. Masing-masing definisi tersebut, mengisyaratkan bahwa peran, tugas dan tanggungjawab
sebagai seorang pendidik tidaklah gampang, karena dalam diri anak didik harus terjadi
perkembangan baik secara afektif, kognitif maupun psikomotor. Dalam setiap individu terdidik
harus terdapat perubahan ke arah yang lebih baik. Jika dalam ajaran Islam anak didik harus mampu
menginternalisasikan ajaran-ajaran dalam dirinya, sehingga mampu menjadi pribadi yang bertaqwa
dan berakhlakul karimah yang akan bahagia baik di dunia dan di akhirat.
Oleh karena itu dalam al Quran Allah Swt berfirman,
“ Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan
berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs,Al Baqoroh, 30)
Epistimologi dalam Pendidikan Islam
Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub system dari filsafat bersama ontologi
dan aksiologi. Epistemologi merupakan teori pengetahuan, yakni membahas tentang bagaimana
cara mendapat pengetahuam dari objek yang ingin dipikirkan. Setiap jenis pengetahuan selalu
mempunyai cirri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk
apa (aksiologi) pengetahuan itu disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan, dan tidak mungkin
bahasan epistemologi terlepas sama sekali dari intologi dan aksiologi. Namun demikian, ketika kita
membicarakan epistemologi di sini, berarti kita sedang menekankan bahasan tentang upaya, cara
atau langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan. Berikut ini adalah pengertian epistemology
menurut para ahli,
1. Menurut D.W.Hamlyn epistemologi merupakan cabang filsafat yang berurusan dengan hakekat
dan ruang lingkup pengetahuan, dasar, dan pengandai-andaiannya serta secara umum hal itu
dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
2. Menurut Dagobert D. Runes mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang
membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan.
3. Menurut Azyrumardi Azra, epistemologi merupakan ilmu yang membahas tentang keaslian,
pengertian, struktur, metode, dan aliditas ilmu pengetahuan

3
Dalam filsafat terdapat dua jenis objek, yakni objek material dan forma. Objek material adalah
sarwa yang ada, yang secara garis besar meliputi hakekat Tuhan, hakekat alam, dan hakekat
manusia. Sedangkan objek forma adalah usaha mencari keterangan secara radikal tentang objek
material filsafat. Lebih khusus lagi, objek material pendidikan adalah manusia sedangkan objek
formanya adalah persoalan-persoalan kemampuan manusia. Menurut Jujun S. Suriasumantri, objek
epistemologi berupa segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.
Sedangkan dalam pendidikan Agama Islam, menurut Hasan Basri merupakan proses pembinaan
manusia secara jasmaniah dan rohaniah. Adapun hakikat pendidikan agama Islam dapat diartikan
secara praktis sebagai pengajaran al-Qur’an dan Hadits. Secara spesifik M.Arifin menambahkan
bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan jasmani dan rohani menurut
ajaran Islam dengan hikmah mengajarkan, mengarahkan, melatih, mengasuh dan mengawasi
berlakunya semua ajaran Islam.
Adapun objek formal pendidikan agama Islam sebagaimana pendidikan lainnya, yakni manusia,
atau lebih spesifiknya muslim. Adapun objek materialnya meliputi semua persoalan pengalaman
keagamaan manusia. Dalam hal ini, materi PAI meliputi: Qur’an Hadits, Fiqih, Akidah Akhlak, dan
SKI.
Menurut Hasan Basri, epistemologi pendidikan Islam merupakan seluk-beluk dari sumber-sumber
pendidikan Islam sebagaimana telah ditegaskan bahwa al-Qur’an adalah segala sumber hukum
dalam ajaran Islam. Pendidikan Islam merujuk pada nilai-nilai al-Qur’an yang universal dan abadi.
Al-qur’an selain sebagai sumber hukum, juga digunakan sebagai penentu validitas suatu kebenaran.
Di samping al-Qur’an, pendidikan Islam juga menggunakan sumber kebenaran lainnya yaitu as-
Sunnah, atsar dan ijma’ sahabat, dan ijtihad ulama.
Membicarakan epistemology, tidak bisa terlepas dari metode. Metode pendidikan Islam dalam hal
ini membahas hakikat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikan Islam. Di antara metode
yang digunakan dalam menyusun ilmu pendidikan Islam, dengan merujuk pada sumber utama, al-
Qur’an, di antaranya dengan metodologi hermeneutik. Hermeneutik adalah kiat untuk memahami
teks-teks keagamaan dalam pencarian melalui pencarian makna dari susunan kalimat, konteks
budaya, tafsir transendensi dan yang lainnya. Menurut Noeng Muhadjir, konsep teoritiknya
berangkat dari linguistik, narasi bahasa, historis, hukum, etika dan lain-lain.
Al-Quran yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan Islam perlu untuk diinterpretasikan dalam
pencarian kebenaran kontekstual. Dalam hermeneutik, Arkoun membagi model-model teks menjadi
dua, yaitu teks pembentuk naskah al-Qur’an, dan teks penjelas dan hermeneutik, literatur-literatur
yang memberikan interpretasi dan penjelasan terhadap teks pembentuk yang dimunculkan oleh para
pemikir Islam sejak empat abad pertama hijriah hingga sekarang termasuk juga hadits Nabi SAW.
Dalam kajian epistimologi Islam Muhammad Abid al-Jabiri membagi epistemologi ilmu keislaman
menjadi tiga, yaitu, pertama, epistemologi bayani, Yakni, menyingkap makna dari suatu
pembicaraan serta menjelaskan secara terinci hal-hal yang tersembunyi dari pembicaraan tersebut
kepada taklif (orang yang terbebani hukum). Epistemologi ini menjadikan teks sebagai rujukan
pokok dalam membangun konsepsi tentang alam semesta untuk memperkuat akidah Islam
Dalam memahami teks ini, segala potensi akal dikerahkan untuk mendapatkan pengetahuan maupun
kebenaran, yang kemudian dikenal dengan istilah ijtihad. Adapun dalam mengimplementasikannya
melalui metode qiyas (analogi) dan istinbat (penetapan kesimpulan)
Kedua, epistemologi Irfani, Yakni pengalaman atau pengetahuan langsung dengan objek
pengetahuan (ma’rifat). Epistemology ini mulai dikenal seiring berkembangnya doktrin ma’rifat
yang diyakini sebagai pengetahuan batin, terutama tentang Tuhan.
Karena sumber ilmunya berasal dari pengalaman, maka metode yang digunakan adalah
penghayatan intuitif, sedangkan teknik yang digunakan adalah riyadhoh. Adapun validitas
kebenaran hasil pengetahuannya sulit untuk diukur menggunakan akal, karena pengalaman atau
perasaan sangat subjektif. Oleh karena itu melalui simpati, empati, memahami orang lain, perlu

4
dikedepankan untuk mengukur validitas kebenaran pengetahuan tersebut. Adapun akal hanya
bersifat partisipatif.
Ketiga, epistemologi Burhani, Epistemologi ini menyatakan bahwa sumber atau asal pengetahuan
adalah realitas, baik realitas alam, social, maupun kemanusiaan dan keagamaan. Pengetahuan
burhani diperoleh melalui proses abstraksi dan pengamatan inderawi yang sahih. Tujuannya adalah
mencari sebab dan musabab. Ukuran validitas hasil pengetahuan burhani adalah korespondensi
yaitu kesesuaian antar rumus yang diciptakan manusia dengan hokum-hukum alam, koherensi yakni
keruntutan dan keteraturan berpikir logis.
Jika Pendidikan Agama Islam diurai menjadi empat mata pelajaran, yakni Qur’an Hadits, Akidah
Akhlak, Fiqih, dan SKI, maka bisa ditentukan epistemology mana yang mendominasi antar sub-
mata pelajaran tersebut.
Qur’an Hadits lebih menekankan pada epistemology bayani, karena pembahasannya terpusat pada
penafsiran teks al-Qur’an dan Hadits. Sementara Akidah Akhlak akan lebih didominasi
pengetahuan Irfani, karena memfokuskan pada pengalaman intuisi berupa keyakinan dan
pengalaman psikologi berupa sikap.
Adapun Fiqih akan berimbang antara epistemology bayani dan burhani, karena selain menyangkut
pengkajian teks dalil yang menjadi bahasan ushul fiqih, juga mempertimbangkan pengetahuan
social yang menyangkut korespondensi dan koherensi dengan kondisi social kemasyarakatan.
Demikian pula Sejarah Kebudayaan Islam, akan didominasi kedua epistemology tersebut, karena
sejarah Islam selain ditelisik dari teks-teks naqli (asbabun nuzul/ wurud), juga membutuhkan
kesesuaian antara pengalaman inderawi dengan teks-teks kesejarahan (baik dalam hal kronologi dan
periodisasi).
Aksiologi dalam Pendidikan Islam
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari
sudut pandangan kefilsafatan. Di Dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan
dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi
bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika
bersangkutan dengan masalah keindahan.
Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah
norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku
manusia ditinjaudari segi baik dan tidak baik dalam suatu kondisi yang melibatkan norma-norma.
Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimilki oleh
manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan perbutan manusia. Cara memandangnya dari
sudut baik dan tidak baik, etika merupakan filsafat tentang perilaku manusia. Filsafat Pendidikan
Islam dan Etika Pendidikan Antara ilmu (pendidikan) dan etika memiliki hubungan erat.
Masalah moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab
untuk menemukan kebenaran dan terlebih untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan
keberanian moral.Sangat sulit membayangkan perkembangan iptek tanpa adanya kendali dari nilai-
nilai etika agama.
Untuk itulah kemudian ada rumusan pendekatan konseptual yang dapat dipergunakan sebagai jalan
pemecahannya, yakni dengan menggunakan pendekatan etik-moral, dimana setiap persoalan
pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan kepentingan masing-masing
pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas.
Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang mantap
dan dinamis, mandiri dan kreatif. Tidak hanya pada siswa melainkan pada seluruh komponen yang
terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Terwujudnya kondisi mental, moral dan spritual
religius menjadi target arah pengembangan sistem pendidikan Islam.

5
Oleh sebab itu berdasarkan pada pendekatan etik moral pendidikan Islam harus berbentuk proses
pengarahan perkembangan kehidupan dan keberagamaan pada peserta didik ke arah idealitas
kehidupan Islami, dengan tetap memperhatikan dan memperlakukan peserta didik sesuai dengan
potensi dasar yang dimiliki serta latar belakang sosio budaya masing-masing.
Disamping penjelasan mengenai etika dalam kajian aksiologi, terdapat penjelasan mengenai
estetika seperti yang telah di jelaskan sebelumnya, bahwa kajian aksiologi merupakan kajian
tentang nilai dari etika dan estetika.
Dalam dunia pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh Randall dan Buchler mengemukakan ada
tiga interpretasi tentang hakikat seni, Seni sebagai penembusan terhadap realitas, selain pengalaman,
Seni sebagai alat kesenangan, Seni sebagai ekspresi yang sebenarnya tentang pengalaman.
Namun, lebih jauh dari itu, maka dalam dunia pendidikan hendaklah nilai estetika menjadi patokan
penting dalam proses pengembagan pendidikan yakni dengan menggunakan pendekatan estetis-
moral, dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut
sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta
masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu
kepribadian yang kreatif, berseni yang sesuai dengan Islam.

SOAL 2
Memahami Pancasila agar sesuai dengan apa yang diharapkan oleh founding father adalah tentu
harus mengetahui sejarah perumusan Pancasila terlebih dahulu. Pancasila merupakan hasil satu
kesatuan proses yang dimulai dengan rumusan Pancasila tanggal 1 Juni 1945 dari pidato Ir. Sukarno,
Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dan rumusan final Pancasila 18 Agustus 1945 adalah jiwa besar para
founding fathers, para ulama dan pejuang kemerdekaan dari seluruh pelosok Nusantara sehingga
dapat dipersatukan.
Dikatakan, Bangsa Indonesia ditakdirkan dalam keberagaman dari Sabang sampai Merauke, dari
Miangas sampai Rote, juga keberagaman berbagai etnis, bahasa, adat istiadat, agama, kepercayaan
serta golongan bersatu padu membentuk Indonesia. Itulah ke-bhinneka tunggal ika-an.
Namun kehidupan berbangsa dan bernegara sedang mengalami tantangan, kebinekaan sedang diuji.
Saat ini ada pandangan dan tindakan yang mengancam kebinekaan, ada sikap tidak toleran yang
mengusung ideologi selain Pancasila. Masalah ini semakin mencemaskan tatkala diperparah
penyalahgunaan media sosial yang banyak menggaungkan hoax (kabar bohong).
Belajar dari pengalaman buruk negara lain yang dihantui oleh radikalisme, konflik sosial, terorisme
dan perang saudara, maka dengan Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika, kita dapat
terhindar dari masalah tersebut dengan hidup rukun dan bergotong royong untuk memajukan negeri.
Dengan Pancasila Indonesia adalah harapan dan rujukan masyarakat internasional untuk
membangun dunia yang damai, adil dan makmur di tengah kemajemukan.
Oleh karena itu, perlu peran aktif para ulama, ustadz, pendeta, pastor, bhiksu, pedanda, tokoh
masyarakat, pendidik, pelaku seni dan budaya, pelaku media, jajaran birokrasi, TNI dan Polri serta
seluruh komponen masyarakat untuk bersama-sama menjaga Pancasila.
Pemahaman dan pengamalan Pancasila dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus terus
ditingkatkan. Ceramah keagamaan, materi pendidikan, fokus pemberitaan dan perdebatan di media
sosial harus menjadi bagian integral dalam pendalaman dan pengamalan nilai-nilai Pancasila.
Tidak ada pilihan lain kecuali seluruh anak bangsa harus menyatukan hati, pikiran dan tenaga untuk
persatuan dan persaudaraan. Tidak ada pilihan lain kecuali kita harus kembali ke jati diri sebagai
bangsa yang santun, berjiwa gotong royong dan toleran. Tidak ada pilihan lain kecuali kita harus
menjadikan Indonesia bangsa yang adil, makmur dan bermartabat di mata internasional.

6
Inilah yang kemudian menjadikan Pancasila menjadi dasar ideologi Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang tidak bisa diutak-atik dan dirubah sistemnya menjadi sistem kepemimpinan lain,
semisal khilafah.
Khilafah dan Pancasila adalah dua hal yang tidak sama dan tidak bisa disatukan karena masing-
masing memiliki tujuan dan juga cara kepemimpinan yang berbeda. Khilafah didefinisikan sebagai
sebuah sistem kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan hukum-
hukum Islam dan mengembangkan dakwah Islam keseluruh penjuru dunia.
Sedangkan Pancasila adalah ideologi dasar dalam kehidupan bagi negara Indonesia. Pancasila
merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Pancasila terdiri dari lima sendi utama yaitu ketuhanan yang maha esa, kemanusian yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan atau perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dari definisi di atas sudah terlihat perbedaan khilafah dan juga pancasila. Pancasila adalah sebuah
ideologi negara sedangkan khilafah adalah sistem kepemimpinannya.
Indonesia sebagai negara pancasila dipimpin oleh seorang presiden yang ditunjuk atau dipilih
melalui pemilihan umum yang sah dan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Sedangkan dalam
khilafah pemimpin dipilih berdasarkan keputusan beberapa orang, dan bahkan karena faktor
keturunan.

SOAL 3
Pembahasan persamaan laki-laki dan perempuan menjadi isu penting saat ini di belahan bumi
manapun. Tuntutan persamaan perempuan dan laki-laki tidak hanya meliputi hak dan kewajiban,
tetapi juga meliputi berbagai aspek kemanusiaan. Demikian seksi dan sensitifnya isu persamaan
gender ini pada setiap ranah domestik dan publik. Akan terjadi penolakan dan gerakan perlawanan
dari aktivis pejuang kesetaraan setiap kali ditemukan kasus yang dipahami sebagai diskriminasi
berdasar atas jenis kelamin.
Analisa kritis terhadap teks dan kebijakan telah banyak dilakukan dan menghasilkan koreksi atas
teks dan dikeluarkannya kebijakan baru yang dianggap setara dalam perspektif gender. Tafsir atas
teks agama Islam juga tak lepas dari fokus kritisi atas upaya persamaan gender. Agaknya sejarah
dan pandangan patriakri yang mengutamakan laki-laki atas perempuan telah menjadi bias dalam
tafsir agama. Hal ini menyebabkan dijumpainya pandangan dan aturan yang mengabaikan hak-hak
dan karakteristik khusus yang dimiliki perempuan.
Dalam tradisi Ahlul Bait, disamping Sirah Nabawiah dan Sirah Imamah as, sosok Fatimah Az
Zahra salamullah alaiha menjadi titik awal pergerakan dan pemahaman atas jati diri perempuan
muslim. Putri Suci Nabi Saw ini telah menunjukkan bagaimana perempuan menorehkan tinta emas
dalam catatan sejarah manusia. Tanpa mengabaikan peran domestik di keluarga, kehadiran
Sayyidah Fatimah di ruang sosial dan politik telah meredefinisikan kehidupan duniawi yang singkat
menjadi keabadian. Kedudukan spiritual yang dimiliki Ibunda Para Imam as menghapus
pemahaman bahwa perempuan tidak sama atau lebih rendah derajatnya dari laki-laki.
Praktek persamaan perempuan dengan laki-laki yang ditemui dalam kehidupan Sayyidah Fatimah
sa, Sirah Nabawiah dan Sirah Mashumin as menjadi referensi atas pemikiran persamaan gender
dalam Islam. Sedangkan dari sisi pemikiran, prinsip persamaan perempuan dan laki-laki dapat
ditemui pada teks yang menjadi referensi aturan dan hukum positif. Pada prinsipnya, persamaan
gender dalam Islam memiliki berbagai aspek antara lain: persamaan dalam aspek kemanusiaan,
persamaan derajat, persamaan nilai etika dan persamaan hak. Meskipun demikian, dibalik semua itu
Islam juga menetapkan beberapa pembedaan berdasar jenis kelamin yang lebih pas untuk dipahami
sebagai “keadilan gender”, namun tidak menjadi pembahasan pada ruang ini.

7
Persamaan Perempuan dan Laki-laki Dalam Kemanusiaan
Dalam hal kemanusiaan, secara defenitif perempuan memiliki kesamaan dengan laki-laki. Al Quran
mengungkapkan persamaan esensi kemanusiaan perempuan dan laki-laki dalam beberapa
pendekatan:
a. Persamaan perempuan dan laki-laki dalam perjalanan meraih keberhasilan.
b. Perempuan dan laki-laki diciptakan dari satu hakikat (nafs).
c. Gender sebagai aspek fisiologis dalam proses terciptanya manusia
d. Persamaan dalam kemampuan spiritual.
MEMBACA PERBEDAAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
Laki-laki dan perempuan dibedakan oleh fungsi masing-masing. Dan fungsi itu berkaitan dengan
apa yang kita kenal dengan istilah kodrat, atau fitrah dalam bahasa Arab.
Dr. Faizah Ali Sibromalisi, mengatakan, “Berbeda dengan gender, kodrat berkaitan dengan fisik,”
ujarnya. Ia menjelaskan bahwa secara kodrat, perempuan berbeda dari laki-laki, begitu pula
sebaliknya. Struktur otak laki-laki, misalnya, terbukti berbeda dengan milik perempuan. Kekuatan
fisik, kestabilan emosi, hormon, merupakan contoh perbedaan lainnya.
Masih tentang fungsi laki-laki dan perempuan, ia kemudian mengutip ayat 34 di surah yang sama,
“Arrijaalu qowwamuuna ‘alannisaa” yang berarti laki-laki adalah pemimpin perempuan. Sebagai
imam keluarga, laki-laki harus memberdayakan dan memberikan perlindungan bagi istrinya. Nah
dari fungsi tersebut kemudian lahir yang namanya hak dan kewajiban suami maupun istri.
Maka, kewajiban istri juga tidak dapat dilepaskan dari kodratnya sebagai perempuan. Islam tidak
pernah membatasi peran perempuan di masyarakat selama ia tidak melalaikan tugasnya sebagai
pendidik. Itu karena ibu adalah madrasah (sekolah) pertama yang mengajarkan kedisplinan,
ketahanan mental, dan akhlak kepada anak-anaknya, serta mengontrol pendidikan formal mereka di
sekolah.

SOAL 4
Secara umum, pengertian e-learning adalah suatu sistem atau konsep pendidikan yang
memanfaatkan teknologi informasi dalam proses belajar mengajar. Secara menyeluruh, pendidikan
di negara Indonesia semakin mengalami perkembangan dan kemajuan yang signifikan. Bukti
perkembangan itu, dapat berkaca pada beragamnya metode pembelajaran yang digunakan.
Metode pembelajaran tersebut, sangat beragam dan kebanyakan memfungsikan beragam media
dengan tujuan dan fungsi peningkatan kualitas hasil belajar. Perkembangan macam-macam media
pembelajaran ini sejalan dengan hadirnya kemajuan teknologi yang demikian pesat pula.
Dengan adanya dinamika yang terjadi pada teknologi saat ini mencapai akselerasi yang luar biasa.
Teknologi yang dipelajari beberapa tahun yang lalu, kini berangsur-angsur mulai tergantikan
dengan teknologi yang baru termasuk dalam cara pembelajaran. Bentuk perkembangan teknologi
informasi tersebut sebagai media pembelajaran adalah dengan menggunakan e-learning. Perlu
diketahui bersama bahwa e-learning merupakan inovasi dalam proses pembelajaran baik dalam
penyampaian materi pembelajaran dan dalam kemampuan kompetensi peserta didik.
Istilah e-learning banyak mempunyai arti disebabkan ada banyak penggunaan e-learning saat ini.
Namun, pada dasarnya, e-learning memiliki dua tipe yaitu synchronous dan asynchronous.
Yang dimaksud dengan Synchronous ialah pada waktu yang sama. Artinya, dimana pada proses
pembelajaran terjadi, pada saat yang sama antara pendidik dan peserta didik. Hal ini memungkinkan
terjadinya interaksi langsung antara pendidik dan peserta didik, antara guru dan pelajar secara

8
online. Dalam pelaksanaan, synchronous training menekankan bahwa pendidik dan peserta didik,
guru dan pelajar mengakses internet secara bersamaan.
Pendidik atau guru memberikan materi pembelajaran dalam bentuk makalah atau slide presentasi
dan peserta didik atau murid dapat mendengarkan presentasi secara langsung melalui internet.
Selain itu, Peserta didik atau murid dapat mengajukan pertanyaan atau komentar secara langsung
ataupun melalui chat window. Synchronous training merupakan gambaran dari kelas nyata, namun
bersifat maya (virtual). Seluruh peserta didik terhubung melalui internet. Maka dari itu, tipe e-
learning ini dalam hal ini Synchronous training juga disebut sebagai "virtual classroom"
Sedangkan, yang dimaksud dengan Asynchronous ialah tidak pada waktu bersamaan. Artinya,
dimana Peserta didik atau murid dapat mengambil waktu pembelajaran yang berbeda dengan
pendidik memberikan materi. Tipe ini sangat populer dalam e-learning, hal itu terjadi karena peserta
didik dapat mengakses materi pembelajaran dimanapun dan kapanpun. Kepopuleran tipe ini,
dimana Peserta didik atau pelajar dapat melaksanakan pembelajaran dan menyelesaikannya setiap
saat sesuai rentang jadwal yang telah ditentukan. Pembelajaran dapat berbentuk bacaan, animasi,
simulasi, permainan edukatif, tes, quis dan pengumpulan tugas.
Jika suatu lembaga meninggalkan IT, maka dapat dipastikan sekolah tersebut akan tertinggal dan
terbelakang. Karena, teknologi akan semakin berkembang di setiap zaman, dan saat ini hampir
semua aspek kehidupan manusia menggunakan teknologi. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri
lagi, bahwa saat ini manusia sudah berketergantungan dengan teknologi, dan mereka tidak akan bisa
hidup tanpa adanya teknologi.
Sekolah akan menjadi lembaga bermutu bagi para alumni dengan syarat bahwa sekolah tersebut
bisa mencetak dan menghasilkan generasi-generasi yang berbudi pekerti, bukan generasi yang
cerdas namun tidak bermoral.

Anda mungkin juga menyukai