Anda di halaman 1dari 21

PENDIDIKAN DAN STRATIFIKASI SOSIAL

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan
Dosen : Huliman Abdul Gofur, S.Sos.I, M.Pd

Disusun Oleh :
1. Dudi Sunardi (068.14.1525.17)
2. Nu’man Muntaha (068.14.1580.17)
3. Tesa Meisa Putri (068.14.1616.17)
4. Takiyyah Nurlaela

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) AT-TAQWA
CIPARAY-BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat serta salam semoga
senantiasa terlimpah curah kepada Rasulullah SAW. Kami bersyukur kepada Illahi
Rabbi yang telah memberikan hidayah serta taufik-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah
Sosiologi Pendidikan yang berjudul “Pendidikan dan Stratifikasi Sosial”.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu penyusunan makalah ini. Atas dukungan moral dan materil yang
diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka kami mengucapkan banyak
terima kasih kepada Bapak Huliman Abdul Gofur, S.Sos.I, M.Pd selaku Dosen
Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan..
Kami menyadari sepenuhnya di dalam penulisan makalah ini banyak
terdapat kekurangan, oleh karena itu kami mengharapkan adanya kritik dan saran
demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca serta dapat memahami secara mendalam hal-hal yang berkaitan
dengan “Pendidikan dan Stratifikasi Sosial”.

Bandung, Oktober 2019

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan 2
D. Metode Penelitian 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Pengertian Pendidikan
B. Pengertian Stratifikasi Sosial
C. Peran Pendidikan dalam Stratifikasi Sosial
D. Sebab-Sebab Terjadinya Stratifikasi Sosial
E. Cara Menentukan Golongan Sosial
F. Sosiometri
G. Pendidikan Menurut Perbedaan Sosial
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan mempunyai peranan yang amat menentukan bagi
perkembangan dan perwujudan diri individu, tingkat pendidikan seseorang
mempunyai korelasi yang tinggi dengan kedudukan sosialnya. Sebagaimana
pernyataan Nasution dalam bukunya Sosiologi Pendidikan menyatakan bahwa:
“Dalam berbagai studi, tingkat pendidikan tertinggi yang diperoleh seseorang
digunakan sebagai indeks kedudukan sosialnya. Menurut penelitian memang
terdapat korelasi yang tinggi antara kedudukan sosial seseorang dengan tingkat
pendidikan yang telah ditempuhnya” [1]
Pendidikan dalam hal ini memiliki peranan yang strategis dalam
membentuk stratifikasi sosial. Sehingga banyak sekali orangtua/wali yang ingin
menyekolahkan anak-anaknya sampai kejenjang yang setinggi mungkin, tanpa
melihat bagaimana keaadaan ekonominya saat ini. Karena dianggapnya dengan
semakin tingginya tingkat pendidikan yang ditempuh anak-anaknya, maka makin
besarlah kesempatannya untuk mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan tinggi
untuk mendapat kedudukan yang baik dan dengan demikian masuk golongan
sosial menengah atas.
Tingkat pendidikan yang seharusnya mampu mengangkat
kedudukan sosial seseorang kini hampir tidak ada pengaruhnya dalam mobilitas
sosial. Ijazah SMA kini tidak ada artinya untuk mencari kedudukan yang tinggi,
bahkan perguruan tinggi yang dianggap suatu syarat mobilitas sosial tidak mampu
menjanjikan lulusannya untuk memperoleh kedudukan sosial yang baik, tetapi
justru kini sudah bertambah sulit untuk memperoleh kedudukan yang empuk di
masyarakat. Indikasinya, semakin banyaknya lulusan perguruan tinggi yang
kesulitan mengamalkan keilmuan yang diperolehnya dari bangku kuliah sehingga
jumlah penyandang status sarjana pengangguran semakin naik dari tahun ke
tahun. Karena hampir di semua kampus di Indonesia melakukan praktik bonsai
pada ranah kemampuan intelektualnya, mahasiswa dituntut untuk lulus cepat,
minimal tiga tahun dan maksimal empat tahun. Kampus tidak mau tahu, apakah
kemampuan intelektual mahasiswanya sudah mumpuni atau belum, sudah siap
dilepas ke tengah masyarakat atau belum, sudah cukup bekal untuk membangun
bangsa dan negaranya atau belum. [2]
Banyak sekali sarjana yang hanya bermodalkan ijazah dan transkip nilai
yang berharap bisa mengangkat kedudukan sosialnya. Jadi, apakah selalu benar
pendidikan dapat menjadi alat mobilitas sosial. Berikut ini akan kami bahas
mengenai pendidikan dan stratifikasi sosial.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah peran pendidikan dalam stratifikasi sosial itu?
2. Apa sajakah sebab-sebab terjadinya stratifikasi sosial itu?
3. Bagaimanakah cara menentukan stratifikasi sosial itu?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui peran pendidikan dalam stratifikasi sosial.
2. Untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya stratifikasi sosial.
3. Untuk mengetahui cara menentukan stratifikasi sosial.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan
Menurut kamus Bahasa Indonesia kata pendidikan berasal dari kata ‘didik’
dan mendapat imbuhan ‘pe’ dan akhiran ‘an’, maka kata ini mempunyai arti
proses atau cara atau perbuatan mendidik.[3]
Konsep pendidikan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pada Bab I Pasal 1 Ayat 1,
pendidikan didefinisikan sebagai: [4]
“Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.”
Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang harus direncanakan dengan
penuh kesadaran. Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara dalam Prayitno
menjelaskan tentang pengertian pendidikan yaitu: [5]
“Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun
maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada
anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat
dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.”
Beberapa pengertian pendidikan di atas membuat penulis menyimpulkan
bahwa Pendidikan adalah Bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang
dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan
tujuan agar anak cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan
bantuan orang lain.
B. Pengertian Stratifikasi Sosial
Ada beberapa definisi yang dapat digunakan sebagai acuan dalam
mendefisinikan stratifikasi sosial (Social Stratification), yaitu: [6]
1. Menurut Mosaca: Stratifikasi sosial adalah Pembedaan anggota masyarakat
berdasarkan status yang dimilikinya
2. Menurut Max Weber : Stratifikasi sosial merupakan penggolongan orang-orang
yang termasuk dalam suatu system social tertentu atas lapisan-lapisan hirarki
menurut dimensi kekuasaan, privilese dan prestise.”
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat kami simpulkan bahwa
stratifikasi sosial adalah sebuah konsep yang menunjukkan adanya perbedaan
dan/atau pengelompokan suatu kelompok sosial (komunitas) secara bertingkat.
Misalnya dalam komunitas tersebut terdapat strata tinggi, strata sedang, dan strata
rendah.
Masyarakat menggolongkan masing-masing orang dalam berbagai
kategori, dari lapisan yang paling atas sampai yang paling bawah, saat itulah
stratifikasi sosial terjadi. Namun ada masyarakat yang melakukan penggolongan
sosial dengan cukup ketat, sebagaimana yang dijelaskan oleh Nasution bahwa: [7]
Ada masyarakat yang mempunyai pola stratifikasi yang sangat ketat
seperti, seseorang yang lahir dalam golongan bawah tidak mungkin meningkat
kegolongan yang lebih tinggi. Keanggotaannya dalam suatu kategori tersebutlah
yang menentukan tinggi pendidikan yang dapat ditempuhnya, jabatan yang dapat
didudukinya, orang yang dapat dinikahinya, dan sebagainya. Golongan yang
seperti ini biasa disebut istilah kasta.
Beberapa masyarakat juga melakukan penggolongan sosial dengan cara
yang tidak seketat seperti yang disebutkan di atas, tetapi bersifat fleksibel dengan
batas-batas yang agak kabur dan senantiasa dapat mengalami perubahan. Dalam
masyarakat yang demikian anak seorang presiden sekalipun dapat menikahi putri
dari keturunan golongan sosial rendah.
Penggolongan sosial di atas terjadi karena adanya sifat sistem pelapisan di
masyarakat. Menurut Sarjono Soekanto, pelapisan di masyarakat dapat bersifat
tertutup (closed social certification) dan terbuka (open social Stratification), hal
ini dapat dijelaskan bahwa : [8] sistem tertutup, dimana membatasi kemungkinan
berpindah seorang dari suatu lapisan kelapisan lain, baik berupa gerak keatas
maupun gerak kebawah. Di dalam sistem yang demikian, satu-satunya jalan
menjadi anggota suatu lapisan dalam masyarakat adalah kelahiran. Contoh:
masyarakat dengan sistem stratifikasi sosial tertutup ini adalah masyarakat
berkasta, sebagian masyarakat feodal atau masyarakat yang dasar stratifikasinya
tergantung pada perbedaan rasial. Sistem terbuka yang mana masyarakat di
dalamnya memiliki kesempatan untuk berusaha degan kecakapan sendiri untuk
naik lapisan. Atau bagi mereka yang tidak beruntung, untuk jatuh dari lapisan atas
kelapisan bawah, kemungkinan terjadinya mobilitas sosial sangat besar.
Suatu masyarakat dinamakan tertutup mana kala setiap anggota
masyarakat tetap pada status yang sama dengan orang tuanya.
Sedangkan dinamakan terbuka, karena setiap anggota masyarakat menduduki
status berbeda dengan orang tuanya, dimana bisa lebih tinggi atau lebih rendah.
Mobilitas sosial yang disebut tadi, berarti berpindah status dalam stratifikasi
sosial. Berbagai faktor yang menyebabkan perpindahan status, antara lain
pendidikan dan pekerjaan.
C. Peran Pendidikan dalam Stratifikasi Sosial
Pendidikan telah menjadi sektor yang strategis dalam program
pembangunan suatu bangsa. Sebagaimana pernyataan Yuliana bahwa: [9]
“Banyak Negara telah menjadikan sektor pendidikan sebagai leading sector yaitu
sektor utama atau unggulan dalam program pembangunan. Ternyata Negara yang
menjadikan pendidikan sebagai leading sector, telah menjadi Negara maju dan
telah menguasai pasar dunia. Jepang menjadi Negara maju karena pendidikan
menjadi perhatian utama dalam kebijakan pembangunan di Negara tersebut.”
Pendidikan dipandang sebagai jalan untuk mencapai kedudukan yang lebih
baik di dalam masyarakat. Makin tinggi pendidikan yang diperoleh makin besar
harapan untuk mencapai tujuan itu. Dengan demikian terbuka kesempatan untuk
meningkat kegolongan yang lebih tinggi. Dapat dikatakan bahwa pendidikan
merupakan suatu jalan untuk menuju mobilitas sosial.
Mobilitas sosial adalah sebuah gerakan masyarakat dalam kegiatan menuju
perubahan yang lebih baik. Horton dan Chester dalam Idi mengatakan
bahwa: “Mobilitas sosial adalah suatu gerak perpindahan dari satu kelas sosial ke
kelas sosial lainnya.” [10]
Jadi yang dikatakan mobilitas sosial adalah perubahan, pergeseran,
peningkatan, ataupun penurunan status dan peran anggotanya. Proses keberhasilan
ataupun kegagalan setiap orang dalam melakukan gerak sosial seperti inilah yang
dikatakan mobilitas sosial.
Dalam tiap masyarakat modern terdapat mobilitas sosial atau perpindahan
golongan yang cukup banyak. Perpindahan orang dari golongan sosial yang lain,
yang lebih tinggi atau lebih rendah disebut mobilitas sosial vertical. Mobilitas
sosial ini berarti bahwa individu itu memasuki lingkungan sosial yang berbeda
dengan sebelumnya.
Ada faktor penghambant mobilitas seperti agama,kesukuan, jenis kelamin
dan sebagainya. Kenaikan golongn sosial dapat diselidiki dengan (a) meneliti
riwayat pekerjaan seseorang, (b) membandingkan kedudukan sosial indidu dengan
kedudukan orang tuanya,. Jadi tidak ada negara yang sepenuhnya “terbuka” atau
“tertutup bagi mobilitas sosial, kerena dalam masyarakat terbuka orang lebih
mudah naik kegolongan sosial yang lebih tinggi.
Boleh dikatakan bahwa, status sosial seseorang bergantung pada usaha dan
kemauannya untuk meningkatkan golongan sosialnya. Sedangkan dalam
masyarakat tertutup kenaikan sosial mengalami banyak kesulitan, diantaranya ada
yang tidak dapat diatasi oleh individu itu sendiri, karena ditentukan oleh
keturunan. Walaupun dalam masyarakat terbuka setiap orang mencapai tingkat
sosial yang paling tinggi yaitu, terdapat banyak mobilitas, yang naik lebih banyak
dari pada yang turun, namun kenaikan itu terbatas dinegara maju. Faktor lain yang
memperluas mobilitas sosial adalah perluasan dan peningkatan pendidikan untuk
memenuhi tenaga kerja bagi pembangunan yang kian meningkat, khususnya
pendidikan tinggi.
Pada umumnya kenaikan status sosial dianggap bai, karena membuktikan
keberhasilan usaha seseorang. Namun, ada mensyinyalir aspek negatif, yakni bagi
individu timbulnya rasa ketegangan, keangkuhan dengan memamerkan kekayaan,
keguncangan kehidupan, keluarga dengan bertambahnya perceraian atau eretakan
keluarga. Selain itu, moblitas sosial dapat memeperlemah solidaritas kelompok
karena, mereka yang beralih golongan sosial akan menerima norma-norma baru
dari golongan yang dimasukinya dengan meninggalkan norma-norma golongan
sosial semula.
1. Pendidikan sebagai Mobilitas Sosial
Asumsi dalam mobilitas sosial tentang bertambah tingginya taraf
pendidikan maka semakin besar kemungkinan mobilitas bagi anak-anak
golongan rendah dan menengah. Pendidikan tinggi saat ini masih sangat
selektif, dengan menggunakan komputer untuk menilai tes seleksi menjadi
obyektif artinya tidak lagi dipengaruhi kedudukan orang tua atau orang yang
memberikan rekomendasi. Cara itu membuka kesempatan yang lebih luas bagi
anak-anak golongan rendah dan menengah untuk memasuki perguruan tinggi
atas dasar prestasinya dalam tes masuk itu. Meskipun tidak semua orang tua
mampu membiayai studi anaknya di perguruan tinggi karena biaya yang cukup
mahal, menjadi suatu hambatan bagi golongan rendah untuk menyekolahkan
anaknya pada tingkat universitas.
Cukup banyak contoh-contoh yang dapat kita lihat di sekitar kita
tentang orang yang meningkat dalam status sosialnya berkat pendidikan yang
diperolehnya. Hal senada juga dibenarkan oleh Nasution bahwa: [11]
“Pada zaman dahulu orang yang menyelesaikan pendidikannya pada HIS, yaitu
SD pada zaman Belanda mempunyai harapan menjadi pegawai dan mendapat
kedudukan sosial yang terhormat. Apalagi kalau ia lulus MULO, AMS atau
Perguruan Tinggi maka makin besarlah kesempatannya untuk mendapat
kedudukan yang baik dan dengan demikian masuk golongan sosial menengah
atas”
Menurut beliau juga, pada sekarang ini asumsi tersebut tidak selalu
benar, beliau menyatakan bahwa: “pendidikan tidak akan menjadi alat
mobilitas sosial bagi golongan rendah dan menengah apabila tingkat
pendidikannya hanya sampai taraf menengah. Jadi walaupun kewajiban belajar
ditingkatkan sampai SLTA masih menjadi pertanyaan apakah mobilitas sosial
dengan sendirinya akan meningkat.” [12]
Pendidikan SMA-pun saat ini apalagi SD hampir tidak ada
pengaruhnya dalam mobilitas sosial, ijazah SMA tidak ada artinya lagi dalam
mencari kedudukan yang tinggi ataupun menaikkan seseorang kegolongan
sosial yang lebih tinggi. Bahkan pendidikan tinggi yang dianggap sebagai suatu
syarat bagi Mobilitas Sosial. Bagi lulusan perguruan tinggi pun sekarang sudah
semakin sulit untuk memperoleh kedudukan yang baik.
2. Golongan Sosial Mempengaruhi Jenis Pendidikan
Pembedaan-pembedaan berdasarkan golongan di negara demokrasi
adalah “haram” apabila terjadi. Namun dalam kenyataannya menurut Nasution
bahwasanya:
“Adanya pembedaan sosial itu tidak dapat disangkal. Ini dapat dilihat dari
sikap rakyat terhadap pembesar atau dari simbol-simbol status seperti mobil
mewah dan sebagainya.”[13]
Jenis pendidikan merupakan sebuah prioritas, orang tua yang
mengetahui batas kemampuan keuangannya akan cenderung memilih sekolah
kejuruan bagi anaknya. Sebaliknya anak-anak orang kaya tidak tertarik dengan
sekolah kejuruan. Oleh karena itu dapat diduga bahwa sekolah kejuruan akan
lebih banyak memiliki murid dari golongan rendah daripada yang berasal dari
golongan atas. Walaupun sekolah kejuruan memberi jaminan yang lebih baik
untuk langsung bekerja daripada yang lulus sekolah menengah umum, tapi
tetap saja murid-murid cenderung memilih sekolah menengah umum.
Demikian juga dengan perguruan tinggi, mata kuliah atau bidang studi
yang berkaitan mempunyai status yang lebih tinggi. Misalnya matematika dan
fisika dipandang lebih tinggi daripada BK atau Tata Buku. Sikap tersebut
muncul bukan hanya pada siswa tapi juga di kalangan guru dan orang tua yang
dengan sengaja atau tak sengaja menyampaikan sikap itu kepada anak-
anaknya.
Seperti yang telah diketahui bahwasannya pendidikan tidak terlepas
dari masyarakat maka dari itu sekolah sendiri tidak mampu meniadakan batas-
batas tingkatan sosial itu. Akhirnya banyak sekolah yang memberikan
pendidikan sesuai golongan-golongannya bahkan membedakan kurikulumnya.

3. Bakat Dan Golongan Sosial


Berdasarkan penelitian tentang angka-angka murid menunjukkan
bahwa angka-angka yang tinggi lebih banyak ditemukan pada murid dari
golongan sosial yang tinggi. Kegagalan dalam pelajaran lebih banyak terdapat
dikalangan murid dari golongan rendah. Walaupun dalam tes intelegensi
ternyata kelebihan IQ anak-anak golongan atas, namun tak semua kegagalan
dan angka - angka rendah yang kebanyakan dari anak golongan rendah dapat
dijelaskan dengan IQ. Ini menandakan bahwa Iq mengandung unsur pengaruh
lingkungan.Atas pengaruh lingkungan IQ dapat berubah. Lingkungan yang
baik dapat meningkatkan IQ.
Pada umumnya ada perbedaan bakat atau pembawaan diantara anak-
anak dari berbagai golongan sosial. Disamping itu terdapat pula perbedaan pula
perbedaan minat mereka terhadap kurikulum yang berlaku dan motivasi untuk
mencapai angka yang tertinggi. Guru-guru dapat memperhatikan bahwa
banyak anak dari golongan rendah mempunyai perhatian yang kurang terhadap
pelajaran akademis meskipun mempunyai IQ yang tinggi.Anak-anak dari
golongan rendah biasanya turut mencari nafkah keluarga sehingga mengurangi
minat belajar. Selain itu ada kemungkinan perbedan partisipasi anak-anak dari
berbagai golongan sosial dalam berbagai kegiatan ekstra kurikuler yang
memerlukan waktu dan biaya, seperti kegiatan olahraga, kemping, musik, seni
lukis, kepranukaan dan sebagainya, kecuali bila diharuskan bagi semua siswa.
Guru pun secara tidak sadar cenderung lebih memperhatikan anak-anak
dari golongan menengah atas karena guru sendiri menganggap dirinya berada
pisisi menengah atas sehingga berbuat sesuai dengan norma itu. Aturan
dijalankan sesuai dengan golongan menengah atas sehingga tidak mungkin
dapat dipahami oleh anak-anak dari golongan yang lebih rendah
D. Sebab-Sebab Terjadinya Stratifikasi Sosial
Setiap masyarakat mempunyai sesuatu yang dihargai, bisa berupa
kepandaian, kekayaan, kekuasaan, profesi, keaslian keanggotaan masyarakat dan
sebagainya. Selama manusia membeda-bedakan penghargaan terhadap sesuatu
yang dimiliki tersebut, pasti akan menimbulkan lapisan-lapisan dalam masyarakat.
Semakin banyak kepemilikan, kecakapan seseorang terhadap sesuatu yang
dihargai, semakin tinggi kedudukan atau lapisannya. Sebaliknya bagi mereka yang
hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak memiliki sama sekali, maka mereka
mempunyai kedudukan dan lapisan yang rendah.
Seseorang yang mempunyai tugas sebagai pejabat atau ketua atau
pemimpin pasti menempati lapisan yang tinggi dari pada sebagai anggota
masyarakat yang tidak mempunyai tugas apapun. Karena penghargaan terhadap
jasa atau pengabdiannya seseorang bisa pula ditempatkan pada posisi yang tinggi,
misalnya pahlawan, pelopor, penemu, dan sebagainya. Dapat juga karena keahlian
dan ketrampilan seseorang dalam pekerjaan tertentu dia menduduki posisi tinggi
jika dibandingkan dengan pekerja yang tidak mempunyai ketrampilan apapun.
Stratifikasi sosial terjadi melalui proses sebagai berikut : [14]
1. Terjadinya secara otomatis, karena faktor-faktor yang dibawa individu sejak
lahir. Misalnya : Kepandaian, usia, jenis kelamin, keturunan, sifat keaslian
keanggotaan seseorang dalam masyarakat.
2. Terjadinya dengan sengaja, untuk tujuan bersama dilakukan dalam pembagian
kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi-organisasi formal,
Seperti Pemerintah, Partai politik, Perusahaan, Perkumpulan, Angkatan
Bersenjata.
Stratifikasi sosial biasanya dilatarbelakangi oleh Perbedaan ras dan
budaya, pembagian tugas/kerja yang terspesialisasi, kelangkaan sumber daya
maupun kekuasaan.
Sedangkan ukuran atau kriteria yang dominan sebagai dasar pembentukan
stratifikasi sosial adalah sebagai berikut:[15]
1. Ukuran kekayaan, Kekayaan dapat dijadikan ukuran penempatan anggota
masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki
kekayaan paling banyak maka ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem
pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, barang siapa tidak mempunyai
kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah.
2. Ukuran kekuasaan dan wewenang, Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau
wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan
sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak
lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya
dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan
dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.
3. Ukuran kehormatan, Kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan
atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati
lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini
sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat
menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang
tua ataupun orang-orang yang berperilaku dan berbudi luhur.
4. Ukuran ilmu pengetahuan, Ilmu pengetahuan sering dipakai oleh masyarakat
yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu
pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial
dimasyarakatnya. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam
gelar-gelar akademik, profesi yang disandang oleh seseorang misalnya dokter,
insinyur, doktor ataupun profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif
dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi
daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan
cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya
dengan membeli skripsi, membuat ijazah palsu dan seterusnya.”
Kriteria atau ukuran di atas umumnya digunakan untuk mengelompokkan
para anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan tertentu. Misalnya, dalam dunia
akademik orang akan cenderung menggunakan tingkat pendidikan untuk
menentukan statusnya.
E. Cara Menentukan Golongan Sosial
Konsep tentang penggolongan sosial bergantung pada cara seseorang
menentukan golongan sosial itu. Adanya golongan sosial timbul karena adanya
perbedaan status dikalangan anggota masyarakat.
Adapun Macam-Macam Status Sosial adalah sebagai berikut:[16]
1. Ascribed, Ascribed status adalah tipe status yang diperoleh seseorang secara
alamiah seperti jenis kelamin, ras, kasta, golongan, keturunan, suku, usia, dan
lain sebagainya.
2. Achieved, Achieved status adalah status sosial yang didapat sesorang karena
kerja keras dan usaha yang dilakukannya. Contoh achieved status yaitu
seperti peternak kambing yang bisa menjadi sukses karena keuletan dan
kegigihannya sehingga bisa mengangkat derajat kehidupannya, harta kekayaan,
tingkat pendidikan, pekerjaan, dll.
3. Assigned, Assigned status adalah status sosial yang diperoleh seseorang di
dalam lingkungan masyarakat yang bukan didapat sejak lahir tetapi diberikan
karena usaha dan kepercayaan masyarakat. Contohnya seperti seseorang yang
dijadikan kepala suku, ketua adat, sesepuh, dan sebagainya.”
Status sosial yang di atas, berarti berpindah status dalam stratiifikasi sosial
yang disebabkan oleh berbagai faktor disetiap jenis status sosialnya.
Sedangkan untuk menentukan stratifikasi sosial dapat diikuti tiga metode
berikut ini, yaitu :
1. Metode obyetif yaitu stratifikasi yang ditentukan berdasarkan
kriteria obyektif antara lain : jumlah pendapatan, lama atau tinggi pendidikan,
jenis pekerjaan.[17] Menurut suatu penelitian di amerika Serikat pada tahun
1954, bahwa dokter menempati kedudukan yang sangat tinggi sama dengan
gubernur Negara bagian. Juga professor tinggi kedudukannya sama dengan
ilmuwan, anggota kongres, Dewan Perwakilan Rakyat. Guru sekolah
menduduki tempat yang lebih rendah dari kapten tentara, pemain orkes atau
kontraktor, akan tetapi lebih tinggi dari penyiar radio, masinis, polisi. Yang
paling rendah kedudukannya adalah tukang semir sepatu.
2. Metode Subyektif yaitu dimana dengan menggunakan metode ini
kelompok/golongan sosial dirumuskan berdasarkan pandangan menurut
anggota masyarakat menilai dirinya dalam hirarki kedudukan dalam
masyarakat itu. Kepada mereka diajukan pertanyaan : “menurut pendapat
saudara termasuk golongan manakah saudara di negara ini, golongan atas,
golongan menengah, atau golongan rendah?
3. Metode Reputasi, metode ini dikembagkan oleh Lloyd Warner cs. Dalam
metode ini golongan sosial dirumuskan menurut bagaimana anggota
masyarakat menempatkan masing-masing stratifikasi masyarakat itu. Kesulitan
penggolongan objektif dan subyektif ialah bahwa penggolongan itu sering
tidak sesuai dengan tanggapan orang dalam lingkungan sehari-hari yang nyata
tentang golongan sosial masing-masing. Oleh sebab itu Warner mengikuti
suatu cara yang realistis yakni memberikan kesempatan kepada orang dalam
masyarakat itu sendiri menentukan golongan-golongan mana yang terdapat
pada masyarakat itu lalu mengidentifikasi anggota masing-masing golongan
itu.” [18]
Stratifikasi sosial dapat ditentukan dari tiga metode diatas, namun yang
paling mudah di identifikasi di dalam struktur sosial adalah didasarkan pada besar
kecilnya penghasilan dan kepemilikan benda-benda materi yang sering disebut
harta benda. Indikator antara kaya dan miskin juga mudah sekali di identifikasi,
yaitu melalui pemilikan sarana hidup.
1. Golongan Sosial Sebagai Lingkungan Sosial
Golongan sosial menentukan lingkungan seseorang. Pengetahuan,
kebutuhan dan tujuan, sikap, watak seseorang sangat dipengaruhi oleh
lingkungan sosialnya. Sistem golongan sosial menimbulkan batas-batas dan
rintangan ekonomi, kultural dan sosial yang mencegah pergaulan dengan
golongan - golongan lain. Orang cenderung akan mencari pergaulan dikalangan
yang dianggap sama golongan sosialnya dengan dirinya. Dalam hal
pendidikan, golongan sosial bisa membatasi dan menentukan lingkungan
belajar anak.
Orang yang termasuk golongan sosial yang sama cenderung bertempat
tinggal di daerah tertentu. Misalkan orang golongan atas akan tinggal di daerah
elite karena anggota golongan rendah tidak mampu tinggal di sana.Orang akan
mencari pergaulan dikalangan yang dianggap sama golongan sosialnya.Namun
demikian ada kemungkinan terjadi perpindahan sosial.

2. Tingkat Pendidikan dan Tingakat Golongan Sosial


Dalam berbagai studi, disebutkan tingkat pendidikan tertinggi yang
didapatkan seseorang digunakan sebagai indeks kedudukan sosialnya. Menurut
penelitian memang terdapat korelasi yang tinggi antara kedudukan social
seseorang dengan tingkat pendidikan yang telah ditempuhnya, meski demikian
pendidikan yang tinggi tidak dengan sendirinya menjamin kedudukan sosial
yang tinggi. Korelasi antara pendidikan dan golongan sosial antara lain terjadi
karena anak dari golongan rendah kebanyakan tidak melanjutkan pelajarannya
sampai perguruan tinggi. Sementara orang yang termasuk golongan atas
beraspirasi agar anaknya menyelesaikan pendidikan sampai perguruan tinggi.
Orang yang berkedudukan tinggi, bergelar akademis, yang mempunyai
pendapatan besar tinggal di rumah elite dan merasa termasuk golongan atas
akan mengusahakan anaknya masuk universitas dan memperoleh gelar
akademis. Sebaliknya anak yang orangtuanya buta huruf mencari nafkahnya
dengan mengumpulkan puntung rokok, tinggal digubuk kecil, tak dapat
diharapkan akan mengusahakan anaknya menikmati perguruan tinggi.
Ditingkat SD belum tampak adanya pengaruh perbedaan golongan
sosial, apalagi kalau ada kewajiban belajar yang mengharuskan semua anak
memasukinya, akan tetapi pada tingkat yang lebih tinggi akan lebih tampak
jelas. Dimana persentase anak-anak golongan yang berada atau berpangkat
makin meningkat dengan bertambah tingginya taraf pendidikan dan usia
pelajar.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi tingkat pendidikan seorang anak, Yaitu:
a. Pendapatan orangtua yang tidak mencukupi.
b. Kurangnya perhatian akan pendidikan dikalangan orangtua, banyak anak
dari golongan menengah kebawah yang mempunyai hasrat untuk
melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi tapi orangtua malah
menghalangi karena tidak adanya biaya karena pendidikan membutuhkan
biaya yang tidak sedikit. Walau demikian ada juga beberapa kasus si anak
tetap ingin melanjutkan pendidikannya walaupun dia harus berusaha sendiri
untuk membiayai pendidikannya.
F. Sosiometri
Sosiometri digunakan untuk mengetahui hubungan sosial antara murid-
murid dalam kelas. Kepada anak-anak diminta menulis nama satu orang dengan
siapa dia duduk sebangku, dapat juga kita minta nama dua orang menurut prioritas
anak itu bahkan ditambah dengan nama anak yang tidak disukai. Selain teman
sebangku, juga bisa diganti dengan teman menonton, teman belajar, teman
bermain dll. dari nama-nama yang ditulis dapat diolah menjadi sosiogram yang
menunjukkan gambar diagram hubungan sosial dalam kelas. Anak yang paling
dipilih diberi julukan " bintang ", anak yang tidak dipilih oleh siapapun disebut
"isolate". Selain itu akan muncul dua orang yang saling memilih disebut "pair /
pasangan", kemudian tiga orang yang saling memilih disebut " triangle / segitiga "
dan ditemukan juga satu kelompok yang erat hubungan anggotanya disebut "
klik / clique ".
G. Pendidikan Menurut Perbedaan Sosial
Pada umumnya di negara demokrasi, orang sukar menerima, adanya
golongan-golongan sosial dalam masyarakat. Menurut Undang-Undang semua
warga negara sama, dalam kenyataannya tak dapat disangkal adanya perbedaan
sosial itu, yang tampak dari sikap rakyat biasa terhadap pembesar, orang miskin
terhadap orang kaya, pembantu terhadap majikan, dan lain-lain. Perbedaan itu
nyata dalam simbol-simbol status seperti; mobil mewah, rumah mentereng,
perabot luks, dll. Suka atau tidak suka perbedaan sosial terdapat di sepanjang
masa, walaupun sering perbedaan tidak selalu mencolok.
Pendidikan bertujuan untuk membekali setiap anak agar masing-masing
dapat maju dalam hidupnya mencapai tingkat setinggi-tingginya. Akan tetapi
sekolah sendiri tidak mampu meniadakan, batas-batas tingkat sosial itu.
Pendidikan selalu merupakan bagian dari sistem sosial. Namun, segera timbul
keberatan terhadap pendirian yang demikian. Karena dianggap bertentangan
dengan prinsip demokrasi dengan mengadakan diskriminasi dalam pendidikan.
Cara demikian akan memperkuat penggolongn sosial dan menghambat mobilitas
sosial yang diharapkan dari pendidikan. Harapan ini tidak mudah diwujudkan
karena banyak daya-daya lain di luar sekolah yang menimbulkan, stratifikasi
sosial yang jauh lebih kuat daripada pendidikan formal. Pada saat ini sekolah-
sekolah meneruskan cita-cita untuk menebarluaskan ideal dan norma-norma
kesamaan dan mobilitas secara verbal. Disamping adanya daya-daya stratifikasi
yang berlangsung terus dalam masyarakat. Ini berarti bahwa usaha untuk
mengajarkan kesamaan dan mobilitas akan menghadapi kesulitan dalam dunia
nyata.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Penulis menyadari banyaknya kekurangan dalam penulisan karya ilmiah
(makalah) ini, baik itu dari kesalahan tanda baca, bahasa dan sebagainya. Maka,
atas dasar kekurangan itu diharapkan adanya kritik dan saran yang membangun.
Agar ada perubahan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Idi , Abdullah, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013.
Damanik. S. Fritz Hotman, Sosiologi, Klaten: Intan Pariwara, 2009.
Nasution, S. Sosiologi Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara , 2011.
Yuliana, Bayu, stratifikasi social dalam masyarakat, (online),
tersedia, http://bayuekayulian.blogspot.com/2007/06/stratifikasi-sosial-
dalam-masyarakat-27.html. diakses pada tanggal 23 maret 2016.
Akbar, M., Mahasiswa Bukan Bonsai, (online),
Tersedia, http://republika.co.id/berita/jurnalisme-
warga/wacana/16/03/14/o408c7336-mahasiswa-bukan-bonsai, diakses
pada, 23 maret 2016.

[1] S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, Jakarta, Bumi Aksara, 2011, hlm. 30.
[2] M. Akbar, (2016), Mahasiswa Bukan Bonsai, (online), Tersedia,
http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/16/03/14/o408c7336-mahasiswa-
bukan-bonsai, diakses pada, 23 maret 2016.
[3] Poerwadaminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1995, hlm. 323.
[4] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2003: Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Bab I, Pasal 1, Ayat 1.
[5] Prayitno, Dasar Teori Dan Praksis Pendidikan, Bandung, Grasindo, 1999, hlm. 110.
[6] Fritz Hotman S. Damanik, Sosiologi, Klaten, Intan Pariwara, 2009, hlm. 6.
[7] S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, Jakarta, Bumi Aksara, 2011, hlm. 26.
[8] Bayu Yuliana, Stratifikasi Social Dalam Masyarakat, (Online),
Tersedia, http://bayuekayulian.blogspot.com/2007/06/stratifikasi-sosial-dalam-masyarakat-
27.html. diakses pada tanggal 23 maret 2016.
[9] Abd. Muhyi Batubara, Sosiologi Pendidikan, Jakarta, Ciputat Press, 2004, hlm 5.
[10] Abdullah Idi, sosiologi pendidikan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2013, hlm 195.
[11] S. Nasution, Op.Cit., hlm. 39.
[12] Ibid, hal. 40-41.
[13] Ibid, hlm. 41.
[14] Ibid, hlm. 41.
[15] Fritz Hotman S. Damanik, Op.Cit, hlm 8.
[16] Admin, Jenis-Jenis/Macam-Macam Status Sosial & Stratifikasi Sosial Dalam Masyarakat,
(Online), Tersedia, https://odyrogents.wordpress.com/jenis-jenismacam-macam-status-sosial-stratifikasi-
sosial-dalam-masyarakat/ diakses pada 23 Maret 2016
[17] Abdullah Idi, Op. Cit, hlm 184.
[18] S. Nasution, Op.Cit, hlm 27-28.

Anda mungkin juga menyukai