Anda di halaman 1dari 28

TUGAS TERSTRUKTUR DOSEN PENGAMPU

FILSAFAT PENDIDIKAN IBU LATIFAH M.Pd

DEMOKRASI PENDIDIKAN DI INDONESIA

OLEH :

KELOMPOK 8

MUHAMMAD AMIN BUSYAIRI : 220101010572


MUHAMMAD ARIF KUSUMA : 220101010592

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


BANJARMASIN FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PRORAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2022 M/1443 H
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur selalu tercurah kehadirat Allah SWT. yang telah
memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul “ DEMOKRASI
PENDIDIKAN DI INDONESIA ”.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah FILSAFAT PENDIDIKAN. Selain itu makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan. Kami
mengucapkan terimakasih kepada ibu Latifah, M. Pd.I selaku dosen pengampu
mata kuliah FILSAFAT PENDIDIKAN.

Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa makalah ini


masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran senantiasa
kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Demikian yang dapat kami
sampaikan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1

A. Latar belakang.......................................................................................1

B. Rumusan Masalah.................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................2

A. Demokrasi Pendidikan Di Indonesia....................................................2

B. Perkembangan Pendidikan Di indonesia Dari Masa ke Masa..............3

C. Problematika Pendidikan Di Indonesia................................................10

D. Penerapan Demokrasi Pendidikan Di Indonesia...................................15

BAB III PENUTUP.........................................................................................22

A. Kesimpulan...........................................................................................22

B. Saran.....................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................23

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan kebutuhan setiap orang. Pendidikan dari waktu


ke waktu selalu mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik, seperti
halnya penerapan demokrasi pendidikan dalam pembelajaran yang mengusung
konsep memberi kebebasan siswa dalam berpendapat, menyampaikan
sanggahan, dan juga memiliki kesempatan yang sama tanpa ada pembedaan
dari segi suku, ras, dan golongan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
penerapan demokrasi pendidikan dalam proses pembelajaran siswa di Sekolah.

Dewasa ini, situasi pendidikan Indonesia dalam banyak hal bertentangan


dengan cita-cita demokrasi. Hal ini terlihat dari berbagai fakta. Yang pertama
masih model pembelajaran ala bank. guru mengajar dan siswa belajar. Guru
tahu segalanya, siswa tidak tahu apa-apa. Guru berpikir, siswa berpikir. Guru
berbicara dan siswa mendengarkan. Disusun oleh guru dan dikoordinir oleh
siswa. Guru dipandang sebagai reservoir pengetahuan yang tujuannya adalah
untuk memberikan pengetahuan kepada siswa. Paradigma seperti itu sebagian
besar bertanggung jawab atas kelambatan dalam proses pembentukan ruang
partisipasi di antara siswa dan mempertahankan budaya pasif. Para siswa sudah
menganggap guru, sumber segala sesuatu dan sumber kebenaran.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Demokrasi Pendidikan Di Indonesia?

2. Bagaimana Perkembangan Pendidikan Indonesia dari Masa ke Masa?

3. Apa saja Problematika Demokrasi Pendidikan Di Indonesia?

4. Bagaimana Penerapan Demokrasi Pendidikan Di Indonesia?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Demokrasi Pendidikan Di Indonesia

Demokrasi pendidikan adalah suatu pandangan yang mengutamakan


persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan tenaga pendidik yang sama dan
adil kepada semua siswanya tanpa membeda-bedakan dalam segala aspek
dalam kegiatan pembelajaran baik di dalam kelas maupun di luar kelas.
Demokrasi pendidikan memberikan kesempatan yang sama kepada setiap
individu dalam bidang pendidikan tanpa membeda-bedakan agama, suku, ras,
dan juga status sosial sehingga individu memiliki kesempatan untuk
mengutarakan pendapatnya, mengembangkan potensi yang dimilikinya melalui
pendidikan. Namun pada kenyataannya, metode pendidikan dalam
pembelajaran masih banyak disparitas (membeda-bedakan) atau jarak dalam
pendidikan. Yang mana antara si kaya dan si miskin mendapat perlakuan yang
berbeda dalam pembelajaran, si pintar serta yang kurang pintar masih ada
perlakuan yang berbeda ketika di dalam kelas.

Demokrasi pendidikan merupakan proses pendidikan yang menerapkan


nilai-nilai demokrasi yang didalamnya. Pembelajaran dilakukan secara adil
tanpa ada disparsitas antara satu dengan yang lainnya, sehingga setiap individu
memiliki kesempatan yang sama dalam proses pendidikan dan siswa tidak
hanya menjadi objek semata dalam proses pendidikan tetapi ada interaksi antara
siswa dengan pendidik dalam hal menyanggah, memberi tanggapan, bertanya,
ataupun yang lainnya. Namun ketika ada pembaharuan kurikulum tepatnya
Kurikulum 2013, demokrasi pendidikan mulai banyak diterapkan dalam
pembelajaran karena siswa dituntut aktif juga dalam pembelajaran seperti
menyampaikan pendapat, menjawab ataupun yang lainnya.

Demokrasi pendidikan merupakan proses pendidikan yang menerapkan


nilai-nilai demokrasi yang didalamnya. Pembelajaran dilakukan secara adil
tanpa ada disparsitas (membeda-bedakan) antara satu dengan yang lainnya,
sehingga setiap individu memiliki kesempatan yang sama dalam proses
pendidikan dan siswa tidak hanya menjadi objek semata dalam proses

2
pendidikan tetapi ada interaksi antara siswa dengan pendidik dalam hal
menyanggah, memberi tanggapan, bertanya, ataupun yang lainnya. Demokrasi
pendidikan mulai banyak diterapkan dalam pembelajaran karena siswa dituntut
aktif juga dalam pembelajaran seperti menyampaikan pendapat, menjawab
ataupun yang lainnya.1

Di Indonesia pendidikan diatur sedemikian rupa oleh pemerintah dalam


Undang-Undang. Misalnya saja Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang
membahas tentang sistem pendidikan nasional. Undang-undang ini mencakup
semua tentang sistem pendidikan nasional di Indonesia. Termasuk pada BAB
IV Bagian Kedua Pasal 17 tentang pendidikan dasar. Dalam pasal ini dijelaskan
bahwa pendidikan dasar adalah pendidikan yang menjadi landasan jenjang
pendidikan menengah, dimana pendidikan dasar tersebut bisa berbentuk
pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan juga Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau yang
sederajat dengan keduanya dan juga Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan
Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat dengan keduanya.

Sejak berdirinya era reformasi, kehidupan masyarakat Indonesia


menjadi serba terbuka dan transparan. Berbeda pada masa orde baru yang
terkesan ditutuptutupi dan rakyat seolah terkekang atau kurang bebas dalam
geraknya. Salah satu tuntutan rakyat pada masa itu yaitu demokrasi. Sejak masa
reformasi demokrasi kembali ditegakkan. Hal tersebut sangat mempengaruhi
berbagai segi kehidupan salah satunya pada demokrasi pendidikan.2

B. Perkembangan Pendidikan Indonesia Dari Masa Ke Masa

1. Era Kolonial

Siapakah yang meragukan mutu pendidikan dalam masa kolonial?


Sudah tentu kita mengenal adanya dosa besar dalam pendidikan nasional yang
hanya diberikan kepada para penguasa serta kaum feodal. Pendidikan rakyat
cukup diberikan untuk memenuhi kebutuhan dasar penguasa kolonial. Namun
demikian, pendidikan yang terbatas yang diberikan kepada rakyat di dalam
sekolah-sekolah kelas 2 atau ongko loro tidak dapat diragukan mutunya.

1
Zahrawati, F., & Faraz, N.J (2017)
2
AL MA’ARIEF: JURNAL PENDIDIKAN SOSIAL DAN BUDAYA.

3
Sungguhpun standar yang dipakai untuk mengukur kualitas pendidikan rakyat
pada waktu itu diragukan karena sebagian besar rakyat tidak memperoleh
pendidikan, namun demikian apa yang telah dimiliki oleh sekelompok
masyarakat Indonesia memperoleh pendidikan seperti pendidikan rakyat 3
tahun, pendidikan rakyat 5 tahun, telah juga menghasilkan pemimpin
masyarakat bahkan menghasilkan pemimpin-pemimpin gerakan nasional.

Pendidikan kolonial untuk golongan penguasa serta bangsawan tidak


dapat diragukan mempunyai mutu yang dapat dibanggakan. Para pemimpin
nasional kita kebanyakan memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah kolonial
bahkan beberapa mahasiswa yang dapat melanjutkan di universitas-universitas
terkenal di Eropa. Para pemimpin yang mendapatkan pendidikan di dalam
negeri (Hindia Belanda) tidak dapat kita ragukan kemampuannya. Coba kita
lihat latar belakang pendidikan dari founding fathers kita yang telah
memperoleh pendidikan kolonial tetapi yang justru telah menjadi bumerang
terhadap kekuasaan kolonial. Dalam sejarah pendidikan kita dapat kita katakan
bahwa inteligensi manusia Indonesia tidak kalah dengan apa yang dimiliki oleh
kaum penjajah. Masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pada waktu itu
adalah kekurangan kesempatan yang sama yang diberikan kepada semua anak
bangsa. Itulah sebabnya di dalam UUD 1945 dinyatakan dengan tegas bahwa
pemerintah akan menyusun suatu sistem pendidikan nasional untuk rakyat,
bukan untuk segolongan kecil di dalam masyarakat. Kesempatan yang sama
harus diberikan oleh sistem pendidikan nasional untuk semua anak bangsa.

Tetapi bangsa kita dapat melaksanakan pendidikan nasional


sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Kita lihat misalnya di dalam
masa revolusi telah dapat dirumuskan Undang-Undang Pendidikan Nasional
yang pertama tahun 1950. Dimulai dari runtuhan pendidikan pada masa
revolusi, kita berhasil membangun suatu sistem pendidikan nasional yang tidak
kalah mutunya. Para pengajar, pelajar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-
baiknya dengan kemampuan yang serba terbatas. Namun dari keterbatasan itu
kita berhasil memupuk pemimpin-pemimpin nasional yang dapat mengatasi
masa pancaroba seperti rongrongan terhadap negara kesatuan Republik
Indonesia. Kohesi sosial dapat kita pupuk kembali serta upaya untuk menyusun
suatu sistem pendidikan nasional yang semakin bermutu terus dilaksanakan.
4
Sayang sekali pada akhir era ini pendidikan kemudian dimasuki oleh politik
praktis atau mulai dijadikan sebagai kendaraan politik. Kita masih ingat dimulai
pada era Orde Lama tersebut telah dimulai pendidikan indoktrinasi yaitu
menjadikan pendidikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan Orde
Lama. Di tengah-tengah hiruk-pikuk perebutan dominasi politik terhadap
pendidikan, sistem pendidikan nasional masih berhasil meluluskan banyak
sarjana yang kemudian dapat melahirkan berbagai pendidikan di lembaga-
lembaga pendidikan tinggi di dunia. Ternyata para sarjana hasil pendidikan
tinggi Indo nesia tidak kalah dibandingkan dengan pendidikan di Asia maupun
di negara-negara maju lainnya. Kita masih ingat bagaimana upaya kita untuk
meningkatkan mutu pendidikan nasional seperti peningkatan mutu pendidikan
teknologi di ITB dengan Universitas Kentucky, peningkatan mutu pendidikan
di IPB juga dengan beberapa pendidikan tinggi di Amerika atas bantuan
kerjasama Amerika Serikat, Ford Foundation dan beberapa lembaga-lembaga
swasta internasional lainnya.

2. Era Orde Lama

Pada masa Orde Lama sudah kita kenal juga mengenai upaya untuk
meningkatkan pendidikan di sekolah-sekolah menengah. Pada masa itu
dilaksanakan ujian-ujian negara yang terpusat. Ujian-ujian negara yang terpusat
itu masih mengikuti sistem kolonial yang ketat tetapi tetap jujur dan
mempertahankan kualitas. Sistem kontinental digunakan, asing dari pengukuran
performance hanya serba semata-mata dari test multiple choice tetapi
ditekankan kepada Kemampuan menganalisa secara rasional serta ujian-ujian
lisan merupakan unsur yang penting di dalam ujian nasional.

Pendekatan ujian sebagai suatu objek tidak dikenal pada waktu itu dan
oleh sebab itu pula para siswa bukanlah sebagai objek dari suatu proyek
nasional tetapi didorong oleh keinginan untuk mempertahankan kualitas.
Barangkali hal ini dapat terjadi karena jumlah sekolah maupun siswa masih
terbatas dibandingkan dewasa ini. Demikian pula para guru masih kebanyakan
merupakan guru-guru yang ditempa pada zaman kolonial. Disiplin siswa
dipegang dengan cukup kuat serta korps pendidik belum berorientasi kepada
yang material tetapi kepada yang ideal. Citra guru sebagai Pahlawan tanpa

5
Tanda Jasa yang diciptakan dalam era Orde Baru sebenarnya telah
dikembangkan pada era kolonial dan dilanjutkan dalam era Orde Baru.

Suatu kebijakan yang diambil pada masa Orde Lama dalam bidang
pendidikan tinggi ialah mendirikan universitas di setiap provinsi. Kebijakan ini
tentunya mempunyai tujuan untuk lebih meratakan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi yang berkualitas pada waktu
itu hanya ada di Pulau Jawa yang kemudian terkenal sebagai The Five Center of
Excellence (UI, IPB, ITB, Gajah Mada, dan UNAIR). Sayangnya, terbukanya
kesempatan yang lebih luas untuk memperoleh pendidikan tinggi tidak disertai
dengan program yang sungguh sungguh untuk meningkatkan kemampuan
dosen serta sarana-sarana yang memadai untuk suatu universitas. Akibatnya
dapat kita duga ialah kemerosotan mutu pendidikan tinggi telah dimulai.

3. Era Orde Baru

Dalam era ini dikenal sebagai era pembangunan nasional. Tentunya terdapat
hal-hal yang positif di dalam pengembangan pendidikan nasional dalam 7 era
ini. Untuk pendidikan dasar dan menengah khususnya pendidikan dasar terjadi
suatu loncatan yang sangat signifikan dengan adanya INPRES (instruksi
presiden) Pendidikan Dasar. Sayang sekali INPRES Pendidikan Dasar tidak
ditindaklanjuti dengan peningkatan kualitas. Memang tujuan utama dari
INPRES Pendidikan Dasar adalah kuantitas dan belum kualitas. Selain daripada
itu sistem ujian negara telah berubah menjadi suatu bumerang yaitu penentuan
kelulusan siswa menurut rumus-rumus yang dapat ditentukan sendiri oleh setiap
daerah. Akibatnya ialah tidak ada siswa yang tidak lulus di dalam ujian negara
atau EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). EBTANAS
merupakan suatu pembohongan publik serta pembohongan diri sendiri dalam
masyarakat. Apabila pada masa Orde Lama pendidikan telah mulai dijadikan
sebagai kendaraan politik maka di dalam Orde Baru pendidikan telah dijadikan
sebagai indikator palsu mengenai keberhasilan pemerintah dalam
pembangunan.

Perlu kiranya dicatat bahwa di dalam era pembangunan nasional tersebut


selama lima REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang ditekankan

6
ialah pengembangan ekonomi sebagai salah satu dari trilogi pembangunan pada
waktu itu ialah pembangunan ekonomi, stabilitas kehidupan politik dan
pemerataan. Kemerosotan besar-besaran dalam pendidikan nasional telah
dimulai. Dari hasil manipulasi ujian nasional sekolah dasar kemudian
meningkat ke sekolah menengah dan tentunya sampai ke tingkat sekolah
menengah atas dan akhirnya berpengaruh kemudian terhadap mutu pendidikan
tinggi. Sungguhpun pendidikan tinggi berupaya mempertahankan otonominya
dengan mengadakan ujian masuk pendidikan tinggi yang dikenal dengan
UMPTN tetapi juga hal tersebut tidak menolong oleh sebab hasil EBTANAS
sekolah menengah juga dijadikan sebagai indikator penerimaan di perguruan
tinggi.

Banyak kritik yang muncul dari dunia pendidikan tinggi itu sendiri untuk
memperbaiki UMPTN seperti yang dikemukakan oleh mendiang Prof. Dr. Andi
Hakim Nasution, mantan Rektor IPB. Beliaulah yang menganjurkan di samping
UMPTN, pendidikan tinggi negeri mengadakan penelusuran minat dari para
siswa SMA yang berpotensi. Para siswa yang berpotensi tersebut tidak perlu
mengikuti ujian saringan dan langsung memasuki dunia pendidikan tinggi
khususnya IPB. Cara ini kemudian diikuti oleh 8 universitas-universitas lain
dalam rangka untuk mempertahankan mutu pendidikan tingginya. Seperti yang
kita lihat pendidikan tinggi negeri mulai berkembang pesat sejak Orde Baru.
Pendidikan tinggi yang relatif sudah lebih maju seperti di The Five Center of
Excellence di Pulau Jawa Gap antara pendidikan tinggi terutama di Pulau Jawa
dengan di luar Jawa semakin menganga.

Di samping perkembangan pendidikan tinggi dengan usaha usahanya untuk


mempertahankan dan meningkatkan mutunya, pada masa Orde Baru muncul
suatu gejala yaitu tumbuhnya secara menyendawan perguruan tinggi swasta di
dalam berbagai bentuknya. Perbandingan antara jumlah pendidikan tinggi
negeri (PTN) dan pendidikan tinggi swasta (PTS) menjadi sangat mencolok.
Mutu pendidikan tinggi swasta sangat bervariasi, dari yang sangat bermutu.
bahkan yang melebihi mutu beberapa pendidikan tinggi nasional, terdapat
banyak yang sekadar merupakan lembaga pelatihan tinggi (higher learning
institution); keadaan ini sungguh meruwetkan pembinaan pendidikan tinggi
Indonesia meskipun telah diupayakan dalam memberikan bimbingan dan
7
pengembangan dalam bentuk misalnya pembentukan KOPERTIS-KOPERTIS
(Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta). Namun demikian terbentuknya
KOPERTIS telah membuat suatu bentuk birokrasi baru di dalam dunia
pendidikan tinggi serta mengadakan diskriminasi yang tidak pada tempatnya
antara PTN dan PTS.

4. Era Reformasi

Era reformasi yang dimulai sejak 1998 merupakan suatu era transisi dengan
tumbuhnya proses demokratisasi di dalam masyarakat Indonesia. Proses
demokratisasi juga memasuki dunia pendidikan nasional antara lain dengan
lahirnya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Undang-Undang ini telah menangkap perubahan-perubahan yang
dikehendaki dalam masyarakat Indonesia dewasa ini yaitu:

1) Desentralisasi sistem pendidikan dari sistem yang sentralistis menjadi suatu


sistem yang desentralistis. Pendidikan bukan lagi merupakan tanggung jawab
pemerintah 9 pusat tetapi diserahkan kepada tanggung jawab pemerintah
daerah. Sebagaimana yang diatur di dalam Undang Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, hanya beberapa fungsi saja yang tetap berada di
tangan pemerintah pusat. Perubahan dari sistem yang sentralistis ke
desentralistis tentunya mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang jauh di
dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Memang kita masih berada pada
masa transisi, banyak hal yang masih harus diatur seperti yang diminta oleh
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. Banyak PP yang mengatur mengenai
wewenang daerah belum dilahirkan. Demikian pula yang sangat serius adalah
komitmen dan kemampuan daerah untuk menyelenggarakan pendidikan bagi
rakyatnya. Dapat dibayangkan bagaimana pendidikan nasional kita diletakkan
kepada lebih dari 300 kabupaten dan kota serta pada lebih dari 30 provinsi

2) Sesuai dengan tuntutan era globalisasi Indonesia tidak terlepas dari


kewajibannya untuk meningkatkan mutu sumber daya manusianya dalam
menghadapi persaingan bebas dalam dunia yang terbuka abad ke-21.
Kebutuhan ini telah ditampung oleh adanya Undang-Undang No. 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen, serta pentingnya tenaga guru dan dosen sebagai

8
ujung tombak dari reformasi pendidikan nasional. Lahirnya Undang-Undang
No. 14 Tahun 2005 di dalam segala kekurangannya merupakan suatu tonggak
yang sangat berarti di dalam reformasi pendidikan nasional.

Apabila isi undang-undang tersebut benar-benar dapat dilaksanakan dan


didukung oleh anggaran pendapatan dan belanja negara baik di pusat maupun
daerah yang memadai, maka dapat kita jamin berkembangnya pendidikan
nasional yang bermutu di masa depan. Sudah tentu pelaksanaan dari kedua
undang-undang tersebut meminta program dan waktu yang mencukupi. Sayang
sekali program yang dinanti-nantikan belum kunjung tiba. Pendidikan nasional
kita sampai dewasa ini tidak mempunyai platform yang jelas sehingga terjadi
perubahan-perubahan kebijakan menurut selera seorang menteri, atau seperti
yang kita lihat di dalam polemik Ujian Nasional sejak tahun 2003 menunjukkan
kemauan pemerintah yang tidak dapat dibendung oleh keinginan rakyat.

Semua hal ini menunjukkan suatu gejolak di dalam masa transisi dalam
pendidikan nasional Indonesia. Oleh karena itu, perlu diprogramkan dan
dilaksanakan serta ditunjang oleh biaya yang optimal dalam meningkatkan
mutu pendidikan nasional. Di dalam Manifesto Pendidikan Nasional (2005),
tentang perlu adanya suatu pemetaan masalah-masalah pendidikan nasional
serta kesepakatan untuk menangani masalah-masalah yang mendasar yang
dihadapi oleh sistem pendidikan nasional. Apabila benar-benar tuntutan UUD
1945 mengenai tersedianya dana yang memadai untuk pengembangan
pendidikan nasional perlu disertai dengan adanya suatu program pengembangan
yang solid serta tidak melupakan masalah inti dalam pendidikan kebutuhan
anak bangsa.

Seperti yang telah dikemukakan, pemecahan masalah pendidikan tidak


hanya dapat berhenti dengan menggunakan epistema politik serta epistema
ekonomi tetapi perlu dilengkapi dengan epistema pedagogis. Epistema politik
kita perlukan untuk menjaga kohesi nasional dalam membangun negara
kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa,
keyakinan dan agama. Epistema ekonomis diperlukan di dalam manajemen
pendidikan nasional yang terbentang luas di Nusantara dengan berbagai standar
kualitas serta kemampuan daerah. Epistema pedagogis mengintegrasikan

9
berbagai pandangan dalam sistem pendidikan nasional ialah untuk kepentingan
anak bangsa sebagai peserta-didik dan sebagai subjek seorang manusia.

C. Problematika Pendidikan Di Indonesia

Berbagai problematika pendidikan di Indonesia cukup banyak, mulai


dari masalah kurikulum, kualitas, kompetensi, bahkan kompetensi
kepemimpinan baik itu dijajaran tingkat atas maupun tingkat bawah. Berbagai
kasus keluhan-keluhan terjadi di lapangan, baik pimpinan sekolah maupun para
pendidik yang menyayangkan dimensi kepemimpinan seperti soal manajemen,
disiplin, birokrasi dan administrasi yang amburadul. Kemudian yang tidak
kalah pentingnya juga soal kepemimpinan di sekolah turut berperan mewarnai
wajah penyelenggaraan 11 dunia pendidikan serta memperlebar kesenjangan
dan konflik internal para pendidik.

Ditambah lagi dengan pemberlakuan otonomi daerah, di mana sistem


pendidikan nasional dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian
sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang demokratis,
memperhatikan keberagaman, memperhatikan kebutuhan daerah, serta
mendorong peningkatan partisipasi masyarakat. Yang menjadi persoalan
adalah, setelah 69 tahun Indonesia merdeka, di mana rakyat memberikan hak
sepenuhnya kepada pemerintah dalam proses penyelenggaraan kenegaraan
dengan segala kebutuhan-kebutuhannya dan sejauh mana tanggung jawab moral
pemerintah termasuk di dalamnya aparat pemimpin dengan jajarannya dalam
mempersiapkan, menyediakan serta mengembangkan dunia pendidikan.
Kondisi dinamis seperti ini tentu saja suatu dilematika yang cukup ironis, dan
berpengaruh besar terhadap kualitas pendidikan.

Memikirkan konsep dan mekanisme pendidikan, terlebih bagi


masyarakat Indonesia yang sedang berkembang dan dengan kondisi masyarakat
yang pluralis (beragam) tentunya bukan perkara gampang. Tetapi walaupun
demikian tetap merujuk bahwa pendidikan sebagai hak asasi setiap individu
anak bangsa seperti yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 31ayat (1) yang
menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.3

3
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 (UU RI Nomor 20 Tahun 2003), Jakarta: Sinar

1
Di dalam masyarakat Indonesia dewasa ini muncul banyak kritik baik
dari praktisi pendidikan maupun dari kalangan pengamat pendidikan nasional
yang tidak mempunyai arah yang jelas. Ketiadaan arah yang tidak jelas dalam
pendidikan nasional menunjukkan hilangnya elan vital di dalam pendidikan
nasional yang menggerakkan sistem pendidikan untuk mewujudkan cita- cita
bersama Indonesia raya.4

Dilihat dari perjalanan pendidikan Indonesia, arah pendidikan


disesuaikan dengan keadaan dan kepentingan penguasa, ketika pengasa
memerlukan suatu kekuatan politik ke arah itulah pendidikan di arahkan.5
Bangsa Indonesia , sejak merdeka hingga saat ini mengalami pergantian empat
model kepemimpinan, masing-masing adalah orde lama, orde baru, orde
reformasi dan orde sekarang yag banyak pengamat atau pemerhati
menyebutnya sebagai era transisi menuju demokrasi. Sedikit atau banyak,
tentunya setiap orde memberikan konstribusi dan membantu menentukan corak
pendidikan saat ini.6

Kalau ditilik lebih dalam aspek politik pendidikan. Pendidikan


diorientasikan sebagai alat untuk kepentingan tertentu, seperti kepentingan
ideologi dan kepentingan politik untuk mempertahankan status quo (keadaan
sebagaimana adanya). Misalkan pada masa orde baru pendidikan cenderung
dijadikan sebagai alat kekuasaan sehingga menghilangkan esensi dari
pendidikan yang sebenarnya. Bahkan pendidikan dijadikan sebagai alat
indoktrinasi kepada masyarakat. Sistem pendidikan pada masa orde baru,
pelaksanaan pendidikan secara langsung dikendalikan oleh sistem birokrasi
dengan mata rantai yang sangat panjang dari tingkat pusat sampai ke daerah
bahkan sampai tingkat satuan pendidikan.

Kepemimpinan seperti ini tentunya berdampak pada dunia pendidikan,


di mana pedoman dan dasar bertindak pendidik tidak lagi mengacu pada
profesionalitas melainkan instruksi dari atasan. Kondisi seperti mengakibatkan

Grafika, 2003), Hlm. 5


4
H.A.R Tilaar. Standar Pendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis. (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 14
5
H.A.R Tilaar, Pendidikan Dalam Pembangunan Nasional Menyongsong Abad XXI, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990), h. 59
6
Musthofa Rembangy . Pendidikan Transformatif: Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah
Pusaran Arus Globalisasi, (Yokyakarta: Teras, 2008), h. 20

1
keberpihakan pada atasan dan menghilangkan hak-hak dan kewenangan
profesional. Alhasil pendidikan memproduk manusia-manusia penurut, tidak
berani mengambil Keputusan tidak ada kemandirian karena lebih banyak
terpaksa dan kepura-puraan.

Dewasa ini pendidikan nasional merupakan subordinasi dari kekuatan-


kekuatan politik praktis. Hal ini berarti pendidikan telah dimasukkan di dalam
kancah perebutan kekuasaan oleh partai- partai politik. Pendidikan bukan lagi
Pendidikan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, tetapi untuk
membangun kekuatan dari partai politik praktis tertentu untuk kepentingan
golongan atau pun kelompoknya sendiri.7

Pendidikan di Indonesia menunjukkan kualitas yang rendah. Asumsinya


hal ini terjadi karena pemerintah kurang serius memperhatikan bidang
pendidikan. Sementara kemajuan bangsa salah satunya yang terpenting adalah
pendidikan, karena pendidikan merupakan modal dasar untuk kemajuan suatu
bangsa. Kesenjangan dalam pendidikan di Indonesia masih terjadi di berbagai
hal seperti: sarana prasarana dan sumber daya tenaga pendidik.

1. Sarana Prasarana

Terdapat kesenjangan cukup besar terkait kualitas pendidikan antara


sekolah yang di kota dan daerah terpencil. Pada umumnya sekolah yang berada
di perkotaan lebih baik daripada sekolah di pedesaan Sering kita lihat secara
langsung maupun lewat pemberitaan di media televisi dan surat kabar kondisi
sekolah di pedesaan dan daerah terpencil yang sangat tidak layak. Misalnya
kondisi bangunan yang rapuh bahkan sudah mau roboh ditambah atap yang
bocor sehingga kegiatan proses belajar mengajar sering terkandala. Persoalan
sarana dan prasarana merupakan persoalan krusial dalam perbaikan dan
pembangunan sistem pendidikan di Indonesia, dan juga merupakan salah satu
syarat atau unsur yang sangat penting.

Banyaknya sarana pendidikan yang rusak dan tidak layak ini merupakan
salah salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan. Dari 1,3 juta ruang
kelas, 769 ribu dalam kondisi layak pakai (59%), 299 ribu rusak berat (23%)
7
H.A.R Tilaar. Standar Pendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis. (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 14

1
dan 242 ribu rusak ringan (18%). Pada taun 2012 sudah 22 ribu ruang kelas
yang diperbaiki.15 Proyek perbaikan sekolah ini tidak akan pernah selesai.
Sekolah yang sekarang masuk dalam kategori ringan akan naik menjadi rusak
sedang, lalu rusak berat jika tidak ditangani tentunya akan menjadi rusak berat.

Kerusakan sarana pendidikan yang begitu parah ditambah dengan


prasarana pendidikan yang tidak menunjang proses pembelajaran yang kondusif
merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan
penyelenggaraan pendidikan. Dengan kerusakan sarana prasarana dalam jumlah
yang banyak maka proses pendidikan tidak dapat berlangsung secara efektif.

Umumnya sekolah-sekolah yang ada di pedesaan dan daerah terpencil


masih terkendala dengan sarana dan prasarana pendidikan, seperti ruang kelas,
perpustakaan dan laboratorium. Kalua pun mendapatkan bantuan seperti rehab
ruangan kelas, tapi itu pun tidak seluruhnya. Prosesnya hanya bagian tertentu
saja seperti atap dan pengecatan.

Kesenjangan yang lain juga pada jumlah dan ketersediaan buku yang
ada. Ketersediaan buku di daerah perkotaan dan dan daerah terpencil serta
perbatasan terjadi kesenjangan baik dari segi jumlah ketersediaan dan kualitas
buku. Sementara ketersediaan buku merupakan penunjang pendidikan yang
sangat penting karena hal ini akan menunjang keberhasilan proses pendidikan.

Masalah sarana dan prasarana keterkaitannya tentunya dengan anggaran


pendidikan. Menyangkut anggaran pendidikan merupakan saah satu faktor yang
cukup memberikan pengaruh terhadap mutu dan kesesuaian pendidikan adalah
anggaran pendidikan yang memadai. Anggaran pendidikan ini akan
menyangkut besarnya anggaran dan alokasi anggaran.

Pembenahan pendidikan dalam hal pemerataan sangat penting untuk


mewujudkan kualitas pendidikan di semua daerah. Hal dapat diwujudkan salah
satunya apabila didukung oleh dana yang cukup dan pengelolaan yang baik.
Tentunya kita berharap banyak pada pemberlakuan otonomi pendidikan sebagai
salah satu kebijakan pendidikan nasional dapat dilaksanakan dengan baik dan
terarah. Otonomi pendidikan diharapkan menghasilkan sistem pendidikan yang

1
lebih mandiri, terbuka, demokratis dan maju masih jauh dari tercapai.8

2. Tenaga Pendidik

Kuantitas dan kualitas guru saat ini, juga merupakan hal yang dilematis.
Secara objektif jumlah guru saat ini memang kurang memadai, namun hal ini
tidak dapat dipukul rata begitu saja Tetapi harus diakui bahwa jumah guru yang
sedikit salah satu indikator kesenjangan dalam masalah pemerataan guru.

Jumlah guru yang kurang memadai ini banyak terjadi di daerah


pedesaan, terpencil dan perbatasan, jumlah guru hanya ada sekitar 3-4 orang.
Sementara itu, di daerah perkotaan yang sarana dan prasarananya memada
terjadi penumpukan guru. Bahkan dalam satu SD dijumpai 11- 14 orang guru,
termasuk diantaranya kepala sekolah.9 Oleh karena itu, sampai saat ini sekolah
yang maju di perkotaan dapat terus bertahan dengan kemajuannya, sementara
sekolah yang kekurangan guru di pedesaan/daerah terpencil semakin terisolosi
dan semakin terpuruk.

Posisi guru sangat vital dalam pendidikan. Dari segi kuantitas dan
pemerataan guru mengalami persoalan yang dilematis, ada sekolah yang
kelebihan guru tetapi ada juga sekolah yang kekurangan guru. Salah satu faktor
kesenjangan pemerataan guru di Indonesia karena kondisi geografis negara kita
yang sangat luas.

Kesenjangan pemerataan tenaga pendidik ini merupakan pekerjaan yang


harus terselesaikan supaya pemerataan guru ini dapat terwujud. Berbagai upaya
sudah dilakukan seperti penambahan guru melalui rekrutmen Calon Pegawai
Negeri Sipil (CPNS), guru kontrak dan memberikan tunjangan khusus bagi
guru yang tinggal di daerah terpencil. Upaya- upaya yang dilakukan pemerintah
ini tentunya tidak langsung menyelesaikan masalah.

Belum lagi berbicara mengenai kualitas guru. Seorang guru yang


memiliki posisi strategi dalam usaha tercapainya kualitas pendidikan yang

8
H.A.R Tilaar. StandarPendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis. (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 14
9
Sam M. Chan, Tuti T. Sam, Analisis SWOT: Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, (Jakarta:

1
Rajawali Press, 2011) h.58

1
semakin baik amat dituntut kemampuan profesionalnya. Skill dan
profesionalitas senantiasa harus ditingkatkan, terutama dalam menyiapkan
sumber daya manusia yang mampu menghadapi persaingan global.

Oleh karena itu, pemerintah harus membuat terobosan dalam


membangun pendidikan. Artinya harus ada pemerataan dan kualitas guru di
Indonesia. Barangkali hal ini dapat diatasi dengan adanya undang-undang
otonomi daerah. Di samping itu, pemerintah baik pusat dan daerah harus
membuat program yang bisa merangsang lagi guru-guru yang mau mengabdi di
daerah terutama di daerah terpencil. Misalnya, ada semacam tunjangan khusus
bagi guru yang mau mengabdikan diri bagi daerah/desa yang masuk kategori
terpencil sehingga ada semacam ukuran cost dan benefid bagi guru dari sudut
rasional dan tuntutan sosial.10

Mengenai kualitas guru, seharusnya juga menjadi prioritas yang


diutamakan dalam rangka menyiapkan guru yang kompeten, memiliki
skill/kemampuan yang tinggi. Pemerintah diharapkan mengalokasikan dana
bagi peningkatan kualitas guru, karena tidak bisa dipungkiri bahwa guru
merupakan ujung tombak bagi keberhasilan pendidikan. Hal ini sejalan dengan
apa yang tertuang dalam undang- undang guru dan dosen Bab V Pasal 10 yang
berbunyi: kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh
melalui pendidikan profesi.11

Masalah kompetensi guru adalah masalah serius, untuk itu perlu


dilakukan pembinaan secara baik, selain itu juga tentunya guru terus belajar
untuk mengembangkan wawasan dan intelektualitas yang pada gilirannya bisa
membangun kreativitas guru.

D. Penerapan Demokrasi Pendidikan Di Indonsia

Pelaksanaan demokrasi pendidikan di Indonesia pada dasarnya telah


dikembangkan sedemikian rupa dengan menganut dan mengembangkan asas
demokrasi dalam pendidikannya, terutama setelah diproklamirkannya

10
Ibid h. 62
11
Abd Rahman Getteng, Menuju Guru Profesional dan Ber-Etika, (Yokyakarta: graha Guru, 2011), h. 99

1
kemerdekaan, hingga sekarang. Pelaksanaan tersebut telah diatur dalam
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, seperti pada Pasal 31 UUD
1945:

a. Ayat (1): Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.

b. Ayat (2): pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem


pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.

Situasi yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia saat ini


seringkali menampilkan wajah yang cukup kontradiktif dengan gagasan
demokrasi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam fakta. Pertama adalah
model pembelajaran yang masih kental dengan gaya bank yang tercermin
melalui: guru mengajar, murid belajar; guru tahu segalanya, murid tidak tahu
apa-apa; guru berpikir, murid dipikirkan; guru bicara, murid mendengarkan;
guru mengatur, murid diatur; guru memilih dan memaksimalkan pilihannya,
murid menuruti. Guru dilihat sebagai gudang pengetahuan yang bertujuan untuk
mentransferkan ilmunya kepada peserta didik. Paradigma seperti ini menjadi
penyebab utama terhambatnya proses pembentukan ruang yang partisipatif dan
melanggengnya budaya pasif dalam diri para pelajar. Para pelajar sudah
beranggapan bahwa guru adalah sumber segalanya, sumber kebenaran,
dianggap “perfect”. Model pembelajaran inilah yang dikritisi oleh seorang
tokoh pendidikan yaitu Paul Freire. Freire menekankan pentingnya pendidikan
yang membebaskan, tidak ada pihak yang mendominasi dan didominasi.12

Pendidikan yang demokratis merupakan gagasan yang mengedepankan


unsur partisipasi aktif dari semua pihak (pemerintah, pengajar dan anak didik).
Kemajuan dari sebuah institusi pendidikan tidak terlepas dari peran setiap
aktor-aktor tersebut. Adanya proses integrasi secara terpadu dan terus-menerus
melalui pembentukan pendapat umum (opini publik) dalam mengambil suatu
keputusan merupakan esensi utama dari gagasan demokrasi. Pendidikan yang
demokratis merupakan pendidikan yang mengedepankan partisipasi aktif.
Semua orang memiliki kebebasan yang sama untuk menyampaikan pendapat
dan gagasan dalam mengaktualisasikan dirinya.

12
Fajar Dedi Isnanto, FKIP UMP (2019). Implementasi pendidikan demokrasi

1
Situasi pendidikan di Indonesia pada umumnya dan di NTT pada
khususnya, belum menampilkan konsep demokrasi yang sesungguhnya.
Kalaupun ada, jumlahnya masih sangat minim. Oleh karena itu, sudah saatnya
pendidikan yang demokratis diwujudkan, agar generasi yang lahir dari sistem
pendidikan di Indonesia bukanlah generasi yang pasif, melainkan aktif, generasi
yang kritis, bukan krisis dan generasi yang selalu inklusif, bukan eksklusif.
Pendidikan yang bertujuan memanusiakan manusia harus diterjemahkan ke
dalam praktik yang demokratis, bukan otoritarian. Mewujudkan pendidikan
yang demokratis pada dasarnya bukanlah sesuatu yang sulit, sepanjang kita
mempunyai misi yang sama yaitu terwujudnya keadilan sosial dalam bidang
pendidikan. Semua aktor dalam dunia pendidikan memiliki kedudukan yang
sama, baik sebagai peserta didik, para pendidik dan juga pemerintah.
Upaya pemerintah untuk mewujudkan demokratisasi pendidikan di
Indonesia adalah dengan pemerintah membuat suatu kurikulum. Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dalam
menyelenggarakan sekolah ada suatu pertanyaan yang cukup mendasar yaitu:
“Siswa mau dibawa ke mana oleh sekolah? Dan Siapa yang berhak menentukan
arah dan kebijakan sekolah?”. Semangat demokratis dalam penyelenggaraan
sekolah akan terinspirasi bahwa publik sekolah memiliki hak yang sangat kuat
dan besar dalam menentukan arah kebijakan kurikulum sekolah. Kuat dan
besarnya hak sekolah dalam menetapkan arah kebijakan kurikulum, bisa
dikatakan sama dengan pemerintah.
Kurikulum merupakan inti dari sebuah sekolah, karena menawarkan
pada publik dengan dukungan guru dan tenaga kependidikan serta sarana
sumber belajar yang memadai. Diskursus kurikulum memang masih berjalan
terus, apakah kurikulum itu hanya bermakna Course of Line/GBPP, atau
mencakup seluruh pengalaman yang diberikan kepada siswa dalam proses
pendidikannya. Dalam konteks ini Ronald C. Doll menjelaskan bahwa
kurikulum sudah tidak lagi bermakna sebagai rangkaian bahan dan urutan
pelajaran yang akan dipelajari siswa. Akan tetapi seluruh pengalaman yang
ditawarkan pada siswa di bawah arahan dan bimbingan sekolah. Pengalaman
yang diperoleh siswa dari program yang ditawarkan sekolah cukup variatif,
1
tidak terbatas pembelajaran dalam kelas saja, melainkan juga di lapangan
tempat siswa bermain, di kantin bahkan di bus sekolah. Semuanya
mempengaruhi perubahan dan memberikan kontribusi pengembangan siswa.
Kurikulum memiliki beberapa karakteristik yaitu: Sebagai suatu
substansi, sebagai suatu sistem, dan merupakan suatu konsep dinamis
(Sukmadinata)
1. Kurikulum sebagai suatu substansi; kurikulum sebuah rencana
kegiatan belajar siswa disekolah, yang mencakup: rumusan tujuan, bahan ajar,
proses kegiatan pembelajaran, jadwal, dan evaluasi hasil belajar. Kurikulum ini
merupakan konsep yang telah disusun oleh para ahli dan disetujui oleh
pengambil kebijakan pendidikan serta masyarakat sebagai user/pemakai.
2. Kurikulum sebagai sebuah sistem; kurikulum merupakan rangkaian
konsep tentang berbagai kegiatan pembelajaran yang masing-masing kegiatan
mempunyai keterkaitan secara koheren dengan yang lainnya, bahkan kurikulum
itu sendiri memiliki keterkaitan dengan semua unsur dalam sistem pendidikan
secara keseluruhan.
3. Kurikulum merupakan sebuah konsep dinamis; Kurikulum
merupakan konsep yang terbuka dengan berbagai gagasan perubahan dan
penyesuaian dengan tuntutan pasar atau idealisme pengembangan peradaban
umat manusia.
Guna merealisasikan keberhasilan pendidikan, dengan mewujudkan
demokratisasi pendidikan, pemerintah melalui kurikulum telah berusaha untuk
melaksanakan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan dilanjutkan dengan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Memang harus diakui bahwa
ada keengganan dari pemerintah pusat untuk memberikan otonomi yang
sesungguhnya kepada daerah. Pasalnya, apabila semuanya diserahkan kepada
daerah kewenangan pusat berangsur-angsur berkurang dan akhirnya bisa habis.
(hal yang sangat tidak diinginkan). Keengganan yang sama berlaku juga di
bidang pendidikan. Pemerintah seolah-olah telah memberikan otonomi
sepenuhnya antara lain dengan kebijakan Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) yang diikuti dengan Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP).
Semua itu (teorinya) ditujukan agar sekolah menjadi otonom. Tapi pemerintah
pusat hanya memberi kewenangan semu, karena belum mau berubah dengan
mengevaluasi kebijakannya yang anti- otonomi, seperti ujian nasional yang
1
standarnya setiap tahun selalu dinaikkan dan masih banyak kecurangan.
Kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam pelaksanaan kegiatan
pendidikan di sekolah bagi pihak-pihak yang terkait, baik secara langsung
maupun tidak langsung, seperti pihak guru, kepala sekolah, pengawas,
orangtua, masyarakat dan pihak siswa itu sendiri.
Perkembangan zaman di dunia pendidikan yang terus berubah dengan
signifikan sehingga banyak merubah pola pikir pendidik, dari pola pikir yang
awam dan kaku menjadi lebih modern. Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.
Proses pembelajaran sepenuhnya diarahkan pada pengembangan ketiga
ranah (kognitif, afektif, psikomotor) tersebut secara utuh, artinya
pengembangan ranah yang satu tidak bisa dipisahkan dengan ranah yang
lainnya. Dalam perencanaan proses pembelajaran ini ada beberapa aspek yang
perlu diperhatikan yaitu: desain pembelajaran, rencana pelaksanaan
pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan penilaian hasil dan proses
pembelajaran.
Sejak tahun 1945, kurikulum di Indonesia telah berulang kali
diperbaharui dan disempurnakan. Penyempurnaan itu dilakukan berdasarkan
perkembangan-perkembangan yang ada baik dari segi teknologi yang semakin
canggih, perkembangan peserta didik, dan tuntutan standar yang ingin dicapai.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kurikulum membawa kebaikan dalam
setiap penyempurnaannya.
Mengacu pada pasal 36 Undang-Undang No. 20 tahun 2003, yang
menyatakan bahwa penyusunan kurikulum harus memperhatikan peningkatan
iman dan takwa; peningkatan akhlak mulia; peningkatan potensi, kecerdasan,
dan minat peserta didik; keragaman potensi daerah dan lingkungan; tuntutan
pembangunan daerah dan nasional; tuntutan dunia kerja; perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni; agama; dinamika perkembangan global; dan
persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Dewasa ini telah terjadi perubahan yang mendasar di berbagai sektor
2
kehidupan yang disebut era disrupsi (Sayyidi & Sidiq, 2020). Perubahan yang
terjadi dapat menjadi keuntungan dan juga tantangan bagi masyarakat. Mulai
dari pemangku kebijakan hingga pelaksana kebijakan. Pada era 5.0 ini
teknologi. Konsep ini muncul disebabkan pengembangan revolusi industri 4.0
di rasa berpotensi merendahkan derajat manusia. Melalui Society 5. 0 manusia
bisa mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya dengan memanfaatkan
berbagai teknologi yang telah berkembang. Harapan Negara Jepang dengan
adanya era society 5.0 yaitu manusia terus bisa berkembang dan tetap eksis
dikala teknologi buatan semakin canggih, begitu juga dengan Negara lainnya.
Negara-negara di dunia sedang berupaya untuk memperbaiki struktur
kehidupan di negaranya masing-masing supaya tidak tertinggal dengan
teknologi buatan yang semakin canggih tak terkecuali Negara Indonesia,
Indonesia sudah berusaha melakukan perbaikan mutu dibeberapa aspek
kehidupan, seperti halnya dalam aspek kehidupan sosial dan aspek pendidikan.
Kedua aspek tersebut tidak dapat dipisahkan, dikarenakan dengan adanya suatu
pendidikan yang baik maka kehidupan sosial pun menjadi lebih sejahtera.
Sistem pendidikan Indonesia sering kali mengalami perubahan, yang
didasarkan pada teori yang berkembang dan kewenangan pemangku kebijakan.
Sistem pendidikan harus terus dikembangkan untuk generasi masa depan yang
tanggap dengan segala tantangan. Saat ini banyak dijumpai pekerjaan yang
dilakukan dengan bantuan teknologi sehingga sangat berdampak pada lapangan
pekerjaan yang tersedia. Oleh sebab itu masyarakat harus memperoleh
pendidikan yang layak agar memiliki kreativitas dan mampu menyeimbangi
perkembangan teknologi agar kodrat sebagai manusia tetap menjadi yang utama
dalam menjalankan kehidupan berkelanjutan.
Dalam kondisi yang sangat dinamis ini diperlukan trasformasi
pembelajaran untuk perbaikan mutu pendidikan Indonesia, seperti halnya
pembaharuan yang telah dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, dengan menetapkan kebijakan baru, yakni merdeka belajar.
Merdeka belajar dibuat untuk mengubah konsep pembelajaran yang pada
awalnya berpatokan pada pendidik menjadi sistem pembelajaran yang berpusat
pada peserta didik. Kebijakan merdeka belajar ini di maksudkan untuk
mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga dapat
menekan angka pengangguran yang terjadi di Indonesia. Khususnya perguruan
2
tinggi yang dianggap sebagai tulangpunggung inovasi, pada lingkup perguruan
tinggi merdeka belajar disegala aspek kehidupan sangat berkaiatan erat dengan
teknologi, sehingga manusia dituntut untuk bisa berpikir kritis serta mampu
beradaptasi dan berinovasi. Konsep" Society 5. 0" pertama kali di cetuskan oleh
Jepang, yang merupakan suatu konsep masyarakat dimana segala kegiatan yang
ada dalam masyarakat berpusat pada manusia yang diimbangi dengan
implementasikan dengan program merdeka belajar kampus merdeka. Program
MBKM mulai diupayakan dan diterapkan oleh perguruan tinggi. Pokok-pokok
dalam kebijakan MBKM (Tohir, 2020) meliputi: (1) pembukaan program studi
baru, (2) sistem akreditasi perguruan tinggi, (3) perguruan tinggi badan hukum,
(4) hak belajar tiga semester diluar program studi. Program hak belajar tiga
tahun diluar program studi ini merupakan salah satu dari kebijakan MBKM
yang merupakan amanah dari regulasi pendidikan tinggi dalam rangka
menyiapkan lulusan yang mampu beradaptasi dengan dunia kerja serta
perbaikan mutu pembelajaran. Beberapa kegiatan pembelajaram sesuai dengan
permendikbud No 3 Tahun 2020 Pasal 15 ayat 1 dapat dilaksanakan pada
program Hak Belajar Tiga Semester Diluar Program Studi meliputi: pertukaran
pelajar, magang/praktik kerja, asistensi mengajar disatuan pendidikan,
penelitian/riset, proyek kemanusiaan, kegiatan wirausaha, studi /proyek
independen, KKN tematik. Program studi harus berusaha mengembangkan
kurikulum dengan menyesuaikan 24 model pengembangan kebijakan merdeka
belajar-kampus merdeka agar mampu mengimplementasikan keleluasaan
pembelajaran yang fleksibel sesuai kebutuhan mahasiswa dan tidak monoton.
Melalui program merdeka belajar kampus merdeka yang telah dipersiapkan dan
dilaksanakan maka diharapkan mampu menjadi jawaban atas permasalahan
mutu pendidikan di Indonesia serta dapat menanggulangi banyaknya lulusan
yang menjadi pengangguran.13

Nailyl Maghfiroh & Muhamad Sholeh. Implementasi Kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka
13

Dalam Menghadapi Era Disrupsi Dan Era Society 5.0

2
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Demokrasi pendidikan adalah suatu pandangan yang mengutamakan persamaan


hak dan kewajiban serta perlakuan tenaga pendidik yang sama dan adil kepada semua
siswanya tanpa membeda-bedakan dalam segala aspek dalam kegiatan pembelajaran
baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Demokrasi pendidikan merupakan proses
pendidikan yang menerapkan nilai-nilai demokrasi yang didalamnya. Pembelajaran
dilakukan secara adil tanpa ada disparsitas antara satu dengan yang lainnya, sehingga
setiap individu memiliki kesempatan yang sama dalam proses pendidikan dan siswa
tidak hanya menjadi objek semata dalam proses pendidikan tetapi ada interaksi antara
siswa dengan pendidik dalam hal menyanggah, memberi tanggapan, bertanya, ataupun
yang lainnya.

B. Saran
Semoga dengan adanya makalah yang kami bawakan tadi dengan materi Demokrasi
Pendidikan di Indonesia dapat membuka wawasan kita dalam mengatahui peran penting
dalam berdemokrasi Pendidikan dan mengetahui peran penting di dalamnya, serta kita
bisa mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

2
DAFTAR PUSTAKA

Zahrawati, F., & Faraz, N. J. (2017)

AL MA' ARIEF: JURNAL PENDIDIKAN SOSIAL DAN BUDAYA

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 (UU RI Nomor 20 Tahun


2003), Jakarta: Sinar Grafika, 2003)

H.A.R Tilaar. Standar Pendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis. (Jakarta: Rineka
Cipta, 2006)

H.A.R Tilaar, Pendidikan Dalam Pembangunan Nasional Menyongsong Abad XXI,


(Jakarta: Balai Pustaka, 1990)

Musthofa Rembangy . Pendidikan Transformatif: Pergulatan Kritis Merumuskan


Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi, (Yokyakarta: Teras, 2008)

Ahmad Fedyani Saifuddin, Catatan Reflektif Antropologi Sosial Budaya, (Jakarta: All
Rihgts Reserved, 2011)

Sam M. Chan, Tuti T. Sam, Analisis SWOT: Kebijakan Pendidikan Era Otonomi
Daerah, (Jakarta: Rajawali Press, 2011)

Abd Rahman Getteng, Menuju Guru Profesional dan Ber-Etika, (Yokyakarta: graha
Guru, 2011)

Fajar Dedi Isnanto, FKIP UMP (2019). Implementasi pendidikan demokrasi

Nailyl Maghfiroh & Muhamad Sholeh. Implementasi Kurikulum Merdeka Belajar


Kampus Merdeka Dalam Menghadapi Era Disrupsi Dan Era Society 5.

Anda mungkin juga menyukai