Disusun Oleh:
Kelompok 6
Muhammad Arief Husein (220101010233)
Fikri Haykal Ulil Albab (220101010237)
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik, dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan peyusunan makalah
ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk,
maupun pedoman bagi pembaca. Makalah ini disusun dalam rangka untuk
melaksanakan tugas dari dosen pada mata kuliah Filsafat Pendidikan. Ucapkan
terima kasih kami haturkan kepada dosen pengampu mata kuliah Filsafat
Pendidikan Bapak Ahmad Barkatullah S.Pd.I, M.Pd. yang telah memberikan arahan
dan bimbingannya.
Makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari
berbagai pihak untuk perbaikan isi makalah ini sangat kami harapkan, sehingga
penyusun dapat memperbaiki isi makalah ini kedepannya lebih baik lagi.
Kelompok 6
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………..
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………….
A. Latar Belakang……………………………………………………………...
B. Rumusan Masalah………………………………………………………….
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………..
A. Kesimpulan…………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan kebutuhan setiap orang. Pendidikan dari
waktu ke waktu selalu mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik
seperti halnya penerapan demokrasi pendidikan dalam pembelajaran yang
mengusung konsep memberi kebebasan siswa dalam berpendapat,
menyampaikan sanggahan, dan juga memiliki kesempatan yang sama
tanpa ada pembedaan dari segi suku, ras, dan golongan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui penerapan demokrasi pendidikan dalam
proses pembelajaran siswa di Sekolah.
Dewasa ini, situasi pendidikan Indonesia dalam banyak hal
bertentangan dengan cita-cita demokrasi. Hal ini terlihat dari berbagai
fakta. Yang pertama masih model pembelajaran ala bank. guru mengajar
dan siswa belajar. Guru tahu segalanya, siswa tidak tahu apa-apa. Guru
berpikir, siswa berpikir. Guru berbicara dan siswa mendengarkan. Disusun
oleh guru dan dikoordinir oleh siswa. Guru memilih dan memaksimalkan
pilihannya. siswa patuh. Guru dipandang sebagai reservoir pengetahuan
yang tujuannya adalah untuk memberikan pengetahuan kepada siswa.
Paradigma seperti itu sebagian besar bertanggung jawab atas kelambatan
dalam proses pembentukan ruang partisipasi di antara siswa dan
mempertahankan budaya pasif. Para siswa sudah menganggap guru,
sumber segala sesuatu dan sumber kebenaran,
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Keadaan Demokrasi Pendidikan Di Indonesia?
2. Apa Problematika Demokrasi Pendidkan Di Indonesia?
3. Bagaimana Penerapan Demokrasi Pendidikan Di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
1
Zahrawati, F., & Faraz, N. J. (2017)
pembelajaran karena siswa dituntut aktif juga dalam pembelajaran seperti
menyampaikan pendapat, menjawab ataupun yang lainnya. Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa penerapan demokrasi pendidikan2
2
Zahrawati, F., & Faraz, N. J. (2017).
3
Ibid.
tutupi dan rakyat seolah terkekang atau kurang bebas dalam geraknya. Salah satu
tuntutan rakyat pada masa itu yaitu demokrasi. Sejak masa reformasi demokrasi
kembali ditegakkan. Hal tersebut sangat mempengaruhi berbagai segi kehidupan
salah satunya pendidikan yaitu dengan adanya demokrasi pendidikan.4
4
AL MA' ARIEF: JURNAL PENDIDIKAN SOSIAL DAN BUDAYA
dengan apa yang dimiliki oleh kaum penjajah. Masalah yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia pada waktu itu adalah kekurangan kesempatan yang sama yang diberikan
kepada semua anak bangsa. Itulah sebabnya di dalam UUD 1945 dinyatakan
dengan tegas bahwa pemerintah akan menyusun suatu sistem pendidikan nasional
untuk rakyat, bukan untuk segolongan kecil di dalam masyarakat. Kesempatan yang
sama harus diberikan oleh sistem pendidikan nasional untuk semua anak bangsa.
Pada masa Orde Lama sudah kita kenal juga mengenai upaya untuk
meningkatkan pendidikan di sekolah-sekolah menengah. Pada masa itu
dilaksanakan ujian-ujian negara yang terpusat. Ujian-ujian negara yang terpusat itu
masih mengikuti sistem kolonial yang ketat tetapi tetap jujur dan mempertahankan
kualitas. Sistem kontinental digunakan, asing dari pengukuran performance hanya
serba semata-mata dari test multiple choice tetapi ditekankan kepada
Suatu kebijakan yang diambil pada masa Orde Lama dalam bidang
pendidikan tinggi ialah mendirikan universitas di setiap provinsi. Kebijakan ini
tentunya mempunyai tujuan untuk lebih meratakan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi yang berkualitas pada waktu itu hanya ada di
Pulau Jawa yang kemudian terkenal sebagai The Five Center of Excellence (UI,
IPB, ITB, Gajah Mada, dan UNAIR). Sayangnya, terbukanya kesempatan yang
lebih luas untuk memperoleh pendidikan tinggi tidak disertai dengan program yang
sungguh sungguh untuk meningkatkan kemampuan dosen serta sarana-sarana yang
memadai untuk suatu universitas. Akibatnya dapat kita duga ialah kemerosotan
mutu pendidikan tinggi telah dimulai.
3. Era Orde Baru
Dalam era ini dikenal sebagai era pembangunan nasional. Tentunya terdapat
hal-hal yang positif di dalam pengembangan pendidikan nasional dalam era ini.
Untuk pendidikan dasar dan menengah khususnya pendidikan dasar terjadi suatu
loncatan yang sangat signifikan dengan adanya INPRES Pendidikan Dasar. Sayang
sekali INPRES Pendidikan Dasar tidak ditindaklanjuti dengan peningkatan
kualitas. Memang tujuan utama dari INPRES Pendidikan Dasar adalah kuantitas
dan belum kualitas. Selain daripada itu sistem ujian negara telah berubah menjadi
suatu bumerang yaitu penentuan kelulusan siswa menurut rumus-rumus yang dapat
ditentukan sendiri oleh setiap daerah. Akibatnya ialah tidak ada siswa yang tidak
lulus di dalam ujian negara atau EBTANAS. EBTANAS telah merupakan suatu
pembohongan publik serta pembohongan diri sendiri dalam masyarakat. Apabila
pada masa Orde Lama pendidikan telah mulai dijadikan sebagai kendaraan politik
maka di dalam Orde Baru pendidikan telah dijadikan sebagai indikator palsu
mengenai keberhasilan pemerintah dalam pembangunan. Perlu kiranya dicatat
bahwa di dalam era pembangunan nasional tersebut selama lima REPELITA yang
ditekankan ialah pengembangan ekonomi sebagai salah satu dari trilogi
pembangunan pada waktu itu ialah pembangunan ekonomi, stabilitas kehidupan
politik dan pemerataan. Kemerosotan besar-besaran dalam pendidikan nasional
telah dimulai. Dari hasil manipulasi ujian nasional sekolah dasar kemudian
meningkat ke sekolah menengah dan tentunya sampai ke tingkat sekolah menengah
atas dan akhirnya berpengaruh kemudian terhadap mutu pendidikan tinggi.
Sungguhpun pendidikan tinggi berupaya mempertahankan otonominya dengan
mengadakan ujian masuk pendidikan tinggi yang dikenal dengan UMPTN tetapi
juga hal tersebut tidak menolong oleh sebab hasil EBTANAS sekolah menengah
juga dijadikan sebagai indikator penerimaan di perguruan tinggi. Banyak kritik
yang muncul dari dunia pendidikan tinggi itu sendiri untuk memperbaiki UMPTN
seperti yang dikemukakan oleh mendiang Prof. Dr. Andi Hakim Nasution, mantan
Rektor IPB. Beliaulah yang menganjurkan di samping UMPTN, pendidikan tinggi
negeri mengadakan penelusuran minat dari para siswa SMA yang berpotensi. Para
siswa yang berpotensi tersebut tidak perlu mengikuti ujian saringan dan langsung
memasuki dunia pendidikan tinggi khususnya IPB. Cara ini kemudian diikuti oleh
universitas-univer sitas lain dalam rangka untuk mempertahankan mutu pendidikan
tingginya. Seperti yang kita lihat pendidikan tinggi negeri mulai berkembang pesat
sejak Orde Baru. Pendidikan tinggi yang relatif sudah lebih maju seperti di The Five
Center of Excellence di Pulau Jawa Gap antara pendidikan tinggi terutama di Pulau
Jawa dengan di luar Jawa semakin menganga.
4. Era Reformasi
Era reformasi yang dimulai sejak 1998 merupakan suatu era transisi dengan
tumbuhnya proses demokratisasi di dalam masyarakat Indo nesia. Proses
demokratisasi juga memasuki dunia pendidikan nasional antara lain dengan
lahirnya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang ini telah menangkap perubahan-perubahan yang dikehendaki
dalam masyarakat Indonesia dewasa ini yaitu: 1) Desentralisasi sistem pendidikan
dari sistem yang sentralistis menjadi suatu sistem yang desentralistis. Pendidikan
bukan lagi merupakan tanggung jawab pemerintah pusat tetapi diserahkan kepada
tanggung jawab pemerintah daerah. Sebagaimana yang diatur di dalam Undang
Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, hanya beberapa fungsi
saja yang tetap berada di tangan pemerintah pusat. Perubahan dari sistem yang
sentralistis ke desentralistis tentunya mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang
jauh di dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Memang kita masih berada
pada masa transisi, banyak hal yang masih harus diatur seperti yang diminta oleh
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. Banyak PP yang mengatur mengenai
wewenang daerah belum dilahirkan. Demikian pula yang sangat serius adalah
komitmen dan kemampuan daerah untuk menyelenggarakan pendidikan bagi
rakyatnya. Dapat dibayangkan bagaimana pendidikan nasional kita diletakkan
kepada lebih dari 300 kabupaten dan kota serta pada lebih dari 30 provinsi 2) Sesuai
dengan tuntutan era globalisasi Indonesia tidak terlepas dari kewajibannya untuk
meningkatkan mutu sumber daya manusianya dalam menghadapi persaingan bebas
dalam dunia yang terbuka abad ke-21. Kebutuhan ini telah ditampung oleh adanya
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta pentingnya
tenaga guru dan dosen sebagai ujung tombak dari reformasi pendidikan nasional.
Lahirnya Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 di dalam segala kekurangannya
merupakan suatu tonggak yang sangat berarti di dalam reformasi pendidikan
nasional. Apabila isi undang-undang tersebut benar-benar dapat dilaksanakan dan
didukung oleh anggaran pendapatan dan belanja negara baik di pusat maupun
daerah yang memadai, maka dapat kita jamin berkembangnya pendidikan nasional
yang bermutu di masa depan. Sudah barang tentu pelaksanaan dari kedua undang-
undang tersebut meminta program dan waktu yang mencukupi. Sayang sekali
program yang dinanti-nantikan belum kunjung tiba. Sebagaimana yang penulis
kemukakan di dalam bab sebelumnya, pendidikan nasional kita sampai dewasa ini
tidak mempunyai platform yang jelas sehingga terjadi perubahan-perubahan
kebijakan menurut selera seorang menteri, atau seperti yang kita lihat di dalam
polemik Ujian Nasional sejak tahun 2003 menunjukkan kemauan pemerintah yang
tidak dapat dibendung oleh keinginan rakyat. Semua hal ini menunjukkan suatu
gejolak di dalam masa transisi dalam pendidikan nasional Indonesia. Di dalam Bab
selanjutnya penulis akan kemukakan mengenai apa saja yang perlu diprogramkan
dan dilaksanakan dan ditunjang oleh biaya yang optimal dalam meningkatkan mutu
pendidikan nasional. Apabila orang bertanya quo vadis pendidikan nasional
Indonesia? Penulis telah mengemukakan beberapa pemikiran seperti yang telah
dikemukakan di dalam Manifesto Pendidikan Nasional (2005), tentang perlu
adanya suatu pemetaan masalah-masalah pendidikan nasional serta kesepakatan
untuk menangani masalah-masalah yang mendasar yang dihadapi oleh sistem
pendidikan nasional. Apabila benar-benar tuntutan UUD 1945 mengenai
tersedianya dana yang memadai untuk pengembangan pendidikan nasional perlu
disertai dengan adanya suatu program pengembangan yang solid serta tidak
melupakan masalah inti dalam pendidikan kebutuhan anak bangsa. Seperti yang
telah dikemukakan, pemecahan masalah pendidikan tidak hanya dapat berhenti
dengan menggunakan epistema politik serta epistema ekonomi tetapi perlu
dilengkapi dengan epistema pedagogis. Epistema politik kita perlukan untuk
menjaga kohesi nasional dalam membangun negara kesatuan Republik Indonesia
yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa, keyakinan dan agama. Epistema
ekonomis diperlukan di dalam manajemen pendidikan nasional yang terbentang
luas di Nusantara dengan berbagai standar kualitas serta kemampuan daerah.
Epistema pedagogis mengintegrasikan berbagai pandangan dalam sistem
pendidikan nasional ialah untuk kepentingan anak bangsa sebagai peserta-didik dan
sebagai subjek seorang manusia.
Di dalam masyarakat Indonesia dewasa ini muncul banyak kritik baik dari
praktisi pendidikan maupun dari kalangan pengamat pendidikan nasional yang
tidak mempunyai arah yang jelas. Ketiadaan arah yang tidak jelas dalam pendidikan
nasional menunjukkan hilangnya elan vital di dalam pendidikan nasional yang
menggerakkan sistem pendidikan untuk mewujudkan cita- cita bersama Indonesia
raya.6
5
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 (UU RI Nomor 20 Tahun 2003),
Jakarta: Sinar Grafika, 2003), Hlm. 5.
6
H.A.R Tilaar. StandarPendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis. (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h.
14
kekuatan politik ke arah itulah pendidikan di arahkan.7 Bangsa Indonesia , sejak
merdeka hingga saat ini mengalami pergantian empat model kepemimpinan,
masing-masing adalah orde lama, orde baru, orde reformasi dan orde sekarang yag
banyak pengamat atau pemerhati menyebutnya sebagai era transisi menuju
demokrasi. Sedikit atau banyak, tentunya setiap orde memberikan konstribusi dan
membantu menentukan corak pendidikan saat ini.8
7
H.A.R Tilaar, Pendidikan Dalam Pembangunan Nasional Menyongsong Abad XXI, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990), h. 59
8
Musthofa Rembangy . Pendidikan Transformatif: Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di
Tengah Pusaran Arus Globalisasi, (Yokyakarta: Teras, 2008), h. 20
partai politik praktis tertentu untuk kepentingan golongan atau pun kelompoknya
sendiri.9
Banyaknya sarana pendidikan yang rusak dan tidak layak ini merupakan
salah salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan. Dari 1,3 juta ruang kelas,
769 ribu dalam kondisi layak pakai (59%), 299 ribu rusak berat (23%) dan 242 ribu
rusak ringan (18%). Pada taun 2012 sudah 22 ribu ruang kelas yang diperbaiki.15
Proyek perbaikan sekolah ini tidak akan pernah selesai. Sekolah yang sekarang
masuk dalam kategori ringan akan naik menjadi rusak sedang, lalu rusak berat jika
tidak ditangani tentunya akan menjadi rusak berat.
9
H.A.R Tilaar. StandarPendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis. (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h.
14
salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan
pendidikan. Dengan kerusakan sarana prasarana dalam jumlah yang banyak maka
proses pendidikan tidak dapat berlangsung secara efektif.
Kesenjangan yang lain juga pada jumlah dan ketersediaan buku yang,.
Ketersediaan buku di daerah perkotaan dan dan daerah terpencil serta perbatasan
terjadi kesenjangan baik dari segi jumlah ketersediaan dan kualitas buku. Sementara
ketersediaan buku merupakan penunjang pendidikan yang sangat penting karena
hal ini akan menunjang keberhasilan proses pendidikan.
10
Ahmad Fedyani Saifuddin, Catatan Reflektif Antropologi Sosial Budaya, (Jakarta: All Rihgts
Reserved, 2011), h. 40
Kuantitas dan kualitas guru saat ini, juga merupakan hal yang dilematis.
Secara objektif jumlah guru saat ini memang kurang memadai, namun hal ini tidak
dapat dipukul rata begitu saja Tetapi harus diakui bahwa jumah guru yang sedikit
salah satu indikator kesenjangan dalam masalah pemerataan guru.
Jumlah guru yang kurang memadai ini banyak terjadi di daerah pedesaan,
terpencil dan perbatasan, jumlah guru hanya ada sekitar 3-4 orang. Sementara itu,
di daerah perkotaan yang sarana dan prasarananya memada terjadi penumpukan
guru. Bahkan dalam satu SD dijumpai 11- 14 orang guru, termasuk diantaranya
kepala sekolah.11 Oleh karena itu, sampai saat ini sekolah yang maju di perkotaan
dapat terus bertahan dengan kemajuannya, sementara sekolah yang kekurangan
guru di pedesaan/daerah terpencil semakin terisolosi dan semakin terpuruk.
Posisi guru sangat vital dalam pendidikan. Dari segi kuantitas dan
pemerataan guru mengalami persoalan yang dilematis, ada sekolah yang kelebihan
guru tetapi ada juga sekolah yang kekurangan guru. Salah satu faktor i kesenjangan
pemerataan guru di Indonesia karena kondisi geografis negara kita yang sangat luas.
Belum lagi berbicara mengenai kualitas guru. Seorang guru yang memiliki
posisi strategi dalam usaha tercapainya kualitas pendidikan yang semakin baik amat
dituntut kemampuan profesionalnya. Skill dan profesionalitas senantiasa harus
ditingkatkan, terutama dalam menyiapkan sumber daya manusia yang mampu
menghadapi persaingan global.
11
Sam M. Chan, Tuti T. Sam, Analisis SWOT: Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, (Jakarta:
Rajawali Press, 2011) h.58
Oleh karena itu, pemerintah harus membuat terobosan dalam membangun
pendidikan. Artinya harus ada pemerataan dan kualitas guru di Indonesia.
Barangkali hal ini dapat diatasi dengan adanya undang-undang otonomi daerah. Di
samping itu, pemerintah baik pusat dan daerah harus membuat program yang bisa
merangsang lagi guru-guru yang mau mengabdi di daerah terutama di daerah
terpencil. Misalnya, ada semacam tunjangan khusus bagi guru yang mau
mengabdikan diri bagi daerah/desa yang masuk kategori terpencil sehingga ada
semacam ukuran cost dan benefid bagi guru dari sudut rasional dan tuntutan
sosial.12
Masalah kompetensi guru adalah masalah serius, untuk itu perlu dilakukan
pembinaan secara baik, selain itu juga tentunya guru terus belajar untuk
mengembangkan wawasan dan intelektualitas yang pada gilirannya bisa
membangun kreativitas guru.
12
Ibid, h. 62
13
Abd Rahman Getteng, Menuju Guru Profesional dan Ber-Etika, (Yokyakarta: graha Guru, 2011),
h. 99
kemerdekaan, hingga sekarang. Pelaksanaan tersebut telah diatur dalam perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia, seperti pada Pasal 31 UUD 1945;
Situasi yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia saat ini seringkali
menampilkan wajah yang cukup kontradiktif dengan gagasan demokrasi. Hal ini
dapat dilihat dari berbagai macam fakta. Pertama adalah model pembelajaran yang
masih kental dengan gaya bank yang tercermin melalui: guru mengajar, murid
belajar; guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa; guru berpikir, murid
dipikirkan; guru bicara, murid mendengarkan; guru mengatur, murid diatur; guru
memilih dan memaksimalkan pilihannya, murid menuruti. Guru dilihat sebagai
gudang pengetahuan yang bertujuan untuk mentransferkan ilmunya kepada peserta
didik. Paradigma seperti ini menjadi penyebab utama terhambatnya proses
pembentukan ruang yang partisipatif dan melanggengnya budaya pasif dalam diri
para pelajar. Para pelajar sudah beranggapan bahwa guru adalah sumber segalanya,
sumber kebenaran, dianggap “perfect”. Model pembelajaran inilah yang dikritisi
oleh seorang tokoh pendidikan yaitu Paul Freire. Freire menekankan pentingnya
pendidikan yang membebaskan, tidak ada pihak yang mendominasi dan
didominasi.14
14
Fajar Dedi Isnanto, FKIP UMP (2019). Implementasi pendidikan demokrasi
memiliki kebebasan yang sama untuk menyampaikan pendapat dan gagasan dalam
mengaktualisasikan dirinya. Situasi pendidikan di Indonesia pada umumnya dan di
NTT pada khususnya, belum menampilkan konsep demokrasi yang
sesungguhnya.Kalaupun ada, jumlahnya masih sangat minim. Oleh karena itu,
sudah saatnya pendidikan yang demokratis diwujudkan, agar generasi yang lahir
dari sistem pendidikan di Indonesia bukanlah generasi yang pasif, melainkan aktif,
generasi yang kritis, bukan krisis dan generasi yang selalu inklusif, bukan eksklusif.
Pendidikan yang bertujuan memanusiakan manusia harus diterjemahkan ke dalam
praktik yang demokratis, bukan otoritarian. Mewujudkan pendidikan yang
demokratis pada dasarnya bukanlah sesuatu yang sulit, sepanjang kita mempunyai
misi yang sama yaitu terwujudnya keadilan sosial dalam bidang pendidikan. Semua
aktor dalam dunia pendidikan memiliki kedudukan yang sama, baik sebagai peserta
didik, para pendidik dan juga pemerintah.
Dengan kata lain prinsip utama yang paling mendasar pada kurikulum 2013
adalah penekanan pada kemampuan guru mengimplementasikan proses
pembelajaran yang otentik, menantang dan bermakna bagi peserta didik sehingga
dengan demikian dapatlah berkembang potensi peserta didik sesuai dengan apa
yang diharapkan oleh tujuan pendidikan nasional. Namun, masih banyak guru yang
belum bisa atau masih bingung dalam melaksanakan atau mengimplementasikan
kurikulum 2013 itu dalam pembelajaran.
15
(Kurniasih, 2014).
Dalam kondisi yang sangat dinamis ini diperlukan trasformasi pembelajaran
untuk perbaikan mutu pendidikan Indonesia, seperti halnya pembaharuan yang
telah dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dengan
menetapkan kebijakan baru, yakni merdeka belajar. Merdeka belajar dibuat untuk
mengubah konsep pembelajaran yang pada awalnya berpatokan pada pendidik
menjadi sistem pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Kebijakan merdeka
belajar ini di maksudkan untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang
berkualitas sehingga dapat menekan angka pengangguran yang terjadi di Indonesia.
Khususnya perguruan tinggi yang dianggap sebagai tulangpunggung inovasi, pada
lingkup perguruan tinggi merdeka belajar disegala aspek kehidupan sangat
berkaiatan erat dengan teknologi, sehingga manusia dituntut untuk bisa berpikir
kritis serta mampu beradaptasi dan berinovasi. Konsep" Society 5. 0" pertama kali
di cetuskan oleh Jepang, yang merupakan suatu konsep masyarakat dimana segala
kegiatan yang ada dalam masyarakat berpusat pada manusia yang diimbangi
dengan implementasikan dengan program merdeka belajar kampus merdeka.
Program MBKM mulai diupayakan dan diterapkan oleh perguruan tinggi. Pokok-
pokok dalam kebijakan MBKM (Tohir, 2020) meliputi: (1) pembukaan program
studi baru, (2) sistem akreditasi perguruan tinggi, (3) perguruan tinggi badan
hukum, (4) hak belajar tiga semester diluar program studi. Program hak belajar tiga
tahun diluar program studi ini merupakan salah satu dari kebijakan MBKM yang
merupakan amanah dari regulasi pendidikan tinggi dalam rangka menyiapkan
lulusan yang mampu beradaptasi dengan dunia kerja serta perbaikan mutu
pembelajaran. Beberapa kegiatan pembelajaram sesuai dengan permendikbud No 3
Tahun 2020 Pasal 15 ayat 1 dapat dilaksanakan pada program Hak Belajar Tiga
Semester Diluar Program Studi meliputi: pertukaran pelajar, magang/praktik kerja,
asistensi mengajar disatuan pendidikan, penelitian/riset, proyek kemanusiaan,
kegiatan wirausaha, studi /proyek independen, KKN tematik. Program studi harus
berusaha mengembangkan kurikulum dengan menyesuaikan model pengembangan
kebijakan merdeka belajar-kampus merdeka agar mampu mengimplementasikan
keleluasaan pembelajaran yang fleksibel sesuai kebutuhan mahasiswa dan tidak
monoton. Melalui program merdeka belajar kampus merdeka yang telah
dipersiapkan dan dilaksanakan maka diharapkan mampu menjadi jawaban atas
permasalahan mutu pendidikan di Indonesia serta dapat menanggulangi banyaknya
lulusan yang menjadi pengangguran ditengah era society 5.016
16
Nailyl Maghfiroh & Muhamad Sholeh. Implementasi Kurikulum Merdeka Belajar Kampus
Merdeka Dalam Menghadapi Era Disrupsi Dan Era Society 5.0
BAB III
PENUTUP