Anda di halaman 1dari 30

TUGAS TERSTRUKTUR DOSEN PENGAMPU

Filsafat Pendidiakan Ahmad Barkatullah S.Pd.I, M.Pd.

Demokrasi Pendidikan Di Indonesia

Disusun Oleh:
Kelompok 6
Muhammad Arief Husein (220101010233)
Fikri Haykal Ulil Albab (220101010237)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik, dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan peyusunan makalah
ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.

Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk,
maupun pedoman bagi pembaca. Makalah ini disusun dalam rangka untuk
melaksanakan tugas dari dosen pada mata kuliah Filsafat Pendidikan. Ucapkan
terima kasih kami haturkan kepada dosen pengampu mata kuliah Filsafat
Pendidikan Bapak Ahmad Barkatullah S.Pd.I, M.Pd. yang telah memberikan arahan
dan bimbingannya.

Makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari
berbagai pihak untuk perbaikan isi makalah ini sangat kami harapkan, sehingga
penyusun dapat memperbaiki isi makalah ini kedepannya lebih baik lagi.

Banjarmasin, 8 November 2022

Kelompok 6
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………..

DAFTAR ISI……………………………………………………………………….

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………….

A. Latar Belakang……………………………………………………………...
B. Rumusan Masalah………………………………………………………….

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………..

1. Demokrasi Pendidikan Di Indonesia……………………………………….


2. Problematika Pendidikan Di Indonesia…………………………………….
3. Penerapan Demokrasi Pendidikan Di Indonesia…………………………...

BAB III PENUTUP……………………………………………………………….

A. Kesimpulan…………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan kebutuhan setiap orang. Pendidikan dari
waktu ke waktu selalu mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik
seperti halnya penerapan demokrasi pendidikan dalam pembelajaran yang
mengusung konsep memberi kebebasan siswa dalam berpendapat,
menyampaikan sanggahan, dan juga memiliki kesempatan yang sama
tanpa ada pembedaan dari segi suku, ras, dan golongan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui penerapan demokrasi pendidikan dalam
proses pembelajaran siswa di Sekolah.
Dewasa ini, situasi pendidikan Indonesia dalam banyak hal
bertentangan dengan cita-cita demokrasi. Hal ini terlihat dari berbagai
fakta. Yang pertama masih model pembelajaran ala bank. guru mengajar
dan siswa belajar. Guru tahu segalanya, siswa tidak tahu apa-apa. Guru
berpikir, siswa berpikir. Guru berbicara dan siswa mendengarkan. Disusun
oleh guru dan dikoordinir oleh siswa. Guru memilih dan memaksimalkan
pilihannya. siswa patuh. Guru dipandang sebagai reservoir pengetahuan
yang tujuannya adalah untuk memberikan pengetahuan kepada siswa.
Paradigma seperti itu sebagian besar bertanggung jawab atas kelambatan
dalam proses pembentukan ruang partisipasi di antara siswa dan
mempertahankan budaya pasif. Para siswa sudah menganggap guru,
sumber segala sesuatu dan sumber kebenaran,

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Keadaan Demokrasi Pendidikan Di Indonesia?
2. Apa Problematika Demokrasi Pendidkan Di Indonesia?
3. Bagaimana Penerapan Demokrasi Pendidikan Di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

1. Keadaan Demokrasi Pendidikan Di Indonesia


a. Demokrasi Pendidikan Di Indonesia

Demokrasi pendidikan adalah suatu pandangan yang mengutamakan


persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan tenaga pendidik yang sama dan adil
kepada semua siswanya tanpa membeda-bedakan dalam segala aspek dalam
kegiatan pembelajaran baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Demokrasi
pendidikan memberikan kesempatan yang sama kepada setiap individu dalam
bidang pendidikan tanpa membeda-bedakan agama, suku, ras, dan juga status sosial
sehingga individu memiliki kesempatan untuk mengutarakan pendapatnya,
mengembangkan potensi yang dimilikinya melalui pendidikan. Namun pada
kenyataannya, metode pendidikan dalam pembelajaran masih banyak disparitas
(membeda-bedakan) atau jarak dalam pendidikan. Yang mana antara si kaya dan si
miskin mendapat perlakuan yang berbeda dalam pembelajaran, si pintar serta yang
kurang pintar masih ada perlakuan yang berbeda ketika di dalam kelas.1

Demokrasi pendidikan merupakan proses pendidikan yang menerapkan


nilai-nilai demokrasi yang didalamnya. Pembelajaran dilakukan secara adil tanpa
ada disparsitas antara satu dengan yang lainnya, sehingga setiap individu memiliki
kesempatan yang sama dalam proses pendidikan dan siswa tidak hanya menjadi
objek semata dalam proses pendidikan tetapi ada interaksi antara siswa dengan
pendidik dalam hal menyanggah, memberi tanggapan, bertanya, ataupun yang
lainnya. Penerapan demokrasi pendidikan dalam pembelajaran siswa sekolah dasar
masih sangat sedikit penerapannya karena kebanyakan pembelajaran dalam sekolah
dasar siswa dijadikan sebagai objek pembelajaran yang menerima dan
mendengarkan materi dari pendidik. Namun ketika ada pembaharuan kurikulum
tepatnya Kurikulum 2013, demokrasi pendidikan mulai banyak diterapkan dalam

1
Zahrawati, F., & Faraz, N. J. (2017)
pembelajaran karena siswa dituntut aktif juga dalam pembelajaran seperti
menyampaikan pendapat, menjawab ataupun yang lainnya. Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa penerapan demokrasi pendidikan2

Demokrasi pendidikan merupakan proses pendidikan yang menerapkan


nilai-nilai demokrasi yang didalamnya. Pembelajaran dilakukan secara adil tanpa
ada disparsitas antara satu dengan yang lainnya, sehingga setiap individu memiliki
kesempatan yang sama dalam proses pendidikan dan siswa tidak hanya menjadi
objek semata dalam proses pendidikan tetapi ada interaksi antara siswa dengan
pendidik dalam hal menyanggah, memberi tanggapan, bertanya, ataupun yang
lainnya. Penerapan demokrasi pendidikan dalam pembelajaran siswa sekolah dasar
masih sangat sedikit penerapannya karena kebanyakan pembelajaran dalam sekolah
dasar siswa dijadikan sebagai objek pembelajaran yang menerima dan
mendengarkan materi dari pendidik. Namun ketika ada pembaharuan kurikulum
tepatnya Kurikulum 2013, demokrasi pendidikan mulai banyak diterapkan dalam
pembelajaran karena siswa dituntut aktif juga dalam pembelajaran seperti
menyampaikan pendapat, menjawab ataupun yang lainnya.3

Di Indonesia pendidikan diatur sedemikian rupa oleh pemerintah dalam


Undang-Undang. Misalnya saja Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang
membahas tentang sistem pendidikan nasional. Undang-undang ini mencakup
semua tentang sistem pendidikan nasional di Indonesia. Termasuk pada BAB IV
Bagian Kedua Pasal 17 tentang pendidikan dasar. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa
pendidikan dasar adalah pendidikan yang menjadi landasan jenjang pendidikan
menengah, dimana pendidikan dasar tersebut bisa berbentuk pendidikan Sekolah
Dasar (SD) dan juga Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau yang sederajat dengan
keduanya dan juga Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah
(MTs) atau bentuk lain yang sederajat dengan keduanya.

Sejak berdirinya era reformasi, kehidupan masyarakat Indonesia menjadi


serba terbuka dan transparan. Berbeda pada masa orde baru yang terkesan ditutup-

2
Zahrawati, F., & Faraz, N. J. (2017).
3
Ibid.
tutupi dan rakyat seolah terkekang atau kurang bebas dalam geraknya. Salah satu
tuntutan rakyat pada masa itu yaitu demokrasi. Sejak masa reformasi demokrasi
kembali ditegakkan. Hal tersebut sangat mempengaruhi berbagai segi kehidupan
salah satunya pendidikan yaitu dengan adanya demokrasi pendidikan.4

b. Perkembangan Pendidikan Indonesia Dari Masa Ke Masa


1. Era Kolonial
Siapakah yang meragukan mutu pendidikan dalam masa kolonial? Sudah
tentu kita mengenal adanya dosa besar dalam pendidikan nasional yang hanya
diberikan kepada para penguasa serta kaum feodal. Pendidikan rakyat cukup
diberikan untuk memenuhi kebutuhan dasar penguasa kolonial. Namun demikian,
pendidikan yang terbatas yang diberikan kepada rakyat di dalam sekolah-sekolah
kelas 2 atau ongko loro tidak dapat diragukan mutunya. Sungguhpun standar yang
dipakai untuk mengukur kualitas pendidikan rakyat pada waktu itu diragukan
karena sebagian besar rakyat tidak memperoleh pendidikan, namun demikian apa
yang telah dimiliki oleh sekelompok masyarakat Indonesia memperoleh pendidikan
seperti pendidikan rakyat 3 tahun, pendidikan rakyat 5 tahun, telah juga
menghasilkan pemimpin masyarakat bahkan menghasilkan pemimpin-pemimpin
gerakan nasional.

Pendidikan kolonial untuk golongan penguasa serta bangsawan tidak dapat


diragukan mempunyai mutu yang dapat dibanggakan. Para pemimpin nasional kita
kebanyakan memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah kolonial bahkan beberapa
mahasiswa yang dapat melanjutkan di universitas-universitas terkenal di Eropa.
Para pemimpin yang mendapatkan pendidikan di dalam negeri (Hindia Belanda)
tidak dapat kita ragukan kemampuannya. Coba kita lihat latar belakang pendidikan
dari founding fathers kita yang telah memperoleh pendidikan kolonial tetapi yang
justru telah menjadi bumerang terhadap kekuasaan kolonial. Dalam sejarah
pendidikan kita dapat kita katakan bahwa inteligensi manusia Indonesia tidak kalah

4
AL MA' ARIEF: JURNAL PENDIDIKAN SOSIAL DAN BUDAYA
dengan apa yang dimiliki oleh kaum penjajah. Masalah yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia pada waktu itu adalah kekurangan kesempatan yang sama yang diberikan
kepada semua anak bangsa. Itulah sebabnya di dalam UUD 1945 dinyatakan
dengan tegas bahwa pemerintah akan menyusun suatu sistem pendidikan nasional
untuk rakyat, bukan untuk segolongan kecil di dalam masyarakat. Kesempatan yang
sama harus diberikan oleh sistem pendidikan nasional untuk semua anak bangsa.

Tetapi bangsa kita dapat melaksanakan pendidikan nasional sebagaimana


yang diamanatkan oleh UUD 1945. Kita lihat misalnya di dalam masa revolusi telah
dapat dirumuskan Undang-Undang Pendidikan Nasional yang pertama tahun 1950.
Dimulai dari runtuhan pendidikan pada masa revolusi, kita berhasil membangun
suatu sistem pendidikan nasional yang tidak kalah mutunya. Para pengajar, pelajar
melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya dengan kemampuan yang serba
terbatas. Namun dari keterbatasan itu kita berhasil memupuk pemimpin-pemimpin
nasional yang dapat mengatasi masa pancaroba seperti rongrongan terhadap negara
kesatuan Republik Indonesia. Kohesi sosial dapat kita pupuk kembali serta upaya
untuk menyusun suatu sistem pendidikan nasional yang semakin bermutu terus
dilaksanakan. Sayang sekali pada akhir era ini pendidikan kemudian dimasuki oleh
politik praktis atau mulai dijadikan sebagai kendaraan politik. Kita masih ingat
dimulai pada era Orde Lama tersebut telah dimulai pendidikan indoktrinasi yaitu
menjadikan pendidikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan Orde Lama.
Di tengah-tengah hiruk-pikuk perebutan dominasi politik terhadap pendidikan,
sistem pendidikan nasional masih berhasil meluluskan banyak sarjana yang
kemudian dapat melahirkan berbagai pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan
tinggi di dunia. Ternyata para sarjana hasil pendidikan tinggi Indo nesia tidak kalah
dibandingkan dengan pendidikan di Asia maupun di negara-negara maju lainnya.
Kita masih ingat bagaimana upaya kita untuk meningkatkan mutu pendidikan
nasional seperti peningkatan mutu pendidikan teknologi di ITB dengan Universitas
Kentucky, peningkatan mutu pendidikan di IPB juga dengan beberapa pendidikan
tinggi di Amerika atas bantuan kerjasama Amerika Serikat, Ford Foundation dan
beberapa lembaga-lembaga swasta internasional lainnya.
2. Era Orde Lama

Pada masa Orde Lama sudah kita kenal juga mengenai upaya untuk
meningkatkan pendidikan di sekolah-sekolah menengah. Pada masa itu
dilaksanakan ujian-ujian negara yang terpusat. Ujian-ujian negara yang terpusat itu
masih mengikuti sistem kolonial yang ketat tetapi tetap jujur dan mempertahankan
kualitas. Sistem kontinental digunakan, asing dari pengukuran performance hanya
serba semata-mata dari test multiple choice tetapi ditekankan kepada

Kemampuan menganalisa secara rasional serta ujian-ujian lisan merupakan


unsur yang penting di dalam ujian nasional. Pendekatan ujian sebagai suatu objek
tidak dikenal pada waktu itu dan oleh sebab itu pula para siswa bukanlah sebagai
objek dari suatu proyek nasional tetapi didorong oleh keinginan untuk
mempertahankan kualitas. Barangkali hal ini dapat terjadi karena jumlah sekolah
maupun siswa masih terbatas dibandingkan dewasa ini. Demikian pula para guru
masih kebanyakan merupakan guru-guru yang ditempa pada zaman kolonial.
Disiplin siswa dipegang dengan cukup kuat serta korps pendidik belum berorientasi
kepada yang material tetapi kepada yang ideal. Citra guru sebagai Pahlawan tanpa
Tanda Jasa yang diciptakan dalam era Orde Baru sebenarnya telah dikembangkan
pada era kolonial dan dilanjutkan dalam era Orde Baru.

Suatu kebijakan yang diambil pada masa Orde Lama dalam bidang
pendidikan tinggi ialah mendirikan universitas di setiap provinsi. Kebijakan ini
tentunya mempunyai tujuan untuk lebih meratakan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi yang berkualitas pada waktu itu hanya ada di
Pulau Jawa yang kemudian terkenal sebagai The Five Center of Excellence (UI,
IPB, ITB, Gajah Mada, dan UNAIR). Sayangnya, terbukanya kesempatan yang
lebih luas untuk memperoleh pendidikan tinggi tidak disertai dengan program yang
sungguh sungguh untuk meningkatkan kemampuan dosen serta sarana-sarana yang
memadai untuk suatu universitas. Akibatnya dapat kita duga ialah kemerosotan
mutu pendidikan tinggi telah dimulai.
3. Era Orde Baru
Dalam era ini dikenal sebagai era pembangunan nasional. Tentunya terdapat
hal-hal yang positif di dalam pengembangan pendidikan nasional dalam era ini.
Untuk pendidikan dasar dan menengah khususnya pendidikan dasar terjadi suatu
loncatan yang sangat signifikan dengan adanya INPRES Pendidikan Dasar. Sayang
sekali INPRES Pendidikan Dasar tidak ditindaklanjuti dengan peningkatan
kualitas. Memang tujuan utama dari INPRES Pendidikan Dasar adalah kuantitas
dan belum kualitas. Selain daripada itu sistem ujian negara telah berubah menjadi
suatu bumerang yaitu penentuan kelulusan siswa menurut rumus-rumus yang dapat
ditentukan sendiri oleh setiap daerah. Akibatnya ialah tidak ada siswa yang tidak
lulus di dalam ujian negara atau EBTANAS. EBTANAS telah merupakan suatu
pembohongan publik serta pembohongan diri sendiri dalam masyarakat. Apabila
pada masa Orde Lama pendidikan telah mulai dijadikan sebagai kendaraan politik
maka di dalam Orde Baru pendidikan telah dijadikan sebagai indikator palsu
mengenai keberhasilan pemerintah dalam pembangunan. Perlu kiranya dicatat
bahwa di dalam era pembangunan nasional tersebut selama lima REPELITA yang
ditekankan ialah pengembangan ekonomi sebagai salah satu dari trilogi
pembangunan pada waktu itu ialah pembangunan ekonomi, stabilitas kehidupan
politik dan pemerataan. Kemerosotan besar-besaran dalam pendidikan nasional
telah dimulai. Dari hasil manipulasi ujian nasional sekolah dasar kemudian
meningkat ke sekolah menengah dan tentunya sampai ke tingkat sekolah menengah
atas dan akhirnya berpengaruh kemudian terhadap mutu pendidikan tinggi.
Sungguhpun pendidikan tinggi berupaya mempertahankan otonominya dengan
mengadakan ujian masuk pendidikan tinggi yang dikenal dengan UMPTN tetapi
juga hal tersebut tidak menolong oleh sebab hasil EBTANAS sekolah menengah
juga dijadikan sebagai indikator penerimaan di perguruan tinggi. Banyak kritik
yang muncul dari dunia pendidikan tinggi itu sendiri untuk memperbaiki UMPTN
seperti yang dikemukakan oleh mendiang Prof. Dr. Andi Hakim Nasution, mantan
Rektor IPB. Beliaulah yang menganjurkan di samping UMPTN, pendidikan tinggi
negeri mengadakan penelusuran minat dari para siswa SMA yang berpotensi. Para
siswa yang berpotensi tersebut tidak perlu mengikuti ujian saringan dan langsung
memasuki dunia pendidikan tinggi khususnya IPB. Cara ini kemudian diikuti oleh
universitas-univer sitas lain dalam rangka untuk mempertahankan mutu pendidikan
tingginya. Seperti yang kita lihat pendidikan tinggi negeri mulai berkembang pesat
sejak Orde Baru. Pendidikan tinggi yang relatif sudah lebih maju seperti di The Five
Center of Excellence di Pulau Jawa Gap antara pendidikan tinggi terutama di Pulau
Jawa dengan di luar Jawa semakin menganga.

Di samping perkembangan pendidikan tinggi dengan usaha usahanya untuk


mempertahankan dan meningkatkan mutunya, pada masa Orde Baru muncul suatu
gejala yaitu tumbuhnya secara menyendawan perguruan tinggi swasta di dalam
berbagai bentuknya. Perbandingan antara jumlah pendidikan tinggi negeri (PTN)
dan pendidikan tinggi swasta (PTS) menjadi sangat mencolok. Mutu pendidikan
tinggi swasta sangat bervariasi, dari yang sangat bermutu. bahkan yang melebihi
mutu beberapa pendidikan tinggi nasional, terdapat banyak yang sekadar
merupakan lembaga pelatihan tinggi (higher learning institution); keadaan ini
sungguh meruwetkan pembinaan pendidikan tinggi Indonesia meskipun telah
diupayakan dalam memberikan bimbingan dan pengembangan dalam bentuk
misalnya pembentukan KOPERTIS-KOPERTIS. Namun demikian terbentuknya
KOPERTIS telah membuat suatu bentuk birokrasi baru di dalam dunia pendidikan
tinggi serta mengadakan diskriminasi yang tidak pada tempatnya antara PTN dan
PTS.

4. Era Reformasi
Era reformasi yang dimulai sejak 1998 merupakan suatu era transisi dengan
tumbuhnya proses demokratisasi di dalam masyarakat Indo nesia. Proses
demokratisasi juga memasuki dunia pendidikan nasional antara lain dengan
lahirnya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang ini telah menangkap perubahan-perubahan yang dikehendaki
dalam masyarakat Indonesia dewasa ini yaitu: 1) Desentralisasi sistem pendidikan
dari sistem yang sentralistis menjadi suatu sistem yang desentralistis. Pendidikan
bukan lagi merupakan tanggung jawab pemerintah pusat tetapi diserahkan kepada
tanggung jawab pemerintah daerah. Sebagaimana yang diatur di dalam Undang
Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, hanya beberapa fungsi
saja yang tetap berada di tangan pemerintah pusat. Perubahan dari sistem yang
sentralistis ke desentralistis tentunya mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang
jauh di dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Memang kita masih berada
pada masa transisi, banyak hal yang masih harus diatur seperti yang diminta oleh
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. Banyak PP yang mengatur mengenai
wewenang daerah belum dilahirkan. Demikian pula yang sangat serius adalah
komitmen dan kemampuan daerah untuk menyelenggarakan pendidikan bagi
rakyatnya. Dapat dibayangkan bagaimana pendidikan nasional kita diletakkan
kepada lebih dari 300 kabupaten dan kota serta pada lebih dari 30 provinsi 2) Sesuai
dengan tuntutan era globalisasi Indonesia tidak terlepas dari kewajibannya untuk
meningkatkan mutu sumber daya manusianya dalam menghadapi persaingan bebas
dalam dunia yang terbuka abad ke-21. Kebutuhan ini telah ditampung oleh adanya
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta pentingnya
tenaga guru dan dosen sebagai ujung tombak dari reformasi pendidikan nasional.
Lahirnya Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 di dalam segala kekurangannya
merupakan suatu tonggak yang sangat berarti di dalam reformasi pendidikan
nasional. Apabila isi undang-undang tersebut benar-benar dapat dilaksanakan dan
didukung oleh anggaran pendapatan dan belanja negara baik di pusat maupun
daerah yang memadai, maka dapat kita jamin berkembangnya pendidikan nasional
yang bermutu di masa depan. Sudah barang tentu pelaksanaan dari kedua undang-
undang tersebut meminta program dan waktu yang mencukupi. Sayang sekali
program yang dinanti-nantikan belum kunjung tiba. Sebagaimana yang penulis
kemukakan di dalam bab sebelumnya, pendidikan nasional kita sampai dewasa ini
tidak mempunyai platform yang jelas sehingga terjadi perubahan-perubahan
kebijakan menurut selera seorang menteri, atau seperti yang kita lihat di dalam
polemik Ujian Nasional sejak tahun 2003 menunjukkan kemauan pemerintah yang
tidak dapat dibendung oleh keinginan rakyat. Semua hal ini menunjukkan suatu
gejolak di dalam masa transisi dalam pendidikan nasional Indonesia. Di dalam Bab
selanjutnya penulis akan kemukakan mengenai apa saja yang perlu diprogramkan
dan dilaksanakan dan ditunjang oleh biaya yang optimal dalam meningkatkan mutu
pendidikan nasional. Apabila orang bertanya quo vadis pendidikan nasional
Indonesia? Penulis telah mengemukakan beberapa pemikiran seperti yang telah
dikemukakan di dalam Manifesto Pendidikan Nasional (2005), tentang perlu
adanya suatu pemetaan masalah-masalah pendidikan nasional serta kesepakatan
untuk menangani masalah-masalah yang mendasar yang dihadapi oleh sistem
pendidikan nasional. Apabila benar-benar tuntutan UUD 1945 mengenai
tersedianya dana yang memadai untuk pengembangan pendidikan nasional perlu
disertai dengan adanya suatu program pengembangan yang solid serta tidak
melupakan masalah inti dalam pendidikan kebutuhan anak bangsa. Seperti yang
telah dikemukakan, pemecahan masalah pendidikan tidak hanya dapat berhenti
dengan menggunakan epistema politik serta epistema ekonomi tetapi perlu
dilengkapi dengan epistema pedagogis. Epistema politik kita perlukan untuk
menjaga kohesi nasional dalam membangun negara kesatuan Republik Indonesia
yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa, keyakinan dan agama. Epistema
ekonomis diperlukan di dalam manajemen pendidikan nasional yang terbentang
luas di Nusantara dengan berbagai standar kualitas serta kemampuan daerah.
Epistema pedagogis mengintegrasikan berbagai pandangan dalam sistem
pendidikan nasional ialah untuk kepentingan anak bangsa sebagai peserta-didik dan
sebagai subjek seorang manusia.

2. Problematika Pendidikan Di Indonesia

Berbagai problematika pendidikan di Indonesia cukup banyak, mulai dari


masalah kurikulum, kualitas, kompetensi, bahkan kompetensi kepemimpinan baik
itu dijajaran tingkat atas maupun tingkat bawah. Berbagai kasus keluhan-keluhan
terjadi di lapangan, baik pimpinan sekolah maupun para pendidik yang
menyayangkan dimensi kepemimpinan seperti soal manajemen, disiplin, birokrasi
dan administrasi yang amburadul. Kemudian yang tidak kalah pentingnya juga soal
kepemimpinan di sekolah turut berperan mewarnai wajah penyelenggaraan dunia
pendidikan serta memperlebar kesenjangan dan konflik internal para pendidik.
Ditambah lagi dengan pemberlakuan otonomi daerah, di mana sistem
pendidikan nasional dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian
sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang demokratis, memperhatikan
keberagaman, memperhatikan kebutuhan daerah, serta mendorong peningkatan
partisipasi masyarakat. Yang menjadi persoalan adalah, setelah 69 tahun Indonesia
merdeka, di mana rakyat memberikan hak sepenuhnya kepada pemerintah dalam
proses penyelenggaraan kenegaraan dengan segala kebutuhan-kebutuhannya dan
sejauh mana tanggung jawab moral pemerintah termasuk di dalamnya aparat
pemimpin dengan jajarannya dalam mempersiapkan, menyediakan serta
mengembangkan dunia pendidikan. Kondisi dinamis seperti ini tentu saja suatu
dilematika yang cukup ironis, dan berpengaruh besar terhadap kualitas pendidikan.

Memikirkan konsep dan mekanisme pendidikan, terlebih bagi masyarakat


Indonesia yang sedang berkembang dan dengan kondisi masyarakat yang pluralis
tentunya bukan perkara gampang. Tetapi walaupun demikian tetap merujuk bahwa
pendidikan sebagai hak asasi setiap individu anak bangsa seperti yang tertuang
dalam UUD 1945 Pasal 31ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap warga negara
berhak mendapatkan pendidikan.5

Di dalam masyarakat Indonesia dewasa ini muncul banyak kritik baik dari
praktisi pendidikan maupun dari kalangan pengamat pendidikan nasional yang
tidak mempunyai arah yang jelas. Ketiadaan arah yang tidak jelas dalam pendidikan
nasional menunjukkan hilangnya elan vital di dalam pendidikan nasional yang
menggerakkan sistem pendidikan untuk mewujudkan cita- cita bersama Indonesia
raya.6

Dilihat dari pejalanan pendidikan Indonesia, arah pendidikan disesuaikan


dengan keadaan dan kepentingan penguasa, ketika pengasa memerlukan suatu

5
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 (UU RI Nomor 20 Tahun 2003),
Jakarta: Sinar Grafika, 2003), Hlm. 5.
6
H.A.R Tilaar. StandarPendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis. (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h.
14
kekuatan politik ke arah itulah pendidikan di arahkan.7 Bangsa Indonesia , sejak
merdeka hingga saat ini mengalami pergantian empat model kepemimpinan,
masing-masing adalah orde lama, orde baru, orde reformasi dan orde sekarang yag
banyak pengamat atau pemerhati menyebutnya sebagai era transisi menuju
demokrasi. Sedikit atau banyak, tentunya setiap orde memberikan konstribusi dan
membantu menentukan corak pendidikan saat ini.8

Kalau ditilik lebih dalam aspek politik pendidikan. Pendidikan


diorientasikan sebagai alat untuk kepentingan tertentu, seperti kepentingan ideologi
dan kepentingan politik untuk mempertahankan status quo. Misalkan pada masa
orde baru pendidikan cenderung dijadikan sebagai alat kekuasaan sehingga
menghilangkan esensi dari pendidikan yang sebenarnya. Bahkan pendidikan
dijadikan sebagai alat indoktrinasi kepada masyarakat. Sistem pendidikan pada
masa orde baru, pelaksanaan pendidikan secara langsung dikendalikan oleh sistem
birokrasi dengan mata rantai yang sangat panjang dari tingkat pusat sampai ke
daerah bahkan sampai tingkat satuan pendidikan. Kepemimpinan seperti ini
tentunya berdampak pada dunia pendidikan, di mana pedoman dan dasar bertindak
pendidik tidak lagi mengacu pada profesionalitas melainkan instruksi dari atasan.
Kondisi seperti mengakibatkan keberpihakan pada atasan dan menghilangkan hak-
hak dan kewenangan profesional. Alhasil pendidikan memproduk manusia-
manusia penurut, tidak berani mengambil Keputusan tidak ada kemandirian karena
lebih banyak terpaksa dan kepura-puraan.

Dewasa ini pendidikan nasional merupakan subordinasi dari kekuatan-


kekuatan politik praktis. Hal ini berarti pendidikan telah dimasukkan di dalam
kancah perebutan kekuasaan oleh partai- partai politik. Pendidikan bukan lagi untuk
membangun manusia Indonesia seutuhnya, tetapi untuk membangun kekuatan dari

7
H.A.R Tilaar, Pendidikan Dalam Pembangunan Nasional Menyongsong Abad XXI, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990), h. 59
8
Musthofa Rembangy . Pendidikan Transformatif: Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di
Tengah Pusaran Arus Globalisasi, (Yokyakarta: Teras, 2008), h. 20
partai politik praktis tertentu untuk kepentingan golongan atau pun kelompoknya
sendiri.9

Pendidikan di Indonesia menunjukkan kualitas yang rendah. Asumsinya hal


ini terjadi karena pemerintah kurang serius memperhatikan bidang pendidikan.
Sementara kemajuan bangsa salah satunya yang terpenting adalah pendidikan,
karena pendidikan merupakan modal dasar untuk kemajuan suatu bangsa.
Kesenjangan dalam pendidikan di Indonesia masih terjadi di berbagai hal seperti:
sarana prasarana dan sumber daya tenaga pendidik

a). Sarana Prasarana

Terdapat kesenjangan cukup besar terkait kualitas pendidikan antara


sekolah yang di kota dan daerah terpencil. Pada umumnya sekolah yang berada di
perkotaan lebih baik daripada sekolah di pedesaan Sering kita lihat secara langsung
maupun lewat pemberitaan di media televisi dan surat kabar kondisi sekolah di
pedesaan dan daerah terpencil yang sangat tidak layak. Misalnya kondisi bangunan
yang rapuh bahkan sudah mau roboh ditambah atap yang bocor sehingga kegiatan
proses belajar mengajar sering terkandala. Persoalan sarana dan prasarana
merupakan persoalan krusial dalam perbaikan dan pembangunan sistem pendidikan
di Indonesia, dan juga merupakan salah satu syarat atau unsur yang sangat penting.

Banyaknya sarana pendidikan yang rusak dan tidak layak ini merupakan
salah salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan. Dari 1,3 juta ruang kelas,
769 ribu dalam kondisi layak pakai (59%), 299 ribu rusak berat (23%) dan 242 ribu
rusak ringan (18%). Pada taun 2012 sudah 22 ribu ruang kelas yang diperbaiki.15
Proyek perbaikan sekolah ini tidak akan pernah selesai. Sekolah yang sekarang
masuk dalam kategori ringan akan naik menjadi rusak sedang, lalu rusak berat jika
tidak ditangani tentunya akan menjadi rusak berat.

Kerusakan sarana pendidikan yang begitu parah ditambah dengan prasarana


pendidikan yang tidak menunjang proses pembelajaran yang kondusif merupakan

9
H.A.R Tilaar. StandarPendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis. (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h.
14
salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan
pendidikan. Dengan kerusakan sarana prasarana dalam jumlah yang banyak maka
proses pendidikan tidak dapat berlangsung secara efektif.

Umumnya sekolah-sekolah yang ada di pedesaan dan daerah terpencil


masih terkendala dengan sarana dan prasarana pendidikan, seperti ruang kelas,
perpustakaan dan laboratorium. Kalua pun mendapatkan bantuan seperti rehab
ruangan kelas, tapi itu pun tidak seluruhnya. Prosesnya hanya bagian tertentu saja
seperti atap dan pengecatan.

Kesenjangan yang lain juga pada jumlah dan ketersediaan buku yang,.
Ketersediaan buku di daerah perkotaan dan dan daerah terpencil serta perbatasan
terjadi kesenjangan baik dari segi jumlah ketersediaan dan kualitas buku. Sementara
ketersediaan buku merupakan penunjang pendidikan yang sangat penting karena
hal ini akan menunjang keberhasilan proses pendidikan.

Masalah sarana dan prasarana keterkaitannya tentunya dengan anggaran


pendidikan. Menyangkut anggaran pendidikan merupakan saah satu faktor yang
cukup memberikan pengaruh terhadap mutu dan kesesuaian pendidikan adalah
anggaran pendidikan yang memadai. Anggaran pendidikan ini akan menyangkut
besarnya anggaran dan alokasi anggaran.

Pembenahan pendidikan dalam hal pemerataan sangat penting untuk


mewujudkan kualitas pendidikan di semua daerah. Hal dapat diwujudkan salah
satunya apabila didukung oleh dana yang cukup dan pengelolaan yang baik.
Tentunya kita berharap banyak pada pemberlakuan otonomi pendidikan sebagai
salah satu kebijakan pendidikan nasional dapat dilaksanakan dengan baik dan
terarah. Otonomi pendidikan diharapkan menghasilkan sistem pendidikan yang
lebih mandiri, terbuka, demokratis dan maju masih jauh dari tercapai.10

b). Tenaga Pendidik

10
Ahmad Fedyani Saifuddin, Catatan Reflektif Antropologi Sosial Budaya, (Jakarta: All Rihgts
Reserved, 2011), h. 40
Kuantitas dan kualitas guru saat ini, juga merupakan hal yang dilematis.
Secara objektif jumlah guru saat ini memang kurang memadai, namun hal ini tidak
dapat dipukul rata begitu saja Tetapi harus diakui bahwa jumah guru yang sedikit
salah satu indikator kesenjangan dalam masalah pemerataan guru.

Jumlah guru yang kurang memadai ini banyak terjadi di daerah pedesaan,
terpencil dan perbatasan, jumlah guru hanya ada sekitar 3-4 orang. Sementara itu,
di daerah perkotaan yang sarana dan prasarananya memada terjadi penumpukan
guru. Bahkan dalam satu SD dijumpai 11- 14 orang guru, termasuk diantaranya
kepala sekolah.11 Oleh karena itu, sampai saat ini sekolah yang maju di perkotaan
dapat terus bertahan dengan kemajuannya, sementara sekolah yang kekurangan
guru di pedesaan/daerah terpencil semakin terisolosi dan semakin terpuruk.

Posisi guru sangat vital dalam pendidikan. Dari segi kuantitas dan
pemerataan guru mengalami persoalan yang dilematis, ada sekolah yang kelebihan
guru tetapi ada juga sekolah yang kekurangan guru. Salah satu faktor i kesenjangan
pemerataan guru di Indonesia karena kondisi geografis negara kita yang sangat luas.

Kesenjangan pemerataan tenaga pendidik ini merupakan pekerjaan yang


harus terselesaikan supaya pemerataan guru ini dapat terwujud. Berbagai upaya
sudah dilakukan seperti penambahan guru melalui rekrutmen Calon Pegawai
Negeri Sipil (CPNS), guru kontrak dan memberikan tunjangan khusus bagi guru
yang tinggal di daerah terpencil. Upaya- upaya yang dilakukan pemerintah ini
tentunya tidak langsung menyelesaikan masalah.

Belum lagi berbicara mengenai kualitas guru. Seorang guru yang memiliki
posisi strategi dalam usaha tercapainya kualitas pendidikan yang semakin baik amat
dituntut kemampuan profesionalnya. Skill dan profesionalitas senantiasa harus
ditingkatkan, terutama dalam menyiapkan sumber daya manusia yang mampu
menghadapi persaingan global.

11
Sam M. Chan, Tuti T. Sam, Analisis SWOT: Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, (Jakarta:
Rajawali Press, 2011) h.58
Oleh karena itu, pemerintah harus membuat terobosan dalam membangun
pendidikan. Artinya harus ada pemerataan dan kualitas guru di Indonesia.
Barangkali hal ini dapat diatasi dengan adanya undang-undang otonomi daerah. Di
samping itu, pemerintah baik pusat dan daerah harus membuat program yang bisa
merangsang lagi guru-guru yang mau mengabdi di daerah terutama di daerah
terpencil. Misalnya, ada semacam tunjangan khusus bagi guru yang mau
mengabdikan diri bagi daerah/desa yang masuk kategori terpencil sehingga ada
semacam ukuran cost dan benefid bagi guru dari sudut rasional dan tuntutan
sosial.12

Mengenai kualitas guru, seharusnya juga menjadi prioritas yang diutamakan


dalam rangka menyiapkan guru yang kompeten, memiliki skill/kemampuan yang
tinggi. Pemerintah diharapkan mengalokasikan dana bagi peningkatan kualitas
guru, karena tidak bisa dipungkiri bahwa guru merupakan ujung tombak bagi
keberhasilan pendidikan. Hal ini sejalan dengan apa yang tertuang dalam undang-
undang guru dan dosen Bab V Pasal 10 yang berbunyi: kompetensi guru meliputi
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.13

Masalah kompetensi guru adalah masalah serius, untuk itu perlu dilakukan
pembinaan secara baik, selain itu juga tentunya guru terus belajar untuk
mengembangkan wawasan dan intelektualitas yang pada gilirannya bisa
membangun kreativitas guru.

3. Penerapan Demokrasi Pendidikan Di Indonesia

Pelaksanaan demokrasi pendidikan di Indonesia pada dasarnya telah


dikembangkan sedemikian rupa dengan menganut dan mengembangkan asas
demokrasi dalam pendidikannya, terutama setelah diproklamirkannya

12
Ibid, h. 62
13
Abd Rahman Getteng, Menuju Guru Profesional dan Ber-Etika, (Yokyakarta: graha Guru, 2011),
h. 99
kemerdekaan, hingga sekarang. Pelaksanaan tersebut telah diatur dalam perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia, seperti pada Pasal 31 UUD 1945;

a. Ayat (1): Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.

b. Ayat (2): pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem

pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.

Situasi yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia saat ini seringkali
menampilkan wajah yang cukup kontradiktif dengan gagasan demokrasi. Hal ini
dapat dilihat dari berbagai macam fakta. Pertama adalah model pembelajaran yang
masih kental dengan gaya bank yang tercermin melalui: guru mengajar, murid
belajar; guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa; guru berpikir, murid
dipikirkan; guru bicara, murid mendengarkan; guru mengatur, murid diatur; guru
memilih dan memaksimalkan pilihannya, murid menuruti. Guru dilihat sebagai
gudang pengetahuan yang bertujuan untuk mentransferkan ilmunya kepada peserta
didik. Paradigma seperti ini menjadi penyebab utama terhambatnya proses
pembentukan ruang yang partisipatif dan melanggengnya budaya pasif dalam diri
para pelajar. Para pelajar sudah beranggapan bahwa guru adalah sumber segalanya,
sumber kebenaran, dianggap “perfect”. Model pembelajaran inilah yang dikritisi
oleh seorang tokoh pendidikan yaitu Paul Freire. Freire menekankan pentingnya
pendidikan yang membebaskan, tidak ada pihak yang mendominasi dan
didominasi.14

Pendidikan yang demokratis merupakan gagasan yang mengedepankan


unsur partisipasi aktif dari semua pihak (pemerintah, pengajar dan anak didik).
Kemajuan dari sebuah institusi pendidikan tidak terlepas dari peran setiap aktor-
aktor tersebut. Adanya proses integrasi secara terpadu dan terus-menerus melalui
pembentukan pendapat umum (opini publik) dalam mengambil suatu keputusan
merupakan esensi utama dari gagasan demokrasi. Pendidikan yang demokratis
merupakan pendidikan yang mengedepankan partisipasi aktif. Semua orang

14
Fajar Dedi Isnanto, FKIP UMP (2019). Implementasi pendidikan demokrasi
memiliki kebebasan yang sama untuk menyampaikan pendapat dan gagasan dalam
mengaktualisasikan dirinya. Situasi pendidikan di Indonesia pada umumnya dan di
NTT pada khususnya, belum menampilkan konsep demokrasi yang
sesungguhnya.Kalaupun ada, jumlahnya masih sangat minim. Oleh karena itu,
sudah saatnya pendidikan yang demokratis diwujudkan, agar generasi yang lahir
dari sistem pendidikan di Indonesia bukanlah generasi yang pasif, melainkan aktif,
generasi yang kritis, bukan krisis dan generasi yang selalu inklusif, bukan eksklusif.
Pendidikan yang bertujuan memanusiakan manusia harus diterjemahkan ke dalam
praktik yang demokratis, bukan otoritarian. Mewujudkan pendidikan yang
demokratis pada dasarnya bukanlah sesuatu yang sulit, sepanjang kita mempunyai
misi yang sama yaitu terwujudnya keadilan sosial dalam bidang pendidikan. Semua
aktor dalam dunia pendidikan memiliki kedudukan yang sama, baik sebagai peserta
didik, para pendidik dan juga pemerintah.

Upaya pemerintah untuk mewujudkan demokratisasi pendidikan di


Indonesia,pemerintah membuat suatu kurikulum.

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,


isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.Dalam menyelenggarakan sekolah ada suatu pertanyaan yang cukup
mendasar yaitu: “Siswa mau dibawa ke mana oleh sekolah? Dan Siapa yang berhak
menentukan arah dan kebijakan sekolah?”. Semangat demokratis dalam
penyelenggaraan sekolah akan terinspirasi bahwa publik sekolah memiliki hak yang
sangat kuat dan besar dalam menentukan arah kebijakan kurikulum sekolah. Kuat
dan besarnya hak sekolah dalam menetapkan arah kebijakan kurikulum, bisa
dikatakan sama dengan pemerintah.

Kurikulum merupakan inti dari sebuah sekolah, karena menawarkan pada


publik dengan dukungan guru dan tenaga kependidikan serta sarana sumber belajar
yang memadai. Diskursus kurikulum memang masih berjalan terus, apakah
kurikulum itu hanya bermakna Course of Line/GBPP, atau mencakup seluruh
pengalaman yang diberikan kepada siswa dalam proses pendidikannya. Dalam
konteks ini Ronald C. Doll menjelaskan bahwa kurikulum sudah tidak lagi
bermakna sebagai rangkaian bahan dan urutan pelajaran yang akan dipelajari siswa.
Akan tetapi seluruh pengalaman yang ditawarkan pada siswa di bawah arahan dan
bimbingan sekolah. Pengalaman yang diperoleh siswa dari program yang
ditawarkan sekolah cukup variatif, tidak terbatas pembelajaran dalam kelas saja,
melainkan juga di lapangan tempat siswa bermain, di kantin bahkan di bus sekolah.
Semuanya mempengaruhi perubahan dan memberikan kontribusi pengembangan
siswa.

Kurikulum memiliki beberapa karakteristik yaitu: Sebagai suatu substansi,


sebagai suatu sistem, dan merupakan suatu konsep dinamis (Sukmadinata)

1. Kurikulum sebagai suatu substansi; kurikulum sebuah rencana kegiatan


belajar siswa disekolah, yang mencakup: rumusan tujuan, bahan ajar, proses
kegiatan pembelajaran, jadwal, dan evaluasi hasil belajar. Kurikulum ini
merupakan konsep yang telah disusun oleh para ahli dan disetujui oleh pengambil
kebijakan pendidikan serta masyarakat sebagai user/pemakai.

2. Kurikulum sebagai sebuah sistem; kurikulum merupakan rangkaian


konsep tentang berbagai kegiatan pembelajaran yang masing-masing kegiatan
mempunyai keterkaitan secara koheren dengan yang lainnya, bahkan kurikulum itu
sendiri memiliki keterkaitan dengan semua unsur dalam sistem pendidikan secara
keseluruhan.

3. Kurikulum merupakan sebuah konsep dinamis; Kurikulum merupakan


konsep yang terbuka dengan berbagai gagasan perubahan dan penyesuaian dengan
tuntutan pasar atau idealisme pengembangan peradaban umat manusia.

Guna merealisasikan keberhasilan pendidikan, dengan mewujudkan


demokratisasi pendidikan, pemerintah melalui kurikulum telah berusaha untuk
melaksanakan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan dilanjutkan dengan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Memang harus diakui bahwa ada
keengganan dari pemerintah pusat untuk memberikan otonomi yang sesungguhnya
kepada daerah. Pasalnya, apabila semuanya diserahkan kepada daerah kewenangan
pusat berangsur-angsur berkurang dan akhirnya bisa habis. (hal yang sangat tidak
diinginkan). Keengganan yang sama berlaku juga di bidang pendidikan. Pemerintah
seolah-olah telah memberikan otonomi sepenuhnya antara lain dengan kebijakan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang diikuti dengan Kurikulum Satuan
Tingkat Pendidikan (KTSP). Semua itu (teorinya) ditujukan agar sekolah menjadi
otonom. Tapi pemerintah pusat hanya memberi kewenangan semu, karena belum
mau berubah dengan mengevaluasi kebijakannya yang anti- otonomi, seperti ujian
nasional yang standarnya setiap tahun selalu dinaikkan dan masih banyak
kecurangan.

Kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam pelaksanaan kegiatan


pendidikan di sekolah bagi pihak-pihak yang terkait, baik secara langsung maupun
tidak langsung, seperti pihak guru, kepala sekolah, pengawas, orangtua, masyarakat
dan pihak siswa itu sendiri, dalam mengimplementasikan kurikulum 2013 sangat
berbeda dengan kurikulum sebelumnya, masih banyak kendala yang kita ketahui
sangat mempengaruhi hasil belajar, baik dari segi media yang di gunakan, penilaian
pada kurikulum 2013 lebih rumit dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya
kemudian metode yang digunakan untuk menyampaikan materi pembelajaran yang
ingin diajarkan belum efektif atau bahkan tidak sesuai dengan materi yang ingin
disampaikan.

Dengan kata lain prinsip utama yang paling mendasar pada kurikulum 2013
adalah penekanan pada kemampuan guru mengimplementasikan proses
pembelajaran yang otentik, menantang dan bermakna bagi peserta didik sehingga
dengan demikian dapatlah berkembang potensi peserta didik sesuai dengan apa
yang diharapkan oleh tujuan pendidikan nasional. Namun, masih banyak guru yang
belum bisa atau masih bingung dalam melaksanakan atau mengimplementasikan
kurikulum 2013 itu dalam pembelajaran.

Perkembangan zaman di dunia pendidikan yang terus berubah dengan


signifikan sehingga banyak merubah pola pikir pendidik, dari pola pikir yang awam
dan kaku menjadi lebih modern. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Kurikulum 2013, Keterampilan, Sikap dan Pengetahuan Otang Kurniaman,


Eddy Noviana

Proses pembelajaran sepenuhnya diarahkan pada pengembangan ketiga


ranah (kognitif, afektif, psikomotor) tersebut secara utuh, artinya pengembangan
ranah yang satu tidak bisa dipisahkan dengan ranah yang lainnya. Dalam
perencanaan proses pembelajaran ini ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan
yaitu: desain pembelajaran, rencana pelaksanaan pembelajaran, pelaksanaan
pembelajaran, dan penilaian hasil dan proses pembelajaran.

Sejak tahun 1945, kurikulum di Indonesia telah berulang kali diperbaharui


dan disempurnakan. Penyempurnaan itu dilakukan berdasarkan perkembangan-
perkembangan yang ada baik dari segi teknologi yang semakin canggih,
perkembangan peserta didik, dan tuntutan standar yang ingin dicapai. Perubahan-
perubahan yang terjadi dalam kurikulum membawa kebaikan dalam setiap
penyempurnaannya, hingga perubahan kurikulum saat ini menjadi kurikulum 2013.

Kurikulum 2013 mendefinisikan standar kompetensi lulusan (SKL) sesuai


dengan yang seharusnya, yakni sebagai kriteria mengenai kualifikasi kemampuan
lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan. Acuan dan prinsip
penyusunan kurikulum 2013 mengacu pada pasal 36 Undang-Undang No. 20 tahun
2003, yang menyatakan bahwa penyusunan kurikulum harus memperhatikan
peningkatan iman dan takwa; peningkatan akhlak mulia; peningkatan potensi,
kecerdasan, dan minat peserta didik; keragaman potensi daerah dan lingkungan;
tuntutan pembangunan daerah dan nasional; tuntutan dunia kerja; perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; agama; dinamika perkembangan global; dan
persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.15

Dewasa ini telah terjadi perubahan yang mendasar di berbagai sektor


kehidupan yang disebut era disrupsi (Sayyidi & Sidiq, 2020). Perubahan yang
terjadi dapat menjadi keuntungan dan juga tantangan bagi masyarakat. Mulai dari
pemangku kebijakan hingga pelaksana kebijakan. Pada era 5.0 ini teknologi.
Konsep ini muncul disebabkan pengembangan revolusi industri 4.0 di rasa
berpotensi merendahkan derajat manusia. Melalui Society 5. 0 manusia bisa
mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya dengan memanfaatkan berbagai
teknologi yang telah berkembang. Harapan Negara Jepang dengan adanya era
society 5.0 yaitu manusia terus bisa berkembang dan tetap eksis dikala teknologi
buatan semakin canggih, begitu juga dengan Negara lainnya.

Negara-negara di dunia sedang berupaya untuk memperbaiki struktur


kehidupan di negaranya masing-masing supaya tidak tertinggal dengan teknologi
buatan yang semakin canggih tak terkecuali Negara Indonesia, Indonesia sudah
berusaha melakukan perbaikan mutu dibeberapa aspek kehidupan, seperti halnya
dalam aspek kehidupan sosial dan aspek pendidikan. Kedua aspek tersebut tidak
dapat dipisahkan, dikarenakan dengan adanya suatu pendidikan yang baik maka
kehidupan sosial pun menjadi lebih sejahtera. Sistem pendidikan Indonesia sering
kali mengalami perubahan, yang didasarkan pada teori yang berkembang dan
kewenangan pemangku kebijakan. Sistem pendidikan harus terus dikembangkan
untuk generasi masa depan yang tanggap dengan segala tantangan. Saat ini banyak
dijumpai pekerjaan yang dilakukan dengan bantuan teknologi sehingga sangat
berdampak pada lapangan pekerjaan yang tersedia. Oleh sebab itu masyarakat harus
memperoleh pendidikan yang layak agar memiliki kreativitas dan mampu
menyeimbangi perkembangan teknologi agar kodrat sebagai manusia tetap menjadi
yang utama dalam menjalankan kehidupan berkelanjutan.

15
(Kurniasih, 2014).
Dalam kondisi yang sangat dinamis ini diperlukan trasformasi pembelajaran
untuk perbaikan mutu pendidikan Indonesia, seperti halnya pembaharuan yang
telah dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dengan
menetapkan kebijakan baru, yakni merdeka belajar. Merdeka belajar dibuat untuk
mengubah konsep pembelajaran yang pada awalnya berpatokan pada pendidik
menjadi sistem pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Kebijakan merdeka
belajar ini di maksudkan untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang
berkualitas sehingga dapat menekan angka pengangguran yang terjadi di Indonesia.
Khususnya perguruan tinggi yang dianggap sebagai tulangpunggung inovasi, pada
lingkup perguruan tinggi merdeka belajar disegala aspek kehidupan sangat
berkaiatan erat dengan teknologi, sehingga manusia dituntut untuk bisa berpikir
kritis serta mampu beradaptasi dan berinovasi. Konsep" Society 5. 0" pertama kali
di cetuskan oleh Jepang, yang merupakan suatu konsep masyarakat dimana segala
kegiatan yang ada dalam masyarakat berpusat pada manusia yang diimbangi
dengan implementasikan dengan program merdeka belajar kampus merdeka.
Program MBKM mulai diupayakan dan diterapkan oleh perguruan tinggi. Pokok-
pokok dalam kebijakan MBKM (Tohir, 2020) meliputi: (1) pembukaan program
studi baru, (2) sistem akreditasi perguruan tinggi, (3) perguruan tinggi badan
hukum, (4) hak belajar tiga semester diluar program studi. Program hak belajar tiga
tahun diluar program studi ini merupakan salah satu dari kebijakan MBKM yang
merupakan amanah dari regulasi pendidikan tinggi dalam rangka menyiapkan
lulusan yang mampu beradaptasi dengan dunia kerja serta perbaikan mutu
pembelajaran. Beberapa kegiatan pembelajaram sesuai dengan permendikbud No 3
Tahun 2020 Pasal 15 ayat 1 dapat dilaksanakan pada program Hak Belajar Tiga
Semester Diluar Program Studi meliputi: pertukaran pelajar, magang/praktik kerja,
asistensi mengajar disatuan pendidikan, penelitian/riset, proyek kemanusiaan,
kegiatan wirausaha, studi /proyek independen, KKN tematik. Program studi harus
berusaha mengembangkan kurikulum dengan menyesuaikan model pengembangan
kebijakan merdeka belajar-kampus merdeka agar mampu mengimplementasikan
keleluasaan pembelajaran yang fleksibel sesuai kebutuhan mahasiswa dan tidak
monoton. Melalui program merdeka belajar kampus merdeka yang telah
dipersiapkan dan dilaksanakan maka diharapkan mampu menjadi jawaban atas
permasalahan mutu pendidikan di Indonesia serta dapat menanggulangi banyaknya
lulusan yang menjadi pengangguran ditengah era society 5.016

16
Nailyl Maghfiroh & Muhamad Sholeh. Implementasi Kurikulum Merdeka Belajar Kampus
Merdeka Dalam Menghadapi Era Disrupsi Dan Era Society 5.0
BAB III
PENUTUP

Perubahan besar pada kebijakan pengembangan di bidang pendidikan di


Indonesia semenjak terjadi reformasi di bidang politik, yang secara umum
tertumpu pada otonomisasi dan demokratisasi. Politik, ekonomi dan demokrasi
mempunyai keterkaitan yang cukup erat, yang saling berpengaruh yang muncul
dari sumber kemerdekaan individu atas kekuasaan Negara. Dalam membangun
masyarakat yang demokratis diperlukan pendidikan, agar masyarakat tidak
sekedar mampu membaca dan menulis serta berhitung, akan tetapi mampu
memahami fungsi pemerintah yang demokratis sesuai dengan konstitusi dan pasar
bebas.

Paradigma baru pendidikan menuntut agar pendidikan mampu melahirkan


manusia demokratis yang akan memerankan dirinya sendiri sebagai anak bangsa
dalam proses kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kontribusi pendidikan
dalam demokrasi mempersiapkan warga masyarakat berfikir kritis dan bertindak
demokratis, yaitu menjamin hak-hak warga negara, proses pembelajaran, dan
mentransfor- masikan nilai-nilai demokrasi. Penyelenggaraan sekolah secara
demokratis sebagai upaya untuk mengejar ketinggalan Indonesia dalam bidang
pendidikan terhadap negara Asia lainnya (Malaysia, Singapura, Jepang) dengan
melibatkan masyarakat, komite sekolah, dan dewan pendidikan, serta
stakeholders.

Penyelenggaraan secara demokrasi; keterlibatan masyarakat, otoritas


pengelola, dan institusi pendukung lebih besar dari pada pemerintah pusat, bahkan
bentuk keterlibatan masyarakat dalam komite sekolah dan dewan pendidikan
daerah. Komite sekolah berhak ikut serta dalam merumuskan perencanaan
pendidikan baik secara makro maupun kebijakan restrukturisasi dalam gagasan
kurikulum.

Pemerintah diberi kewenangan oleh undang-undang sebagaimana


dicatumkan dalam pasal 10 bahwa pemerintah dan pemerintah daerah berhak
mengarahkan, membimbing, membantu dan mengawasi penyelenggaraan
pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada
pasal 11 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah
wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah
dan pemerintah daerah wajib menyediakan dana guna terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun.
DAFTAR PUSTAKA

Zahrawati, F., & Faraz, N. J. (2017)

AL MA' ARIEF: JURNAL PENDIDIKAN SOSIAL DAN BUDAYA

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 (UU RI Nomor 20


Tahun 2003), Jakarta: Sinar Grafika, 2003), Hlm. 5.
H.A.R Tilaar. StandarPendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis. (Jakarta: Rineka
Cipta, 2006), h. 14
H.A.R Tilaar, Pendidikan Dalam Pembangunan Nasional Menyongsong Abad
XXI, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 59
Musthofa Rembangy . Pendidikan Transformatif: Pergulatan Kritis Merumuskan
Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi, (Yokyakarta: Teras, 2008), h. 20
H.A.R Tilaar. StandarPendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis. (Jakarta: Rineka
Cipta, 2006), h. 14

Ahmad Fedyani Saifuddin, Catatan Reflektif Antropologi Sosial Budaya, (Jakarta:


All Rihgts Reserved, 2011), h. 40
Sam M. Chan, Tuti T. Sam, Analisis SWOT: Kebijakan Pendidikan Era Otonomi
Daerah, (Jakarta: Rajawali Press, 2011) h.58

Abd Rahman Getteng, Menuju Guru Profesional dan Ber-Etika, (Yokyakarta:


graha Guru, 2011), h. 99

Fajar Dedi Isnanto, FKIP UMP (2019). Implementasi pendidikan demokrasi


(Kurniasih, 2014
Nailyl Maghfiroh & Muhamad Sholeh. Implementasi Kurikulum Merdeka Belajar
Kampus Merdeka Dalam Menghadapi Era Disrupsi Dan Era Society 5.0

Anda mungkin juga menyukai