Anda di halaman 1dari 13

TUGAS MAKALAH

KELOMPOK 3
PERSPEKTIF PENDIDIKAN DAN
PEMBELAJARAN TUNANETRA
Dosen Pengampu : Drs. Asep Ahmad Sopandi, M.Pd

Disusun oleh :

1. Ana Siska Armianti (23003226)


2. Budiman (23003234)
3. Hasanah (23003245)
4. M. Warits Aknura (23003255)
5. Rts. Musdalifa (23003270)
6. Tria Rahmadika (23003280)

UNIVERSITAS NEGERI PADANG


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN LUAR BIASA
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb

Dengan mengucap Syukur Alhamdulillah. Bahwasanya kami telah dapat membuat


makalah Perspektif Pendidikan Dan Pembelajaran Tunanetra walaupun tidak sedikit
hambatan dan kesulitan yang kami hadapi, tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan
Allah SWT.

Walaupun demikian, sudah tentu makalah ini masih terdapat kekurangan dan belum
dikatakan sempurna karena keterbatasan kemampuan kami. Oleh karena itu saran dan kritik
yang bersifat membangun dari semua pihak saya harapkan agar dalam pembuatan makalah di
waktu yang akan datang bisa lebih baik lagi.Harapan kami semoga makalah ini berguna bagi
siapa saja yang membacanya.

Wabilahi Taufik walhidayah Wasalamualaikum wr.wb.

Jambi 10 Oktober 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar isi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Tujuan

C. Rumusan masalah

BAB II PEMBAHASAN

A. Bentuk dan Sistem Pendidikan bagi anak/siswa/peserta didik tunanetra

B. Prinsif – prinsif pembelajaran anak/siswa/peserta didik tunanetra

BAB IV KESIMPULAN DAN SARA

A. Kesimpulan

B. Saran

BAB V PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Pendidikan sangatlah penting dalam mempengaruhi perkembangan manusia untuk


seluruh aspek kepribadian dan kehidupannya. Selain itu pendidikan memiliki pengaruh yang
dinamis dalam menyiapkan kehidupan manusia dimasa depan Pendidikan juga dapat
mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki secara optimal, yaitu pengembangan potensi
individu dalam aspek fisik, intelektual, emosional, sosial dan spiritual, sesuai dengan tahap
perkembangan serta karakteristik lingkungan fisik dan lingkungan sosial budaya dimana dia
hidup.
Menurut kamus Internasional Pendidikan (International Dictionary Of Education)
dalam pendidikan memiliki tiga ciri utama: a. Proses pengembangan kemampuan sikap, dan
bentuk – bentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat di mana dia hidup. b. Proses sosial
di mana seseorang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol
(Khususnya yang datang dari Sekolah) untuk mencapai kompetensi sosial dan pertumbahan
individu secara optimal. c. Proses pengembangan pribadi atau watak manusia. Sedangkan
Driyarkara (1980) menyatakan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia
muda atau pengangkatan manusia muda ke taraf insani dan di wujudkan di dalam seluruh
proses atau upaya pendidikan. Berdasarkan pendapat tersebut anak yang memiliki kebutuhan
khusus pun memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan.
Oleh karena itu di dalam dunia pendidikan, konsep perbedaan atau kebhinekaan
adalah terkait dengan individual differences sedangkan konsep kesamaan adalah kesamaan
dalam misi yang diemban oleh manusia dalam kehidupannya. Perbedaan dapat bersifat
vertikal dan dapat pula bersifat horizontal. Perbedaan vertikal menunjuk pada itelegensi,
ketajaman sensoris, kekuatan fisik, kematangan emosi, dan ketajaman intuisi. Perbedaan
horizontal menunjuk pada ras, suku bangsa, agama, adat istiadat, dan bahasa yang semuanya
memiliki posisi yang setara sehingga tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi. Dengan
adanya perbedaan tersebut maka dimungkinkan manusia dapat saling berhubungan dalam
rangka saling membutuhkan. Kesamaan menunjuk pada ketunggalan tugas semua manusia
dalam hidupnya, yaitu semata-mata mengabdi kepada Tuhan Yang maha Esa. Untuk
mengimplementasi tersebut pemerintah membuat sekolah inklusi yang bertujuan semua anak
memiliki hak sama dalam memperoleh pendidikan. Adapun filosofi yang mendasari
pendidikan inklusi adalah keyakinan bahwa setiap anak, baik karena gangguan
perkembangan fisik (mental) maupun cerdas/bakat istimewa berhak untuk memperoleh
pendidikan seperti layaknya anak-anak “normal” lainnya dalam lingkungan yang sama
(Education for All). Sedangkan dalam ensiklopedi online Wikipedia disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan pendidikan inklusi yaitu pendidikan yang memasukkan peserta didik
berkebutuhan khusus untuk bersama-sama dengan peserta didik normal lainnya.
Pendidikan inklusif adalah mengenai hak yang sama yang dimiliki setiap anak. Pendidikan
inklusif merupakan suatu proses untuk menghilangkan penghalang yang memisahkan
peserta didik berkebutuhan khusus dari peserta didik normal agar mereka dapat belajar dan
bekerja sama secara efektif dalam satu sekolah. Sedangkan menurut Sapon-Shevin dalam
Oneil (1994) menyatakan pendidikan inklusi adalah sistem layanan pendidikan yang
mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah terdekat di kelas biasa
bersama teman-teman seusianya. Sedangkan menurut Stainback (1980) sekolah
penyelenggara pendidikan inklusi adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas
yang sama dan sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang,
tetapi disesuaikan dengan kemampuan serta kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan
dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Seperti hal nya
yang diatur dalam UUD 1945. Pasal 31 ayat 1 bahwa: “Tiap-tiap warga negara Indonesia
berhak mendapatkan pengajaran”. Maka jelas yang tertuang dalam Undang-undang 1945
tersebut bahwa tidak ada kata diskriminasi dalam proses pembelajaran, baik mereka
anak normal maupun anak berkebutuhan khusus. Selain itu undang – undang Nomor 20
Tahun 2003 pada Pasal 5 Ayat 1 menyebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak
yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Warga negara yang berkelainan
juga telah disebutkan dalam Pasal 5 ayat 2, yang menyebutkan bahwa warga negara yang
memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual atau sosial berhak memperoleh
pendidikan khusus. Maka dari hal tersebut penyelanggaaraan pendidikan inklusi dapat
dibagi menjadi dua yaitu: 1. Sekolah biasa/ sekolah umum yang mengakomodasikan
semua anak berkebutuhan khusus. 2. Sekolah Luar biasa/Sekolah khusus yang
mengakomodasikan anak normal.
Adapun alternatif layanan pendidikan inklusi dilakukan dengan cara antara lain: Kelas biasa
penuh, kelas biasa dengan tambahan bimbingan di dalam, kelas biasa dengan tambahan
bimbingan di luar kelas, kelas khusus dengan kesempatan bergabung di kelas biasa, kelas
khusu penuh, sekolah khusus dan sekolah khusus berasrama Dengan demikian berarti dapat
disimpulkan anak–anak yang dengan kebutuhan khusus seperti, tunanetra, tunarungu,
tunagrahita, tunadaksa, tunalaras dan anak-anak berkesulitan belajar juga memiliki
kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Pelayanan khusus ini juga
diperlukan bagi mereka yang menyandang tunanetra, tanpa adanya perbedaan satu sama lain.
Diperjelas dengan pendapat Crow and Crow (1960) pendidikan adalah bimbingan terhadap
individu dalam upaya memenuhi kebutuhan dan keinginan yang sesuai dengan potensi yang
dimilikinya sehingga memperoleh kepuasan dalam aspek kehidupan pribadi dan kehidupan
sosialnya. Dengan demikian penulis akan memaparkan di dalam makalah ini mengenai
pendidikan bagi tunanetra, dari makalah ini lebih memfokuskan pendidikan tunanetra dan
hal-hal yang berkaitan dengan tunanetra.

2. RUMUSAN MASALAH
1. Bentuk dan sistem Pendidikan tunanetra
2. Prinsif pembelajaran tunanetra
3. MANFAAT PENULISAN
1. Terpenuhinya mata kuliah Perspektif Pendidikan dan Pembelajaran Tunanetra.
2. Dapat bertambahnya pengetahuan tentang materi Bentuk dan sistem Pendidikan
tunanetra dan juga Prinsif pembelajaran tunanetra.
BAB II

PEMBAHASAN

A. BENTUK DAN SISTEM PENDIDIKAN BAGI ANAK/SISWA/PESERTA


DIDIK TUNANETRA

Tujuan Pendidikan pada umumnya ialah menyediakan lingkungan yang


memungkinkan anak didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya secara
optimal, sehingga ia dapat mewujudkan dirinya dan berfungsi sepenuhnya, sesuai dengan
kebutuhan pribadinya dan kebutuhan masyarakat. Setiap orang mempunyai bakat dan
kemampuan yang berbeda-beda pula dan karena itu membutuhkan pendidikan yang
berbeda-beda pula. Menurut Waini Rasyidi (1993) sekolah dasar merupakan hakekat
satuan unit lembaga sosial (Sosial Institusion) yang diberi amanah atau tugas khusus
(Specific Task) oleh masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan secara sistematik.

Tunanetra adalah anak yang mengalami permasalahan pada fungsi penglihatannya,


sehingga mereka mengalami permasalahan dalam berorientasi dengan lingkungan melalui
indera penglihatannya dan membutuhkan pelayanan pendidikan khusus. Berdasarkan
kacamata pendidikan penggolongan ketunanetraan berdasarkan ketidak mampuannya
dalam melihat.

menurut Baidowi ( 2012 )

• Layanan pendidikan bagi anak tunanetra dapat dilaksanakan melalui sistem segregasi,
yaitu secara terpisah dari anak awas ( anak yang bisa melihat)
• integrasi atau terpadu dengan anak awas di sekolah biasa. Tempat pendidikan dengan
sistem segregasi, meputi: sekolah khusus (SLB-A), SDLB, dan kelas jauh/kelas
kunjung. Bentuk-bentuk keterpaduan yang dapat diikuti oleh anak tunanetra yang
mengikuti
• sistem integrasi, meliputi: kelas biasa dengan guru konsultan, kelas biasa dengan guru
kunjung, kelas biasa dengan ruang-ruang sumber, dan kelas khusus.

a. Klasifikasi tunanetra

Tunanetra atau gangguan penglihatan diklasifikasikan dalam dua golongan yaitu buta
total (blind) dan low vision.

1) Tunanetra golongan buta total, dimana terbagi menjadi tiga kelompok, yakni:

(a) Kelompok yang sama sekali tidak memiliki persepsi visual;

(b) Kelompok yang hanya memiliki persepsi cahaya;

(c) Kelompok yang memiliki persepsi sumber cahaya;


2) Tunanetra golongan kurang melihat (low vision), dimana terbagi menjadi tiga

kelompok, yaitu:

(a) Kelompok yang memiliki persepsi benda-benda berukuran besar sehingga masih
membutuhkan sistem braille;

(b) Kelompok yang memiliki persepsi benda-benda berukuran sedang dimana ada
diantara mereka yang membutuhkan sistem braille dan ada juga yang dapat
menggunakan huruf dan tanda visual yang diperbesar;

(c) Kelompok yang memiliki persepsi benda-benda berukuran kecil dimana pada
umumnya mampu menggunakan huruf dan tanda visual sebagai media baca dan
pengajaran.

Siswa tunanetra dapat juga dikelompokkan menjadi 7, yakni:

(1) Mereka yang mampu membaca cetakan standar;

(2) Mereka yang mampu membaca cetakan standar dengan alat pembesar;

(3) Mereka yang hanya mampu membaca cetakan besar;

(4) Mereka yang mampu membaca kombinasi antara cetakan besar/regular print;

(5) Mereka yang mampu membaca cetakan besar dengan menggunakan alat

pembesar;

(6) Mereka yang hanya mampu dengan Braille tapi masih bisa melihat cahaya;

(7) Mereka yang hanya menggunakan Braille tetapi sudah tidak mampu melihat

cahaya (Hosni, t.t.).

Proses belajar mengajar pada anak tunanetra menekankan pada alat indera yang lain yaitu
indera peraba dan indera pendengaran. Prinsip yang perlu diperhatikan saat memberikan
pengajaran pada seseorang yang mengalami tunanetra adalah media yang digunakan harus
bersifat taktual atau dengan sentuhan dan bersuara.

Contoh media taktual antara lain penggunaan tulisan Braille, gambar timbul, model, dan
benda asli. Media yang bersuara adalah rekaman dan peranti lunak JAWS. Ketunanetraan
pada individu mengakibatkan keterbatasan dalam bergerak dan berpindah tempat untuk itu
mereka belajar mengenai Orientasi dan Mobilitas untuk mengetahui posisi diri dan arah yang
akan dituju (Saputra dkk., 2018).
Karakteristik tunanetra

Karakteristik anak tunanetra dari segi motorik, sistem neuromuskular anak tunanetra tidak
bermasalah, akan tetapi akibat fungsi psikis kurang mendukung sehingga muncul hambatan
dalam perkembangan motoriknya. Pada saat berjalan anak tunanetra sering nampak kaku,
tegang, lamban, disertai dengan perasaan was-was dan kehati-hatian. Begitu pun pada saat
melakukan gerakan tubuh biasanya kurang harmonis. Dari segi intelegensi tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara IQ anak tunanetra dan anak awas. Berdasarkan tes yang
dilakukan oleh Hayes-Binet pada 2.312 anak tunanetra didapatkan rata-rata IQ anak tunanetra
sebesar 98,6 (Subagya, 2020).

Strategi Pembelajaran pada Siswa Tunanetra

Untuk Mencapai tujuan pendidikan bagi siswa tunanetra dibutuhkan prinsip-prinsip


pembelajaran bagi tunanetra. menurut : (Irdamurni, 2018) yaitu:

a. Prinsip totalitas (berarti proses pembelajaran harus keseluruhan atau keseutuhan)


b. Prinsip keperagaan( berarti proses pembelajaran harus memiliki Alat peraga )
c. Prinsip berkesinambungan( berarti proses pembelajaran harus saling berhubungan)
d. Prinsip Aktivitas ( berarti dalam proses pembelajaran anak harus di libatkan dan Aktif
dalam proses pembelajaran)
e. Prinsip individual (berarti dalam proses pembelajaran anak Tuna Netra Lebih
dianjurkan menggunakan program pembelajaran individual (PPI)

Prinsip pembelajaran untuk anak tunanetra sama dengan pembelajaran yang lain. Menurut
Sutjihati Soemantri (2007) dalam Subagya (2018) prinsip pembelajaran untuk anak tunanetra
meliputi empat prinsip, yaitu:

(1) Prinsip kekonkritan, dimana seorang pendidik semaksimal mungkin memberikan


pengajaran menggunakan objek riil untuk memudahkan anak memahami bentuk,
ukuran, berat, kekerasan, sifat-sifat permukaan dan sebagainya. Kelemahan dalam
prinsip ini adalah tidak semua konsep dapat dikonkritkan misalnya warna, benda-benda
berbahaya dan sebagainya;

(2) Prinsip pengalaman yang menyatu dimana anak memahami suatu hal mulai dari khusus
ke umum, dari apa yang mereka dengar, raba dan bagian-bagian baru menjadi kesatuan
konsep yang utuh. Sehingga pendidik perlu mengajar anak untuk “mengalami” suasana
tersebut secara nyata dan menerangkan hubungan-hubungan tersebut;

(3) Prinsip belajar sambil melakukan, prinsip ini menuntut pendidik agar dalam proses
pembelajaran tidak hanya bersifat informatif tetapi semaksimal mungkin anak diajak ke
dalam situasi nyata sesuai dengan tujuan pembelajaran;

(4) Prinsip konversi, hilangnya kemampuan visual pada anak tunanetra menuntut pendidik
harus mengonversi fakta dan fenomena yang ada dalam bentuk narasi, taktual, kinestesi,
dan bau agar dapat dipahami sebagai suatu persepsi yang utuh. Misal gambaran orang
marah dapat dilakukan dengan mengubah intonasi suara menjadi agak keras. Banyak
fenomena yang tidak dapat dikonversi menjadi nonvisual seperti konsep warna,
paronama alam, atau objek lainnya yang hanya dapat ditangkap melalui penglihatan.

B. PRINSIP PEMBELAJARAN BAGI ANAK DENGAN HAMBATAN PENGLIHATAN

Setiap manusia pasti mengalami suatu masa yang dinamakan tumbuh dan berkembang.
Secara definisi tumbuh dikaitkan dengan bertambahnya kuantitas (jumlah) dan kualitas
(mutu) fisik/jasmani dengan bertambahnya umur. Seperti tulang-tulang rangka penyusun
tubuh semakin besar, panjang dan kokoh. Serabut-serabut otot semakin banyak dan kuat.
Badan semakin gesit dan lentur. Sementara itu perkembangan lebih dikaitkan dengan
matangnya fungsi-fungsi fisiologis tubuh yang menuju pada matangnya aspek psikologis
individu. Pada dasarnya tunbuh dan berkembang tidak pernah bisa dipisahkan.Dalam proses
belajar, pertumbuhan dan perkembangan selalu dikaitkan satu sama lain. Winkel (1996)
menjelaskan kaitan antara belajar, pertumbuhan dan perkembangan:

1) Belajar melandasi sebagian besar dari perkembangan. Yang sebagian besarnya meliputi
perkembangan psikis/mental dalam berbagai aspeknya; dan sebagian kecilnya secara tidak
langsung mempengaruhi aspek pertumbuhan. Demikian juga pertumbuhan meletakkan dasar
bagi perkembangan psikis/mental;

2) Adanya tahap perkembangan tertentu, berpengaruh terhadap apa yang dapat dipelajari dan
dengan cara bagaimana harus dipelajari.

Contohnya sebelum mencapai usia 6 tahun anak dapat belajar 2 bahasa ibu yang secara
spontan dipelajari dari lingkungannya. Namun semakin bertambah usia hingga pada usia 12
tahun anak harus belajar secara formal bahasa asing yang ingin dikuasainya.

Prinsip-prinsip pembelajaran yang harus diikuti guru saat menyajikan pembelajaran bagi
peserta didik dengan hambatan penglihatan, di antaranya:

1) Kongkrit, artinya bahwa pembelajan harus menyertakan alat atau media kongkrit atau
benda asli atau benda tiruan atau benda timbul atau bentuk audio yang dapat
menambah kejelasan konsep yang sedang dipelajari peserta didik. Pembelajaran tidak
hanya disampaikan secara verbal tetapi juga diperkaya dengan media dan alat belajar
yang sesuai atau hampir menyamai kenyataan dari konsep tersebut.
2) Melakukan, artinya saat mempelajari suatu konsep maka peserta didik dilibatkan
dalam suatu praktek-praktek kongkrit dalam hal atau dimana atau bagaimana konsep
tersebut diaplikasikan atau dilakukan dalam kehidupan.
3) Memadukan, prinsip ketiga ini didasarkan pada kenyataan bahwa individu dengan
hambatan penglihatan memiliki kesulitan dalam memadukan berbagai fakta menjadi
satu kesatuan. Kesulitan ini bukan ditimbulkan secara langsung oleh hambatan
penglihatannya sehingga pada dasarnya kesulitan tersebut dapat dikompensasi dengan
prinsip ketiga ini, yaitu bahwa setiap konsep yang sedang dipelajari oleh peserta didik
dengan hambatan penglihatan harus disajikan secara utuh (integral/keseluruhan) dan
sistematis serta memadukan semua media, alat dan perangkat yang dapat digunakan
sehingga peserta didik dengan hambatan penglihatan dapat memahaminya secara utuh
sesuai dengan data dan realitas
Modifikasi pembelajaran yang diperlukan mencakup modifikasi internal (modifikasi terhadap
potensi fisik peserta didik dengan hambatan penglihatan itu sendiri, sepeti modifikasi yang
menyesuaikan diri dengan sisa penglihatan peserta didik, postur/posisi tubuh)dan modifikasi
eksternal (modifikasi terhadap hal di luar diri peserta didik dengan hambatan penglihatan
seperti alat/media belajar, buku teks pembelajaran, cara guru menyajikan pembelajaran,
sarana dan prasarana serta hal lainnya).

1) Modifikasi Internal

Di seluruh dunia sebagian besar penyandang hambatan penglihatan merupakan para


penyandang penglihatan yang masih memiliki sisa penglihatan. Sehingga bagi peserta
didik hambatan penglihatan yang masih memiliki sisa penglihatan, sekolah dan sistem
pendidikan harus mampu menyediakan suatu sistem yang dapat mengoptimalkan
fungsi sisa penglihatan mereka. Menurut Hosni (2012) terdapat empat hal yang harus
diperhatikan dan menjadi kunci dalam penyiapan pengaturan lingkungan belajar yang
kondusif bagi peserta didik dengan hambatan penglihatan yang masih memiliki sisa
penglihatan, yaitu cahaya (pencahayaan), kontras (kekontrasan), jarak (pandang), dan
ukuran (objek). Keempat kata kunci tersebut yang menentukan kenyamanan dan
keamanan anak dalam mengakses pembelajaran.

2) Modifikasi Eksternal

Hal-hal di luar peserta didik yang perlu dimodifikasi guna optimalisasi pembelajaran
peserta didik adalah alat/media belajar, buku teks, cara guru menyajikan
pembelajaran, sarana dan pra sarana serta hal lainnya. Telah disebutkan dalam sub
bab prinsip-prinsip pembelajaran bahwa peserta didik harus dirabakan dengan
alat/media belajar yang kongkrit saat mempelajari suatu konsep. Guru perlu
memperkaya alat/media pembelajaran dengan segala sesuatu yang mungkin disajikan
yang dapat diakomodasi oleh sisa penglihatan mereka, perabaan mereka, pendengaran
mereka, penciuman mereka dan bahkan oleh indera perasa mereka, berupa benda
aslinya, benda imitasi yang hampir mendekati (model), benda miniatur, benda
timbul,benda audio dan lain-lain. Saat ini telah umum digunakan buku teks
bertuliskan braille, diperuntukkan bagi peserta didik dengan hambatan penglihatan
berat. Namun buku-buku ini hanya dipenuhi oleh tulisan braille saja tanpa disertai
dengan gambar timbul atau hal lainnya yang dapat memperkaya informasi buku teks
tersebut. Padahal seyogyanya aturan pembuatan buku teks pun juga perlu mengikuti
prinsip- prinsip pembelajaran bagi peserta didik dengan hambatan penglihatan.
Sehingga buku teks pembelajaran/cerita yang diakses peserta didik dengan hambatan
penglihatan pun dapat memberikan informasi data yang lebih utuh dan lebih
menyeluruh. Selain itu perlu juga disediakan buku teks bagi peserta didik dengan
hambatan penglihatan yang masih memiliki sisa penglihatan. Buku teks dengan font
yang besar disertai dengan gambar yang berwarna kontras perlu dicetak dan
disebarkan ke sekolah-sekolah dimana peserta didik dengan hambatan penglihatan
menempuh pendidikan formal.

Bentuk layanan pendidikan inklusi adalah pendidikan yang menghargai


semua peserta didik termasuk anak berkebutuhan khusus. Semua peserta didik berada
dalam lingkungan yang sama dan belajar dalam kelas yang sama sepanjang waktu.
Bentuk layanan ini prinsipnya adalah mereka hadir bersama-sama, saling menghargai
dan menerima perbedaan, semua bisa berpartisipasi dalam kegiatan belajar sesuai
dengan kemampuannya masing-masing dan diyakini semua anak dalam kelas bisa
mencapai prestasi sesuai kondisinya masing-masing.

Bentuk layanan yang inklusi di sekolah umum menggunakan kurikulum yang ada di
sekolah tersebut, tetapi guru memungkinkan melakukan perubahan terkait dengan
kondisi kelas yang beragam. Guru sangat memungkinkan memodifikasi dan
mengadaptasi kurikulum ketika terdapat anak yang kesulitan berpartisipasi dalam
kegiatan belajar. Seringkali disebut dengan kurikulum akomodatif atau juga
kurikulum yang fleksibel.

Berikut Layanan Bagi Peserta didik Inklusi :


1. Ruangan Kelas didesain cukup cahaya (terang).
2. Lingkungan sekolah terutama area berjalan dilengkapi dengan besi pegangan yang
dipasang disepanjang dinding untuk membantu memandu peserta didik dalam
berjalan.
3. Menempatkan Peserta didik duduk di bagian paling depan.
4. Mendesain alat peraga dengan warna-warna yang kontras.
5. Tulisan di papan tulis hendaknya di tulis cukup besar dan menggunakan tulisan
yang mudah untuk dibaca peserta didik.
6. Menyesuaikan beberapa aspek pembelajaran dan penilaian dengan kebutuhan
peserta didik.
7. Menyediakan Guru Pendamping Khusus (GPK) bagi yang membutuhkan
pendamping intensif.
Pendidikan inklusi bertujuan agar anak-anak yang berkebutuhan khusus dapat
bersekolah di sekolah reguler, hidup seperti anak-anak normal lainnya, serta
memberikan pendidikan tanpa ada halangan. Pendidikan Inklusi juga menerapkan
nilai sosial yang tinggi agar anak-anak yang berkebutuhan khusus tidak lagi
dikucilkan atau dihindari dan menghilangkan stigma bahwa anak-anak berkebutuhan
khusus adalah anak-anak cacat. Anak-anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di
sekolah inklusi akan lebih mudah bersosialisasi dengan anak umum lainnya.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Hambatan penglihatan merupakan suatu hambatan yang diderita seseorang akibat masalah
yang terjadi pada penglihatannya. Hambatan penglihatan dapat diakibatkan oleh karena
faktor keturunan atau karena suatu penyakit- termasuk juga karena kekurangan vitamin A-
atau akibat suatu kecelakaan yang dialami seorang individu. Rentang hambatan penglihatan
yang dialami seseorang terentang mulai dari yang ringan (masih memiliki sisa penglihtan)
hingga yang berat (buta total atau sama sekali tidak memperoleh persepsi cahaya). Dalam
aspek pendidikan,

2. mengoptimalkan sisa penglihatan adalah satu-satunya opsi yang bisa dilakukan untuk
mengembangkan potensi peserta didik.

3. Pada umumnya kita mengetahui rentang hambatan penglihatan menurut pengukuran


medis. Namun dalam keperluan pendidikan definisi medis kurang membantu dalam
pembuatan program pendidikan peserta didik dengan hambatan penglihatan. Dengan
demikian maka definisi hambatan penglihatan yang berbasis pendidikan lebih diperlukan.
Definisi ini disusun berdasarkan hasil asesmen peserta didik menurut kemampuannya dalam
menangkap benda (sisa penglihatan yang dimilikinya.

4. Prinsip-prinsip pembelajaran yang harus diikuti pendidik dalam menyampaikan suatu


materi kepada peserta didik dengan hambatan penglihatan adalah: pertama, kekongkritan baik
secara teori maupun praktek. Kekongkritan teori dan praktek ini diarahkan pada hal yang
bersifat fungsional. Kedua, melakukan atau praktek langsung. Ketiga, memadukan atau
menggabungkan semua fakta atau semua media/alat pembelajran yang bisa diakses guna
memahamkan suatu konsep.

5. Penentuan modifikasi pembelajaran bagi peserta didik dengan hambatan penglihatan


dikembangkan menurut definisi edukasi. Modifikasi ini meliputi modifikasi internal peserta
didik itu sendiri (potensi fisik dan potensi mental). Modifikasi fisik meliputi penyiapan
pembelajaran berdasarkan sisa penglihatannya sedangkan motivasi mental mencakup hal-hal
mendasar yang perlu diinternalisasi oleh peserta didik dengan hambatan penglihatan dalam
menapaki kehidupannya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdullah, Nandiyah., Bagaimana Mengajar Anak Tunanetra (di Sekolah


Inklusi).Magistra, No. 82. http://journal.unwidha.ac.id/index.php/magistra/
article/viewFile/287/236 (2012). Diunduh Juni 2014

2. Ajami, B.A., Shabzendedar, Mahboobeh., Rezay, Yar Ali., Asgary, Mohammad.,


Dental Treatment Needs of Children with Disabilities. JODDD, 1(2) (2007)

3. Grover, Deepak., Malhotra, Ranjan., Kaushal, Sumati J., Kaur, Gurpreet., Toothbrush
„A key to mechanical plaque control‟. Indian Journal of Oral Sciences, Vol. 3 Issue 2:
62-68, http://www.indjos.com (2012). Diunduh November 2014

4. Patil, Smita P., Patil, Prashant B., Kashetty, M.V., Effectiveness of different tooth
brushing techniques on the removal of dental plaque in 6–8 year old children of
Gulbarga. Journal of International Society of Preventive and Community Dentistry,
4(2): 113-116 (2014)

5. Somantri, Sutjihati T., Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT Refika Aditama, hal.
65-91 (2012)

Anda mungkin juga menyukai