(AKDK 6501)
“LANDASAN PENDIDIKAN INKLUSIF”
DOSEN PEMBIMBING :
Utomo, S.Pd, M.Pd
Rohmah Ageng Mursita, M.Pd
OLEH :
Kelompok 1
Aulia Nurzaida (1610120120001)
Nur Hikmah (1610120220013)
Atika Suri (1610120220002)
Dengan menyebut nama Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang
saya mengucapkan puji syukur kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat
kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mengenai tugas
Pendidikan Inklusi mengenai Landasan Pendidikan Inklusif ini dengan tepat
waktu.
Makalah ini telah kami susun dengan semaksimal mungkin dan juga kami
telah mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah mengenai tugas ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dan mau
berkontribusi dalam hal pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangannya baik dari segi isi makalah ini ataupun dari segi susunan kalimat
dan tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima saran
dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi orang banyak
dan bisa menjadi inspirasi bagi yang membacanya.
Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
Diharapkan makalah ini bermanfaat bagi pembaca baik mahasiswa atau dosen
ataupun masyarakat luas untuk menambah wawasan mengenai Landasan Pendidikan
Inklusif beserta mengenai Pendidikan Inklusif dari tujuan dan prinsipnya.
1
BAB II
2
Secara terperinci, landasan-landasan tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a) Landasan Filosofis
Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung
Garuda yang berarti Bhinneka Tunggal Ika. Keragaman dalam etnik, dialek, adat
istiadat, keyakinan, tradisi dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap
menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
2. Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain ditegaskan bahwa:
manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi (inklusif) dan bahwa
kemuliaan manusia di sisi Allah adalah ketaqwaannya. Hal tersebut dinyatakan
dalam Al Qur’an (Q.S. Al-Hujurat: 13) sebagai berikut: “Hai manusia,
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa –bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (Saputra, 2016).
Surat Al-Baqarah ayat 233 dan An-Nisa ayat 36 menyatakan prinsip bahwa
anak sejak dalam kandungan ibunya berhak mendapat perlindungan,
pengasuhan, pendidikan, pemeliharaan, pertumbuhan, dan kesehatan jasmani
maupun rohani.
Surat At-Taubah ayat 122 menegaskan hak anak untuk mendapat pendidikan
agama dan dunia agar berbakti kepada Allah dan dapat berpartisipasi dalam
kegiatan ilmu pengetahuan (Suriansyah, 2012).
3. Pandangan universal hak asasi manusia menyatakan bahwa setiap manusia
mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, dan hak pekerjaan
(Saputra, 2016).
b) Landasan Yuridis
Secara yuridis, pendidikan inklusif dilaksanakan berdasarkan atas:
1) Undang-undang Dasar 1945, pasal 31
Ayat 1 : Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
Ayat 2 : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
Pemerintah wajib membiayai.
2) TAP MPR RI Nomor IV Tahun 1999 tentang GBHN,
“Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan
kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani
keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku
nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta
diversifikasi jenis pendidikan secara profesional”. (Bab IV Arah
Kebijakan, E. Pendidikan,angka 3) (Yulianto, 2018).
3) UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
3
4) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasional Pendidikan.
5) Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No.380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20
Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif: Menyelenggarakan dan
mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4
(empat) sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK.
6) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70
tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang
Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat
Istimewa. Akan tetapi ada yang berbeda yaitu khusus untuk DKI
Jakarta, landasan yuridis yang berlaku yaitu: Peraturan Gubernur
Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
(Saputra, 2016).
7) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
8) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 8: “Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan
jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan
sosial”
9) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 5. Ayat 1 : Setiap warga negara mempunyai hak yang
sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Ayat 2 : Warga negara yang memiliki kelainan fisik dan emosional,
mental, intelektual, dan sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Pasal 15 :“Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan,
akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus”.
Penjelasan Pasal 15 :“..., Pendidikan khusus merupakan
penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau
peserta didik yang mempunyai kecerdasan luar biasa yang
diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus
pada tingkat pendidikan dasar dan menengah”.
Pasal 32 Ayat 1 : Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi
peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Pasal 2 : Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi
peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat
yang terpencil dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial dan
tidak mampu dari segi ekonomi.
10) Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar
Biasa.
11) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah Pusat dan Propinsi sebagai Daerah Otonom.Kewenangan
Propinsi antara lain :“Penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai
pelatihan dan/atau penataran guru” (Pasal 3, angka 10 huruf e).
12) Deklarasi Bandung (Tanggal 11 Agustus 2004) tentang Pendidikan
Inklusif
4
13) Keputusan Mendikbud No. 02/0/1986 tentang Pendidikan Terpadu
Bagi Anak Cacat
14) Keputusan Mendikbud No.491/U/1992 tentang Pendidikan Luar Biasa
Bila diperhatikan dengan seksama, kalimat yang tercantum dalam
Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri, maka
tidak ada alasan bagi anak Indonesia untuk tidak bersekolah.
Bagaimanapun kondisi anak tersebut. Konsekuensi dari pernyataan
tersebut di atas bahwa setiap anak sebaiknya dilayani sesuai dengan
keadaan masing-masing (Yulianto, 2018).
15) PP No. 17 tahun 2010 pasal 127 sampai dengan 142, tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
16) PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENDIDIKAN:Bagian
Kedelapan Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus
Pasal 21(1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta
didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
(2)Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta
didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang
terpencil, dan/atau mengalami subencana alam, bencana sosial, dan
tidak mampu dari segi ekonomi.
(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pendidikan khusus
dan pendidikan layanan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan peraturan gubenur
(PERDA PROVINSI KALSEL, 2010).
c) Landasan Psikologis
Melalui perlakuan dan kesempatan yang sama, maka diantaranya :
1. Menghindarkan anak berkebutuhan khusus yang tergolong cacat menjadi rendah
diri dan yang tergolong unggul menjadi tinggi hati
2. Akan mengurangi rasa takut dan dapat membangun persahabatan, menghargai
orang lain, dan saling pengertian.
3. Sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan
4. Memberikan kemudahan untuk melakukan penyesuaian sosial
5. Siswa dapat saling belajar tentang pengetahuan dan keterampilan
(Suriansyah, 2012).
d) Landasan Pedagogis
Pasal 3 Undang-undang No 20 tahun 2003 menyebutkan bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
dan bertanggung jawab. Jadi, melalui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk
5
menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang
mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat (Irvan, 2017).
e) Landasan Religi
Sebagai bangsa yang beragama, penyelenggaraan pendidikan tidak dapat dilepaskan
kaitannya dengan agama. Di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa hakikat manusia adalah
makhluk yang satu sama lain berbeda (individual differences). Tuhan menciptakan
manusia berbeda satu sama lain dengan maksud agar dapat saling berhubungan dalam
rangka saling membutuhkan (QS. Al-Hujurat 49:13). Adanya siswa yang membutuhkan
layanan pendidikan khusus pada hakikatnya adalah manifestasi dari hakikat manusia
sebagai individual differences tersebut. Interaksi manusia harus dikaitkan dengan upaya
pembuatan kebajikan. Ada dua jenis interaksi antar manusia, yaitu kooperatif dan
kompetitif (QS. Al-Maidah, 5:2&48). Begitu pula dengan pendidikan, yang juga harus
menggunakan keduanya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran.
Bertolak dari ayat-ayat Al-Qur’an yang telah diuraikan, menunjukkan bahwa ada
kesamaan antara pandangan filosofis dengan religi tentang hakikat manusia. Keduanya
merupakan upaya menemukan kebenaran hakiki; filsafat menggunakan nalar belaka
sedangkan agama menggunakan wahyu. Keduanya akan bertemu karena sumber
kebenaran hakiki hanya satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Landasan filosofis dan religi
akan bertemu untuk selanjutnya dapat menjadi landasan dalam pemanfaatan hasil-hasil
penelitian sebagai produk kegiatan keilmuan, termasuk di dalamnya untuk
penyelenggaran pendidikan (Wiyono, 2011).
f) Landasan Empiris
Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-
an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National Academy of
Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan
anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif.
Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan
terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman & Messick, 1982).
Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi
dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat
heterogen (Baker, Wang, dan Walberg, 1994/1995). Beberapa peneliti kemudian
melakukan metaanalisis (analisis lanjut) atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil
analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale(1980) terhadap 50 buah penelitian,
Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13
buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap
perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya (Alfian,
2013).
Landasan empiris yang dipakai dalam pelaksanaan pendidikan inklusif yaitu:
1) Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948 (Declaration of Human Rights).
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 menegaskan bahwa:
“Setiap orang mempunyai hak atas pendidikan.” Namun, anak dan orang dewasa
6
penyandang cacat sering kali direnggut dari haknya yang fundamental ini. Hal ini sering
didasarkan atas asumsi bahwa penyandang cacat tidak dipandang sebagai umat manusia yang
utuh, maka pengecualian pun diberlakukan dalam hal hak universalnya. Dengan melakukan
lobi-lobi, kelompok penyandang cacat memastikan bahwa instrumen-instrumen hak asasi
manusia PBB berikutnya menyebutkan secara spesifik orang penyandang cacat, dan
menekankan bahwa SEMUA penyandang cacat, tanpa memandang tingkat keparahannya,
memiliki hak atas pendidikan (Stubbs, 2002).
3) Deklarasi Dunia Jomtien tentang Pendidikan untuk Semua di Thailand tahun 1990
mencoba untuk menjawab beberapa tantangan ini. Deklarasi Jomtien tersebut
melangkah lebih jauh daripada Deklarasi Universal dalam Pasal III tentang
“Universalisasi Akses dan Mempromosikan Kesetaraan”. Dinyatakan bahwa terdapat
kesenjangan pendidikan dan bahwa berbagai kelompok tertentu rentan akan
diskriminasi dan eksklusi. Ini mencakup anak perempuan, orang miskin, anakjalanan
dan anak pekerja, penduduk pedesaan dan daerah terpencil, etnik minoritas dan
kelompok-kelompok lainnya, dan secara khusus disebutkan para penyandang cacat.
Walaupun istilah ‘inklusi’ tidak digunakan di Jomtien, terdapat beberapa pernyataan
yang mengindikasikan pentingnya menjamin bahwa orang-orang dari kelompok
marginal mendapatkan akses ke pendidikan dalam sistem pendidikan umum.
7
Ringkasan:
•Jomtien menyatakan kembali bahwa pendidikan merupakan hak mendasar bagi
SEMUA orang.
•Jomtien mengakui bahwa kelompok-kelompok tertentu terasingkan dan menyatakan
bahwa “sebuah komitmen aktif harus dibuat untuk menghilangkan kesenjangan
pendidikan .... kelompok-kelompok tidak boleh terancam diskriminasi dalam
mengakses kesempatan belajar...”. (Pasal III, ayat 4)
•Jomtien menyatakan bahwa “langkah-langkah yang diperlukan perlu diambil untuk
memberikan akses ke pendidikan yang sama kepada setiap kategori penyandang cacat
sebagai bagian yang integral dari sistem pendidikan”. (Pasal II ayat 5)
•Namun, dokumen Jomtien itu tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan ‘bagian
integral’ itu, dan tidak secara tegas menyatakan lebih mendukung pendidikan inklusif
daripada pendidikan segregasi.
•Jomtien juga menyatakan bahwa ‘pembelajaran dimulai saat lahir’, dan
mempromosikan pendidikan usia dini, serta pentingnya menggunakan berbagai
macam sistem pelaksanaan pendidikan dan pentingnya keterlibatan keluarga dan
masyarakat (Stubbs, 2002).
4) Resolusi PBB nomor 48/96 Tahun 1993 Tentang Persamaan Kesempatan Bagi Orang
Berkelainan (the standard rules on the equalization of opportunitites for person with
dissabilities) (Saputra, 2016).
5) Komitmen Dakar mengenai Pendidikan Untuk Semua tahun 2000 (The Dakar
Commitment on Education for All).
Forum Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal (2000), diselenggarakan untuk
mengevaluasi pelaksanaan Dasawarsa Pendidikan untuk Semua yang telah diawali di
Jomtien. Telah diketahui sebelumnya bahwa tujuan PUS dari Jomtien itu belum
tercapai. Lebih dari 117 juta anak masih belum bersekolah. Konferensi Dakar sangat
dikecam oleh komunitas non-pemerintah Internasional karena terlalu berkiblat pada
donor dan hanya sekedar menggeser batas waktu untuk pencapaian tujuan PUS dari
tahun 2000 menjadi 2015. Dengan kata lain, idealisme PUS belum diterjemahkan
menjadi realitas. Dalam kaitannya dengan kelompok-kelompok yang termarjinalisasi,
terdapat penekanan yang lebih besar pada penghapusan kesenjangan jender dan
mempromosikan akses anak perempuan ke sekolah. Tetapi sayangnya anak
penyandang cacat tidak secara spesifik disebutkan walaupun istilah ‘inklusif’
dipergunakan:
Dalam kerangka Dakar, pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya berjanji untuk:
“Menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, sehat, inklusif dan dilengkapi
dengan sumber-sumber yang memadai, yang kondusif untuk kegiatan belajar dengan
tingkat pencapaian yang didefinisikan secara jelas untuk semua” (pasal 8). Kerangka
Dakar juga menyatakan: “... untuk menarik perhatian dan mempertahankan anak-anak
dari kelompok-kelompok termarjinalisasi dan terasing, sistem pendidikan harus
meresponsecara fleksibel ... Sistem pendidikan harus inklusif, secara aktif mencari
anakyang belum bersekolah dan merespon secara fleksibel terhadap keadaan dan
8
kebutuhan semua siswa” (penjelasan pada paragraf 33). Tidak disebutkannya secara
spesifik tentang anak penyandang cacat itu menggugah berbagai lembaga yang
mempromosikan Pendidikan Inklusif, dan sebagai hasil dari beberapa pertemuan
berikutnya antara UNESCO dan Kelompok Kerja Internasional untuk Penyandang
Cacat dan Pembangunan (IWGDD). Kelebihan konferensi Dakar adalah bahwa
terdapat fokus yang lebih kuat untuk mengembangkan Rencana Aksi Nasional yang
kokoh dam strategi regional untuk implementasi dan monitoring, yang merupakan
kelemahan pada konferensi Jomtien, dan masalah kecacatan disebutkan secara
spesifik di dalam beberapa dokumennya (Miles and Singal, 2008).
9
pemerintah, seyogyanya berkolaborasi dan berkoordinasi dalam setiap upaya
mencapai keberlangsungan pengembangan masyarakat inklusif dan lingkungan
yang ramah terhadap pembelajaran bagi semua anak.
viii)Pemerintah seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial maupun
ekonomi bila tidak mendidik semua anak, dan oleh karena itu dalam manajemen
sistem informasi sekolah harus mencangkup semua anak usia sekolah
ix)Program pendidikan pra-jabatan maupun pendidikan dalam jabatan guru
seyogyanya direvisi guna mendukung pengembangan praktek inklusi sejak pada
tingkat usia pra sekolah hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan pada
pemahaman secara holistik tentang perkembangan dan belajar anak termasuk pada
intervensi dini
x)Pemerintah (pusat, propinsi, dan local) dan sekolah seyogyanya membangun
dan memelihara dialog dengan masyarakat, termasuk orang tua, tentang nilai-nilai
sistem pendidikan yang non – diskriminatif dan inklusif (Saputra, 2016).
8) 1993: Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para Penyandang Cacat.
Terdiri dari peraturan-peraturan yang mengatur semua aspek hak penyandang
cacat. Peraturan 6 memfokuskan pada pendidikan, dan selaras dengan dokumen
Jomtien, pendidikan bagipara penyandang cacat harus merupakan bagian integral dari
pendidikan umum, dan bahwa Negara seyogyanya bertanggung jawab atas pendidikan
bagi penyandang cacat. Terlalu sering, pendidikan untuk penyandang cacat
diselenggarakan oleh lembaga suasta, sehingga ‘membebaskan’ pemerintah dari
tanggung jawabnya.
Peraturan 6 mempromosikan Pendidikan Inklusif (disebut pendidikan integrasi pada
masa itu).
Poin-poin kuncinya adalah: Peraturan Standar PBB menekankan bahwa Negara harus
bertanggung jawab atas pendidikan penyandang cacat dan harus:
a) mempunyai kebijakan yang jelas,
b)mempunyai kurikulum yang fleksibel,
c)memberikan materi yang berkualitas, menyelenggarakan pelatihan guru dan
memberikan bantuan yang berkelanjutan.
•Inklusi didukung dengan beberapa kondisi utama; harus didukung dengan sumber-sumber
yang tepat dan dengan kualitas tinggi – bukan ‘pilihan yang murah’.
•Program-program berbasis masyarakat dipandang sebagai dukungan yang penting terhadap
Pendidikan Inklusif.
•Pendidikan luar biasa tidak dikesampingkan di mana sistem pendidikan umum tidak
memadai terutama untuk siswa tunarungu dan buta tuli. (Peraturan 6, paragraf 8 dan 9)
10) 2000: Tujuan Pembangunan Millenium yang berfokus pada Penurunan Angka
Kemiskinan dan Pembangunan
10
Tidak disebutkannya secara spesifik tentang anak penyandang cacat itu menggugah
berbagai lembaga yang mempromosikan Pendidikan Inklusif, dan sebagai hasil dari beberapa
pertemuan berikutnya antara UNESCO dan Kelompok Kerja Internasional untuk Penyandang
Cacat dan Pembangunan (IWGDD), maka ProgramFlagship untuk Pendidikan dan
Penyandang Cacat pun diluncurkan pada akhir tahun 2001.
Tujuan flagship tersebut adalah untuk: “Menempatkan isu kecacatan dengan tepat pada
agenda pembangunan ... dan ... memajukan pendidikan inklusif sebagai pendekatan utama
untuk mencapai tujuan Pendidikan Untuk Semua.” (situs web UNESCO EFA Flagship
Initiative) (Stubbs, 2002).
11
Dia meratap fakta bahwa ia telah kehilangan makna radikal aslinya, yang menolak medis dan
penjelasan psikologis kesulitan pendidikan.
Ainscow et. al., (2006: 15) telah mengembangkan tipologi enam cara berpikir tentang inklusi.
Ini adalah:
• Inklusi sebagai masalah dengan siswa penyandang cacat dan lain-lain dikategorikan sebagai
“memiliki kebutuhan pendidikan khusus”.
• Inklusi sebagai tanggapan terhadap pengecualian disipliner.
• Inklusi dalam kaitannya dengan semua kelompok yang dianggap rentan pengecualian.
• Inklusi sebagai pengembangan sekolah untuk semua.
• Penyertaan sebagai 'Pendidikan untuk Semua'.
• Inklusi sebagai pendekatan berprinsip untuk pendidikan dan masyarakat.
Interpretasi berbeda dari pendidikan inklusif ini menunjukkan bahwa ada kebingungan
konseptual seputar masalah ini, tapi mungkin juga itu perlu mengambil bentuk yang berbeda,
tergantung pada masalah kontekstual. Pada dasarnya ini adalah proses pengecualian yang
menantang di sekolah dan masyarakat dan menjadi “waspada terhadap ancaman apa pun
terhadap pemerataan”(Dyson, 2004: 615).
Namun, dengan cara yang sama bahwa Jomtien menyediakan kerangka kerja yang luas
dengan sedikit panduan tentang implementasi tetapi gagal menjabarkan mekanisme
bagaimana mencapai pendidikan untuk semua anak, Salamanca telah menyebabkan sebuah
perbedaan pandangan dan kurangnya kejelasan dalam implementasi. Internasional konsensus
tentang masalah pendidikan inklusif, dan hubungannya dengan PUS, adalah mungkin kurang
penting daripada pengembangan yang koheren dan berkelanjutan kebijakan di tingkat negara.
Sejauh mana pendidikan yang lebih inklusif praktik-praktik yang dipromosikan di tingkat
negara akan bergantung pada pengembangan pemahaman yang jelas tentang konsep
'pendidikan inklusif untuk semua' dikonteks budaya di mana ia dikembangkan.
Definisi umum yang dikembangkan oleh lembaga internasional, seperti Salamanca
Statement, dapat membantu dalam mempromosikan diskusi awal, tetapi kemungkinan besar
menjadi kurang bermanfaat ketika praktisi berusaha memahami inklusif pendidikan. Dalam
analisisnya tentang kebijakan dan praktik internasional tentang pendidikan inklusif, Peters
(2003: 1) menyimpulkan bahwa itu adalah "masalah kompleks" dan bahwa "tidak ada
pendekatan yang koheren terbukti dalam literatur". Dia melanjutkan menyatakan bahwa tidak
hanya pendidikan inklusif yang diimplementasikan pada tingkat yang berbeda, tetapi juga
mencakup tujuan yang berbeda, didasarkan pada beragam motif, mencerminkan klasifikasi
yang berbeda dari kebutuhan pendidikan khusus dan menyediakan layanan di konteks yang
berbeda. Meskipun ini memungkinkan untuk pengembangan budaya dan pemahaman yang
sesuai konteks pendidikan inklusif muncul, ada “bahaya yang memikirkan tentang cara
penggunaan atau penerapannya mengalihkan perhatian orang-orang dari menjelajahi
kenyataan praktik ”(Booth and Ainscow, 1998: 3).
Kekhawatiran ini jelas dalam konteks, di mana inklusi dilihat sebagai secara eksklusif
berfokus pada kekhawatiran untuk anak-anak cacat atau digunakan sebagai alasan untuk
segregasi lanjutan mereka.Terlepas dari kebingungan konseptual ini, pembelajaran lintas
budaya antara selatan negara dapat membantu kontekstualisasi debat global. Miles and Ahuja
(2007) tawarkan saran berikut, “ada gunanya membuat perbedaan antara 'generalisasi' yang
12
mencoba menentukan pola yang diasumsikan relevan untuk negara manapun, dan
'transferability', di mana ada penekanan pada pentingnya memahami faktor-faktor kontekstual
dalam membentuk bagaimana ide-ide itu ditafsirkan ”(hal.132). Membangun dialog antara
pembuat kebijakan dan praktisi baik di dalam dan di antara negara-negara yang menghadapi
tantangan serupa bisa bermanfaat karena mereka bekerja menuju tujuan bersama untuk
memberikan makna, pendidikan berkualitas untuk semua anak. Sejauh mana lebih inklusif
praktik pendidikan dipromosikan di tingkat negara, bagaimanapun, akan bergantung pada
pengembangan pemahaman yang jelas tentang konsep ‘inklusif pendidikan 'dalam konteks
budaya di mana ia sedang dikembangkan (Miles and Singal, 2008).
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1) Pendidikan Inklusi adalah pendidikan yang mengikut sertakan anak-anak
berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak sebayanya
disekolah umum.
2) Pendidikan Inklusi memiliki tujuan memberikan intervensi(campur tangan) bagi
anak berkebutuhan khusus sedini mungkin
3) Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi menggunakan 6 landasan, yaitu:
a. Landasan Filosilofis
b. Landasan Yuridis
c. Landasan Empiris
d. Landasan Religi
e. Landasan Pedagogis
f. Landasan Psikologis
4) Pendidikan Inklusi memiliki 4 prinsip, yaitu:
a. Prinsip Kebutuhan Khusus
b. Prinsip Kebermaknaan
c. Prinsip Berkelanjutan
d. Prinsip Keterlibatan
3.2 Saran
Diharapkan Pendidikan Inklusif diterapkan di semua sekolah agar anak luar
biasa tidak kesulitan untuk mencari sekolah untuk ia dapat belajar
Diharapkan pemerintah lebih memperhatikan dan membuat program baru
yang berkaitan dengan Pendidikan Inklusif di sekolah agar anak-anak luar
biasa dapat tumbuh kembang seperti anak lainnya serta dapat beraktivitas
normal seperti yang lain.
14
DAFTAR PUSTAKA
Choiri, Abdul Salim, Yusuf, Munawir, Sunardi. 2009. Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus secara Inklusif. Surakarta: FKIP UNS.
Miles,Susie and Singal, Nidhi. 15 January 2008. The Education for All and Inclusive
Education debate:Conflict, contradiction or opportunity?. International Journal of
Inclusive Education.
Stubbs,Sue. July 2002. Inclusive Education Where There Are Few Resources. The Atlas
Alliance. Alih Bahasa Susi Septaviana R.
15