Anda di halaman 1dari 18

TUGAS PENDIDIKAN INKLUSI

(AKDK 6501)
“LANDASAN PENDIDIKAN INKLUSIF”

DOSEN PEMBIMBING :
Utomo, S.Pd, M.Pd
Rohmah Ageng Mursita, M.Pd

OLEH :
Kelompok 1
Aulia Nurzaida (1610120120001)
Nur Hikmah (1610120220013)
Atika Suri (1610120220002)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang
saya mengucapkan puji syukur kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat
kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mengenai tugas
Pendidikan Inklusi mengenai Landasan Pendidikan Inklusif ini dengan tepat
waktu.

Makalah ini telah kami susun dengan semaksimal mungkin dan juga kami
telah mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah mengenai tugas ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dan mau
berkontribusi dalam hal pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangannya baik dari segi isi makalah ini ataupun dari segi susunan kalimat
dan tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima saran
dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi orang banyak
dan bisa menjadi inspirasi bagi yang membacanya.

Banjarmasin, 11 September 2018

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .............................................................................................i

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1

1.1 Latar Belakang ...................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................. 1
1.3 Tujuan ................................................................................................................1
1.4 Manfaat ..............................................................................................................1

BAB II LANDASAN PENDIDIKAN INKLUSIF ...............................................2

2.1 Pengertian Pendidikan Inklusif ..........................................................................2

2.2 Tujuan Pendidikan Inklusif ................................................................................2

2.3 Landasan Pendidikan Inklusif ............................................................................2

2.4 Prinsip Pendidikan Inklusif ..............................................................................13

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 14

3.1 Kesimpulan ......................................................................................................14

3.2 Saran ................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap hari Indonesia selalu mengalami pertambahan penduduk dengan adanya
anak yang dilahirkan. Anak akan tumbuh menjadi semakin berkembang dengan
adanya bimbingan orang tua dan guru saat ia bersekolah. Namun ada juga anak yang
disebut anak luar biasa yang perlu perhatian lebih dari kedua orang tuanya terutama
untuk perkembangan mereka menjadi lebih baik. Anak luar biasa memiliki
kecerdasan yang lebih dari anak biasanya apabila orang tuanya dapat mengarahkan
anaknya ke dalam minat dan bakatnya yang ia punya tersebut. Selain itu anak luar
biasa juga harus diperhatikan dalam kehidupan sosialnya agar tidak menjadi anak
yang tertutup dalam berinteraksi dengan sesamanya. Oleh karena itu pemerintah
terutama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan perlu memerhatikan anak luar biasa
tersebut dengan menyelenggarakan Pendidikan Inklusif di sekolah-sekolah agar anak
luar biasa bisa berinteraksi dengan sesamanya serta mereka tidak dibeda-bedakan oleh
temannya sendiri sehingga kehidupan sosialnya tidak terganggu serta mereka dapat
melakukan aktivitas normal seperti yang lainnya. Dari hal tersebut maka akan terjadi
kesetaraan gender antara anak luar biasa dengan anak yang biasa saja.

1.2 Rumusan Masalah


1) Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Inklusif ?
2) Apa tujuan dari Pendidikan Inklusif ?
3) Apa saja landasan dari Pendidikan Inklusif ?
4) Apa saja prinsip dari Pendidikan Inklusif ?

1.3 Tujuan

1) Untuk mengetahui pengertian Pendidikan Inklusif


2) Untuk mengetahui tujuan dari Pendidikan Inklusif
3) Untuk mengetahui landasan dari Pendidikan Inklusif
4) Untuk mengetahui prinsip dari Pendidikan Inklusif

1.4 Manfaat
Diharapkan makalah ini bermanfaat bagi pembaca baik mahasiswa atau dosen
ataupun masyarakat luas untuk menambah wawasan mengenai Landasan Pendidikan
Inklusif beserta mengenai Pendidikan Inklusif dari tujuan dan prinsipnya.

1
BAB II

LANDASAN PENDIDIKAN INKLUSIF

2.1 Pengertian Pendidikan Inklusif

Inklusif menurut Erwin (1993) dalam Budi Hermawan (2003: 4) dimaknai


sebagai sebuah proses yang secara sistematik mengantarkan anak-anak berkebutuhan
khusus (anak luar biasa di dalamnya tanpa menghiraukan keadaan atau beratnya
kelainan mereka) dan beberapa kelompok anak tertentu pada usia yang sama ke dalam
lingkungan yang alami (natural enviroment) di mana anak-anak pada umumnya
bermain dan belajar. Dengan demikian, pendidikan inklusif merupakan sebuah upaya
untuk meningkatkan kualitas program pendidikan bagi semua peserta didik, dengan
bentuk layanan yang tepat (didasarkan pada kebutuhan, keunikan, dan karakteristik
individu) untuk menjamin keberhasilan mereka (Yulianto, 2018).
Pendidikan inklusif merupakan pendekatan yang memperhatikan cara
mentransformasikan sistem pendidikan, sehingga dapat merespon keanekaragaman
peserta didik yang memungkinkan guru dan peserta didik merasa nyaman dengan
keanekaragaman tersebut. Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam.
Salah satunya pengertian dari Nasichin (2001) yang menjelaskan Pendidikan inklusi
adalah pendidikan yang mengikutsertakan anak-anak yang berkebutuhan khusus
untuk belajar bersama – sama dengan anak-anak sebayanya di sekolah umum, dan
pada akhirnya mereka bagian dari masyarakat sekolah tersebut, sehingga tercipta
suasana belajar yang kondusif (Irvan, 2017).

2.2 Tujuan Pendidikan Inklusif

Tujuan pendidikan inklusif adalah memberikan intervensi bagi anak


berkebutuhan khusus sedini mungkin. Diantara tujuannya adalah sebagai berikut:
a) Untuk meminimalkan keterbatasan kondisi pertumbuhan dan perkembangan
anak dan untuk memaksimalkan kesempatan anak terlibat dalam aktivitas
yang normal.
b) Jika memungkinkan untuk mencegah terjadinya kondisi yang lebih parah
dalam ketidakteraturan perkembangan sehingga menjadi anak yang tidak
berkemampuan.
c) Untuk mencegah berkembangnya keterbatasan kemampuan lainnya sebagai
hasil yang diakibatkan oleh ketidakmampuan utamanya (Saputra, 2016).

2.3 Landasan Pendidikan Inklusif


Landasan yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia
yaitu landasan filosofis, landasan yuridis, landasan empiris, landasan religi,
landasan pedagogis dan landasan psikologis.

2
Secara terperinci, landasan-landasan tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a) Landasan Filosofis
Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung
Garuda yang berarti Bhinneka Tunggal Ika. Keragaman dalam etnik, dialek, adat
istiadat, keyakinan, tradisi dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap
menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
2. Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain ditegaskan bahwa:
 manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi (inklusif) dan bahwa
kemuliaan manusia di sisi Allah adalah ketaqwaannya. Hal tersebut dinyatakan
dalam Al Qur’an (Q.S. Al-Hujurat: 13) sebagai berikut: “Hai manusia,
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa –bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (Saputra, 2016).
 Surat Al-Baqarah ayat 233 dan An-Nisa ayat 36 menyatakan prinsip bahwa
anak sejak dalam kandungan ibunya berhak mendapat perlindungan,
pengasuhan, pendidikan, pemeliharaan, pertumbuhan, dan kesehatan jasmani
maupun rohani.
 Surat At-Taubah ayat 122 menegaskan hak anak untuk mendapat pendidikan
agama dan dunia agar berbakti kepada Allah dan dapat berpartisipasi dalam
kegiatan ilmu pengetahuan (Suriansyah, 2012).
3. Pandangan universal hak asasi manusia menyatakan bahwa setiap manusia
mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, dan hak pekerjaan
(Saputra, 2016).

b) Landasan Yuridis
Secara yuridis, pendidikan inklusif dilaksanakan berdasarkan atas:
1) Undang-undang Dasar 1945, pasal 31
Ayat 1 : Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
Ayat 2 : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
Pemerintah wajib membiayai.
2) TAP MPR RI Nomor IV Tahun 1999 tentang GBHN,
“Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan
kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani
keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku
nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta
diversifikasi jenis pendidikan secara profesional”. (Bab IV Arah
Kebijakan, E. Pendidikan,angka 3) (Yulianto, 2018).
3) UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

3
4) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasional Pendidikan.
5) Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No.380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20
Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif: Menyelenggarakan dan
mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4
(empat) sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK.
6) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70
tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang
Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat
Istimewa. Akan tetapi ada yang berbeda yaitu khusus untuk DKI
Jakarta, landasan yuridis yang berlaku yaitu: Peraturan Gubernur
Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
(Saputra, 2016).
7) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
8) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 8: “Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan
jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan
sosial”
9) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 5. Ayat 1 : Setiap warga negara mempunyai hak yang
sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Ayat 2 : Warga negara yang memiliki kelainan fisik dan emosional,
mental, intelektual, dan sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Pasal 15 :“Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan,
akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus”.
Penjelasan Pasal 15 :“..., Pendidikan khusus merupakan
penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau
peserta didik yang mempunyai kecerdasan luar biasa yang
diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus
pada tingkat pendidikan dasar dan menengah”.
Pasal 32 Ayat 1 : Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi
peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Pasal 2 : Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi
peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat
yang terpencil dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial dan
tidak mampu dari segi ekonomi.
10) Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar
Biasa.
11) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah Pusat dan Propinsi sebagai Daerah Otonom.Kewenangan
Propinsi antara lain :“Penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai
pelatihan dan/atau penataran guru” (Pasal 3, angka 10 huruf e).
12) Deklarasi Bandung (Tanggal 11 Agustus 2004) tentang Pendidikan
Inklusif

4
13) Keputusan Mendikbud No. 02/0/1986 tentang Pendidikan Terpadu
Bagi Anak Cacat
14) Keputusan Mendikbud No.491/U/1992 tentang Pendidikan Luar Biasa
Bila diperhatikan dengan seksama, kalimat yang tercantum dalam
Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri, maka
tidak ada alasan bagi anak Indonesia untuk tidak bersekolah.
Bagaimanapun kondisi anak tersebut. Konsekuensi dari pernyataan
tersebut di atas bahwa setiap anak sebaiknya dilayani sesuai dengan
keadaan masing-masing (Yulianto, 2018).
15) PP No. 17 tahun 2010 pasal 127 sampai dengan 142, tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
16) PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENDIDIKAN:Bagian
Kedelapan Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus
Pasal 21(1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta
didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
(2)Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta
didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang
terpencil, dan/atau mengalami subencana alam, bencana sosial, dan
tidak mampu dari segi ekonomi.
(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pendidikan khusus
dan pendidikan layanan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan peraturan gubenur
(PERDA PROVINSI KALSEL, 2010).

c) Landasan Psikologis
Melalui perlakuan dan kesempatan yang sama, maka diantaranya :
1. Menghindarkan anak berkebutuhan khusus yang tergolong cacat menjadi rendah
diri dan yang tergolong unggul menjadi tinggi hati
2. Akan mengurangi rasa takut dan dapat membangun persahabatan, menghargai
orang lain, dan saling pengertian.
3. Sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan
4. Memberikan kemudahan untuk melakukan penyesuaian sosial
5. Siswa dapat saling belajar tentang pengetahuan dan keterampilan
(Suriansyah, 2012).

d) Landasan Pedagogis
Pasal 3 Undang-undang No 20 tahun 2003 menyebutkan bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
dan bertanggung jawab. Jadi, melalui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk

5
menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang
mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat (Irvan, 2017).

e) Landasan Religi
Sebagai bangsa yang beragama, penyelenggaraan pendidikan tidak dapat dilepaskan
kaitannya dengan agama. Di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa hakikat manusia adalah
makhluk yang satu sama lain berbeda (individual differences). Tuhan menciptakan
manusia berbeda satu sama lain dengan maksud agar dapat saling berhubungan dalam
rangka saling membutuhkan (QS. Al-Hujurat 49:13). Adanya siswa yang membutuhkan
layanan pendidikan khusus pada hakikatnya adalah manifestasi dari hakikat manusia
sebagai individual differences tersebut. Interaksi manusia harus dikaitkan dengan upaya
pembuatan kebajikan. Ada dua jenis interaksi antar manusia, yaitu kooperatif dan
kompetitif (QS. Al-Maidah, 5:2&48). Begitu pula dengan pendidikan, yang juga harus
menggunakan keduanya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran.
Bertolak dari ayat-ayat Al-Qur’an yang telah diuraikan, menunjukkan bahwa ada
kesamaan antara pandangan filosofis dengan religi tentang hakikat manusia. Keduanya
merupakan upaya menemukan kebenaran hakiki; filsafat menggunakan nalar belaka
sedangkan agama menggunakan wahyu. Keduanya akan bertemu karena sumber
kebenaran hakiki hanya satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Landasan filosofis dan religi
akan bertemu untuk selanjutnya dapat menjadi landasan dalam pemanfaatan hasil-hasil
penelitian sebagai produk kegiatan keilmuan, termasuk di dalamnya untuk
penyelenggaran pendidikan (Wiyono, 2011).

f) Landasan Empiris
Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-
an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National Academy of
Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan
anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif.
Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan
terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman & Messick, 1982).
Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi
dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat
heterogen (Baker, Wang, dan Walberg, 1994/1995). Beberapa peneliti kemudian
melakukan metaanalisis (analisis lanjut) atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil
analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale(1980) terhadap 50 buah penelitian,
Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13
buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap
perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya (Alfian,
2013).
Landasan empiris yang dipakai dalam pelaksanaan pendidikan inklusif yaitu:
1) Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948 (Declaration of Human Rights).
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 menegaskan bahwa:
“Setiap orang mempunyai hak atas pendidikan.” Namun, anak dan orang dewasa

6
penyandang cacat sering kali direnggut dari haknya yang fundamental ini. Hal ini sering
didasarkan atas asumsi bahwa penyandang cacat tidak dipandang sebagai umat manusia yang
utuh, maka pengecualian pun diberlakukan dalam hal hak universalnya. Dengan melakukan
lobi-lobi, kelompok penyandang cacat memastikan bahwa instrumen-instrumen hak asasi
manusia PBB berikutnya menyebutkan secara spesifik orang penyandang cacat, dan
menekankan bahwa SEMUA penyandang cacat, tanpa memandang tingkat keparahannya,
memiliki hak atas pendidikan (Stubbs, 2002).

2) Konvensi Hak Anak 1989 (Convention of The Rights of Children)


suatu instrumen yang secara sah mengikat, yang telah ditandatangani oleh semua
negara kecuali dua negara (Amerika Serikat dan Somalia), lebih jauh menyatakan
bahwa pendidikan dasar seyogyanya “wajib dan bebas biaya bagi semua” (pasal 28).
Konvensi tentang Hak Anak PBB memiliki empat Prinsip Umum yang
menaungi semua pasal lainnya termasuk pasal tentang pendidikan:
i)Non diskriminasi (Pasal 2) menyebutkan secara spesifik tentang anak penyandang
cacat.
ii)Kepentingan Terbaik Anak (Pasal 3).
iii)Hak untuk Kelangsungan Hidup dan Perkembangan (Pasal 6).
iv)Menghargai Pendapat Anak (Pasal 12). Prinsip penting lainnya yang dinyatakan
oleh komite monitoring adalah bahwa “Kesemua hak itu tak dapat dipisahkan dan
saling berhubungan”. Secara singkat,ini berarti bahwa meskipun menyediakan
pendidikan di sekolah luar biasa untuk anak penyandang cacat itu memenuhi haknya
atas pendidikan, tetapi ini dapat melanggar haknya untuk diperlakukan secara
non-diskriminatif, dihargai pendapatnya dan hak untuk tetap berada di dalam
lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Walaupun Pasal 23 secara khusus
memfokuskan pada anak penyandang cacat, tetapi memiliki kelemahan karena
membuat hak anak penyandang cacat ‘tergantung pada sumber-sumber yang ada’
dan memfokuskan pada ‘kebutuhan khusus’ tanpa mendefinisikannya. Hal ini perlu
dipertimbangkan dalam konteks prinsip-prinsip dasar pendidikan, ditambah Pasal 28
dan 29 yang berlaku untuk SEMUA anak (Stubbs, 2002).

3) Deklarasi Dunia Jomtien tentang Pendidikan untuk Semua di Thailand tahun 1990
mencoba untuk menjawab beberapa tantangan ini. Deklarasi Jomtien tersebut
melangkah lebih jauh daripada Deklarasi Universal dalam Pasal III tentang
“Universalisasi Akses dan Mempromosikan Kesetaraan”. Dinyatakan bahwa terdapat
kesenjangan pendidikan dan bahwa berbagai kelompok tertentu rentan akan
diskriminasi dan eksklusi. Ini mencakup anak perempuan, orang miskin, anakjalanan
dan anak pekerja, penduduk pedesaan dan daerah terpencil, etnik minoritas dan
kelompok-kelompok lainnya, dan secara khusus disebutkan para penyandang cacat.
Walaupun istilah ‘inklusi’ tidak digunakan di Jomtien, terdapat beberapa pernyataan
yang mengindikasikan pentingnya menjamin bahwa orang-orang dari kelompok
marginal mendapatkan akses ke pendidikan dalam sistem pendidikan umum.

7
Ringkasan:
•Jomtien menyatakan kembali bahwa pendidikan merupakan hak mendasar bagi
SEMUA orang.
•Jomtien mengakui bahwa kelompok-kelompok tertentu terasingkan dan menyatakan
bahwa “sebuah komitmen aktif harus dibuat untuk menghilangkan kesenjangan
pendidikan .... kelompok-kelompok tidak boleh terancam diskriminasi dalam
mengakses kesempatan belajar...”. (Pasal III, ayat 4)
•Jomtien menyatakan bahwa “langkah-langkah yang diperlukan perlu diambil untuk
memberikan akses ke pendidikan yang sama kepada setiap kategori penyandang cacat
sebagai bagian yang integral dari sistem pendidikan”. (Pasal II ayat 5)
•Namun, dokumen Jomtien itu tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan ‘bagian
integral’ itu, dan tidak secara tegas menyatakan lebih mendukung pendidikan inklusif
daripada pendidikan segregasi.
•Jomtien juga menyatakan bahwa ‘pembelajaran dimulai saat lahir’, dan
mempromosikan pendidikan usia dini, serta pentingnya menggunakan berbagai
macam sistem pelaksanaan pendidikan dan pentingnya keterlibatan keluarga dan
masyarakat (Stubbs, 2002).

4) Resolusi PBB nomor 48/96 Tahun 1993 Tentang Persamaan Kesempatan Bagi Orang
Berkelainan (the standard rules on the equalization of opportunitites for person with
dissabilities) (Saputra, 2016).

5) Komitmen Dakar mengenai Pendidikan Untuk Semua tahun 2000 (The Dakar
Commitment on Education for All).
Forum Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal (2000), diselenggarakan untuk
mengevaluasi pelaksanaan Dasawarsa Pendidikan untuk Semua yang telah diawali di
Jomtien. Telah diketahui sebelumnya bahwa tujuan PUS dari Jomtien itu belum
tercapai. Lebih dari 117 juta anak masih belum bersekolah. Konferensi Dakar sangat
dikecam oleh komunitas non-pemerintah Internasional karena terlalu berkiblat pada
donor dan hanya sekedar menggeser batas waktu untuk pencapaian tujuan PUS dari
tahun 2000 menjadi 2015. Dengan kata lain, idealisme PUS belum diterjemahkan
menjadi realitas. Dalam kaitannya dengan kelompok-kelompok yang termarjinalisasi,
terdapat penekanan yang lebih besar pada penghapusan kesenjangan jender dan
mempromosikan akses anak perempuan ke sekolah. Tetapi sayangnya anak
penyandang cacat tidak secara spesifik disebutkan walaupun istilah ‘inklusif’
dipergunakan:
Dalam kerangka Dakar, pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya berjanji untuk:
“Menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, sehat, inklusif dan dilengkapi
dengan sumber-sumber yang memadai, yang kondusif untuk kegiatan belajar dengan
tingkat pencapaian yang didefinisikan secara jelas untuk semua” (pasal 8). Kerangka
Dakar juga menyatakan: “... untuk menarik perhatian dan mempertahankan anak-anak
dari kelompok-kelompok termarjinalisasi dan terasing, sistem pendidikan harus
meresponsecara fleksibel ... Sistem pendidikan harus inklusif, secara aktif mencari
anakyang belum bersekolah dan merespon secara fleksibel terhadap keadaan dan

8
kebutuhan semua siswa” (penjelasan pada paragraf 33). Tidak disebutkannya secara
spesifik tentang anak penyandang cacat itu menggugah berbagai lembaga yang
mempromosikan Pendidikan Inklusif, dan sebagai hasil dari beberapa pertemuan
berikutnya antara UNESCO dan Kelompok Kerja Internasional untuk Penyandang
Cacat dan Pembangunan (IWGDD). Kelebihan konferensi Dakar adalah bahwa
terdapat fokus yang lebih kuat untuk mengembangkan Rencana Aksi Nasional yang
kokoh dam strategi regional untuk implementasi dan monitoring, yang merupakan
kelemahan pada konferensi Jomtien, dan masalah kecacatan disebutkan secara
spesifik di dalam beberapa dokumennya (Miles and Singal, 2008).

6) Deklarasi Bandung 2004 dengan komitmen “Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif”.


7) Rekomendasi Bukit Tinggi (2005), bahwa pendidikan yang inklusif dan ramah
terhadap anak seyogyanya dipandang sebagai :
a) sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh yang
akan menjamin bahwa strategi nasional untuk semua adalah benar-benar untuk
semua
b) sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan
pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai
bagian dari program- program untuk perkembangan usia dini anak, pra sekolah
dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi
kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan
terhadap marginalisasi dan eksklusi
c) sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan
menghormati perbedaan individu semua warga negara. Disamping itu juga
menyepakati rekomendasi berikut ini untuk lebih meningkatkan kualitas sistem
pendidikan di Asia dan benua-benua lainnya :
i)inklusi seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip fundamental yang
mendasari semua kebijakan nasional
ii)konsep kualitas seyogyanya difokuskan pada perkembangan nasional,
emosional dan fisik, maupun pencapaian akademik lainnya
iii)sistem asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar sesuai dengan prinsip-
prinsip non diskriminasi dan inklusi serta konsep kualitas sebagaimana telah
disebutkan di atas
iv)orang dewasa seyogyanya menghargai dan menghormati semua anak, tanpa
memandang perbedaan karakteristik maupun keadaan individu, serta seharusnya
pula memperhatikan pandangan mereka
v)semua kementrian seyogyanya berkoordinasi untuk mengembangkan strategi
bersama menuju inklusi
vi) Demi menjamin pendidikan untuk semua melalui kerangka sekolah yang
ramah terhadap anak, maka masalah non diskriminasi dan inklusi harus diatasi
dari semua dimensi, dengan upaya bersama yang terkoordinasi antara lembaga-
lembaga pemerintah dan non pemerintah, donor, masyarakat, berbagai kelompok
local, orang tua, anak maupun sektor swasta
vii) semua pemerintah dan organisasi internasional serta organisasi non

9
pemerintah, seyogyanya berkolaborasi dan berkoordinasi dalam setiap upaya
mencapai keberlangsungan pengembangan masyarakat inklusif dan lingkungan
yang ramah terhadap pembelajaran bagi semua anak.
viii)Pemerintah seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial maupun
ekonomi bila tidak mendidik semua anak, dan oleh karena itu dalam manajemen
sistem informasi sekolah harus mencangkup semua anak usia sekolah
ix)Program pendidikan pra-jabatan maupun pendidikan dalam jabatan guru
seyogyanya direvisi guna mendukung pengembangan praktek inklusi sejak pada
tingkat usia pra sekolah hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan pada
pemahaman secara holistik tentang perkembangan dan belajar anak termasuk pada
intervensi dini
x)Pemerintah (pusat, propinsi, dan local) dan sekolah seyogyanya membangun
dan memelihara dialog dengan masyarakat, termasuk orang tua, tentang nilai-nilai
sistem pendidikan yang non – diskriminatif dan inklusif (Saputra, 2016).

8) 1993: Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para Penyandang Cacat.
Terdiri dari peraturan-peraturan yang mengatur semua aspek hak penyandang
cacat. Peraturan 6 memfokuskan pada pendidikan, dan selaras dengan dokumen
Jomtien, pendidikan bagipara penyandang cacat harus merupakan bagian integral dari
pendidikan umum, dan bahwa Negara seyogyanya bertanggung jawab atas pendidikan
bagi penyandang cacat. Terlalu sering, pendidikan untuk penyandang cacat
diselenggarakan oleh lembaga suasta, sehingga ‘membebaskan’ pemerintah dari
tanggung jawabnya.
Peraturan 6 mempromosikan Pendidikan Inklusif (disebut pendidikan integrasi pada
masa itu).
Poin-poin kuncinya adalah: Peraturan Standar PBB menekankan bahwa Negara harus
bertanggung jawab atas pendidikan penyandang cacat dan harus:
a) mempunyai kebijakan yang jelas,
b)mempunyai kurikulum yang fleksibel,
c)memberikan materi yang berkualitas, menyelenggarakan pelatihan guru dan
memberikan bantuan yang berkelanjutan.
•Inklusi didukung dengan beberapa kondisi utama; harus didukung dengan sumber-sumber
yang tepat dan dengan kualitas tinggi – bukan ‘pilihan yang murah’.
•Program-program berbasis masyarakat dipandang sebagai dukungan yang penting terhadap
Pendidikan Inklusif.
•Pendidikan luar biasa tidak dikesampingkan di mana sistem pendidikan umum tidak
memadai terutama untuk siswa tunarungu dan buta tuli. (Peraturan 6, paragraf 8 dan 9)

9) 1999: Tinjauan 5 tahun Salamanca

10) 2000: Tujuan Pembangunan Millenium yang berfokus pada Penurunan Angka
Kemiskinan dan Pembangunan

11) 2001: Flagship PUS tentang Pendidikan dan Kecacatan

10
Tidak disebutkannya secara spesifik tentang anak penyandang cacat itu menggugah
berbagai lembaga yang mempromosikan Pendidikan Inklusif, dan sebagai hasil dari beberapa
pertemuan berikutnya antara UNESCO dan Kelompok Kerja Internasional untuk Penyandang
Cacat dan Pembangunan (IWGDD), maka ProgramFlagship untuk Pendidikan dan
Penyandang Cacat pun diluncurkan pada akhir tahun 2001.
Tujuan flagship tersebut adalah untuk: “Menempatkan isu kecacatan dengan tepat pada
agenda pembangunan ... dan ... memajukan pendidikan inklusif sebagai pendekatan utama
untuk mencapai tujuan Pendidikan Untuk Semua.” (situs web UNESCO EFA Flagship
Initiative) (Stubbs, 2002).

12) Pernyataan Salamanca Tentang Pendidikan Inklusi 1994 (Salamanca Statement on


Inclusive Education)
Pengembangan pendidikan inklusif
Konferensi Salamanca tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus (UNESCO, 2004)
menganggap implikasi dari janji yang dibuat oleh komunitas dunia dalam 1990 untuk
memasukkan anak-anak cacat dan kelompok pelajar yang terpinggirkan lainnya di Indonesia
pendidikan. Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi ditandatangani oleh 92 negara peserta
dan beberapa berpendapat bahwa itu adalah yang paling banyak dokumen berpengaruh baru-
baru ini dalam pendidikan inklusif (Ainscow, 1999).
Pernyataan ini memiliki fokus yang kuat pada 'pengembangan sekolah inklusif' di Indonesia.
Sehubungan dengan tujuan internasional untuk mencapai pendidikan untuk semua. Gagasan
semua diperluas dan didiskusikan secara terperinci:
… Sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa menghiraukan fisik, intelektual, sosial,
linguistik atau lainnya kondisi. Ini harus termasuk cacat dan berbakat anak-anak, anak jalanan
dan bekerja, anak-anak dari jarak jauh atau populasi nomaden, anak-anak dari linguistik,
etnis, atau minoritas budaya dan anak-anak dari yang tidak beruntung lainnya atau daerah dan
kelompok yang terpinggirkan (UNESCO, 1994: 6). Namun kenyataan bahwa Konferensi
Salamanca perlu terjadi sama sekali bukti lebih lanjut dari sejarah pemikiran terpisah yang
dirujuk sebelumnya. Dulu diselenggarakan oleh departemen Pendidikan Kebutuhan Khusus
di UNESCO Markas besar Paris untuk memaksimalkan peluang yang dibuat oleh Jomtien
pada tahun 1990. Salamanca bisa dibilang dapat digunakan untuk melegitimasi keprihatinan
eksklusif beberapa praktisi dan lembaga internasional dengan anak-anak cacat dan mereka
yang diidentifikasi memiliki kebutuhan pendidikan khusus. Namun Salamanca punya sangat
berpengaruh dalam sikap menantang dalam 'kebutuhan khusus dan lingkaran inklusi, tetapi
hanya di lingkaran ini yang dibahas dan diambil serius - namun fokusnya adalah pada semua.
Gagasan yang lebih luas dari semua dan lebih besar apresiasi perbedaan dalam sistem
pendidikan bisa memegang kunci meningkatkan kualitas pendidikan untuk semua anak
(Ainscow, 1999). Kami akan kembali ke masalah ini nanti.
Sejak Salamanca, istilah 'pendidikan inklusif' telah mengambil banyak makna di seluruh
dunia. Kadang-kadang digunakan di Inggris untuk menggambarkan praktik dalam sekolah
khusus (Spurgeon, 2007). Dalam beberapa konteks Inggris pendidikan inklusif tidak lagi
terkait dengan kecacatan atau kebutuhan khusus, melainkan dengan kehadiran atau perilaku
sekolah (Ainscow et. al., 2006). Lengan (2004) berpendapat bahwa ide pendidikan inklusif
menunjukkan tanda-tanda jetlag dan semakin digunakan berarti banyak hal yang berbeda.

11
Dia meratap fakta bahwa ia telah kehilangan makna radikal aslinya, yang menolak medis dan
penjelasan psikologis kesulitan pendidikan.
Ainscow et. al., (2006: 15) telah mengembangkan tipologi enam cara berpikir tentang inklusi.
Ini adalah:
• Inklusi sebagai masalah dengan siswa penyandang cacat dan lain-lain dikategorikan sebagai
“memiliki kebutuhan pendidikan khusus”.
• Inklusi sebagai tanggapan terhadap pengecualian disipliner.
• Inklusi dalam kaitannya dengan semua kelompok yang dianggap rentan pengecualian.
• Inklusi sebagai pengembangan sekolah untuk semua.
• Penyertaan sebagai 'Pendidikan untuk Semua'.
• Inklusi sebagai pendekatan berprinsip untuk pendidikan dan masyarakat.

Interpretasi berbeda dari pendidikan inklusif ini menunjukkan bahwa ada kebingungan
konseptual seputar masalah ini, tapi mungkin juga itu perlu mengambil bentuk yang berbeda,
tergantung pada masalah kontekstual. Pada dasarnya ini adalah proses pengecualian yang
menantang di sekolah dan masyarakat dan menjadi “waspada terhadap ancaman apa pun
terhadap pemerataan”(Dyson, 2004: 615).
Namun, dengan cara yang sama bahwa Jomtien menyediakan kerangka kerja yang luas
dengan sedikit panduan tentang implementasi tetapi gagal menjabarkan mekanisme
bagaimana mencapai pendidikan untuk semua anak, Salamanca telah menyebabkan sebuah
perbedaan pandangan dan kurangnya kejelasan dalam implementasi. Internasional konsensus
tentang masalah pendidikan inklusif, dan hubungannya dengan PUS, adalah mungkin kurang
penting daripada pengembangan yang koheren dan berkelanjutan kebijakan di tingkat negara.
Sejauh mana pendidikan yang lebih inklusif praktik-praktik yang dipromosikan di tingkat
negara akan bergantung pada pengembangan pemahaman yang jelas tentang konsep
'pendidikan inklusif untuk semua' dikonteks budaya di mana ia dikembangkan.
Definisi umum yang dikembangkan oleh lembaga internasional, seperti Salamanca
Statement, dapat membantu dalam mempromosikan diskusi awal, tetapi kemungkinan besar
menjadi kurang bermanfaat ketika praktisi berusaha memahami inklusif pendidikan. Dalam
analisisnya tentang kebijakan dan praktik internasional tentang pendidikan inklusif, Peters
(2003: 1) menyimpulkan bahwa itu adalah "masalah kompleks" dan bahwa "tidak ada
pendekatan yang koheren terbukti dalam literatur". Dia melanjutkan menyatakan bahwa tidak
hanya pendidikan inklusif yang diimplementasikan pada tingkat yang berbeda, tetapi juga
mencakup tujuan yang berbeda, didasarkan pada beragam motif, mencerminkan klasifikasi
yang berbeda dari kebutuhan pendidikan khusus dan menyediakan layanan di konteks yang
berbeda. Meskipun ini memungkinkan untuk pengembangan budaya dan pemahaman yang
sesuai konteks pendidikan inklusif muncul, ada “bahaya yang memikirkan tentang cara
penggunaan atau penerapannya mengalihkan perhatian orang-orang dari menjelajahi
kenyataan praktik ”(Booth and Ainscow, 1998: 3).
Kekhawatiran ini jelas dalam konteks, di mana inklusi dilihat sebagai secara eksklusif
berfokus pada kekhawatiran untuk anak-anak cacat atau digunakan sebagai alasan untuk
segregasi lanjutan mereka.Terlepas dari kebingungan konseptual ini, pembelajaran lintas
budaya antara selatan negara dapat membantu kontekstualisasi debat global. Miles and Ahuja
(2007) tawarkan saran berikut, “ada gunanya membuat perbedaan antara 'generalisasi' yang

12
mencoba menentukan pola yang diasumsikan relevan untuk negara manapun, dan
'transferability', di mana ada penekanan pada pentingnya memahami faktor-faktor kontekstual
dalam membentuk bagaimana ide-ide itu ditafsirkan ”(hal.132). Membangun dialog antara
pembuat kebijakan dan praktisi baik di dalam dan di antara negara-negara yang menghadapi
tantangan serupa bisa bermanfaat karena mereka bekerja menuju tujuan bersama untuk
memberikan makna, pendidikan berkualitas untuk semua anak. Sejauh mana lebih inklusif
praktik pendidikan dipromosikan di tingkat negara, bagaimanapun, akan bergantung pada
pengembangan pemahaman yang jelas tentang konsep ‘inklusif pendidikan 'dalam konteks
budaya di mana ia sedang dikembangkan (Miles and Singal, 2008).

2.4 Prinsip Pendidikan Inklusif

Berikut adalah beberapa prinsip pendidikan inklusif :

a) Prinsip kebutuhan individual


Setiap anak memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda, oleh karena
itu pendidikan harus diusahakan untuk disesuaikan dengan kondisi anak.
b) Prinsip kebermaknaan
Pendidikan inklusif harus menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang
ramah, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan.
c) Prinsip berkelanjutan
Pendidikan inklusif diselenggarakan secara berkelanjutan pada semua jenjang
pendidikan.
d) Prinsip keterlibatan
Penyelenggaraan pendidikan inklusif harus melibatkan seluruh komponen
pendidikan terkait (Choiri, 2009).

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1) Pendidikan Inklusi adalah pendidikan yang mengikut sertakan anak-anak
berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak sebayanya
disekolah umum.
2) Pendidikan Inklusi memiliki tujuan memberikan intervensi(campur tangan) bagi
anak berkebutuhan khusus sedini mungkin
3) Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi menggunakan 6 landasan, yaitu:
a. Landasan Filosilofis
b. Landasan Yuridis
c. Landasan Empiris
d. Landasan Religi
e. Landasan Pedagogis
f. Landasan Psikologis
4) Pendidikan Inklusi memiliki 4 prinsip, yaitu:
a. Prinsip Kebutuhan Khusus
b. Prinsip Kebermaknaan
c. Prinsip Berkelanjutan
d. Prinsip Keterlibatan

3.2 Saran
 Diharapkan Pendidikan Inklusif diterapkan di semua sekolah agar anak luar
biasa tidak kesulitan untuk mencari sekolah untuk ia dapat belajar
 Diharapkan pemerintah lebih memperhatikan dan membuat program baru
yang berkaitan dengan Pendidikan Inklusif di sekolah agar anak-anak luar
biasa dapat tumbuh kembang seperti anak lainnya serta dapat beraktivitas
normal seperti yang lain.

14
DAFTAR PUSTAKA

Alfian. 2013. PENDIDIKAN INKLUSIF INDONESIA. Edu-Bio. Vol.4

Choiri, Abdul Salim, Yusuf, Munawir, Sunardi. 2009. Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus secara Inklusif. Surakarta: FKIP UNS.

Irvan, Muchamad. Oktober 2017. PENGETAHUAN MAHASISWA PG-PAUD UNIPA


SURABAYA TENTANG PENDIDIKAN INKLUSIF. Jurnal Buana Pendidikan.
Tahun XIII.

Miles,Susie and Singal, Nidhi. 15 January 2008. The Education for All and Inclusive
Education debate:Conflict, contradiction or opportunity?. International Journal of
Inclusive Education.

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 3 TAHUN


2010 TENTANG PENDIDIKAN

Saputra,Angga. September 2016. Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Inklusif. Jurnal


Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini.Volume. 1 No. 3 e-ISSN:2502-3519

Stubbs,Sue. July 2002. Inclusive Education Where There Are Few Resources. The Atlas
Alliance. Alih Bahasa Susi Septaviana R.

Suriansyah, Ahmad. 30 Oktober 2012. PENDIDIKAN INKLUSI, PERMASALAHAN DAN


STRATEGI PENGEMBANGANNYA. Disampaikan pada Seminar Nasional
Pengembangan Pendidikan Inklusi Dit. Pembinaan PK-LK Dikdas, Ditjen Pendidikan
Dasar Kemendikbud di Mahligai Pancasila.

Yulianto,Totok. Juni 2018. PENDIDIKAN INKLUSIF: KONSEP DASAR, RUANG


LINGKUP, DAN PEMBELAJARAN. Jurnal Kependidikan. Vol. 6 No.1

Wiyono, Bambang Dibyo. 2011. PENDIDIKAN INKLUSIF.MAKALAH.UNIVERSITAS


NEGERI MALANG PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING.

15

Anda mungkin juga menyukai