Anda di halaman 1dari 18

DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………………………………………………………………………….. i


Daftar Isi ……………………………………………………………………………………………………………………………………………….ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................................................2
A. Latar Belakang.................................................................................................................................2
B. Rumusan masalah............................................................................................................................3
C. Tujuan..............................................................................................................................................3
BAB II...........................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................4
A. Pengertian Pendidikan Inklusi..........................................................................................................4
B. Sejarah Pendidikan Inklusi di Indonesia...........................................................................................5
C. Perkembangan pendidikan inklusi di Indonesia...............................................................................9
D. Permasalahan Pendidikan Inklusi..................................................................................................11
BAB III PENUTUP........................................................................................................................................16
A. Kesimpulan....................................................................................................................................16
B. Saran..............................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan wahana penting dan media yangefektif untuk
mengajarkan norma, mensosialisasikan nilai, dan menanamkan etos kerja di
kalanganwarga masyarkat. Pendidikan juga dapat menjadi instrument untuk
memupuk kepribadian bangsa, memperkuat identitas nasional, dan memantapkan
jati diri bangsa. . Salah satunya adalah bahwa setiap anak berhak
memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka perkembangan pribadinya dan
tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang– Undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat disimpulkan bahwa
negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk
memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Undang Undang tersebut merujuk pada
perkembanga pendidikan di Indonesia yang tidak lepas dari istilah pendidikan inklusif
atau inklusi, pendidikan inkulsif muncul sejak tahun 1990 ketika konferensi dunia tentang
pendidikan untuk semua.
pendidikan inkulsif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak
berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-
teman seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil, 1994). Ini menandakan bahwa pendidikan
tidak mengenal perbedaan fisik, ras, suku, dan agama. Tidak semua sekolah regular di
Indonesia termasuk kedalam sekolah inkulsif, karena kurang nya sumber daya manusia
yang mumpuni dalam bidang pendidikan inkulsif. pada tahun 1990 Indonesia
menerapkan pendidikan terpadu, lalu pada tahun 2000 Indonesia mulai menuju pada
pendidikan inkulsif. Hal ini menunjukan perkembangan yang baik bagi pendidikan di
Indonesia. Dengan adanya pendidikan inkulsif sekolah dituntut melakukaan berbagai
perubahan, mulai cara pandang, sikap, sampai pada proses pendidikan yang berorientasi
pada kebutuhan individual tanpa diskriminasi. Dengan begitu anak yang memiliki
kebutuhan khusus dapat terpenuhi pendidikannya sesuai dengan potensi masing-masing.
Di Indonesia pendidikan Inklusi sebenarnya telah dirintis sejak tahun 1986 namun, dalam
bentuk yang sedikit berbeda. Sistem pendidikan tersebut awalnya dinamakan pendidikan
terpadu dan disahkan dengan surat keputusan mentri pendidikan dan kebudayaan No.
002/U/1986 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu di Indonesia. Pada
pendidikan terpadu anak penyandang cacat juga ditempatkan di sekolah umum namun,
mereka harus menyesuaikan diri pada sistem sekolah umum. Sehingga, mereka harus
dibuat ‘Siap’ untuk diintegrasikan kedalam sekolah umum. Apabila ada kegagalan pada
anak maka anak dipandang yang bermasalah. Sedangkan, yang dilakukan oleh
pendidikan Inklusi adalah sebaliknya, sekolah dibuat siap dan menyesuaikan diri
terhadap kebutuhan anak penyandang cacat.Apabila ada kegagalan pada anak maka
sistem dipandang yang bermasalah. Sehingga pada tahun 2004 Indonesia
menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan
komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif. Untuk memperjuangkan hak-hak anak
dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di Bukit
tinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukit tinggi yang isinya antara lain
menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah
satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan
pemeliharaan yang berkualitas dan layak.

B. Rumusan masalah
a. Apa pengertian pendidikan inklusi?
b. Bagaimana sejarah pendidikan inklusi di indonesia?
c. Bagaimana perkembangan pendidikan inklusi di indonesia?
d. Apa permasalahan pendidikan inklusi di Indonesia?

C. Tujuan
a. Mengetahui pengertian pendidikan inklusi
b. Mengetahui bagaimana sejarah pendidikan inklusi di indonesia
c. Mengetahui bagaimana perkembangan pendidikan inklusi di Indonesia
d. Mengetahui permasalahan pendidikan inklusi di indonesia

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidikan Inklusi


Inklusi diambil dari kata dalam bahasa inggris yakni “to include” atau“inclusion”
atau “inclusive” yang berarti mengajak masuk atau mengikutsertakan. Dalam pengertian
“inklusi” yang diajak masuk atau yang diikutsertakan adalah menghargai dan merangkul
setiap individu dengan perbedaan latar belakang, jenis kelamin, etnik, usia, agama,
bahasa, budaya, karakteristik, status, cara/pola hidup, kondisi fisik, kemampuan dan
kondisi beda lainnya. Pendidikan inklusi adalah pendidikan yang terbuka dan ramah
terhadap pembelajaran dengan mengedepankan tindakan menghargai dan merangkul
perbedaan. Untuk itu, pendidikan inklusi dipahami sebagai sebuah pendekatan yang
berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan yang dapat
menghalangi setiap individu siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan yang
dilengkapi dengan layanan pendukung. “Inklusi” merupakan perubahan praktis dan
sederhana yang memberi peluang kepada setiap individu dengan setiap perbedaannya
untuk bisa berhasil dalam belajar. Perubahan ini tidak hanya menguntungkan individu
yang sering tersisihkan seperti anak berkebutuhan khusus, tetapi semua anak dan orang
tuanya, semua guru dan administrator sekolah, dan setiap anggota masyarakat dan
lingkungannya juga mendapatkan keuntungan dari setiap perubahan yang dilakukan.
Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang diberikan kepada peserta didik yang
memiliki kelainan, memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Juga anak tidak
mampu belajar karena sesuatu hal: cacat, autis, keterbelakangan mental, anak
gelandangan, memiliki bakat serta potensi lainnya. Pendidikan inklusif adalah sistem
layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus di sekolah reguler. hal ini sesuai
dengan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam UndangUndang Nomor 20 tahun 2003
pada pasal 32 dan Permendiknas nomor 70 tahun 2009 yaitu dengan memberikan peluang
dan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan
disekolah reguler mulai dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah
Menengah Atas / Kejuruan. Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan inklusif akan
bergantung pada kerjasama baik pemerintah, guru maupun orang tua secara bersama-
sama.
Pendidikan inklusi adalah pendidikan yang mempersatukan layanan
PLBdengan pendidikan reguler dalam satu sistem pendidikan atau penempatan
semuaALB di sekolah biasa. Dengan pendidikan inklusi semua anak luar biasa
dapatbersekolah di sekolah terdekat dan sekolah yang menampung semua anak.
Dalam konsep pendidikan luar biasa,pendidikan inklusif diartikan sebagai
penggabungan penyelenggaraan pendidikan luar biasa dan pendidikan reguler dalam
satu sistem pendidikan yang dipersatukan. Adapun yang dimaksud dengan pendidikan
luar biasa adalah pendidikan yang diselenggarakan bagi siswa luar biasa atau
berkelainan dalam makna dikaruniai keunggulan(gifted and talented)maupun
berkelainankarena adanya hambatan fisik, sensorik, motorik, intelektual, emosi,
dan/atausosial.

D. Sejarah Pendidikan Inklusi di Indonesia


Tahun 1901-1980 perhatian pemerintah mulai kepada pendidikan tunanetra, dan
pendidikan anak berkebutuhan khusus lainnya dalam konsep segregasi dan sekaligus
mendapat perhatian di berbagai daerah dengan dibukanya lembaga-lembaga pendidikan
khusus (SLB/sekolah luar biasa). Pada decade 1980-1990 menurut tarmansyah (2007)
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sudah muali dikelompokkan sesuai dengan
spesialisasinya. Pemerintah mulai membuka pendidikan khusus untuk tiap-tiap kabupaten
atau kota di seluruh Indonesia. Selanjutnya dilakukan penggabungan antara pendidikan
khusus dengan sekolah normal dalam bentuk sekolah integrase, yaitu berbagai jenis anak
berkebutuhan khusus dilayani dalam satu lembaga pendidikan, dan selanjutnya di
Indonesia ditetapkan beberapa daerah untuk melaksanakan pendidikan terpadu, yaitu
menggabungkan anak berkebutuhan khusus di sekolah regular. Semenjak dikeluarkannya
Undang-undang pendidikan nomor 12 tahun 1954 pendidikan bagi anak-anak yang
memiliki kelainan fisik dan mental sudah terjamin secara hukum. Jaminan itu diberikan
dalam bentuk sekolah bagi anak-anak penyandang disabilitas yang diakomodir oleh
berbagai macam sekolah luar biasa. SLB-A untuk Tuna netra, SLB-B bagi tuna rungu-
wicara, SLB-C untuk tuna grahita, SLB-D untuk tuna daksa, SLB-E untuk tuna laras,
SLB-G untuk tuna ganda. Jaminan pendidikan itu semakin menguat khususnya semenjak
keluarnya program pemerintah tahun 1984 tentang program wajib belajar enam tahun.
Imbas dari program tersebut menghendaki seluruh anak usia sekolah dasar wajib
bersekolah dan menamatkan pendidikan minimal enam tahun. Berbagai program
pendukungpun disusun, mulai dari pendirian sekolah baru, paket A, sekolah kecil hingga
sekolah terbuka. Perubahan juga dirasakan oleh sekolah-sekolah luar biasa yang ada,
dengan daya tampung yang terbatas maka pemerintah melebur SLB yang ada menjadi
SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa), SMPLB (Sekolah Menengah Luar Biasa) dan
SMALB (Sekolah Menengah Atas Luar Biasa). Pada tanggal 3 Desember 1992
dicanangkan sebagai hari Disabilitas Internasional oleh Badan Perserikatan Bangsa-
bangsa. Sehingga hampir di seluruh dunia memperingatinya. Disabilitas sendiri
merupakan kata serapan yang berasal dari Bahasa Inggris Disability yang berarti Cacat.
Osborne mengungkapkan dalam Mudjito, dkk (2012), mengungkapkan kategori
Disabilitas menurut IDEA yang merupakan singkatan dari The Individual with
Disabilities Education Act dengan:
a. with mental Retardation, hearing impairments including deafness, speech or
language impairments, visual impairments including blindness, orthopedic impairments,
autism, traumatic brain injury, other health impairments, orspescific learning disabilities.
b. who by reason ther of, need special attention and related service.
Menurut defenisi di atas terlihat bahwa, anak-anak penyandang disabilitas
dikategorikan menjadi dua bagian, yang pertama anak-anak yang mengalami masalah
segi fisik, psikologis, maupun ketidak-mampuan mengikuti pembelajaran tertentu. pada
Permendikbud Nomor 70 Tahun 2009 Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan memberikan solusi baru dalam dunia pendidikan. Dimana dalam
Permendikbud tersebut ditetapkan tentang Pendidikan Inklusif bagi peserta didik yang
memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Lebih lanjut
dikatakan dalam Permendikbud ini didefenisikan Pendidikan inklusif adalah Sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik
yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk
mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara
bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
di sekolah-sekolah biasa memberikan dampak secara tidak langsung kepada para
penyandang disabilitas, dimana keberadaan anak-anak normal yang berada dilingkungan
belajar mereka dapat melupakan sejenak kekurangan yang mereka alami. Begitupun
sebaliknya, anak-anak normal yang menjadi teman sekelas mereka menjadi lebih empati,
suka menolong, berbagi dan mendahulukan kepentingan teman mereka yang lebih
membutuhkan bantuan daripada ego mereka sendiri. Hal ini susah mereka dapatkan
ketika mereka hanya bergaul dengan sesama anak normal, terkadang tidak mau mengalah
karena mereka sama-sama merasa lebih satu dengan yang lain. Akan tetapi dengan
bergaulnya mereka dengan penyandang Disabilitas mereka melihat langsung teori-teori
yang dipaparkan oleh Guru mereka tentang budi pekerti yang harus mereka miliki dalam
kehidupan sehari-hari. Pendidikan Inklusif merupakan jalan bagi anak-anak penyandang
Disabilitas dan penyandang ketunaan lainnya untuk dapat menunjukkan eksistensi
mereka dengan segala kelebihan yang mereka miliki. Banyak kita temui anak-anak yang
memiliki bakat yang luar biasa dari segi seni, tari, musik, intelejensi, maupun kecakapan
Lifeskill lainnya. Hal ini bermula dari keinginan yang luar biasa yang mereka miliki,
dengan keinginan yang luar biasa tersebut sang anak akan mengerjakan sesuatu dengan
sungguh-sungguh untuk melahirkan sebuah karya yang mereka yakini sendiri dan
hasilnyapun akan menjadi luar biasa. Selanjutnya Pemerintah Mengesahkan Konvensi
yang telah ditanda tangani tersebut dengan melahirkan Undang-undang Nomor 19 Tahun
2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities
(Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Adapun Pokok-Pokok Isi
Konvensi tersebut ialah:
a. Pembukaan, Pembukaan berisi pengakuan harga diri dan nilai serta hak yang
sama bagi penyandang disabilitas, yaitu orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental,
intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk
berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak. Oleh karena itu, pengakuan
bahwa diskriminasi berdasarkan disabilitas merupakan pelanggaran terhadap martabat
dan nilai yang melekat pada setiap orang.
b. Tujuan. Tujuan konvensi ini adalah untuk memajukan, melindungi dan
menjamin kesamaan hak dan kebebasan yang mendasar bagi semua penyandang
disabilitas, serta penghormatan terhadap martabat penyandang disabilitas sebagai bagian
yang tidak terpisahkan (inherent dignity).
c. Kewajiban Negara, Kewajiban negara merealisasikan hak yang termuat dalam
Konvensi, melalui penyesuaian peraturan perundang-undangan, hukum dan administrasi
dari setiap negara, termasuk mengubah peraturan perundang-undangan, kebiasaan dan
praktik-praktik yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas, baik perempuan
maupun anak, menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan
seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, politik, olah raga, seni dan budaya, serta
pemanfaatan teknologi, informasi dan komunikasi.
d. Hak-hak Penyandang Disabilitas, Setiap penyandang disabilitas harus bebas
dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat
manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta memiliki
hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan
kesamaan dengan orang lain. Termasuk didalamnya hak untuk mendapatkan
perlindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan
darurat.
e. Implementasi dan Pengawasan Nasional, Negara Pihak harus menunjuk
lembaga pemerintah yang menangani masalah penyandang disabilitas yang
bertanggungjawab terkait pelaksanaan Konvensi ini, dan membangun mekanisme
koordinasi di tingkat pemerintah untuk memfasilitasi tindakan tersebut. f. Laporan
Negara Pihak dan Peran Komite Pemantau Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas
Negara Pihak wajib membuat laporan pelaksanaan Konvensi ini 2 (dua) tahun setelah
konvensi berlaku, dan laporan selanjutnya paling lambat setiap 4 (empat) tahun atau
kapan pun jika diminta Komite Pemantau Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas
melalui Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Komite Pemantau Konvensi
Hak-Hak Penyandang Disabilitas membahas laporan yang disampaikan oleh Negara
Pihak dan memberikan pertimbangan mengenai cara dan sarana meningkatkan kapasitas
nasional untuk pelaksanaan Konvensi ini. Komite juga melakukan kerja sama
internasional dan koordinasi dengan Komite Pemantau Instrumen Hak Asasi Manusia.
Pada dekade 1990-2000, dengan muncuknya paradigm pendidikan untuk semua yang
telah menadi kesepakatan masyarakat dunia. Maka semua anak berhak mendapatkan
layanan pendidikan dengan konsep inklusi. Dimana sekolah-sekolah regular secara
bertahap dapat menerima anak-anak berkebutuhan khusus yang berada di sekitar sekolah
tersebut. pada bulan agustus 2004 indonesia bertempat di bandung mendeklarasi bahwa
Indonesia menuju pendidikan inklusi. Kondisi Indonesia dalam kaitannya dengan
pendidikaninklusi cukup responsive. Antara lain telah diterbitkannya undang undang
No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional . selanjutnya deklarasi bandung
pada bulan agustus 2004 yang menyatakan Indonesia menuju inklusi.

E. Perkembangan pendidikan inklusi di Indonesia


Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan lewat Direktur Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen) merilis data bahwa dari 514 kabupaten/kota di
seluruh tanah air, masih terdapat 62 kabupaten/kota yang belum memiliki SLB. Lebih
lanjut disampaikan bahwa dari 1,6 juta anak berkebutuhan khusus di Indonesia, baru 18
persen yang sudah mendapatkan layanan pendidikan inklusi. Sekitar 115 ribu anak
berkebutuhan khusus bersekolah di SLB, sedangkan ABK yang bersekolah di sekolah
reguler pelaksana Sekolah Inklusi berjumlah sekitar 299 ribu (blog Kemdikbud, 2017).
Untuk menjalankan amanah undang-undang pemerintah melakukan berbagai
upaya agar penyelenggaraan Pendidikan Inklusif terus digalakkan di berbagai daerah di
Indonesia termasuk dengan memberikan Piagam Penghargaan bagi Provinsi dan
Kabupaten/kota yang mendeklarasikan diri menjadi penyelenggara Pendidikan Inklusif.
Diantara Provinsi yang telah mendeklarasikan diri menjadi penyelenggara Pendidikan
Inklusif diantaranya; Pada tahun 2012 dimulai oleh Provinsi Kalimantan Selatan,
kemudian pada tahun 2013 dilanjutkan oleh Provinsi Aceh, Sumatra Selatan, Jawa Barat,
Sulawesi Selatan, dan DKI Jakarta. Pada tahun 2014 Provinsis Sulawesi Tenggara
mendeklarasikan diri dengan disusul oleh Provinsi Sumatra Barat, Provinsi Bali dan
Provinsi Lampung. Kemudian pada tahun 2015 hanya Provinsi Sumatera Utara yang
tercatat mendeklarasikan diri. Baru pada tahun 2016 Nusa Tenggara Timur dan Jawa
Timur menjadi Provinsi yang mendeklarasikan penyelenggara pendidikan Inklusif (diolah
dari berbagai sumber). Kita bersyukur dengan provinsi-provinsi yang telah turut serta
dalam mensukseskan program nasional ini untuk memberikan akses bagi anak-anak
berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah reguler dan bergaul dengan anak-anak
normal lainnya. Tapi terkadang kita masih menyayangkan 21 Provinsi yang “masih
berfikir” untuk mendeklarasikan diri menjadi provinsi penyelenggara pendidikan inklusif
sedangkan seperti yang kita ketahui bahwa kebutuhan anak berkebutuhan khusus sudah
sangat mendesak, dengan adanya Legal Standing dari masing-masing daerah, maka
sekolah-sekolah yang ada di tingkat kabupaten/kota akan mendapatkan akses, fasilitas,
dan melaksanakan kegiatan-kegiatan untuk mensukseskan Pendidikan Inklusif itu sendiri.
Walaupun seperti yang kita ketahui bahwa tidak 100% Provinsi-provinsi yang telah
mendeklarasikan diri menjadi provinsi penyelenggara Pendidikan Inklusif diamini oleh
daerah-daerah tingkat Kabupaten/Kota yang berada di bawah garis komando mereka
dengan berbagai alasan termasuk alasan klasik yaitu Hak Otonomi Daerah maupun
keterbatasan anggaran. Begitu pula dengan berbagai macam kendala sekolah di
Kabupaten/Kota lain yang berada dibawah provinsi-provinsi yang belum
mendeklarasikan diri menjadi provinsi penyelenggara Pendidikan Inklusif, sedangkan
mereka telah menyelenggarakan pendidikan inklusi secara mandiri.
Di Indonesia, inklusi memberi kesempatan kepada anak berkelainan dan anak
yang lainya yang selama ini tidak bisa sekolah karena berbagai hal yang menghambat
mereka untuk mendapatkan kesempatan sekolah, seperti letak sekolah luar biasa yang
jauh, harus bekerja membantu orangtua, dan sebab lainya seperti berada di daerah konflik
atau terkena bencana alam (Sugiarmin dalam Smith (2012). Sekolah inklusi bertujuan
untuk memberi kesempatan bagi seluruh siswa untuk mengoptimalkan potensinya dan
memenuhi kebutuhan belajarnya melalui program pendidikan inklusi. Pendidikan inklusif
ialah program pendidikan yang mengakomodasi seluruh siswa dalam kelas yang sama
sesuai dengan usianya dan perkembangannya (Schmidt dan Venet, 2011). Pendidikan
inklusi juga membuktikan bahwa mendidik anak dengan kebutuhan khusus bersama
dengan anak normal menunjukkan perkembangan yang signifikan (Sadioglu, Batu,
Bilgin, dan Oksal, 2013). Berdasarkan paparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa
dalam penyelenggaraan sekolah inklusi perlu adanya integrasi antara seluruh pihak
yaitu dari pihak sekolah seperti manajemen sekolah (kurikulum, sarana prasarana
yang mendukung), guru, siswa, orangtua,masyarakat dan pemerintah, sehingga
pendidikan inklusi dapat berjalan dengan baik. Pemerintah Indonesia perlu mensyukuri
bahwa sejak digulirkannya pendidikan inklusi di Indonesia, sambutan dan apresiasi
masyarakat sangat luar biasa, sehingga implementasinya tumbuh dan berkembang cepat
di berbagai pelosok negeri. UNESCO menilai bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan
inklusi bagi ABK, Indonesia pada tahun 2007 menduduki ranking ke 58 dari 130 negara.
Sayangnya, karena berbagi faktor, terutama kurangnya komitmen dan dukungan
pemerintah, sehingga implementasinya belum menasional dan menyeluruh, sehingga
ranking tersebut terus mengalami kemerosotan, pada tahun 2008 berada pada ranking ke
63 dan pada tahun 2009 berada pada ranking ke 71 (Kompas).

F. Permasalahan Pendidikan Inklusi


Sekalipun perkembangan pendidikan inklusi di negara kita cukup
menggembirakan dan mendapat apresiasi dan antusiasme dari berbagai kalangan,
terutama para praktisi pendidikan, namun sejauh ini dalam tataran implementasinya di
lapangan masih dihadapkan kepada berbagai isu dan permasalahan. Berdasarkan hasil
penelitian terhadap beberapa sekolah penyelenggara inklusi, secara umum saat ini
terdapat lima kelompok issue dan permasalahan pendidikan inklusi di tingkat sekolah
yang perlu dicermati dan diantisipasi agar tidak menghambat, implementasinya tidak
bisa, atau bahkan menggagalkan pendidikan inklusi itu sendiri, yaitu: pemahaman dan
implementasinya, kebijakan sekolah, proses pembelajaran, kondisi guru, dan support
sistem. Salah satu bagian penting dari support system adalah tentang penyiapan anak.
Selanjutnya, berdasar isu-isu tersebut, permasalahan yang dihadapi adalah sebagai
berikut: Pemahaman inklusi dan implikasinya. Pendidikan inklusif bagi anak
berkelainan/penyandang cacat belum dipahami sebagai upaya peningkatan kualitas
layanan pendidikan. Masih beragamnya pemahaman tentang pendidikan inklusi, baik
kalangan pendidikan maupun masyarakat umum. Hal tersebut dipahami sebagai upaya
memasukkan disabled children ke sekolah regular dalam rangka give education right dan
kemudahan access education, and againt discrimination. Pendidikan inklusi cenderung
dipersepsi sama dengan integrasi, sehingga masih ditemukan pendapat bahwa anak harus
menyesuiakan dengan sistem sekolah. Dalam implementasinya guru cenderung belum
mampu bersikap proaktif dan ramah terhadap semua anak, menimbulkan komplain orang
tua, dan menjadikan anak cacat sebagai bahan olok-olokan. Masih adanya pro dan kontra
diantara guru dan orang tua siswa terhadap ABK masuk di sekolah reguler.
Kebijakan sekolah Masih banyak kebijakan di sekolah yang tidak memihak pada
prinsip pendidikan inklusi. Sekalipun sudah didukung dengan visi yang cukup jelas,
menerima semua jenis anak cacat, sebagian sudah memiliki guru khusus, mempunyai
catatan hambatan belajar pada masing-masing ABK, dan kebebasan guru kelas dan guru
khusus untuk mengimplementasikan pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif, namun
cenderung belum didukung dengan koordinasi dengan tenaga profesional, organisasi atau
institusi terkait, Prosedur penerimaan siswa yang masih memberlakukan sistem
persaingan (kompetitif), Pemangku kebijakan di sekolah penyelenggara pendidikan
inklusi yang khawatir akan menurunkan citra sekolah, Banyak sekolah yang belum
memahami bahwa perbedaan merupakan kekayan sumber belajar bagi peserta didik.
Masih terdapat kebijakan yang kurang tepat, yaitu guru kelas tidak memiliki tangung
jawab pada kemajuan belajar ABK, serta keharusan orang tua ABK dalam penyediaan
guru khusus. Proses pembelajaran. Proses pembelajaran belum dilaksanakan dalam
bentuk team teaching, tidak dilakukan secara terkoordinasi. Guru cenderung masih
mengalami kesulitan dalam merumusakan flexible curriculum, pembuatan IEP, dan
dalam menentukan tujuan, materi, dan metode pembelajaran. Masih terjadi kesalahan
praktek bahwa target kurikulum ABK sama dengan siswa lainnya serta anggapan bahwa
siswa cacat tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menguasai materi belajar.
Banyak kasus terjadi adanya protes terhadap kenaikan ABK, sementara ada anak normal
yang tidak naik kelas. Karena keterbatasan fasilitas sekolah, pelaksanaan pembelajaran
belum menggunakan media, resource dan lingkungan yang beragam sesuai kebutuhan
anak. Sarana yang ada masih diperuntukan bagi siswa reguler, seperti halnya toilet, jika
sekolah inklusi harus menyediakan toilet yang khusus memfasilitasi ABK. Lalu pada
Kondisi guru,Pemahaman guru sekolah reguler masih minim tentang pembelajaran
berbasis inklusi. Mereka belum didukung dengan kualitas guru yang memadai. Guru
kelas masih dipandang not sensitive and proactive yet to the special needs children. Guru
masih minim pengetahuannya tentang penanganan anak berkebutuhan khusus.
Keberadaan guru khusus masih dinilai belum sensitif dan proaktif terhadap permasalahan
yang dihadapi ABK. Bahkan, mereka merasa direpotkan dengan adanya anak
berkebutuhan khusus. Sistem dukungan, Para pemangu kebijakan belum sepenuhnya
memahami gerakan pendidikan untuk semua. Belum didukung dengan sistem dukungan
yang memadai. Peran orang tua, sekolah khusus, tenaga ahli, perguruan tinggi dan
pemerintah masih dinilai minimal. Sementara itu fasilitas sekolah juga masih
terbatas.Keterlibatan orang tua sebagai salah satu kunci keberhasilan dalam pendidikan
inklusi, belum terbina dengan baik. Dampaknya, orang tua sering bersikap kurang peduli
dan realistik terhadap anaknya. Secara formal belum berpredikat sebagai sekolah inklusif,
bahkan sampai sekarang belum tersentuh proyek sosialisasi dan pelatihan di bidang
pendidikan inklusi Dari uraian berbagai problematika pendidikan inklusi tersebut, kita
dapat memahami bahwa pelaksanaan pendidikan inklusi di indonesia tidak semudah
membalikan telapak tangan, tetapi ada hambatannya, baik konseptual secara teknis
maupun non teknis. Semuanya tentu harus secepatnya diselesaikan, karena apalah arti
sebuah kebijakan tanpa ada sistem yang mendukung kebijakan tersebut. Masalah guru,
bisa diselesaikan dengan memberikan pelatihan atau kuliah tambahan mata kuliah khusus
tentang pelaksanaan inklusi, ini dapat dilakukan dengan cara dinas pendidikan bekerja
sama dengan perguruan tinggi terdekat yang memiliki jurusan Pendidikan Luar Biasa
(PLB). Masalah sarana dan prasarana, dinas pendidikan bisa kordinasi dengan dinas atau
direktorat PLB yang memungkinkan memberikan bantuan itu, atau lembaga suasta yang
perusahannya berada di wilayah kab/kota. Dinas dan sekolah memberikan sosialisasi di
berbagai kegiatan, sepanduk atau bentuk lain yang memungkinkan masyarakat
mendapatkan informasi yang mencukupi tentang pendidikan inklusi. Permasalahan
permasalahan yang muncul pada pendidikan inklusi yaitu berkaitan muncul terkait guru
berdasarkan kategori yang muncul, terdapat sepuluh kategori permasalahan yang
diungkapkan guru. Permasalahan utama yang banyak dikeluhkan guru adalah kurangnya
Guru Pendamping Kelas (GPK) sebesar 27,39%, kurangnya kompetensi guru dalam
menangani ABK sebanyak 19,64%, guru kesulitan dalam Kegiatan Belajar Mengajar
(KBM) sebanyak (17,86%), kurangnya pemahaman guru tentang ABK dan Sekolah
Inklusi sebanyak (16,67%), latar belakang pendidikan guru yang tidak sesuai (5,95%),
beban administrasi yang semakin berat untuk guru (5,36%), kurangnya kesabaran guru
dalam menghadapi ABK (2,39%) dan terakhir guru mengalami kesulitan dengan
orangtua (1,78%). Lalu permasalahan yang muncul terkait Orangtua yang paling banyak
dikeluhkan oleh guru adalah: kepedulian orangtua terhadap penanganan ABK kurang
(47,27%), selanjutnya permasalahan yang muncul adalah pemahaman orangtua tentang
ABK kurang (41,21%), orangtua merasa malu sehingga menginginkan anaknya disekolah
umum (3,64%), toleransi dari orangtua siswa reguler terhadap ABK kurang (3,64%),
orangtua buta huruf (2,42%), orangtua kurang sabar menangani ABK (1,21%),
pengasuhan orangtua tunggal (0,61%). Permasalahan-permasalahan yang muncul terkait
siswa yang dikemukakan guru adalah: ABK dengan permasalahan berbeda dan
memerlukan penanganan yang berbeda (35,29%), ABK mengalami Kesulitan mengikuti
materi pelajaran (21,18%), sikap ABK yang belum bisa mengikuti aturan sehingga
mengganggu proses KBM (20%), permasalahan siswa regular terhadap ABK (14,71%),
dan permasalahan terakhir yang muncul terkait siswa adalah jumlah ABK yang melebihi
Kuota dalam tiap kelasnya (8,82%). Permasalahan yang muncul terkait Pemerintah yang
dikemukakan oleh guru adalah: perhatian dan kepedulian pemerintah terhadap
pelaksanaan sekolah inklusi kurang (24.64%), kebijakan terkait pelaksanaan sekolah
inklusi belum jelas (21.74%), belum adanya modifikasi kurikulum khusus sekolah inklusi
(20.29%), kurangnya pelatihan tentang pendidikan inklusi kepada guru (18.84%),
Perhatian pemerintah terhadap tenaga professional yang mendukung sekolah inklusi
kurang baik dari segi jumlah dan kesejahteraannya (10.87%), program yang dilakukan
pemerintah belum berkelanjutan (2.90%), belum ada lembaga khusus yang menangani
pelatihan pendampingan ABK (0.72%). Permasalahan-permasalahan yang muncul terkait
yang lainnya adalah: kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan
inklusi (87.10%), kurangnya keterlibatan dari semua pihak (akademisi, tenaga ahli, guru,
sekolah, orangtua, dan pemerintah) terkait pelaksanaan sekolah inklusi (6,45%), latar
belakang sosial yang mempengaruhi ABK (3.23%), predikat sekolah inklusi membuat
sekolah kehilangan siswa-siswa cerdas (1.61%), belum ada kesepahaman tentang
pelaksanaan inklusi antara berbagai pihak (1.61%). Permasalahan yang muncul antara
satu dengan yang lain bila dikaji lebih lanjut akan saling berkaitan antara satu dengan
yang lain, baik dari permasalahan guru, siswa, sekolah, masyarakat, maupun pemerintah.
Pertama terkait permasalahan guru, guru mengeluhkan bahwa kurang kompetensi dalam
menangani ABK. Hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman guru tentang ABK
dan sekolah inklusi yang kemudian berdampak pada permasalahan yang muncul
selanjutnya yaitu guru kesulitan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini juga didukung
dengan kenyataan bahwa ada beberapa guru yang memiliki latar pendidikan yang tidak
sesuai dan kurangnya Guru Pendamping Kelas sehingga semakin menambah beban kerja
guru yang berat baikbeban administrasi maupun beban mengajar hal ini juga secara tidak
langsung memberi dampak pada bagaimana guru menangani siswa di sekolah menjadi
tidak maksimal, selain itu guru juga dihadapkan pada berbagai permasalahan ABK yang
berbeda-beda dan memerlukan penanganan yang berbeda serta jumlah ABK yang
melebihi kuota dalam tiap kelasnya sehingga berdampak pada kurang lancarnya proses
KBM. Beban guru semakin berat, pada saat menerima kenyataan dilapangan bahwa
banyak dari orangtua ABK tidak peduli terhadap perkembangan anak nya. Banyak
orangtua yang kemudian hanya pasrah sepenuhnya tentang perkembangan anak nya
kepada sekolah. Hal ini juga bisa disebabkan karena pemahaman orangtua tentang ABK
masih kurang. Permasalahan lain yang muncul yaitu toleransi atau pengertian dari
orangtua siswa regular terhadap kebutuhan ABK masih kurang karena banyak dari
masyarakat yang masih memandang rendah ABK dan sekolah inklusi sehingga
masyarakat kurang memberi dukungan terkait pelaksanaan sekolah inklusi. Hal ini bisa
disebabkan karena minimnya pengetahuan masyarakat yang terkait pendidikan inklusi
dan ABK. Hal tersebut membuat beban guru dan sekolah semakin berat, dimana secara
umum, sekolah sendiri belum siap baik dari segi administrasi maupun SDM dalam
pelaksanaan pendidikan inklusi disekolahnya, ditambah dengan kurangnya dukungan dan
kerjasama dari semua pihak, kurangnya sarana prasarana yang disediakan pemerintah
terkait pelaksanaan sekolah inklusi sehingga pelaksanaan sekolah inklusi tidak bisa
berjalan maksimal.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan inklusi adalah pendidikan yang terbuka dan ramah terhadap
pembelajaran dengan mengedepankan tindakan menghargai dan merangkul perbedaan.
pendidikan inklusi dipahami sebagai sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi
sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan yang dapat menghalangi setiap individu
siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan yang dilengkapi dengan layanan
pendukung. pada bulan agustus 2004 indonesia bertempat di bandung mendeklarasi
bahwa Indonesia menuju pendidikan inklusi. Kondisi Indonesia dalam kaitannya dengan
pendidikan inklusi cukup responsive. Antara lain telah diterbitkannya undang undang
No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional . selanjutnya deklarasi bandung
pada bulan agustus 2004 yang menyatakan Indonesia menuju inklusi. Sekalipun
perkembangan pendidikan inklusi di negara kita cukup menggembirakan dan mendapat
apresiasi dan antusiasme dari berbagai kalangan, terutama para praktisi pendidikan,
namun sejauh ini dalam tataran implementasinya di lapangan masih dihadapkan kepada
berbagai isu dan permasalahan yang ada disekolah.

G. Saran
Mungkin inilah yang diwacanakan pada penulisan kelompok ini meskipun
penulisan ini jauh dari sempurna .Masih banyak kesalahan dari penulisan kelompok
kami, karna kami manusia yang adalah tempat salah dan dosa. Dan kami juga butuh
saran/ kritikan agar bisa menjadi motivasi untuk masa depan yang lebih baik daripada
masa sebelumnya. Kami juga mengucapkan terima kasih atas dosen mata kuliah
Pendidikan Inklusi yang telah memberi kami tugas kelompok demi kebaikan diri kita
sendiri dan untuk negara dan bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

Irdamurni. 2020. Pendidikan inklusif solusi dalam mendidik anak berkebutuhan khusus. Jakarta:
Kencana.
Wijaya David. 2019. Manajemen pendidikan inklusif sekolah dasar. Jakarta: Kencana.
Saputra Angga. 2016. Kebijakan Pemerintah terhadap pendidikan inklusif. Ilmiah tumbuh
kembang anak. 1(3)
HafiZ abdul. 2017. Sejarah perkembangan inklusif di Indonesia. As -salam. 1(3) : 9-15
Yahya murip. Munandar utami. Shihab quraish M. Husnizar. 2018. Problematika pendidikan
inklusif di sekolah. Modeling program studi UGM. 5(2)

Anda mungkin juga menyukai