Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

HAKIKAT PENDIDIKAN INKLUSI


Ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata kuliah Pendidikan Inklusi
Dosen Pengampu : Dr. Hj. Mugiarsih Chaeri, M.Psi

Disusun Oleh :
Kelompok 1
Rifka Khoirunnisa 1601025288
Tuti Alawiyah 1601025170
Sri Kemala Hayati 1601025355
Putri Kusmayani 1601025287
Edistie Dinia Ajwina 1601025179
Tuti Lutfia 1601025029
Kelas – 5I
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR.HAMKA
JAKARTA
2018
PENDAHULUAN
Inklusi merupakan perubahan praktis yang memberi peluang anak dengan
latar belakang dan kemampuan yang berbeda bisa berhasil dalam belajar. Perubahan
ini tidak hanya menguntungkan anak yang sering tersisihkan, seperti anak
berkebutuhan khusus, tetapi semua anak dan orangtuanya, semua guru dan
administrator sekolah, dan setiap anggota masyarakat. ‘Inklusi’ berarti bahwa sebagai
guru bertanggung jawab untuk mengupayakan bantuan dalam menjaring dan
memberikan layanan pendidikan pada semua anak yang ada di masyarakat, keluarga,
lembaga pendidikan, layanan kesehatan, pemimpin masyarakat, dan lain-lain.
Selama ini, istilah ‘inklusi’ diartikan dengan mengikutsertakan anak
berkebutuhan khusus di kelas umum dengan anak-anak lainnya. Dalam panduan ini,
‘inklusi’ mempunyai arti yang lebih luas. ‘Inklusi’ berarti mengikutsertakan anak
berkelainan seperti anak yang memiliki kesulitan melihat, mendengar, tidak dapat
berjalan, lamban dalam belajar. Secara luas ‘inklusi’ juga berarti melibatkan seluruh
peserta didik tanpa terkecuali, seperti:
 Anak yang menggunakan bahasa ibu, dan bahasa minoritas yang berbeda
dengan bahasa pengantar yang digunakan di dalam kelas;
 Anak yang berisiko putus sekolah karena korban bencana, konflik, bermasalah
dalam sosial ekonomi, daerah terpencil, atau tidak berprestasi dengan baik;
 Anak yang berasal dari golongan agama atau kasta yang berbeda;
 Anak yang sedang hamil;
 Anak yang berisiko putus sekolah karena kesehatan tubuh yang
rentan/penyakit kronis seperti asma, kelainan jantung bawaan, alergi,
terinfeksi HIV dan AIDS;
 Anak yang berusia sekolah tetapi tidak sekolah
Di beberapa tempat, semua anak mungkin masuk sekolah, tetapi masih terdapat
beberapa anak yang terpisahkan dari keikutsertaan dalam pembelajaran di kelas,
misalnya:
 Anak yang menggunakan bahasa ibu yang berbeda dengan buku-buku
pelajaran dan bacaan yang digunakan;
 Anak yang tidak pernah diberi kesempatan untuk aktif dalam kelas;
 Anak yang memiliki masalah gangguan penglihatan dan atau pendengaran;
atau;
 Anak yang tidak pernah mendapatkan bantuan ketika mengalami hambatan
belajar.
Untuk semua kondisi di atas, maka guru diharapkan bertanggung jawab untuk
menciptakan lingkungan belajar yang kondusif agar seluruh anak terlibat dalam
proses pembelajaran.
PEMBAHASAN MATERI

1. PENGERTIAN PEDIDIKAN INKLUSI


Pendidikan inklusif lahir sebagai bentuk ketidakpuasan penyelenggaraan
pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus dengan menggunakan sistem
segregasi. Sistem segregasi adalah sistem penyelenggaraan sekolah yang
diperuntukkan bagi anak-anak yang memiliki kelainan atau anak-anak
berkebutuhan khusus. Sistem ini dipandang bertentangan dengan tujuan
pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Dimana tujuan penyelenggaraan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus adalah untuk mempersiapkan mereka
untuk dapat berinteraksi sosial secara mandiri di lingkungan masyarakatnya.
Namun dalam proses penyelenggaraan pendidikannya, sistem segregasi justru
dipisahkan dengan lingkungan masyarakat. Khususnya terjadi di masyarakat kita.
Berangkat dari kenyataan tersebut, lahirlah beberapa konsep pendidikan inklusif.
Menurut Budiyanto (2006), sistem segregasi tidak mampu lagi mengemban
misi utama pendidikan, yaitu memenusiakan manusia. Sistem segregatif cendrung
diskriminatif, eksklusif, mahal, tidak efektif, dan tidak efisien, serta outputnya
tidak menjanjikan sesuatu yang positif. Disebutkan pula oleh Reynold dan Birch
(1988), bahwa model segregatif tidak menjamin kesempatan anak berkelainan
mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda
dengan kurikulum sekolah biasa. Hal itu kecuali secara filosofis model segregasi
tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi
dengan masyarakat normal, tetapi faktanya mereka dipisahkan dari masyarakat
normal.
Pendidikan inklusif merupakan sistem penyelenggaraan pendidikan bagi
anak-anak yang memiliki keterbatasan tertentu dan anak-anak lainnya yang
disatukan dengan tanpa mempertimbangkan keterbatasan masing-masing. Menurut
Direktorat Pembinaan SLB (2007), pendidikan inklusif adalah sistem layanan
pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua anak belajar bersama-
sama di sekolah umum dengan memerhatikan keragaman dan kebutuhan
individual, sehingga potensi anak dapat berkembang secara optimal. Semangat
pendidikan inklusif adalah memberi akses yang seluas-luasnya kepada semua
anak, termasuk anak berkebutuhan khusus, untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu dan memberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya.
Berdasarkan pedoman yang dikeluarkan Direktorat Pembinaan SLB (2007),
sebagai wadah yang ideal, pendidikan inklusif memiliki empat karakteristik
makna, yaitu:
1) Pendidikan inklusif adalah proses yang berjalan terus dalam usahanya
menemukan cara-cara merespon keragaman individu anak.
2) Pendidikan inklusif berarti memperoleh cara-cara untuk mengatasi hambatan-
hambatan anak dalam belajar.
3) Pendidikan inklusif membawa makna bahwa anak mendapat kesempatan untuk
hadir (di sekolah), berpartisipasi, dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna
dalam hidupnya.
4) Pendidikan inklusif diperuntukkan bagi anak-anak yang tergolong marginal,
ekslusif, dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar.
Menurut Sharon Rustemier (2002), yang dilaporkan pada center for Study on
Inclusive Education (CSIE), pendidikan inklusif di definisikan sebagai berikut,
“inclusive education is all children and young people-with and without disabilities
or difficulties- learning together in ordinary of support. Dengan demikian,
pendidikan inklusif dapat diikuti oleh semua orang dengan dan tanpa keterbatasan
dan dapat berlangsung di setiap jenjang pendidikan, muali dari TK sampai
perguruan tinggi.
Selanjutnya, CSIE menyatakan bahwa, “inclusion means enabling all students
to participate fully in the life and work of mainstream setting, whatever their
needs. Dengan kata lain, semua siswa tanpa memandang jenis kebutuhannya
diperbolehkan untuk bersama-sama hidup dan bekerja dalam lingkungan umum
(lumrah).
Pendidikan inklusif merupakan sistem pendidikan yang menghargai bahwa
manusia : (1) Diciptakan sebagai makhluk yang berbeda-beda (unik); (2)
Menghargai dan menghormati bahwa semua orang merupakan bagaian dari
masyaraka; dan (3) Diciptakan untuk membangun sebuah masyarakat, sehingga
sebagai masyarakat normal ditandai dengan adanya keberagaman dari setiap
anggota masyarakat.

2. TUJUAN PENDIDIKAN INKLUSI


Pendidikan inklusif di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan:
1. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk
anak berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan
kebutuhannya.
2. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar.
3. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan
menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah.
4. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak
diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran.
5. Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal 32 ayat 1
yang berbunyi, “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ayat 2
yang berbunyi, “ setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintahan wajib membiayainya”. UU nomor 20 tahun 2003 tentang SPN,
khususnya pasal 5 ayat 1 yang berbunyi, “setiap warga negara mempunyai hak
yang sama untuk Perlindungan Anak, khususnya pada pasal 51 yang berbunyi,
“ anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan
yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan
pendidikan luar biasa.
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi bertujuan agar semua anak
memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuannya serta untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang
menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif bagi semua anak.

3. FUNGSI PENDIDIKAN INKLUSI


Fungsi pendidikan inklusi adalah :
1. Menjamin semua peserta didik mendapat kesempatan dan akses yang sama
untuk memperoleh layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya dan
bermutu diberbagai jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.
2. Menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif bagi semua peserta didik
untuk mengembangkan potensinya secara optimal.
Dapat disimpulkan bahwa fungsi dari pendidikan inklusi yaitu semua
anak mendapat kesempatan dan akses yang sama untuk memperoleh layanan
pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhannya, serta terciptanya
lingkungan pendidikan yang kondusif bagi semua anak untuk
mengembangkan potensinya secara optimal.

4. MANFAAT PENDIDIKAN INKLUSIF


Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh banyak ahli, ditemukan
bahwa pendidikan inklusif memiliki banyak manfaat bagi semua siswa dan
personil sekolah karena berfungsi sebagai sebuah contoh atau model bagi
masyarakat yang inklusif (Florida State University Center for Prevention & Early
Intervention Policy 2002).
Adapun keuntungan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah:
a. Dalam pendidikan dasar maupun menengah, ditemukan bahwa prestasi
akademis siswa pada sekolah inklusif sama dengan atau lebih baik dari
pada siswa yang berada di sekolah yang tidak menerapkan prinsip iklusi
(Baker, Wang, & Walbreg, 1994).
b. Adanya penerapan belajar co-teaching, siswa yang memiliki
ketidakmampuan tertentu dan siswa yang lambat dalam menyerap
informasi mengalami peningkatan dalam keterampilan sosial dan semua
siswa mengalami peningkatan harga diri dalam kaitan dengan
kemampuan dan kecerdasan mereka.
c. Siswa yang memiliki ketidakmampuan tertentu mengalami peningkatan
harga diri atau kepercayaan diri semata-mata hanya karena belajar di
sekolah reguler daripada sekolah luar biasa.
d. Siswa yang tidak memiliki ketidakmampuan tertentu mengalami
pertumbuhan dalam pemahaman sosial dan memiliki pemahaman dan
penerimaan yang lebih besar terhadap siswa yang memiliki
ketidakmampuan tertentu karena mereka mengalami program inklusif
(Freeman & Alkin, 2000).

5. LANDASAN PENDIDIKAN INKLUSIF


Ada lima landasan yang harus dijadikan acuan dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Keempat landasan tersebut antara lain
landasan filosofis, landasan religi, landasan historis, landasan yuridis dan
landasan empiris.
1. Landasan Filosofis
Setiap bangsa memiliki pandangan hidup atau filosofi sendiri,
begitu pula halnya dengan bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang
memiliki pandangan atau filosofi sendiri, maka dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusif harus diletakkan atas dasar pandangan hidup atau
filosofi bangsa Indonesia sendiri.
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di
Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita
yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut
Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan
manusia, baik kebinekaan vertikal maupun horisontal, yang mengemban
misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebinekaan vertikal ditandai
dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial,
kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan sebagainya. Sedangkan
kebinekaan horisontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras,
bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan
sebagainya. Karena berbagai keberagaman namun dengan kesamaan misi
yang diemban di bumi ini, misi, menjadi kewajiban untuk membangun
kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan.
Filosofi Bhinneka Tunggal Ika meyakini bahwa di dalam diri
manusia bersemayam potensi yang bila dikembangkan melalui
pendidakan yang baik dan benar dapat berkembang hingga hampir tak
terbatas. Bertolak dari perbedaan antar manusia, filosofi ini meyakini
adanya potensi unggul yang tersembunyi dalam diri individu apabila
dikembangkan secara optimal dan terintegrasi dengan semua potensi
kemanusiaan lainnya dapat menghasilkan suatu kinerja profesional.
Tugas pendidikan adalah menemukan dan mengenali potensi
unggul yang tersembunyi yang terdapat dalam diri setiap individu peserta
didik untuk dikembangkan hingga derajat yang optimal sebagai bekal
manusia beribadah kepada Tuhan. Dengan demikian pendidikan dapat
diartikan sebagai usaha sadar untuk memberdayakan semua potensi
kemanusiaan yang mencakup potensi fisik, kognitif, afektif, dan intuitif
secara optimal dan terintegrasi. Keunggulan dan kekurangan adalah suatu
bentuk kebhinnekaan seperti halnya ras, suku, agama, latar budaya, dan
sebagainya. Di dalam individu dengan segala keterbatasan dan kelebihan,
di mana yang memiliki keterbatasan sering bersemayam keunggulan, dan
di dalam diri individu yang memiliki keunggulan sering bersemayam
keterbatasan. Dengan demikian keunggulan dan keterbatasan tidak dapat
dijadikan sebagai alasan untuk memisahkan peserta didik yang memiliki
keterbatasan atau keunggulan dari pergaulannya dengan peserta didik
lainnya, karena pergaulan antara mereka akan memungkinkan terjadi
saling belajar tentang perilaku dan pengalaman.
2. Landasan Religi
Sebagai bangsa yang beragama, penyelenggaraan pendidikan tidak dapat
dilepaskan kaitannya dengan agama. Di dalam Al-Qur‟an disebutkan bahwa
hakikat manusia adalah makhluk yang satu sama lain berbeda (individual
differences). Tuhan menciptakan manusia berbeda satu sama lain dengan
maksud agar dapat saling berhubungan dalam rangka saling membutuhkan
(QS. Al-Hujurat 49:13). Adanya siswa yang membutuhkan layanan
pendidikan khusus pada hakikatnya adalah manifestasi dari hakikat manusia
sebagai individual differences tersebut. Interaksi manusia harus dikaitkan
dengan upaya pembuatan kebajikan. Ada dua jenis interaksi antar manusia,
yaitu kooperatif dan kompetitif (QS. Al-Maidah, 5:2&48). Begitu pula dengan
pendidika, yang juga harus menggunakan keduanya dalam rangka mencapai
tujuan pendidikan dan pembelajaran.
Bertolak dari ayat-ayat Al-Qur‟an yang telah diuraikan, menunjukkan
bahwa ada kesamaan antara pandangan filosofis dengan religi tentang hakikat
manusia. Keduanya merupakan upaya menemukan kebenaran hakiki; filsafat
menggunakan nalar belaka sedangkan agama menggunakan wahyu. Keduanya
akan bertemu karena sumber kebenaran hakiki hanya satu yaitu Tuhan Yang
Maha Esa. Landasan filosofis dan religi akan bertemu untuk selanjutnya dapat
menjadi landasan dalam pemanfaatan hasil-hasil penelitian sebagai produk
kegiatan keilmuan, termasuk di dalamnya untuk penyelenggaran pendidikan.
3. Landasan Historis
Masa-masa awal. Pada awalnya, masyarakat bersikap acuh tak acuh
bahkan menganggap sebagai sampah dan menolak, orang-orang yang
memiliki ketidakmampuan (disability) tertentu (Olsen&Fuller, 2003:161). Di
satu sisi, hal ini terjadi karena rasa takut akan takhayul bahwa ibu melahirkan
anak cacat merupakan hukuman baginya atas dosa-dosa nenek moyangnya.
Oleh sebab itu, harus dihindari, penolakan itu juga terjadi karena takut
tertular.
Namun dilain sisi penolakan itu terjadi karena perjuangan untuk
bertahan hidup. Anggota kelompok yang terlalu lemah dan tidak berkontribusi
terhadap kelangsungan hidup kelompoknya dikeluarkan dari keanggotaannya.
Mereka sering kali tidak diberi makanan yang cukup dan tidak memperoleh
kasih saying dan kontak sosial yang bermakna. Mereka kesepian, terasing dari
kelompok sosialnya dan merasa tidak berguna. Mereka yang berbeda karena
kecacatannya akan dikurung atau dibiarkan mati (Skjorten, 2001).
Zaman purbakala dan pada zaman pertengahan. Pada masa ini, muncul
seorang fisikawan yakni Hippokrates (460-377 SM) yang mulai mendobrak
paradigma lama dengan menggagas bahwa berbagai permasalahan emosional
lebih merupakan kekuatan natural daripada kekuatan supra natural
sebagaimana yang selama ini diyakini. Lebih tegas lagi pada tahun 427-347
SM, Plato, seorang filosof besar Yunani, yang merupakan murid Socrates,
mengatakan bahwa mereka yang tidak stabil secara mental tidak
bertanggungjawab atas perilaku mereka.
Gagasan kedua tokoh besar ini membawa perubahan. Hal ini terbukti
dalam abad pertengahan. Dimana dalam abad itu, muncul berbagai kelompok
religious yang memberikan pelayanan dan tempat tinggal bagi mereka yang
diabaikan oleh keluarganya (Olsen&Fuller, 2003:161).
Abad Sembilan belas dan abad dua puluh (masa transisi). Dalam abad
ini, masyarakat semakin terbuka bagi mereka yang mengalami
ketidakmampuan tertentu. Hal ini bertolak dari keyakinan bahwa setiap orang
dapat belajar jika diberi stimulus secara tepat. Dengan demikian, sejak abad
sembilan belas di Amerika Serikat telah berdiri sekolah bagi mereka yang
buta dan tuli (Olsen&Fuller, 2003:162).
Dalam abad keduapuluhan, muncul berbagai pernyataan dan
kesepakatan internasional berkaitan dengan hak manusia. Misalnya saja pada
tahun 1948 ada Deklarasi Hak Asasi Manusia, termasuk hak atas pendidikan
dan partisipasi penuh di masyarakat untuk semua orang; pada tahun 1989 ada
Konvensi PBB tentang Hak Anak; pada tahun 1990 ada Konferensi Dunia
tentang Pendidikan Untuk Semua di Jomtien, Thailand, yang menghasilkan
tujuan utama untuk membawa semua anak masuk sekolah dan memberikan
semua anak pendidikan yang sesuai; tahun 1993dicetuskan Peraturan Standar
tentang Kesamaan Kesempatan bagi Penyandang Cacat, oleh PBB, yang
diumumkan tahun 1994 (Skjorten, 2001).
Pencetusan pendidikan inklusif ini terjadi karena selama jangka waktu
yang cukup lama, para siswa penyandang cacat dididik secara ekslusif
(Watterdal, 2002). Dengan kata lain, mereka tetap diperlakukan sebagai
orang-orang yang bukan merupakan bagian dari masyarakat. Akibatnya,
masyarakat umum masih merasa aneh dengan kehadiran mereka.
Tidak hanya itu, penggunaan sistem integrasi yang telah
diterapkan dulu juga meninggalkan berbagai persoalan. Sistem integrasi
mengandung makna bahwa siswa penyandang cacat diikutkan ke dalam
sekolah reguler setelah anak tersebut mengikuti kelas khusus dan
dianggap siap untuk mengikuti suatu kelas di sekolah reguler. Sayangnya,
di sana mereka sering ditempatkan dalam suatu kelas berdasarkan tingkat
keberfungsiannya dan pengetahuannya bukan menurut usianya. Misalnya
kita dapat menemukan anak berusia 12 tahun berada di kelas satu.
Karena situasi tersebut dan semakin munculnya kesadaran akan
kesamaan hak dan martabat sebagai manusia maka disuarakanlah hak
anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan hak dan pelayanan yang
sama. Di mana semua anak (atau orang dewasa) adalah anggota
kelompok yang sama, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain,
membantu satu sama lain untuk belajar dan berfungsi, saling
mempertimbangkan satu sama lain, menerima kenyataan bahwa anak
(atau orang dewasa) tertentu mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan
mayoritas dan kadang-kadang akan melakukan hal yang berbeda. Dan hal
itu dikukuhkan dengan adanya Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan
Inklusif oleh UNESCO pada 1994.
4. Landasan Yuridis
Landasan yuridis memiliki hirarki dari undang-undang dasar, undang-
undang, peraturan pemerintah, kebijakan direktur jendral, peraturan daerah,
kebijakan direktur, hingga peraturan sekolah. Juga melibatkan kesepakatan-
kesepakatan internasional yang berkenaan dengan pendidikan. Dalam
kesepakatan UNESCO di Salamanca, Spanyol pada tahun 1994 telah
ditetapkan agar pendidikan di seluruh dunia dilaksanakan secara inklusif.
Dalam kesepakatan tersebut juga dinyatakan bahwa pendidikan adalah hak
untuk semua (educational for all), tidak peduli orang itu memiliki hambatan
atau tidak, kaya atau miskin, pendidikan juga tidak membedakan ras, warna
kulit, suku, dan agama. Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sedapat
mungkin dintegrasikan dengan pendidikan reguler, pemisahan dalam bentuk
segregrasi hanya untuk keperluan pembelajaran (instruction), bukan untuk
keperluan pendidikan (education). Untuk keperluan pendidikan, anak-anak
berkebutuhan khusus harus disosialisasikan dalam lingkungan yang nyata
dengan anak-anak lain pada umumnya.
Adapun landasan yuridis pendidikan inklusif sebagai berikut:
Instrumen Internasional
a. 1948: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
b. 1989: Konvensi PBB tentang Hak Anak
c. 1990: Deklarasi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua (Jomtien)
d. 1993: Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan
bagi para Penyandang Cacat
e. 1994: Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang
Pendidikan Kebutuhan Khusus
f. 1999: Tinjauan 5 tahun Salamanca
g. 2000: Kerangka Aksi Forum Pendidikan Dunia (Dakar)
h. 2000: Tujuan Pembangunan Millenium yang berfokus pada
Penurunan Angka Kemiskinan dan Pembangunan
i. 2001: Flagship PUS tentang Pendidikan dan Kecacatan
Instrumen Nasional
a. UUD 1945 (amandemen) pasal 31
b. UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3, 5, 32, 36 ayat (3), 45 ayat (1), 51, 52,
53.
c. UU No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 5
d. Deklarasi Bandung (Nasional) ”Indonesia Menuju Pendidikan
Inklusif” 8-14 Agustus 2004
e. Deklarasi Bukit Tinggi (Internasional) Tahun 2005
f. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Nomor 380/C.C6/MN/2003
tanggal 20 Januari 2003 tentang pendidikan inklusif
g. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009
tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki
kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
5. Landasan Empiris
a. Deklarasi Hak Asasi Manusia, 1948 (Declaration of Human Rights).
b. Konvensi Hak Anak, 1989 (Convention on the Right of the Child).
c. Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk semua, 1990 (World
Conference on Education for All).
d. Resolisi PBB Nomor 48. Tahun 96 tahun 1993 tentang Persamaan
Kesempatan bagi Orang Berkelainan (the standard rules on the equalization
of opportunities for persons with disabilities).
e. Pernyataan Salamanca tentang Pendidika Inklusi, 1994 (The Salamanca
Statement on Inclusive Education).
f. Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk semua, 200 (The Dakar
Commitment on Education for All).
g. Deklarasi Bandung (2004) dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan
inklusif.
h. Rekomendasi Bukit tinggi (2005), bahwa pendidikan yang inklusif dan
ramah terhadap anak seyogyanya dipandang sebagai:
1) Sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara
menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk
pendidikan untuk semua adalah benar-benar untuk semua.
2) Seluruh cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh
pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas
tempat tinggalnya sebagai bagian dari program-program untuk
perkembangan usia dini anak prasekolah, pendidikan dasar dan
menengah, terurtama mereka yang pada saat ini masih belum diberi
kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih
rentan terhadap marginalisasi dan eksklusi.
3) Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang
menghargai dan menghormati perbedaan individu semua warga negara.
Disamping itu juga menyepakati rekomendasi berikut ini, untuk lebih
meningkatkan kualitas sistem pendidikan di Asia dan benua-benua lainnya.
1) Inklusi seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip fundamental yang
mendasari semua kebijakan pendidikan nasional.
2) Konsep kualitas seyogyanya difokuskan pada perkembangan nasional,
emosi, dan fisik, maupun pencapaian akademik lainnya.
3) Sistem asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar sesuai dengan
prinsip-prinsip nondiskriminasi dan inklusi serta konsep kualitas
sebagaimana telah disebutkan di atas.
4) Orang dewasa seyogyanya menghargai dan menghormati semua anak,
tanpa memandang perbedaan karakteristik maupun keadaan individu,
serta seharusnya pula memerhatikan pandangan mereka.
5) Semua kementerian seyogyanya berkoordinasi untuk mengembangkan
strategi bersama menuju inklusi.
6) Demi menjamin pendidikan untuk semua melalui kerangka sekolah
yang ramah terhadap anak (SRA), maka masalah nondiskriminasi dan
inklusi harus diatasi dari semua dimensi SRA, dengan upaya bersama
yang terkoordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah dan
nonpemerintah, donor, masyarakat, berbagai kelompok lokal, orang tua,
anak maupun sektor swasta.
7) Semua pemerintah dan organisasi internasional serta organisasi
nonpemerintah, seyogyanya berkolaborasi dan berkoordinasi dalam
setiap upaya untuk mencapai keberlangsungan pengembangan
masyarakat inklusif dan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran
bagi semua anak.
8) Pemerintah seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial maupun
ekonomi bila tidak mendidik semua anak, dan oleh karena itu dalam
Manajeman Sistem Informasi Sekolah harus mencakup semua anak usia
sekolah.
9) Program pendidikan prajabatan maupun pendidikan dalam jabatan guru
seyogyanya direvisi guna mendukung pengembangan praktik inklusi,
sejak pada tingkat usia prasekolah hingga usia-usia di atasnya dengan
menekankan pada pemahaman secara holistic tentang perkembangan
dan belajar anak termasuk pada intervensi dini.
10) Pemerintah (pusat, propinsi, dan daerah) dan sekolah seyogyanya
membangun dan memelihara dialog dengan masyarakat, termasuk orang
tua tentang nilai-nilai sistem pendidikan yang nondikriminatif dan
inklusif.
6. FAKTOR-FAKTOR PENENTUAN UTAMA KEBERHASILAN DAN
KEBERLANGSUNGAN PENDIDIKAN INKLUSIF
Dalam merancanakan pendidikan inklusif kita tidak cukup memahami
konsepnya saja. Perencanaa juga harus realistis dan tepat. Adapun faktor-faktor
penentu utama yang perlu diperhatikan agar implementasi pendidikan inklusif
tetap bertahan lama adalah:
1. Adanya kerangka yang kuat
2. Pendidikan inklusif perlu didukung oleh kerangka nilai-nilai keyakinan,
prinsip, dan indikator keberhasilan
3. Implementasi berdasarkan budaya
4. Pengalaman menunjukan bahwa solusi harus dikembangkan dengan
memanfaatkan sumber-sumber yang ada
5. Partisipasi berkesinambungan
6. Pendidikan inklusif merupakan proses dinamis. Perlu adanya monitoring yang
berkesinambungan, satu prinsip inti dari pendidikan inklusif adalah harus
tanggap terhadap keberhasilan secara fleksibel yang senantiasa berubah-ubah
dan tidak dapat diprediksi
7. Pengembangan kerangka
8. Pengembangan kerangka yang kuat yang merupakan komponen utama
pendidikan inklusif yang berfungsi sebagai tulang program.

7. JENIS ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)


Jenis kebutuhan khusus sangat terkait dengan tingkat kesulitan yang dihadapi
anak dalam mengikuti proses pembelajaran. Jenis kesulitan inilah yang
memunculkan kebutuhan khusus agar anak dapat mengembangkan potensinya
secara optimal. Jenis kebutuhan ini dapat dilihat dari bidang yang mengalami
penyimpangan dan dapat pula dilihat dari arah penyimpangan. Katagori anak atau
peserta didik dengan kelainan atau kebutuhan khusus berdasarkan jenis
penyimpangan, menurut Mulyono Abdulrachman (2000) dibuat untuk keperluan
pembelajaran. Katagori tersebut adalah sebagai berikut.
1. Kelompok yang mengalami penyimpangan atau kelainan dalam bidang
intelektual, terdiri dari anak yang luar biasa cerdas (intellectually superior)
dan anak yang tingkat kecerdasaannya rendah atau yang disebut tunagrahita.
2. Kelompok yang mengalami penyimpangan atau keluarbiasaan yang terjadi
karena hambatan sensoris atau indra, terdiri dari anak tunanetra dan
tunarungu.
3. Kelompok anak yang mendapat kesulitan belajar dan gangguan komunikasi.
4. Kelompok anak yang mengalami penyimpangan perilaku, yang terdiri dari
anak tunalaras dan penyandang gangguan emosi, termasuk autis.
5. Kelompok anak yang mempunyai keluarbiasaan atau penyimpangan ganda
atau berat dan sering disebut sebagai tunaganda.
Jenis – jenis kelainan dibawah normal
8. Tunanetra
Tunanetra berarti kurang penglihatan. Sejalan dengan makna tersebut,
istilah ini dipakao untuk mereka yang mengalami gangguan penglihatan yang
mengakibatkan fungsi penglihatan tidak dapat dilakukan. Oleh karena
gangguan tersebut, penyandang tunanetra menunjukkan perbedaan yang
signifikan dengan mereka yang penglihatannya berfungsi secara normal.
Sehubung dengan itu, anak tunanetra mempunyai kebutuhan khusus yang
menuntut adanya pelayanan khusus sehingga potensi yang dimiliki oleh para
tunanetra dapat berkembang secara optimal.
9. Tunarungu
Istilah tunarugu dikenal bagi mereka yang mengalami gangguan
pendengaran, mulai dari yang ringan sampai dengan yang berat. Gangguan ini
dapat terjadi sejak lahir (merupakan bawaan), dapat juga terjadi setelah
kelahiran. Oleh karena kondisi khusus ini, anak tunarungu memerlukan
bantuan khusus, baik dalam kehidupan sehari – hari maupun dalam
pendidikan.
10. Gangguan Komunikasi
Gangguan komunikasi atau dalam bahasa inggris disebut
communication disorder, merupakan gangguan yang cukup signifikan karena
kemampuan berkomunikasi memungkinkan seseorang untuk berinteraksi
dengan orang lain. Secara garis besar, gangguan komunikasi dapat dibagi
menjadi dua yaitu, gangguan bicara (karena kerusakan organ bicara) dan
gangguan bahasa (speech disorder dan language disorder). Gangguan bicara
yang sering disebut sebagai tunawicara dapat disebabkan oleh gangguan
pendengaran yang terjadi sejak lahir atau kerusakan organ bicara. Gangguan
komunikasi terjadi karena gangguan bahasa, yang ditandai oleh munculnya
kesulitan bagi anak dalam memahami dan menggunakan bahasa, baik dalam
bentuk lisan maupun tertulis.
11. Tunagrahita
Tunagrahita atau sering dikenal dengan cacat mental adalah kemampuan
mental yang berada dibawah normal. Tolak ukur yang sering dikenakan untuk
ini adalah tingkat kecerdasan atau IQ. Anak yang secara signifikan
mempunyai IQ di bawah normal dikelompokkan sebagai anak tunagrahita.
Anak tunagrahita dapat dikelompokkan menjadi tunagrahita ringan, sedang,
dan berat.
12. Tunadaksa
Tunadaksa secara harfiah berarti cacat fisik. Oleh karena kecacatan ini,
anak tersebut tidak dapat menjalankan fungsi fisik secara normal. Anak yang
kakinya tidak normal karena polio atau yang anggota tubuhnya diamputasi
karena satu penyakit dapat dikelompokkan pada anak tunadaksa.
13. Tunalaras
Istilah tunalaras digunakan sebagai padanan dari istilah behavior
disorder dalam bahasa Inggris. Kelompok tunalaras sering juga
dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan emosi (emotionally
disturbance). Gangguan yang muncul pada anak – anak ini berupa gangguan
perilaku, seperti suka menyakiti diri sendiri, suka menyerang teman, atau
bentuk penyimpangan perilaku yang lain. Termasuk juga dalam kelompok ini
adalah anak – anak penderita autistic, yaitu anak – anak yang menunjukkan
perilaku menyimpang yang membahayakan, baik bagi dirinya sendiri maupun
bagi orang lain. Disamping autistic atau autism, dalam kelompok ini juga
termasuk attention deficit disorder (ADD) dan attention deficit hyperactive
disorder (ADHD). Penyandang ADD adalah mereka yang mendapat kesulitan
dalam memusatkan perhatian (tidak mampu memusatkan perhatian) sehingga
perhatiannya selalu beralih, sementara ADHD ditandai oleh ketidak mampuan
memusatkan perhatian yang disertai dengan hiperaktif, tidak mau diam.
14. Anak Berkesulitan Belajar
Anak berkesulitan belajar merupakan anak – anak yang mendapat
kesulitan belajar bukan karena kelainan yang dideritanya. Anak – anak ini
pada umumnya mempunyai tingkat kecerdasaan yang normal, namun tidak
mampu mencapai prestasi yang seharusnya karena mendapat kesulitan belajar.
KESIMPULAN & SARAN
Kesimpulan :
Berdasarkan uraian di atas penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Pendidikan inklusif adalah pendidikan regular yang disesuaikan dengan kebutuhan
peserta didik yang memiliki kelainan dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa pada sekolah regular dalam satu kesatuan yang sistemik. Pendidkan inklusif
mengakomodasi semua anak berkebutuhan khusus yang mempunyai IQ normal,
diperuntukan bagi yang memiliki kelainan, bakat istimewa, kecerdasan istimewa dan
atau yang memerlukan pendidkan layanan khusus.
2. Landasan pendidikan inklusif adalah Undang-undang tentang Sistem Pendidikan
Nasional bab IV pasal V tentang hak dan kewajiban warga negara.
3. Tujuan pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada
semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial atau
memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan ynag
bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan.
4. Prinsip umum pendidikan inklusif adalah: (1)Prinsip Pemerataan dan Peningkatan
Mutu, (2) Prinsip Kebutuhan Individual, (3) Prinsip Kebermaknaan, (4) Prinsip
Keberlanjutan, (5) Prinsip Keterlibatan.
5. Faktor penentu keberhasilan pendidikan inklusif antara lain: Adanya kerangka yang
kuat, implementasi berdasarkan budaya, partisipasi berkesinambungan, dan
pengembangan kerangka.
6. Manfaat pendidikan inklusif antara lain: Membangun kesadaran dan konsensus
pentingnya pendidikan inklusif sekaligus menghilangkan sikap dan nilai yang
diskriminatif, melibatkan dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan analisis
situasi pendidikan lokal, mengumpulkan informasi semua anak pada setiap distrik
dan mengidentifikasi alasan mengapa mereka tidak sekolah, mengidentifikasi
hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial dan masalah lainnya terhadap akses
dan pembelajaran, melibatkan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan
monitoring mutu pendidikan bagi semua anak
7. Model kurikulum pada pendidikan inklusi dapat dibagi tiga, yaitu :Model
kurikulum regular penuh,Model kurikulum regular dengan modifikasi dan Model
kurikulum PPI
8. Pada mata pelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), proses dan
kegiatan pembelajaran diutamakan menggunakan media dan model pembelajaran
yang tepat, sesuai dengan konsep pendidikan inklusif.

Saran :
Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan sekolah inklusif sehingga anak
yang berkebutuhan khusus yang berbakat dapat menyakurkan bakat mereka.
Pemerintah juga harus mensosialisasikan adanya sekolah inklusif agar sekolah
inklusif diketahui keberadaanya, dan masyarakat tidak lagi meremehkan sekolah
inklusif bahwa anak-anak inklusif juga bisa berprestasi layaknya anak normal.
DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan


Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Stubbs, Sue. 2002. Pendidikan Inklusif (Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber).
Bandung: UPI.

Kustawan, Dedy. 2008. Pendidikan Inklusif dan Upaya Implementasinya.


Jakarta Timur: PT Luxima Metro Media.

Garnida, Dadang. 2015. Pengantar Pendidikan Inklusif. Bandung: Refika


Aditama.

Wardani, dkk. 2016. Pengantar Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.


Tangerang Selatan: Briallianing Pratiwi.

Anda mungkin juga menyukai