Menurut Nur’aeni (2017) dalam bukunya Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, pendidikan merupakan suatu kebutuhan dasar manusia, karena dengan pendidikan manusia memperoleh ilmu pengetahuan, nilai, sikap serta keterampilan sehingga manusia dapat menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Melalui pendidikan sumber daya manusia dapat ditingkatkan, sehingga memiliki kemampuan dan keterampilan untuk membawa bangsa kearah yang lebih baik. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 Pasal 31 Ayat (1). Anak berkebutuhan khusus juga berhak mendapat pelayanan pendidikan seperti halnya anak-anak pada umumnya dan hidup bersama dalam situasi sosial yang alamiah. Secara etimologis definisi pendidikan inklusi bisa ditelusuri dengan membedah kata inklusi itu sendiri. Kata inklusi berasal dari kata include dalam bahasa Inggris. Kata include artinya menjadi bagian dari sesuatu, atau being a part of something, menyatu dalam kesatuan being embraced into the whole. (Villa; Thousand, 2005). Secara filosofis kata inklusi pada dasarnya mengandung prinsip kesamaan atau keadilan dan atau persamaan hak. Pendidikan Inklusi adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus (ABK) belajar di sekolah- sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil 1994). Pendidikan inklusi secara luas adalah pendidikan yang menyertakan anak sebagai subjek bukan saja sebagai objek, pendapat semua anak dapat diakomodir dan dipertimbangkan dengan baik untuk menciptakan pendidikan yang berkeadilan bagi semua, hingga terwujud pendidikan untuk semua (education for all). Pendidikan inklusi mempercayai bahwa semua anak berhak mendapatkan pelayanan pendidikan yang baik sesuai dengan usia atau perkembangannya, tanpa memandang derajat, kondisi ekonomi, ataupun kelainannya. Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Depdiknas mendefinisikan pendidikan inklusi sebagai salah satu bentuk pelayanan pendidikan yang dapat menerima semua anak dengan berbagai kondisi. Dengan demikian, pendidikan inklusi dapat berarti sekolah biasa/umum yang mengakomodasi semua Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dan /atau Sekolah Luar Biasa/Khusus yang mengakomodasi anak normal. Sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumya (Kepmen 70/2009). Pendidikan inklusif adalah penggabungan layanan pendidikan regular dengan pendidikan khusus dalam satu sistem yang dipersatukan. Sekolah inklusif adalah sekolah yang menggabungkan layanan pendidikan khusus dengan pendidikan regular untuk mempertemukan kebutuhan individual anak berkebutuhan khusus. Sehubungan dengan perubahan cara pandang masyarakat terhadap anak luar biasa di beberapa negara termasuk pada sebagian masyarakat di Indonesia, terhadap kesepakatan bahwa sistem pendidikan inklusi adalah sistem pendidikan yang paling layak untuk dilaksanakan. Sunantu (2000), menjelaskan beberapa alasan pendidikan inklusi sebagai model pendidikan anak luar biasa, yaitu :1) Semua anak mempunyai hak untuk belajar bersama, 2) Anak-anak tidak harus diperlakukan diskriminatif dengan dipisahkan dari kelompok lain karena kecacatannya, 3) Tidak ada alasan yang legal untuk memisahkan pendidikan bagi anak luar biasa, karena setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, 4) banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa prestasi akademik dan sosial anak luar biasa di sekolah-sekolah integrasi lebih baik daripada di sekolah segregasi, 5) Tidak ada pengajaran di sekolah segregasi yang tidak dapat dilakukan di sekolah umum, 6) Melalui komitmen dan dukungan yang baik, pendidikan lebih efisien dalam penggunaan sumber belajar, 7) Semua anak memerlukan pendidikan yang membantu mereka berkembang untuk hidup dalam masyarakat yang normal dan 8) Hanya sistem pendidikan terpadu yang berpotensi untuk mengurangi rasa kekhawatiran membangun rasa persahabatan saling menghargai dan memahami. Jika sebelumnya anak luar biasa dapat diterima di sekolah umum hanya karena berdasarkan kebijakan intern sekolah dengan pertimbangan kemanusiaan, kini dengan model pendidikan inklusif sebagai revisi sistem pendidikan bagi anak luar biasa, anak luar biasa memiliki kesempatan untuk mengikuti pendidikan di sekolah umum dengan dasar hukum yang kuat dan jelas berdasarkan psiko-edukatif serta bukan lagi didasarkan pada pertimbangan kemanusiaan semata. Anak-anak luar biasa tidak lagi dibatasi pendidikannya dalam setting SLB saja, akan tetapi diberikan hak yang sama untuk mengikuti pendidikan secara terpadu dengan siswa normal di sekolah umum dengan kemampuan yang dimilikinya. Selama ini secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini telah menghambat proses saling mengenal antara anak-anak difabel dengan anak-anak non-difabel. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya. Konsep pendidikan inklusi lebih menekankan pada upaya pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus (lembaga atau institusi menyesuaikan dengan kebutuhan siswa). Penting bagi guru untuk menyadari bahwa di sekolah mereka dapat membuat penyesuaian pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, manakala mereka memiliki pandangan pendidikan yang komprehensif, yang terpusat pada anak. Meskipun mungkin masih memerlukan pelatihan tentang metode atau strategi khusus yang akan diterapkan di sekolah. Dalam lingkungan inklusif, kita siap mengubah dan menyesuaikan system, lingkungan dan aktifitas yang berkaitan dengan semua orang lain serta mempertimbangkan kebutuhan semua orang. Bukan lagi anak yang menyandang kecacatan yang harus menyesuaikan diri agar cocok dengan setting yang ada. Untuk itu diperlukan fleksibilitas, kreativitas dan sensitivitas. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana dan prasarana, tenaga pendidikan dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi harus menciptakan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran, yang memungkinkan semua siswa dapat belajar dengan nyaman dan menyenangkan. Berbagai metode atau strategi belajar sangat mungkin dikembangkan pada sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusi untuk menciptakan situasi pembelajaran yang aktif dan fleksibel. Adanya penghargaan terhadap diri anak, memotivasi dan menumbuhkan kepercayaan diri anak dengan menggunakan kata-kata atau nada suara yang baik. Tujuan dari pendidikan inklusi adalah untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, menghilangkan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan, baik terkait dengan etnik, gender, status sosial, maupun ekonomi, mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik, serta mendorong partisipasi penuh anak berkebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Sekolah inklusi merupakan sekolah yang ideal baik bagi anak dengan dan tanpa berkebutuhan khusus. Lingkungan yang tercipta sangat mendukung terhadap anak dengan berkebutuhan khusus, mereka dapat belajar dari interaksi spontan teman-teman sebayanya terutama dari aspek sosial dan emosional. Sedangkan bagi anak yang tidak berkebutuhan khusus memberi peluang kepada mereka untuk belajar berempati, bersikap membantu dan memiliki kepedulian.
B. Urgensi Konseling pada Anak Berkebutuhan Khusus
Paradigma dalam pendidikan luar biasa yang lebih menekankan kepada penghargaan tinggi terhadap hak asasi manusia (HAM), telah menempatkan pentingnya penanganan anak berkebutuhan khusus sesuai dengan dimensi-dimensi kemanusiaannya, baik dalam dimensi keindividualan (individualitas), kesosialan (sosialita), kesusilaan (moralitas), dan keagamaan (religiusitas), secara selaras guna mencapai perkembangan optimal. Sementara itu, kompleksitas permasalahan yang dihadapi anak berkebutuhan khusus, menuntut kepedulian tenaga pendidik dan semua elemen yang terkait untuk membantu mengatasi permasalahan yang dihadapinya, melalui pemenuhan kebutuhan khsusnya dalam rangka membantu anak mencapai perkembangan optimal. Berdasarkan hal di atas, layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus harus dikembangkan dalam dimensi yang lebih luas dan komprehensif. Salah satunya dengan menempatkan layanan konseling sebagai unsur pokok yang terpadu dalam seluruh kegiatan pendidikan, baik di sekolah maupun di luar sekolah, dan dilaksanakan dengan lebih intensif, komprehensif, konsisten, konsekuen, dan berkesinambungan. Melalui layanan konseling diharapkan mampu menunjang pencapaian tujuan pendidikan, membantu mengatasi hambatan belajar dan perkembangan yang dialaminya, sekaligus diharapkan mampu membantu upaya pengembangan totalitas kepribadian anak secara optimal sesuai dengan dimensi- dimensi kemanusiaannya menuju kebahagiaan hidup sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya. Selaras dengan paradigma baru dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus, penempatan konseling dalam layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus, bukan lagi sekedar kepedulian terhadap masalah, melainkan pada upaya-upaya pengembangan pribadi anak secara utuh. Dengan kata lain visi konseling pada anak berkebutuhan khusus harus memiliki jangkauan yang lebih luas, yang meliputi dimensi-dimensi sebagai berikut: 1. Dimensi edukatif, yaitu peningkatan kemampuan anak berkebutuhan khusus dalam memahami potensi diri, peluang dan tuntutan lingkungan, dan pengambilan keputusan, serta penyelenggaraan program yang merujuk pada norma idealis, filosofis, dan pragmatis sebagai tugas bersama. 2. Dimensi developmental, yaitu pengembangan secara optimal seluruh aspek kepribadian anak berkebutuhan khusus melalui pengembangan kesiapan atau kematangan intelektual, emosional, sosial, dan pribadi sesuai dengan sistem nilai yang dianut. 3. Dimensi preventif, yaitu pencegahan timbulnya resiko (masalah) yang dapat menghambat laju perkembangan kepribadian (diskontinuitas perkembangan) anak berkebutuhan khusus individu serta pencegahan terjadinya penurunan mutu pendidikan. 4. Dimensi ekologis, yaitu pengembangan kompetensi atau tugas-tugas perkembangan anak secara optimal melalui rekayasa lingkungan baik fisik, sosial, maupun psikologis dengan fokus pada upaya memfasilitasi perkembangan anak, intervensi pada sistem atau sub sistem, dan tercapainya lingkungan belajar yang kondusif bagi perkembangan individu dan keselarasan interaksi dan interrelasi pribadi dan lingkungan menuju optimalisasi keberfungsian individu. 5. Dimensi futuristik, yaitu pengembangan wawasan, sikap, dan perilaku antisipatif anak berkebutuhan khusus dalam pengambilan keputusan dan perencanaan kehidupan serta karir masa depan yang lebih memuaskan. C. Pengertian Konseling pada Anak Berkebutuhan Khusus Secara etimologis, istilah konseling berasal dari bahasa latin, yaitu pinilium yang berarti dengan atau bersama yang dirangkai dengan menerima atau memahami. Sedangkan dalam bahasa Anglo-Saxon, istilah konseling berasal dari sellan yang berarti menyerahkan atau menyampaikan. Konseling merupakan suatu proses untuk membantu individu mengatasi hambatan-hambatan perkembangan dirinya, dan untuk mencapai perkembangan optimal kemampuan pribadi yang dimilikinya, proses tersebut dapat terjadi setiap waktu. Bantuan yang diberikan kepada konseli lebih menekankan kepada peranan konseli itu sendiri ke arah tujuan yang sesuai dengan potensinya. Menurut Robinson dalam Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan (2010), konseling merupakan semua bentuk hubungan antara dua orang dimana yang seorang, yaitu konseli dibantu untuk lebih mampu menyesuaikan diri secara efektif terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya. Suasana hubungan konseling ini meliputi penggunaan wawancara untuk memperoleh dan memberikan berbagai informasi, melatih atau mengajar, meningkatkan kematangan, memberikan bantuan melalui pengambilan keputusan dan usaha-usaha penyembuhan (terapi). ASCA (American School Counselor Association) mengemukakan bahwa, konseling adalah hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada konseli, konselor mempergunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk membantu konseli mengatasi masalah-masalahnya. Sedangkan menurut Milton E. Hahn dalam Sofyan S. Willis (2007), tujuan konseling adalah sesuatu proses yang terjadi dalam hubungan seseorang dengan seseorang yaitu individu yang mengalami masalah yang tak dapat diatasinya, dengan seorang petugas professional yang telah memperoleh latihan dan pengalaman untuk membantu agar konseli mampu memecahkan kesulitannya. Dalam era global dan pembangunan, maka konseling lebih menekankan pada pengembangan potensi individu yang terkandung di dalam dirinya, termasuk dalam potensi itu adalah aspek intelektual, afektif, sosial, emosional dan religius, sehingga individu akan berkembang dengan nuansa yang lebih bermakna, harmonis, sosial, dan bermanfaat. Dari beberapa pengertian tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan, konseling bagi anak berkebutuhan khusus adalah upaya bantuan yang diberikan oleh konselor kepada konseli agar konseli tersebut dapat menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berbeda dengan dirinya serta mereka mampu untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki anak berkebutuhan khusus tersebut.
D. Tujuan Bimbingan dan Konseling pada Anak Berkebutuhan Khusus
Menurut Drs. Dewa Ketut Sukardi MBA., MM. bimbingan dan konseling memiliki tujuan umum dan khusus. Adapun tujuan umum bimbingan dan konseling adalah sebagai berikut: 1. Tujuan umum dari layanan bimbingan dan konseling adalah sesuai dengan tujuan pendidikan sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang sistem pendidikan nasional (UUSPN) tahun 2003 (UU No. 20/2003), yaitu terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya yang cerdas, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan ruhani kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Secara umum, tujuan bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus adalah untuk membantu anak berkebutuhan khusus dalam mengembangkan diri dan menyesuaikan dirinya secara optimal sesuai dengan hambatan, gangguan, atau kelainannya. Sesuai dengan pengertian bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus sebagai upaya membentuk perkembangan dan kepribadian siswa secara optimal sesuai dengan kemampuan anak tersebut, maka secara umum layanan bimbingan dan konseling di sekolah haruslah dikaitkan dengan sumberdaya manusia. Yaitu dengan menerapkan layanan bimbingan dan konseling untuk membantu anak berkebutuhan khusus dalam mengenal bakat, minat, dan kemampuannya serta mengembangkan potensinya secara optimal sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. 2. Tujuan khusus dari layanan bimbingan dan konseling adalah bertujuan untuk membantu siswa agar dapat mencapai tujuan-tujuan perkembangan yang meliputi aspek pribadi-sosial, belajar, dan karier. Tujuan khusus bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus disesuaikan dengan kebutuhan anak tersebut yang mana ia dapat menjadi lebih percaya diri, dapat bergaul, menghadapi dirinya sendiri dan juga mengenal potensi dirinya. Sedangkan menurut Sunardi dalam Lutfi Isni Badiah (2017), selain modifikasi dalam segi pembelajaran dan sarana prasarana sekolah, ABK juga memerlukan layanan bimbingan konseling yang juga berorientasi pada kebutuhan masing-masing individu ABK. Secara umum tujuan bimbingan dan konseling pada hakekatnya harus merujuk, bermuara, bernuansa, dan seirama dengan tujuan pendidikan nasional. Secara khusus tujuan bimbingan dan konseling anak berkebutuhan khusus harus merefleksikan kebutuhan khususnya, membantu individu memperkembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap perkembangan dan predisposisi yang dimilikinya (kemampuan, bakat, minat, permasalahan, dan kebutuhannya), serta sesuai dengan latar belakang sosial budaya dan tuntutan positif lingkungan.