Anda di halaman 1dari 23

TUGAS I

PENDIDIKAN INKLUSIF

RESUME:
HAKIKAT PENDIDIKAN INKLUSIF

DOSEN PENGAMPU:
Dr. Hj. Irdamurni, M.Pd.

NAMA : AMINAH DAULAY


NIM :19006006

BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2020
A. Pengertian Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusi adalah bentuk penyelenggaraan pendidikan yang
menyatukan anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak normal pada
umumnya untuk belajar. Menurut Hildegun Olsen (Tarmansyah, 2007;82),
pendidikan inklusi adalah sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa
memandang kondisi fisik, intelektual, sosial emosional, linguistik atau kondisi
lainnya. Ini harus mencakup anak-anak penyandang cacat, berbakat. Anak-anak
jalanan dan pekerja anak berasal dari populasi terpencil atau berpindah-pindah.
Anak yang berasal dari populasi etnis minoritas, linguistik, atau budaya dan anak-
anak dari area atau kelompok yang kurang beruntung atau
termajinalisasi.Pendidikan inklusi adalah sebuah pelayanan pendidikan bagi
peserta didik yang mempunyai kebutuhan pendidikan khusus di sekolah regular
( SD, SMP, SMU, dan SMK) yang tergolong luar biasa baik dalam arti kelainan,
lamban belajar maupun berkesulitan belajar lainnya. (Lay Kekeh Marthan,
2007:145)Menurut Staub dan Peck (Tarmansyah, 2007;83), pendidikan inklusi
adalah penempatan anak berkelainan ringan, sedang dan berat secara penuh di
kelas. Hal ini menunjukan kelas regular merupakan tempat belajar yang relevan
bagi anak-anak berkelainan, apapun jenis kelainanya.Dari beberapa pendapat,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan inklusi adalah pelayanan
pendidikan untuk peserta didik yang berkebutuhan khusus tanpa memandang 12
kondisi fisik, intelektual, sosial emosional, linguistik atau kondisi lainnya untuk
bersama-sama mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah regular ( SD, SMP,
SMU, maupun SMK).
Dengan demikian yang dimaksud pendidikan inklusif adalah sitem layanan
pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-
sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya ( Sapon Shevin
dalam O’Neil 1994). Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah
yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan
program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan
kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang
dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil (Stainback, 1980).
B. Pendidikan Segresi, Pendidikan Terpadu, dan Pendidikan Inklusif

PENDIDIKAN SEGREGASI

1. Hakikat Pendidikan segregasi

Sistem pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan dimana anak berkebutuhan


khusus terpisah dari sistem pendidikan anak pada umumnya. Penyelengggaraan
sistem pendidikan segregasif dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari
penyelenggaraan pendidikan untuk anak pada umumnya.

Pendidikan segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus


dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini
berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis
kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak
tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa),
SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB)
terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan
pendidikan khusus, maka sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali
dari sistem pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan
kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan
evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain aspek
perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan pergaulan
yang terbatas.

1. Fasilitas dan sarana Pendidikan segregasi

 Tersedia alat-alat bantu belajar yang dirancang khusus untuk siswa.


Sebagai contoh tunanetra, seperti buku-buku Braille, alat bantu hitung
taktual, peta timbul, dll.
 Jumlah siswa dalam satu kelas tidak lebih dari delapan orang sehingga
guru dapat memberikan layanan individual kepada semua siswa.
 Lingkungan sosial ramah karena sebagian besar memiliki pemahaman
yang tepat mengenai disability anak.
 Lingkungan fisik aksesibel karena pada umumnya dirancang dengan
mempertimbangkan masalah mobilitas disability, dan kami mendapat
latihan keterampilan orientasi dan mobilitas, baik dari instruktur O&M
maupun tutor sesama disability.
 Dapat menemukan orang disability yang sudah berhasil yang dapat
dijadikan sebagai

2. Bentuk-bentuk system pendidikan segregasi:

 Sekolah Luar Biasa


 Sekolah Dasar Luar Biasa
 Kelas Jauh/Kelas Kunjung
 Sekolah Berasrama
 Hospital School

PENDIDIKAN INTEGRASI

1. Hakikat Pendidikan Integraasi

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa banyak anak dengan


disabilias kurang, belajar bersama anak pada umumnya, tetapi mereka tidak
memperoleh pelayanan pendidikan secara memadai atau mereka tidak
mendapatkan sekolah dengan alasan yang tidak jelas. Hal ini disebabkan salah
satunya karena kurangnya sumber daya manusia dan banyak tenaga ahli yang
belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang anak dengan disabilitas kurang
atau rasio penyelenggaraan yang sangat mahal, sehingga masih sedikit sekolah
yang mau menerima mereka karena berbagai alasan di atas. Menyelenggarakan
pendidikan integrasi disekolah merupakan kemajuan yang baik, tetapi tidak
semudah membalikkan tangan. Namun kita harus berani memulai supaya anak
dengan disabilitas kurang mendapat tempat dan penanganan yang terbaik.

Konsep pendidikan integrasi memiliki penafsiran yang bermacam-macam antara


lain:

 Menempatkan anak dengan disabilitas dengan anak pada umumnya secara


penuh
 Pendidikan yang berupaya mengoptimalkan perkembangan kognisi,
emosi, jasmani, intuisi
 Mengintegrasikan pendidikan anak autis dengan pendidikan pada
umumnya
 Mengintegrasikan apa yang dipelajari disekolah dengan tugas masa depan
 Mengintegrasikan manusia sebagai mahluk individual sekaligus mahluk
social

Konsekuensi dari perubahan-perubahan tersebut adalah bahwa beberapa siswa


yang mungkin sebelumnya menghabiskan seluruh waktu sekolahnya dalam
lingkungan yang terpisah, sekarang akan mempunyai kelas regular. Oleh karena
itu merupakan hal yang penting bahwa guru kelas regular merasa berkopeten
untuk mengajar semua siswa. 

1. Istilah Integrasi

Istilah yang luas untuk merujuk pada bersekolahnya seorang anak berkebutuhan
khusus pada sekolah regular. Dapat diartikan pada proses memindahkan seorang
siswa pada lingkungan yang tidak terlalu terpisah. Seorang anak berkebutuhan
khusus yang bersekolah pada sekolah regular, tetapi berada pada unit atau kelas
khusus. Meskipun siswa tersebut berada pada kelas khusus, jelas bahwa apabila
kelas tersebut pada sekolah regular, peluang untuk berinteraksi dengan warga
sekolah secara umum jauh lebih besar dari pada anak yang berada pada sekolah
khusus yang terpisah.
Banyak sekolah yang mempunyai kelas khusus mempunyai program khusus untuk
mendorong interaksi antara siswa dengan dan tanpa kebutuhan pendidikan
khusus. Misalnya, pada beberapa sekolah, anak-anak menghabiskan pagi harinya
pada kelas khusus dan siangnya pada kelas regular. Para guru dan asisten dari
kelas khusus biasa mendukung penempatan pada kelas khusus. Peluang-peluang
bagi interaksi tersebut, berdasarkan atas prinsip normalisasi. Jauh mungkin untuk
terjadi apabila anak tersebut diintegrasikan pada sekolah reguler.

PENDIDIKAN INKLUSI

1. Hakikat Pendidikan Inklusi

Sekolah Inklusi adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan


mengintegrasikan siswa reguler dan siswa berkebutuhan khusus dalam program
yang sama, dari satu jalan untuk menyiapkan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus adalah pentingnya pendidikan Inklusif, tidak hanya memenuhi target
pendidikan untuk semua dan pendidikan dasar 9 tahun, akan tetapi lebih banyak
keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak
tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan Inklusi mulai
dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di mana
akan menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian anak berkebutuhan
khusus akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai, dilindungi, disayangi,
bahagia dan bertanggung jawab. Inklusi terjadi pada semua lingkungan sosial
anak, pada keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, dan pada
institusi-institusi kemasyarakatan lainnya.

Pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi


sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat
menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh daam pendidikan.  Inklusi
merupakan perubahan praktis yang memberi peluang anak dengan latar belakang
dan kemampuan yang berbeda bisa berhasil dalam belajar. Perubahan ini tidak
hanya menguntungkan anak yang sering tersisihkan, seperti anak berkebutuhan
khusus, tetapi semua anak dan orangtuanya, semua guru dan administrator
sekolah, dan setiap anggota masyarakat.

 Inklusi memang mengikut sertakan anak berkebutuhan khusus. Namun, secara


luas inklusif juga berarti melibatkan seluruh peserta didik tanpa terkecuali,
seperti:

1. anak yang menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa pengantar


yang digunakan di dalam kelas.
2. anak yang beresiko putus sekolah karena sakit, kelaparan atau tidak
berprestasi dengan baik.
3. anak yang berasal dari golongan agama atau kasta yang berbeda.
4. anak yang terinfeksi HIV atau AIDS, dan
5. anak yang berusia sekolah tetapi tidak sekolah.

Prinsip-prinsip dasar pendidikan inklusi, yang membedakan dengan sistem


integrasi, apalagi segregasi adalah: 

1. Semua anak, siapapun dia, memiliki hak untuk menempuh pendidikan di


sekolah mana pun, dan sekolah wajib menerima murid, siapapun dia.
2. Setiap anak/murid adalah individu yang unik, olehkarenanya, sistem
pendidikan harus dibuat fleksibel, memberikan kemungkinan pada guru
untuk melakukan penyesuaian, guna mengakomodasikan kebutuhan
khusus setiap siswa.
3. Sistem pendidikan dalam suatu negara harus dibuat satu sistem, dan sistem
pendidikan untuk anak-anak yang menyandang kecacatan merupakan
bagian integral dari sistem pendidikan umum tersebut; bukan terpisah atau
khusus.

 
Guru-guru di sekolah umum harus memiliki wawasan dan keterampilan untuk
mengajar siswa, siapa pun dia. Itu sebabnya, pendidikan/pelatihan untuk guru
harus melakukan penyesuaian dengan sistem ini. Inklusi berarti bahwa sebagai
guru bertanggung jawab untuk mengucapkan bantuan dalam menjaring dan
memberikan layanan pendidikan pada semua anak dari otoritas sekolah,
masyarakat, keluarga, lembaga pendidikan, layanan kesehatan, pemimpin
masyarakat, dan lain-lain.

C. Konvensi tentang pendidikan inklusif baik nasional maupun internasional

Konsep Kebijakan Pemerintah Tentang Pendidikan Inklusif


Secara filosofs maupun legal formal. Hak mendapatkan pendidikan bermutu
bagi semua warga negara. Termasuk para penyandang disabilitas atau difabel
telah dijamin oleh berbagai aturan perundangan di indonesia. Pembukaan UUD
1945 yang merupakan jiwa dari UUD 1945 dan seharus juga menjiwai keseluruh
proses penyelenggaraan negara ini. Menyatakan bahwa “mencerdaskan kehidupan
bangsa dan seluruh tumpah dara indonesia” merupakan salah satu tujuan dari
berdirinya negara republik indonesia. Selanjutnya, dalam pasal 31 ayat 1 UUD
1945 disebutkan bahwa “setiap warga negara berhak atas mendapatkan
pendidikan”. Dengan memperhatikan dua petikan dari konstitusi ini saja kita
dapat menyimpulkan dua hal berikut:
a. Pendidikan merupakan aspek yang dipandang sangat penting bagi bangsa dan
negara indonesia.
b. Pendidikan dijamin untuk setiap warga negara apapun keadaannya.
Khusus terkait dengan difabel atau dalam buku ini juga disebut dengan
penyandang disambilitas. Undang-Undang No. 4 tahun 1997 tentang penyandang
cacat menjamin adanya kesempatan yang sama bagi difabel pada semua aspek
kehidupan. Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang khususnya menyatakan bahwa difabel
berhak mendapatkan layanan pendidikan yang layak semua jenjang pendidikan.
Menurut pasal 3 the World Declaration on Higher Education, negara harus
menjamin adanya kesempatan dan hak-hak yang sama untuk mengakses
pendidikan tinggi (equal access to higher education), namun perlu di ingat bagi
difabel equal access harus di artikan lebih dari sekedar kesempatan yang sama
untuk dapat mendaftar di perguruan tinggi. Equal access badi difabel hanya dapa
direalisasikan melalui adanya dukungan institusi dan modifikasi lingkungan
belajar. Dengan kata lain, diperlukan sebuah sistem dan lingkungan akademis
yang inklusif dalam arti mampu menjawab kebutuhan semua mahasiswa atau
anak-anak sejak dini sudah mengalami difabel. Pelaksanaan pendidikan inklusif
baik di kaca internasional maupun nasional ditunjukan oleh beberapa konsensus.
Undang-Undang, kebijakan yang terurai dalam paparan di bawah ini.

a. Internasional
Banyak berasumsi bahwa salah satu kunci mengapa pendidikan inklusif menjadi
sebuah tren atau harus di selenggarakan secara internasional adalah karena
diadopsinya konsep ini dalam berbagai kesepakatan dan deklarasi internasional.
Andayani dkk
(2013).
1) 1948: Deklarasi Universitas Hak Asasi Manusia
Deklarasi Universitas Hak Asasi Manusia 1948 menegaskan bahwa: “Setiap orang
mempunyai hak atas pendidikan”. Namun, anak dan orang dewasa penyandang
cacat sering kali direnggut haknya fundamental ini. Hal ini sering didasarkan atas
asumsi bahwa penyandang cacat tidak dipandang sebagai umat manusia yang
utuh. Maka pengecualian pun diberlakukan dalam hal mak universalnya.
2) 1989: konvensi PBB tentang Hak Anak
Konversi ini telah ditandatangani oleh semua negara kecuali amerika serika dan
somalia. Yang menyatakan bahwa pendidikan dasar seyogyakarta “wajib dan
bebas biaya bagi semua “(pasal 28). Konversi tentang Hak Anak PBB memiliki
empat Prinsip Umum yang menaungi semua pasal lainya termasuk pasal tentang
pendidikan :
(1) No diskriminasi (pasal 2) menyebut secara spesifik tentang anak penyandang
cacat, (2) Kepentingan terbaik Anak (pasal 3), (3) Hak untuk kelangsungan Hidu
dan perkembangan (pasal 6) (4) Menghargai Pendapat Anak (pasal 12).
Perlu digarisbawahi, bahwa “kesemua hak itu tak dapat dipisahkan dan saling
berhubungan”. Hal ini berarti bahwa meskipun menyediakan pendidikan di
sekolah luar biasa untuk anak penyandang cacat itu memenuhi haknya atas
pendidikan.
3) 1990: Deklarsi Dunia tentang pendidikan untuk semua Jomtien.
Tahun 1990 di Jomtien Thailand, PBB menyelenggarakan The Word Education
Forum yang dihadiri 155 negara dan puluhan NGO dari seluruh dunia. Forum
yang merupakan follow up dari konvensi Hak anak ini melahirkan deklarasi
“Education for All” yang menargetkan bahwa pada tahun 2000 (sekarang
diperbaharui menjadi 2015) semua anak didunia harus mendapatkan kesempatan
untuk menyelesaikan pendidikan dasar.
4) 1993: Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para penyandang
cacat.
5) 1994: PBB menyelenggarakan the World Conference on special Needs
Education di salamanca. Spanyol bertujuan untuk mendorong masyarakat
internasional memberikan atensi yang lebih pada anak difabel dalam target EFA.
Forum inilah yang melahirkan apa yang dikenal dengan statemen Salamanca
dimana terminologi dan konsep Inklusi untuk pertama kali dimunculkan. Melalui
statement ini PBB merekomendasikan semua negara mengadopsi prinsip inklusi
dalam semua kebijakan pendidikannya.
6) Kebijakan-kebijakan Internasional lain khusus Difabel
7) 2001: Flagship PUS (Pendidikan Untuk Semua) tentang pendidikan dan
kecacatan. Program ini diluncurkan pada akhir tahun 2001 dengan tujuan :
“menempatkan isu kecacatan dengan tepat pada agenda pembangunan dan
memajukan pendidikan inklusif sebagai pendekatan utama untuk mencapai tujuan
8) Kebijakan Internasional khusus difabel seperti UN standard Rule on the
Equalization of Opportunities fo Persons with Disabilities 2007 sering dirujukan
sebagai landasan moral ataupun legal Inklusi.
b. Nasional
Kebijakan pemerintah sebagai komitmen untuk mewujudkan penyelenggaraan
pendidikan inklusif di Indonesia, dapat ditandai dengan lahirnya Undang-undang
sebagai berikut:
1) UU No. 4 tahun 1997 tentang pernyandang anak cacat.
Dalam UU ini terdapat beberapa poin penting yang ingin mempertegas dalam hal
pendidikan inklusif yaitu;
1) Landasan, asas, dan tujuan. Pasal 2, yang berbunyi
Upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat berlandaskan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 3, Upaya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 Berasaskan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
manfaat kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, keserasiandan keselarasan
dalam perikehidupan, hukum, kemandirian, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 4, Upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang diselenggarakan
melalui pemberdayaan penyandang cacat bertujuan terwjudnya kemandirian dan
kesejahteraan,
2) Hak dan kewajiban yaitu; pada Pasal 5, Setiap peyandang cacat mempunyai
hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan,
Pasal 6, Setiap penyandang cacat berhak memperoleh: (Pendidikan pada semua
satuan, jalur, jenis,dan jenjang pendidikan), (Pekerjaan dan penghidupan yang
layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya),
(Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-
hasilnya, Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya), (Rehabilitas, bantuan
sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial), dan (Hak yang sama untuk
menumbuhkembangkan bakat, kemampuan,dan kehidupan sosialnya, terutama
bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat). Pasal 7
menyatakan yang berkenaan kewajiban yaitu, Setiap penyandang cacat
mempunyai kewajiban yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara, Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksanaannya
disesuikan dengan jenis dan derajat kecacatan,pendidikan, dan kemampuannya,
3) Kesamaan kesempatan. Pada pasal 9 yang berbunyi, Setiap penyandang cacat
mempunyai kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan, begitupun dalam Pasal 10 sampai pasal 15. Mungkin tiga poin
penting ini cukup memperjelas kenapa pendidikan inklusif ini penting sekalipun
masih ada beberapa poin yang di jelaskan dalan UU No. 4 Tahun 1997 pasal 5
tentang pernyandang anak cacat. 3) UU No. 23 tahun 2002 pasal 48 dan 49
tentang perlindungan anak. Pasal 48 Pemerintah wajib menyelenggarakan
pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. Pasal 49 Negara,
pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-
luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan. Dalam UU ini pun semakin
memperjelas bagaimana seorang anak mendapatkan hak yang sama baik dalam
hak mendapatkan pelayanan kesehatan, jaminan sosial, mendapatkan
perlindungan seperti yang dinyatakan dalam pasal 1 sampai 2 maupun
mendapatkan pendidikan yang sesuai minat dan bakanya seperti yang terdapat
pada Pasal 9.
4) UU No. 20 tahun 2003 pasal 5, ayat 1 sampai dengan 4 tentang system
pendidikan Nasional yaitu ; Setiap warga negara mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, 2) Warga negara yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh
pendidikan khusus, 3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta
masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, 4)
Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus, 5) Setiap warga negara berhak mendapat
kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. 5) Surat Edaran Dirjen
Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kemendiknas No.
380/C.C6/MN/2003, tanggal 20 Januari 2003. 6) Permendiknas No. 70 tahun
2009 tentang Pendidikan Inklusif. 7) PP No. 17 tahun 2010 pasal 127 sampai
dengan 142, tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Ashman, A. & Elkins,J. (1994).Educating Children With Spercial Needs. New
York : Prentice Hall.
Baker,E.T.(1994). Metaanalysis enidence for non- inclusive Educational
practices. Disertasi. Temple University. Colley,
Helen.(2003).Mentoring for Social Inclusion, London : Routledge Falmer.
Fish,J.(1985). Educational opportunities for All. London : Inner London
Educational Authority.
Johnsen,Berit H dan Miriam D.Skjorten.(2003) Pendidikan Kebutuhan khusus;
Sebuah Pengantar, Bandung : Unipub.
O’Neil,J.(1994/1995).Can inclusion work.A Conversation With James Kauffman
and Mara Sapon-Shevin. Educational Leadership. 52(4) 7-11. Skidmare,
David.(2004). Inclusion the Dynamic of School Development. New York : Open
University Press.
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
UNESCO.(1994).The Salamanca Statement and Framework For Action on
Special Needs Education. Paris : Auth
Andayani, dkk, 2013, Disabilitas dan Pendidikan Tinggi: Bunga Rampai
Penelitian, Yogyakarta : Samudra Biru.
Depdiknas, 2003, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Jakarta.
Depdiknas. 2007. Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Jakarta:
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.
Kustawa Dedy dan Yani Meimulyani, 2013 Mengenal Pendidikan dan
Pendidikan Layanan Khusus Serta Implementasinya, Jakarta : Luxima Metro
Media.
Mujito. Dkk, 2012, Pendidikan Inklusif . Jakarta: Baduose Media Jakarta.
Muyono Abdurrahman, 1999, Pendidikan Bagi Anak berkesulitan Belajar.
Jakarta: Rineka.
Yusraini, 2013, Kebijakan Pemerintah Terhadap pendidikan Inklusif, Jurnal
Kependidikan Edisi, Januari, Vol, 28.
TUGAS I
PENDIDIKAN INKLUSIF

RESUME:
HAKIKAT PENDIDIKAN INKLUSIF

DOSEN PENGAMPU:
Dr. Hj. Irdamurni, M.Pd.

NAMA : AMINAH DAULAY


NIM :19006006

BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2020
A. Pengertian Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusi adalah bentuk penyelenggaraan pendidikan yang
menyatukan anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak normal pada
umumnya untuk belajar. Menurut Hildegun Olsen (Tarmansyah, 2007;82),
pendidikan inklusi adalah sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa
memandang kondisi fisik, intelektual, sosial emosional, linguistik atau kondisi
lainnya. Ini harus mencakup anak-anak penyandang cacat, berbakat. Anak-anak
jalanan dan pekerja anak berasal dari populasi terpencil atau berpindah-pindah.
Anak yang berasal dari populasi etnis minoritas, linguistik, atau budaya dan anak-
anak dari area atau kelompok yang kurang beruntung atau
termajinalisasi.Pendidikan inklusi adalah sebuah pelayanan pendidikan bagi
peserta didik yang mempunyai kebutuhan pendidikan khusus di sekolah regular
( SD, SMP, SMU, dan SMK) yang tergolong luar biasa baik dalam arti kelainan,
lamban belajar maupun berkesulitan belajar lainnya. (Lay Kekeh Marthan,
2007:145)Menurut Staub dan Peck (Tarmansyah, 2007;83), pendidikan inklusi
adalah penempatan anak berkelainan ringan, sedang dan berat secara penuh di
kelas. Hal ini menunjukan kelas regular merupakan tempat belajar yang relevan
bagi anak-anak berkelainan, apapun jenis kelainanya.Dari beberapa pendapat,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan inklusi adalah pelayanan
pendidikan untuk peserta didik yang berkebutuhan khusus tanpa memandang 12
kondisi fisik, intelektual, sosial emosional, linguistik atau kondisi lainnya untuk
bersama-sama mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah regular ( SD, SMP,
SMU, maupun SMK).
Dengan demikian yang dimaksud pendidikan inklusif adalah sitem layanan
pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-
sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya ( Sapon Shevin
dalam O’Neil 1994). Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah
yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan
program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan
kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang
dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil (Stainback, 1980).

B. Sejarah pendidikan inklusif


Perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan
diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di
Amerika Serikat pada tahun1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar-
pakar Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming
dan Least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di
Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai
memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya
pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke
integratif.
Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata
terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan
konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan
deklarasi ’education for all’. Implikasi dari statemen ini mengikat bagi semua
anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan
khusus) mendapatkan layanana pendidikan secara memadai.Sebagai tindak lanjut
deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di
Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang
selanjutnya dikenal dengan ’the Salamanca statement on inclusive education”
yang berbunyi :
(1)Semua anak sebaiknya belajar bersama
(2) Pendidikan didasarkan kebutuhan siswa
(3)ABK diberi layanan khusus

C. Tujuan pendidikan inklusif


Pendidikan inklusif di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan :
a)      Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk
anak berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan
kebutuhannya.
b)      Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar.
c)      Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan
menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah.
d)     Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak
diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran.
e)      Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Ps. 32 ayat 1
yang berbunyi ’setiap warga negara negara berhak mendapat pendidikan’, dan
ayat 2 yang berbunyi ’setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya’. UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, khususnya Ps. 5 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara mempunyai
hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’. UU No. 23/2002
tentang Perlindungan Anak, khususnya Ps. 51 yang berbunyi ’anak yang
menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikana kesempatan yang sama dan
aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.

D. Landasan Pendidikan Inklusi


Penerapan pendidikan inklusif di Indonesia dilandasi oleh:
1.        Landasan filosofis
Landasan filosofis bagi pendidikan Inklusif di Indonesia yaitu:
a.       Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang Negara
burung Garuda yang berarti “bhineka tunggal ika”. Keragaman dalam etnik,
dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan kekayaan bangsa
yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam NKRI.
b.      Pandangan agama (khususnya islam): manusia dilahirkan dalam keadaan
suci, kemuliaan manusia di hadapan Tuhan (Allah) bukan karena fisik tetapi
takwanya, allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri,
manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturrahmi.
c.       Pandangan universal hak azasi manusia menyatakan bahwa setiap manusia
mempunyai hak untuk hidup layak, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.
d.      Pendidikan inklusi merupakan implementasi pendidikan yang berwawasan
multikulturalyang dapat membantu peserta didik mengerti, menerima, serta
menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya, nilai, kepribadian, dan
keberfungsian fisik maupun psikologis.
2.        Landasan yuridis
a.       Nasional
1)      UUD 1945 (amandemen) pasal 31
a)      Ayat(1): “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”
b)      Ayat(2): “setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya”
2)      UU No. 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional pasal 5
a)      Ayat(1): setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu
b)      Ayat(2): warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional,
intelektual, dan atau social berhak memperoleh pendidikan khusus
c)      Ayat(3): warga Negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat
adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus
d)     Ayat(4): warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
3)      UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
a)      Pasal 48: pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9
(Sembilan) tahun untuk semua anak.
b)      Pasal 49: Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.
4)      UU No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat
Pasal 5: setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama
dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
5)      Permendiknas No. 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta
didik yang memiliki kelainan dan potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa
6)      Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380/C.C6/MN/2003 20
januari 2003: “setiap kabupaten/kota diwajibkan menyelenggarakan dan
mengembangkan pendidikan di sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang
terdiri dari: SD, SMP,SMA, SMK.
7)      Deklarasi Bandung: “Indonesia menuju pendidikan inklusif” tanggal8-14
agustus 2004
a)      Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkelainan lainnya
mendapatkan kesempatan akses dalam segala aspek kehidupan, baik dalam bidang
pendidikan, kesehatan, social, kesejahteraan, keamanan, maupun bidang lainnya,
sehingga menjadi generasi penerus yang handal
b)      Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkelainan lainnya sebagai
individu yang bermartabat, untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi,
pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat,
tanpa perlakuan diskriminatif yang merugikan eksistensi kehidupannya baik
secara fisik, psikologis, ekonomis, sosiologis, hokum, politis maupun kultural
c)      Menyelenggarakan dan mengembangkan pengelolaan menciptakan
lingkungan yang mendukung bagi anak berkelainan dan anak berkelainan lainnya,
sehingga memungkinkan mereka dapat mengembangkan keunikan potensinya
secara optimal
d)     Menjamin kebebasan anak berkelainan dan anak berkelainan lainnya untuk
berinteraksi baik secara reaktif maupun proaktif dengan siapapun, kapanpun, dan
di lingkungan manapun, dengan meminimalkan hambatan
e)      Mempromosikan dan mensosialisasikan layanan pendidikan inklusif melalui
media masa, forum ilmiah, pendidikan dan pelatihan dan lainnya secara
berkesinambungan
f)       Menyususn rencana aksi (action plan) dan pendanaannya untuk pemenuhan
aksesibilitas fisik dan non-fisik, layanan pendidikan yang berkualitas, kesehatan,
rekreasi, kesejahteraan bagi semua anak berkelainan dan anaka berkelainan
lainnya
g)      Pendidikan inklusif yang ditunjang kerja sama yang sinergis dan produktif
antara pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industry,
orang tua serta masyarakat.
b.      Internasional
1)      Salamanca statement and framework for action on special needs education
(1994)
Article 2: We believe and pro claim that:
a)      EVERY CHILD HAS A FUNDAMENTAL RIGHT TO EDUCATION, and
must be given the opportunity to achieve and maintain and acceptable level of
learning
b)      EVERY CHILD has UNIQUE CHARACTERISTIC, INTERESTS,
ABILITIES, and LEARNING NEEDS
c)      Educations systems should be designed and educational programmes
implemented to take into account the WIDE DIVERSITY OF THESE
CHARACTERISTIC and NEEDS
d)     Those with SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS MUST BE ACCESS TO
REGULAR SCHOOLS which should accommodate them within should a child
centred pedagogy capable of meeting these needs
e)      REGULAR SCHOOLS WITH THIS INCLUSIVE ORIENTATION are the
most effective means of COMBATING DISCRIMINATORY ATTITUDES,
CREATING WELCOMING COMMUNITIES BUILDING IN INCLUSIVE
SOCIETY AND ACHIEVING EDUCATION FOR ALL; more over, they
provide an effective education to the majority of children and improve the
efficiency and ultimately the cost-effectiveness of entire education system
Article 3
a)      The guiding principle that informs thir Framework is that schools should
ACCOMMODATE ALL CHILDREN regardless of their physical, intellectual,
social, emotional, linguistic, or other conditions
b)      This should include DISABLE and GIFTED CHILDREN, STREET and
WORKING CHILDREN, CHILDREN FROM REMOTE or NOMADIC
POPULATIONS, CHILDREN FROM LINGUISTIC, ETHNIC OR CULTURAL
MINORITIES and children from other DISADVANTEGED or
MARGINALIZED AREAS OR GROUPS
c)      These conditions create a range of different challenges to school systems. In
the context of this Framework, the term special educational needs refers to all
those children and youth whose needs arise from disabilities ornlearning
difficulties
d)     Many children experience learning difficulties and thus have special
educational needs are some time during their scooling
e)      SHOOLS HAVE .TO FIND WAYS of successfully EDUCATING ALL
CHILDREN, including those who have serious disadvantages and disabilities
f)       There is an emerging consensus that CHILDREN AND YOUTH WITH
SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS should be INCLUDED in the
EDUCATIONAL ARRANGEMENTS made for the MAJORITY OF
CHILDREN
g)      This has led to the CONCEPT OF THE INCLUSIVE SCHOOL is that of
DEVELOPING A CHILD-CENTRED PEDAGOGY CAPABLE of successfully
educating all children, INCLUDING those who have SERIOUS
DISADVANTAGES AND DISABILITIES.
2)      Deklarasi Bukittinggi tahun 2005
a)      Sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara
menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk “Pendidikan
Untuk Semua” adalah vbenar-benar untuk semua
b)      Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua memperoleh pendidikan dan
pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai
bagian dari program-program untuk perkembangan anak usia dini, pra-sekolah,
pendidikan dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum
diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih
rentan terhadap marginalisasi dan enklusi
c)      Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai
dan mengnhormati perbedaan individusemua warga Negara
3.        Landasan pedagogis
Pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas menyebutkan bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang
demokratis dan bertanggung jawab. Jadi melalui pendidikan, peserta didika
berkelaian dibentuk menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung
jawab, yaitu individu yang mampu menghargai peerbedaan dan berpartisipasi
dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka
diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun
kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.
4.        Landasan empiris
Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di Negara-negara barat
sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar yang dipelopori oleh the
National Academy of Science (AS). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan
penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak effective
dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara
segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat
(Heller, Holtzman & Messick, 1982). Beberapa pakar bahkan mengemukakan
bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak
berkelainan secara tepa, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen
(Baker, Wang, dan Walberg, 1994/1995)
Prisoner (2003) yang melakukan survey pada kepala sekolah tentang sikap
mereka terhadap pendidikan inklusif menemukan bahwa hanya satu dari lima
sekolah tersebut yang memiliki sikap postif tentang penerapan pendidikan
inklusif. Dalam suatu penelitian menemukan bahwa guru-guru dalam sekolah
inklusif lebih memiliki sikap positif terhadap peran guru inklusi dan dampaknya
daripada guru pada sekolah regular. Meyer (2001) mengatakan bahwa siswa yang
memiliki kecacatan yang cukup ditemukan untuk memiliki keberhasilan yang
lebih besar manakala mereka memperoleh pendidikan dalam lingkungan yang
menerima mereka khususnya yang berkaitan dengan hubungan social dan
persahabatan mereka dengan masyarakatnya

E. Prinsip penyelenggaraan pendidikan inklusif


Dalam tataran praktis pembelajaran, inklusi merupakan suatu perubahan yang
dapat menguntungkan tidak hanya anak berkebutuhan khusus akan tetapi juga
anak pada umumnya dalam kelas. Prinsip paling mendasar dalam pendidikan
inklusif adalah bagaimana agar peserta didik dapat belajar bersama, belajar untuk
dapat hidup bersama. Johnsen dan Miriam Skojen (2003) menjabarkan dalam tiga
prinsip, yaitu (1) bahwa setiap anak termasuk dalam komunitas setempat dan
dalam suatu kelas atau kelompok,  (2) bahwa hari sekolah diatur penuh dengan
tugas-tugas pembelajaran koopertif dengan perbedaan pendidikan dan fleksibilitas
dalam memilih dengan sepuas hati, dan (3) guru bekerja bersama dan mendapat
pengetahuan pendidikan umum, khusus dan teknik belajar individu serta
keperluan-keperluan pelatihan dan bagaimana mengapresiasikan keanekaragaman
dan perbedaan individu dalam pengorganisasin kelas.
Sementara itu, Mulyono dalam Sri Wahyu Ambarwati (2005)
mengidentifikasikan prinsip pendidikan inklusif ke dalam sembilan elemen  dasar
yang memungkinkan pendidikan inklusif dapat dilaksanakan.
1.      Sikap guru yang positif terhadap kebhinekaan
Elemen paling penting dalam pendidikan inklusif adalah sikap guru
terhadap siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus. Sikap guru tidak
hanya berpengaruh terhadapclassroom setting tetapi juga dalam pemilihan strategi
pembelajaran.
Sikap positif guru terhadap keragaman kebutuhan siswa dapat ditingkatkan
dengan cara memberikan informasi yang akurat tentang siswa dan cara
penanganannya (Johnson & Johnson, 1984 dalam Whayu Sri Ambarwati, 2005).
2. Pencapaian kompetensi akademik dan sosial
Pendidikan inklusif tidak hanya menekankan pencapaian tujuan dalam
bentuk kompetensi akademik tetapi juga kompetensi sosial. Oleh sebab itu,
perencanaan pembelajaran harus melibatkan tidak hanya pencapaian tujuan
akademik (academic objectives) tetapi juga tujuan keterampilan bekerjasama
(collaborative skills objectives). Tujuan keterampilan bekerjasama mencakup
keterampilan memimpin, memahami perasaan orang lain, menghargai
pikiran orang lain, dan tenggang rasa.
3. Pembelajaran adaptif
Ciri khas dari pendidikan inklusif adalah tersedianya program pembelajaran
yang adaftif atau program pembelajaran individual (individualized instructional
programs). Program pembelajaran adaptif tidak hanya ditujukan kepada peserta
didik dengan problema belajar tetapi juga untuk peserta didik yang dikaruniai
keunggulan. Penyusunan program pembelajaran adaptif menuntut keterlibatan
tidak hanya guru kelas atau guru bidang studi tetapi juga guru PLB, orangtua,
guru BK, dan ahli-ahli lain yang terkait.

F. Keutamaan dan sisi positif pendidikan inklusif

Keutamaan:
a)             Membangun kesadaran dan konsensus pentingnya pendidikan inklusif
sekaligus menghilangkan sikap dan nilai yang diskriminatif.
b)            Melibatkan dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan analisis
situasi pendidikan lokal, mengumpulkan informasi semua anak pada setiap distrik
dan mengidentifikasi alasan mengapa mereka tidak sekolah.
c)             Mengidentifikasi hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial dan
masalah lainnya terhadap akses dan pembelajaran.
d)            Melibatkan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring
mutu pendidikan bagi semua anak.
e) Minimal ada lima kelebihan yang berhasil diidentifikasi dalam penerapan
pendidikan inklusi, yaitu:
a.       Berkurangnya rasa takut akan perbedaan individual dan semakin
besarnya rasa percaya dan peduli pada anak luar biasa. Hanya pendidikan
inklusi yang potensial untuk  menekan rasa takut dalam membangun
kebertemanan, tanggung jawab, dan  pemahaman diri.
b.      Peningkatan konsep diri (self concept) baik pada anak luar biasa maupun
pada anak normal. Hal ini akibat dari pergaulan yang terjadi sehingga
menjadikan keduanya saling toleran.
c.       Pertumbuhan kognisi sosial makin berkembang pada keduanya. Mereka
dapat saling membantu satu dengan yang lain, sehingga mendorong
pertumbuhan ssikap sosial, yang pada gilirannya akan menumbuhkan
kognisi sosial.
d.      Pertumbuhan prinsip-prinsip pribadi menjadi lebih baik, terutama dalam
komitmen moral pribadi dan etika. Mereka saling tidak curiga dan merasa
saling membutuhkan. Persahabatan yang erat dan saling membutuhkan.
Mereka merasa saling membutuhkan untuk sharing dalam berbagai hal.
f) Pendidikan inklusif merupakan sarana belajar paling cocok untuk semua anak
dalam hal adaptasi dan sosialisasi. Pendidikan inklusif menjadi wadah yang
wajib bagi semua anak untuk tetap bersosialisasi dengan anak lain yang
memiliki keragaman.
g) Pendidikan inklusif sangat cocok untuk semua anak karena setiap anak
memiliki kebutuhan sendiri-sendiri yang unik, setiap anak mempunyai
karakteristik yang unik yang hanya bisa dikembangkan dengan program-
program yang diindividualisasikan.
h) Pendidikan inklusi lebih efisien dalam penggunaan sumber belajar dengan
adanya dukungan dari berbagai pihak.

Sisi Positif:
a.       Berkurangnya rasa takut akan perbedaan individual dan semakin
besarnya rasa percaya dan peduli pada anak luar biasa. Hanya pendidikan
inklusi yang potensial untuk  menekan rasa takut dalam membangun
kebertemanan, tanggung jawab, dan  pemahaman diri.
b.      Peningkatan konsep diri (self concept) baik pada anak luar biasa
maupun pada anak normal. Hal ini akibat dari pergaulan yang terjadi
sehingga menjadikan keduanya saling toleran.
c.       Pertumbuhan kognisi sosial makin berkembang pada keduanya. Mereka
dapat saling membantu satu dengan yang lain, sehingga mendorong
pertumbuhan ssikap sosial, yang pada gilirannya akan menumbuhkan
kognisi sosial.
d.      Pertumbuhan prinsip-prinsip pribadi menjadi lebih baik, terutama dalam
komitmen moral pribadi dan etika. Mereka saling tidak curiga dan merasa
saling membutuhkan. Persahabatan yang erat dan saling membutuhkan.
Mereka merasa saling membutuhkan untuk sharing dalam berbagai hal.
e. Mempercepat perwujudan konsep wajib belajar dan education for all.
f. Belajar untuk saling menerima, memberi dan menghargai tanpa dibedakan oleh
kecacatan.
g. Melatih anak berkebutuhan khusus secara awal untuk belajar berinteraksi dengan
masyarakat.
h. Meringankan tugas pendidikan luar biasa dalam memberi layanan pendidikan bagi anak-
anak berkebutuhan khusus

DAFTAR PUSTAKA

Ashman,A.& ElkinsJ.1994.Educating Children With Special Needs. New


York:Prentice Hall.
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. 2006. Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. Depdiknas Jakarta (Draf Naskah tidak
diterbitkan)
Johnsen, Berit H dan Miriam D. Skjorten. 2003.Pendidikan Kebutuhan Khusus.
Bandung : Unipub
Mulyono, Abdulrahman. 2003. Landasan Pendidikan Inklusif Dan Implikasinya
dalam penyelenggaraan LPTK. Makalah disajikan dalam pelatihan penulisan
buku ajar Bagi Dosen jurusan PLB yang diselenggarakan oleh Ditjen Dikti.
Yogyakarta.
Stainback,W. & Sianback,S.1990. Support Networks for Inclusive Schooling.
Independent Integrated Education.Baltimore: Paul H.Brooks.
Undang – Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
UNESCO (1994). The Salamanca Statement and Framework For Action on
Special Needs Education. PARIS:Author.
Warnock,H.M.1978. Special Educational Needs:Report of The committee of
Enquiry into the Education of Handicapped Young People. London: Her
Majesty’s, Stationary Office
Abdul salim choiri munawir yusuf. 2009. Pendidikan Anak Nerkebutuhan Khusus
Secara Inklusif. FKIP .UNS
Laelatussy. 2011. Hakikat Pendidikan Inklusi. Diposting pada 2 agustus 2011
diunduh dari http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2194177-
hakikat-tujuan-pendidi kan-inklusi/#ixzz1nq1z1KKy
Suparno. 2008. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Anda mungkin juga menyukai