0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
228 tayangan14 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang layanan bagi siswa berbakat yang berprestasi kurang (underachiever) di sekolah dan keluarga. Definisi siswa berbakat dan underachiever dijelaskan beserta karakteristiknya. Dibahas pula konsep layanan apa saja yang dapat dilakukan sekolah dan keluarga untuk menunjang prestasi siswa berbakat tersebut.
Dokumen tersebut membahas tentang layanan bagi siswa berbakat yang berprestasi kurang (underachiever) di sekolah dan keluarga. Definisi siswa berbakat dan underachiever dijelaskan beserta karakteristiknya. Dibahas pula konsep layanan apa saja yang dapat dilakukan sekolah dan keluarga untuk menunjang prestasi siswa berbakat tersebut.
Dokumen tersebut membahas tentang layanan bagi siswa berbakat yang berprestasi kurang (underachiever) di sekolah dan keluarga. Definisi siswa berbakat dan underachiever dijelaskan beserta karakteristiknya. Dibahas pula konsep layanan apa saja yang dapat dilakukan sekolah dan keluarga untuk menunjang prestasi siswa berbakat tersebut.
LAYANAN BAGI SISWA UNDERACHIEVER: DALAM SEKOLAH DAN KELUARGA
LAYANAN BAGI SISWA UNDERACHIEVER:
DALAM SEKOLAH DAN KELUARGA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sejak kita memperoleh kemerdekaan sapai pada Pelita IV, titik berat pembangunan sektor pendidikan ditempatkan pada perluasan kesempatan belajar. Sedangkan pada Pelita V, titik berat pendidikan diletakkan pada peningkatan mutu di setiap jenjang dan jenis pendidikan. Didalam GBHN 1998 ditekankan perlunya tetap diperhatikan kesempatan belajar dankesempatan meningkatkan keterampilan bagi yang berasal dari : (1) keluarga kurang mampu, (2) penyandang cacat atau pun, (3)yang bertempat tinggal didaerah terpencil. Selain itu ditekankan pula bahwa (4) anak didik berbakat istimewa perlu mendapatkan perhatian khusus agar mereka dapat mengembangkan kemampuannya sesuai dengan tingkat pertumbuhan kepribadiaannya. Untuk ketiga hal tersebut diatas, amanat itu telah dapat diwujudkan. Untuk memberi pelayanan pendidikan bagi mereka yang tergolong kurang mampu, dikenal dengan adanya Program Kejar Paket A; bagi anak yang bertempat tinggal didaerah terpencil, dikenal dengan adanya SD kecil, dan bagi mereka yang menyandang cacat, dikenal dengan adanya Sekolah Luar Biasa, Sekolah Dasar Luar Biasa dan Sekolah Terpadu. Sedangkan untuk anak didik yang berbakat, sampai saat ini belum terwujud, meskipun telah sering diselenggarakan pertemuan-pertemuan ilmiah yang membahas masalah tersebut, bahkan pernah diuji cobakan penyelenggaraan pendidikan bagi mereka ( yang tergolong berbakat) di jenjang pendidikan SD, SLTP, dan SMU, di DKI Jakarta dan Cianjur Jawa Barat, oleh Balitbangdikbud (Herry,1992), Namun sayang uji coba tersebut pada tahun berikutnya ditiadakan, dengan tanpa alasan yang pasti dan juga belum sempat dievaluasi dan diteliti. Siswa berbakat, yang dalam UUSPN 1989 disebut yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa diharapkan memiliki prestasi yang tinggi (unggul) baik di sekolah maupun setelah terjun di masyarakat. Darinya diharapkan lahir ide-ide, konsep-konsep, atau karya-karaya nyata cemerlang yang dapat meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan negara. Namun sayang sekali tidak semua anak berbakat dapat berprestasi setara dengan potensinya. Cukup banyak mereka yang menjadi Undeachiever, yaitu seseorang yang berprestasi dibawah taraf kemampuannya, bahkan ada yang putus sekolah. Utami Munandar (1995). Kondisi sedemikian cukup mengkawatirkan, karena bukan tidak mungkin mereka nantinya juga tidak mampu mejadi anggota masyarakat yang tidak produktif. Kegagalan anak berbakat untuk merealisasikan potensi intelektual dan kreatifnya merupakan suatu kerugian besar dan tragis bagi masyarakat dan negara, khususnya bagi dirinya. Disekolah terkadang fihak pendidik kurang menyadari hal ini, karena bukan saja kurangnya pemahaman terhadap konsep keberbakatan, dan bagaimana layanan terhadapnya, tetapi juga tidak mampu mengenal secara tepat mana siswanya yang berbakat dan mana pula siswanya yang tergolong rata-rata atau normal. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1995 yang disampaikan oleh Budiyanto dengan tim mengadakan penelitian pada dua SD di daerah pegunungan wilayah Kabupaten Nganjuk Jawa timur. Menemukan siswa, yang oleh guru serta teman sekelasnya dikategorikan sebagai anak bodoh. Setelah dilakukan serangkaian assesment, dan diberikan layanan secara khusus oleh tim peneliti selama dua bulan ternyata hasilnya mengejutkan. Ia bukannya bodoh tetapi justru menunjukkan adanya keberbakatan, terutama dalam bidang berhitung. Ilustrasi tersebut menggambarkan betapa pemahaman guru dan keluarganya terhadap keberbakatan sangat rendah, sehingga tanpa disadari siswa menjadi korban. B. Permasalahan Sejalan dengan kasus tersebut diatas maka beberapa kalangan menuding sekolah dan keluarga dipandang lebih bertanggung jawab. Memang demikiankah yang sebenarnya? Bila itu mungkin, maka bentuk layanan macam apa yang dapat dilakukan sekolah dan keluarga? Dan siapakah sebenarnya mereka itu? B. Tujuan Pembahasan Pembahasan masalah bertujuan untuk : 1. Mengenal lebih jauh tentang konsep siswa berbakat berprestasi kurang (underachiever), yang juga sering disebut korban tak disadari dalam dunia kependidikan yang terdapat dilingkungan kita. 2. Memperoleh konsep layanan yang dapat dilakukan oleh sekolah dan keluarga, yang dipandang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan siswa berbakat berprestasi kurang. C. Metode Pendekatan Untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang konsep siswa berbakat berprestasi kurang, serta konsep layanan yang dapat dilakukan sekolah dan keluarga, pembahas berupaya menggali dengan menggunakan kajian pustaka. Temuan pustaka tersebut selanjutnya dirumuskan dalam bentuk laporan setelah mendapat masukan dari sejawat serta sekelumit persepsi yang ada pada pembahas.
BAB II MEMAHAMI SISWA BERBAKAT BERPRESTASI KURANG
A. Konsep Sebagaimana dikemukakan oleh Renzulli, keberbakatan menunjukkan adanya tiga ciri-ciri, yaitu kemampuan umum atau kecerdasan, kreativitas, dan motivasi intrinsik. Motivasi intrinsik atau motif dari dalam, adalah suatu kondisi afeksi yang sering mampu mendorong seseorang berprestasi. Dalam UUSPN digunakan istilah Warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa. Kecerdasan berhubngan dengan perkembangan kemampuan intelektual. Sedangkan kemampuan luar biasa tidak hanya terbatas pada kemampuan intelektual. Jenis-jenis kemampuan dan kecerdasan luar biasa yang dimaksud dalam batasan/pengertian ini, menurut Mugiadi (1991) meliputi bidang: (1) intelek umum dan akademik khusus, (2) berfikir kreatif produktif, (3) psikososial/kepemimpinan, (4) seni/kinestetik, dan (5) psikomotor.
Sedangkan untuk pengertian keberbakatan yang sudah disepakati di Indonesia berdasarkan `Seminar Nasional mengenai Alternatif Program Pendidikan Anak Berbakat` sebagaimana dikemukakan oleh Utami Munandar (1982) adalah anak berbakat adalah mereka yang oleh orang-orang profesional diidentifikasi sebagai anak yang mampu mencapai prestasi yang tinggi, karena mempunyai kemampuan-kemampuan yang unggul . Anak-anak tersebut memerlukan program pendidikan yang berdeferensiasi dan atau pelayanan diluar jangkauan program sekolah biasa agar dapat merealisasikan sumbangan mereka terhadap masyarakat maupun untuk pengembangan diri sendiri. Kemampuan-kemampuan tersebut, baik secara potensial maupun yang telah nyata meliputi: kemampuan intelektual, kemampuan akademik khusus, kemampuan berpikir kreatif produktif, kemampuan memimpin, kemampuan alam salah satu bidang seni, dan kemampuan psiko-motor (seperti dalam oleh raga). Davis dan Rimm (1985), mengemukakan bahwa underschivement atau berprestasi dibawah kemampuan ialah jika ketidak sesuaian antara pres-tasi sekolah anak dengan indeks kemampuannya sebagaimana nyata dari tes intelegensi, atau kreativitas atau dari data observasi, dimana tingkat prestasi sekolah nyata lebih rendah dari pada tingkat kemampuan anak. Tiga tandan ciri beberbakatan itu hendaknya dipandang sebagai suatu keutuhan dan jangan dipisah- pisahkan atau dikurangi komponennya. Untuk selanjutnya dipergunakan sebagai patokan dalam memahami konsep tentang berbakat berprestasi kurang (underachiever). Yakni bilamana prestasi siswa secara nyata berada dibawah kemampuan umum, kreativitas dan motivasi intrinsiknya, maka siswa tersebut dapat dikategorikan sebagai underachievement. B. Karakteristik Identifikasi kompilasi yang berkaitan dengan karakteristik underachievers seperti dikemukakan oleh beberapa ahli seperti dikutip oleh Barabara Claek (1988) antara lain sebagai berikut: 1. Rendahnya konsep diri dalam mengulangi sebagian besar belajarnya, rendahnya evaluasi diri, perasaan rendah diri, menunjukkan penyimpangan, bermusuhan dengan teman dan keyakinan bahwa tak satupun sama dengan yang lain. 2. Mereka selalu menentang kepada keluarganya; anggapannya keluarga tidak dapat memuaskan dirinya. 3. Tidak menaruh perhatian pada aktivitasnya. 4. Menunjukkan permusuhan pada orang dewasa yang dianggapnya mengganggu kebebasannya. 5. Mempertahankan diri dari pengaruh guru dan keluarganya. 6. Mereka mungkin dapat menimbulkan korban. 7. Mereka selalu tidak menyukai sekolah dan guru-gurunya dan memilih kelompok yang menentang pada sekolah. 8. Mereka menunjukkan suka melawan atau memberontak. 9. Lemah motivasinya dalam pelajaran yang banyak mencata dan ketrampilan. 10. Mereka miskin dalam memelihara kebiasaan-kebiasaan, suka melupakan pekerjaan rumah, dan pekerjaan-pekerjaannya tidak lengkap. 11. Penyesuaian intelektualnya rendah. 12. Mereka menunjukkan kurang gigih dan tidak tegas. 13. Kiat kepemimpinannya rendah dan tidak poluler diantara teman-temannya. 14. Mereka selalu menunjukkan kemampuan dan kematangannya kurang. 15. Mereka selalu menunjukkan miskin dalam aktivitas penyesuaian dengan individu, dan dalam menyatakan perasaannya. 16. Mereka boleh jadi tidak mempunyai hobi dan minat. 17. Mereka rendah dalam memelihara aspirasi-aspirasi terhadap kemampuannya, tidak memiliki idea dan tujuan-tujuan yang jelas terhadap apa yang dia kerjakan. 18. Mereka tidak mampu memikirkan tujuan-tujuannya untuk masa mendatang 19. Mereka sangat lamban dalam mengemukakan pernyataan dan tujuannya, dan dalam meikirkan tujuan-tujuannya tidak sejalan dengan interes dan sikapnya. Tujuan-yujuannya itu selalu diambil dari apa yang ada pada dirinya. 20. Dalam karir, menentukan pilihan pada kegiatan-kegiatan yang manual, bisnis, layanan pemasaran, atau mengarah pada jenis pekerjaan yang memiliki tantangan tinggi. Rimm (1985), mengemukakan bahwa karakteristik underachiever dapat dikategorikan menjadi tiga tingkat yang berbeda kaitannya dengan sebab dan gejala yang nampak yaitu: Karakteristik primer, ialah rasa harga diri yang rendah (low self-esteem). Hal ini merupakan akar dari kebanyakan masalah underachiever, yang selanjutnya menyebabkan karakteristik sekunder, ialah perilaku menghindari bidang akademik (academic avoidance behavior), yang pada gilirannya menimbulkan karaktristik tersier yang nyata seperti, kebiasaan belajar buruk, ketrampilan yang tidak dikuasai, dan masalah sosial dan disiplin. C. Penyebab Underachiever Secara konseptual pada saat dilahirkan anak underachiever justru berposisi dalam keberbakatan (potensial berbakat), bahkan hakekatnya semua anak tidak dilahirkan sebagai underachiever. Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa underachiever bukan pembawaan (heriditer) atau bukan pula keturunan, tetapi lebih bersifat kelainan perilaku yang dapat dipelajari. Oleh sebab itu sangat dimungkinkan dapat dihindarkan pula. Kajian tentang penyebab underachiever, dapat dilacak melalui lingkungan dimana anak lebih banyak berinteraksi, dimana kondisi tersebut potensial sebagai penyebab anak menjadi underachiever. Sejalan dengan pernyataan tersebut maka dalam bahasan ini penelusuran penyebab lebih di tekankan dalam setting keluarga dan sekolah.
Setting Keluarga. Personifikasi atau identifikasi anak pada figur orang tua perlu mendapatkan perhatian. Rimm (1984), menemukan bahwa anak berprestasi kurang, sering tidak mengidentifikasikan dirinya dengan orang tua dari jenis kelamin yang sama. Jika orang tua itu juga merupakan seorang yang berprestasi kurang dari perspektif anak. Atau memberikan kesan kepada anak bahwa belajar dan prestasi itu tidak penting. Temuan lain berdasarkan studi Terman dan Oden (dikutip Rimm, 1985), menunjukkan bahwa kebanyakan anak berbakat berprestasi kurang adalah anak laki-laki dan karakteristik yang paling nyata dari anak laki-laki ini ialah bahwa mereka tidak mengidentikasi diri dengan ayah mereka. Barbara Clark (1988), mengemukakan bahwa dalam setting keluarga kondisi yang banyak mempengaruhi terjadinya siswa underachiever adalah: 1. Siswa ini selalu tergantung pada ibunya. 2. Penolakan dan dominasi ayah memberikan sedikit amarah atau afeksi pada anak. 3. Hubungan antara ayah atau saudaranya, cenderung negatif atau tidak eksis. 4. Perencanaan dan penataan tujuan-tujuan dalam keluarga tidak realistik bagi siswa, dan dalam imaginasi siswa hanya seperti pada penilaian baik atau seperti pada prestasi saja. 5. Aktivitas dan kemampuan keluarga tidak mendapatkan respon. 6. Siswa kehilangan identitasnya di dalam keluarga. 7. Mereka memendam emosi dan amarahnya dalam keluarga. 8. Aktivitas dan dorongan keluarga pada siswa rendah. 9. Siswa sebenarnya ingin menyatakan kemampuannya dalam keluarga, tetapi anggota keluarga yang lebih dewasa selalu meresa lebih super. 10. Dalam keluarga tukar pikiran yang berkaitan dengan idealisme, afeksi dan kepercayaan lemah. 11. Keluarga lebih membatasi dan lebih namyak memberikan hukuman. Setting Kultur Sekolah. Sekolah sebagai kehidupan anak kedua setelah keluarga juga memberikan kontribusi terjadinya underachiever, terutama faktor guru kurikulum maupun situasi normatif sekolah. Harapan guru mempunyai dampak terhadap konsep diri dan prestasi sekolah. Masalahnya adalah bahwa bagi anak, guru dan keberhasilan di sekolah merupakan sumber umpan balik utama mengenai kamampuan, kompetensi, dan makna seseorang. Jika guru mempunyai harapan rendah atau negatif terhadap seorang siswa, biasanya anak itu akan berprestasi kurang, termasuk anak berbakat. Sebab tidak semua anak berbakat berespon dengan prestasi yang kurang terhadap sikap dan harapan negatif dari guru. Kurikulum sekolah adakalanya juga merupakan penyebab underachiever, sebab anak berbakat dengan kebutuhan intelektual dan kreativitas amat rentan terhadap kurikulum yang tidak menantang. Mereka biasanya senang mempertanyakan, mendiskusikan, mengkritik, dan dapat belajar melampaui tingkatan kebanyakan siswa di kelasnya. Maka jika kurikulum kurang memberikan tantangan, siswa berbakat akan mencari rangsangan diluar kurikulum. Tidak jarang siswa berbakat berprestasi kurang di sekolah dapat mencapai keunggulan dalam kegiatan yang tidak berhubungan dengan sekolah. Utami munandar (1995). Sejalan dengan uraian tersebut, kurikulum yang sentralized (seperti di Indonesia), nampaknya juga kurang menguntungkan bagi anak berbakat, Apabila aplikasi dan pengemasan dari fikah guru dan sekolah kurang menantang, boleh jadi hal ini juga memberikan kontribusi pada ke-underachiever-an. Kultur dalam setting persekolahan, dapat juga merupakan penyebab rendahnya prstasi belajar anak berbakat, sebagaimana dikemukan Barbara Clark, (1995) sebagai berikut: 1. Subkultur tidak memberikan dorongan pada kemampuan akademik akademik. 2. Aktivitas akademik banci Sissy bagi anak laki-laki dan bersifat agresif bagi anak perempuan. 3. Perhatian dan aspirasi pada tujuan rendah, lebih berpusat pada mekanik dan kesiapan ketrampilan-ketrampilan umum. 4. Tujuan-tujuan pendidikan tidak jelas. D. Identivikasi Upaya menemukenali anak berbakat berprestasi kurang (underachievement), senantiasa tidak dapat dilepaskan dengan faktor karakteristik dan latar belakang penyebabnya. Oleh sebab itu instrumen asesmennya harus lebih mengacu pada kedua faktor tesebut. Whitmore (dikutip Utami Munandar 1995) menyususn instrumen dengan petunjuk interpretasinya sebagai berikut: Amatilah anak sekurang-kurangnya dua minggu, untuk menentukan apakah anak mempunyai ciri-ciri sebagai berikut. Jika siswa menunjukkan lebih dari sepuluh ciri dalam daftar, kemungkinan besar ia termasuk anak berbakat berprestasi kurang, dan memerlukan evaluasi lebih lanjut, misalnya dengan tes intilegencsi individual, tes bakat dan minat, dan tes kepribadian. ( ) Nilai rendah pada tes prestasi ( ) Mencapai nilai rata-rata atau dibawah rata-rata kelas dalam ketrampilan dasar membaca, menulis, dan berhitung ( ) Pekerjaansehari-hari tidak lengkap atau buruk ( ) Memahami dan mengingat konsep-konsep dengan baik jika berminat ( ) Kesenjangan antara tingkat kuantitatif pekerjaan dan tulisan (secara lisan lebih baik) ( ) Pengetahuan faktual sangat luas ( ) Daya imaginasi kuat ( ) Selalu tidak puas dengan pekerjaannya, juga seni ( ) Kecenderungan ke perfectionisme dan mengkritik diri sendiri menghinari kegiatan baru seperti untuk menghindari kinerja yang tidak sempurna ( ) Menunjukkan prakarsa dalam mengerjakan proyek di rumah yang dipilih sendiri ( ) Mempunyai minat luas dan mungkin keahlian khusus dalam suatu bidang penelitian dan riset ( ) Rasa hargadiri rendah, nayata dalam kecenderungan untuk menarik diri atau menjadi agresif di adalam kelas ( ) Tidak berfungsi konstruktif di dalam kelompok ( ) Menunjukkan kepekaan dan persepsi terhadap diri sendiri, orang lain, dan terhadap hidup pada umumnya ( ) Menetapkan tujuan yang tidak realistis pada diri sendiri; terlalu tinggi atau terlalu rendah ( ) Tidak menyukai pekerjaan praktis atau hafalan ( ) Tidak mampu memusatkan perhatian dan konsentrasi pada tugas-tugas ( ) Mempunyai sikap acuh atau negatif pada sekolah ( ) Menolak upaya guru untuk memotivasi atau mendisiplin perilaku di dalam kelas ( ) Mengalami kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya; kurang dapat mempertahankan persehabatan
BAB III LAYANAN PADA UNDERACHIEVER
Hambatan yang dialami pada siswa underachiever hakekatnya lebih bersifat perilaku, oleh sebab itu kepekaan, ketulusan, dan kepiawaian dalam mengorganisir dan memberdayakan potensi, merupakan dasar utama dalam rangka memberikan layanannya. Ada dua aspek penting yang harus mendapatkan perhatian khusus dalam upayan layanan ini yaitu penggalian potensi dan pemahaman terhadap hambatan dalam perilaku. Seperti telah dijabarlan pada bab 2, bahwa kelainan perilaku tersebut lebih disebabkan oleh iklim keluarga dan sekolah, oleh sebab orang tua (keluarga) dan guru (sekolah) merupan figur yang tepat dalam upaya memberikan layanannya. Sebagaimana dikemukakan Rimm (1985), mengatasi underachiever memerlukan strategi kerjasama antara sekolah dan keluarga dalam menerapkan lima langkah penting: (1) penilaian kemampuan, ketrampilan, dan kemungkinan penguatan dari rumah dan sekolah, (2) modivikasi penguatan di sekolah dan di rumah, (3) mengubah harapan dari orang yang penting/berarti, (4) model identifikasi yang ditingkatkan, dan (5) memperbaiki ketrampilan yang kurang. Asesmen Kemampuan Anak dan Kemungkinan Penguatan Asesmen kemampuan dilakukan dalam rangka menemukan potensi-potensi yang ada pada anak. Kegiatan ini hendahnya dilakukan secara terpadu antara sekolah, konselor, guru dan orang tua. Pada tingkat dan aspek tertentu keterlibatan psikolog sangat dibutuhkan. Unsur-unsur tersebut dapat dikatakan sebagai tim work, yang bertanggung jawa sejak asesmen, penyusunan program layanan, serta pelaksanaan layanannya. Dalam pengelolan program bagi anak berbakat sebaiknya memperhatikan, (1) mampu melakukan pengukuran/ pengetesan, (2) memehami berbagai gaya dan masalah belajar dan motivasi, (3) menguasai teori belajar perilaku, dan (4) mengenal karakteristik khusus dari anak berbakat dan kreatif. Masalah pengukuran atau tes inteligensi, hendaknya dilakukan oleh orang yang benar-benar profesional. Hal ini disebabkan bahwa dalam melakukan pengetesan pada anak underachiever, dimana mempunyai masalah dengan perilakunya maka tes inteligensi hasilnya dapat bias, tidak mampu memggambarkan kemampuan senyatanya dan cenderung hasilnya lebih rendah. Begitu pula dengan penggunaan tes kreativitas dan inventori. Disamping inteligensi dan kreativitas yang menggambarkan kemampuan umum pada anak, potensi lain yang perlu digali adalah bakat, minat, serta kemampuan- kemampuan ang bersifat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang telah diidentifikasi tersebut merupakan sumber dan sasaran penguatan yang tepat bagi anak. Penguatan disini hendaknya lebih diarahkan pada hal-hal yang dipandang benar-benar dapat meningkatkan potensi anak. Modivikasi Penguatan di Rumah dan di Sekolah Mendasarkan analisis pada langkah pertama tersebut, maka dapat ditemukenali kondisi-kondisi yang menyebabkan prestasi belajar anak kurang, sehingga dapat ditentukan penguatan macam apa yang dibutuhkan bagi anak. Dalam memberikan penguatan hendahnya benar-benar memperhatikan unsur-unsur, kepribadian, jenis, waktu dan saat yang tepat. Kita harus selalu ingat bahwa mereka hakekatnya adalah berbakat, sehingga bila keliru dalam memberikan penguat, bisa jadi hal ini justru menjadi bumerang. Mengubah Harapan Orang yang Penting Prestasi belajar rendah adakalanya dapat disebabkan karena rendahnya harapan siswa itu, sendiri, maupun harapan orang tua, atau atau orang-orang penting dalam pandangan anak. Oleh sebab itu harapan-harapan yang rendah itu harus diubah, menuju kutup yang berlawanan, yaitu menjadi harapannya tinggi. Pengubahan harapan-harapan tersebut dapat dimulai dari mengubah harapan-haran orang-orang penting, seperti orang tua, guru, teman dekat dan sebagainya. Perubahan ini pada gilirannya dapat pula mengubah harapan anak, sehingga motivasisya dapat meningkat. Disamping cara tersebut, tumbuhnya kesadaran bahwa dirinya berpotensi dapat pula merubah harapan anak. Oleh sebab itu penyadaran akan kepemilikan potensi perlu mendapatkan perhatian. Identifikasi Model Tokoh bagi anak merupakan figur model yang sering diimitasi. Apapun yang ada dan dilakukan oleh tokoh tersebut mendapat perhatian pada anak, dan selanjutnya anak cenderung menirunya. Model yang baik cenderung membangkitkan motivasi anak kepada hal yang baik pula, begitu pula sebaliknya. Oleh sebab itu agar anak mengimitasi model yang baik, maka figur tokoh-tokoh yang ada di lingkungan anak baik di sekolah maupun di rumah, hendaknya baik pula. Seyogyanya model itu mempunyai karakteristik: (1) kepedulian yang sungguh-sungguh pada anak, (2) jenis kelamin sama, (3) kesamaan dengan anak, misalnya agama, minat, talenta, latar belakang ekonomi dan sebagainya., (3) terbuka, (5) kesediaan untuk memberi waktu, dan (6) rasa kepuasan. Mengoreksi Ketrampilan yang Kurang Anak berprestasi kurang sebagai akibat jeleknya aktivitas belajarnya, seperti, tidak memperhatikan di dalam kelas, cara belajar, kurangnya ketrampilan. Keadaan ini perlu dikoreksi. Whitmore (1980) menyarankan strategi remedial untuk memperbaiki prestasi akademis siswa dalam bidang dimana ia mengalami kesulitan belajar, mengalami kegagalan, dan menjadi tidak bermotivasi untuk melakukan tugas-tugas belajar. Barabara Clark (1988), mengemukakan program layanan yang dapat dilakukan dalam keluarga dan sekolah sebagai berikut: Bila anda keluarganya, 1. Menyediakan stimulus intelektual, utamanya penciptaan iklim yang kondusif dalam keluarga. 2. Mengadakan hubungan timbal balik yang respecful dengan anak. 3. Aturan-atauran yang berkaitan dengan tingkah laku datang dari anak. 4. Lebih memperhatikan minat anak baik dalam keluarga maupun di sekolah. 5. Jangan membandingkan dengan saudara kandung, terutama yang berkaitan dengan keunikannya. 6. Mengutamakan bantuan agar anak dapat menggunakan waktu secara efektij dan terarah. 7. Bimbinglah anak-anak menemukan minat dan tujuan-tujuannya; jangan menentukan tujuan untuk mereka. 8. Aturlah permintaan-permintaannya secara resonable dan mutual. 9. Tunjukkan perkataan, dan kepercayaan dan restu anda. 10. Berikan doromham yang memadahi pada anak anda. Bila anda guru atau konselor 1. Nilai kemampuan dan kecakapan tinggi pada siswa secara reguler. 2. Adakan asesmen sekolah, yang dimulai sedini mungkin. 3. Sediakan harapan-harapan untuk mengembangkan konsep dirinya. 4. Atur lingkungan belajarnya; yang dapat membantu menghangatkan munculnya intelektualnya. 5. Buatlah harapan pada siswa underachiever, terpusat pada wilayah kecakapannya. 6. Bila mereka membutuhkan bantuan harus disediakan; kita harus memiliki kemampuan mendiskusikan secara periodik dengan baik, seperti dalam matapelajaran. 7. Buatlah kelompok pertemuan dengan kelompok dan keluarganya. 8. Temukan jalan untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan individunya; adakan belajar tutorial. 9. Libatkan keluarga dalam aktivitas sekolah. 10. Tawarkan bimbingan kerja sejak dini. 11. Bila kurang lebih anak gifted di sekolah anda benar-benar underachieving, maka perikas kembali secara cermat program anda. Pola Bimbingan Holistik satu alternatif Pengembangan Potensi underachiever.
Berangkat dari konsep bimbingan sebagai suatu bentuk bantuan melalui pendekatan pribadi dalam mencapai perkembangan optimal. Dengan pendekatan ini adalah merupakan salah satu model yang bisa untuk dilakukan oleh guru atau konselor dan orang tua dalam langka mengupayakan menemukan serta langkah untuk meningkat kreativitas yang dimiliki sesuai dengan potensi yang ada. Kita sadar bahwa karakteristik underachiever dapat dikategorikan primer, dimana anak merasa harga diri yang rendah (low self-esteem). Hal ini merupakan akar dari kebanyakan masalah underachiever, yang selanjutnya menyebabkan karakteristik sekunder, ialah perilaku menghindari bidang akademik (academic avoidance behavior), yang pada gilirannya menimbulkan karaktristik tersier yang nyata seperti, kebiasaan belajar buruk, ketrampilan yang tidak dikuasai, dan masalah sosial dan disiplin. Untuk mengatasi rasa rendah diri, menjauhi akademik dan berprilaku kurang baik maka peranan bimbingan sangat menetukan demi untuk mengarahkan, dan mengembangkan potensinya yang ada pada anak agar cara berfikir bisa rasional tidak minder dan tidak berprilaku buruk agar supaya kelansungan hidupnya bisa terjamin. Untuk itu dapat kita bantu dengan memberikan bantuan melalui pendekatan pribadi demi mencapai perkembangan yang optimal. Bantuan dan layanan yang kita berikan tujuannya adalah, untuk reorganisasi kepribadian, menemukan makna dalam hidup, penyembuhan gangguan emosional, penyesuaian terhadap masyarakat, pencapaian aktualisasi, peredaan kecemasan, serta penghapusan perilaku amaladaptif dan belajar pola- pola prilaku adaptif. (Corey dalam Soli Abimanyu:1996). Berkaiatan dengan permasalahan diatas maka konseling sangat berfungsi untuk mengembalikan jati diri agar anak dapat tumbuh dan berkembang serta mampu untuk menyalurkan bakat yang dimilkinya. Sebagaimana Hatcher dalam Shertzer & Stone, 1974 menyampaikan tentang fungsi konseling disini secara tradisional digolongkan menjadi tiga bidang fungsi: (1). Remedial atau rehabilitatif, (2) preventif; dan (3) edukatif atau pengembangan Jadi dalam rangka mengupayakan agar potensi yang dimiliki tersebut dapat kita lakukan pencegahan dalam bentuk mendidik demi perkembangan sebagai upaya mengembalikan dan membimbing prilaku kepada prilaku yang baik dan tidak merasa rendah diri, serta kita berupaya dalam rangka mencapai aktualisasi diri yang optimal . Bimbingan yang dapat dilakukan adalah melalui pendekatan holistik dengan fokus utama adalah pemberdayaan pribadi berpusat kepada keluarga dengan berakar pada nilai- nilai religi, bernuansa pendidikan dan dalam harmoni budaya bangsa. Pola bimbingan yang dimaksud adalah : pertama; pola bimbingan yang holistik yang diberikan erat kaitannya dengan lingkungan pendidikan, dan dilaksanakan secara terpadu mulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan dimasyarakat luas. Strategi yang diterapkan merupakan keutuhan yang terpadu antara strategi kurikuler, interaksi, pengembangan pribadi, dan dukungan sistem. Bidang layanan bimbingan yang diberikan bimbingan pribadi, bimbingan karir dan bimbingan belajar. Kedua; fokus bimbingan diarahkan pada pemberdayaan pribadi sebagai sumber kekuatan daya manusiawi. Jadi bimbingan itu merupakan upaya meningkatkan kualitas keberdayaan atau empowerment ke arah yang lebih memadai sesuai dengan tuntutan yang ada. Menurut Aileen Michell Stewart yang dikutip oleh M. Surya (1997: 22) keberdayaan seseorang didukung oleh envision, educate, eliminate, expres, enthuse, equip, evaluate, dan expect. Daniel Goleman (1995) mengatakan bahwa selama ini diyakini bahwa keberhasilan seseorang sangat ditentukan oleh kualitas intelktual atau kecerdasannya, akan tetapi sesungguhnya aspek emosional seseorang akan menentukan kualitas kepribadiaanya termasuk keberdayaan nya dalam menghadapi berbagai tantangan. Kecerdasan emosional didukung oleh lima kemampuan yaitu (1) mengenali emosi diri, (2) mengelola emosi, (3) memotivasi diri sendiri, (4) mengenali emosi orang lain, dan (5) membina hubungan dengan orang lain. Jadi bagi anak yang berbakat dan berprestasi kurang maka konselor harus mampu memberdayakan emosi yang dimiliki agar anak tersebut percaya dengan keunggulan yang dimilkinya. Ketiga; bimbingan berpusat pada keluarga. Keluarga merupakan awal dari perjalanan hidup individu dan masyarakat secara keseluruhan. Jadi untuk menyelamatkan dari prilaku yang kurang menguntungkan buat diri pribadi maka keluarga mimiliki peranan penting untuk membentuk prilaku dengan menerapkan nilai-nilai yang ada dalam keluarga, yakni dengan cara mengatur kesejahteraan anggota keluarga, pendidikan anak untuk masa depan, dan keterkaitan dengan lingkungan hidup ( welfare, education, dan ecology). Jadi karena anak underachiever banyak menggantungkan diri kepada keluarga maka disini moment yang tepat untuk pihak keluarga menggali potensi-potensi yang dimiliki. Keempat, pola bimbingan yang bernuansa pendidikan dalam arti dilandasi oleh pradigma dan nilai-nilai pendidikan karena pada hakekatnya bimbingan merupakan proses pendidikan. Sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikatakan: Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan , pengajaran dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang. Jadi pendekatan untuk menangani dari underchiever tersebut kita tidak boleh terlepas dari pertimbangan terhadap keutuhan fisik dan mentalnya. Pendidikan mengakui adanya kesiapan diri pribadi masing-masing, dan dikembangkan melalui bimbingan. Dengan rujukan tersebut untuk mengatasi krisis yang ada pada anak tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan psikologis. Kelima ; bimbingan dalam suasana harmoni budaya bangsa. Artinya kebudayaan mempunyai implikasi bahwa kebudayaan hendaknya dijadikan sebagai suatu pendekatan dalam pelaksanaan bimbingan. Dengan bakat yang dimiliki oleh anak (underchiever) maka dapat disalurkan dengan nilai-nilai budaya yang ada. Pederson (1991) menyebutkan ada tujuh aspek budaya pada diri individu yaitu : (1) bagian jalan hidup yang digunakan orang tua, (2) gagasan yang diwariskan dari generasi kegenerasi, (3) pengalaman masa kanak-kanak yang berkembang menjadi nilai-nilai yang kemudian diinternalisasikan, (4) sosialisasi anak- anak ke kedewasaan, (5) pola-pola konsep tindakan secara konsiten, (6) pola-pola budaya yang dipelihara meskipun mungkin tidak sesuai, (7) rasa tidak berdaya atau kebingunagan manakala terjadi perubahan pola-pola budaya. Jadi bagi anak Anderchiever yang sudah menginjak usia muda maka bimbingan bisa juga berawal dari nilai-nilai budaya yang ada secra cara nyata mampu hendaknya mewujudkan potensinya, seperti contoh bahwa anak tersebut mempunyai karakteristik salah satu diantaranya menentang kepada keluarganya; anggapan keluarga tidak dapat memuaskan dirinya maka hal ini pendekatan yang dapat kita lakukan sebagai konselor juga bisa dilakukan dengan pola bimbingan dengan pendekatan nilai-nilai budaya. Jadi pola bimbingan holistik ini adalah salah satu model untuk memberikan pola pelayanan untuk mengatasi permasalahan-permasalahn yang dihadapi oleh generasi muda (termasuk diataranya Underchever) dalam arti ini disesuaikan dengan kondisi maupun suasana yang ada.
BAB IV KESIMPULAN
Siswa berbakat, yang dalam UUSPN 1989 disebut yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa diharapkan memiliki prestasi yang tinggi (unggul) baik di sekolah maupun setelah terjun di masyarakat. Darinya diharapkan lahir ide-ide, konsep-konsep, atau karya-karaya nyata cemerlang yang dapat meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan negara. Namun sayang sekali tidak semua anak berbakat dapat berprestasi setara dengan potensinya. Mereka itulah yang dalam makalah ini disebut Undeachiever, yaitu seseorang yang berprestasi dibawah taraf kemampuannya, bahkan ada yang putus sekolah. Hambatan atau rendahnya prestasi tersebut lebib disebabkan oleh perilaku dan bukan dari potensi kemampuannya, oleh sebab itu optimis hal ini dapat diatasi. Keluarga dan sekolah dipandang sebagai kasanah yang menjadikan anak demikian, oleh sebab itu uoaya layanannyapun sebaikny dipusatkan di sana pula. Keluarga (orang tua) dan sekolah (guru) merupakan fugur utama yang dipandang paling berkopenten dalam mengatasi permasalahan tersebut, agar anak underachiver yang hakekaktnya adalah anak berbakat ini, dapat mengembangkan potensinya sehingga nantinya dapat menumbangkan kemampuan unggulnya itu bagi bangsa dan negara. Banyak konsep yang ditawarkan dalam upaya memberikan layanan bagi anak under achiever tersebut, salah satu diantaranya yang dipandang efektif adalah dengan mengupayankan iklim yang kondusif baik dalam keluarga amupun di sekolah. Guna menciptakan iklim yang kondusif tersebut dibutuhkan ketulusan, kepekaan, kepiawaian dan empati yang kuat dari orang tua dan guru serta fihak yang terkait, dalam mengorganisir program layanan serta pelayanannya agar anak ini mampu menepis gangguan perilakunya dan akhirnya mampu mengembangkan potensinya seoptimal mungkin. Kiranya masyarakat luas perlu menyadari bahwa mereka yang jumlahnya sedikit itu (anak berbakat) merupakan asek bangsa yang perlu mendapatkan perhatian khusus, apabila kita tidak ingin kehilangan sesuatu yang sangat berharga ini. Pendidikan yang bermutu memang mahal, tetapi jauh lebih mahal lagi yang harus kita tebus bila pendidikan kita tidak bermutu. Memberikan perhatian khusus bagi merka yang jumlahnya sedikit memang mahal, tetapi akan jauh lebih mahal nilai kehilangan kita bila mereka ini tersia-siakan.
Pola bimbingan untuk mnegembangkan potensi anak anderchiever dapat ditawarkan kepada pola bimbingan holistik dengan fokus sasaran utamanya adalah pemberdayaan pribadim berpusat pada keluarga dengan berakar kepada nilai-nilai religi, bernuansa pendidikandan dalam harmoni budaya bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Barbara Clark (1988), Growing Up Gifted; Third Edition. Columbus Ohio: Merril Publishing Company. Mulyono Abdurahman & Sudjadi, (1994), Pendidikan Luar Bisa Umum. Depdikbud: Jakarta. Mohamad Surya (1997) Bimbingan untuk mempersiapkan generasi muda memasuki aabad 21 (Pendekatan Psiko-pedagogis) Pidato pengukuhan Guru Besar. IKIP Bandung Rimm, SB. (1986). Under achivement Syndrome: Causes and Cures. Watertown; Aple Publishing Company. Utami Munandar (1995). Dasar Dasar Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Dirjen Dikti. Depdikbud. Whitmore, J.R. (1980). Giftedness, Conflic, and Underachievement. Boston: Allyn & Bacon.