Anda di halaman 1dari 21

Kebijakan Pendidikan Inklusi antara Gengsi dan Humanisasi

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah


“Kebijakan Pendidikan”

Dosen Pengampu:
Ahmad Fahroni, M. Pd

Disusun oleh:

Audita Meivina 932114419


Rozika Amalia Nurrohmatin 932114719
Putra Alif Syahdana 932115419

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat rahmat dan karunia-Nya, makalah ini dapat terselesaikan
dengan baik, tepat pada waktunya. Adapun tujuan penulisan makalah ini
adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebijakan Pendidikan. 
Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan pada junjungan kita
Nabi besar Muhammad SAW, yang telah menuntun kita dari masa yang
gelap gulita menuju masa yang terang benderang, yakni ajaran agama
Islam. 
Dalam penyelesaian makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan,
terutama disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang.
Namun, berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya
makalah ini dapat terselesaikan dengan cukup baik. Penghargaan yang
setinggi-tingginya kami sampaikan kepada dosen pengampu kami, yang
telah membimbing kami dengan baik, dalam mata kuliah ini. 
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya, dan bagi penulis khususnya.Tentunya dalam makalah ini masih
banyak terdapat kekurangan. Maka dari itu, kami sebagai penyusun
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Demi
pertimbangan perbaikan bagi kami.

Kediri, 25 Maret 2021 

(Penyusun)
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI......................................................................................................................3
BAB I.................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
A. Latar Belakang.......................................................................................................4
B. Rumusan Masalah..................................................................................................5
C. Tujuan....................................................................................................................5
BAB II...............................................................................................................................6
PEMBAHASAN................................................................................................................6
A. Pengertian Kebijakan Pendidikan Inklusi...............................................................6
B. Tujuan Kebijakan Pendidikan Inklusi....................................................................8
C. Karakteristik Pendidikan Inklusi..........................................................................10
D. Landasan Kebijakan Pendidikan Inklusi...............................................................11
E. Konsep dan Model Pendidikan Inklusif................................................................15
BAB III............................................................................................................................20
PENUTUP.......................................................................................................................20
A. Kesimpulan..........................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................21
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha
mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang
dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan.
Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, jenis kelamin, status sosial,
kemiskinan dan lain-lain. Dengan kata lain, pendidikan inklusi adalah pelayanan
pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya
(normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya1

Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh


pendidikan yang bermutu. Dengan karakteristik dan kebutuhan yang tidak sama
antara satu dengan yang lainnya, bukan berarti pihak penyelenggara pendidikan
boleh melakulan diskriminasi kepada mereka yang mempunyai kebutuhan khusus.
Dengan setiap keistimewaan dan kelebihan yang dimiliki tiap anak, diharapkan
pendidikan di Indonesia mampu mencerdaskan mereka dalam semua bidang, tidak
hanya cerdas dari segi pengetahuan, namun juga dari segi mental dan spiritual.

Berkaitan dengan definisi pendidikan inklusi, maka kegiatan pembelajaran


yang dilakukan di dalamnya tidak hanya terfokus pada satu hal, namun ada
beberapa hal yang harus diperhatikan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik
peserta didik. Dalam mendesain proses pembelajaran inklusi tentunya guru terus
bekerja sama dengan kepala sekolah, orang tua siswa, maupun psikolog agar
mampu memposisikan diri sehingga semua siswa bisa belajar dengan nyaman.

Dalam pembelajaran kelas inklusi guru dituntut untuk lebih peka, kreatif,
dan memiliki beberapa keahlian khusus untuk mendidik dan mengajar peserta
didiknya melalui kegiatan yang bervariasi dan mampu membangkitkan minat dan
semangat belajar siswanya. Oleh sebab itu, dalam makalah ini akan dibahas
mengenai desain pembelajaran pendidikan inklusi, penempatan peserta didik, pola
tata ruang-desain bangku, proses pembelajaran, serta prinsip-prinsip pembelajar.
1
Achmad Hufron, dkk., “Manajemen Kesiswaan Pada Sekolah Inklusi”, dalam Jurnal Pendidikan
Humaniora, Vol. 4, No. 2, Juni 2016, hal. 95-105

4
Penyusun berharap, dengan adanya makalah sederhana ini bisa menambah
pengetahuan kita mengenai konsep pendidikan inklusi di Indonesia khususnya
pada kegiatan pembelajaran yang ada di dalamnya.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Kebijakan Pendidikan inklusi?
2. Tujuan Kebijakan Pendidikan Inklusi?
3. Karakteristik Pendidikan Inklusi?
4. Landasan Kebijkan Pendidikan Inklusi?
5. Konsep dan model pendidikan inklusi?

C. Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan kebijakan pendidikan inklusi
2. Mengetahui tujuan pendidikan inklusi
3. Mengetahui apa saja karakteristik pendidikan inklusi
4. Mengatahui berbagai landasan kebijakan inklusi
5. Mengetahui konsep konsep dan model pendidikan inklusi

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebijakan Pendidikan Inklusi


.
Pendidikan inklusi adalah bentuk penyelenggaraan pendidikan yang
menyatukan anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak normal pada
umumnya untuk belajar. Menurut Hildegun Olsen2, pendidikan inklusi adalah
sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik,
intelektual, sosial emosional, linguistik atau kondisi lainnya. Ini harus
mencakup anak-anak penyandang cacat, berbakat. Anak-anak jalanan dan
pekerja anak berasal dari populasi terpencil atau berpindah-pindah. Anak
yang berasal dari populasi etnis minoritas, linguistik, atau budaya dan
anakanak dari area atau kelompok yang kurang beruntung atau
termajinalisasi. Pendidikan inklusi adalah sebuah pelayanan pendidikan bagi
peserta didik yang mempunyai kebutuhan pendidikan khusus di sekolah
regular (SD, SMP, SMU, dan SMK) yang tergolong luar biasa baik dalam arti
kelainan, lamban belajar maupun berkesulitan belajar lainnya3.
Menurut Staub dan Peck4, pendidikan inklusi adalah penempatan anak
berkelainan ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas. Hal ini
menunjukan kelas regular merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak-
anak berkelainan, apapun jenis kelainanya. Dari beberapa pendapat, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan inklusi adalah pelayanan
pendidikan untuk peserta didik yang berkebutuhan khusus tanpa memandang
12 kondisi fisik, intelektual, sosial emosional, linguistik atau kondisi lainnya
untuk bersama-sama mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah regular
(SD, SMP, SMU, maupun SMK)
Smith mengemukakan bahwa kata inklusif merupakan istilah terbaru
yang digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan bagi anak-anak
berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program-program
2
(Tarmansyah, 2007;82)
3
(Lay Kekeh Marthan, 2007:145)
4
(Tarmansyah, 2007;83),

6
sekolah. Inklusif juga dapat berarti bahwa tujuan pendidikan bagi siswa yang
memiliki hambatan adalah keterlibatan dari tiap anak dalam kehidupan
sekolah yang menyeluruh. Selain itu, Inklusif juga berarti penerimaan anak-
anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi
sosial, dan konsep dari (visi misi) sekolah5
Definisi pendidikan inklusif yang diterima oleh banyak pihak adalah
definisi yang diangkat dari seminar tentang pendidikan inklusif di Agra India
tahun 1988. Hasil seminar tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Stubbs
pendidikan inklusif didefinisikan sebagai berikut
1. Lebih luas daripada pendidikan formal: mencakup pendidikan di
rumah, masyarakat, sistem nonformal dan informal.
2. Mengakui bahwa semua anak dapat belajar.
3. Memungkinkan struktur, sistem dan metodologi pendidikan memenuhi
kebutuhan semua anak.
4. Mengakui dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak: usia,
jender, etnik, bahasa, kecacatan, status HIV/AIDS dan lain-lain.
5. Merupakan proses yang dinamis yang senantiasa berkembang sesuai
dengan budaya dan konteksnya
6. Merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mempromosikan
masyarakat yang inklusif6

Dari beberapa definisis di atas, peneliti menyimpulkan bahwa yang


dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang
mengikutsertakan semua anak tanpa terkecuali (termasuk anak berkebutuhan
khusus) untuk dapat belajar bersama-sama dengan teman sebayanya dalam satu
kelas

5
J. David Smith, Sekolah Inklusif: Konsep dan Penerapan Pembelajaran, terj. Denis dan Enrica
(Bandung: Nuansa Cendekia, 2014), 45.
6
Stubbs, Pendidikan Inklusif: Ketika Hanya.,38-39

7
B. Tujuan Kebijakan Pendidikan Inklusi

Secara umum pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk


mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi pribadinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia dan
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (UU No 20
tahun 2003, Pasal 1 ayat 1).

Oleh sebab itu inti dari pendidikan inklusi adalah hak azasi manusia atas
pendidikan. Suatu konsekuensi logis dari hak ini adalah semua anak mempunyai
hak untuk menerima pendidikan yang tidak mendiskriminasikan dengan
kecacatan, etnis, agama, bahasa, jenis kelamin, kemampuan dan lain-lain. Tujuan
praktis yang ingin dicapai dalam pendidikan inklusi meliputi tujuan langsung oleh
anak, oleh guru, oleh orang tua dan oleh masyarakat.

a) Tujuan yang ingin dicapai oleh anak dalam mengikuti kegiatan belajar
dalam inklusi antara lain adalah

1. berkembangnya kepercayaan pada diri anak, merasa bangga pada diri


sendiri atas prestasi yang diperolehnya.
2. anak dapat belajar secara mandiri, dengan mencoba memahami dan
menerapkan pelajaran yang diperolehnya di sekolah ke dalam
kehidupan sehari-hari.
3. anak mampu berinteraksi secara aktif bersama teman-temannya, guru,
sekolah dan masyarakat.
4. anak dapat belajar untuk menerima adanya perbedaan, dan mampu
beradaptasi dalam mengatasi perbedaan tersebut

b) Tujuan yang ingin dicapai oleh guru-guru dalam pelaksanakan


pendidikan inklusi antara lain adalah

1. guru akan memperoleh kesempatan belajar dari cara mengajar dengan


setting inklusi.

2. terampil dalam melakukan pembelajaran kepada peserta didik yang


memiliki latar belakang beragam.

8
3. mampu mengatasi berbagai tantangan dalam memberikan layanan
kepada semua anak.

4. bersikap positif terhadap orang tua, masyarakat, dan anak dalam situasi
beragam.

5. mempunyai peluang untuk menggali dan mengembangkan serta


mengaplikasikan berbagai gagasan baru melalui komunikasi dengan
anak di lingkungan sekolah dan masyarakat

c) Tujuan yang akan dicapai bagi orang tua antara lain adalah:

1. para orang tua dapat belajar lebih banyak tentang bagaimana cara
mendidik dan membimbing anaknya lebih baik di rumah, dengan
menggunakan teknik yang digunakan guru di sekolah.

2. mereka secara pribadi terlibat, dan akan merasakan keberadaanya


menjadi lebih penting dalam membantu anak untuk belajar.

3. orang tua akan merasa dihargai, merasa dirinya sebagai mitra sejajar
dalam memberikan kesempatan belajar yang berkualitas kepada
anaknya

4. orang tua mengetahui bahwa anaknya dan semua anak yang di sekolah,
menerima pendidikan yang berkualitas sesuai dengan kempuan
masingmasing individu anak

d) Tujuan yang diharapkan dapat dicapai oleh masyarakat dalam


pelaksanaan pendidikan inklusif antara lain adalah

1. masyarakat akan merasakan suatu kebanggaan karena lebih banyak


anak mengikuti pendidikan di sekolah yang ada di lingkungannya.

2. semua anak yang ada di masyarakat akan terangkat dan menjadi


sumber daya yang potensial, yang akan lebih penting adalah bahwa
masyarakat akan lebih terlibat di sekolah dalam rangka menciptakan
hubungan yang lebih baik antara sekolah dan masyarakat7. Selanjutnya
tujuan pendidikan inklusi menurut Raschake dan Bronson

7
(Tarmansyah, 2007:112-113)

9
C. Karakteristik Pendidikan Inklusi

Pendidikan inklusif memiliki beberapa karakteristik. Karakterisitik


tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Mohammad Takdir Ilahi, meliputi:

1. Kurikulum yang fleksibel Penyesuaian kurikulum dalam pendidikan


inklusif lebih menekankan pada bagaimana memberikan perhatian penuh
terhadap kebutuhan peserta didik, perlu adanya penyesuaian kurikulum
berkaitan dengan waktu penguasaan terhadap sejumlah materi pelajaran.
Fleksibelitas kurikulum harus menjadi prioritas utama dalam memberikan
kemudahan pada peserta didik yang belum mendapatkan layanan pendidikan
terbaik demi menunjang karier dan masa depanya. Misalnya dengan
memberikan materi yang sesuai dengan kebutuhan mereka, terutama berkaitan
dengan keterampilan dan potensi peserta didik yang belum berkembang.

2. Pendekatan pembelajaran yang fleksibel Dalam kelas inklusif


terdapat peserta didik yang beragam salah satunya dalam hal kemampuan
memahami materi pembelajaran. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan
pendidikan inklusif seorang pendidik harus mampu menggunakan pendekatan
yang mampu mengakomodasi seluruh peserta didik tanpa menyulitkan peserta
didik dengan berkebutuhan khusus sesuai dengan tingkat kemampuanya.

3. Sistem evaluasi yang fleksibel Penilaian dalam pendidikan inklusif


harus disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik termasuk peserta didik
dengan kebutuhan khusus. Pendidik harus memperhatikan keseimbangan
kebutuhan antara peserta didik berkebutuhan khusus dan peserta didik normal
lainya.
4. Pembelajaran yang ramah Pembelajaran yang ramah sangat
diperlukan demi mendorong kelancaran dalam pelaksanaan pendidikan
inklusif. Para peserta didik berkebutuhan khusus memerlukan dukungan dan
motivasi yang mampu mendorong mereka untuk dapat berinteraksi dengan
lingkungan. Oleh karenanya, komponen utama yang diperlukan adalah adanya
lingkungan yang ramah.8

8
Ibid., 45-48

10
Dengan demikian, dapat dipahami bahwasanaya dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif sekolah harus mampu mengakomodasi
kebutuhan seluruh peserta didik yang beragam. Sehingga sistem yang ada
disekolah disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, baik dalam hal
kurikulum, pendekatan pembelajaran, evaluasi, lingkungan belajar maupun
yang lainya.

D. Landasan Kebijakan Pendidikan Inklusi

1. Landasan filosofis

Landasan filosofis pendidikan inklusif bermula dari pembelaan


terhadap hak asasi manusia dan Deklarasi Dunia berkenaan dengan
pendidikan untuk semua, yang mendasari ide awal pendidikan inklusif. 9
Landasan filosofis bagi pendidikan Inklusif di Indonesia yaitu:
a. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang
Negara burung Garuda yang berarti “bhineka tunggal ika”.
Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi,
dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang menjunjung tinggi
persatuan dan kesatuan dalam NKRI.
b. Pandangan agama (khususnya islam): manusia dilahirkan dalam
keadaan suci, kemuliaan manusia di hadapan Tuhan (Allah) bukan
karena fisik tetapi takwanya, allah tidak akan merubah nasib suatu
kaum kecuali kaum itu sendiri, manusia diciptakan berbeda-beda
untuk saling silaturrahmi.
c. Pandangan universal hak azasi manusia menyatakan bahwa setiap
manusia mempunyai hak untuk hidup layak, pendidikan, kesehatan,
dan pekerjaan.
d. Pendidikan inklusi merupakan implementasi pendidikan yang
berwawasan multikulturalyang dapat membantu peserta didik
mengerti, menerima, serta menghargai orang lain yang berbeda

9
Aufal Marom Muh, Studi Kebijakan Pendidikan Inklusif (Implementasi Peraturan Gubernur
Daerah Istimewa Yogyakarta No. 21 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Di
Sd Negeri 1 Trirenggo Bantul), UIN KALIJAGA: Jogja, 2017 hal.27

11
suku, budaya, nilai, kepribadian, dan keberfungsian fisik maupun
psikologis.
2. Landasan Yuridis.
1) UUD 1945 (amandemen) pasal 31
a) Ayat(1): “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”
b) Ayat(2): “setiap warga Negara wajib mengikuti Pendidikan
dasar dan pemerintah wajib membiayainya”
2) UU No. 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional pasal 5
a) Ayat (1): setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu
b) Ayat (2): warga Negara yang mempunyai kelainan fisik,
emosional, intelektual, dan atau social berhak memperoleh
pendidikan khusus
c) Ayat (3): warga Negara di daerah terpencil atau terbelakang
serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh
pendidikan layanan khusus
d) Ayat (4): warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
3) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
a) Pasal 48: pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar
minimal 9 (Sembilan) tahun untuk semua anak.
b) Pasal 49: Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak
untuk memperoleh pendidikan.
4) UU No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat
Pasal 5: setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan
yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
5) Permendiknas No. 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi
peserta didik yang memiliki kelainan dan potensi kecerdasan dan
atau bakat istimewa
6) Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas
No.380/C.C6/MN/2003 20 januari 2003: “setiap kabupaten/kota
diwajibkan menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan di

12
sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari: SD,
SMP,SMA, SMK.
7) Deklarasi Bandung: “Indonesia menuju pendidikan inklusif”
tanggal, 8-14 Agustus 2004
a) Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkelainan
lainnya mendapatkan kesempatan akses dalam segala aspek
kehidupan, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, social,
kesejahteraan, keamanan, maupun bidang lainnya, sehingga
menjadi generasi penerus yang handal
b) Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkelainan
lainnya sebagai individu yang bermartabat, untuk
mendapatkan perlakuan yang manusiawi, pendidikan yang
bermutu dan sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat,
tanpa perlakuan diskriminatif yang merugikan eksistensi
kehidupannya baik secara fisik, psikologis, ekonomis,
sosiologis, hokum, politis maupun cultural
c) Menyelenggarakan dan mengembangkan pengelolaan
menciptakan lingkungan yang mendukung bagi anak
berkelainan dan anak berkelainan lainnya, sehingga
memungkinkan mereka dapat mengembangkan keunikan
potensinya secara optimal
d) Menjamin kebebasan anak berkelainan dan anak berkelainan
lainnya untuk berinteraksi baik secara reaktif maupun proaktif
dengan siapapun, kapanpun, dan di lingkungan manapun,
dengan meminimalkan hambatan
e) Mempromosikan dan mensosialisasikan layanan pendidikan
inklusif melalui media masa, forum ilmiah, pendidikan dan
pelatihan dan lainnya secara berkesinambungan
f) Menyususn rencana aksi (action plan) dan pendanaannya
untuk pemenuhan aksesibilitas fisik dan non-fisik, layanan
pendidikan yang berkualitas, kesehatan, rekreasi,
kesejahteraan bagi semua anak berkelainan dan anaka
berkelainan lainnya

13
g) Pendidikan inklusif yang ditunjang kerja sama yang sinergis
dan produktif antara pemerintah, institusi pendidikan, institusi
terkait, dunia usaha dan industry, orang tua serta masyarakat.
8) Deklarasi Bukittinggi tahun 2005
a) Sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah
secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi
nasional untuk “Pendidikan Untuk Semua” adalah benar-benar
untuk semua.
b) Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua memperoleh
pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas di dalam
komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari program-
program untuk perkembangan anak usia dini, pra-sekolah,
pendidikan dasar dan menengah, terutama mereka yang pada
saat ini masih belum diberi kesempatan untuk memperoleh
pendidikan di sekolah umum atau masih rentan terhadap
marginalisasi dan enklusi.
c) Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang
menghargai dan mengnhormati perbedaan individusemua
warga Negara
3. Landasan Pedagogis.
Pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas menyebutkan
bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis
dan bertanggung jawab. Jadi melalui pendidikan, peserta didika
berkelaian  dibentuk menjadi warga Negara yang demokratis dan
bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu menghargai
peerbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil
tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di
sekolah-sekolah khusus. Betapapun kecilnya, mereka harus diberi
kesempatan bersama teman sebayanya.
4. Landasan Empiris.

14
Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di Negara-negara
barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar yang
dipelopori oleh the National Academy of Science (AS). Hasilnya
menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di
sekolah, kelas atau tempat khusus tidak effective dan diskriminatif.
Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara
segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang
tepat (Heller, Holtzman & Messick, 1982). Beberapa pakar bahkan
mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan
penempatan anak  berkelainan secara tepa, karena karakteristik mereka
yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan Walberg, 1994/1995)
Prisoner (2003) yang melakukan survey pada kepala sekolah
tentang sikap mereka terhadap pendidikan inklusif menemukan bahwa
hanya satu dari lima sekolah tersebut yang memiliki sikap postif
tentang penerapan pendidikan inklusif. Dalam suatu penelitian
menemukan bahwa guru-guru dalam sekolah inklusif lebih memiliki
sikap positif  terhadap peran guru inklusi dan dampaknya daripada
guru pada sekolah regular. Meyer (2001) mengatakan bahwa siswa
yang memiliki kecacatan yang cukup ditemukan untuk memiliki
keberhasilan  yang lebih besar manakala mereka memperoleh
pendidikan dalam lingkungan yang menerima mereka khususnya yang
berkaitan dengan hubungan social dan persahabatan mereka dengan
masyarakatnya.

E. Konsep dan Model Pendidikan Inklusif

Konsep pendidikan inklusif berkembang dari pendidikan khusus


untuk Penyandang Disabilitas. Peter Clough dan Jenny Corbett dalam
buku berjudul Theories of Inclusive Education menjelaskan tahapan ide
inklusi serta teori yang mendukungnya.
Berawal dari pyscho medical theory yang berasumsi bahwa
difabilitas adalah masalah kesehatan, baik fisik maupun mental. Problem
kesehatan pada Penyandang Disabilitas tersebut, memunculkan anggapan

15
bahwa mereka harus disediakan lingkungan khusus, untuk memperoleh
pendidikan khusus (PLB) yang sesuai dengan masalah kesehatannya.
Teori selanjutnya adalah sosiological response.
Teori ini berargumen bahwa, pendidikan khusus muncul karena
kosntruksi sosial, menganggap Penyandang Disabilitas memiliki
kekurangan dan membutuhkan pendidikan khusus. Dengan kata lain,
kebutuhan khusus hanya ketidak-beruntungan kontruksi sosial dan bukan
merupkan kekurangan individu.
Perlawanan terhadap ketidak-beruntungan kontruksi sosial tersebut,
ditanggapi oleh pakar teori kurikulum (curricular approach) yang mencoba
memaksimalkan partisipasi masyarakat beserta budaya, dalam bentuk
kurikulum pendidikan yang disesuaikan untuk semua atau dengan istilah
curricula for all (kurikulum untuk semua).
Adanya istilah kurikulum untuk semua ini, kemudian menjadi ide
untuk menciptakan sebuah sistem pendidikan sekolah yang komprehensif
dan inklusif, yang kemudian menjadi wacana ide sistem pendidikan
sekolah inklusif.
Ide sistem pendidikan sekolah inklusif berkembang sebagai satu
disiplin ilmu (disability studies) dan memunculkan berbagai model
lingkungan sosial bagi Penyandang Disabilitas (social model of disability)
dengan menolak anggapan bahwa, difabilitas bukanlah problem individu,
melainkan karena struktur masyarakat yang tidak dibangun dan diatur
dengan mempertimbangkan keberadaan serta kebutuhan difabel.10
Tahap perkembangan konsep pendidikan bagi Penyandang
Disabilitas beserta teori pendukungnya ini, memberikan gambaran yang
runtut dan jelas. Berbagai pakar di bidang sosiologi dan ilmu kurikulum
terapan, menjadi tergerak untuk memberikan tanggapan dan solusinya.
Sehingga, hal ini mampu merubah paradima dan sudut pandang mengenai
difabilitas yang semula dianggap sebagai kecacatan atau problem
kesehatan individu, menjadi satu hal yang disadari dalam kerangka
perbedaan kebutuhan. Dan anggapan tentang kecacatan atau problem
kesehatan individu tersebut berangsur berubah, seiring perubahan
paradigma masyarakat dalam memandang Penyandang Disabilitas.
10
Peter Clough dan Jenny Corbett, dalam Ro’fah, dkk., Inklusi pada Pendidikan Tinggi, hlm. 8-11.

16
Perkembangan theory Social model of disability ini kemudian
memberi konsep lingkungan pendidikan untuk Penyandang Disabilitas
dalam dua jenis.
(a) Exclusio (segregrasi) adalah bentuk pendidikan khusus yang
diberikan kepada peserta didik difabel secara terpisah dari
sekolah umum. Sekolah ini desebut sebagai Sekolah Luar Biasa
(SLB).
(b) Integrationparticipation atau mainstreaing adalah pembelajaran
siswa berkebutuhan khusus dalam satu lingkungan dengan
siswa nondifabel, baik dengan kelas khusus (locational
integration) atau dalam satu kelas (functional integration).11
Skjorten mengidentifikasi tiga faktor yang perlu diakomodasi secara
holistic dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, yaitu:
(1) Lingkungan atau sikap lingkungan, berkaitan dengan respon
lingkungan sosial terhadap siswa difabel, baik ketika di sekolah
atupun di luar sekolah. Ketika di sekolah, guru harus mengenal
dan memahami perbedaan serta karakteristik semua siswa. Hal
ini bertujuan untuk merancang proses pembelajaran yang sesuai
dengan berbagai karakteristik siswa. Sedangkan ketika di luar
sekolah, siswa harus berada di lingkungan yang mendukung
proses inklusifitas.
(2) Peserta didik, atau faktor dalam diri peserta didik yang
memiliki rasa ingin tahu, dorongan untuk belajar, motifasi,
kreatifitas, inisiatif serta tingkat kompetensi yang dimiliki.
(3) Hakikat dan tingkat kebutuhan khusus adalah gambaran
mengenai kebutuhan khusus yang dibutuhkan dalam proses
pembelajaran. Pemahaman pada tingkat kebutuhan khusus inilah
yang harus direspon oleh lingkungn siswa penyandang
disabilitas.12
Proses penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak bisa
mengabaikan satu dari tiga faktor tersebut. Mengakomodasikan

11
Ibid,hal.5
12
Aufal Marom Muh, Studi Kebijakan Pendidikan Inklusif (Implementasi Peraturan Gubernur
Daerah Istimewa Yogyakarta No. 21 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Di
Sd Negeri 1 Trirenggo Bantul), UIN KALIJAGA: Jogja, 2017 hal.20

17
ketiganya menjadi satu kesatuan yang berjalan bersama, adalah
cara yang paling mungkin untuk membentuk lingkungan
pendidikan yang inklusif. Karena, mengabaikan satu saja dari
faktor tersebut, akan merubah konsep dan tujuan pendidikan
inklusif.
Konsep pendidikan inklusif sangat toleran terhadap keberagaman.
Sikap toleran ini, menjadi modal awal, sebagai media interaksi sosial yang
mengajarkan sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan. Hal ini
berbeda dengan sistem pendidikan segregasi dan pendidikan khusus yang
memisahkan lingkungan pendidikan bagi Penyandang Disabilitas,
sehingga menjadi penyebab praktik marjinalisasi dan diskriminasi
pendidikan bagi Penyandang Disabilitas.13
Menurut Dedi Kustawan, Pendidikan inklusif harus mampu
menciptakan lingkungan yang ramah dan selalu tanggap dalam:
a. Mendata dan memetakan anak yang belum atau tidak sekolah agar
dapat dimungkinkan belajar di sekolah terdekat,
b. Mengembangkan pembelajaran efektif bagi semua anak, dengan
desain pembelajaran yang berpusat pada anak,
c. Menjembatani semua jenis perbedaan dengan memberikan peluang
sama, agar semua siswa terlibat aktif,
d. Menjamin semua siswa terhindar dari berbagai perilaku pelecehan
baik secara fisik maupun psikis,
e. Mengundang partisipasi penuh dari semua stakeholder pendidikan
(siswa, orang tua dan masyarakat)
Konsep pendidikan Inklusif di atas membentuk satu model
pendidikan yang khas untuk menghilangkan sikap diskriminatif dengan
membentuk lingkungan (conditioning community) yang ramah dan
terbuka (menghargai perbedaan), untuk belajar bersama. Sehingga,
pendidikan inklusif memiliki enam komponen khas sebagai berikut:
a. Fleksibelitas Kurikulum; menyesuaikan keragaman serta
perkembangan siswa dalam kelas.

13
Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusif: Konsep dan Aplikasi (Yogyakarta: ArRuzz Media,
2013), hlm. 3

18
1) siswa berkemampuan akademik rata-rata dengan siswa
berkemampuan akademik tinggi menggunakan kurikulum
terpaduu dengan kurikulum normal (kurikulum modifikasi);
2) siswa berkemampuan akademik sedang atau di bawah rata-
ratamenggunakan kurikulum fungsional (vokasional);
3) siswa berkemampuan sangat rendah menggunakan kurikulum
pengembangan bina diri dan kurikulum kompensasi,
b. Tenaga Pendidik (Guru); mampu mengatur rencana dan proses
belajar mengajar serta melakukan evaluasi untuk mengukur tingkat
keberhasilan siswa,
c. Input Peserta Didik; Karakteristik setiap siswa harus diketahui
melalui identifikasi dan asessment sejak awal sebelum proses
modifikasi kurikulum dan kegiatan belajar mengajar,
d. Lingkungan pendidikan inklusif; tidak terbatas di sekolah, tetapi
mencakup lingkungan luas,
e. Evaluasi Pembelajaran; penilian hasil belajar mengajar selalu
dipantau untuk melihat kemajuan atau capaian siswa dalam kurun
waktu tertentu, sesuai kurikulum yang telah dimodifikasi.
f. Sarana Prasarana Pendidikan Inklusif; ruang lingkup bangun
sekolah termasuk fasilitas disesuaikan untuk memudahkan
mobililitas siswa berkebutuhan khusus.

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pendidikan inklusi adalah bentuk penyelenggaraan pendidikan


yang menyatukan anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak normal pada
umumnya untuk belajar. Salah satu tujuan adanya pendidikan inklusif adalah
untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam kehidupan
masyarakat. Tujuan yang lain adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada semua anak mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan
kenutuhannya, membantu mempercepat program penuntasan wajib belajar
pendidikan dasar 9 tahun yang bermutu, membantu meningkatkan mutu
pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus
sekolah, selanjutnya yaitu menciptakan sistem pendidikan yang menghargai
keberagaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran. Pendidikan
inklusif di Indonesia memiliki beberapa landasan yaitu : Landasan Filosfis,
Landasan empiris, Landasan Yuridis dan landasan Pedagogis

20
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hufron, d. (2016). Manajemen Kesiswaan Pada Sekolah Inklusi . Jurnal


Pendidikan Humaniora, 95-105.

Ilahi, M. T. (2013). Pendidikan Inklusif: Konsep dan Aplikasi . Yogyakarta: Ar


Ruzz media.

Marom, M. A. (2017). Studi Kebijakan Pendidikan Inkliusif. Implementasi


Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No.21 Tahun 2013
Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di SD Negri 1 Trirenggo
Bantul, 20.

Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Jawa Timur. (2012).


Surabaya: Dinas Pendidikan Jawa Timur.

Smith, J. D. (2014). Sekolah Inklusif: Konsep dan Penerapan Pembelajaran, terj.


Denid dan Enrica. Bandung: Nuansa Cendekia.

The Salamanca Statement and Framework For Action On Special Needs


Education. (1994). Salamanca: UNESCO.

21

Anda mungkin juga menyukai