Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
PENDIDIKAN BIOLOGI
2019
DAFTAR ISI
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga saya berhasil menyelesaikan penyusunan makalah ini
untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Inklusi ,yang berjudul Pendidikan Inklusi dan
Kendalanya . Makalah ini berisikan tentang informasi Pendidikan Inklusi serta kendala –
kendala yang dihadapi dalam implementasi pendidikan inklusi . Diharapkan makalah ini
dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang Pendidikan Inklusi tersebut.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita. Amin. Ya Robbal Alamiin.
Saidatul Karimah
2
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu
kepada setiap warganya tanpa terkecuali, karena pendidikan merupakan kebutuhan dasar
setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Hal ini
juga termasuk untuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti
yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1. Namun sayangnya sistem pendidikan di
Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya
segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan
perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Jelas segmentasi
lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati
realitas keberagaman dalam masyarakat.
Akibat sistem pendidikan tersebut dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel
menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi
tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa
keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Untuk mengatasi masalah tersebut pendidikan inklusi diharapkan dapat memecahkan salah
satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus selama ini.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
pembahasan ini adalah:
3
5. bagaimana implementasi pendidikan inklusif di Indonesia?
3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas , maka tujuan dalam pembahasan ini adalah:
4
BAB II
PEMBAHASAN
Inklusif juga dapat diartikan sebagai cara berfikir dan bertindak yang memungkinkan
setiap individu merasakan diterima dan dihargai. Lebih jauh lagi inklusif berarti
bahwa semua anak dapat diterima meskipun konsep “semua anak”
harus cukup jelas, dan masih sulit bagi banyak orang untuk memahaminya.
Pendidikan inklusif merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem
pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa
untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Pendidikan inklusif merupakan model
penyelenggaraan program pendidikan bagi anak berkelainan atau cacat dimana
penyelenggaraannya dipadukan bersama anak normal dan tempatnya di sekolah umum
dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga bersangkutan.
Para ahli pendidikan mengemukakan konsep pendidikan inklusif secara beragam, namun
pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama. Ada beberapa ahli pendidikan mendefinisikan
pendidikan inklusif sebagai berikut:
1. Menurut Stainback(1990) bahwa sekolah inklusif adalah sekolah yang menampung
semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak,
menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan
dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu,
sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas
tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota
masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.
5
3. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 tahun 2009, menyebutkan
pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan
kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu
lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik umumnya.
4. Stout (2001:1) mengemukakan tentang defnisi inklusi sebagai berikut : “Inclusion is a term
which expresses commitment to educate each child, to the maximum extent appropriate, in
the school and classroom he or she would otherwise attend. It involves bringing the support
services to the child (rather than moving the child to the services) and requires only that the
child will benefit from being in the class (rather than having to keep up with the other
student)”.
Dari pernyataan di atas dapat diartikan bahwa inklusi merupakan suatu istilah yang
menyatakan komitmen terhadap pendidikan yang sedemikian tepatnya bagi setiap anak, di
mana akan mengikuti pendidikan baik di sekolah maupun di kelas. Inklusi melibatkan
berbagai dukungan layanan terhadap anak dan hanya memerlukan bahwa anak akan
mendapat manfaat dari kehidupan di kelas (lebih baik mengalami untuk mengikuti siswa
yang lain).
6. “Inklusi itu masa depan, milik ras manusia, hak asasi manusia, pengupayaan agar bisa
hidup berdampingan satu sama lain, bukanlah sesuatu hal yang harus dilakukan kepada
seseorang atau untuk seseorang, dilakukan bersama bagi satu sama lain, bukanlah sesuatu
yang kita lakukan sedikit saja”. (Marsha Forest, 2005: 19).
Pendidikan inklusif berarti sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang
kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik atau kondisi lainnya. Ini harus
mencakup anak-anak penyandang cacat dan berbakat. Anak-anak jalanan dan pekerja, anak
berasal dari populasi terpencil atau yang berpindah-pindah. Anak dari kelompok etnis
minoritas, linguistik atau budaya dan anak-anak dari area atau kelompok yang kurang
beruntung atau termajinalisasi.
Pada hakekatnya pendidikan inklusif tidaklah hanya sebatas untuk memberi kesempatan
kepada anak-anak berkebutuhan khusus, untuk menikmati pendidikan yang sama, namun hak
6
berpendidikan juga untuk anak-anak lain yang kurang beruntung, misalnya anak dengan
HIV/AIDS, anak-anak jalananan, anak yang tidak mampu (fakir-miskin), anak-anak korban
perkosaan, korban perang dan lainnya, tanpa melihat agama, ras dan bahasanya. Konsep
pendidikan inklusif memiliki lebih banyak kesamaan dengan konsep yang melandasi gerakan
‘Pendidikan untuk Semua’ dan ‘Peningkatan mutu sekolah’. Namun kebijakan dan praktek
inklusi anak berkebutuhan khusus (penyandang cacat) telah menjadi katalisator utama untuk
mengembangkan pendidikan inklusif yang efektif, yang fleksibel dan tangap terhadap
keanekaragaman gaya dan kecepatan belajar.
Inti pendidikan inklusif adalah hak azazi manusia atas pendidikan. Seperti yang
diinformasikan pada Deklarasi Hak Azazi Manusia pada tahun 1994, yang sama pentingnya
adalah hak agar tidak didiskriminasikan. Suatu konsekuensi logis dari hak ini adalah bahwa
semua anak mempunyai hak untuk menerima pendidikan. Tidak didiskriminasikan dengan
dasar kecacatan, etnis, agama, bahasa, jenis kelamin, kemampuan dan lain-lain.
Jadi dapat disimpulkan pendidikan inklusif adalah pendidikan yang menempatkan anak
luar biasa atau anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak normal dalam satu
kelas di sekolah umum yang dekat dengan tempat tinggalnya.
Anak berkebutuhan khusus ditujukan pada segolongan anak yang memiliki kelainan atau
perbedaan sedemikian rupa dari anak rata-rata normal dalam segi fisik, mental, emosi, sosial,
atau gabungan dari ciri-ciri itu dan menyebabkan mereka mengalami hambatan untuk
mencapai perkembangan yang optimal sehingga mereka memerlukan layanan pendidikan
khusus untuk mencapai perkembangan yang optimal. Istilah lain bagi anak berkebutuhan
khusus adalah anak luar biasa, anak cacat dan juga anak cerdas istimewa dan bakat istimewa.
1. Anak tunanetra, yaitu anak yang mengalami kelainan kehilangan ketajaman penglihatan
sedemikian rupa sehingga penglihatannya tidak dapat digunakan untuk melakukan aktivitas
sehari-hari termasuk untuk sekolah sehingga memerlukan layanan pendidikan khusus.
7
2. Anak tunarungu, yaitu anak yang mengalami kehilangan kemampuan mendengar, baik
kehilangan kemampuan mendengar sama sekali maupun kehilangan kemampuan mendengar
sebagian.
4. Anak tunadaksa, yaitu anak yang memiliki kelainan fungsi fisik yang sedemikian rupa
sehingga mengganggu proses pembelajaran yang biasa digunakan bagi siswa umum.
5. Anak tunalaras, yaitu anak dengan gangguan emosional, anak dengan kekacauan psikologis,
atau anak dengan hambatan mental.
6. Anak berkesulitan belajar, adalah anak yang mengalami kesulitan atau gangguan dalam
belajar bidang akademik dasar sebagai akibat terganggunya sistem saraf yang terkait atau
pengaruh secara langsung dari berbagai faktor lainnya dan ditandai dengan kesenjangan
antara potensi yang dimiliki dengan prestasi yang dicapai.
7. Anak lambat belajar, yaitu siswa yang inteligensinya berada pada taraf perbatasan dengan
IQ 70-85 berdasarkan tes inteligensi baku.
8. Anak berbakat, yaitu anak yang secara umu keberbakatannya ditandai dengan ciri IQ yang
secara signifikan di atas rata-rata anak biasa dan mempunyai karakteristik tertentu.
9. Anak autisme, yaitu anak yang sangat asyik dengan dirinya sendiri seolah-olah ia hidup
dalam dunianya sendiri. Autisme merupakan suatu keadaan ketidakmampuan seseorang
melakukan kontak sosial dengan lingkungannya dengan berbagai komunikasi.
8
anak yang mengalami keterbatasan fisik maupun mental. Pendidikan inklusif mengusung
tema besar tentang pentingnya menghargai perbedaan dalam keberagaman.
Prinsip dasar yang menjadi karakter pendidikan inklusif adalah menghindari segala
sesuatu yang berkaitan dengan pelabelan atau labeling. Ketika kita memberikan pelabelan
kepada anak berkebutuhan khusus, disitulah akan muncul stigma negatif yang menyudutkan
anak dengan keterbatasan dan kekurangannya. Pelabelan bukan saja sangat berbahaya dan
bisa menimbulkan kecurigaan yang berlebihan, melainkan pula bisa menciptakan
ketidakadilan dalam menghargai perbedaan antara sesama. Salah satu dampak buruk
dari labelingadalah munculnya inferioritas bagi pihak yang diberi label negatif.
Menurut Indianto, prinsip pembelajaran yang harus menjadi perhatian guru dalan sekolah
inklusi sebagai berikut:
1. Prinsip motivasi :Guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap
memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar.
2. Prinsip latar/konteks : Guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh,
memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin
menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu
bagi anak.
4. Prinsip hubungan sosial : Dalam kegiatan belajar mengajar, guru perlu mengembangkan
strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa,
siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, seakan interaksi banyak arah.
9
5. Prinsip belajar sambil bekerja : Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi
kesempatan kepada anak untuk melakukan praktek atau percobaan, menemukan sesuatu
melalui pengamatan, penelitian dan sebagainya.
6. Prinsip individualisasi : Guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap
anak secara mendalam, baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam
menyerap materi pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, sehingga setiap
kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai.
Nasional Nomor 70 Tahun 2009 pasal 2 ayat 1 dan 2 menjelaskan pendidikan inklusi
bertujuan untuk:
10
4. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai
keanekaragaman, tidakdiskriminatif, serta ramah terhadappembelajaran.
Tujuan pendidikan inklusi di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan inklusi
adalah untuk menjamin hak setiap warga sekolah mendapatkan pendidikan, menghilangkan
diskriminasi terhadap anak berkebutuhan khusus dan membantu meningkatkan mutu
pendidikan.
Tujuan praktis yang ingin dicapai dalam pendidikan inklusif meliputi tujuan yang dapat
dirasakan langsung oleh anak, guru, orang tua dan masyarakat. Secara lebih rinci,
Tarmansyah menjelaskan tujuan pendidikan inklusif. Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh
anak dalam mengikuti kegiatan belajar dalam seting inklusif antara lain:
1. Berkembangnya kepercayaan pada diri anak, merasa bangga pada diri sendiri atas prestasi
yang diperolehnya.
2. Anak dapat belajar secara mandiri, dengan mencoba memahami dan menerapkan pelajaran
yang diperoleh di sekolah ke dalam kehidupan sehari-hari di lingkungannya.
3. Anak mampu berinteraksi secara aktif bersama teman-temannya, bersama guru-guru yang
berada di lingkungan sekolah dan masyarakat.
4. Anak dapat belajar untuk menerima adanya perbedaan, dan mampu beradaptasi dalam
mengatasi perbedaan tersebut sehingga secara keseluruhan anak menjadi kreatif dalam
pembelajaran.
Tujuan yang dapat dicapai oleh guru-guru dalam pelaksanaan pendidikan inklusif adalah:
1. Guru akan memperoleh kesempatan belajar dari cara mengajar dalam seting inklusif.
2. Terampil dalam melakukan pembelajaran kepada peserta didik yang memiliki latar belakang
beragam.
3. Mampu mengatasi berbagai tantangan dalam memberikan layanan kepada semua anak.
4. Bersikap positif terhadap orang tua, masyarakat dan anak dalam situasi yang beragam.
Dalam pendidikan inklusif, guru akan memperoleh kepuasan kerja dan pencapaian
prestasi yang lebih tinggi ketika semua peserta didik mencapai keberhasilan. Dalam sekolah
11
inklusif akan tercipta nuansa yang ramah terhadap pembelajaran dan terbuka kesempatan
bagi para relawan untuk membantu pelaksanaan pembelajaran di kelas bekerjasama dengan
guru-guru.
Tujuan yang akan dicapai bagi orang tua antara lain adalah:
1. Para orang tua dapat belajar lebih banyak tentang bagaimana cara-cara mendidik anaknya,
cara membimbing anaknya lebih baik di rumah dengan menggunakan teknik yang digunakan
guru di sekolah.
2. Mereka secara pribadi terlibat dan akan merasakan keberadaannya menjadi lebih penting
dalam membantu anak untuk belajar.
3. Orang tua akan merasa dihargai, mereka merasa dirinya sebagai mitra sejajar dalam
memberikan kesempatan belajar yang berkualitas kepada anaknya. Dengan pelaksanaan
pendidikan inklusif orang tua akan dapat berinteraksi dengan orang lain, serta memahami dan
membantu memecahkan masalah yang terjadi di lingkungan masyarakat.
4. Orang tua mengetahui bahwa anaknya dan semua anak yang ada di sekolah, menerima
pendidikan yang berkualitas sesuai dengan kemampuan masing-masin individu anak.
Tujuan yang diharapkan dapat dicapai oleh masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan
inklusif antara lain:
1. Masyarakat akan merasakan suatu kebanggaan karena lebih banyak anak mengikuti
pendidikan di sekolah yang ada dilingkungannya. Masyarakat dapat melihat bahwa masalah
yang menyebabkan penyimpangan sosial yang menjadi penyakit masyarakat akan dikurangi
dengan adanya layanan pendidikan inklusif untuk semua.
2. Semua anak yang ada di masyarakat akan terangkat dan menjadi sumber daya yang
potensial. Lebih penting adalah masyarakat akan lebih terlibat di sekolah dalam rangka
menciptakan hubungan yang lebih baik antara sekolah dan masyarakat.
12
b. Pandangan agama (khususnya islam): manusia dilahirkan dalam keadaan suci, kemuliaan
manusia di hadapan Tuhan (Allah) bukan karena fisik tetapi takwanya, allah tidak akan
merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri, manusia diciptakan berbeda-beda untuk
saling silaturrahmi.
c. Pandangan universal hak azasi manusia menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak
untuk hidup layak, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.
2. Landasan Yuridis
a. Nasional
a) Ayat (1): setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu
b) Ayat (2): warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, intelektual, dan atau
social berhak memperoleh pendidikan khusus
c) Ayat (3): warga Negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang
terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus
d) Ayat (4): warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus.
b) Pasal 49: Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.
13
Pasal 5: setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala
aspek kehidupan dan penghidupan.
5) Permendiknas No. 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang
memiliki kelainan dan potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa
7) Deklarasi Bandung: “Indonesia menuju pendidikan inklusif” tanggal, 8-14 Agustus 2004
a) Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkelainan lainnya mendapatkan kesempatan
akses dalam segala aspek kehidupan, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, social,
kesejahteraan, keamanan, maupun bidang lainnya, sehingga menjadi generasi penerus yang
handal
b) Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkelainan lainnya sebagai individu yang
bermartabat, untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi, pendidikan yang bermutu dan
sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat, tanpa perlakuan diskriminatif yang
merugikan eksistensi kehidupannya baik secara fisik, psikologis, ekonomis, sosiologis,
hokum, politis maupun cultural
d) Menjamin kebebasan anak berkelainan dan anak berkelainan lainnya untuk berinteraksi baik
secara reaktif maupun proaktif dengan siapapun, kapanpun, dan di lingkungan manapun,
dengan meminimalkan hambatan
f) Menyususn rencana aksi (action plan) dan pendanaannya untuk pemenuhan aksesibilitas
fisik dan non-fisik, layanan pendidikan yang berkualitas, kesehatan, rekreasi, kesejahteraan
bagi semua anak berkelainan dan anaka berkelainan lainnya
g) Pendidikan inklusif yang ditunjang kerja sama yang sinergis dan produktif antara
pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industry, orang tua serta
masyarakat.
b. Internasional
14
a) Sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh yang akan
menjamin bahwa strategi nasional untuk “Pendidikan Untuk Semua” adalah benar-benar
untuk semua
b) Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang
berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari program-program
untuk perkembangan anak usia dini, pra-sekolah, pendidikan dasar dan menengah, terutama
mereka yang pada saat ini masih belum diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan di
sekolah umum atau masih rentan terhadap marginalisasi dan enklusi
3. Landasan Pedagogis
Manusia dapat dididik sekaligus dapat mendidik serta saling mendidik sesamanya.
Seorang manusia akan menjadi manusia yang sebenarnya hanya melalui pendidikan yang
dilakukan oleh manusia lainnya. Pendidikan hanya mungkin terjadi apabila manusia itu
berhubungan dengan manusia lainnya yang menyelenggarakan pendidikan.
4. Landasan Empiris
Penelitian tentang inklusif telah banyak dilakukan di negara-negara Barat sejak 1980-an,
namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh The National Academy Of
Sciences (Amerika Serikat). Beberapa peneliti kemudian menyimpulkan bahwa pendidikan
inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak
berkelainan dan teman sebayanya.
Indonesia Menuju Pendidikan inklusi Secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 agustus
2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan
pendidikan bagi semua anak termasuk penyandang cacat anak. Setiap penyandang cacat
berhak memperolah pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal
6 ayat 1). Setiap penyandang cacat memiliki hak yang sama untuk menumbuh kembangkan
bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997 tentang
penyandang cacat).
15
cacat anak untuk menjangkau SLB atau SDLB relatif sangat jauh hingga memakan biaya
cukup tinggi yang tidak terjangkau penyandang cacat anak dari pedesaan. Ini pula masalah
yang dapat diselesaikan oleh pendidikan atau sekolah inklusi, di samping memecahkan
masalah golongan penyandang cacat yang merata karena diskriminasi sosial, karena dari
sejak dini tidak bersama, berorientasi dengan yang lain.
Di Indonesia telah dilakukan Uji coba dibeberapa daerah sejak tahun 2001, secara formal
pendidikan inklusi dideklarasikan di Bandung tahun 2004 dengan beberapa sekolah reguler
yang mempersiapkan diri untuk implementasi pendidikan inklusi. Awal tahun 2006 ini tidak
ada tanda-tanda untuk itu, informasi tentang pendidikan inklusi tidak muncul kepada publik,
isu ini tenggelam ketika isu menarik lainnya seperti biaya operasional sekolah, sistem SKS
SMA dan lain-lain.
Pengembang Kurikulum
Modifikasi/pengembangan kurikulum pendidikan inklusi dapat dilakukan oleh Tim
Pengembang Kurikulum yang terdiri atas guru-guru yang mengajar di kelas inklusi bekerja
sama dengan berbagai pihak yang terkait, terutama guru pembimbing khusus (guru
Pendidikan Luar Biasa) yang sudah berpengalaman mengajar di Sekolah Luar Biasa, dan ahli
Pendidikan Luar Biasa (Orthopaedagog), yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dasar Inklusi
(Kepala SD Inklusi) dan sudah dikoordinir oleh Dinas Pendidikan.
2. Modifikasi isi/materi
Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal, materi
dalam kurikulum sekolah reguler dapat digemukkan (diperluas dan diperdalam)
dan/atau ditambah materi baru yang tidak ada di dalam kurikulum sekolah reguler,
tetapi materi tersebut dianggap penting untuk anak berbakat.
16
Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal materi dalam
kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan, atau tingkat kesulitannya
diturunkan sedikit.
Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak
lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat dikurangi
atau diturunkan tingkat kesulitannya seperlunya, atau bahkan dihilangkan bagian
tertentu.
Namun, dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak negatifnya, yakni
mungkin “ego”-nya akan berkembang kurang baik. Anak dapat menjadi egois.Untuk
menghindari hal ini, maka pendekatan pembelajaran kompetitif ini perlu diimbangi dengan
pendekatan pembelajaran kooperatif.Melalui pendekatan pembelajaran kooperatif, setiap
anak dikembangkan jiwa kerjasama dan kebersamaannya. Mereka diberi tugas dalam
kelompok, secara bersama mengerjakan tugas dan mendiskusikannya. Penekanannya adalah
kerjasama dalam kelompok, dan kerjasama dalam kelompok ini yang dinilai. Dengan cara ini
sosialisasi anak dan jiwa kerjasama serta saling tolong menolong akan berkembang dengan
baik.
Disesuaikan dengan berbagai tipe belajar siswa (ada yang bertipe visual; ada yang bertipe
auditoris; ada pula yang bertipe kinestetis).Tipe visual, yaitu lebih mudah menyerap
informasi melalui indera penglihatan.Tipe auditoris, yaitu lebih mudah menyerap informasi
melalui indera pendengaran.Tipe kinestetis, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui
indera perabaan/gerakan.Guru hendaknya tidak monoton dalam mengajar sehingga hanya
akan menguntungkan anak yang memiliki tipe belajar tertentu saja.
17
1. Isu pemahaman pendidikan inklusif yang masih disamakan dengan integrasi, sehingga
siswa harus menyesuaikan dengan sistem di sekolah.
2. Isu kebijakan sekolah yang tidak mau menerima siswa berkebutuhan khusus dengan dalih
tidak memiliki tenaga pendidik, fasilitas dan sebagainya.
3. Isu tentang proses pembelajaran, misalnya guru masih belum bisa menerjemahkan
kurikulum yang fleksibel, menentukan tujuan sampai pada evaluasi.
4. Isu kondisi guru, belum adanya guru yang memiliki kualitas memadai sebagai guru
pendidikan inklusif.
berbagai dilema yang terjadi pada pendidikan inklusif di Indonesia, setidaknya harus segera
diantisipasi dengan kebijakan-kebijakan khusus agar tidak menghalangi pelaksanaan
implementasi kebijakan tentang pendidikan inklusif. Menurut Sunardi ada beberapa dilema
yang perlu ditangani dengan kebijakan khusus, yakni:
1. Sistem penerimaan siswa baru, khususnya ditingkat pendidikan menengah dan atas yang
menggunakan nilai ujian nasional sebagai kriteria penerimaan. Siswa hanya dapat diterima
kalau hasil ujian nasionalnya memenuhi standar minimal yang telah ditetapkan oleh masing-
masing sekolah.
2. Dijadikannya pencapaian hasil ujian nasional sebagai kriteria sekolah bermutu, bukan
diukur dari kemampuannya dalam mengoptimalkan kemampuan siswa secara komprehensif
sesuai dengan keragaman.
3. Penggunaan label sekolah inklusif dan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005
tentang Standar Pendidikan Naional pasal 41 ayat 1 tentang keharusan memiliki tenaga
kependidiakn khusus bagi sekolah inklusif sebagai alasan melakukan penolakan masuknya
anak berkelainan ke sekolah yang bersangkutan yang ditandai dengan munculnya gejala
“ekslusivisme baru”, yaitu menolak anak berkebutuhan khusus dengan alasan belum
memiliki tenaga khusus atau sekolahnya bukan sekolah inklusi.
4. Kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang ini belum mengakamodasi keberadaan
anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel).
6. Munculnya label khusus yang sengaja diciptakan oleh pemerintah maupun masyarakat yang
cenderung membentuk sikap ekslusivisme, seperti sekolah unggulan, sekolah berstandar
nasional (SNI), sekolah rintisan berstandar nasional (RSBI), sekolah favorit, sekolah
percontohan, kelas akselerasi serta sekolah-sekolah yang berbasis agama. Kondisi ini tentu
dapat berdampak pada sekolah inklusi sebagai sekolah kelas dua karena menerima anak
berkebutuhan khusus dengan sekolah special school.
. .
b. Pendidikan inklusi cenderung dipersepsi sama dengan integrasi, sehingga masih ditemukan
pendapat bahwa anak harus menyesuiakan dengan sistem sekolah.
c. Dalam implementasinya guru cenderung belum mampu bersikap proactive dan ramah
terhadap semua anak, menimbulkan komplain orang tua, dan menjadikan anak cacat sebagai
bahan olok-olokan.
19
2. Kebijakan sekolah
a. Sekalipun sudah didukung dengan visi yang cukup jelas, menerima semua jenis anak cacat,
sebagian sudah memiliki guru khusus, mempunyai catatan hambatan belajar pada masing-
masing ABK, dan kebebasan guru kelas dan guru khusus untuk mengimplementasikan
pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif, namun cenderung belum didukung
dengan koordinasi dengan tenaga profesional, organisasi atau institusi terkait.
b. Masih terdapat kebijakan yang kurang tepat, yaitu guru kelas tidak memiliki tangung
jawab pada kemajuan belajar ABK, serta keharusan orang tua ABK dalam penyediaan guru
khusus.
3. Proses pembelajaran
a. Proses pembelajaran belum dilaksanakan dalam bentuk team teaching, tidak dilakukan
secara terkoordinasi.
c. Masih terjadi kesalahan praktek bahwa target kurikulum ABK sama dengan siswa
lainnya serta anggapan bahwa siswa cacat tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk
menguasai materi belajar.
4. Kondisi guru
Belum didukung dengan kualitas guru yang memadai. Guru kelas masih dipandang not
sensitive and proactive yet to the special needs children. Keberadaan guru
khusus masih dinilai belum sensitif dan proaktif terhadap permasalahan yang dihadapi
ABK.
5. Sistem dukungan
a. Belum didukung dengan sistem dukungan yang memadai. Peran orang tua, sekolah
khusus, tenaga ahli, perguruan tinggi – LPTK PLB, dan pemerintah masih dinilai minimal.
Sementara itu fasilitas sekolah juga masih terbatas.
b. Keterlibatan orang tua sebagai salah satu kunci keberhasilan dalam pendidikan inklusi,
belum terbina dengan baik. Dampaknya, orang tua sering bersikap kurang peduli dan realistik
terhadap anaknya.
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang menempatkan anak luar biasa atau anak dengan
kebutuhan khusus belajar bersama dengan anak normal dalam satu kelas di sekolah umum
yang dekat dengan tempat tinggalnya.Kategori siswa pendidikan inklusi yaitu terdiri atas
tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar,
lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkoba,
obat terlarang dan zat adiktif lainnya, memiliki kelainan lainnya, tunaganda.
Tujuan pendidikan inklusif adalah untuk menjamin hak setiap warga sekolah mendapatkan
pendidikan, menghilangkan diskriminasi terhadap anak berkebutuhan khusus dan membantu
meningkatkan mutu pendidikan. Tujuan praktis yang ingin dicapai dalam pendidikan inklusif
meliputi tujuan yang dapat dirasakan langsung oleh anak, guru, orang tua dan masyarakat.
Landasan pendidikan inklusif yaitu: a) landasan filosofis, b) landasan yuridis, c) landasan
pedagogis, d) landasan empiris.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis yakin masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu
penulis sangat mengharapkan masukan pemikiran, saran serta komentar yang bersifat
membangun, baik dari dosen pembimbing maupun dari teman-teman demi kesempurnaan
makalah ini.
21
DAFTAR PUSTAKA
Ilahi, Mohammad Takdir, Pendidikan Inklusif: Konsep dan Aplikasi, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2013.
Sunardi, Issues and Problems on Implementation of Inclusive Education for Disable Children in
Indonesia, Tsubaka: Criced-University of Tsubaka, 2009.
22