Anda di halaman 1dari 8

Makalah Konsep Dasar Pendidikan Inklusi Dan

Prinsip Dan Landasan Pendidikan Inklusi

Disusun Oleh Kelompok 1:

1. Ade Irawan (2022143493)

2. Deva Febbi Maharani (2022143507)

3. Sinta Bela (2022143513)

4. Riska Wulandari (2022143487)

5. Novi Asdaria (2022143481)

6. Rekna Sapitri (2022143520)

7. Choirun Nisa (2022143500)

Dosen Pengampuh : Nora Surmilasari M.Pd

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG

2023/2024

PEMBAHASAN
A. KONSEP DASAR PENDIDIKAN INKLUSIF

1. Pengertian Inklusif

Kata “inklusif” berasal Bahasa Inggris, yaitu “Inclusion” yang berarti ‘mengajak masuk’
atau‘mengikut sertakan’. Nah, dapat disimpulkan bahwa “inklusif” adalah upaya untuk
menerima sekaligus berinteraksi dengan orang lain meskipun orang tersebut memiliki
perbedaan dengan diri kita. Singkatnya, hal ini hampir sama dengan toleransi yang mana
harus diterapkan dalam masyarakat multikultural.

Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang terbuka, mengakomondasi dan
memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan
membutuhkan pendidikan layanan khusus untuk mengakui pendidikan atau pembelajaran
dalam satu lingkungan kelas yang sama tanpa diskriminatif.

Pengertian yang lain menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No.32 Tahun
2008 tentang standar kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru disebutkan bahwa
pendidikan inklusif adalah pendidikan yang memberikan kesempatan bagi peserta didik
berkebutuhan khusus karena kelainan fisik,emosional, mental, intelektual,sosial,dan memiliki
potensi kecerdasan atau bakat istimewa untuk belajar bersama sama dengan peserta didik lain
pada satuan pendidikan umum dan satuan pendidikan kejuruan dengan cara menyediakan
sarana dan prasarana,pendidik,tenaga kependidikan dan kurikulum yang disesuaikan dengan
kebetuhan individu peserta didik.

Sikap ini secara tidak langsung mengajak kita untuk memahami permasalahan yang
dialami oleh orang lain, sehingga kita tidak asal men-judge saja. Maka dari itu, sikap ini
dapat diterapkan di masyarakat multikultural, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah,
maupun masyarakat. Contoh sederhana dari sikap ini misalnya menghormati seseorang yang
lebih tua, menghargai waktu ibadah orang lain, dan masih banyak lainnya. Keberadaan sikap
inklusif seharusnya diajarkan oleh keluarga dan sekolah sejak dini, supaya dapat “menempel”
hingga dewasa. Sebab nanti ketika sudah dewasa, kita akan bertemu banyak orang dengan
perbedaan etnis, budaya, latar belakang, status, hingga pola pikir, sehingga kita harus
menghargai adanya perbedaan-perbedaan tersebut.

2. Tujuan Pendidikan Inklusif

Menurut Budiyanto (2017), tujuan pendidikan inklusif dibagi menjadi dua, yaitu tujuan
umum adalah memberikan kesempatan memperoleh pendidikan yang seluas-luasnya kepada
semua anak, khususnya anak-anak penyandang kebutuhan pendidikan khusus. Sedangkan
tujuan khusus yaitu meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan
pendidikan, meningkatkan perolehan hasil belajar bagi semua peserta didik , meningkatkan
pemberdayaan nilai-nilai budaya lokal dalam seluruh proses penyelenggaran pendidikan dan
meningkatkan peran tiga komponen ( orang tua, masyarakat dan pemerintah ) dalam
penyelenggaraan pendidikan.

3. Filosofi Pendidikan Inklusi

Di setiap satuan pendidikan pada dasarnya memiliki ABK. Oleh karena itu, perlakuan
khusus kepada peserta didik lebih ditekankan pada konsep filosofis pendidikan inklusif
daripada pelabelan sebagai penyandang sekolah inklusif. Filosofi Pendidikan inklusif
merupakan layanan pendidikan khusus yang berupaya memenuhi kebutuhan siswa sesuai
dengan kemampuan dan kebutuhanya..Filosofi Pendidikan Inklusif pada satuan pendidikan
adalah sebuah kondisi dimana seseorang/sekelompok siswa diperlakukan sama dengan siswa
pada umumnya dengan pemahaman intergral terhadap latar belakangnya termasuk sudut
pandang yang dimilikinya untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya.

4. Jenis Layanan Di Sekolah Inklusi

a. Bentuk Kelas Biasa

Dalam bentuk keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa secara
penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Oleh karena itu, sangat diharapkan adanya
pelayanan dan bantuan guru kelas atau guru bidang studi semaksimal mungkin dengan
memeperhatikan petunjuk-petunjuk khusus dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di
kelas biasa. Bentuk keterpaduan ini sering juga disebut dengan keterpaduan penuh. Dalam
keterpaduan ini, guru pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai konsultan bagi kepala
sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orang tua anak berkebutuhan khusus.

Sebagai konsultan, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat kurikulum,


maupun permasalahan dalam mengajar anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu
disediakan ruang konsultasi untuk guru pembimbing khusus.Pendekatan, metode, cara
penilaian yang digunakan pada kelas biasa ini tidak berbeda dengan yang digunakan dalam
seolah umum. Tetapi, untuk beberapa mata pelajaran yang disesuaikan dengan ketunaan
anak. Misalnya, untuk anak tuna netra untuk pelajaran menggambar, matematika, menulis,
membaca, perlu disesuaikan dengan kondisi anak. Untuk anak tuna rungu mata pelajaran
kesenian, bhasa asing/bahasa Indonesia ( lisan) perlu disesuaikan dengan kemampuan wicara
anak.

b. Kelas Biasa Dengan Ruang Bimbingan Khusus

Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus, belajar di kelas biasa dengan
menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran
tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak
noormal. Pelayanan khusus tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru
pembimbing khusus (GPK) dengan menggunakan pendekatan individu dan metode peragaan
yang sesuai. Untuk keperluan teersebut di ruang bimbingan khusus dilengkai dengan
peralatan khusus untuk memberikan latihan dan bimbingan khusus. Misalnya untuk anak tuna
netra, di ruang bimbingan khusus disediakan alat tulis braille, peralatan orientasi mobilitas.
Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga keterpaduan sebagian.

c. Bentuk Kelas Khusus

Dalam keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan sama dengan
kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah umum yang melaksanakan
program pendidikan tepadu. Keterpaduan ini disebut juga dengan keterpaduan
lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi. Pada tingkat keterpaduan ini, guru
pembimbing khusus berfungsi sebagai pelaksana program di kelas khusus. Pendekatan,
metode, dan cara penilaian yang digunakan adalah pendekatan, metode, dan cara penilaian
yang digunakan di SLB. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik dan sosial, yang
artinya anak berkebutuhan khusus yang dipadukan untuk kegiatan yang bersifat non
akademik, seperti olah raga, ketrampilan, juga sosialisasi pada waktu jam-jam istirahatatau
acara lain yang diadakan oleh sekolah.

B. Prinsip Dan Landasan Pendidikan Inklusi

1. Prinsip – Prinsip Pendidikan Inklusif

Menurut Mudjito, dkk (2012), pendidikan inklusif mempunyai prinsip-prinsip filosofis,


yaitu sebagai berikut :

1. Semua anak mempunyai hak untuk belajar dan bermain bersama.


2. Anak-anak tidak boleh direndahkan atau dibedakan berdasarkan keterbatasan atau
kesulitan dalam belajar.
3. Tidak ada satu alasan-pun yang dapat dibenarkan untuk memisahkan anak selama ia
sekolah. anak-anak saling memiliki bukan untuk dipisahkan satu dengan yang
lainnya.

Sedangkan menurut Budiyanto (2017), prinsip-prinsip dalam pendidikan inklusif yaitu:

1. Setiap anak termasuk dalam komunitas setempat dan dalam satu kelas atau
kelompok.
2. Hari sekolah diatur penuh dengan tugas-tugas pembelajaran kooperatif dengan
perbedaan pendidikan dan kefleksibelan dalam memilih dengan sepuas hati.
3. Guru bekerja sama dan mendapat pengetahuan pendidikan umum, khusus dan teknik
belajar individu serta keperluan-keperluan pelatihan dan bagaimana
mengapresiasikan keanekaragaman dan perbedaan individu dalam pengorganisasian
kelas.

2. Landasan Pendidikan Inklusif


a. Landasan Filosofis

Terkait dengan landasan filosofis, Abdulrahman dalam Kemdikbud (2011) mengemukakan


bahwa landasan filosofis penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang
merupakan lima pilar sekaligus cita–cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar
lagi, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia,
baik kebinekaan vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat
Tuhan di muka bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan
fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan sebagainya,
sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa,
budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan sebagainya.

Walaupun beragam namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, menjadi
kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling
membutuhkan. Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, keberagaman termasuk di
dalamnya anak berkebutuhan khusus merupakan salah satu bentuk kebhinekaan, seperti
halnya perbedaan suku, ras, bahasa, budaya, atau agama Sistem pendidikan harus
memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar peserta didik yang beragam,
sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi
yang nampak atau dicita–citakan dalam kehidupan sehari–hari.

b. Landasan Yuridis

Landasan yuridis tentang pendidikan inklusif memberikan kerangka dasar bahwa


implementasi pendidikan inklusif memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan.
Implementasi pendidikan inklusif di Indonesia, memiliki dasar hukum atau yuridis yang
terkait. Dalam Undang-Undang Dasar Amandemen 1945, Pasal 31 ayat (1) menyatakan
bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ditambahkan juga dalam
ayat (2) dalam pasal yang sama, bahwa “’Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan
dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.

Selanjutnya terkait dengan perlindungan anak, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun


2002 tentang Perlindungan Anak, padal Pasal 48, menyatakan bahwa“Pemerintah wajib
menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak”.
Kemudian pada Pasal 48 dari Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa
“’Negara, Pemerintah, Keluarga, dan Orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-
luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan”.

c. Landasan Empiris

Terkait dengan landasan empiris, hasil penelitian menunjukkan bahwa klasifikasi dan
penempatan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah, kelas, atau tempat khusus seperti
Sekolah luar Biasa tidak efektif dan diskriminatif, peneliti merekomendasikan pendidikan
khusus secara segregatif hanya diberikan secara terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang
tepat (Heller, Holtzman dan Messick, 1982). Hasil metaanalisis yang dilakukan oleh Carlberg
dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11
buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa
pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial
anak berkebutuhan khusus dan teman sebayanya.

d. Landasan Pedagogis

Landasan pedagogis merupakan suatu landasan yang digunakan oleh pendidik untuk dapat
melaksanakan proses pembelajaran dengan baik dan mencapai tujuannya, yaitu membimbing
peserta didik ke arah tujuan tertentu, yaitu agar peserta didik dapat menyelesaikan masalah
dengan mandiri
DAFTAR PUSTAKA

 https://www.kajianpustaka.com/2021/06/pendidikan-inklusif-pengertian-
prinsip.html?m=1
 https://wwwgramediacom.cdn.ampproject.org/v/s/www.gramedia.com/literasi/
inklusif/amp/?usqp=mq331AQIUAKwASCAAgM
%3D&amp_js_v=a9&amp_gsa=1#referrer=https%3A%2F
%2Fwww.google.com&csi=0&ampshare=https%3A%2F%2Fwww.gramedia.com
%2Fliterasi%2Finklusif%2F
 https://www.scribd.com/document/548904602/MAKALAH-PENDIDIKAN-
INKLUSI-PRINSIP-PRINSIP-PENDIDIKAN-INKLUSIF

Anda mungkin juga menyukai