Disusun oleh :
Dewi Kurniati (S041908006)
ABSTRAK
Artikel ini membahas tentang perbandingan pendidikan khusus di lima
negara. Dua negara berada di benua Eropa, dan tiga negara lainnya
berada di benua Asia. Artikel ini menjelaskan mengenai bentuk-
bentuk pendidikan khusus yang ada pada masing-masing negara.
Kelima negara memiliki sistem yang berbeda-beda mengenai
kebijakan pendidikan khusus. Kesamaan yang ditemukan dari setiap
negara adalah semua negara telah menerapkan sistem pendidikan
inklusi.
Kata Kunci: Pendidikan Khusus, Indonesia, Norwegia, Malaysia,
Belanda, Thailand
PENDAHULUAN
Pendidikan khusus mempunyai lingkup yang sangat luas. Tidak ada
batasan seperti halnya mendidik siswa dengan ketunaan berat, gifted dan
pendidikan mainstreaming bagi anak dengan ketunaan ringan. Untuk mengatasi
semua keberagaman tersebut, pendidikan khusus bertanggung jawab atas segala
hal termasuk masalah dan isu yang terkait dengan pendidikan khusus. Terdapat
banyak isu dan praktik tentang lingkup pendidikan khusus yang mencakup semua
tingkat ketunaaan, hal itu masih banyak didiskusikan di pendidikan khusus.
Diskusi dalam pendidikan khusus bukan hanya dalam aspek ketunaan
siswa, akan tetapi masih banyak diskusi yang membahas terkait paradigma atau
pandangan penempatan anak berkebutuhan khusus dalam pelayananan pendidikan
khusus. Dengan adanya paradigma tersebut, terkadang membuat pemahaman
maupun pelayanan yang dilakukan oleh orang tua, pendidik, sekolah dan
pemerintah kurang optimal untuk mengakomodasi ketunaan yang dimiliki oleh
anak. Karena tujuan dari pendidikan khusus tidak hanya dalam aspek pendidikan
akademik, namun mencakup seluruh aspek kehidupannya, seperti aspek ekonomi,
pekerjaan, sosial, dan lain-lain.
Perlu diketahui setiap individu yang ada membutuhkan pendidikan dan
pelayanan, tidak membedakan antara siswa reguler dengan siswa berkebutuhan
khusus untuk menemukan dan mengembangkan potensi yang dimiliki sehingga
dapat menjalani kehidupan sehari-hari dan berkontribusi untuk masyarakat.
Dengan diinginkannya perkembangan anak berkebutuhan khusus yang optimal,
perlu adanya pelayanan dan pendidikan yang terbaik untuk setiap individu, namun
belum adanya definisi yang paten dari kata terbaik tersebut. Dalam artikel ini akan
membahas pandangan-pandangan terkait program dan penempatan untuk siswa
berkebutuhan khusus di beberapa negara di benua Asia dan Eropa.
Sistem Pendidikan Khusus di Negara Indonesia
Layanan pendidikan khusus di Indonesia sangat beragam macamnya,
diantaranya yaitu:
1. SEKOLAH SEGREGASI
Menurut Direktorat PLB (2004) dalam Sulthon (2013) mengatakan
bahwa pendidikan segregasi adalah pendidikan yang dilakukan secara terpisah
baik dari segi kurikulum, penyelenggaraan dan tenaga pendidiknya, pendidikan
segregasi dalam praksisnya berbentuk sekolah luar biasa dan sekolah dasar luar
biasa dan sekolah terpadu. Sekolah Luar Biasa adalah sekolah yang khusus
memberikan layanan pendidikan pada satu jenis kecacatan tertentu seperti
SLB-A untuk anak tunanetra, SLB-B khusus anak tunarungu dan sebagainya.
Sedang Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) adalah sekolah yang didirikan
pemerintah dalam rangka penuntasan wajib belajar bagi anak usia 7-12 tahun
berada di tiap kabupaten untuk menangani beberapa kecacatan. Jadi SDLB
dapat menangani anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa dan
tunalaras dalam satu satu sekolah. Sekolah terpadu adalah sekolah umum yang
menerima anak berkelainan dengan kurikulum sama dengan anak normal
seperti anak tuna netra bersekolah di SMU umum. Dalam Lestari (2010)
bentuk-bentuk sekolah dalam sistem pendidikan segregasi adalah sebagai
berikut:
a. Sekolah Luar Biasa
b. Sekolah Dasar Luar Biasa
c. Kelas Jauh/Kelas Kunjung
d. Sekolah Berasrama
e. Hospital School
2. SEKOLAH INTEGRASI
Dwidjosumarto (1996) mengungkapkan bahwa sistem pendidikan
integrasi adalah system pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak
luar biasa belajar bersama-sama dengan anak biasa (normal) di sekolah umum.
Sedangkan SA. Bratanata (1974) memberikan istilah pendidikan integrasi
yaitu pendidikan bagi anak berkelainan yang diterima bersama-sama anak
normal, dan diselenggarakan di sekolah biasa. Bentuk penyelenggaraan
pendidikan ini telah banyak dinikmati terutama oleh anak tunanetra yang
mampu dan sanggup berkompetisi dengan anak-anak normal”.
Selanjutnya Mulyono Abdurahman (1996) mengemukakan bahwa
“pendidikan integrasi paling sedikit harus memenuhi 4 (empat) kriteria, yaitu:
a. Mengintegrasikan peserta didik luar biasa (penyandang ketunaan maupun
yang memiliki keunggulan) dengan peserta didik normal dalam suatu
lingkungan belajar, mencakup suatu komitmen dari integrasi lokasi hingga
integrasi penuh;
b. Mengintegrasikan dan mengoptimalkan pengembangan potensi yang
mencakup kognitif, afektif, psikomotor dan interaktif;
c. Mengintegrasikan hakikat manusia sebagai makhluk sosial ke dalam suatu
bentuk strategi pembelajaran;
d. Mengintegrasikan apa yang dipelajari peserta didik saat ini dengan tugas
yang harus diemban di masa mendatang. Banyak sekolah yang mempunyai
kelas khusus mempunyai program khusus untuk mendorong interaksi antara
siswa dengan dan tanpa kebutuhan pendidikan khusus. Misalnya, pada
beberapa sekolah, anak-anak menghabiskan pagi harinya pada kelas khusus
dan siangnya pada kelas regular. Para guru dan asisten dari kelas khusus
biasa mendukung penempatan pada kelas khusus. Peluang-peluang bagi
interaksi tersebut, berdasarkan atas prinsip normalisasi. Jauh mungkin untuk
terjadi apabila anak tersebut diintegrasikan pada sekolah reguler.
Jenis-jenis sekolah integrasi yang ada di Indonesia adalah sebagai
berikut:
a. Integrasi Lokasi Fisik (Kelas Khusus)
Dalam model sekolah integrasi lokasi fisik, anak berkebutuhan
khusus mendapat pelayanan khusus dalam kelas/sekolah khusus dengan
kurikulum PLB, lokasi gedung berada dalam satu areal dengan sekolah
umum yang kemudian akan memberikan kontak antara ABK dan anak
normal secara alami.
b. Integrasi dalam Aspek Sosial (Kelas Biasa dengan Bimbingan Khusus)
Anak berkebutuhan khusus dilibatkan dalam kegiatan tertentu
seperti bermain, olahraga, bernyanyi, makan, rekreasi, dll. Tetapi kurikulum
yang digunakan sebagian menggunakan kurikulum SLB, sebagian
menggunakan kurikulum sekolah umum
c. Integrasi Fungsional atau Integrasi Penuh (Kelas Biasa)
Anak berkebutuhan khusus dan anak normal mengarah pada
aktivitas bersama dalam seluruh kegiatan atau proses belajar mengajar, akan
tetapi dalam hal-hal tertentu anak berkebutuhan khusus mendapat
bimbingan apabila mendapat kesulitan yang berkaitan dengan ketunaannya.
3. SEKOLAH INKLUSI
Menurut Sapon-Shevin (Oneil, 1995) dalam Sulthon (2013)
menyatakan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang
mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dapat dilayani di sekolah-
sekolah terdekat, di kelas regular bersamasama teman seusianya. Sedang
Stainback dan Stainback (1990) dalam Sulthon (2013) mengemukakan sekolah
inklusi adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama.
Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan. Setiap murid mendapatkan bantuan
dan dukungan yang diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Sehingga
dapat diartikan sekolah Inklusi adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi
dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa berkebutuhan khusus dalam
program yang sama. Inklusi terjadi pada semua lingkungan sosial anak, pada
keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, dan pada institusi-
institusi kemasyarakatan lainnya.
Inklusi memang mengikut sertakan anak berkebutuhan khusus.
Namun, secara luas inklusif juga berarti melibatkan seluruh peserta didik tanpa
terkecuali, seperti:
a. anak yang menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa pengantar
yang digunakan di dalam kelas.
b. anak yang beresiko putus sekolah karena sakit, kelaparan atau tidak
berprestasi dengan baik.
c. anak yang berasal dari golongan agama atau kasta yang berbeda.
d. anak yang terinfeksi HIV atau AIDS, dan
e. anak yang berusia sekolah tetapi tidak sekolah. (Lestari, 2010)
Jenis-jenis pendidikan inklusi menurut Vaughn, Bos dan Scunmn
(2000) dalam Sulthon (2013)
a. Kelas Reguler (Inklusi Penuh)
b. Kelas Reguler dengan Cluster
c. Kelas Reguler dengan Pull Out
d. Kelas Reguler dengan Cluster dan Pull Out
e. Kelas Khusus dengan Berbagai Pengintegrasian
f. Kelas Khusus Penuh
Kesimpulan
Secara umum, kelima negara yang dipaparkan di atas telah memberikan
pelayanan pendidikan khusus yang baik bagi anak berkebutuhan khusus yang ada
pada masing-masing negara. Negara telah menyiapkan sistem-sistem pendidikan
yang memungkinkan anak berkebutuhan khusus dapat ikut mendapatkan hak
pendidikan seperti anak normal pada umumnya. Berdasarkan beberapa penjabaran
yang telah dibahas, negara-negara di Asia seperti Indonesia, Malaysia dan
Thailand masih didominasi dengan pendidikan segregasi yang memisahkan anak
berkebutuhan khusus pada sekolah khusus. Akan tetapi negara-negara ini juga
sudah menggunakan sistem pendidikan yang inklusif, yaitu menggabungkan anak-
anak berkebutuhan khusus di sekolah reguler dengan menyesuaian pembeljaaran
dan penilaian yang diadaptasikan. Sedangkan negara-negara di Eropa, seperti
negara Norwegia dan negara Belanda telah meninggalkan sistem segregasi sejak
beberapa tahun yang lalu. Mereka menganggap bahwa pendidikan di sekolah
reguler dnegan beberapa penyesuaian khusus akan lebih meningkatkan
kemampuan anak berkebutuhan khusus. Akan tetapi di negara-negara eropa ini
juga masih mengadakan sekolah khusus atau sekolah segregasi. Biasanya yang
ebrsekolah adalah anak-anak berkebutuhan khusus yang tergolong berat.
DAFTAR PUSTAKA