2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
3
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah program penempatan yang digunakan untuk melayani kebutuhan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus?
2. Bagaimana program pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
dilaksanakan?
C. TUJUAN
1. Mengetahui program penempatan yang digunakan untuk melayani kebutuhan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
2. Mengetahui bagaimana program pelayanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus dilaksanakan.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. KELAS MERGING
1. Urgensi Merging
a. Tidak jauhnya perbedaan individu dalam aspek antara anak dengan
hambatan ringan dan anak normal.
b. Tidak begitu berbeda dan hampir samanya kebutuhan program
pendidikan antara anak dengan hambatan ringan dan anak normal.
c. Efisiensi dan biaya yang berlebihan untuk anak dengan hambatan
ringan /slow learner jika tidak masuk regular.
d. Terjadinya penduplikasian program reguler untuk anak dengan
hambatan ringan yang menyebabkan kurang optimalnya
pembelajaran.
e. Terbatasnya tenaga pendidikan khusus di lapangan untuk menangani
semua jenis disabilitas. (Marozas & May, 1998)
2. Apa saja yang menyangkut dalam Merging
Setiap individu memiliki karakteristiknya masing-masing, dan
juga kebutuhan yang berbeda, sehingga menyebabkan beragamnya
konsep pendidikan yang akan diberikan:
a. Menurut Stainback (1984) dalam Marozas & May (1998) menjelaskan
bahwa pendidik menjadi fokus utama dengan diberikannya pelatihan,
pembekalan, dan pemberdayaan yang dengannya, pendidik dapat
memenuhi kebutuhan pendidikan dan pelayanan untuk setiap siswa.
b. Will (1987) dalam Marozas & May (1998) menyatakan perlu adanya
pengimplementasian sistem pendidikan khusus dalam kelas reguler
dengan didukung oleh guru pendamping untuk setiap siswa.
c. Reynolds, Wang, dan Walberg (1987) dalam Marozas & May (1998)
memberikan saran untuk menggunakan rencana pembelajaran
individual (IEPS), dimana sistem pendidikan dan pelayanannya
ditargetkan pada hal penting untuk setiap individunya.
5
d. Wang dan Walberg (1987) dalam Marozas & May (1998) melakukan
3 tahap:
1) Diidentifikasinya setiap individu yang kemudian akan dapat
dilakukan evaluasi lebih lanjut untuk setiap anak menyesuaikan
hasil dari identifikasi yang ada.
2) Memberikan kurikulum berbasis asesmen untuk memastikan bahwa
program pendidikan sesuai untuk setiap siswa dari hasil identifikasi
yang sudah dilakukan.
3) Diberdayakannya tenaga pendidik pendidikan khusus yang
ditempatkan kembali untuk menunjang pendidikan dan pelayanan
untuk anak berkebutuhan khusus di kelas mainstream.
3. Pendapat yang menentang
a. National association of state directors of special education menyatakan
masih banyaknya hal yang perlu disiapkan sehingga tidak
memunculkan polemik baru.
b. Mesinnger (1985) dalam Marozas & May (1998) menyatakan perlu
adanya peningakatan pelatihan guru dan pendidik yang profesional
dalam segi akademik maupun sikapnya terhadap anak berkebutuhan
khusus.
4. Pendidikan seluruh kalangan siswa (William and Susan Stainback) dalam
Marozas & May (1998)
Sekarang sudah banyak orangtua dan pendidik yang berkeinginan
untuk mengadvokasi anak dengan hambatan yang berat untuk dimasukkan
ke kelas reguler, dan ini mengarah untuk dikemudian hari pada penyamaan
jenjang pendidikan menurut umur antara anak berkebutuhan khusus
dengan teman sebayanya.
a. Fasilitas yang terintegrasi
Sekolah personel di Gormley menemukan bahwa penggunaan
fasilitas terintegrasi dapat membantu pendidikan reguler lebih
terakomodasi antara guru, teman sebaya, dan dengan lingkungan yang
6
utama pada aspek untuk memahami dan berkomunikasi dengan teman
dan guru. Contohnya: penggunaan alat audiotori untuk anak tunanetra.
b. Menyusun kembali kurikulum sekolah reguler
Salah satu alasan kenapa anak berkebutuhan khusus
diharapkan untuk dapat menempuh pendidikan reguler karena perlu
adanya pengalaman yang sama bagi anak berkebutuhan khusus dengan
teman sebayanya. Terkadang anak dengan hambatan yang berat
membutuhkan pengalaman dan kegiatan belajar di kurikulum yang
tidak termasuk ke dalam kelas reguler.
Hal ini menjadikan kurikulum reguler harus menyangkup
seluruh siswa termasuk anak berkebutuhan khusus yang berkutat pada
aktivitas sehari-hari seperti kemampuan hidup, pekerjaan yang
seimbang dan kompetitif, kemampuan berbahasa, braille, dan lain-lain
yang membuat siswa reguler dapat berkomunikasi dengan anak
berkebutuhan khusus dan anak berkebutuhan khusus mendapat
pendidikan yang setara dengan pendidikan reguler. Dengan
digabungkannya anak berkebutuhan khusus dengan siswa reguler
diharapkan siswa reguler dapat membantu proses belajar anak
berkebutuhan khusus sehingga anak berkebutuhan khusus tidak perlu
mendapatkan pembelajaran tambahan di luar kelas reguler.
Dengan artian, hal ini juga harus didukung dengan guru yang
memiliki kemampuan dalam pendidikan kelas reguler sekarang dan
pendidikan spesial yang nantinya akan digabungkan menjadi
pendidikan reguler modifikatif. Seperti mampu mengajar mapel umum,
namun bisa menggunakan bahasa isyarat. Namun tidak menutup
kemungkinan masih ada siswa yang digolongkan menjadi spesial
karena membutuhkan kelas khusus dengan pendidikan yang mereka
butuhkan, contohnya anak dengan hambatan yang berat. (Marozas &
May, 1998)
c. Mempersiapkan SDM
7
SDM yang paling perlu untuk disiapkan adalah tenaga
pendidik dan pelayanan pada sekolah reguler nantinya, akan tetapi hal
tersebut akan dapat tercapai dengan diawali adanya pengkondisian
civitas akademika di kampus yang harus terintegrasi. Karena kampus
menjadi tempat dimana tenaga pendidik dan pelayanan tercipta.
d. Perubahan sikap
Tenaga pendidik pada sekolah reguler juga harus memiliki
sikap yang mendukung program merging ini. Mereka harus dapat
memberikan perlakuan dan penyikapan yang tidak jauh berbeda dengan
teman sebayanya. Tidak hanya guru yang harus memiliki, namun teman
sebayanya di kelas harus dapat melakukan hal yang sam. Hal ini
tentunya dimulai dan didukung oleh tenaga pendidik. Sehingga abk
nantinya akan terlihat tidak jauh berbeda dengan teman sebayanya.
B. MAINSTREAMING
1. Masalah dalam penerapan
a. Definisi operasional dari mainstreaming belum baku dalam PL 94-
142. Sehingga menimbulkan definisi yang beragam. Zigler dan
Muenchow (1979) dalam Marozas & May (1998) mengatakan bahwa
beberapa sekolah memberikan waktu anak berkebutuhan khusus untuk
beraktivitas bersama anak reguler di gedung dan kantin.
b. Hanya sedikit anak yang memiliki jadwal yang sesuai saat berada di
kelas reguler. Anak ditempatkan di kelas yang tidak tepat, masuk ke
kelas dengan lebih dari satu kelompok belajar, dan guru memegang
kelas yang tidak full-time, hanya beberapa bagian dari pembelajaran
saja. Menurut Martin (1974) dalam Marozas & May (1998) anak
berkebutuhan khusus masuk dan keluar kelas pada waktu yang tidak
tepat.
c. Guru kelas dan guru pendamping anak berkebutuhan khusus
mengajarkan materi yang berbeda atau tidak tersinkronisasi.
2. Dampak dari penerapan mainstreaming
8
Sikap guru, kurikulum, dan kesempatan yang diberikan,
semuanya sangat mempengaruhi hasil penerapan mainstreaming. Hasil
penilaian akademik dan sosial dari mainstreaming dan penempatan kelas
khusus menunjukkan beberapa manfaat yang diperoleh dari program
pendidikan khusus penuh waktu untuk siswa dengan hambatan akademik.
Penelitian menunjukkan bahwa terdapat hasil yang positif ketika
anak ditempatkan kelas khusus berdasarkan ketidakmampuan belajar dan
atau hambatan emosi dan perilaku.
Madden and Slavin (1983) dalam Marozas & May (1998)
mengatakan bahwa penempatan kelas khusus secara penuh waktu pada
anak dengan permasalahan akademik yang ringan memberikan sedikit
kelebihan daripada ditempatkan pada kelas reguler. Berbeda dengan
Carlberg dan Kavale (1980) dalam Marozas & May (1998) yang
mengatakan bahwa murid yang memiliki IQ rendah adalah kelompok
yang mungkin mendapat manfaat dari penempatan khusus.
Madden dan Slavin mengatakan bahwa anak dengan hambatan
akademik ringan yang ditempatkan pada sekolah mainstreaming dalam
kelas reguler dengan dukungan yang sesuai (instruksi individual dan
program sumber pembelajaran yang dirancang dengan baik) memiliki
harga diri yang lebih baik, perilaku yang lebih baik dan sikap mencela
diri sendiri lebih sedikit dari anak yang ditempatkan di kelas khusus.
3. Faktor yang Mempengaruhi Keefektifan Program
Madden and Slavin (1983) dalam Marozas & May (1998)
berdiskusi mengenai dukungan yang tepat adalah kunci sukses dari
keberjalanan program mainstreaming. Penerapan yang sukses dari
program mainstreaming tidak diawali dari penempatan. Yang lebih
penting adalah siswa harus dikenali terlebih dahulu dengan proses
asesmen. Untuk anak berkebutuhan khusus, dalam proses asesmennya
harus lebih baik dari deretan tes tradisional, tes tersebut juga harus bisa
mengidentifikasi bagaimana bentuk pengajaran dan pembelajaran yang
tepat sehingga terjadi kecocokan ketika anak ditempatkan. Khususnya,
9
tugas-tugas instruksional, kondisi pembelajaran, konsekuensi yang akan
terjadi selama pembelajaran, dan kemampuan guru yang memadai untuk
memodifikasi proses pembelajaran adalah yang harus diperhatikan
sebelum menentukan penempatan pada anak.
Kolaborasi antara guru reguler dengan guru anak berkebutuhan
khusus juga sangat penting dalam suksesnya keberjalanan program
mainstreaming ini. Kualitas dari komunikasi dan dukungan dari kedua
guru sangat penting. Kedua guru harus mengetahui peran masing-masing
dan tugasnya dalam mengajar anak yang jelas berbeda harus diketahui
oleh masing-masing guru. Dalam keberjalanan proses pembelajaran,
kedua guru harus saling bertukarpikiran tentang bagaimana menghadapi
atau bagaimana cara mengajar anak dengan tepat.
Ottman (1981) dalam Marozas & May (1998) memberikan
beberapa anjuran untuk guru anak berkebutuhan khusus dalam
memfasilitasi proses mainstreaming, yaitu: membantu guru kelas untuk
mengetahui masalah yang terjadi pada anak, mengajak guru kelas ke
dalam pertemuan program pembelajaran individual sehingga mereka
sama-smaa mengetahui apa yang paling dibutuhkan oleh anak,
mendampingi guru kelas untuk menyusun strategi yang memudahkan
transisi anak berkebutuhan khusus di dalam kelas mainstreaming, dan
memberikan bantuan berkelanjutan pada guru kelas untuk
mengembangkan dan menerapkan program manajemen sikap.
Selanjutnya adalah mengenai kekooperatifan antara anak
berkebutuhan khusus dan siswa reguler di kelas. Dalam pembelajaran
yang kooperatif, anak berkebutuhan khusus dan anak reguler bekerja
bersama dalam kelompok. Proses pembelajaran yang kooperatif akan
meningkatkan prestasi belajar, dan juga memberikan interaksi yang baik
antara ABK dengan anak reguler lainnya.
4. Menghindari Kesalahpahaman Mengenai Mainstreaming, Lingkungan
yang tidak membatasi dan normalisasi
10
Dalam sebuah laporan kepada Kongres tentang implementasi PL
94-142 yang diajukan pada Januari 1979 dalam Marozas & May (1998),
tiga setengah tahun setelah diberlakukannya undang-undang, dinas
Pendidikan menyatakan bahwa merujuk pada ketentuan lingkungan yang
paling tidak membatasi dalam undang-undang dan peraturannya sebagai
"mainstreaming" menyisakan banyak ruang untuk salah tafsir seperti
halnya implikasi bahwa semua anak cacat, terlepas dari beratnya cacat
mereka, harus dimasukkan ke dalam kelas pendidikan reguler (US Office
of Education 1979). Memang, mainstreaming sering disalahtafsirkan dan
disederhanakan "Mainstreaming adalah bentuk pemrograman pendidikan
yang mengintegrasikan kebutuhan khusus dan kebutuhan khusus anak-
anak dalam kelas reguler.
Tidak ada pembenaran untuk interpretasi yang sempit dari
istilah ini. Secara sosiologis, mainstreaming mencakup berbagai posisi
dan peluang secara ekonomi, sosial, dan kejuruan. Istilah “lingkungan
yang paling tidak membatasi” (atau penempatan, atau alternatif) telah
menimbulkan banyak pertanyaan dan keberatan dalam literatur
profesional. Sebagian besar kritik (mis. Cruickshank 1977, Switzky &
Miller 1978) menyiratkan bahwa masalah dengan konsep ini adalah
bahwa ia dirancang oleh pengacara dan dibawa ke bidang pendidikan
khusus oleh dekrit kehakiman. Fakta-fakta yang ada agak bertentangan.
Konsep ini dapat ditemukan dengan jelas ditetapkan pada tahun 1962,
dalam sebuah artikel oleh Maynard C Reynolds, "Kerangka Kerja untuk
Mempertimbangkan Beberapa Masalah dalam Pendidikan Khusus".
Dengan demikian, Reynolds menetapkan garis yang jelas dari
alternatif yang paling tidak membatasi terhadap prinsip normalisasi.
Meskipun referensi sering dibuat pada prinsip normalisasi sebagai dasar
filosofis untuk mainstreaming dan alternatif yang paling tidak membatasi
(McDevitt 1979) dalam Marozas & May (1998), tidak sampai tahun 1969
bahwa prinsip normalisasi, dengan nama itu, diperkenalkan ke Amerika
Serikat dalam volume yang disiapkan untuk Komite Presiden tentang
11
Retardasi Mental (Kugel & Wolfensberger 1969) dalam Marozas & May
(1998). Apa pun asal usul mereka, jelas bahwa ketiga konsep ini saling
terkait, dan bahwa ketiganya dapat digunakan dengan baik hanya
berdasarkan penilaian individu. Jauh dari mandat yang kaku, mereka
menyerukan fleksibilitas dan personalisasi. Wajar untuk berbeda adalah
pesan Hukum Publik 94-142. Memang, implementasi undang-undang ini
berjalan terlalu lambat di tingkat lokal, negara bagian, dan federal
(Koalisi Advokat Pendidikan 1980); dan juga bahwa penyalahgunaan
undang-undang baru ini dapat merugikan guru kelas dan siswa (National
Education Association 1978) dalam Marozas & May (1998).
C. SEKOLAH SEGREGASI
1. Hakikat Pendidikan Segregasi
Menurut Direktorat PLB (2004) dalam Sulthon (2013)
mengatakan bahwa pendidikan segregasi adalah pendidikan yang
dilakukan secara terpisah baik dari segi kurikulum, penyelenggaraan dan
tenaga pendidiknya, pendidikan segregasi dalam praksisnya berbentuk
sekolah luar biasa dan sekolah dasar luar biasa dan sekolah terpadu.
Sekolah Luar Biasa adalah sekolah yang khusus memberikan layanan
pendidikan pada satu jenis kecacatan tertentu seperti SLB-A untuk anak
tunanetra, SLB-B khusus anak tunarungu dan sebagainya. Sedang
Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) adalah sekolah yang didirikan
pemerintah dalam rangka penuntasan wajib belajar bagi anak usia 7-12
tahun berada di tiap kabupaten untuk menangani beberapa kecacatan.
Jadi SDLB dapat menangani anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita,
tunadaksa dan tunalaras dalam satu satu sekolah. Sekolah terpadu adalah
sekolah umum yang menerima anak berkelainan dengan kurikulum sama
dengan anak normal seperti anak tuna netra bersekolah di SMU umum.
2. Fasilitas dan Sarana Pendidikan Segregasi
Dalam Lestari (2010) menyebutkan bahwa fasilitas dan sarana
yang terdapat pada sekolah segregasi adalah sebagai berikut:
12
a. Tersedia alat-alat bantu belajar yang dirancang khusus untuk siswa.
Sebagai contoh tunanetra, seperti buku-buku Braille, alat bantu hitung
taktual, peta timbul, dll.
b. Jumlah siswa dalam satu kelas biasnaya tidak lebih dari delapan orang
sehingga guru dapat memberikan layanan individual kepada semua
siswa.
c. Lingkungan sosial ramah karena sebagian besar memiliki pemahaman
yang tepat mengenai keterbatasan anak.
d. Lingkungan fisik aksesibel, karena pada umumnya dirancang dengan
mempertimbangkan masalah mobilitas anak dengan hambatan, dan
mendapat latihan keterampilan orientasi dan mobilitas, baik dari
instruktur O&M maupun tutor sesama disabiliti.
e. Dapat menemukan orang disabiliti yang sudah berhasil yang dapat
dijadikan sebagai contoh.
3. Bentuk-bentuk sistem pendidikan segregasi:
Dalam Lestari (2010) menyebutkan bahwa bentuk-bentuk
pendidikan segregasi terlihat dari jenis sekolah-sekolah berikut:
a. Sekolah Luar Biasa
b. Sekolah Dasar Luar Biasa
c. Kelas Jauh/Kelas Kunjung
d. Sekolah Berasrama
e. Hospital School
4. Keuntungan sistem pendidikan segregasi:
a. Rasa ketenangan pada anak luar biasa.
b. Komunikasi yang mudah dan lancar.
c. Metode pembelajaran yang khusus sesuai dengan kondisi dan
kemampuan anak.
d. Guru dengan latar belakang pendidikan luar biasa
e. Mudahnya kerjasama dengan multidisipliner.
f. Sarana dan prasarana yang sesuai.
13
g. Merasa diakui kesamaan haknya dengan anak normal terutama dalam
memperoleh pendidikan.
h. Dapat mengembangakan bakat ,minta dan kemampuan secara optimal.
i. Lebih banyak mengenal kehidupan orang normal.
j. Mempunyai kesempatan untuk melanjutkan pendidikan kejenjang
yang lebih tinggi.
k. Harga diri anak luar biasa meningkat.
l. Dapat menumbuhkan motipasi dalam belajar.
m. Guru lebih mudah untuk merencanakan dan melakukan pembelajaran
karena siswanya homogen.
n. Siswa tidak menjadi bahan ejekan dari siswa lain yang normal.
5. Kelemahan sistem pendidikan segregasi:
a. Sosialisasi terbatas
b. Perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas
c. Penyelenggaraan pendidikan yang relatif mahal
d. Bebas bersaing
e. Egoistik, menumbuhkan kesenjangan kualitas pendidikan
f. Efektif dan efisien untuk kepentingan individu
g. Menumbuhkan disintegrasi
h. Tidak terikat
i. Mahal dan butuh fasilitas banyak Spesifik dan spesialis
j. Memperlemah persatuan nasional
k. Potensial untuk pengembangan otonomi
D. SEKOLAH INTEGRASI
1. Hakikat Pendidikan Integraasi
Dwidjosumarto (1996) mengungkapkan bahwa sistem
pendidikan integrasi adalah system pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada anak luar biasa belajar bersama-sama dengan anak
biasa (normal) di sekolah umum. Sedangkan SA. Bratanata (1974)
memberikan istilah pendidikan integrasi yaitu pendidikan bagi anak
14
berkelainan yang diterima bersama-sama anak normal, dan
diselenggarakan di sekolah biasa. Bentuk penyelenggaraan pendidikan
ini telah banyak dinikmati terutama oleh anak tunanetra yang mampu dan
sanggup berkompetisi dengan anak-anak normal”.
Selanjutnya Mulyono Abdurahman (1996) mengemukakan
bahwa “pendidikan integrasi paling sedikit harus memenuhi 4 (empat)
kriteria, yaitu:
a. Mengintegrasikan peserta didik luar biasa (penyandang ketunaan
maupun yang memiliki keunggulan) dengan peserta didik normal
dalam suatu lingkungan belajar, mencakup suatu komitmen dari
integrasi lokasi hingga integrasi penuh;
b. Mengintegrasikan dan mengoptimalkan pengembangan potensi yang
mencakup kognitif, afektif, psikomotor dan interaktif;
c. Mengintegrasikan hakikat manusia sebagai makhluk sosial ke dalam
suatu bentuk strategi pembelajaran;
d. Mengintegrasikan apa yang dipelajari peserta didik saat ini dengan
tugas yang harus diemban di masa mendatang. Banyak sekolah yang
mempunyai kelas khusus mempunyai program khusus untuk
mendorong interaksi antara siswa dengan dan tanpa kebutuhan
pendidikan khusus. Misalnya, pada beberapa sekolah, anak-anak
menghabiskan pagi harinya pada kelas khusus dan siangnya pada
kelas regular. Para guru dan asisten dari kelas khusus biasa
mendukung penempatan pada kelas khusus. Peluang-peluang bagi
interaksi tersebut, berdasarkan atas prinsip normalisasi. Jauh mungkin
untuk terjadi apabila anak tersebut diintegrasikan pada sekolah
reguler.
2. Jenis Sekolah Integrasi yang ada di Indonesia
a. Integrasi Lokasi Fisik (Kelas Khusus)
Dalam model sekolah integrasi lokasi fisik, anak berkebutuhan khusus
mendapat pelayanan khusus dalam kelas/sekolah khusus dengan
kurikulum PLB, lokasi gedung berada dalam satu areal dengan
15
sekolah umum yang kemudian akan memberikan kontak antara ABK
dan anak normal secara alami.
b. Integrasi dalam Aspek Sosial (Kelas Biasa dengan Bimbingan
Khusus)
Anak berkebutuhan khusus dilibatkan dalam kegiatan tertentu seperti
bermain, olahraga, bernyanyi, makan, rekreasi, dll. Tetapi kurikulum
yang digunakan sebagian menggunakan kurikulum SLB, sebagian
menggunakan kurikulum sekolah umum
c. Integrasi Fungsional atau Integrasi Penuh (Kelas Biasa)
Anak berkebutuhan khusus dan anak normal mengarah pada aktivitas
bersama dalam seluruh kegiatan atau proses belajar mengajar, akan
tetapi dalam hal-hal tertentu anak berkebutuhan khusus mendapat
bimbingan apabila mendapat kesulitan yang berkaitan dengan
ketunaannya
3. Kelebihan sistem Integrasi
a. Siswa berkebutuhan khusus dapat bermain bersama-sama dengan
siswa pada umumnya. Ini berarti ada proses sosialisasi sedini
mungkin, saling mengenal antara siswa berkebutuhan khusus dan
yang tidak, begitu pula sebaliknya. Ini akan berdampak pada
pertumbuhan sikap siswa-siswa tersebut, yang akan bermanfaat pula
kelak jika mereka telah dewasa.
b. Siswa berkebutuhan khusus mendapatkan suasana yang lebih
kompetitif, karena di sekolah umum ada lebih banyak siswa
dibanding SLB.
c. Siswa berkebutuhan khusus dapat membangun rasa percaya diri yang
lebih baik.
d. Siswa berkebutuhan khusus dapat bersekolah di mana saja, bahkan
sekolah yang dekat dengan tempat tinggalnya, asal ia memenuhi
persyaratan yang diminta; jadi tidak perlu terpisah dari keluarga
mereka.
16
e. Dari sisi kurikulum, dengan menempuh pendidikan di sekolah umum,
anak berkebutuhan khusus akan mendapatkan materi pelajaran yang
sama dengan siswa pada umumnya.
4. Kelemahan Sistem Integrasi
Kelemahan dari sistem integrasi ini adalah siswa anak
berkebutuhan khusus harus menyesuaikan diri dengan metode pengajaran
dan kurikulum yang ada. Pada saat-saat tertentu, kondisi ini dapat
menyulitkan mereka. Misalnya, saat siswa diwajibkan mengikuti mata
pelajaran ”menggambar.” Karena memiliki hambatan penglihatan, tentu
saja siswa yang merupakan anak berkebutuhan khusus tidak bisa
”menggambar.” Tapi, karena mata pelajaran ini wajib dengan kurikulum
yang ”ketat”, ”tidak fleksibel,” tidaklah dimungkinkan bagi guru maupun
siswa berkebutuhan khusus untuk melakukan ”adaptasi atau subsitusi” –
untuk mata pelajaran ”menggambar” tersebut. Yang dimaksud substitusi
adalah menggantikan mata pelajaran tersebut dengan tugas lain yang
memiliki nilai kompetensi sama. Misalnya, menggambar adalah mata
pelajaran yang melatih kreatifitas otak kanan untuk bidang visual; bisa
digantikan dengan tugas lain yang memiliki tujuan kompetensi sama atau
setara, misalnya mengarang.
E. SEKOLAH INKLUSI
1. Hakikat Pendidikan Inklusi
Menurut Sapon-Shevin (Oneil, 1995) dalam Sulthon (2013)
menyatakan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan
yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dapat dilayani di
sekolah-sekolah terdekat, di kelas regular bersamasama teman seusianya.
Sedang Stainback dan Stainback (1990) dalam Sulthon (2013)
mengemukakan sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua
murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan
yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan.
Setiap murid mendapatkan bantuan dan dukungan yang diberikan oleh
17
para guru agar anak-anak berhasil. Sehingga dapat diartikan sekolah
Inklusi adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan
mengintegrasikan siswa reguler dan siswa berkebutuhan khusus dalam
program yang sama. Inklusi terjadi pada semua lingkungan sosial anak,
pada keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, dan pada
institusi-institusi kemasyarakatan lainnya.
Inklusi memang mengikut sertakan anak berkebutuhan khusus.
Namun, secara luas inklusif juga berarti melibatkan seluruh peserta didik
tanpa terkecuali, seperti:
a. anak yang menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa
pengantar yang digunakan di dalam kelas.
b. anak yang beresiko putus sekolah karena sakit, kelaparan atau tidak
berprestasi dengan baik.
c. anak yang berasal dari golongan agama atau kasta yang berbeda.
d. anak yang terinfeksi HIV atau AIDS, dan
e. anak yang berusia sekolah tetapi tidak sekolah. (Lestari, 2010)
2. Prinsip-prinsip dasar pendidikan inklusi
Menurut Abdul Salim Choiri dan Munawir Yusuf (2009)
menyatakan ada lima prinsip dasar dari pendidikan inklusif, yaitu:
a. Prinsip pemerataan dan peningkatan mutu
Pendidikan inklusif merupakan salah satu strategi upaya pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan, karena lembaga pendidikan
inklusif bisa menampung semua anak yang belum terjangkau oleh
layanan pendidikan lainnya. Pendidikan inklusif juga merupakan
strategi peningkatan mutu, karena model pembelajaran inklusif
menggunakan metodologi pembelajaran bervariasi yang bisa
menyentuh pada semua anak dan menghargai perbedaan.
b. Prinsip kebutuhan individual
Setiap anak memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda-beda,
oleh karena itu pendidikan harus diusahakan untuk menyesuaikan
dengan kondisi anak.
18
c. Prinsip kebermaknaan
Pendidikan inklusif harus menciptakan dan menjaga komunitas kelas
yang ramah, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan
d. Prinsip keberlanjutan
Pendidikan inklusif diselenggarakan secara berkelanjutan pada semua
jenjang pendidikan.
e. Prinsip keterlibatan
Penyelenggaraan pendidikan inklusif harus melibatkan seluruh
komponen pendidikan terkait.
Sehingga berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif minimal memuat dua prinsip
dasar, yaitu prinsip persamaan hak dalam memperoleh pendidikan yang
layak, dan prinsip peningkatan mutu pendidikan
3. Jenis-jenis pendidikan inklusi menurut Vaughn, Bos dan Scunmn (2000)
dalam Sulthon (2013)
a. Kelas Reguler (Inklusi Penuh)
b. Kelas Reguler dengan Cluster
c. Kelas Reguler dengan Pull Out
d. Kelas Reguler dengan Cluster dan Pull Out
e. Kelas Khusus dengan Berbagai Pengintegrasian
f. Kelas Khusus Penuh
4. Keuntungan sistem pendidikan inklusi
Keuntungan dari pendidikan inklusi anak berkebutuhan khusus
maupun anak pada umumnya dapat saling berinteraksi secara wajar
sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat, dan
kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai potensinya masing-
masing.
5. Kelemahan sistem pendidikan inklusi
Minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi,
terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para guru
sekolah inklusif menunjukkan betapa sistem pendidikan inklusi belum
19
benar – benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi sistem kurikulum
pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi
keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel).
Sehingga sepertinya program pendidikan inklusif hanya terkesan
program eksperimental.
24
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. REKOMENDASI
25
DAFTAR PUSTAKA
26