Anda di halaman 1dari 20

PESERTA DIDIK DALAM PENYELENGGARAAN

PENDIDIKAN INKLUSI
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Inklusi yang
Diampu oleh Ibu Eni Rachmawati

Disusun oleh Kelompok 1 :


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Anggitarini Mentariana Laksiwi


Nurul Qomariyah
Ngurah Surya Atmaja
Bambang Wibowo
Kardiana Zendha Alvalentina
Citra Ayu Sitoresmi
Abdul Muiz

(201410430311002)
(201410430311013)
(201410430311023)
(201410430311037)
(201410430311038)
(201410430311047)
(201410430311050)

Kelas :
PGSD IV-A

Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar


Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Malang
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sekolah adalah suatu bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar
serta tempat menerima dan memberi pelajaran (Tim Penyusun Kamus Pusat
Bahasa, 2002: 1013). Sekolah sebagai lembaga formal untuk menuntut ilmu
diharapkan mampu menyiapkan sumber daya manusia yang siap bersaing
ditingkat regional, nasional maupun internasional. Pelaksanaan pendidikan
khususnya di sekolah harus mampu menjamin pemerataan dan peningkatan
mutu pendidikan di tengah perubahan global agar manusia Indonesia menjadi
lebih cerdas dan produktif. Usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan
diawali dengan peningkatan kualitas proses pembelajaran yang ada pada semua
jenjang pendidikan, karena proses pembelajaran merupakan kegiatan utama di
suatu sekolah. Beberapa faktor penting yang harus ada dalam proses
pembelajaran yaitu guru, peserta didik, kurikulum, bahan pelajaran, metode,
sumber belajar dan sistem evaluasi. Jika beberapa faktor tersebut dikelola
dengan baik maka akan memberikan dampak positif terhadap peningkatan
mutu pendidikan. Kualitas pendidikan tentunya akan lebih baik lagi jika
masukan (input) sumber daya proses pendidikan yaitu peserta didik, dikelola
dengan baik.
Menurut Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab I Pasal 1,
peserta didik merupakan anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan
potensi dirinya melalui jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Jadi dapat
diartikan bahwa peserta didik adalah siapa saja tanpa memandang status sosial
maupun fisik dari seseorang yang berusaha mengembangkan potensi yang ada
pada dirinya, dalam hal ini termasuk anak yang memiliki keterbatasan atau
berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan anak
dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya yang
seusia tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental intelektual,
sosial, emosi, atau fisik (Mudjito, 2012: 25). Anak yang termasuk dalam ABK
antara lain: tunanetra,tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan
belajar, gangguan perilaku, anak berbakat, tunadaksa.

Setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama dalam


memperoleh pendidikan yang bermutu termasuk anak berkebutuhan khusus
(ABK) dan yang memiliki potensi dan kecerdasan istimewa, hal tersebut sesuai
dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan UndangUndang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV
pasal 5 ayat 1. Guna memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan
khusus (ABK), pemerintah telah memberikan kebijakan pemerataan dan
perluasan akses pendidikan yang tertuang dalam Rencana Strategis
Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005, yaitu perluasan akses sekolah
luar biasa dan sekolah inklusif. Oleh karena itu, pemerintah memberikan
kebijakan dalam penuntasan wajib belajar sembilan tahun yang tertuang dalam
UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 Pasal 32 tentang pendidikan khusus dan
pendidikan layanan khusus.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar dari pendidikan inklusi ?
2. Bagaimana perubahan orientasi tentang pendidikan inklusi ?
3. Bagaimana klasifikasi anak berkebutuhan khusus ?
4. Bagaimana keberagaman peserta didik dan pendidikan inklusif ?
5.Bagaimana implikasi layanan pendidikan peserta didik berkebutuhan khusus?
6. Bagaimana implementasi layanan pendidikan inklusi di lapangan ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep dasar dari pendidikan inklusi,
2. Untuk mengetahui perubahan orientasi tentang pendidikan inklusi,
3. Untuk mengetahui klasifikasi anak berkebutuhan khusus,
4. Untuk mengetahui keberagaman peserta didik dan pendidikan inklusif,
5. Untuk mengetahui implikasi layanan pendidikan peserta didik berkebutuhan
khusus,
6. Untuk mengetahui implementasi layanan pendidikan inklusi di lapangan.
BAB II
PEMBAHASAN

A.

Konsep Dasar Pendidikan Inklusi


Pendidikan inklusif merupakan suatu pandangan yang menuntut
adanya perubahan layanan pendidikan yang tidak diskriminatif, menghargai
perbedaan, dan pemenuhan kebutuhan setiap individu berdasarkan
kemampuannya. Pendapat lain menyatakan pendidikan inklusif adalah
sebuah proses yang sistematis mengantarkan anak-anak berkebutuhan
khusus dan kelompok anak tertentu pada usia yang sama ke dalam
lingkungan yang alami dimana umumnya anak-anak bermain dan belajar
(Phil Foreman, 2001).
Bern (1997) dalam Budiyanto (2005) menyebut bahwa pendidikan
inklusif merupakan filosofi pendidikan yaitu bagian dari keseluruhan.
Artinya kita merupakan bagian dari keseluruhan dari sistem yang ada
sehingga tidak ada alasan untuk memisah-misahkan, apalagi mengisolasi
salah satu bagian dari keseluruhan sistem tersebut. Sedangkan Stainback
dan Stainback (1990) dalam Sunardi (2002) menyebutkan bahwa sekolah
inklusi merupakan sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang
sama dengan layanan pendidikan yang disesuaikan kemampuan dan
kebutuhan siswa. Dengan demikian, maka sekolah juga harus merupakan
tempat setiap anak diterima menjadi bagian dari kelas serta saling
membantu dengan guru dan teman sebayanya agar kebutuhan individualnya
terpenuhi.
Persepsi orang mengenai konsep pendidikan inklusif bisa bermacammacam.

Konsep

pendidikan

inklusif

merupakan

antitesis

dari

penyelenggaraan pendidikan luar biasa yang segregatif dan eksklusif, yang


memisahkan antara anak luar biasa dengan anak lain pada umumnya yang
biasa disebut anak normal. Padahal, konsep normal tersebut juga sama tidak
jelasnya dengan konsep luar biasa atau berkelainan. Yang tampak dalam
kehidupan sehari-hari adalah bahwa tiap individu berbeda dan pernyataan
normal atau abnormal hanya mengacu pada salah satu atau beberapa aspek
saja dari manusia sebagai satu keseluruhan. Dalam konsep pendidikan luar
biasa, pendidikan inklusif diartikan sebagai penggabungan penyelenggaraan

pendidikan luar biasa dan pendidikan biasa dalam satu sistem yang
dipersatukan.
Adapun yang dimaksud pendidikan luar biasa adalah pendidikan yang
diselenggarakan bagi siswa luar biasa atau berkelainan baik dalam makna
dikaruniai keunggulan (gifted/talented) maupun karena adanya hambatan
fisik, sensosik, motorik, intelektual, emosi, dan atau sosial. Dalam sistem
pendidikan yang segregatif eksklusif, peserta didik dikelompokkan ke dalam
dua kategori, normal dan berkelainan. Sebagai konsekuensi dari pandangan
yang dikotomis semacam itu maka peserta didik yang normal dimasukkan
ke sekolah reguler sedangkan yang berkelainan dimasukkan ke sekolah
khusus atau sekolah luar biasa. Dalam seting pendidikan inklusif
pengkategorian peserta didik ke dalam kelompok normal dan berkelainan
ditiadakan. Pengkategorian dipandang sebagai biang keladi penyebab
pelabelan, dan pelabelan sebagi biang keladi penyebab rasa malu dan rendah
diri bagi peserta didik yang berkekurangan dan arogansi bagi yang memiliki
keunggulan. Padahal dalam kenyataan kehidupan orang berkekurangan
dapat pula dikaruniai keunggulan dan sebaliknya, orang yang memperoleh
predikat unggul tidak luput dari kekurangan.
Pendidikan inklusif memandang kebhinnekaan sebagai anugerah,
yang memungkinkan manusia dapat saling berhubungan dalam rangka
saling membutuhkan. Proses belajar tidak hanya terjadi antara guru dengan
siswa tetapi juga dengan sesama siswa dan sumber belajar lainnya. Oleh
karena itu, kelompok belajar harus heterogen, agar peserta didik satu satu
sama lain dapat saling belajar.
B.

Perubahan Orientasi tentang Pendidikan Inklusi


1) Pernyataan dunia tentang pendidikan
Dari enam pernyataan dunia tentang pendidikan dan hak azasi
manusia, terdapat pernyataan yang melandasi perlunya perubahan dalam
sistem pendidikan, antara lain :
Pertama, pernyataan Salamanca tahun 1994 yang intinya dari
pernyataan tersebut antara lain menyatakan bahwa setiap anak
mempunyai hak pendidikan, kebutuhan belajar yang berbeda, serta
program pendidikan yang dirancang harus disesuaikan dengan

keragaman dan kebutuhan peserta didik. Bagi mereka yang


mempunyai kebutuhan khusus harus mempunyai akses ke sekolah
reguler, dan sekolah tersebut harus mengakomodasi dan memenuhi
kebutuhan dengan berpusat pada diri anak. Dinyatakan juga bahwa
sekolah reguler dengan orientasi inklusif merupakan alat paling
efektif untuk memerangi sikap diskriminasi, dan dapat menciptakan
masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang inklusif dan
mencapai pendidikan untuk semua (PUS). Lebih jauh sekolah
semacam ini akan memberikan pendidikan yang efektif kepada

mayoritas anak (Salamanca Statment, 1994).


Kedua, pernyataan Dakar Sinegal tahun 2000 tentang pendidikan
untuk semua (PUS), menyatakan bahwa semua anak, remaja, dan
orang dewasa mempunyai hak untuk memperoleh manfaat dari
kesempatan pendidikan yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan

belajarnya (Dakar Statment, 2000).


Ketiga, pernyataan dunia yang disampaikan pada International
Symposium di Bandung tahun 2004 dan Bukit Tinggi tahun 2005,
menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan yang
berkualitas terutama mereka yang masih belum diberi kesempatan
untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan
terhadap marginalisasi dan eksklusi. Selain itu, merupakan sebuah
kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan
menghormati perbedaan individu semua warga.
Pada intinya pernyataan tersebut merekomendasikan bahwa prinsip

inklusi harus merupakan dasar dari semua strategi untuk meningkatkan


standar sistem pendidikan, mengembangkan sekolah yang ramah dan
terbuka terhadap anak demi mencapai pendidikan untuk semua.
2) Pengakuan dan penghargaan terhadap keberagaman
Pernyataan dunia tersebut mendorong terjadinya perubahan,
sehingga tidak ada lagi pandangan yang mengatakan normal dan tidak
normal. Sekolah khusus dan sekolah umum, menjadi sekolah bersama

sekolah untuk semua. Paling tidak terdapat tiga elemen penting dari
pernyatan tersebut, antara lain :
Pertama, bahwa pengakuan dan penghargaan itu ditujukan bagi
semua anak, semua peserta didik tanpa kecuali termasuk mereka
yang terpinggirkan (marginalised) dan terabaikan.
Kedua, lokasi belajar yang sama yaitu, semua anak semua peserta
didik mengikuti pendidikan di sekolah yang sama, di sekolah
terdekat di kelas yang sama bersama-sama teman sebayanya (SaponShevin, dalam Sunardi, 2000).
Ketiga, layanan yang disesuaikan, yaitu pernyataan bahwa setiap
anak berbeda membawa konsekuensi kebutuhan layanan yang
berbeda

pula.

Setiap

anak

harus

dilayanani

kebutuhan

pendidikannya. Pernyataan lain menyebutkan bahwa selama


memungkinkan, semua individu atau anak seyogyanya belajar
bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang
mungkin ada pada diri mereka (UNESCO, 1994).

C.

Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus


Pengelompokan anak berkebutuhan khusus dan jenis pelayanannya,
sesuai dengan Program Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Tahun
2006 dan Pembinaan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan
Menengah Departemen Pendidikan Nasional Pendidikan adalah sebagai
berikut :
a. Tuna Netra
b. Tuna Rungu
c. Tuna daksa
d. Tuna Grahita: (Down Syndrome)
e. Tuna Grahita Ringan (IQ = 50-70)

f. Tuna Grahita Sedang (IQ = 25-50)


g. Tuna Grahita Berat (IQ 125 ) J. Talented : Potensi bakat istimewa
(Multiple Intelligences : Language, Logico mathematic, Visuospatial, Bodily-kinesthetic, Musical, Interpersonal, Intrapersonal,
Natural, Spiritual).
h. tuna wicara
i. lamban belajar ( IQ = 70 90 )
j. Kesulitan Belajar spesifik (Hyperaktif, ADD/ADHD, Dyslexia
(baca), Dysgraphia (tulis), Dyscalculia (hitung), Dysphasia
(bicara), Dyspraxia (motorik)
k. gangguan komunikasi
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk
menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu
negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang
bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang
memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada
UUD 1945 pasal 31 (1). Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia
belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya
segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis,
dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki
oleh siswa. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para
siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman dalam
masyarakat.
Selama ini anak anak yang memiliki perbedaan kemampuan
(difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat
dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara
tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok
eksklusifisme bagi anak anak yang berkebutuhan khusus. Tembok

eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses


saling mengenal antara anak anak difabel dengan anak anak non-difabel.
Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi
komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat
menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara
kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang
integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Seiring dengan berkembangnya tuntutan kelompok difabel dalam
menyuarakan hak haknya, maka kemudian muncul konsep pendidikan
inklusi. Salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya
sistem pendidikan inklusi adalah Convention on the Rights of Person with
Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Pada
pasal 24 dalam Konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban
untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi di setiap tingkatan
pendidikan.
Adapun salah satu tujuannya adalah untuk mendorong terwujudnya
partisipasi penuh difabel dalam kehidupan masyarakat. Namun dalam
prakteknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan
persoalan tarik ulur antara pihak pemerintah dan praktisi pendidikan, dalam
hal ini para guru.
Meski sampai saat ini sekolah inklusi masih terus melakukan
perbaikan dalam berbagai aspek, namun dilihat dari sisi idealnya sekolah
inklusi merupakan sekolah yang ideal baik bagi anak dengan dan tanpa
berkebutuhan khusus. Lingkungan yang tercipta sangat mendukung
terhadap anak dengan berkebutuhan khusus, mereka dapat belajar dari
interaksi spontan teman-teman sebayanya terutama dari aspek social dan
emosional. Sedangkan bagi anak yang tidak berkebutuhan khusus memberi
peluang kepada mereka untuk belajar berempati, bersikap membantu dan
memiliki kepedulian. Disamping itu bukti lain yang ada mereka yang tanpa

berkebutuhan khusus memiliki prestasi yag baik tanpa merasa terganggu


sedikitpun.
Penyelengaraan sistem pendidikan inklusi merupakan salah satu syarat
yang harus terpenuhi untuk membangun tatanan masyarakat inklusi
(inclusive society). Sebuah tatanan masyarakat yang saling menghormati
dan menjunjung tinggi nilai nilai keberagaman sebagai bagian dari realitas
kehidupan. Pemerintah melalui PP.No.19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, pasal 41(1) telah mendorong terwujudnya sistem
pendidikan inklusi dengan menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan
yang melaksanakan pendidikan inklusi harus memiliki tenaga kependidikan
yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta
didik dengan kebutuhan khusus.
D.

Keberagaman Peserta didik dan Pendidikan inklusif


Pembelajaran yang sesuai memberikan perhatian kepada kebutuhan
peserta didiknya. Oleh karena itu penting bagi guru memiliki kesadaran
tentang keberagaman (deversity awareness) peserta didik yang ada di
sekolahnya. Di sekolah, baik sekolah umum maupun sekolah khusus atau
sekolah luar biasa, pada umumnya peserta didik diajar oleh guru
berdasarkan kurikulum yang sama dan dengan pembelajaran yang sama
pula.
Pembelajaran yang didasarkan atas kurikulum yang seragam dengan
cara yang seragam dapat meningkatkan efisiensi tetapi menurunkan
efektifitas pencapaian tujuan pembelajaran. Pembelajaran seperti itu tidak
efektif karena peserta didik yang lambat akan mengalami kesulitan untuk
mencapai tujuan pembelajaran dan peserta didik yang cepat akan merasa
terhambat sehingga merasa bosan terhadap kegiatan pembelajaran.
Pembelajaran dapat dikatakan efektif jika guru memahami adanya
keberagaman peserta didik dan melaksanakan pembelajaran tidak hanya
berdasarkan karakteristik peserta didik yang bersifat umum tetapi juga
memperhatikan karakteristik peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus
yang ada dalam kelas. Jika peserta didik memiliki perbedaan antara satu

dengan yang lain, maka penggunaan kurikulum yang sama dengan


pembelajaran yang sama dapat dikatakan sebagai suatu sistem pembelajaran
yang tidak adil. Suatu pembelajaran dikatakan adil jika setiap peserta didik
memperoleh layanan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhannya.
1. Peserta Didik Berkebutuhan Khusus
Peserta didik berkebutuhan khusus sebagai bagian dari peserta
didik umumnya, memiliki kesempatan yang sama dalam pendidikan dan
berhak untuk mengikuti kegiatan belajar di semua satuan dan jenjang
persekolahan. Tempat bersekolah mereka tidak hanya di sekolah khusus,
tetapi juga di sekolah umum terutama yang terdekat dengan tempat
tinggalnya. Namun sejauh ini kenyataan menunjukkan masih ditemukan
banyaknya sekolah reguler atau sekolah umum yang belum dapat
memenuhi hak peserta didik berkebutuhan khusus tersebut untuk
bersekolah di sekolah umum.
Banyak hal yang melatarbelakangi mengapa sekolah umum belum
dapat menerima mereka yang berkebutuhan khusus. Diantaranya adalah
belum tersedianya sumber-sumber yang dapat memberi dukungan
penyelenggaraan pendidikan bagi mereka yang berkebutuhan khusus.
Konsep anak berkebutuhan khusus (children with special needs)
memiliki makna dan spektrum yang lebih luas dibandingkan dengan
konsep anak luar biasa (exceptional children). Anak berkebutuhan khusus
sebagai peserta didik umumnya mengalami hambatan untuk dapat
mengikuti pembelajaran sebagaimana peserta didik umumnya.
Hambatan atau gangguan yang dialaminya tersebut dapat bersifat
temporer dan bersifat permanen. Bersifat temporer, yaitu mereka yang
tidak perlu mendapat layanan pendidikan khusus secara terus-menerus.
Hambatan atau gangguan yang dialami lebih disebabkan karena faktor
eksternal anak, seperti mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri
akibat

trauma

kerusuhan,

kesulitan

konsentrasi

karena

sering

diperlakukan dengan kasar, atau tidak bisa membaca karena kekeliruan


guru mengajar.

Mereka akan dapat keluar dari hambatan yang dialaminya jika


faktor-faktor yang melatarbelakanginya dapat diatasi. Oleh karena itu,
layanan pendidikan yang diberikan tidak bersifat khusus lagi. Namun
demikian,

apabila

anak

berkebutuhan

khusus

temporer

tidak

mendapatkan penanganan atau intervensi yang tepat, maka kebutuhan


khususnya dapat menjadi permanen. Sedangkan yang bersifat permanen,
yaitu mereka yang karena hambatannya itu perlu mendapatkan layanan
secara lebih khusus berdasarkan tingkat kebutuhannya. Hambatan atau
gangguan yang dialaminya lebih disebabkan karena faktor internal yang
ada pada anak, seperti mereka yang kehilangan kemampuan penglihatan,
pendengaran, atau gangguan kecerdasan. Dikatakan permanen karena
fisik dan mental mereka tidak dapat diubah seperti anak umumnya.
Namun demikian jika dilihat dari kemandiriannya, tidak sedikit
kelompok ini dapat beradaptasi dengan lingkungan tanpa perlu bantuan
secara khusus. Mereka dapat belajar, berkomunikasi, dan melakukan
kegiatan sehari-hari tanpa bantuan orang lain.
Setiap anak berkebutuhan khusus, baik yang bersifat permanen
maupun yang temporer, memiliki hambatan belajar dan kebutuhan yang
berbeda-beda. Untuk itu diperlukan upaya-upaya penyesuaian dalam
pembelajarannya.
2. Pendidikan bagi peserta didik berkubutuhan khusus
Pendidikan inklusi adalah termasuk hal yang baru di Indonesia
umumnya. Ada beberapa pengertian mengenai pendidikan inklusi,
diantaranya adalah pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan
yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan
hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk
berpartisipasi penuh dalam pendidikan.
Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender,
status sosial, kemiskinan dan lain-lain. Dengan kata lain pendidikan
inklusi adalah pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang

dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan


potensi yang dimilikinya.
Salah satu kelompok yang paling tereksklusi dalam memperoleh
pendidikan adalah siswa penyandang cacat. Tapi ini bukanlah kelompok
yang homogen. Sekolah dan layanan pendidikan lainnya harus fleksibel
dan akomodatif untuk memenuhi keberagaman kebutuhan siswa. Mereka
juga diharapkan dapat mencari anak-anak yang belum mendapatkan
pendidikan.
E.

Implikasi Layanan Pendidikan Peserta Didik Berkebutuhan Khusus


Terdapat beberapa hal yang sangat mempengaruhi implikasi terhadap
layanan pendidikan peserta didik berkubutuhan khusus, antara lain :
1. Tidak diskriminatif
Pengakuan terhadap keberagaman, bahwa sekolah untuk semua.
Semua orang berhak untuk memperoleh pendidikan. Pengakuan dan
penghargaan ini hanya terjadi pada sekolah yang ramah. Sekolah yang
ramah adalah sekolah yang terbuka untuk menerima semua peserta didik
tanpa kecuali termasuk yang berkebutuhan khusus. Apabila hal ini dapat
tercapai, maka ada harapan bahwa semua anak akan mendapat
kesempatan untuk memeperoleh pendidikan. Dikemudian hari tidak ada
lagi anak usia sekolah yang tidak bersekolah.
2. Memperhatikan kebutuhan peserta didik
Masalah bukan pada anak tetapi pada lingkungan. Sistem sekolah
menyesuaikan dengan kebutuhan anak, proses belajar yang fleksibel,
penyesuaian kurikulum dengan kebutuhan anak, pembelajaran yang
koopertif, aktif dan kreatif, setiap anak dapat belajar sesuai kecepatannya
(multi level curriculum). Wujud nyata dari adanya pengakuan dan
penghargaan terhadap kebutuhan anak adalah bentuk penyesuaian antara
kurikulum dengan kebutuhan peserta didik dan pembelajaran dilakukan
melalui pendekatan belajar kooperatif (cooperative learning). Hal ini
memang tidak mudah untuk dilakukan karena memerlukan keterampilan
yang cukup dari seorang guru. Tetapi jika dapat diwujudkan akan sangat
menguntungkan bagi perkembangan peserta didik. Peserta didik yang

belajar lebih cepat dapat dilayani sejalan dengan kecepatannya, peserta


didik yang rata-rata juga dapat terlayani dan peserta didik yang memiliki
hambatan dapat pula belajar sesuai kebutuhannya.
3. Lingkungan dan fasilitas yang aksesibel
Lingkungan yang aman dan sehat bagi keselamatan peserta didik,
misalnya tangga tidak membahayakan, kamar mandi tidak lincin atau
kotor. Fasilitas belajar memungkinkan semua peserta didik dapat belajar
secara nyaman, misalnya untuk peserta didik yang mengalamai hambatan
tertentu dapat nyaman untuk bergerak atau menggunakan fasilitas belajar
yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Di sekolah-sekolah kita pada umumnya memiliki aksesibilitas yang
kurang baik. Masalah aksesibilitas merupakan hal yang sulit untuk
dikembangkan, selain karena berkaitan dengan dana akan tetapi juga
masalah mental, sikap kebiasaan yang kurang menghargai lingkungan.
Meskipun meciptakan aksesibilitas yang ideal sangat sulit diwujudkan,
akan tetapi kita bisa memulai dengan hal-hal kecil yang bisa dilakukan di
sekolah. Prinsip yang perlu diperhatikan oleh para pelaksana pendidikan
di sekolah dalam mengembangkan aksesibilitas lingkungan adalah;
aman, nyaman, dan memberi kemudahan kepada setiap orang untuk
menggunakannya.
4. Kerjasama tim
Masalah yang dihadapi akan lebih mudah diatasi secara tim,
sehubungan dengan hambatan dan kebutuhan belajar yang beragam.
Kegiatan yang biasa dilakukan diantaranya melalui studi kasus atau
perencanaan program. Kerjasama tim memerlukan komitmen, kesamaan
pemahaman dalam memecahkan persoalan, toleransi dan saling terikat
satu sama lain. Hal ini penting karena akan sulit bagi guru dalam
mengembangkan keahliannya jika bekerja sendirian. Oleh karena itu
perlu terus ditumbuhkan kebiasaan para guru untuk bekerja dalam tim.
Guru yang terbiasa bekerja dalam tim, secara tidak langsung akan
mempengaruhi sikapnya terhadap anak. Kerjasama dalam tim harus
menjadi kebutuhan, sekaligus merupakan criri khas dari pekerja
profesional.
5. Peran serta orang tua

Orang tua memiliki peran penting untuk suksesnya pendidikan


yang diselenggarakan, mereka bisa diposisikan sebagai kelompok
dukungan (parent support groups). Keterlibatan orang tua secara aktif
terhadap pendidikan anak di sekolah sangat penting. Keterlibatan orang
tua di sekolah bukan hanya dalam kaitannya dengan urusan biaya, tetapi
juga negosiasi dalam mencari solusi berkenaan dengan pendidikan anak,
baik sekolah maupun di rumah. Jika kemitraan orang tua dengan sekolah
terbangun, maka setiap masalah yang dihadapi anak akan segera dapat
ditanggulangi bersama.
6. Sistem pendukung (support system)
Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif membutuhkan
sistem dukungan. Sistem dukungan tersebut dapat diperoleh dari sekolah
khusus atau sekolah luar biasa yang peran dan fungsinya diperluas atau
dari institusi yang dibangun secara khusus untuk kepentingan tersebut.
Dalam kaitan dengan pendidikan inklusif disebut pusat sumber atau
resource center.
Salah satu tugas dan fungsi pusat sumber adalah menyediakan guru
pendidikan kebutuhan khusus yang profesional yang disebut guru
kunjung (inteneran teachers). Guru kunjung akan menjadi mitra guru
sekolah reguler dalam memberikan layanan kepada peserta didik
berkebutuhan khusus. Selain itu pusat sumber juga mempunyai tugas
untuk menyediakan media/alat belajar yang diperlukan peserta didik
berkebutuhan khusus, seperti penyediaan buku-buku, teks braille bagi
tunanetra, memberi pelatihan bagi guru sekolah reguler, orang tua,
maupun peserta didik kebutuhan khusus sendiri.

F.

Implementasi Pendidikan Inklusi di Lapangan


Indonesia Menuju Pendidikan inklusi Secara formal dideklarasikan
pada tanggal 11 agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat
menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua
anak termasuk penyandang cacat anak. Setiap penyandang cacat berhak
memperolah pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis dan jenjang

pendidikan (Pasal 6 ayat 1). Setiap penyandang cacat memiliki hak yang
sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan
sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga
dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No.4 tahun 1997 tentang penyandang
cacat).
Disamping pendidikan atau sekolah reguler, pemerintah dan badanbadan swasta menyelenggarakan pendidikan atau sekolah khusus yang biasa
disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk melayani beberapa jenis kecacatan.
Tidak seperti sekolah reguler yang tersebar luas baik di daerah perkotaan
maupun daerah pedesaan. SLB dan SDLB sebagian besar berlokasi di
perkotaan dan sebagian kecil sekali yang berlokasi di pedesaan. Penyandang
cacat anak untuk menjangkau SLB atau SDLB relatif sangat jauh hingga
memakan biaya cukup tinggi yang tidak terjangkau penyandang cacat anak
dari pedesaan. Ini pula masalah yang dapat diselesaikan oleh pendidikan
atau sekolah inklusi, di samping memecahkan masalah golongan
penyandang cacat yang merata karena diskriminasi sosial, karena dari sejak
dini tidak bersama, berorientasi dengan yang lain.
Sejak tahun 2001, pemerintah mulai uji coba perintisan sekolah
inklusi seperti di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 12 sekolah
didaerah Gunung Kidul dan di Provinsi daerah Khusus Ibukota Jogyakarta
dengan 35 sekolah. Pada sekolah sekolah reguler yang dijadikan perintis itu
memang diuntukkan anak-anak lambat belajar dan anak-anak sulit belajar
sehingga perlu mendapat pelayanan khusus. Karena masih dalam tahap
rintisan sampai sekarang belum ada informasi yang berarti dari sekolahsekolah tersebut.
Menurut Prof. Dr. Fawzie Aswin Hadi (Universitas Negeri Jakarta)
mengisahkan sekolah Inklusi (SD. Muhamadiyah di Gunung Kidul) sekolah
ini punya murid 120 anak, 2 anak laki-laki diantaranya adalah Tuna Grahita,
dua anak ini dimasukan oleh kedua ibunya ke kelas I karena mau masuk
SLBC lokasinya jauh dari tempat tinggalnya yang di pegunungan. Keluarga
ini tergolong keluarga miskin oleh sebab itu mereka memasukkan anakanaknya ke SD. Muhamadiyah. Perasaan mereka sangat bahagia dan bangga
bahwa kenyataannya anak mereka diterima sekolah. Satu anak tampak

berdiam diri dan cuek, sedang satu lagi tampak ceria dan gembira, bahkan ia
menyukai tari dan suka musik, juga ia ramah dan bermain dengan teman
sekolahnya yang tidak cacat. Gurunya menyukai mereka, mengajar dan
mendidik mereka dengan mengunakan modifikasi kurikulum untuk
matematika dan mata pelajaran lainnya, evaluasi disesuaikan dengan
kemampuan mereka. Hal yang sangat penting disini yang berkaitan dengan
guru adalah anak Tuna Grahita dapat menyesuaikan diri dengan baik,
bahagia dan senang di sekolah. Ini merupakan potret anak Tuna Grahita di
tengah-tengah teman sekelas yang sedang belajar.
Di Indonesia telah dilakukan Uji coba dibeberapa daerah sejak tahun
2001, secara formal pendidikan inklusi dideklarasikan di Bandung tahun
2004 dengan beberapa sekolah reguler yang mempersiapkan diri untuk
implementasi pendidikan inklusi. Awal tahun 2006 ini tidak ada tanda-tanda
untuk itu, informasi tentang pendidikan inklusi tidak muncul kepada publik,
isu ini tenggelam ketika isu menarik lainnya seperti biaya operasional
sekolah, sistem SKS SMA dan lain-lain.

BAB III
PENUTUP
A.

Kesimpulan
Peserta didik berkebutuhan khusus sebagai bagian dari peserta didik
pada umumnya berhak untuk memperoleh pendidikan yang sama.
Kesempatan memperoleh pendidikan tidak terbatas hanya di sekolah khusus
atau sekolah luar biasa, akan tetapi juga di sekolah umum atau sekolah
reguler, terutama sekolah yang terdekat dengan tempat tinggalnya.
Setiap anak mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri,
memiliki cita-cita dan harapannya sendiri, sehingga memiliki hak untuk
mendapatkan pendidikan. Sistem pendidikan bukanlah memisahkan antara
peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik umumnya yang
tidak berkebutuhan khusus, melainkan sistem pendidikan yang dapat
menampung kebutuhan setiap anak dalam satu lembaga pendidikan yang
dipersatukan.
Pendidikan inklusif memberikan kesempatan yang sama antara peserta
didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik umumnya untuk menerima
pendidikan dengan kualitas yang sama dalam satu kegiatan pembelajaran
dalam satu kelas. Sebagai sebuah pendekatan yang berhubungan dengan
pengembangan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan belajar seluruh
peserta didik, pendidikan inklusif mengakomodasi semua peserta didik
tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa atau
kondisi lainnya. Pendidikan inklusif didasarkan pada persamaan hak untuk
mendapat pendidikan tanpa diskriminasi.
Pendidikan inklusif dengan pandangannya telah memberi peluang
bagi peserta didik berkebutuhan khusus untuk mendapatkan apa yang
menjadi hak mereka. Dengan demikian pendidikan inklusif memberi
keuntungan bagi peserta didik berkebutuhan khusus untuk mendapat
pengetahuan dan kesempatan untuk hidup secara alami dalam masyarakat,
hidup dalam kepatutan dan menghargai hidup, menerima mereka sebagai
bagian seutuhnya dalam anggota masyarakat dan memberi sumbangan
secara aktif dalam pembangunan.

B.

Saran
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1
dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Bab IV pasal 5 ayat 1 bahwa setiap warga negara mempunyai
kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan yang bermutu
termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK) dan yang memiliki potensi dan
kecerdasan
berkebutuhan

istimewa,
khusus

guna

memberikan

(ABK),

kesempatan

pemerintah

kepada

memberikan

anak

kebijakan

pemerataan dan perluasan akses pendidikan yang tertuang dalam Rencana


Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005, yaitu perluasan
akses sekolah luar biasa dan sekolah inklusif. Dengan kebijakan yang telah
di edarkan alangkah baiknya pemerintah juga menyiapkan pelatihan atau
sosialisasi tentang pendidikan inklusi. Jadi tidak ada lagi sekolah yang
masih bngung dengan pelaksanaan pendidikan inklusi ini. Di sisi lain,
pemerintah juga harus menyediakan dana untuk pemenuhan fasilitas demi
tercapainya pendidikan inklusi yang berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA
Budiyanto. 2005. Pengantar Pendidikan Inklusif Berbasis Budaya Lokal. Jakarta:
DIRJEN DIKTI.
DEPDIKNAS. 2003. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003:
Jakarta.
http//INKLUSI-Pendidikan-Terhadap-Anak-Berkebutuhan-Khusus-sekolah
mandiri.sch.id.html

Hega Raka Ardana. 2014. Manajemen Peserta Didik Sekolah Inklusif (Skripsi
Program Studi Manajemen Pendidikan). Universitas Negeri Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai