PENDIDIKAN INKLUSI
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Inklusi yang
Diampu oleh Ibu Eni Rachmawati
(201410430311002)
(201410430311013)
(201410430311023)
(201410430311037)
(201410430311038)
(201410430311047)
(201410430311050)
Kelas :
PGSD IV-A
A.
Konsep
pendidikan
inklusif
merupakan
antitesis
dari
pendidikan luar biasa dan pendidikan biasa dalam satu sistem yang
dipersatukan.
Adapun yang dimaksud pendidikan luar biasa adalah pendidikan yang
diselenggarakan bagi siswa luar biasa atau berkelainan baik dalam makna
dikaruniai keunggulan (gifted/talented) maupun karena adanya hambatan
fisik, sensosik, motorik, intelektual, emosi, dan atau sosial. Dalam sistem
pendidikan yang segregatif eksklusif, peserta didik dikelompokkan ke dalam
dua kategori, normal dan berkelainan. Sebagai konsekuensi dari pandangan
yang dikotomis semacam itu maka peserta didik yang normal dimasukkan
ke sekolah reguler sedangkan yang berkelainan dimasukkan ke sekolah
khusus atau sekolah luar biasa. Dalam seting pendidikan inklusif
pengkategorian peserta didik ke dalam kelompok normal dan berkelainan
ditiadakan. Pengkategorian dipandang sebagai biang keladi penyebab
pelabelan, dan pelabelan sebagi biang keladi penyebab rasa malu dan rendah
diri bagi peserta didik yang berkekurangan dan arogansi bagi yang memiliki
keunggulan. Padahal dalam kenyataan kehidupan orang berkekurangan
dapat pula dikaruniai keunggulan dan sebaliknya, orang yang memperoleh
predikat unggul tidak luput dari kekurangan.
Pendidikan inklusif memandang kebhinnekaan sebagai anugerah,
yang memungkinkan manusia dapat saling berhubungan dalam rangka
saling membutuhkan. Proses belajar tidak hanya terjadi antara guru dengan
siswa tetapi juga dengan sesama siswa dan sumber belajar lainnya. Oleh
karena itu, kelompok belajar harus heterogen, agar peserta didik satu satu
sama lain dapat saling belajar.
B.
sekolah untuk semua. Paling tidak terdapat tiga elemen penting dari
pernyatan tersebut, antara lain :
Pertama, bahwa pengakuan dan penghargaan itu ditujukan bagi
semua anak, semua peserta didik tanpa kecuali termasuk mereka
yang terpinggirkan (marginalised) dan terabaikan.
Kedua, lokasi belajar yang sama yaitu, semua anak semua peserta
didik mengikuti pendidikan di sekolah yang sama, di sekolah
terdekat di kelas yang sama bersama-sama teman sebayanya (SaponShevin, dalam Sunardi, 2000).
Ketiga, layanan yang disesuaikan, yaitu pernyataan bahwa setiap
anak berbeda membawa konsekuensi kebutuhan layanan yang
berbeda
pula.
Setiap
anak
harus
dilayanani
kebutuhan
C.
trauma
kerusuhan,
kesulitan
konsentrasi
karena
sering
apabila
anak
berkebutuhan
khusus
temporer
tidak
F.
pendidikan (Pasal 6 ayat 1). Setiap penyandang cacat memiliki hak yang
sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan
sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga
dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No.4 tahun 1997 tentang penyandang
cacat).
Disamping pendidikan atau sekolah reguler, pemerintah dan badanbadan swasta menyelenggarakan pendidikan atau sekolah khusus yang biasa
disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk melayani beberapa jenis kecacatan.
Tidak seperti sekolah reguler yang tersebar luas baik di daerah perkotaan
maupun daerah pedesaan. SLB dan SDLB sebagian besar berlokasi di
perkotaan dan sebagian kecil sekali yang berlokasi di pedesaan. Penyandang
cacat anak untuk menjangkau SLB atau SDLB relatif sangat jauh hingga
memakan biaya cukup tinggi yang tidak terjangkau penyandang cacat anak
dari pedesaan. Ini pula masalah yang dapat diselesaikan oleh pendidikan
atau sekolah inklusi, di samping memecahkan masalah golongan
penyandang cacat yang merata karena diskriminasi sosial, karena dari sejak
dini tidak bersama, berorientasi dengan yang lain.
Sejak tahun 2001, pemerintah mulai uji coba perintisan sekolah
inklusi seperti di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 12 sekolah
didaerah Gunung Kidul dan di Provinsi daerah Khusus Ibukota Jogyakarta
dengan 35 sekolah. Pada sekolah sekolah reguler yang dijadikan perintis itu
memang diuntukkan anak-anak lambat belajar dan anak-anak sulit belajar
sehingga perlu mendapat pelayanan khusus. Karena masih dalam tahap
rintisan sampai sekarang belum ada informasi yang berarti dari sekolahsekolah tersebut.
Menurut Prof. Dr. Fawzie Aswin Hadi (Universitas Negeri Jakarta)
mengisahkan sekolah Inklusi (SD. Muhamadiyah di Gunung Kidul) sekolah
ini punya murid 120 anak, 2 anak laki-laki diantaranya adalah Tuna Grahita,
dua anak ini dimasukan oleh kedua ibunya ke kelas I karena mau masuk
SLBC lokasinya jauh dari tempat tinggalnya yang di pegunungan. Keluarga
ini tergolong keluarga miskin oleh sebab itu mereka memasukkan anakanaknya ke SD. Muhamadiyah. Perasaan mereka sangat bahagia dan bangga
bahwa kenyataannya anak mereka diterima sekolah. Satu anak tampak
berdiam diri dan cuek, sedang satu lagi tampak ceria dan gembira, bahkan ia
menyukai tari dan suka musik, juga ia ramah dan bermain dengan teman
sekolahnya yang tidak cacat. Gurunya menyukai mereka, mengajar dan
mendidik mereka dengan mengunakan modifikasi kurikulum untuk
matematika dan mata pelajaran lainnya, evaluasi disesuaikan dengan
kemampuan mereka. Hal yang sangat penting disini yang berkaitan dengan
guru adalah anak Tuna Grahita dapat menyesuaikan diri dengan baik,
bahagia dan senang di sekolah. Ini merupakan potret anak Tuna Grahita di
tengah-tengah teman sekelas yang sedang belajar.
Di Indonesia telah dilakukan Uji coba dibeberapa daerah sejak tahun
2001, secara formal pendidikan inklusi dideklarasikan di Bandung tahun
2004 dengan beberapa sekolah reguler yang mempersiapkan diri untuk
implementasi pendidikan inklusi. Awal tahun 2006 ini tidak ada tanda-tanda
untuk itu, informasi tentang pendidikan inklusi tidak muncul kepada publik,
isu ini tenggelam ketika isu menarik lainnya seperti biaya operasional
sekolah, sistem SKS SMA dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Peserta didik berkebutuhan khusus sebagai bagian dari peserta didik
pada umumnya berhak untuk memperoleh pendidikan yang sama.
Kesempatan memperoleh pendidikan tidak terbatas hanya di sekolah khusus
atau sekolah luar biasa, akan tetapi juga di sekolah umum atau sekolah
reguler, terutama sekolah yang terdekat dengan tempat tinggalnya.
Setiap anak mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri,
memiliki cita-cita dan harapannya sendiri, sehingga memiliki hak untuk
mendapatkan pendidikan. Sistem pendidikan bukanlah memisahkan antara
peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik umumnya yang
tidak berkebutuhan khusus, melainkan sistem pendidikan yang dapat
menampung kebutuhan setiap anak dalam satu lembaga pendidikan yang
dipersatukan.
Pendidikan inklusif memberikan kesempatan yang sama antara peserta
didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik umumnya untuk menerima
pendidikan dengan kualitas yang sama dalam satu kegiatan pembelajaran
dalam satu kelas. Sebagai sebuah pendekatan yang berhubungan dengan
pengembangan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan belajar seluruh
peserta didik, pendidikan inklusif mengakomodasi semua peserta didik
tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa atau
kondisi lainnya. Pendidikan inklusif didasarkan pada persamaan hak untuk
mendapat pendidikan tanpa diskriminasi.
Pendidikan inklusif dengan pandangannya telah memberi peluang
bagi peserta didik berkebutuhan khusus untuk mendapatkan apa yang
menjadi hak mereka. Dengan demikian pendidikan inklusif memberi
keuntungan bagi peserta didik berkebutuhan khusus untuk mendapat
pengetahuan dan kesempatan untuk hidup secara alami dalam masyarakat,
hidup dalam kepatutan dan menghargai hidup, menerima mereka sebagai
bagian seutuhnya dalam anggota masyarakat dan memberi sumbangan
secara aktif dalam pembangunan.
B.
Saran
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1
dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Bab IV pasal 5 ayat 1 bahwa setiap warga negara mempunyai
kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan yang bermutu
termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK) dan yang memiliki potensi dan
kecerdasan
berkebutuhan
istimewa,
khusus
guna
memberikan
(ABK),
kesempatan
pemerintah
kepada
memberikan
anak
kebijakan
DAFTAR PUSTAKA
Budiyanto. 2005. Pengantar Pendidikan Inklusif Berbasis Budaya Lokal. Jakarta:
DIRJEN DIKTI.
DEPDIKNAS. 2003. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003:
Jakarta.
http//INKLUSI-Pendidikan-Terhadap-Anak-Berkebutuhan-Khusus-sekolah
mandiri.sch.id.html
Hega Raka Ardana. 2014. Manajemen Peserta Didik Sekolah Inklusif (Skripsi
Program Studi Manajemen Pendidikan). Universitas Negeri Yogyakarta