PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan inklusif merupakan seseuatu yang baru di dunia pendidikan Indonesia.
Istilah pendidikan inklusif atau inklusi, mulai mengemuka sejak tahun 1990, ketika konferensi
dunia tentang pendidikan untuk semua, yang diteruskan dengan pernyataan tentang
pendidikan inklusif pada tahun 1994.
Pendidikan khusus merupakan pendidikan yang diperuntukan bagi peserta didik yang
memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena memiliki kelainan
fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Oleh karena itu, untuk mendorong kemampuan pembelajaran mereka dibutuhkan lingkungan
belajar yang kondusif, baik tempat belajar, metoda, sistem penilaian, sarana dan prasarana
serta yang tidak kalah pentingnya adalah tersedianya media pendidikan yang memadai sesuai
dengan kebutuhan peserta didik.
Seiring dengan perjalanan kehidupan sosial bermasyarakat, ada pandangan bahwa
mereka anak-anak penyandang dissabilitas dianggap sebagai sosok individu yang tidak
berguna, bahkan perlu diasingkan. Namun, seiring dengan perkembangan peradaban
manusia, pandangan tersebut mulai berbeda. Keberadaannya mulai dihargai dan memiliki hak
yang sama seperti anak normal lainnya. Hal ini sesuai dengan apa yang diharapkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat disimpulkan bahwa Negara memberikan jaminan
sebenarnya kepada anak-anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan
yang berkualitas. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak berkebutuhan khusus mendapatkan
kesempatan yang sama dengan anak-anak normal lainnya dalam pendidikan. Hanya saja, jika
ditinjau dari sudut pandang pendidikan, karena karakteristiknya yang berbeda dengan anak
normal pada umumnya menyebabkan dalam proses pendidikannya mereka membutuhkan
layanan pendekatan dan metode yang berbeda dengan pendekatan khusus
Pemerintah sebagai faktor utama dalam membuat kebijaksanaan pendidikan
mengupayakan program pemerataan pendidikan dengan penyelenggaraan pendidikan
inklusif. Pendidikan inklusif adalah suatu kebijaksanaan pemerintah dalam mengupayakan
pendidikan yang bisa dinikmati oleh setiap warga negara agar memperoleh pendidikan tanpa
memandang anak berkebutuhan khusus dan anak normal agar bisa bersekolah dan
memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas untuk masa depan hidupnya.
Ruang lingkup media pendidikan inklusif sebaiknya mencakup semua jenis media
pendidikan untuk semua peserta didik termasuk didalamnya anak berkebutuhan khusus,
seperti: Tunanetra, Tunarungu, Tunagrahita, Tunadaksa, Tunalaras, Tuna Wicara,
Tunaganda, HIV/AIDS, Gifeted, Talented, Kesulitan Belajar, Lamban Belajar, Autis, Korban
Penyalahgunaan Narkoba, Indigo, dan lain sebagainya.
Khusus untuk pembelajaran MIPA, memang tidaklah mudah mengajarkan dan
mengaplikasikan konsep-konsep materi pada anak yang berkebutuhan khusus atau memiliki
bakat istimewa. Tetapi hal itu bukan berarti mata pelajaran MIPA tidak dapat diberikan
kepada mereka.
Dengan dilatarbelakangai hal tersebut maka dirasa perlu untuk mempelajari lebih
mendalam tentang kajian pendidikan inklusif khususnya pada mata pelajaran MIPA.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Apa pengertian pendidikan inklusif?
2. Apa saja pro dan kontra pendidikan Inklusif?
3. Apa manfaatnya pendidikan inklusif?
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sbagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian pendidikan inklusif.
2. Untuk mengetahui pro dan kontra pendidikan Inklusif.
3. Untuk mengetahui manfaat pendidikan inklusif.
BAB II
PEMBAHASAN
E. Pengertian Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif lahir sebagai bentuk ketidak puasan penyelenggaran pendidikan
bagi anak-anak berkebutuhan khusus dengan menggunakan sisitem segregasi. Sistem
segregasi adalah sistem penyelenggalan sekolah yang diperuntukan bagi anak-anak yang
memiliki kelainan atau anak-anak berkebutuhan khusus. Sistem ini dipandang bertentangan
dengan tujuan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Dimana tujuaan
penyelenggaran pendidikan anak berkebutuhan khusus adalah untuk mempersiapkan mereka
untuk dapat berinteraksi dengan mandiri di lingkungan masyarakat. Namun dalam proses
penyelenggaran pendidikan, sistem segregasi justru di pisahkan dengan lingkungan
masyarakat, khususunya terjadi di masyarakat kita berangkat dari kenyataan tersebut, lahirlah
beberapa konsep pendidikan inklusif
Menurut Budianto (2006), sistem segregasi tidak mampu lagi mengemban misi
utama pendidikan, yaitu memanusiakan manusia. Sistem segregasi cenderung diskriminatif,
esklusif, mahal, tidak efesien, serta outputnyapun belum menjanjikan sesuatu yang positif.
Disebut pula oleh Reynolds dan birch (1988), bahwa model segregasi tidak menjamin
kesempatan anak berkenalinan berkembang potensi secara optimal, karena kurikulum
dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Hal itu secara filosofis model segregasi
tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berinteraksi dengan
masyarakat normal, tetapi faktanya mereka dipisahkan dari masyarakat normal.
1. Pendidikan inklusif yang berjalan terus dalam usaha menemukan cara-cara merespon
keragaman individu anak.
2. Pendidikan inklusif berarti memperleh cara-cara untuk mengatasi hambatan-hambatan
anak dalam belajar
3. Pendidikan inklusif berarti membawa makna anak mendapata kesempatan untuk hadir
di sekolah, berpartisipasi, dan mendaparkan hasil belajar yang bermakna dalam
hidupnya
4. Pendidikan inklusif di peruntukan bagi anak yang tergolong marginal, ekslusif, dan
membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar.
Definisi inklusif disampaikan oleh Dianne dan Brandy Reese (2002) bahwa :
“inclusion can be defined as the act of being present at reguler education clesses with the
support and service needed to successfully achieve education goals. Inclusion in the
scholastic enviroment benefits both the disabled student and the non-disabled student in
obtaining life skills. by including all student as much possible in general or reguler
education all classes all students can learn to work cooperatively, learn to work with
different kinds of people in taks “
Menurut Sharon rustemer (2002), yang dilaporkan pada center of study in inclusive
education (CSIE) , pendidikan inklusif didefinisikan sebgai berikut “ inclusive education
learning together in ordinary pre-school provision, schools, colleges and universities with
appropriate network of support”. Dengan demikian, pendidikan inklusif dapat diikuti oleh
semua orang dengan tanpa keterbatasan dan dapat berlangsung di setiap jenjang pendiidkan,
mulai dari TK sampai perguruaan tinggi
Selanjutnya, SCIES menyatakan bahwa “ inclusion means enabling all students to
participate fully in the life and work of mainstreaming setting, whatever their needs”. Dengan
kata lain, semua siswa tanpa memandang jenis kebutuhan diperbolehkan unruk bersam-sama
hidup dan bekerja dalam lingkungan umum(lumrah)
Model pendidikan khusus tertua adalah model segregasi yang menempatkan anak
berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Sekolah-sekolah ini
memiliki kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, system evaluasi, dan guru
khusus. Dari segi pengelolaan, model segregasi memang menguntungkan, karena mudah bagi
guru dan administrator. Namun demikian, dari sudut pandang peserta didik, model segregasi
merugikan. Disebutkan oleh Reynolds dan Birch (1988), antara lain bahwa model segregatif
tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal,
karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Kecuali itu, secara
filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat
berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi mereka dipisahkan dengan masyarakat normal.
Kelemahan lain yang tidak kalah penting adalah bahwa model segregatif relatif mahal.
Model yang muncul pada pertengahan abad XX adalah model mainstreaming. Belajar
dari berbagai kelemahan model segregatif, model mainstreaming memungkinkan berbagai
alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan. Alternatif yang tersedia mulai dari
yang sangat bebas (kelas biasa penuh) sampai yang paling berbatas (sekolah khusus
sepanjang hari). Oleh karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak
berbatas (the least restrictive environment), artinya seorang anak berkelainan harus
ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan jenis / tingkat
kelainannya.
Secara hirarkis, Deno (1970) mengemukakan alternatif sebagai berikut:
1. Kelas biasa penuh,
2. Kelas biasa dengan tambahan bimbingan di dalam,
3. Kelas biasa dengan tambahan bimbingan di luar kelas,
4. Kelas khusus dengan kesempatan bergabung di kelas biasa,
5. Kelas khusus penuh,
6. Sekolah khusus, dan
7. Sekolah khusus berasrama.
Adapun menurut Heiman (2004), terdapat 4 model pendidikan inklusif, yaitu:
1. In-and-out
2. Two-teachers
3. Full inclusion
4. Rejection of inclusion
Model in-and-out adalah model pembelajaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus
dimana anak-anak tersebut keluar masuk kelas reguler pada pembelajaran tertentu. Model
two-teachers adalah model pembelajaran bagi anak anak berkebutuhan khusus dengan
menggunakan dua orang guru, yaitu guru reguler dan guru pembimbing khusus (GPK).
Model full inclusion adalah model pembelajaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus
diaman anak-anak berkebutuhan khusus secara penuh mengikuti proses pembelajaran
bersama-sama dengan siswa-siswa reguler linnya di kelas yang sama. Model rejection of
inclusion adalah model pembelajaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus dimana siswa-
siswa berkebutuhan khusus belajar terpisah dengan siswa-siswa reguler lainnya.
Anak berkebutuhan khusus dapat berpindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang
lain, seperti:
1) Bentuk kelas reguler penuh
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas
reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama.
2) Bentuk kelas reguler dengan cluster
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam
kelompok khusus.
3) Bentuk kelas reguler dengan pull out
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun
dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar
dengan guru pembimbing khusus.
4) Bentuk kelas reguler dengan cluster dan pull out
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam
kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang
sumber untuk belajar bersama dengan guru pembimbing khusus.
5) Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian
Anak berkebutuhan khusus belajar di kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam
bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler.
6) Bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler
Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.
Dengan demikian, pendidikan inklusif seperti pada model di atas tidak mengharuskan
semua anak berkebutuhan khusus berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata
pelajarannya (inklusi penuh). Hal ini dikarenakan sebagian anak berkebutuhan khusus dapat
berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan gradasi kelainannya yang cukup berat.
Bahkan bagi anak berkebutuhan khusus yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih
banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian,
bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler
(sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).
1. Belum ada bukti empirik yang kuat bahwa SLB merupakan satu-satunya sistem
terbaik untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus.
2. Biaya penyelenggaraan SLB jauh lebih mahal dibanding dengan dengan sekolah
regular.
3. Banyak anak berkebutuhan khusus yang tinggal di daerah-daerah tidak dapat
bersekolah di SLB karena jauh dan/atau biaya yang tidak terjangkau.
4. SLB (terutama yang berasrama) merupakan sekolah yang memisahkan anak dari
kehidupan sosial yang nyata. Sedangkan sekolah inklusif lebih ‘menyatukan’ anak
dengan kehidupan nyata.
5. Banyak bukti di sekolah reguler terdapat anak berkebutuhan khusus yang tidak
mendapatkan layanan yang sesuai.
6. Penyelenggaraan SLB berimplikasi adanya labelisasi anak ‘cacat’ yang dapat
menimbulkan stigma sepanjang hayat. Orangtua tidak mau ke SLB.
7. Melalui pendidikan inklusif akan terjadi proses edukasi kepada masyarakat agar
menghargai adanya perbedaan.
Jalan keluar untuk mengatasi pro dan kontra tentang pendidikan inklusif, maka dapat
diterapkan pendidikan inklusif yang moderat. Pendidikan inklusif yang moderat dimaksud
adalah:
1. Pendidikan inklusif yang memadukan antara terpadu dan inklusi penuh
2. Model moderat ini dikenal dengan model mainstreaming
Model pendidikan mainstreaming merupakan model yang memadukan antara
pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (Sekolah Luar Biasa) dengan pendidikan
reguler. Peserta didik berkebutuhan khusus digabungkan ke dalam kelas reguler hanya
untuk beberapa waktu saja.
4. Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam praktiknya anak berkebutuhan
khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhannya.
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Pendidikan inklusif adalah pendidikan regular yang disesuaikan dengan kebutuhan
peserta didik yang memiliki kelainan dan atau memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa pada sekolah regular dalam satu kesatuan yang sistemik.
Pendidkan inklusif mengakomodasi semua anak berkebutuhan khusus yang
mempunyai IQ normal, diperuntukan bagi yang memiliki kelainan, bakat
istimewa, kecerdasan istimewa dan atau yang memerlukan pendidkan layanan
khusus.
2. Manfaat pendidikan inklusif antara lain: Membangun kesadaran dan konsensus
pentingnya pendidikan inklusif sekaligus menghilangkan sikap dan nilai yang
diskriminatif, melibatkan dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan
analisis situasi pendidikan lokal, mengumpulkan informasi semua anak pada
setiap distrik dan mengidentifikasi alasan mengapa mereka tidak sekolah,
mengidentifikasi hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial dan masalah
lainnya terhadap akses dan pembelajaran, melibatkan masyarakat dalam
melakukan perencanaan dan monitoring mutu pendidikan bagi semua anak
B. Saran
Dengan adanya makalah ini penulis berharap pembaca dapat memahami isi dari
makalah ini dan tentu dapat menambah pengetahuan seputar dunia pendidikan
inklusif. Semoga pembaca bisa terus menggali wawasanya dengan terus mencari
referensi lain selain dari makalah ini.