Anda di halaman 1dari 21

Pendidikan Inklusif dan Tantangan di Sekolah Swasta

Pendahuluan
Pendidikan merupakan suatu kebutuhan dasar manusia, karena dengan pendidikan
manusia memperoleh ilmu pengetahuan, nilai, sikap, serta keterampilan sehingga manusia
dapat menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Melalui pendidikan
sumber daya manusia dapat ditingkatkan, sehingga memiliki kemampuan dan keterampilan
untuk membawa bangsa kearah yang lebih baik. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk
memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali
termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel)1.
Pendidikan diakui sebagai kebutuhan dasar manusia, karena melalui pendidikan,
seseorang memperoleh ilmu pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan yang esensial untuk
memastikan keberlangsungan hidup yang bermartabat. Lebih dari itu, pendidikan juga
berperan dalam meningkatkan sumber daya manusia, memberikan kemampuan dan
keterampilan yang diperlukan untuk memajukan bangsa ke arah yang lebih baik. Oleh karena
itu, negara memiliki tanggung jawab untuk menyediakan pelayanan pendidikan bermutu
kepada semua warganya, tanpa terkecuali, termasuk mereka yang memiliki perbedaan
kemampuan, seperti difabel.
Konstitusi Indonesia, terutama UUD 1945 Pasal 31 (1), menegaskan bahwa setiap
warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Meskipun hak ini telah diakui,
implementasinya baru menjadi fokus utama pada periode pembangunan jangka panjang
pertama, yaitu tahun 1969/1970-1993/1994. Selama periode ini, pemerintah mulai
memberikan perhatian khusus pada pendidikan bagi peserta didik dengan potensi kecerdasan
dan bakat istimewa.
Penyelenggaraan pendidikan khusus, termasuk program percepatan belajar
(akselerasi), mencakup filosofi yang berkaitan dengan hakekat manusia, pembangunan
nasional, tujuan pendidikan, dan upaya untuk mencapai tujuan tersebut. Namun, kelemahan
yang muncul dari model pendidikan seperti ini adalah ketidakakomodasian terhadap
kebutuhan individual siswa di luar kelompok siswa normal.

1
Amka, A. (2017). Implementasi Pendidikan Karakter Inklusi Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Di Sekolah
Reguler. Madrosatuna: Journal of Islamic Elementary School, Vol. 1 (1), 1-12. doi:
10.21070/madrosatuna.v1i1.1206
Pendidikan inklusif, sebagai pendekatan transformasional, berusaha menghapuskan
hambatan-hambatan yang dapat menghalangi partisipasi penuh setiap siswa dalam proses
pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan inklusif bertujuan memberikan layanan pendidikan
kepada anak-anak berkebutuhan khusus, yang dididik bersama dengan anak-anak normal,
dengan harapan dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh setiap individu. Namun,
kendala masih muncul dalam implementasinya, terutama terkait ketidakmampuan
mengakomodasi kebutuhan siswa di luar kelompok siswa normal.
Penting untuk terus mengkaji dan meningkatkan penyelenggaraan pendidikan inklusif
agar dapat mencapai visi pendidikan yang merata dan inklusif bagi semua warga negara. Ini
mencakup penyesuaian dalam strategi pembelajaran, pengembangan kurikulum yang inklusif,
dan pelatihan bagi tenaga pendidik untuk dapat memberikan pelayanan yang tepat dan
mendukung perkembangan semua siswa, tanpa memandang perbedaan kemampuan.

Metode
Pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan berupa penelitian Studi
Kepustakaan (Library Research). Sarwono (2006) menjelaskan Studi kepustakaan juga bisa
dilakukan dengan mempelajari beberbagai buku referensi serta hasil penelitian sebelumnya
yang sejenis yang berguna untuk mendapatkan landasan teori mengenai masalah yang akan
diteliti. Selain itu menurut Nazir (2003 : 111), Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan
data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku- buku, litertur-literatur, catatan-
catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.
Peneliti melakukan penelitian teoritis terkait topik penelitian dan mengumpulkan informasi
sebanyakbanyaknya dari literatur yang relevan. Jadi bisa disimpulkan bahwa penelitian
menggunakan studi pustaka digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi yang bisa
didapatkan dari buku, jurnal, karya tulis, website, berita, dan sumber lainnya.

Pembahasan
UUD 1945 pasal 31 (1) mengatakan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak
mendapatkan pengajaran”. Namun hal ini baru dapat terpenuhi pada saat Indonesia memasuki
pembangunan jangka panjang kesatu tahun 1969/1970-1993/1994. Dalam periode ini
pemerintah mulai menaruh perhatian pada pendidikan bagi peserta didik yang memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Penyelenggaraan pendidikan khusus bagi anak yang memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa, termasuk didalamnya program percepatan (akselerasi) belajar filosofi yang
berkenaan dengan hakekat manusia, hakekat pembangunan nasional, tujuan pendidikan dan
usaha untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut. Kelemahan yang tampak dari
penyelenggaraa pendidikan seperti ini adalah tidak terakomodasinya kebutuhan idividual
siswa di luar kelompok siswa normal.
Pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi
sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap
siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Dengan kata lain pendidikan inklusi
adalah pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak
lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Namun, dalam
penyelenggaraannya pendidikan ini masih belum terlaksana dengan baik karena tidak
terakomodasinya kebutuhan siswa di luar kelompok siswa normal.
Pendidikan inklusi di Indonesia2 mencakup berbagai definisi yang memberikan
gambaran komprehensif mengenai pendekatan ini. Menurut Sapon–Shevin, pendidikan
inklusif adalah suatu sistem layanan pendidikan yang mengharuskan anak berkebutuhan
khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat, berada di kelas biasa bersama teman sebaya.
Stainback (1980) menegaskan bahwa sekolah penyelenggara pendidikan inklusif seharusnya
menampung semua murid di kelas yang sama, menyediakan program pendidikan yang sesuai
dengan kebutuhan individual, dan memberikan dukungan yang diperlukan.
Pendekatan UNESCO (2003) menempatkan fokus pada memusatkan perhatian pada
keanekaragaman kebutuhan peserta didik, dengan mengurangi eksklusi dalam dan dari
pendidikan. Dalam konsep ini, pendidikan inklusi diartikan sebagai suatu proses yang
mengakomodasi semua peserta didik tanpa memandang berbagai kondisi mereka, mulai dari
fisik, intelektual, sosial, emosional, hingga linguistik. Mencakup beragam kelompok seperti
anak cacat, berbakat, jalanan, pekerja, dan anak dari kelompok minoritas bahasa, etnis, atau
budaya.
UNESCO juga menegaskan bahwa pendidikan inklusi bertujuan untuk menciptakan
lingkungan di mana guru dan peserta didik merasa nyaman dengan keberagaman sebagai
suatu tantangan dan pengayaan, bukan sebagai masalah. Prinsip dasar pendidikan inklusi,
sebagaimana diuraikan dalam berbagai definisi, adalah memberikan akses seoptimal mungkin
kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan bermutu.
Permendiknas No. 70 Tahun 2009 (dalam Lilis Setyaningsih, 2013) menetapkan
pendidikan inklusi sebagai sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan
2
Budianto, (2007). Pengantar Pendidikan Inklusif. Prenadamedia Group, Jakarta.
kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan untuk belajar bersama-sama dengan
peserta didik pada umumnya. Staub dan Peck (1995) menambahkan dimensi ini dengan
menyatakan bahwa pendidikan inklusif berarti penempatan anak berkebutuhan khusus tingkat
ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler.
Latar belakang munculnya pendidikan inklusi di Indonesia dapat dipahami sebagai
respons terhadap keterbatasan Sekolah Luar Biasa (SLB) atau Sekolah Dasar Luar Biasa
(SDLB) yang masih terbatas jumlahnya. Dalam konteks ini, pendidikan inklusi menjadi
solusi untuk menyatukan anak-anak berkebutuhan khusus dan anak normal dalam lingkungan
sekolah umum dengan menggunakan kurikulum yang berlaku. Melalui pendekatan ini,
Indonesia berusaha menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, adil, dan memungkinkan
setiap individu untuk berkembang optimal tanpa diskriminasi.
Pendidikan inklusif di Indonesia merupakan suatu pendekatan yang bertujuan untuk
mengubah sistem pendidikan dengan menghilangkan hambatan-hambatan yang dapat
menghalangi setiap peserta didik, termasuk anak berkebutuhan khusus, untuk berpartisipasi
penuh dalam pendidikan. Hambatan tersebut dapat berasal dari masalah etnik, gender, status
sosial, kemiskinan, dan faktor lainnya. Pendidikan inklusif menekankan pada pelayanan
pendidikan anak berkebutuhan khusus secara bersama-sama dengan anak-anak normal,
dengan tujuan mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh setiap individu.
Pemerintah Indonesia, melalui berbagai peraturan, telah mendorong implementasi
pendidikan inklusif. Sebagai contoh, Permendiknas (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional)
memberikan penjelasan rinci tentang siapa saja yang dapat dimasukkan dalam pendidikan
inklusif. Pemerintah berupaya memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta
didik, termasuk yang normal, memiliki kelainan, atau kecerdasan dan bakat istimewa. Model
pendidikan yang sebelumnya memisahkan peserta didik normal dan berkebutuhan khusus
diubah untuk menciptakan sistem pendidikan inklusi.
Penyelenggaraan sistem pendidikan inklusi dianggap sebagai syarat penting untuk
membangun masyarakat inklusif. Hal ini merupakan bagian dari upaya menciptakan tatanan
masyarakat yang menghormati keberagaman sebagai bagian integral dari kehidupan. Dalam
konteks ini, pemerintah menetapkan standar kompetensi untuk tenaga kependidikan yang
terlibat dalam pendidikan inklusif, sesuai dengan PP.No.19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan.
Penyandang disabilitas, yang sering disebut sebagai orang cacat, seringkali dianggap
tidak produktif oleh masyarakat. Namun, pemerintah mencoba untuk mengubah persepsi ini
melalui pendidikan inklusif. Indonesia, dengan berbagai risiko kecacatan seperti konflik
bersenjata, konflik horizontal, bencana alam, dan masalah kesehatan, mengakui hak setiap
warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang sama, sesuai dengan konstitusi.
Meskipun demikian, masih ada tantangan dalam mencapai persamaan kesempatan
dalam pendidikan. Data menunjukkan bahwa masih sedikit lembaga pendidikan yang
melayani anak-anak berkebutuhan khusus, menunjukkan adanya permasalahan dari berbagai
pihak, termasuk masyarakat, pemerintah, dan keluarga penyandang berkebutuhan khusus.
Pemerintah Propinsi DKI Jakarta telah mengambil langkah awal dengan menerbitkan
peraturan gubernur nomor 116 tahun 2007 tentang pendidikan inklusif pada tahun 2007,
sebelum Permendiknas diterbitkan. Ini menunjukkan komitmen pemerintah daerah untuk
mendukung pendidikan inklusif sebagai strategi untuk meningkatkan partisipasi pendidikan
anak-anak berkebutuhan khusus.
Tujuan utama pendidikan inklusi adalah menciptakan kesempatan pendidikan yang
seluas-luasnya bagi semua anak sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Hal ini tercermin
dalam upaya untuk memberikan pendidikan yang layak, sesuai dengan prinsip-prinsip
inklusif. Selanjutnya, pendidikan inklusi bertujuan membantu mempercepat program
penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dengan mutu yang tinggi. Ini berarti
bahwa melalui inklusi, semua anak diharapkan dapat mengikuti proses pembelajaran tanpa
hambatan dan mencapai standar pendidikan yang ditetapkan.
Selain itu, pendidikan inklusi juga diarahkan untuk meningkatkan mutu pendidikan
dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah. Dengan
menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, diharapkan anak-anak dapat lebih terlibat
dalam proses pembelajaran, sehingga angka tinggal kelas dan putus sekolah dapat ditekan
secara signifikan. Dengan demikian, pendidikan inklusi tidak hanya memberikan akses, tetapi
juga berkontribusi pada peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Selanjutnya, tujuan pendidikan inklusi melibatkan penciptaan sistem pendidikan yang
menghargai keberagaman, bersifat non-diskriminatif, dan ramah terhadap pembelajaran. Ini
sejalan dengan nilai-nilai inklusif yang menekankan penerimaan terhadap perbedaan, tanpa
adanya diskriminasi terhadap individu berdasarkan latar belakang mereka. Melalui
pendidikan inklusi, diharapkan terbentuk lingkungan belajar yang menciptakan rasa
inklusivitas dan menghargai keberagaman sebagai suatu kekayaan.
Selain tujuan umum tersebut, pendidikan inklusi juga bertujuan untuk memenuhi
amanat Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 32 ayat 1 yang menegaskan hak setiap
warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Selain itu, dalam konteks UU no. 20/2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak,
pendidikan inklusi menjadi sarana implementasi hak setiap warga negara, termasuk anak
yang menyandang cacat fisik dan/atau mental, untuk memperoleh pendidikan yang setara dan
bermutu. Dengan demikian, tujuan pendidikan inklusi mencakup dimensi yang lebih luas,
melibatkan penciptaan sistem pendidikan yang adil, setara, dan inklusif untuk semua anak.
Landasan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia bersumber dari landasan
filosofis yang mencakup nilai-nilai budaya, pandangan agama, dan prinsip hak asasi manusia.
Secara filosofis, pendidikan inklusif dipandang sebagai refleksi dari kekayaan bangsa
Indonesia yang berlandaskan Bhinneka Tunggal Ika. Lambang negara berupa Burung Garuda
menunjukkan bahwa keberagaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi, dan
budaya menjadi suatu kekayaan yang harus dijunjung tinggi dalam konteks Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Dalam pandangan agama, terutama Islam, pendidikan inklusif ditegaskan sebagai
wujud silaturahmi antarmanusia yang diciptakan berbeda-beda. Konsep ini sejalan dengan
ajaran bahwa kemuliaan manusia di sisi Allah tidak terletak pada perbedaan fisik atau
keadaan, melainkan pada ketaqwaannya. Oleh karena itu, inklusi dalam pendidikan dapat
dipahami sebagai implementasi nilai-nilai silaturahmi dan penghargaan terhadap perbedaan
yang dianugerahkan oleh Sang Pencipta.
Pendekatan universal hak asasi manusia juga menjadi landasan filosofis pendidikan
inklusif. Hak asasi manusia menyatakan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup
layak, mendapatkan pendidikan, memiliki akses terhadap kesehatan, dan memperoleh
pekerjaan. Dengan demikian, pendidikan inklusif dilihat sebagai upaya konkret dalam
memastikan setiap individu, tanpa memandang latar belakangnya, dapat menikmati hak-hak
dasar tersebut.
Landasan filosofis ini menjadi dasar pemikiran yang mendasari implementasi
pendidikan inklusif di Indonesia. Dengan mengedepankan nilai-nilai keberagaman,
silaturahmi, penghargaan terhadap perbedaan, dan pemberian hak-hak dasar, pendidikan
inklusif diharapkan tidak hanya menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, tetapi juga
menguatkan persatuan dalam keragaman bangsa Indonesia.
Secara yuridis, penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia didasarkan pada
kerangka hukum yang kuat, mencakup undang-undang, peraturan pemerintah, dan kebijakan
di tingkat nasional maupun daerah. Undang-undang yang menjadi landasan utama antara lain
adalah UUD 1945, yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan
yang layak. Selain itu, beberapa undang-undang khusus mendukung pendidikan inklusif,
seperti UU Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, yang menjamin hak pendidikan
bagi penyandang cacat.
UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia turut mendukung pendidikan
inklusif dengan menegaskan hak setiap individu untuk mendapatkan pendidikan. Demikian
pula, UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjamin hak pendidikan anak,
termasuk anak yang memiliki kebutuhan khusus. UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional menjadi landasan hukum yang menyeluruh, mencakup prinsip-prinsip
inklusif dalam sistem pendidikan nasional.
Selain undang-undang, peraturan pemerintah juga memberikan landasan yang kuat
untuk pendidikan inklusif. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasional Pendidikan menetapkan standar pendidikan yang mencakup prinsip inklusif. Surat
Edaran Dirjen Dikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20 Januari 2003 memberikan
panduan khusus untuk menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan inklusif di setiap
Kabupaten/Kota, dengan menetapkan jumlah sekolah inklusif minimal.
Selanjutnya, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70
tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan
Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa merinci pedoman pelaksanaan
pendidikan inklusif bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus. Di tingkat daerah, Peraturan
Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif (khusus
daerah DKI Jakarta) memberikan landasan konseptual dan operasional bagi pendidikan
inklusif di wilayah tersebut.
Dengan dasar hukum yang komprehensif ini, pendidikan inklusif di Indonesia
terbentuk dalam kerangka yang jelas dan terarah, mengakomodasi hak-hak pendidikan setiap
individu tanpa diskriminasi. Landasan yuridis tersebut menciptakan landasan hukum yang
kuat untuk implementasi pendidikan inklusif di tingkat nasional dan daerah.
Secara yuridis, penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia didasarkan pada
kerangka hukum yang kuat, mencakup undang-undang, peraturan pemerintah, dan kebijakan
di tingkat nasional maupun daerah. Undang-undang yang menjadi landasan utama antara lain
adalah UUD 1945, yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan
yang layak. Selain itu, beberapa undang-undang khusus mendukung pendidikan inklusif,
seperti UU Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, yang menjamin hak pendidikan
bagi penyandang cacat.
UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia turut mendukung pendidikan
inklusif dengan menegaskan hak setiap individu untuk mendapatkan pendidikan. Demikian
pula, UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjamin hak pendidikan anak,
termasuk anak yang memiliki kebutuhan khusus. UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional menjadi landasan hukum yang menyeluruh, mencakup prinsip-prinsip
inklusif dalam sistem pendidikan nasional.
Selain undang-undang, peraturan pemerintah juga memberikan landasan yang kuat
untuk pendidikan inklusif. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasional Pendidikan menetapkan standar pendidikan yang mencakup prinsip inklusif. Surat
Edaran Dirjen Dikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20 Januari 2003 memberikan
panduan khusus untuk menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan inklusif di setiap
Kabupaten/Kota, dengan menetapkan jumlah sekolah inklusif minimal.
Selanjutnya, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70
tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan
Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa merinci pedoman pelaksanaan
pendidikan inklusif bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus. Di tingkat daerah, Peraturan
Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif (khusus
daerah DKI Jakarta) memberikan landasan konseptual dan operasional bagi pendidikan
inklusif di wilayah tersebut.
Dengan dasar hukum yang komprehensif ini, pendidikan inklusif di Indonesia
terbentuk dalam kerangka yang jelas dan terarah, mengakomodasi hak-hak pendidikan setiap
individu tanpa diskriminasi. Landasan yuridis tersebut menciptakan landasan hukum yang
kuat untuk implementasi pendidikan inklusif di tingkat nasional dan daerah.
Landasan empiris dalam pelaksanaan pendidikan inklusif di Indonesia diperkuat oleh
berbagai dokumen dan pernyataan internasional yang menegaskan hak-hak pendidikan setiap
individu, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Deklarasi Hak Asasi Manusia
1948 (Declaration of Human Rights) dan Konvensi Hak Anak 1989 (Convention of The
Rights of Children) menjadi dasar empiris yang mengakui hak-hak fundamental manusia,
termasuk hak mendapatkan pendidikan yang setara dan inklusif.
Konferensi Dunia Tentang Pendidikan untuk Semua 1990 (World Conference on
Education for All) dan Resolusi PBB nomor 48/96 Tahun 1993 tentang Persamaan
Kesempatan Bagi Orang Berkelainan (the standard rules on the equalization of opportunities
for persons with disabilities) menekankan prinsip kesetaraan akses dan kesempatan dalam
pendidikan, termasuk bagi individu dengan kebutuhan khusus.
Pernyataan Salamanca Tentang Pendidikan Inklusi 1994 (Salamanca Statement on
Inclusive Education) menjadi landasan empiris yang sangat penting. Pernyataan ini
menggarisbawahi pentingnya pendidikan inklusif sebagai suatu hak, bukan hanya untuk
penyandang cacat atau kebutuhan khusus, melainkan untuk semua individu. Komitmen Dakar
mengenai Pendidikan Untuk Semua 2000 (The Dakar Commitment on Education for All)
memberikan dorongan untuk mencapai pendidikan yang inklusif, menegaskan bahwa setiap
anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan berkualitas.
Deklarasi Bandung 2004 dengan komitmen "Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif"
menjadi bukti landasan empiris dalam konteks nasional. Deklarasi ini menunjukkan
komitmen Indonesia untuk melibatkan semua anak dalam pendidikan tanpa memandang latar
belakang atau keadaan mereka. Rekomendasi Bukittinggi 2005 mengenai pendidikan yang
inklusif dan ramah memberikan arah dan pedoman praktis untuk implementasi pendidikan
inklusif di tingkat nasional.
Secara keseluruhan, landasan empiris ini menciptakan dasar internasional dan
nasional yang kuat untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif. Dokumen-dokumen ini
menekankan nilai-nilai universal seperti hak asasi manusia, kesetaraan, dan inklusi sebagai
prinsip utama dalam menyelenggarakan pendidikan. Implementasi pendidikan inklusif di
Indonesia diinformasikan dan diperkuat oleh kerangka empiris ini untuk mencapai tujuan
inklusi yang lebih luas dan berkelanjutan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 32 ayat 1 menegaskan bahwa
pendidikan khusus adalah suatu bentuk pendidikan3 yang ditujukan bagi peserta didik yang
mengalami kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,
mental, sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Sejak 1901, Indonesia
telah melibatkan lembaga sosial masyarakat (LSM) dan kelompok keagamaan dalam
penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Pendidikan dianggap sebagai
usaha untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia, dan hak setiap warga negara untuk
memperoleh pendidikan berkualitas dijamin oleh Undang-Undang tersebut.
Meskipun pemerintah telah menanggapi kebutuhan anak berkebutuhan khusus dengan
membentuk Sekolah Luar Biasa (SLB), namun SLB dianggap sebagai tembok pemisah antara
anak-anak berkebutuhan khusus dan anak-anak pada umumnya. Dalam mengatasi masalah
ini, diperlukan layanan pendidikan yang sesuai, mencakup sarana dan prasarana, peran guru,
dan penciptaan lingkungan yang mendukung. Pendidikan inklusi muncul sebagai solusi,
memungkinkan anak-anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama dengan siswa

3
Danielsen, A. G., Samdal, O., Hetland, J., & Wold, B. (2009). School-related social support and students'
perceived life satisfaction. The Journal of Educational Research, 102(4), 303-320.
seusianya yang tidak memiliki kebutuhan khusus. Konsep sekolah inklusi, seperti yang
dijelaskan oleh Pratiwi (Ilahi, 2013: 25), adalah sekolah regular yang disesuaikan dengan
kebutuhan anak berkebutuhan khusus secara sistemik.
Untuk mencapai keberlangsungan pendidikan inklusi, partisipasi dari semua
komponen di dalamnya, termasuk kepala sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat, menjadi
faktor pendukung utama. Kolaborasi antara sekolah dan komunitas diidentifikasi sebagai
kunci keberhasilan pendidikan inklusif (Amka, 2019). Namun, dalam praktiknya, pendidikan
inklusi dihadapkan pada sejumlah tantangan dan hambatan. Menurut Amka (dalam Ainscow
dan Haile-Giorgis, 1999), kesuksesan langkah-langkah menuju pendidikan inklusif harus
diimbangi dengan realisme terhadap hambatan yang mungkin dihadapi, baik dari siswa, guru,
orang tua, masyarakat, maupun dari dalam sistem sekolah itu sendiri. Dengan memahami dan
mengatasi tantangan ini, dapat tercipta lingkungan pendidikan inklusif yang lebih efektif dan
berkesinambungan.
Latar belakang penyelenggaraan sekolah inklusi didasarkan pada prinsip-prinsip yang
tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 31 ayat
(1) menegaskan hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan, sementara ayat (3)
menekankan tanggung jawab Pemerintah dalam mengusahakan dan menyelenggarakan
sistem pendidikan nasional yang mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan undang-
undang. Dengan kata lain, hak mendapatkan pendidikan melibatkan semua warga negara,
termasuk anak berkebutuhan khusus.
Pentingnya pendidikan sebagai kebutuhan dasar manusia, baik anak normal maupun
anak berkebutuhan khusus, diakui sebagai suatu prinsip yang terkandung dalam undang-
undang tersebut. Berlandaskan falsafah Pancasila, karakter kemanusiaan seseorang tercermin
dalam pengakuan atas persamaan derajat, hak, dan kewajiban; saling mencintai; memiliki
tenggang rasa; tidak bertindak semena-mena terhadap orang lain; gemar melakukan kegiatan
kemanusiaan; serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan (Amka, 2019).
Dalam konteks ini, penyelenggaraan sekolah inklusi menjadi relevan sebagai wujud
nyata dari prinsip-prinsip tersebut. Anak berkebutuhan khusus juga memiliki hak yang sama
untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan potensi dan kebutuhan mereka. Sekolah inklusi
diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang mempromosikan kesetaraan, menghormati
perbedaan, dan membantu perkembangan karakter kemanusiaan anak-anak, sejalan dengan
nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, pendidikan inklusi bukan hanya sebagai upaya
pemenuhan hak anak berkebutuhan khusus, tetapi juga sebagai kontribusi nyata dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 20034 Pasal 5 Ayat 1 menegaskan prinsip dasar
bahwa setiap warga negara memiliki hak yang setara untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu. Fokus pada pendidikan khusus, Pasal 32 ayat 1 UU tersebut mendefinisikan
pendidikan khusus sebagai bentuk pendidikan yang disediakan untuk peserta didik dengan
tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran akibat kelainan fisik, emosional,
mental, sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Pada ayat 2, dijelaskan
bahwa pendidikan layanan khusus ditujukan bagi peserta didik di daerah terpencil,
keterbelakang, masyarakat adat yang terpencil, serta mereka yang mengalami bencana alam,
bencana sosial, dan kesulitan ekonomi.
Mengacu pada pandangan Pratiwi (2015), hak atas pendidikan juga diakui dalam
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia 1948 dan diperbarui pada Konferensi Dunia 1990
tentang Pendidikan untuk Semua. Kedua dokumen tersebut menegaskan tujuan untuk
memastikan bahwa hak-hak ini berlaku untuk semua individu tanpa memandang perbedaan
individu. Ini mencerminkan komitmen global untuk memberikan akses pendidikan yang
setara dan bermutu bagi semua warga, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus.
Dalam konteks ini, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 menjadi landasan hukum
yang memberikan dasar bagi pendidikan khusus di Indonesia. Hak setiap warga negara untuk
memperoleh pendidikan bermutu harus dijamin, termasuk anak-anak dengan kebutuhan
khusus. Pemerintah, sesuai dengan undang-undang tersebut, diamanahkan untuk
menyelenggarakan pendidikan khusus sebagai langkah konkrit untuk memenuhi hak tersebut.
Pendekatan ini sejalan dengan nilai-nilai hak asasi manusia yang mendukung kesetaraan dan
non-diskriminasi dalam memastikan pendidikan untuk semua individu.
Berdasarkan hak-hak yang diamanatkan, anak berkebutuhan khusus memiliki hak
yang sama untuk mendapatkan pendidikan, sesuai dengan prinsip-prinsip inklusi. Menurut
Amka (2017), konsep pendidikan inklusi yang menggabungkan anak berkebutuhan khusus ke
dalam ruang kelas yang sama dengan anak-anak normal bertujuan untuk memberikan
pengertian kepada peserta didik bahwa kehidupan di masyarakat penuh dengan perbedaan.
Perbedaan-perbedaan ini diharapkan dapat menjadi suatu kenyataan yang harus dihadapi dan
dihormati, bukan dijadikan sebagai hambatan. Prinsip ini sesuai dengan program pemerintah

4
Kementerian Pendidikan Nasional. (2003). Undang-undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional.
yang dikenal dengan pendidikan inklusi, yang bertujuan memberikan hak yang setara bagi
anak berkebutuhan khusus dengan anak yang normal5.
Meskipun demikian, penyelenggaraan pendidikan inklusi dihadapkan pada sejumlah
tantangan yang kompleks. Salah satu hambatan utama berasal dari tenaga pengajar atau guru.
Guru memegang peran kunci dalam mendidik di lingkungan pendidikan inklusi. Namun,
pendidikan inklusif di Indonesia masih menghadapi beberapa kendala. Tantangan pertama
adalah kurangnya pengetahuan guru tentang anak berkebutuhan khusus, disertai dengan
minimnya keterampilan dalam menangani anak berkebutuhan khusus, serta sikap guru yang
masih terlihat memandang sebelah mata terhadap anak berkebutuhan khusus (Juwono &
Kumara, 2011).
Sikap guru terhadap pendidikan inklusif memiliki dimensi kognitif, afektif, dan
konatif, yang menurut Mahat (2008), masih menghadapi ketidaksempurnaan. Winarti (2015)
menambahkan bahwa kondisi guru belum didukung oleh kualitas yang memadai, guru khusus
dinilai belum cukup sensitif dan proaktif terhadap permasalahan yang dihadapi anak
berkebutuhan khusus. Selain itu, kurangnya kejelasan aturan tentang peran, tugas, dan
tanggung jawab guru dalam konteks inklusi serta kurangnya diskusi rutin dan model
kolaborasi sebagai panduan, juga menjadi hambatan dalam pelaksanaan pendidikan inklusif.
Dukungan anggaran yang memadai juga menjadi faktor penting yang belum sepenuhnya
terpenuhi dalam mendukung praktik pendidikan inklusif di Indonesia (Winarti, 2015). Semua
tantangan ini perlu diatasi agar pendidikan inklusi dapat terwujud dengan efektif dan merata.
Dalam konteks hak-hak yang diamanatkan, prinsip inklusi dalam pendidikan anak
berkebutuhan khusus menekankan pentingnya memberikan hak yang sama kepada semua
peserta didik, termasuk anak-anak dengan kebutuhan khusus. Konsep ini, sebagaimana
dijelaskan oleh Amka (2017), menjelaskan bahwa mengintegrasikan anak berkebutuhan
khusus ke dalam ruang kelas yang sama dengan anak-anak normal bertujuan untuk
menciptakan pemahaman bahwa kehidupan masyarakat bersifat multikultural dan penuh
perbedaan. Perbedaan ini dianggap sebagai kenyataan yang harus dihadapi dan dihormati,
bukan sebagai suatu hambatan. Prinsip ini sejalan dengan program pemerintah yang
mencanangkan pendidikan inklusi sebagai sarana untuk memberikan hak yang setara kepada
semua anak, termasuk yang memiliki kebutuhan khusus.

5
Palmer, D. S., Fuller, K., Arora, T., & Nelson, M. (2001). Taking Sides: Parent Views on Inclusion for Their
Children with Severe Disabilities. Exceptional Children, 67, 467–484.
Namun, penyelenggaraan pendidikan inklusi di Indonesia menghadapi sejumlah
tantangan yang kompleks, terutama berasal dari peran guru sebagai tenaga pengajar kunci
dalam lingkungan pendidikan inklusi. Tantangan utama pertama adalah kurangnya
pengetahuan guru tentang anak berkebutuhan khusus, disertai dengan minimnya keterampilan
dalam menangani anak-anak tersebut. Sikap guru yang masih terlihat memandang sebelah
mata terhadap anak berkebutuhan khusus juga menjadi hambatan signifikan (Juwono &
Kumara, 2011).
Tingkat keberhasilan pendidikan inklusi juga dipengaruhi oleh sikap guru yang
mencakup dimensi kognitif, afektif, dan konatif. Meskipun ada upaya untuk memahami dan
merespons secara positif terhadap pendidikan inklusif, masih terdapat ketidaksempurnaan
dalam implementasinya (Mahat, 2008). Selain itu, kondisi guru yang belum didukung oleh
kualitas yang memadai dan kurangnya sensitivitas serta proaktifitas guru terhadap anak
berkebutuhan khusus menjadi hambatan signifikan (Winarti, 2015).
Tantangan lainnya melibatkan kurangnya kejelasan aturan tentang peran, tugas, dan
tanggung jawab guru dalam konteks inklusi. Diskusi rutin dan model kolaborasi sebagai
panduan juga masih kurang tersedia, sementara dukungan anggaran yang memadai menjadi
faktor kunci yang belum sepenuhnya terpenuhi dalam mendukung praktik pendidikan inklusif
di Indonesia (Winarti, 2015). Untuk mewujudkan pendidikan inklusi yang efektif dan merata,
diperlukan upaya serius dalam mengatasi semua tantangan ini.
Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi, selain peran guru, sarana dan prasarana
yang memadai juga menjadi faktor krusial. Sayangnya, kenyataannya, ketersediaan sarana
dan prasarana ini masih terbatas. Proses pendidikan inklusi memerlukan berbagai jenis sarana
dan prasarana yang harus disesuaikan dengan kebutuhan beragam anak berkebutuhan khusus,
seperti alat bantu dengar, buku timbul, dan lain sebagainya. Keterbatasan ini memengaruhi
kapasitas sekolah dalam memberikan layanan yang memadai kepada anak berkebutuhan
khusus. Salah satu faktor utama yang menjadi hambatan adalah faktor biaya (Pratiwi, 2015).
Masalah lain yang dihadapi adalah rendahnya kesadaran orang tua dan masyarakat
terhadap hak anak berkebutuhan khusus. Amka (dalam Holden 1995) menyatakan bahwa
sikap dan perilaku orang tua dapat berpengaruh pada pembentukan sikap dan perilaku anak-
anak mereka. Dukungan penuh orang tua terhadap anak berkebutuhan khusus menjadi kunci
untuk memungkinkan anak mencapai potensinya secara maksimal. Namun, jika orang tua
tidak mendukung pendidikan inklusif, hal ini dapat berdampak negatif pada perkembangan
anak mereka (Amka, 2019).
Selain orang tua, peran masyarakat juga sangat penting dalam menangani anak
berkebutuhan khusus. Orang tua dan masyarakat merupakan lingkungan terdekat yang
memegang peran sentral. Sikap menerima dan mendukung kekurangan anak oleh orang tua
dan masyarakat dapat menjadi pendorong kuat bagi perkembangan potensi anak. Sebaliknya,
jika orang tua dan masyarakat tidak menerima dan mendukung, kemajuan anak berkebutuhan
khusus dapat terhambat. Anak tersebut mungkin mengalami rasa malu dan cemas untuk
memulai melakukan aktivitas atau mengembangkan potensinya (Danielsen, Samdal, Hetland,
dan Wold, 2009). Oleh karena itu, kesadaran dan dukungan dari orang tua dan masyarakat
merupakan faktor penting dalam menciptakan lingkungan inklusif yang mendukung
perkembangan optimal anak berkebutuhan khusus.
Dalam kenyataan sehari-hari, masih terlihat adanya ketidakpastian dan kekhawatiran di
kalangan orang tua untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah reguler. Beberapa alasan yang
muncul meliputi ketakutan bahwa anak tidak akan mampu mengikuti kurikulum reguler, kekhawatiran
terkait potensi diskriminasi, dan pertimbangan-pertimbangan lainnya. Disamping itu, tingkat
kepedulian masyarakat terhadap anak-anak berkebutuhan khusus juga tampak kurang, dan terkadang
masyarakat cenderung membuat perbedaan antara anak-anak normal dan anak-anak berkebutuhan
khusus.
Tantangan signifikan dalam implementasi pendidikan inklusi melibatkan sikap yang dihadapi
dalam mengatasi berbagai kesulitan. Pentingnya pengembangan kemampuan dan model pengajaran
bagi para guru menjadi hal yang krusial dalam mendukung keberhasilan pendidikan inklusi. Pelatihan
yang fokus pada pendidikan inklusif dapat memiliki dampak positif pada sikap para guru. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa guru yang telah mengikuti pelatihan khusus ini cenderung memiliki
sikap yang lebih positif terhadap pendidikan inklusi dibandingkan dengan mereka yang belum
mengikuti pelatihan serupa (Dewi, Tiatri, dan Mularsih, 2020).
Keterbatasan sarana dan prasarana di sekolah merupakan hambatan utama dalam upaya
mewujudkan pendidikan inklusi yang optimal. Tantangan ini menuntut perhatian serius dari
pemerintah untuk menyediakan bantuan terkait fasilitas bagi sekolah inklusi. Diperlukan juga alokasi
dana yang memadai untuk mendukung sarana dan prasarana di sekolah reguler, sehingga mampu
menyesuaikan diri dengan kebutuhan beragam anak berkebutuhan khusus. Pratiwi (2015)
menyarankan bahwa kepala sekolah dapat mengajukan proposal pengajuan dana kepada pemerintah
setempat, dan komunikasi yang efektif antara sekolah dan pemerintah diharapkan dapat memberikan
dampak positif bagi penyelenggaraan pendidikan inklusi, sehingga anak-anak berkebutuhan khusus
dapat menerima pelayanan yang optimal.
Dalam upaya meningkatkan pemahaman orang tua dan masyarakat terhadap hak
setiap anak, khususnya anak berkebutuhan khusus, peran aktif sekolah dan lembaga terkait
menjadi sangat krusial. Diperlukan sosialisasi yang efektif untuk memberikan wawasan
kepada orang tua dan masyarakat mengenai hak belajar setiap anak. Amka (2019) menyoroti
bahwa perubahan sikap orang tua dapat terjadi setelah mereka mengikuti sosialisasi yang
diselenggarakan oleh sekolah, yang membahas prinsip-prinsip pendidikan inklusif dan
keragaman kebutuhan belajar anak. Sosialisasi ini diharapkan mampu merubah persepsi dan
sikap masyarakat secara menyeluruh terhadap ide pendidikan yang adil bagi anak
berkebutuhan khusus.
Penting untuk diingat bahwa perubahan sikap ini bukan hanya tentang menerima anak
berkebutuhan khusus dalam lingkungan pendidikan reguler, tetapi juga tentang memahami
dan mendukung hak-hak mereka. Sehingga, peran sekolah dan lembaga terkait bukan sekadar
dalam penyediaan pendidikan inklusif, tetapi juga dalam membentuk pandangan positif dan
dukungan aktif dari orang tua dan masyarakat terhadap anak-anak berkebutuhan khusus.
Melalui upaya sosialisasi yang tepat, diharapkan stigma dan ketidakpastian yang mungkin
dimiliki orang tua dan masyarakat dapat diatasi, menciptakan lingkungan pendidikan yang
lebih inklusif dan mendukung bagi semua anak.
Anak berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama dengan anak normal,
sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 5 Ayat 1, yang
menegaskan hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan bermutu tanpa adanya
diskriminasi. Pendidikan inklusi berperan penting sebagai wahana untuk membentuk
persamaan hak dalam mendapatkan pendidikan bagi semua warga negara. Melalui pendidikan
inklusi, anak berkebutuhan khusus dapat belajar bersama anak normal di sekolah reguler,
mendapatkan pengalaman pendidikan yang berkualitas, dan merasakan lingkungan belajar
yang inklusif.
Meskipun demikian, pendidikan inklusi dihadapkan pada berbagai tantangan yang
menjadi hambatan dalam pelaksanaannya. Salah satu tantangan utama adalah kurangnya
keterampilan dan sikap guru dalam menangani anak berkebutuhan khusus, padahal peran
guru sangat krusial dalam pendidikan inklusi. Keterbatasan dana mengakibatkan keterbatasan
sarana dan prasarana di sekolah reguler, sehingga pelayanan terhadap anak berkebutuhan
khusus menjadi terhambat6. Rendahnya kesadaran orang tua dan masyarakat terhadap hak
anak berkebutuhan khusus menyebabkan anak-anak tersebut merasa malu dan cemas dalam
mengembangkan potensinya.

6
Dewi, T. T. U., Tiatri, S., & Mularsih, H. (2020). PERAN PENGETAHUAN AWAL TENTANG ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS DAN EFIKASI GURU TERHADAP SIKAP GURU PADA PENDIDIKAN INKLUSIF. Jurnal Muara Ilmu Sosial,
Humaniora, dan Seni, 4(2), 304-314.
Pentingnya pengembangan kemampuan dan model mengajar guru menjadi fokus, dan
pelatihan mengenai pendidikan inklusif menjadi faktor kunci yang dapat memengaruhi sikap
guru terhadap inklusi. Dukungan dana dari pemerintah sangat penting, dan sekolah harus
aktif dalam pengajuan proposal agar sarana dan prasarana untuk anak berkebutuhan khusus
dapat terpenuhi. Peran aktif sekolah dan lembaga terkait dalam memberikan wawasan kepada
orang tua dan masyarakat melalui sosialisasi menjadi suatu kebutuhan mendesak. Diharapkan
sosialisasi ini dapat mengubah pandangan masyarakat secara menyeluruh terhadap konsep
pendidikan yang adil bagi anak berkebutuhan khusus, menciptakan lingkungan belajar yang
lebih inklusif dan mendukung bagi semua anak7.
Pendidikan inklusif merupakan pendekatan yang mendorong partisipasi aktif seluruh
peserta didik, termasuk yang memiliki kebutuhan khusus, dalam satu lingkungan belajar.
Prinsipnya adalah menghormati keberagaman individu dan menegakkan hak setara untuk
mendapatkan pendidikan bermutu tanpa adanya diskriminasi. Fokusnya adalah menciptakan
lingkungan belajar yang mendukung perkembangan setiap anak, tanpa memandang
perbedaan fisik, emosional, atau intelektual.
Implementasi pendidikan inklusif di sekolah swasta menemui berbagai tantangan
yang memerlukan pemahaman mendalam dan strategi komprehensif. Salah satu hambatan
utama yang dihadapi adalah kendala finansial dan sumber daya yang terbatas. Sekolah
swasta, yang seringkali menghadapi tekanan keuangan, kesulitan menginvestasikan dana
tambahan untuk memastikan fasilitas, pelatihan guru, dan dukungan sesuai dengan kebutuhan
inklusi.
Tantangan kedua yang dihadapi adalah terkait dengan pemahaman dan keterampilan
guru di sekolah swasta. Pelatihan yang khusus dan berkelanjutan menjadi esensial untuk
memperbarui pemahaman mereka terhadap kebutuhan khusus peserta didik. Diperlukan
peningkatan keterampilan guru dalam konteks inklusi agar mereka dapat mengatasi tantangan
yang muncul.
Selain itu, permasalahan ketidaksesuaian kurikulum dengan pendekatan inklusif juga
muncul di beberapa sekolah swasta. Beberapa kurikulum mungkin kurang fleksibel atau tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan inklusif. Oleh karena itu, modifikasi diperlukan
agar kurikulum dapat mengakomodasi berbagai kebutuhan belajar.

7
Mahat, M. (2008). The Development Of A Psychometrically-Sound Instrument To Measure Teacher’s
Multidimensional Attitudes Toward Inclusive Education. International Journal Of Special Education, 23(1).
Tantangan budaya sekolah menjadi perhatian berikutnya. Sekolah swasta mungkin
memiliki budaya yang lebih eksklusif, sehingga diperlukan upaya besar untuk mengubah
persepsi dan praktik di tingkat institusional agar lebih mendukung inklusi.
Dalam mengatasi kendala finansial, sekolah swasta dapat mengidentifikasi sumber
daya tambahan, baik dari pemerintah maupun pihak ketiga, untuk memastikan investasi
tambahan tersebut dapat direalisasikan. Membangun kemitraan dengan lembaga atau
organisasi yang memiliki keahlian dalam pendidikan inklusif juga dapat memberikan
dukungan tambahan dalam hal sumber daya dan pelatihan guru.
Pelatihan guru menjadi prioritas utama dalam mengatasi tantangan terkait pemahaman
dan keterampilan. Sesi pelatihan yang berkelanjutan dan berfokus pada kebutuhan khusus
peserta didik akan membantu guru menyempurnakan metode pengajaran mereka dan
meningkatkan efektivitas dalam menghadapi diversitas kelas8.
Adaptasi kurikulum adalah langkah penting untuk menyelaraskan pendekatan inklusif
dengan struktur kurikulum yang ada di sekolah swasta. Pembaruan ini harus
mempertimbangkan berbagai gaya belajar dan tingkat kemampuan peserta didik, sehingga
pendekatan inklusif dapat meresap ke dalam setiap aspek pembelajaran.
Perubahan budaya sekolah menjadi tantangan yang memerlukan waktu dan upaya
berkelanjutan. Pengenalan program-program yang mendorong inklusi, seperti kegiatan
sosialisasi dan perubahan kebijakan di tingkat institusional, akan memainkan peran kunci
dalam mengubah persepsi dan praktik di seluruh sekolah.
Secara keseluruhan, upaya untuk mengatasi tantangan pendidikan inklusif di sekolah
swasta memerlukan pendekatan yang holistik dan kolaboratif. Dengan memahami secara
mendalam setiap tantangan yang dihadapi, sekolah swasta dapat menciptakan lingkungan
belajar yang merangkul keberagaman dan mendukung perkembangan semua peserta didik,
mewujudkan visi pendidikan inklusif yang efektif.
Strategi penyelesaian untuk mengatasi tantangan pendidikan inklusif di sekolah
swasta melibatkan sejumlah aspek krusial. Salah satu langkah utama adalah
menyelenggarakan pelatihan guru yang berkelanjutan. Pelatihan ini menjadi kunci dalam
meningkatkan pemahaman dan keterampilan guru terhadap kebutuhan khusus peserta didik.
Sesi pelatihan yang berfokus pada inklusi dan diversitas kelas akan membantu guru

8
Amka, (2019). Buku Ajar Filsafat Pendidikan: Gagasan Konsep, Teori, dan Analisis Filosofis Mengenai Sistem
Pendidikan. Nizamia Learning Center, Sidoarjo.
menyempurnakan metode pengajaran mereka, sehingga mereka dapat lebih efektif
menghadapi beragam kebutuhan belajar.
Selanjutnya, pengembangan sumber daya menjadi strategi penting dalam mendukung
implementasi pendidikan inklusif di sekolah swasta. Kolaborasi dengan pihak ketiga, seperti
lembaga atau organisasi yang memiliki keahlian dalam pendidikan inklusif, dapat
memberikan dukungan tambahan berupa pengetahuan, sumber daya, dan pelatihan tambahan.
Kemitraan ini menjadi langkah proaktif untuk memastikan sekolah swasta memiliki akses ke
sumber daya yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan inklusif.
Penyesuaian kurikulum menjadi fokus selanjutnya dalam strategi penyelesaian.
Evaluasi menyeluruh terhadap kurikulum yang ada diperlukan untuk mengidentifikasi area-
area di mana modifikasi perlu dilakukan. Langkah-langkah adaptasi harus diambil agar
kurikulum menjadi lebih inklusif, mampu mengakomodasi kebutuhan belajar beragam
peserta didik. Pendekatan ini mendukung terciptanya pengalaman belajar yang lebih merata
dan responsif terhadap diversitas kelas.
Tantangan budaya sekolah juga perlu diatasi melalui perubahan yang signifikan.
Adopsi program-program dan kebijakan yang mendorong budaya inklusif di seluruh sekolah
menjadi langkah strategis untuk merubah persepsi dan praktik di tingkat institusional.
Penciptaan lingkungan yang mendukung inklusi memerlukan partisipasi aktif dari semua
stakeholder, termasuk guru, siswa, orang tua, dan staf sekolah.
Dengan implementasi strategi ini, pendidikan inklusif di sekolah swasta dapat
menjadi model efektif. Kesuksesan terletak pada pemahaman mendalam tentang kebutuhan
khusus, pelatihan guru yang berkelanjutan, pengembangan sumber daya melalui kemitraan,
penyesuaian kurikulum, dan perubahan budaya sekolah. Sebagai hasilnya, sekolah swasta
dapat menciptakan lingkungan belajar yang merangkul keberagaman dan mendukung
perkembangan semua peserta didik. Pendekatan ini bukan sekadar konsep, melainkan sebuah
realitas yang memberikan manfaat positif bagi seluruh komunitas pendidikan. Dengan
demikian, pendidikan inklusif di sekolah swasta bukan hanya memenuhi tuntutan konsep,
tetapi menjadi landasan yang kokoh bagi pembangunan masyarakat pendidikan yang inklusif.
Pendidikan inklusif menawarkan sejumlah keunggulan yang signifikan. Pertama,
pendekatan ini menciptakan lingkungan belajar yang diperkaya oleh keberagaman. Dengan
melibatkan semua peserta didik, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus,
pendidikan inklusif memberikan pengalaman belajar yang lebih mendalam. Keanekaragaman
ini menciptakan suasana di mana setiap individu dapat saling belajar dan tumbuh bersama.
Keunggulan lainnya adalah peningkatan mutu pendidikan secara keseluruhan. Dengan
melibatkan semua peserta didik dalam proses pembelajaran, pendidikan inklusif menciptakan
peluang untuk meningkatkan kualitas pengajaran dan pembelajaran. Integrasi peserta didik
dengan kebutuhan khusus dapat menciptakan suasana kelas yang lebih dinamis dan responsif
terhadap kebutuhan masing-masing individu.
Selain itu, pendidikan inklusif berperan dalam mengurangi stigma terhadap anak-anak
berkebutuhan khusus. Dengan menciptakan lingkungan yang menghormati keberagaman,
konsep ini membantu menghilangkan pandangan negatif dan prasangka terhadap mereka
yang memiliki kebutuhan khusus. Hal ini berkontribusi pada terbentuknya masyarakat yang
lebih inklusif, di mana setiap individu dihargai dan diterima tanpa memandang perbedaan.
Meskipun pendidikan inklusif menawarkan sejumlah keunggulan, implementasinya di
sekolah swasta dapat menghadapi tantangan tertentu. Pertama-tama, sekolah swasta
seringkali dihadapkan pada tantangan keuangan yang lebih besar dibandingkan dengan
sekolah negeri. Implementasi pendidikan inklusif memerlukan investasi tambahan untuk
memastikan ketersediaan fasilitas, pelatihan guru, dan dukungan khusus sesuai dengan
kebutuhan. Oleh karena itu, mencari solusi kreatif untuk mengatasi kendala finansial menjadi
langkah penting.
Tantangan lainnya berkaitan dengan pemahaman dan keterampilan guru di sekolah
swasta. Banyak guru mungkin tidak memiliki pelatihan yang memadai dalam menghadapi
kebutuhan khusus peserta didik. Oleh karena itu, menyelenggarakan pelatihan yang
berkelanjutan menjadi strategi krusial untuk membangun pemahaman yang lebih baik dan
meningkatkan keterampilan guru dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif.
Kurikulum yang tidak sesuai dengan pendekatan inklusif juga menjadi tantangan.
Beberapa sekolah swasta mungkin menggunakan kurikulum yang kurang fleksibel atau tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan inklusif. Modifikasi kurikulum perlu dilakukan agar
dapat mengakomodasi berbagai kebutuhan belajar peserta didik. Ini mencakup evaluasi
menyeluruh terhadap kurikulum yang ada dan penyesuaian agar lebih inklusif.
Tantangan budaya sekolah, yang mungkin melibatkan perubahan signifikan, juga
perlu diatasi. Beberapa sekolah swasta mungkin memiliki budaya yang lebih eksklusif,
sehingga upaya besar diperlukan untuk mengubah persepsi dan praktik di tingkat institusional
agar lebih mendukung inklusi.
Strategi penyelesaian yang diterapkan melibatkan berbagai aspek. Pelatihan guru
menjadi langkah penting untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan mereka.
Selanjutnya, pengembangan sumber daya melalui kolaborasi dengan pihak ketiga, seperti
lembaga atau organisasi yang memiliki keahlian dalam pendidikan inklusif, menjadi kunci
untuk memberikan dukungan tambahan.
Penyesuaian kurikulum menjadi bagian krusial dari strategi tersebut. Evaluasi
menyeluruh terhadap kurikulum yang ada diperlukan untuk mengidentifikasi area-area di
mana modifikasi perlu dilakukan. Langkah-langkah adaptasi harus diambil agar kurikulum
menjadi lebih inklusif dan mampu mengakomodasi kebutuhan belajar beragam peserta didik.
Upaya untuk mengatasi tantangan budaya sekolah melibatkan perubahan yang
signifikan. Adopsi program-program dan kebijakan yang mendorong budaya inklusif di
seluruh sekolah menjadi langkah strategis untuk merubah persepsi dan praktik di tingkat
institusional.
Dengan implementasi strategi ini, pendidikan inklusif di sekolah swasta dapat
menjadi model efektif. Kesuksesan terletak pada pemahaman mendalam tentang kebutuhan
khusus, pelatihan guru yang berkelanjutan, pengembangan sumber daya melalui kemitraan,
penyesuaian kurikulum, dan perubahan budaya sekolah. Sebagai hasilnya, sekolah swasta
dapat menciptakan lingkungan belajar yang merangkul keberagaman dan mendukung
perkembangan semua peserta didik. Pendekatan ini bukan sekadar konsep, melainkan sebuah
realitas yang memberikan manfaat positif bagi seluruh komunitas pendidikan. Dengan
demikian, pendidikan inklusif di sekolah swasta bukan hanya memenuhi tuntutan konsep,
tetapi menjadi landasan yang kokoh bagi pembangunan masyarakat pendidikan yang inklusif.
Refrensi
Amka, (2019). Buku Ajar Filsafat Pendidikan: Gagasan Konsep, Teori, dan Analisis
Filosofis Mengenai Sistem Pendidikan. Nizamia Learning Center, Sidoarjo.
Amka, A. (2017). Implementasi Pendidikan Karakter Inklusi Bagi Anak Berkebutuhan
Khusus Di Sekolah Reguler. Madrosatuna: Journal of Islamic Elementary School,
Vol. 1 (1), 1-12. doi: 10.21070/madrosatuna.v1i1.1206
Budianto, (2007). Pengantar Pendidikan Inklusif. Prenadamedia Group, Jakarta.
Danielsen, A. G., Samdal, O., Hetland, J., & Wold, B. (2009). School-related social support
and students' perceived life satisfaction. The Journal of Educational Research, 102(4),
303-320.
Dewi, T. T. U., Tiatri, S., & Mularsih, H. (2020). PERAN PENGETAHUAN AWAL TENTANG
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN EFIKASI GURU TERHADAP SIKAP
GURU PADA PENDIDIKAN INKLUSIF. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan
Seni, 4(2), 304-314.
Kementerian Pendidikan Nasional. (2003). Undang-undang No. 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional.
Mahat, M. (2008). The Development Of A Psychometrically-Sound Instrument To Measure
Teacher’s Multidimensional Attitudes Toward Inclusive Education. International
Journal Of Special Education, 23(1).
Palmer, D. S., Fuller, K., Arora, T., & Nelson, M. (2001). Taking Sides: Parent Views on
Inclusion for Their Children with Severe Disabilities. Exceptional Children, 67, 467–
484.
Pratiwi, J. C. (2015, November). Sekolah Inklusi untuk Anak Berkebutuhan Khusus:
Tanggapan Terhadap Tantangan Kedepannya. In Seminar Nasional Ilmu Pendidikan
UNS 2015. Sebelas Maret University.

Anda mungkin juga menyukai