Secara sepintas anda akan mengatakan bahwa pendidikan inklusif merupakan pendekatan inovatif
yang di anggap mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi anak berkebutuhan khusus.
Penulis tidak bisa membayangkan bila ada anak berkebutuhan khusus mendapatkan perlakuan
yang tidak adil karena keterbatasan fisik maupun mental yang mempengaruhi interaksi dan
hubungan sosial dengan sesama.
Penulis menilai bahwa filosopis pendidikan inklusif sangat terkait dengan kebutuhan dasar
manusia untuk memperoleh pengalaman belajar bersama anak normal umumnya. Tidak heran bila
pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin kelangsungan hidupnya.
Oleh karena itu Negara berkewajiban untk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu
kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam
kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1).
Konsep inklusif adalah sebuah filosofi pendidikan yang berkaitan langsung dengan relasi sosial
antar sesama dalam upaya membangun kebersamaan tanpa memandang latar belakang kehidupan
maupun status sosialnya. Mereka yang percaya proses inklusif meyakini bahwa semua orang
adalah bagian yang berharga dalam kebersamaan masyarakat, apapun perbedaan mereka. Dalam
pendidikan ini bahwa semua anak, terlepas dari kemampuan maupun ketidak mampuan mereka,
latar belakang sosial-ekonomi, suku latar belakng budaya atau bahasa menyatu dalam komunikasi
sekolah yang sama.
Sebagai cermin iklusifitas dalam menghargai perbedaan dan keterbatasan, pendidikan di Indonesia
harus mampu menciptakan kesetaraan dan keadilan bagi siapa saja yang dianggap tidak normal
atau berkelainan. Maka kehadiran pendidikan inklusif merupakan perkembangan terkini dari
model pendidikan bagi anak yang memiliki kelainan seperti tunanetra, tunadaksa, tunagrahita,
tunarungu, maupun tunalaras. Secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan salamaca
pada komperesi dunia tentang pendidikan berkelainan bulan Juni1994 bahwa prinsip mendasar
dari pendidikan inklusif adalah selama memungkinkan semua anak siogianya belajar bersama-
sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
Ketika itulah muncul sekolah inklusif yang menampung semua anak berkebutuhan khusus
dipendidikan formal tanpa pengecualian. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang
layak, menantang tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa maupun bantuan
dan bantuan yang diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Namun sayang sistem
pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman sehingga menyebabkan munculnya
segmentasi lembaga pendidikan yang mendasar pada perbedaan agama, etnis dan bahkan
perbedaan kemampuan, baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Sementara itu
pendidikan tidak hanya di tunjukan kepada anak yang memiliki kelengkapan fisik tetapi juga
kepada anak yang memiliki keterbelakangan mental. Mereka dianggap sosok yang tidak berdaya
sehingga perlu di bantu dan dikasihani untuk mengatasi permasalahan tersebut disediakan berbagai
bentuk layanan pendidikan atau sekolah bagi mereka.
Penulis bisa memahami bahwa pendidikan inklusif merupakan suatu strategi untuk mempromo
sekolah yang responsif terhadap pendidikan universal yang efektif karena dapat menciptakan
sekolah yang responsif terhadap beragam kebutuhan aktual dari anak dan masyarakat.
Berbicara tentang filosofis pendidkan inklusif di Indonesia, tidak luput dari filosofi bangsa
Indonesia itu sendiri. Sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila, kita dituntut untuk dapat
menjunjung tinggi norma Bhinneka Tunggal Ika, baik secara tekstual maupun kontekstual.
Adapun kaitan antara filosofi Indonesia dan pendidikan inklusif adalah landasan negara menuntut
kita untuk dapat mengemban tugas sebagai khalifah Tuhan dalam bidang pendidikan inklusif.
Sebagai sesama makhluk di dunia, manusia harus saling menolong, mendorong, dan memberi
motivasi agar semua potensi kemanusiaan yang ada pada diri setiap peserta didik, termasuk anak
berkebutuhan khusus (ABK). Hal ini dilakukan agar ABK dapat mengembangkan potensinya
dengan optimal dan mampu meningkatkan kualitas kemandiriannya. Suasana tolong menolong
seperti yang dikemukakan di atas dapat diciptakan melalui suasana belajar dan kerjasama
yang silih asah, silih asih, dan silih asuh (saling mencerdaskan, saling mencinta, dan saling
tenggang rasa).
Filosofi Bhinneka Tunggal Ika mengajak kita untuk meyakini bahwa di dalam diri manusia
bersemayam potensi kemanusiaan yang bila dikembangkan melalui pendidikan yang baik dan
benar dapat berkembang tak terbatas.[1] Perlu diyakini pula bahwa potensi itu pun ada pada diri
setiap ABK. Karena, seperti halnya ras, suku, dan agama di tanah Indonesia, keterbatasan pada
ABK maupun keunggulan pada anak normal pada umumnya memiliki kedudukan yang sejajar.
Berdasarkan penjelasan di atas, jelas bahwa keterbatasan ABK tidak dapat dijadikan alasan untuk
menjadikan pendidikan bersifat segregatif dan eksklusif, sehingga pendidikan untuk ABK harus
dipisahkan dengan anak normal pada umumnya. Karena dengan adanya pendidikan inklusif yang
terintegrasi, peserta didik dapat saling bergaul dan memungkinkan terjadinya saling belajar tentang
perilaku dan pengalaman masing-masing.
Sebagai bangsa beragama, penyelenggaraan pendidikan juga tidak dapat dipisahkan dengan nilai
keagamaan. Terlebih, interaksi yang terjadi dalam lingkup pendidikan tidak dapat dipisahkan dari
hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Keberadaan manusia sebagai makhuk sosial ini
disinggung dalam Al-Quran yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia berbeda satu
sama lain agar dapat saling berhubungan dalam rangka saling membutuhkan.[2]
Keberadaan peserta didik yang membutuhkan layanan khusus adalah manifestasi hakikat manusia
sebagai individu yang harus berinteraksi dengan tujuan berbuat kebaikan. Kembali pada kaliamat
di awal paragraf ini, dapat kita temukan bahwa terdapat kesamaan antara pandangan filosofis dan
agama tentang hakikat manusia. Hal ini dikarenakan keduanya merujuk pada kebenaran yang
hakiki, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, adanya titik temu antara landasan filosofis
dan landasan religi diharapkan dapat menjadi acuan dalam pemanfaat penyelenggaraan
pendidikan, khususnya pendidikan inklusif.
Landasan Yuridis
Sebagai penutup artikel ini, dapat dipahami bahwa pendidikan inklusif adalah suatu sistem yang
mengedepankan pemberian perhatian menyeluruh kepada peserta didik, baik dari segi fasilitas,
proses belajar, konten pembelajaran, dan cara guru mendidik sesuai dengan kapasitas,
kemampuan, dan ketidakmampuan yang dimiliki peserta didik. Dengan demikian, secara
sederhana pendidikan inklusif dapat dikatakan sebagai program pendidikan berkeadilan, bukan
penyamarataan.(Nir)
Pendidikan Inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mengatur agar difabel dapat
dilayani di sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Tanpa harus
dikhususkan kelasnya, siswa dapat belajar bersama dengan aksesibilitas yang mendukung
untuk semua siswa tanpa terkecuali difabel.[1] Inklusif dapat berarti bahwa tujuan
pendidikan bagi peserta lembaga pendidikan baik itu dari sekolah dasar sampai tingkat
universitas yang memiliki hambatan adalah keterlibatan yang sebenarnya dari setiap siswa
dalam kehidupan sekolah yang menyeluruh. Pendidikan inklusif dapat berarti penerimaan
siswa atau mahasiswa yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi
sosial dan konsep diri (visi-misi) sekolah atau universitas.
Pendidikan inklusif bertujuan untuk menyatukan atau menggabungkan pendidikan reguler
dengan pendidikan khusus ke dalam satu sistem lembaga pendidikan yang dipersatukan
untuk mempersatukan kebutuhan semua. Pendidikan inklusif bukan sekedar metode atau
pendekatan pendidikan melainkan suatu bentuk implementasi filosofi yang mengakui
kebhinekaan antar manusia yang mengemban misi tunggal untuk membangun kehidupan
bersama yang lebih baik. Tujuan pendidikan inklusif adalah untuk menyatukan hak semua
orang tanpa terkecuali dalam memperoleh pendidikan.
Inklusif diambil dari kata dalam bahasa inggris yakni “to include” atau “inclusion” atau
“inclusive” yang berarti mengajak masuk atau mengikutsertakan. Dalam pengertian
“inklusif” yang diajak masuk atau yang diikutsertakan adalah menghargai dan merangkul
setiap individu dengan perbedaan latar belakang, jenis kelamin, etnik, usia, agama, bahasa,
budaya, karakteristik, status, cara/pola hidup, kondisi fisik, kemampuan dan kondisi beda
lainnya (UNESCO: 2001, 17).
Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang terbuka dan ramah terhadap pembelajaran
dengan mengedepankan tindakan menghargai dan merangkul perbedaan. Untuk itu,
pendidikan inklusif dipahami sebagai sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi
sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan yang dapat menghalangi setiap individu
siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan yang dilengkapi dengan layanan
pendukung. “Inklusif” merupakan perubahan praktis dan sederhana yang memberi peluang
kepada setiap individu dengan setiap perbedaannya untuk bisa berhasil dalam belajar.
Perubahan ini tidak hanya menguntungkan individu yang sering tersisihkan seperti anak
berkebutuhan khusus, tetapi semua anak dan orang tuanya, semua guru dan administrator
sekolah, dan setiap anggota masyarakat dan lingkungannya juga mendapatkan keuntungan
dari setiap perubahan yang dilakukan.
1. Memastikan bahwa semua anak memiliki akses terhadap pendidikan yang terjangkau,
efektif,
relevan dan tepat dalam wilayah tempat tinggalnya
2. Memastikan semua pihak untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif agar
seluruh
terlibat dalam proses pembelajaran.
Jadi, inklusi dalam pendidikan merupakan proses peningkatan partisipasi siswa dan
mengurangi
keterpisahannya dari budaya, kurikulum dan komunitas sekolah setempat.
Inklusi merupakan suatu proses yang berkembang dari waktu ke waktu dan keberhasilan
inklusi tergantung pada persiapan dan penempatan dasar-dasar inklusi itu sendiri. Apabila
inklusi ingin berhasil tentunya sekolah harus menggunakan pendekatan yang berorientasi
kepada kebutuhan siswa. Pada dasarnya, inklusi sosial dalam konteks pendidikan adalah
menghargai dan merangkul setiap individu dengan perbedaan latar belakang, jenis kelamin,
etnik, usia, agama, bahasa, budaya, karakteristik, status, cara/pola hidup, kondisi fisik,
kemampuan dan kondisi beda lainnya (UNESCO: 2001, 17). Sekolah merupakan tempat
di mana semua siswa merupakan anggota yang utuh, memiliki perasaan terhubungkan
dengan teman-temannya, memiliki akses terhadap kurikulum pendidikan umum yang
sesuai dan bermakna, serta memperoleh dukungan untuk keberhasilannya.
1. Aspek Rasional
5. Aspek Komitmen
Tidak Berhasil : Komitmen jangka panjang untuk terimplementasinya inklusi tidak dijaga
Berhasil : Kolaborasi di antara bagian-bagian yang terlibat membantu untuk tetap
terbentuknya komitmen jangka panjang. Ketika angggota terlibat dalam suatu tindakan,
maka mereka akan lebih merasa memiliki dan berkepentingan dengan kesuksesannya
8. Aspek Kepemimpinan
Tidak Berhasil : Pemimpin sekolah terlalu mengontrol atau tidak mendorong stafnya untuk
mencapai tujuan-tujuan yang lebih tinggi
Berhasil : Pimpinan sekolah memfasilitasi kolaborasi tim kerja, memberi dorongan
anggota secara individual dan menjamin bahwa ide-ide mereka teraktualisasi
Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan
simposium internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi
yang isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan
inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar memperoleh
pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.
Pendidikan Inklusif
•1960-an: Integrasi siswa tunanetra di sekolah menengah umum dimulai atas inisiatif
individual.
•1978-1986: Proyek Pendidikan Terpadu bagi anak tunanetra dengan bantuan teknis HKI.
•1999: Pemerintah memperkenalkan gagasan pendidikan inklusif dengan bantuan teknis
dari Universitas Oslo, melalui seminar dan lokakarya.
•2002: Rintisan sekolah inklusif di beberapa kota.
7. Landasan Pendidikan Inklusif
1. Landasan Filosofis
Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung Garuda
yang berarti ’bhineka tunggal ika’. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat,
keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi
persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
2. Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain ditegaskan bahwa : (1) manusia
dilahirkan dalam keadaan suci, (2) kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan (Allah) bukan
karena fisik tetapi taqwanya, (3) Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum
itu sendiri (4) manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi (‘inklusif’).
3. Pandangan universal Hak azasi manusia, menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai
hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, hak pekerjaan.
2. Landasan Yuridis
1. UUD 1945 (Amandemen) Ps. 31: (1) berbunyi ‘Setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan. Ayat (2) ’Setiaap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya’.
2. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Ps. 48 ‘Pemerintah wajib
menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. Ps. 49
’Negara, Pemerintah, Keluarga, dan Orangtua wajib memberikan kesempatan yang seluas-
luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan’.
3. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ps. 5 ayat (1) ‘Setiap warga
negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’. Ayat (2):
Warganegara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial
berhak memperoleh pendidikan khusus. Ayat (3) ‘Warga negara di daerah terpencil atau
terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan
khusus’. Ayat (4) ‘Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa
berhak memperoleh pendidikan khusus’. Pasal 11 ayat (1) dan (2) ‘Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi’.
‘Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan
lima belas tahun’. Pasal 12 ayat (1) ‘Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan
berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan
kemampuannya (1.b). Setiap peserta didik berhak pindah ke program pendidikan pada jalur
dan satuan pendidikan lain yang setara (1.e). Pasal 32 ayat (1) ‘Pendidikan khusus
merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam
mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa’. Ayat (2) ‘Pendidikan layanan khusus
merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat
adat terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari
segi ekonomi.’ Dalam penjelasan Pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa ‘Pendidikan
khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau
peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan
secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan
menengah’. Pasal 45 ayat (1) ‘Setiap satuan pendidikan formal dan non formal
menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional,
dan kejiwaan peserta didik’.
1. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 2 ayat
(1) Lingkungan Standar Nasional Pendidikan meliputi Standar isi, Standar proses, Standar
kompetensi lulusan, Standar pendidik dan kependidikan, Standar sarana prasarana, Standar
pengelolaan, Standar pembiayaan, dan Standar penilaian pendidikan. Dalam PP No.
19/2005 tersebut juga dijelaskan bahwa satuan pendidikan khusus terdiri atas: SDLB,
SMPLB dan SMALB.
2. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari
2003 Perihal Pendidikan Inklusif: menyeelenggarakan dan mengembangkan di setiap
Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari: SD, SMP, SMA,
dan SMK.
3. Landasan Empiris
1. Deklarasi Hak Asasi Manusia, 1948 (Declaration of Human Rights),
2. Konvensi Hak Anak, 1989 (Convention on the Rights of the Child),
3. Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, 1990 (World Conference on
Education for All),
4. Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi Orang
Berkelainan (the standard rules on the equalization of opportunities for persons with
disabilities)
5. Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusi, 1994 (The Salamanca Statement on
Inclusive Education),
6. Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua, 2000 (The Dakar Commitment on
Education for All), dan
7. Deklarasi Bandung (2004) dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan inklusif”,
8. Rekomendasi Bukittinggi (2005), bahwa pendidikan yang inklusif dan ramah terhadap
anak seyogyanya dipandang sebagai:
(1) Sebuah pendekatan terhadap peningkatankualitas sekolah secara menyeluruh yang
akan menjamin bahwa strategi nasional untuk ‘pendidikan untuk semua’ adalah benar-
benar untuk semua;
(2) Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan
pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari
program-program untuk perkembangan usia dini anak, pra sekolah, pendidikan dasar dan
menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi kesempatan untuk
memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan terhadap marginalisasi dan
eksklusi; dan
(3) Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan
menghormati perbedaan individu semua warga negara.
Disamping itu juga menyepakati rekomendasi berikut ini untuk lebih meningkatkan
kualitas sistem pendidikan di Asia dan benua-benua lainnya:
(1) Inklusi seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip fundamental yang mendasari
semua kebijakan nasional
(2) Konsep kualitas seyogyanya difokuskan pada perkembangan nasional, emosi dan
fisik, maupun pencapaian akademik lainnya
(3) Sistem asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar sesuai dengan prinsip-prinsip
non-diskriminasi dan inklusi serta konsep kualitas sebagaimana telah disebutkan di atas
(4) Orang dewasa seyogyanya menghargai dan menghormati semua anak, tanpa
memandang perbedaan karakteristik maupun keadaan individu, serta seharusnya pula
memperhatikan pandangan mereka
(5) Semua kementerian seyogyanya berkoordinasi untuk mengembangkan strategi
bersama menuju inklusi
(6) Demi menjamin pendidikan untuk Semua melalui kerangka sekolah yang ramah
terhadap anak (SRA), maka masalah non-diskriminasi dan inklusi harus diatasi dari semua
dimensi SRA, dengan upaya bersama yang terkoordinasi antara lembaga-lembaga
pemerintah dan non-pemerintah, donor, masyarakat, berbagai kelompok local, orang tua,
anak maupun sektor swasta
(7) Semua pemerintah dan organisasi internasional serta organisasi non-pemerintah,
seyogyanya berkolaborasi dan berkoordinasi dalam setiap upaya untuk mencapai
keberlangsungan pengembangan masyarakat inklusif dan lingkungan yang ramah terhadap
pembelajaran bagi semua anak
(8) Pemerintah seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial maupun ekonomi bila
tidak mendidik semua anak, dan oleh karena itu dalam Manajemen Sistem Informasi
Sekolah harus mencakup semua anak usia sekolah
(9) Program pendidikan pra-jabatan maupun pendidikan dalam jabatan guru seyogyanya
direvisi guna mendukung pengembangan praktek inklusi sejak pada tingkat usia pra-
sekolah hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan pada pemahaman secara holistik
tentang perkembangan dan belajar anak termasuk pada intervensi dini
(10) Pemerintah (pusat, propinsi, dan local) dan sekolah seyogyanya membangun dan
memelihara dialog dengan masyarakat, termasuk orang tua, tentang nilai-nilai sistem
pendidikan yang non-diskriminatif dan inklusif
Landasan pedagogis
Pada pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan pendidikan
nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.Jadi,
melalui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan
berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka
diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun kecilnya, mereka
harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.