Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, keberagaman termasuk di dalamnya anak
berkebutuhan khusus merupakan salah satu bentuk kebhinekaan, seperti halnya perbedaan suku,
ras, bahasa, budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkebutuhan khusus pastilah dapat
ditemukan keunggulan–keunggulan tertentu. Kelemahan dan keunggulan tidak memisahkan
peserta didik yang satu dengan yang lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya,
atau agama, tetap dalam kesatuan. Hal ini harus terus diwujudkan dalam sistem pendidikan.
Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar peserta didik
yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat
toleransi yang nampak atau dicita–citakan dalam kehidupan sehari–hari.
Dalam Undang-Undang Dasar Amandemen 1945, Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ditambahkan juga dalam ayat (2) dalam pasal
yang sama, bahwa “’Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya”. Selanjutnya terkait dengan perlindungan anak, dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, padal Pasal 48, menyatakan bahwa
“Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua
anak”. Kemudian pada Pasal 48 dari Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, dinyatakan
bahwa “’Negara, Pemerintah, Keluarga, dan Orang tua wajib memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan”.
Dalam konteks pendidikan nasional, penyelenggaraan pendidikan inklusif memiliki dasar hukum
yang jelas. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 ayat (1) “Setiap warga negara mempunyai hak yang
sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Ayat (2): “Warga negara yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan
khusus”. Dalam hal aksesibilitas pendidikan, dinyatakan dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2)
“Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Pasal
32 ayat (1) ”Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat
kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial,
dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. Dalam penjelasan Pasal 15 alinea
terakhir dijelaskan bahwa ”Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk
peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang
diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan
dasar dan menengah”. Pasal 45 ayat (1) ”Setiap satuan pendidikan formal dan non formal
menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan
kejiwaan peserta didik”.
Pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 32 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi
dan Kompetensi Guru Pendidikan Khusus, “Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang
memberikan kesempatan bagi peserta didik berkebutuhan khusus karena kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa
untuk belajar bersama-sama dengan peserta didik lain pada satuan pendidikan umum maupun
kejuruan, dengan cara menyediakan sarana, tenaga pendidik, tenaga kependidikan dan kurikulum
yang disesuaikan dengan kebutuhan individual peserta didik.”
Dalam penjelasan Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas, “Yang dimaksud dengan ‘pendidikan secara inklusif’ adalah pendidikan bagi peserta
didik Penyandang Disabilitas untuk belajar bersama dengan peserta didik bukan Penyandang
Disabilitas di sekolah reguler atau perguruan tinggi.
Konsep yang paling mendasar dalam pendidikan inklusif adalah bagaimana agar anak dapat
belajar bersama, belajar untuk dapat hidup bersama dijabarkan dalam tiga prinsip, yaitu:
Dalam upaya menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif di sekolah inklusif, Depdiknas
(2007) telah merumuskan prinsip-prinsip pembelajaran di sekolah inklusif, yakni sebagai
berikut:
1. Prinsip motivasi; guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap
memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar- mengajar.
2. Prinsip latar atau konteks; guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan
contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal
mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya
tidak terlalu perlu bagi anak.
3. Prinsip hubungan sosial; dalam kegiatan belajar-mengajar, guru perlu mengembangkan
strategi pembelajaran mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan
siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, serta interaksi banyak arah.
4. Prinsip individualisasi; guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap
anak secara mendalam, baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam
menyerap materi pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, dan
perilakunya, sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat
perhatian dan perlakuan yang sesuai.
Materi 2
Index for Inclusion atau diterjemahkan menjadi Indeks Inklusi merupakan konsep yang
dikembangkan pertama kali oleh Booth dan Ainscow pada tahun 2000, dan dalam
perkembangannya mengalami perubahan sampai dengan edisi terbaru di tahun 2020. Secara
umum Indeks Inklusi memberikan panduan untuk mendukung sekolah dalam proses
pengembangan sekolah inklusif, berdasarkan sudut pandang pemerintah, peserta didik, orang
tua/wali dan anggota masyarakat lainnya. Lebih lanjut, Indeks Inklusi juga dapat digunakan
untuk mengukur kualitas praktik pendidikan inklusif di sekolah melalui asesmen diri oleh
sekolah. Hasil asesmen tentu dapat digunakan untuk melakukan evaluasi ataupun menentukan
prioritas pengembangan sekolah inklusif. Secara substansi, Indeks terbagi kedalam 3 dimensi
yang kemudian diuraikan menjadi indikator-indikator.
Dimensi Membangun Budaya Inklusif
Dimensi Membangun Budaya Inklusif terbagi dalam sub dimensi Membangun Komunitas dan
sub dimensi Membangun Nilai-Nilai Inklusif dengan indikator sebagai berikut:
Indikator:
A.1.1 Setiap orang merasa diterima.
A.1.2 Peserta didik saling membantu.
A.1.3 Staf sekolah berkolaborasi satu sama lain.
A.1.4 Staf sekolah dan peserta didik memperlakukan satu sama lain dengan hormat.
A.1.5 Ada kemitraan antara staf sekolah dan orang tua/wali.
A.1.6 Staf sekolah dan pimpinan daerah bekerja sama dengan baik.
A.1.7 Semua masyarakat sekitar terlibat di sekolah.
Indikator:
A.2.1 Harapan yang tinggi untuk semua peserta didik.
A.2.2 Staf sekolah, pimpinan daerah, peserta didik dan orang tua/wali memiliki pemahaman
filosofi inklusi yang serupa
A.2.3 Peserta didik sama-sama dihargai.
A.2.4 Staf sekolah dan peserta didik memperlakukan satu sama lain sebagai manusia yang
memiliki perannya masing-masing.
A.2.5 Staf sekolah berusaha menghilangkan hambatan belajar dan hambatan partisipasi dalam
semua aspek sekolah.
A.2.6 Sekolah berupaya meminimalkan praktik diskriminatif
Dimensi Menghasilkan Kebijakan Inklusif terbagi dalam sub dimensi Mengembangkan Sekolah
untuk Semua dan Mengorganisir Dukungan untuk Keragaman dengan indikator sebgai berikut:
Indikator:
B.1.1 Pengangkatan dan promosi staf sekolah dilaksanakan secara adil.
B.1.2 Semua staf sekolah baru didampingi sehingga dapat menetap di sekolah.
B.1.3 Sekolah berusaha untuk menerima semua peserta didik dari wilayahnya.
B.1.4 Sekolah membuat bangun yang dapat diakses secara fisik oleh semua orang.
B.1.5 Semua peserta didik baru didampingi sehingga dapat menetap di sekolah.
B.1.6 Sekolah mengatur kelompok pengajaran agar semua peserta didik dihargai.
Indikator:
B.2.1 Semua bentuk dukungan dikoordinasikan.
B.2.2 Kegiatan pengembangan staf sekolah membantu staf sekolah untuk menanggapi
keragaman peserta didik.
B.2.3 Kebijakan 'kebutuhan pendidikan khusus' adalah kebijakan yang inklusi.
B.2.4 Kode Praktik/Panduan Praktik Kebutuhan Pendidikan Khusus digunakan untuk
mengurangi hambatan belajar dan hambatan partisipasi semua peserta didik.
B.2.5 Dukungan bagi mereka yang belajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua dikoordinasikan
dengan dukungan pembelajaran.
B.2.6 Kebijakan dukungan pada aspek perkembangan dan perilaku dikaitkan dengan
pengembangan kurikulum dan kebijakan dukungan pembelajaran
B.2.7 Penanganan disipilin yang berlebihan dikurangi.
B.2.8 Partisipasi kehadiran yang rendah dikurangi.
B.2.9 Perundungan diminimalisir
Dimensi Mengembangkan Praktik Inklusif terbagi dalam sub dimensi Mengatur Pembelajaran
dan Memobilisasi Sumber Daya dengan indikator sebgai berikut:
Pendahuluan
Layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus dapat dilakukan dengan
mengimplementasikan sistem pendidikan inklusif. Saat ini Pemerintah telah mengakomodasi
penyelenggaraan pendidikan inklusif dengan menerbitkan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009
tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Kedudukan peserta didik berkebutuhan khusus juga
dikuatkan dengan Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas.
Layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus dapat dilakukan dengan
mengimplementasikan sistem pendidikan inklusif. Saat ini Pemerintah telah mengakomodasi
penyelenggaraan pendidikan inklusif dengan menerbitkan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009
tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa, khususnya terdapat pada Pasal 6 ayat 1 sampai dengan 3,
yaitu:
Sebagai informasi, untuk keperluan administrasi dan pembinaan, serta kelancaran dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif, sekolah perlu mengikuti prosedur sebagai berikut.
Penerimaan PDBK
Penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus seyogyanya melibatkan berbagai unit terkait,
antara lain orang tua peserta didik, sekolah, rumah sakit atau puskesmas, dan dinas pendidikan
setempat. Pada beberapa sekolah peserta didik berkebutuhan khusus tidak dapat diterima di
sekolah jika tidak membawa surat keterangan hasil asesmen dari rumah sakit dan atau
keterangan dari psikolog.
Namun demikian, pada umumnya sekolah sering mengabaikan persyaratan di atas. Sehingga
menimbulkan kesulitan bagi guru dalam melayani peserta didik yang bersangkutan. Untuk
kondisi di daerah tertentu surat keterangan dari rumah sakit atau dari psikolog menjadi sangat
sulit ketika pemahaman tentang mekanisme layanan tidak sepenuhnya dipahami, terlebih-lebih
ketersediaan sumber daya dan aksesibilitas sangat terbatas.
Secara grafis mekanisme penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif dapat dilakukan dalam beberapa skema berikut.
Skema 1
Identifikasi
Identifikasi adalah suatu proses yang dilakukan secara sistematis untuk menemukenali sesuatu
benda atau seseorang dengan menggunakan instrumen terstandar. Dalam konteks pendidikan
khusus identifikasi merupakan proses menemukenali peserta didik sebelum yang bersangkutan
mengikuti pembelajaran.
Proses identifikasi peserta didik meliputi pengenalan kemampuan (awal), kelemahan atau
hambatan, dan kebutuhan untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya. Proses belajar yang
diberikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus adalah proses untuk memaksimalkan potensi
yang dimiliki peserta didik yang bersangkutan dengan meminimalkan hambatan yang
dimilikinya.
Tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi apakah seorang anak menunjukkan
karakteristik unik (fisik, intelektual, sosial, emosional, dan lain sebagainya. Hasil identifikasi
akan menjadi dasar dalam proses pembelajaran bagi peserta didik yang bersangkutan.
Identifikasi peserta didik dilakukan untuk lima hal, yaitu penjaringan (screening),
pengalihtanganan (referal), klasifikasi, perencanaan pembelajaran, dan pemantauan kemajuan
belajar.
Silakan unduh dan pelajari instrumen identifikasi diatas. Anda akan mempraktekkan penggunaan
intrumen tersebut pada tahap Penguasaan Ketrampilan.
Asesmen
Asesmen dalam pendidikan khusus dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu:
1) asesmen berazaskan kurikulum (asesmen akademik), dan
2) asesmen berazaskan perkembangan (asesmen nonakademik), dan
3) asesmen kekhususan.
Teknik pelaksanaan asesmen meliputi tes, wawancara, observasi, dan analisis pekerjaan
anak. Dalam suatu proses asesmen, biasanya semua teknik itu dapat digunakan untuk melengkapi
data yang dibutuhkan, tidak hanya berpatok pada satu teknik saja.
Asesmen
Ketika ditemukan peserta didik yang memiliki perbedaan dengan peserta didik pada umumnya,
baik dalam bidang akademis maupun non akademis sebaiknya stakeholder melakukan hal-hal
sebagai berikut:
Peran guru
Tim verifikasi Dinas Pendidikan Propinsi mengkaji propsal (surat) yang telah diajukan
oleh pihak sekolah.
Tim verifikasi Propinsi terdiri dari unsur, Dinas Pendidikan Propinsi, Perguruan tinggi,
Organisasi profesi.
Tim verifikasi mengadakan studi kelayakan kepada sekolah yang telah mengadakan
permohonan,
Dinas Pendidikan Propinsi menerbitkan surat penetapan penyelenggaraan pendidikan
inklusi, bagi sekolah yang dinyatakan memenuhi persyaratan yang telah ditatapkan oleh
tim verifikasi.
Intervensi
Pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas inklusif secara umum sama dengan kegiatan proses
belajar mengajar pada kelas reguler. Namun pada kelas inklusif selain terdapat peserta didik
reguler terdapat pula Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK). Di samping menerapkan
prinsip-prinsip umum dalam mengelola proses belajar mengajar maka guru harus memperhatikan
prinsip-prinsip khusus yang sesuai dengan kebutuhan PDBK. Dalam melaksanakan kegiatan
belajar mengajar hendaknya disesuaikan dengan model penempatan PDBK yang dipilih
berdasarkan hasil asesmen. Penempatan kegiatan belajar dalam kelas bersama-sama peserta didik
lainya adalah cara yang sangat inklusif; non-diskriminasi dan fleksibel; sehingga guru harus
membuat rancangan kegiatan pembelajaran dengan mempertimbangkan modifikasi dan adaptasi
yang dibutuhkan.
Bentuk layanan Segregasi
Pendahuluan
Layanan Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus secara umum terbagi ke dalam tiga bentuk
yaitu segregasi, integrasi dan inklusi. Ketiga bentuk ini memiliki perbedaan diantaranya
mengenai sistem kurikulum yang diterapkan.
Sistem layanan segregasi yaitu penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan secara khusus
dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan umum. Dengan kata lain anak berkebutuhan
khusus diberikan layanan pendidikan pada lembaga pendidikan khusus seperti di Sekolah Luar
Biasa (SLB).
SLB merupakan bentuk unit pendidikan dengan penyelenggaraan sekolah mulai dari tingkat
persiapan sampai dengan tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan satu
kepala sekolah
Sekolah Khusus
Penyelenggaraan sekolah khusus ini pada awalnya diselenggarakan sesuai dengan satu kelainan
saja, sehingga dikenal dengan SLB untuk tunanetra (SLB-A), SLB untuk tunarungu (SLB-B),
SLB untuk tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan SLB untuk tunalaras (SLB-
E). Di setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut. Sistem
pengajarannya lebih mengarah ke sistem individualisasi. Terdapat satu jenis anak berkebutuhan
khusus yakni Autis/Autism Spectrum Disorder (ASD) yang menjadi perhatian dalam sistem
sendidikan khusus sehingga sekrang ada SLB Autis.
Regulasi yang memayungi sekolah khusus ini adalah UU RI Nomor 2 Tahun 1989 dan PPNo.72
Tahun 1991, dalam pasal 4 PP No.72 Tahun 1991 satuan pendidikan luar biasa terdiri dari:
a. Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dengan lama pendidikan minimal 6 tahun.
b. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) minimal 3 tahun.
c. Sekolah Menengah Luar Biasa (SMALB) minimal 3 tahun.
Di samping satuan pendidikan di atas, pasal 6 PP No.72 Tahun 1991, juga dimungkinkan
penyelenggaraaan Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB) dengan lama pendidikan satu
sampai tiga tahun.
Sekolah Khusus
Penyelenggaraan sekolah khusus ini pada awalnya diselenggarakan sesuai dengan satu kelainan
saja, sehingga dikenal dengan SLB untuk tunanetra (SLB-A), SLB untuk tunarungu (SLB-B),
SLB untuk tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan SLB untuk tunalaras (SLB-
E). Di setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut. Sistem
pengajarannya lebih mengarah ke sistem individualisasi. Terdapat satu jenis anak berkebutuhan
khusus yakni Autis/Autism Spectrum Disorder (ASD) yang menjadi perhatian dalam sistem
sendidikan khusus sehingga sekrang ada SLB Autis.
Regulasi yang memayungi sekolah khusus ini adalah UU RI Nomor 2 Tahun 1989 dan PPNo.72
Tahun 1991, dalam pasal 4 PP No.72 Tahun 1991 satuan pendidikan luar biasa terdiri dari:
a. Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dengan lama pendidikan minimal 6 tahun.
b. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) minimal 3 tahun.
c. Sekolah Menengah Luar Biasa (SMALB) minimal 3 tahun.
Di samping satuan pendidikan di atas, pasal 6 PP No.72 Tahun 1991, juga dimungkinkan
penyelenggaraaan Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB) dengan lama pendidikan satu
sampai tiga tahun.
Berbeda halnya dengan kelas jauh, kelas kunjung adalah suatu layanan terhadap ABK yang tidak
siap mengikuti proses pembelajaran di SLB terdekat. Jadi, guru berfungsi sebagai guru kunjung
(itenerant teacher) yang datang ke rumah-rumah ABK untuk melayani mereka belajar. Kegiatan
admistrasinya dilaksanakan di SLB terdekat tersebut.
Kelebihan dari sistem layanan segregasi ini adalah (1) anak merasa
senasib, sehingga dapat menghilangkan rasa minder, rasa rendah diri, dan membangkitkan
semangat menyongsong kehidupan di hari-hari mendatang, (2) anak lebih mudah beradaptasi
dengan temannya yang sama-sama mengalami hambatan, (3) anak termotivasi dan bersaing
secara sehat dengan sesama temannya yang senasib di sekolahnya, dan anak lebih mudah
bersosialisasi tanpa dibayangi rasa takut bergaul, minder, dan rasa kurang percaya diri.
Adapun Kelemahan adalah (1) anak terpisah dari lingkungan anak lainnya sehingga anak sulit
bergaul dan menjalin komunikasi dengan anak-anak pada umumnya, (2) anak merasa terpasung
dan dibatasi pergaulanya dengan anak-anak kebutuhan khusus saja sehingga pada giliranya dapat
menghambat perkembangan sosialisasinya di masyarakat, dan (3) anak merasakan ketidakadilan
dalam kehidupan di sekolah yang terbatas bagi mereka yang tergolong berkebutuhan khusus.
Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus dalam
satu kelas dalam jumlah tertentu dari jumlah siswa keseluruhan. Hal ini untuk menjaga beban
guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus melayani berbagai macam jenis anak
berkebutuhan khusus.
Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak berkenutuhan khusus, di sekolah terpadu
disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungsi sebagai konsultan bagi guru
kelas, kepala sekolah atau anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu GPK juga berfungsi
sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus atau guru kelas pada kelas khusus.
Ada 3 bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menurut
Depdiknas (1986), ketiga bentuk tersebut yaitu:
a. Kelas Biasa
b. Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
c. Bentuk Kelas Khusus.
Kelas Biasa
Di kelas biasa ini, ABK bersama-sama dengan siswa pada umumnya terlibat dalam proses
belajar mengajar dan secara penuh menggunakan kurikulum dimana sekolah
tersebut berlaku. Dalam keterpaduan ini, guru pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai
konsultan bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orang tua anak berkebutuhan
khusus. Sebagai konsultan, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat kurikulum,
maupun permasalahan dalam mengajar anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu
disediakan ruang konsultasi untuk guru pembimbing khusus.
Pendekatan, metode, cara penilaian yang digunakan pada kelas biasa ini tidak berbeda
dengan yang digunakan dalam seolah umum. Kalaupun terdapat penyesuaian untuk beberapa
kasus ringan saja atau sangat memungkinkan dilakukan oleh guru. Misalnya, untuk anak
tunanetra untuk pelajaran menggambar, matematika, menulis, membaca, perlu disesuaikan
dengan kondisi anak. Untuk anak tunarungu mata pelajaran kesenian, bahasa asing/bahasa
Indonesia (lisan) perlu disesuaikan dengan kemampuan wicara anak. Bentuk keterpaduan ini
sering juga disebut dengan keterpaduan penuh.
Kelas Biasa
Di kelas biasa ini, ABK bersama-sama dengan siswa pada umumnya terlibat dalam proses
belajar mengajar dan secara penuh menggunakan kurikulum dimana sekolah
tersebut berlaku. Dalam keterpaduan ini, guru pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai
konsultan bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orang tua anak berkebutuhan
khusus. Sebagai konsultan, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat kurikulum,
maupun permasalahan dalam mengajar anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu
disediakan ruang konsultasi untuk guru pembimbing khusus.
Pendekatan, metode, cara penilaian yang digunakan pada kelas biasa ini tidak berbeda
dengan yang digunakan dalam seolah umum. Kalaupun terdapat penyesuaian untuk beberapa
kasus ringan saja atau sangat memungkinkan dilakukan oleh guru. Misalnya, untuk anak
tunanetra untuk pelajaran menggambar, matematika, menulis, membaca, perlu disesuaikan
dengan kondisi anak. Untuk anak tunarungu mata pelajaran kesenian, bahasa asing/bahasa
Indonesia (lisan) perlu disesuaikan dengan kemampuan wicara anak. Bentuk keterpaduan ini
sering juga disebut dengan keterpaduan penuh.
Pada kelas ini, ABK belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum dimana sekolah
tersebut berlaku serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang
tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak reguler.
Kelas Khusus
Siswa berkebutuhan khusus dapat bermain bersama-sama dengan siswa pada umumnya.
Ini berarti ada proses sosialisasi sedini mungkin, saling mengenal antara siswa
berkebutuhan khusus dengan anak-anak pada umumnya, begitu pula sebaliknya. Ini akan
berdampak baik pada pertumbuhan sikap siswa-siswa tersebut, yang akan bermanfaat
pula kelak jika mereka telah dewasa.
Siswa berkebutuhan khusus mendapatkan suasana yang lebih positif, karena di sekolah
umum ada lebih banyak siswa dibanding SLB.
Siswa berkebutuhan khusus dapat membangun rasa percaya diri yang lebih baik.
Siswa berkebutuhan khusus dapat bersekolah di mana saja, bahkan sekolah yang dekat
dengan tempat tinggalnya; jadi tidak perlu terpisah dari keluarga mereka.
Dari sisi kurikulum, dengan menempuh pendidikan di sekolah umum, anak berkebutuhan
khusus akan mendapatkan materi pelajaran yang sama dengan siswa pada umumnya.
Potensi anak dapat lebih cepat berkembang karena pembelajarannya menggunakan
pendekatan individual atau kelompok kecil
Bentuk layanan pendidikan inklusif yakni layanan pendidikan yang di dalam sekolah/kelas
umum terdapat peserta didik yang beragam, termasuk di dalamnya adalah anak-anak yang
tumbuh dan berkembang secara berbeda dibanding dengan anak-anak pada umumnya. (ingat
materi tentang keberagaman). Bentuk layanan ini prinsipnya adalah mereka hadir bersama-sama,
saling menghargai dan menerima perbedaan, semua bisa berpartisipasi dalam kegiatan belajar
sesuai dengan kemampuannya masing-masing dan diyakini semua anak dalam kelas bisa
mencapai prestasi sesuai kondisinya masing-masing.
Bentuk layanan pendidikan inklusif
Bentuk layanan pendidikan inklusif yakni layanan pendidikan yang di dalam sekolah/kelas
umum terdapat peserta didik yang beragam, termasuk di dalamnya adalah anak-anak yang
tumbuh dan berkembang secara berbeda dibanding dengan anak-anak pada umumnya. (ingat
materi tentang keberagaman). Bentuk layanan ini prinsipnya adalah mereka hadir bersama-sama,
saling menghargai dan menerima perbedaan, semua bisa berpartisipasi dalam kegiatan belajar
sesuai dengan kemampuannya masing-masing dan diyakini semua anak dalam kelas bisa
mencapai prestasi sesuai kondisinya masing-masing.