Anda di halaman 1dari 14

Pengertian Pendidikan Inklusif

Definisi Pendidikan Inklusif yang dirumuskan dalam Seminar Agra, India pada tahun


1998 yang disetujui oleh 55 peserta dari 23 negara merumusakan poin-poin sebagai berikut.

1. lebih luas daripada pendidikan formal: mencakup pendidikan di rumah, masyarakat,


sistem nonformal dan informal.
2. mengakui bahwa semua anak dapat belajar.
3. memungkinkan struktur, sistem dan metodologi pendidikan memenuhi kebutuhan semua
anak.
4. mengakui dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak: usia, jender, etnik, bahasa,
status HIV/AIDS dll.
5. merupakan proses yang dinamis yang senantiasa berkembang sesuai dengan budaya dan
konteksnya.
6. merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mempromosikan masyarakat yang
inklusif.

Definisi berikutnya, Sapon-Shevin dan O’Neil, 1994 (Dir. Pem. SLB, 2007:5) menyatakan


bahwa ‘pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak
berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman
seusianya’.

Landasan Filosofis Pendidikan Inklusif

Abdulrahman dalam Kemdikbud (2011) mengemukakan bahwa landasan filosofis penerapan


pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita–cita
yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini
sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertikal maupun horizontal,
yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di muka bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai
dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan
pengendalian diri, dan sebagainya, sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan
suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan sebagainya.
Walaupun beragam namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, menjadi kewajiban
untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan.  

Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, keberagaman termasuk di dalamnya anak
berkebutuhan khusus merupakan salah satu bentuk kebhinekaan, seperti halnya perbedaan suku,
ras, bahasa, budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkebutuhan khusus pastilah dapat
ditemukan keunggulan–keunggulan tertentu. Kelemahan dan keunggulan tidak memisahkan
peserta didik yang satu dengan yang lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya,
atau agama, tetap dalam kesatuan. Hal ini harus terus diwujudkan dalam sistem pendidikan.
Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar peserta didik
yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat
toleransi yang nampak atau dicita–citakan dalam kehidupan sehari–hari.

Landasan Yuridis Pendidikan Inklusif

Landasan yuridis tentang pendidikan inklusif memberikan kerangka dasar bahwa


implementasi pendidikan inklusif memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan. Implementasi
pendidikan inklusif di Indonesia, memiliki dasar hukum atau yuridis yang terkait.

Dalam Undang-Undang Dasar Amandemen 1945, Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ditambahkan juga dalam ayat (2) dalam pasal
yang sama, bahwa “’Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya”. Selanjutnya terkait dengan perlindungan anak, dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, padal Pasal 48, menyatakan bahwa
“Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua
anak”. Kemudian pada Pasal 48 dari Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, dinyatakan
bahwa “’Negara, Pemerintah, Keluarga, dan Orang tua wajib memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan”. 

Dalam konteks pendidikan nasional, penyelenggaraan pendidikan inklusif memiliki dasar hukum
yang jelas. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 ayat (1) “Setiap warga negara mempunyai hak yang
sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Ayat (2): “Warga negara yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan
khusus”. Dalam hal aksesibilitas pendidikan, dinyatakan dalam  Pasal 11 ayat (1) dan (2)
“Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Pasal
32 ayat (1)  ”Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat
kesulitan dalam mengikuti  proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial,
dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. Dalam penjelasan Pasal 15 alinea
terakhir dijelaskan bahwa ”Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk
peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang
diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan
dasar dan menengah”. Pasal 45 ayat (1) ”Setiap satuan pendidikan formal dan non formal
menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan
kejiwaan peserta didik”.

Pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 32 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi
dan Kompetensi Guru Pendidikan Khusus, “Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang
memberikan kesempatan bagi peserta didik berkebutuhan khusus karena kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa
untuk belajar bersama-sama dengan peserta didik lain pada satuan pendidikan umum maupun
kejuruan, dengan cara menyediakan sarana, tenaga pendidik, tenaga kependidikan dan kurikulum
yang disesuaikan dengan kebutuhan individual peserta didik.”

Dalam penjelasan Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas, “Yang dimaksud dengan ‘pendidikan secara inklusif’ adalah pendidikan bagi peserta
didik Penyandang Disabilitas untuk belajar bersama dengan peserta didik bukan Penyandang
Disabilitas di sekolah reguler atau perguruan tinggi.

Landasan Empiris Pendidikan Inklusif

Terkait dengan landasan empiris, hasil penelitian menunjukkan bahwa klasifikasi dan


penempatan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah, kelas, atau tempat khusus tidak
efektif dan diskriminatif, peneliti merekomendasikan pendidikan khusus secara segregatif hanya
diberikan secara terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman dan
Messick, 1982). Hasil metaanalisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50
buah penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994)
terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik
terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkebutuhan khusus dan teman
sebayanya.

Selain itu, Depdiknas (2007) mengemukakan bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif


mendapatkan dukungan dari berbagai event atau moment, baik internasional maupun nasional.
Diantaranya adalah sebagai berikut: 

a. Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights), Tahun 1948


b. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), Tahun 1989
c. Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (World Conference on Education for
All) Tahun 1990
d. Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi Orang
Berkelainan (The Standard Rules on The Equalization of Opportunities for Persons with
Disabilities)
e. Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusi (The Salamanca Statement on
Inclusive Education) Tahun 1994
f. Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua (The Dakar Commitment on
Education for All) Tahun 2000
g. Deklarasi Bandung Tahun 2004 dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan
inklusi”
h. Rekomendasi Bukittinggi Tahun 2005, menyatakan bahwa pendidikan inklusif dan ramah
terhadap anak semestinya dipandang sebagai:

1. Sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh yang


akan menjamin bahwa strategi nasional untuk ‘pendidikan untuk semua’ adalah
benar-benar untuk semua;
2. Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan
pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian
dari program-program untuk perkembangan anak usia dini, pra sekolah, pendidikan
dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi
kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan
terhadap marginalisasi dan eksklusi; dan
3. Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan
menghormati perbedaan individu semua warga negara.

Prinsip Pendidikan Inklusif

Konsep yang paling mendasar dalam pendidikan inklusif adalah bagaimana agar anak dapat
belajar bersama, belajar untuk dapat hidup bersama dijabarkan dalam tiga prinsip, yaitu:

a. Setiap anak, termasuk dalam komunitas kelas atau kelompok.


b. Hari sekolah diatur sepenuhnya melalui tugas-tugas pembelajaran kooperatif dengan
perbedaan pendidikan dan kefleksibelan dalam memilih dengan sepuas hati.
c. Guru bekerjasama dan mendapat pengetahuan pendidikan umum, khusus dan teknik
belajar individu serta keperluan-keperluan pelatihan dan bagaimana mengapresiasikan
keanekaragaman dan perbedaan individu dalam pengorganisasian kelas.

Sekolah seyogyanya mengakomodasikan semua anak tanpa memandang kondisi fisik,


intelektual, sosial, emosi, linguistik, ataupun kondisi-kondisi lainnya. Ini seyogyanya mencakup
anak berkelainan dan anak berbakat, anak jalanan dan anak pekerja, anak dari penduduk
terpencil ataupun pengembara, anak dari kelompok linguistik, etnik ataupun kebudayaan
minoritas, serta anak dari daerah atau kelompok lain yang tak beruntung (UNESCO, dalam
Hermansyah, 2013).

Prinsip Pendidikan Inklusif

Lynch, sebagaimana disebutkan oleh Budiyanto dalam Hermansyah (2013) mengajukan tujuh


prinsip menuju terwujudnya UPE (Universal Primary Education). Ketujuh prinsip tersebut
adalah sebagai berikut: 

1. Perkembangan Kebijakan, Kerangka Hukum dan Sistem Kelembagaan


2. Komitmen pada Filsafat Pendidikan yang Berpusat Pada Anak (Child- Centered). 
3. Penekanan pada Keberhasilan dan Peningkatan Kualitas. 
4. Memperkuat Hubungan Antara Sistem Reguler dan Sistem Khusus. 
5. Komitmen untuk Berbagi Tanggung Jawab dalam Masyarakat. 
6. Pengakuan oleh Para Profesional Tentang Keragaman yang Lebih Besar. 
7. Komitmen terhadap pendekatan yang holistik Prinsip holistik dan pendekatan
perkembangan pada pendidikan berhubungan dengan konsep community shared
responsibility.

Prinsip Pendidikan Inklusif

Dalam upaya menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif di sekolah inklusif, Depdiknas
(2007) telah merumuskan prinsip-prinsip pembelajaran di sekolah inklusif, yakni sebagai
berikut:

1. Prinsip motivasi; guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap
memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar- mengajar.
2. Prinsip latar atau konteks; guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan
contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal
mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya
tidak terlalu perlu bagi anak.
3. Prinsip hubungan sosial; dalam kegiatan belajar-mengajar, guru perlu mengembangkan
strategi pembelajaran mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan
siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, serta interaksi banyak arah.
4. Prinsip individualisasi; guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap
anak secara mendalam, baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam
menyerap materi pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, dan
perilakunya, sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat
perhatian dan perlakuan yang sesuai.

Sekolah seyogyanya mengakomodasikan semua anak tanpa memandang kondisi fisik,


intelektual, sosial, emosi, linguistik, ataupun kondisi-kondisi lainnya. Ini seyogyanya mencakup
juga anak berbakat, anak jalanan dan anak pekerja, anak dari penduduk terpencil ataupun
pengembara, anak dari kelompok linguistik, etnik ataupun kebudayaan minoritas, serta anak dari
daerah atau kelompok lain yang tak beruntung (UNESCO, dalam Hermansyah, 2013).

Materi 2

Index for Inclusion atau diterjemahkan menjadi Indeks Inklusi merupakan konsep yang
dikembangkan pertama kali oleh Booth dan Ainscow pada tahun 2000, dan dalam
perkembangannya mengalami perubahan sampai dengan edisi terbaru di tahun 2020. Secara
umum Indeks Inklusi memberikan panduan untuk mendukung  sekolah dalam proses
pengembangan sekolah inklusif, berdasarkan sudut pandang pemerintah, peserta didik, orang
tua/wali dan anggota masyarakat lainnya. Lebih lanjut, Indeks Inklusi juga dapat digunakan
untuk mengukur kualitas praktik pendidikan inklusif di sekolah melalui asesmen diri oleh
sekolah. Hasil asesmen tentu dapat digunakan untuk melakukan evaluasi ataupun menentukan
prioritas pengembangan sekolah inklusif. Secara substansi, Indeks terbagi kedalam 3 dimensi
yang kemudian diuraikan menjadi indikator-indikator.
Dimensi Membangun Budaya Inklusif

Dimensi Membangun Budaya Inklusif terbagi dalam sub dimensi Membangun Komunitas dan
sub dimensi Membangun Nilai-Nilai Inklusif dengan indikator sebagai berikut:

A.1 Membangun Komunitas

Indikator:
A.1.1 Setiap orang merasa diterima.
A.1.2 Peserta didik saling membantu.
A.1.3 Staf sekolah berkolaborasi satu sama lain.
A.1.4 Staf sekolah dan peserta didik memperlakukan satu sama lain dengan hormat.
A.1.5 Ada kemitraan antara staf sekolah dan orang tua/wali.
A.1.6 Staf sekolah dan pimpinan daerah bekerja sama dengan baik.
A.1.7 Semua masyarakat sekitar terlibat di sekolah.

A.2 Membangun Nilai-Nilai Inklusif

Indikator:
A.2.1 Harapan yang tinggi untuk semua peserta didik.
A.2.2 Staf sekolah, pimpinan daerah, peserta didik dan orang tua/wali memiliki pemahaman
filosofi inklusi yang serupa
A.2.3 Peserta didik sama-sama dihargai.
A.2.4 Staf  sekolah dan peserta didik memperlakukan satu sama lain sebagai manusia yang
memiliki perannya masing-masing.
A.2.5 Staf sekolah berusaha menghilangkan hambatan belajar dan  hambatan partisipasi dalam
semua aspek sekolah.
A.2.6 Sekolah berupaya meminimalkan praktik diskriminatif

Dimensi Menghasilkan Kebijakan Inklusif

Dimensi Menghasilkan Kebijakan Inklusif terbagi dalam sub dimensi Mengembangkan Sekolah
untuk Semua dan Mengorganisir Dukungan untuk Keragaman dengan indikator sebgai berikut:

B.1 Mengembangkan Sekolah untuk Semua

Indikator:
B.1.1 Pengangkatan dan promosi staf  sekolah dilaksanakan secara adil.
B.1.2 Semua staf sekolah baru didampingi sehingga dapat menetap di sekolah.
B.1.3 Sekolah berusaha untuk menerima semua peserta didik dari wilayahnya.
B.1.4 Sekolah membuat bangun yang dapat diakses secara fisik oleh semua orang.
B.1.5 Semua peserta didik baru didampingi sehingga dapat menetap di sekolah.
B.1.6 Sekolah mengatur kelompok pengajaran agar semua peserta didik dihargai.

B.2 Mengorganisir Dukungan untuk Keragaman

Indikator:
B.2.1 Semua bentuk dukungan dikoordinasikan.
B.2.2 Kegiatan pengembangan staf sekolah membantu staf sekolah untuk menanggapi
keragaman peserta didik.
B.2.3 Kebijakan 'kebutuhan pendidikan khusus' adalah kebijakan yang inklusi.
B.2.4 Kode Praktik/Panduan Praktik Kebutuhan Pendidikan Khusus digunakan untuk
mengurangi hambatan belajar dan hambatan partisipasi semua peserta didik.
B.2.5 Dukungan bagi mereka yang belajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua dikoordinasikan
dengan dukungan pembelajaran.
B.2.6 Kebijakan dukungan pada aspek perkembangan dan perilaku dikaitkan dengan
pengembangan kurikulum dan kebijakan dukungan pembelajaran
B.2.7 Penanganan disipilin yang berlebihan dikurangi.
B.2.8 Partisipasi kehadiran yang rendah dikurangi.
B.2.9 Perundungan diminimalisir

Dimensi Mengembangkan Praktik Inklusif

Dimensi Mengembangkan Praktik Inklusif terbagi dalam sub dimensi Mengatur Pembelajaran
dan Memobilisasi Sumber Daya dengan indikator sebgai berikut:

C.1 Mengatur pembelajaran

C.1.1 Pengajaran direncanakan dengan mempertimbangkan pembelajaran unruk semua peserta


didik.
C.1.2 Pelajaran mendorong partisipasi semua peserta didik.
C.1.3 Pelajaran mengembangkan pemahaman tentang perbedaan.
C.1.4 Peserta didik secara aktif terlibat dalam gaya pembelajaran mereka sendiri.
C.1.5 Peserta didik belajar secara kolaboratif.
C.1.6 Penilaian berkontribusi pada pencapaian semua peserta didik.
C.1.7 Disiplin di kelas didasarkan pada rasa saling menghormati.
C.1.8 Guru merencanakan, mengajar dan mereviu secara kolaboratif.
C.1.9 Guru bertanggungjawab untuk mendukung pembelajaran dan partisipasi semua peserta
didik.
C.1.10 Asisten pengajar mendukung pembelajaran dan partisipasi semua peserta didik.
C.1.11 Pekerjaan rumah berkontribusi pada pembelajaran untuk semua.
C.1.12 Semua peserta didik mengikuti kegiatan di luar kelas.

C.2 Memobilisasi sumber daya

C.2.1 Perbedaan peserta didik digunakan sebagai sumber belajar mengajar.


C.2.2 Keahlian staf sekolah dimanfaatkan sepenuhnya.
C.2.3 Staf sekolah mengembangkan sumber daya untuk mendukung pembelajaran dan
partisipasi.
C.2.4 Sumber daya  di masyarakat diketahui dan digunakan.
C.2.5 Sumber daya sekolah didistribusikan secara adil sehingga mendukung inklusi

Mekanisme Penerimaan PDBK di Sekolah Inklusif

Pendahuluan

Layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus dapat dilakukan dengan
mengimplementasikan sistem pendidikan inklusif. Saat ini Pemerintah telah mengakomodasi
penyelenggaraan pendidikan inklusif dengan menerbitkan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009
tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Kedudukan peserta didik berkebutuhan khusus juga
dikuatkan dengan Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. 

Layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus dapat dilakukan dengan
mengimplementasikan sistem pendidikan inklusif. Saat ini Pemerintah telah mengakomodasi
penyelenggaraan pendidikan inklusif dengan menerbitkan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009
tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa, khususnya terdapat pada Pasal 6 ayat 1 sampai dengan 3,
yaitu:

1. Pemerintah kabupaten/kota menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif sesuai


dengan kebutuhan peserta didik.
2. Pemerintah kabupaten/kota menjamin tersedianya sumber daya pendidikan inklusif pada
satuan pendidikan yang ditunjuk.
3. Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu tersedianya sumber daya pendidikan
inklusif.

Peraturan di atas menunjukkan bahwa seluruh pemerintah daerah harus menjamin


terselenggaranya pendidikan inklusif di daerahnya masing-masing. Minimal terdapat satu
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dalam satu kota. Hal ini perlu untuk memastikan
bahwa semua warga negara berhak untuk mendapatkan layanan pendidikan. 

Penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus seyogyanya melibatkan berbagai unit terkait,


antara lain orang tua peserta didik, sekolah, rumah sakit atau puskesmas, dan dinas
pendidikan setempat. Pada beberapa sekolah peserta didik berkebutuhan khusus tidak dapat
diterima di sekolah jika tidak membawa surat keterangan hasil asesmen dari rumah sakit dan atau
keterangan dari psikolog. Untuk kondisi di daerah tertentu surat keterangan dari rumah sakit atau
dari psikolog menjadi sangat sulit ketika pemahaman tentang mekanisme layanan tidak
sepenuhnya dipahami, terlebih-lebih ketersediaan sumber daya dan aksesibilitas sangat terbatas.

Prosedur Penetapan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif

Sebagai informasi, untuk keperluan administrasi dan pembinaan, serta kelancaran dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif, sekolah perlu mengikuti prosedur sebagai berikut.

1. Sekolah yang akan menerima anak berkebutuhan khusus mengajukan proposal


penyelenggaraan pendidikan inklusif (surat pemberitahuan tentang kesiapan
menyelenggarakan pendidikan inklusif) kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
Sedangkan sekolah yang telah memiliki peserta didik berkebutuhan khusus melaporkan
penyelenggaraan pendidikan inklusif kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
2. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota menindaklanjuti proposal (surat pemberitahuan) /
laporan dari sekolah yang bersangkutan kepada Dinas Pendidikan Provinsi.
3. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan Provinsi melakukan visitasi ke
sekolah yang bersangkutan.
4. Dinas Pendidikan Provinsi menetapkan sekolah yang bersangkutan sebagai
penyelenggara pendidikan inklusif dengan menerbitkan surat penetapannya, dengan
tembusan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, dan Direktorat  Pembinaan Sekolah
Luar Biasa.

Penerimaan PDBK

Penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus seyogyanya melibatkan berbagai unit terkait,
antara lain orang tua peserta didik, sekolah, rumah sakit atau puskesmas, dan dinas pendidikan
setempat.  Pada beberapa sekolah peserta didik berkebutuhan khusus tidak dapat diterima di
sekolah jika tidak membawa surat keterangan hasil asesmen dari rumah sakit dan atau
keterangan dari psikolog. 

Namun demikian, pada umumnya sekolah sering mengabaikan persyaratan di atas. Sehingga
menimbulkan kesulitan bagi guru dalam melayani peserta didik yang bersangkutan. Untuk
kondisi di daerah tertentu surat keterangan dari rumah sakit atau dari psikolog menjadi sangat
sulit ketika pemahaman tentang mekanisme layanan tidak sepenuhnya dipahami, terlebih-lebih
ketersediaan sumber daya dan aksesibilitas sangat terbatas. 
Secara grafis mekanisme penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif dapat dilakukan dalam beberapa skema berikut.

Skema 1

Identifikasi

Identifikasi adalah suatu proses yang dilakukan secara sistematis untuk menemukenali sesuatu
benda atau seseorang dengan menggunakan instrumen terstandar. Dalam konteks pendidikan
khusus identifikasi merupakan proses menemukenali peserta didik sebelum yang bersangkutan
mengikuti pembelajaran.

Proses identifikasi peserta didik meliputi pengenalan kemampuan (awal), kelemahan atau
hambatan, dan kebutuhan untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya. Proses belajar yang
diberikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus adalah proses untuk memaksimalkan potensi
yang dimiliki peserta didik yang bersangkutan dengan meminimalkan hambatan yang
dimilikinya.

Tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi apakah seorang anak menunjukkan
karakteristik unik (fisik, intelektual, sosial, emosional, dan lain sebagainya. Hasil identifikasi
akan menjadi dasar dalam proses pembelajaran bagi peserta didik yang bersangkutan.
Identifikasi peserta didik dilakukan untuk lima hal, yaitu penjaringan (screening),
pengalihtanganan (referal), klasifikasi, perencanaan pembelajaran, dan pemantauan kemajuan
belajar.

Alat (instrumen) identifikasi anak berkebutuhan khusus (AIABK)disusun untuk mengetahui


kondisi dan asal usul peserta didik. Alat ini terdiri atas 4 (empat) format. Masing masing format
berisi tentang data dan informasi peserta didik yang diidentifikasi. Format 1 dan format 2
merupakan format yang berisi data pendukung AIABK, format 3 merupakan alat identidikasi
yang digunakan, dan format 4 adalah rekap hasil identifikasi. 

Klik Disini untuk mengunduh Format Identifikasi.

Silakan unduh dan pelajari instrumen identifikasi diatas. Anda akan mempraktekkan penggunaan
intrumen tersebut pada tahap Penguasaan Ketrampilan.

Asesmen

Asesmen adalah upaya untuk mengetahui kemampuan-kemampuan yang dimiliki,


hambatan/kesulitan yang dialami, mengetahui latar belakang mengapa hambatan/kesulitan itu
muncul dan untuk mengetahui bantuan apa yang dibutuhkan oleh yang bersangkutan.
Berdasarkan data hasil asesmen tersebut dapat dibuat program pembelajaran yang tepat bagi
anak itu.

Asesmen dalam pendidikan khusus dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu:
1) asesmen berazaskan kurikulum (asesmen akademik), dan
2) asesmen berazaskan perkembangan (asesmen nonakademik), dan
3) asesmen kekhususan. 

Teknik pelaksanaan asesmen meliputi tes, wawancara, observasi, dan analisis pekerjaan
anak. Dalam suatu proses asesmen, biasanya semua teknik itu dapat digunakan untuk melengkapi
data yang dibutuhkan, tidak hanya berpatok pada satu teknik saja.

Asesmen
Ketika ditemukan peserta didik yang memiliki perbedaan dengan peserta didik pada umumnya,
baik dalam bidang akademis maupun non akademis sebaiknya  stakeholder melakukan hal-hal
sebagai berikut:

Peran guru

 Melakukan pendekatan persuasif terhadap peserta didik


 Berdiskusi dengan teman sejawat dan kepala sekolah
 Mengkonfirmasikan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan peserta didik dengan orang tua
ketika di rumah.

Peran Orang tua

 Berkoordinasi dengan Rumah Sakit (Poli Tumbuh Kembang Anak)


 Berkonsultasi dengan Dokter anak dan atau Psikolog 
 Berkoordinasi dengan Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa) terdekat 

Peran Kepala sekolah

 Berkoordinasi dengan Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa) terdekat 


 Melapor kepada Dinas pendidikan setempat 
 Sekolah membuat proposal penyelenggaraan pendidikan inklusi
 Proposal diajukan kepada Dinas Pendidikan Propinsi setelah memperoleh rekomendasi
dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.

Peran Dinas Pendidikan 

 Tim verifikasi Dinas Pendidikan Propinsi  mengkaji propsal (surat) yang telah diajukan
oleh pihak sekolah.
 Tim verifikasi Propinsi terdiri dari unsur, Dinas Pendidikan Propinsi, Perguruan tinggi,
Organisasi profesi.
 Tim verifikasi mengadakan studi kelayakan kepada sekolah yang telah mengadakan
permohonan,
 Dinas Pendidikan Propinsi menerbitkan surat penetapan penyelenggaraan pendidikan
inklusi, bagi sekolah yang dinyatakan memenuhi persyaratan yang telah ditatapkan oleh
tim verifikasi.

Intervensi

Layanan intervensi dimaksudkan untuk menangani hambatan belajar dan hambatan


perkembangan, agar mereka dapat berkembang secara optimal. oleh karena itu target layanan
intervensi adalah perkembangan optimal yang harus dicapai oleh seorang anak yang mengalami
hambatan perkembangan dan hambatan belajar, sebagai akibat ketunaan. Intervensi dilakukan
setelah dilakukan adanya hasil asemen diketahui.

Penempatan dan Tindak Lanjut

Pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas inklusif secara umum sama dengan kegiatan proses
belajar mengajar pada kelas reguler. Namun pada kelas inklusif selain terdapat peserta didik
reguler terdapat pula Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK). Di samping menerapkan
prinsip-prinsip umum dalam mengelola proses belajar mengajar maka guru harus memperhatikan
prinsip-prinsip khusus yang sesuai dengan kebutuhan PDBK. Dalam melaksanakan kegiatan
belajar mengajar hendaknya disesuaikan dengan model penempatan PDBK yang dipilih
berdasarkan hasil asesmen. Penempatan kegiatan belajar dalam kelas bersama-sama peserta didik
lainya adalah cara yang sangat inklusif; non-diskriminasi dan fleksibel; sehingga guru harus
membuat rancangan kegiatan pembelajaran dengan mempertimbangkan modifikasi dan adaptasi
yang dibutuhkan.
Bentuk layanan Segregasi

Pendahuluan

Layanan Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus secara umum terbagi ke dalam tiga bentuk
yaitu segregasi, integrasi dan inklusi. Ketiga bentuk ini memiliki perbedaan diantaranya
mengenai sistem kurikulum yang diterapkan. 

Pada materi ini, penjelasan lebih difokuskan pada bentuk layanan Segregasi yaitu bentuk


layanan pendidikan bagi Anak Bekebutuhan Khusus yang mengacu pada jenis atau
karakteristik spesifik dari ketunaan yang dialami seseorang. Oleh karenanya setiap ketunaan
yang berbeda akan mendapatkan layanan berbeda. Bentuk layanan pendidikan segregasi
memiliki sistem lingkungan dan kurikulum yang berbeda dari sekolah umum (tersendiri). Bentuk
layanan pendidikan bagi ABK secara segregatif tentu masih sangat dibutuhkan bagi ABK.

Sistem layanan segregasi yaitu penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan secara khusus
dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan umum. Dengan kata lain anak berkebutuhan
khusus diberikan layanan pendidikan pada lembaga pendidikan khusus seperti di Sekolah Luar
Biasa (SLB).

SLB merupakan bentuk unit pendidikan dengan penyelenggaraan sekolah mulai dari tingkat
persiapan sampai dengan tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan satu
kepala sekolah
Sekolah Khusus

Penyelenggaraan sekolah khusus ini pada awalnya diselenggarakan sesuai dengan satu kelainan
saja, sehingga dikenal dengan SLB untuk tunanetra (SLB-A), SLB untuk tunarungu (SLB-B),
SLB untuk tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan SLB untuk tunalaras (SLB-
E). Di setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut. Sistem
pengajarannya lebih mengarah ke sistem individualisasi. Terdapat satu jenis anak berkebutuhan
khusus yakni Autis/Autism Spectrum Disorder (ASD) yang menjadi perhatian dalam sistem
sendidikan khusus sehingga sekrang ada SLB Autis.

Regulasi yang memayungi sekolah khusus ini adalah UU RI Nomor 2 Tahun 1989 dan PPNo.72
Tahun 1991, dalam pasal 4 PP No.72 Tahun 1991 satuan pendidikan luar biasa terdiri dari:

a. Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dengan lama pendidikan minimal 6 tahun.
b. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) minimal 3 tahun.
c. Sekolah Menengah Luar Biasa (SMALB) minimal 3 tahun.

Di samping satuan pendidikan di atas, pasal 6 PP No.72 Tahun 1991, juga dimungkinkan
penyelenggaraaan Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB) dengan lama pendidikan satu
sampai tiga tahun.

Sekolah Khusus

Penyelenggaraan sekolah khusus ini pada awalnya diselenggarakan sesuai dengan satu kelainan
saja, sehingga dikenal dengan SLB untuk tunanetra (SLB-A), SLB untuk tunarungu (SLB-B),
SLB untuk tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan SLB untuk tunalaras (SLB-
E). Di setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut. Sistem
pengajarannya lebih mengarah ke sistem individualisasi. Terdapat satu jenis anak berkebutuhan
khusus yakni Autis/Autism Spectrum Disorder (ASD) yang menjadi perhatian dalam sistem
sendidikan khusus sehingga sekrang ada SLB Autis.

Regulasi yang memayungi sekolah khusus ini adalah UU RI Nomor 2 Tahun 1989 dan PPNo.72
Tahun 1991, dalam pasal 4 PP No.72 Tahun 1991 satuan pendidikan luar biasa terdiri dari:
a. Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dengan lama pendidikan minimal 6 tahun.
b. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) minimal 3 tahun.
c. Sekolah Menengah Luar Biasa (SMALB) minimal 3 tahun.

Di samping satuan pendidikan di atas, pasal 6 PP No.72 Tahun 1991, juga dimungkinkan
penyelenggaraaan Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB) dengan lama pendidikan satu
sampai tiga tahun.

Sekolah Luar Biasa dengan Kelas Jauh

Kelas jauh adalah lembaga yang disediakan untuk memberi layanan


pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB.
Penyelenggaraan kelas jauh merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan
wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar.
Anak berkebutuhan khusus tersebar di seluruh pelosok tanah air, sedangkan sekolah-sekolah
yang khusus mendidik mereka masih sangat terbatas di kota/kabupaten. Oleh karena itu, dengan
adanya kelas jauh/kelas kunjung menjadi tanggung jawab SLB terdekatnya. Tenaga guru yang
bertugas di kelas tersebut berasal dari guru SLB- SLB di dekatnya. Dengan kata lain, kelas jauh
tersebut sebagai afiliansi dari SLB terdekat sebagai sekolah induk.
Sekolah Luar Biasa dengan Guru Kunjung

Berbeda halnya dengan kelas jauh, kelas kunjung adalah suatu layanan terhadap ABK yang tidak
siap mengikuti proses pembelajaran di SLB terdekat. Jadi, guru berfungsi sebagai guru kunjung
(itenerant teacher) yang datang ke rumah-rumah ABK untuk melayani mereka belajar. Kegiatan
admistrasinya dilaksanakan di SLB terdekat tersebut.

Kelebihan dari sistem layanan segregasi ini adalah (1) anak merasa
senasib, sehingga dapat menghilangkan rasa minder, rasa rendah diri, dan membangkitkan
semangat menyongsong kehidupan di hari-hari mendatang, (2) anak lebih mudah beradaptasi
dengan temannya yang sama-sama mengalami hambatan, (3) anak termotivasi dan bersaing
secara sehat dengan sesama temannya yang senasib di sekolahnya, dan anak lebih mudah
bersosialisasi tanpa dibayangi rasa takut bergaul, minder, dan rasa kurang percaya diri.

Adapun Kelemahan adalah (1) anak terpisah dari lingkungan anak lainnya sehingga anak sulit
bergaul dan menjalin komunikasi dengan anak-anak pada umumnya, (2) anak merasa terpasung
dan dibatasi pergaulanya dengan anak-anak kebutuhan khusus saja sehingga pada giliranya dapat
menghambat perkembangan sosialisasinya di masyarakat, dan (3) anak merasakan ketidakadilan
dalam kehidupan di sekolah yang terbatas bagi mereka yang tergolong berkebutuhan khusus.

Bentuk Layanan Integrasi/Terpadu


Pendahuluan

Bentuk layanan pendidikan integrasi (mainstreaming) seringkali disebut dengan istilah sekolah


terpadu. Bentuk layanan pendidikan ini merupakan integrasi sosial, instruksional dan temporal
anak berkebutuhan khusus dengan teman-teman lainnya yang “normal”, yang didasarkan pada
kebutuhan pendidikan yang diukur secara individual. Pada pelaksanaanya memerlukan
klasifikasi tanggung jawab koordinasi dalam penyusanan program oleh tim dari berbagai profesi
dan disiplin (Kauffman, Gottlieb, Agard dan Kukic, 1975). Anak-anak berkebutuhan khusus
dapat belajar di kelas umum dengan syarat harus mampu mengikuti kegiatan di kelas tersebut
dan kurikulum yang digunakan sama dengan anak lainnya.

Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus dalam
satu kelas dalam jumlah tertentu dari jumlah siswa keseluruhan. Hal ini untuk menjaga beban
guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus melayani berbagai macam jenis anak
berkebutuhan khusus.

Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak berkenutuhan khusus, di sekolah terpadu
disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungsi sebagai konsultan bagi guru
kelas, kepala sekolah atau anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu GPK juga berfungsi
sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus atau guru kelas pada kelas khusus.

Ada 3 bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menurut
Depdiknas (1986), ketiga bentuk tersebut yaitu:

a. Kelas Biasa
b. Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
c. Bentuk Kelas Khusus.

Kelas Biasa

Di kelas biasa ini, ABK bersama-sama dengan siswa pada umumnya terlibat dalam proses
belajar mengajar dan secara penuh menggunakan kurikulum dimana sekolah
tersebut berlaku. Dalam keterpaduan ini, guru pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai
konsultan bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orang tua anak berkebutuhan
khusus. Sebagai konsultan, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat kurikulum,
maupun permasalahan dalam mengajar anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu
disediakan ruang konsultasi untuk guru pembimbing khusus.

Pendekatan, metode, cara penilaian yang digunakan pada kelas biasa ini tidak berbeda
dengan yang digunakan dalam seolah umum. Kalaupun terdapat penyesuaian untuk beberapa
kasus ringan saja atau sangat memungkinkan dilakukan oleh guru. Misalnya, untuk anak
tunanetra untuk pelajaran menggambar, matematika, menulis, membaca, perlu disesuaikan
dengan kondisi anak. Untuk anak tunarungu mata pelajaran kesenian, bahasa asing/bahasa
Indonesia (lisan) perlu disesuaikan dengan kemampuan wicara anak. Bentuk keterpaduan ini
sering juga disebut dengan keterpaduan penuh.

Kelas Biasa

Di kelas biasa ini, ABK bersama-sama dengan siswa pada umumnya terlibat dalam proses
belajar mengajar dan secara penuh menggunakan kurikulum dimana sekolah
tersebut berlaku. Dalam keterpaduan ini, guru pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai
konsultan bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orang tua anak berkebutuhan
khusus. Sebagai konsultan, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat kurikulum,
maupun permasalahan dalam mengajar anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu
disediakan ruang konsultasi untuk guru pembimbing khusus.

Pendekatan, metode, cara penilaian yang digunakan pada kelas biasa ini tidak berbeda
dengan yang digunakan dalam seolah umum. Kalaupun terdapat penyesuaian untuk beberapa
kasus ringan saja atau sangat memungkinkan dilakukan oleh guru. Misalnya, untuk anak
tunanetra untuk pelajaran menggambar, matematika, menulis, membaca, perlu disesuaikan
dengan kondisi anak. Untuk anak tunarungu mata pelajaran kesenian, bahasa asing/bahasa
Indonesia (lisan) perlu disesuaikan dengan kemampuan wicara anak. Bentuk keterpaduan ini
sering juga disebut dengan keterpaduan penuh.

Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus


Pada kelas ini, ABK belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum dimana sekolah
tersebut berlaku serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang
tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak reguler.

Pelayanan khusus tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing


khusus (GPK) dengan menggunakan pendekatan individual dan metode peragaan yang sesuai.
Untuk keperluan teersebut di ruang bimbingan khusus dilengkai dengan peralatan khusus untuk
memberikan latihan dan bimbingan khusus. Misalnya untuk anak tunanetra, di ruang bimbingan
khusus disediakan alat tulis braille, peralatan orientasi mobilitas. Keterpaduan pada tingkat ini
sering disebut juga keterpaduan sebagian.

Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus

Pada kelas ini, ABK belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum dimana sekolah
tersebut berlaku serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang
tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak reguler.

Pelayanan khusus tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing


khusus (GPK) dengan menggunakan pendekatan individual dan metode peragaan yang sesuai.
Untuk keperluan teersebut di ruang bimbingan khusus dilengkai dengan peralatan khusus untuk
memberikan latihan dan bimbingan khusus. Misalnya untuk anak tunanetra, di ruang bimbingan
khusus disediakan alat tulis braille, peralatan orientasi mobilitas. Keterpaduan pada tingkat ini
sering disebut juga keterpaduan sebagian.

Kelas Khusus

Kelebihan kelas khusus adalah sebagai berikut:

 Siswa berkebutuhan khusus dapat bermain bersama-sama dengan siswa pada umumnya.
Ini berarti ada proses sosialisasi sedini mungkin, saling mengenal antara siswa
berkebutuhan khusus dengan anak-anak pada umumnya, begitu pula sebaliknya. Ini akan
berdampak baik pada pertumbuhan sikap siswa-siswa tersebut, yang akan bermanfaat
pula kelak jika mereka telah dewasa.
 Siswa berkebutuhan khusus mendapatkan suasana yang lebih positif, karena di sekolah
umum ada lebih banyak siswa dibanding SLB.
 Siswa berkebutuhan khusus dapat membangun rasa percaya diri yang lebih baik.
 Siswa berkebutuhan khusus dapat bersekolah di mana saja, bahkan sekolah yang dekat
dengan tempat tinggalnya; jadi tidak perlu terpisah dari keluarga mereka.
 Dari sisi kurikulum, dengan menempuh pendidikan di sekolah umum, anak berkebutuhan
khusus akan mendapatkan materi pelajaran yang sama dengan siswa pada umumnya.
 Potensi anak dapat lebih cepat berkembang karena pembelajarannya menggunakan
pendekatan individual atau kelompok kecil

Di samping kelebihan terdapat juga kelemahannya, antara lain adalah sebagai berikut:

  Anak berkebutuhan khusus kadang-kadang masih mendapatkan stigma negatif dari


sebagian temannya sehingga dapat mengganggu perkembangan psikologisnya yang
berdampak pada perkembangan belajarnya.
 Anak berkebutuhan khusus dalam bersosialisasi kadang-kadang masih enggan untuk
bergaul dengan mereka yang bukan kategori anak berkebutuhan khusus.
 Sebahagian orangtua kadang-kadang tidak terima bila anaknya dicap sebagai anak
berkebutuhan khusus apalagi kalau dikelompokkan dengan sesama anak berkebutuhan
khusus dalam kelas khusus.
 Siswa anak berkebutuhan khusus harus menyesuaikan diri dengan metode pengajaran dan
kurikulum yang ada.

BENTUK LAYANAN INKLUSIF


Bentuk layanan pendidikan inklusif

Bentuk layanan pendidikan inklusif adalah pendidikan yang menghargai semua peserta didik


termasuk anak berkebutuhan khusus. Semua peserta didik berada dalam lingkungan yang
sama dan belajar dalam kelas yang sama sepanjang waktu. Kurikulum yang digunakan
adalah kurikulum sekolah tersebut dengan dilakukan modifikasi dan adaptasi sesuai kebutuhan
bagi semua peserta didik. 

Bentuk layanan pendidikan inklusif yakni layanan pendidikan yang di dalam sekolah/kelas
umum terdapat peserta didik yang beragam, termasuk di dalamnya adalah anak-anak yang
tumbuh dan berkembang secara berbeda dibanding dengan anak-anak pada umumnya. (ingat
materi tentang keberagaman). Bentuk layanan ini prinsipnya adalah mereka hadir bersama-sama,
saling menghargai dan menerima perbedaan, semua bisa berpartisipasi dalam kegiatan belajar
sesuai dengan kemampuannya masing-masing dan diyakini semua anak dalam kelas bisa
mencapai prestasi sesuai kondisinya masing-masing.
Bentuk layanan pendidikan inklusif

Bentuk layanan pendidikan inklusif adalah pendidikan yang menghargai semua peserta didik


termasuk anak berkebutuhan khusus. Semua peserta didik berada dalam lingkungan yang
sama dan belajar dalam kelas yang sama sepanjang waktu. Kurikulum yang digunakan
adalah kurikulum sekolah tersebut dengan dilakukan modifikasi dan adaptasi sesuai kebutuhan
bagi semua peserta didik. 

Bentuk layanan pendidikan inklusif yakni layanan pendidikan yang di dalam sekolah/kelas
umum terdapat peserta didik yang beragam, termasuk di dalamnya adalah anak-anak yang
tumbuh dan berkembang secara berbeda dibanding dengan anak-anak pada umumnya. (ingat
materi tentang keberagaman). Bentuk layanan ini prinsipnya adalah mereka hadir bersama-sama,
saling menghargai dan menerima perbedaan, semua bisa berpartisipasi dalam kegiatan belajar
sesuai dengan kemampuannya masing-masing dan diyakini semua anak dalam kelas bisa
mencapai prestasi sesuai kondisinya masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai