Anda di halaman 1dari 96

LITERASI MATEMATIKA

Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas dari Mata Kuliah
Literasi Matematika pada Jurusan
Pendidikan Matematika

Oleh:

Andi Nur Egidia Fahmi Ayu

NIM: 20 700 118 010

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN


UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan

rahmat-Nya sehingga saya dimudahkan dalam setiap langkah, terutama dalam

penyusunan makalah ini. Dalam makalah ini, saya berusaha untuk menguraikan

mengenai literasi matematika.

Keberhasilan dalam penyusunan makalah ini tentu tidak lepas dari pihak-

pihak yang turut membantu demi kelancaran penyelesaian makalah ini. Untuk itu

saya mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ahmad Farham Majid, S.Pd., M.Pd. selaku dosen mata kuliah Literasi

Matematika yang telah membimbing selama masa perkuliahan kelas Literasi

Matematika

2. Rekan-rekan kelas Pendidikan Matematika A yang memberikan dukungan

dan sumbangsih berupa fikiran dan waktu. Serta semua yang telah membantu

penyelesaian makalah ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih

terdapat kekurangan. Namun saya telah berusaha memberikan yang terbaik untuk

pembuatan makalah ini. Untuk itu saya berharap adanya kritik dan saran demi

perbaikan dimasa yang akan datang.

Akhir kata, harapan saya adalah semoga makalah ini membantu menambah

pengetahuan bagi pembaca.

Selayar, 29 April 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Pengertian Literasi Matematika

Perkmbangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi di era revolusi industri 4.0

menuntut pelakunya untuk memiliki kemampuan berfikir kritis dan kreatif.

Dengan kemampuan kreatif yang dimiliki manusia dapat menciptaakan sarana dan

prasarana yang dapat membantu manusia dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

Kemampuan berfikir kritis dan kreatif tentunya tidak didapatkan begitu saja,

semua harus diawali dengan membaca. Membaca merupakan jembatan ilmu,

dengan membaca dapat memperluas wawasan seseorang. Membaca disini bukan

sekedar hanya melafalkan huruf, tapi bagaimana kita menarik kesimpulan dari

informasi yang disajikan penulis. Karena pentingnya kegiatan membaca serta

kemampuan membaca, lembaga pendidikan harus memberikan perhatian terhadap

kegiatan yang satu ini.

Literasi matematika merupakan salah satu kemampuan yang dinilai dalam

PISA (Programme for International Student Assessment) yang diselenggarakan

oleh OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development), dalam

program ini setiap Negara akan dinilai sesuai dengan kemampuan literasi peserta

didiknya. Literasi matematika itu sendiri merupakan kemampuan seseorang untuk

merumuskan, menganalisis masalah atau konteks secara matematis.

Literasi matematika terdiri dari dua kata yaitu literasi dan matematika.

Literasi yang dalam bahasa Inggrisnya literacy berasal dari bahasa Latin littera
(huruf) yang pengertiannya melibatkan penguasaan sistem-sistem tulisan dan

konvensi-konvensi yang menyertainya. literasi adalah penggunaan praktik-praktik

situasi sosial, dan historis, serta kultural dalam menciptakan dan

menginterpretasikan makna melalui teks. Literasi memerlukan setidaknya

sebuah kepekaan yang tak terucap tentang hubungan-hubungan antara

konvensi-konvensi tekstual dan konteks penggunaanya serta idealnya

kemampuan untuk berefleksi secara kritis tentang hubungan-hubungan itu.

Karena peka dengan maksud atau tujuan, literasi itu bersifat dinamis –tidak

statis– dan dapat bervariasi di antara dan di dalam komunitas dan kultur

diskursus atau wacana. Literasi memerlukan serangkaian kemampuan kognitif,

pengetahuan bahasa tulis dan lisan, pengetahuan tentang genre, dan

pengetahuan kultural. Literasi menurut PISA (Programe for International Student

Assesment) (2006) dianggap sebagai pengetahuan dan keterampilan untuk

kehidupan orang dewasa (Nur Indah. dkk, 2016: 200-201).

Kern mendefinisikan istilah literasi secara komprehensif sebagai berikut:

“Literacy is the use of socially-, and historically-, and culturally-situated

practices of creating and interpreting meaning through texts. It entails at least a

tacit awareness of the relationships between textual conventions and their context

of use and, ideally, the ability to reflect critically on those relationships. Because

it is purpose-sensitive, literacy is dynamic – not static – and variable across and

within discourse communities and cultures. It draws on a wide range of cognitive

abilities, on knowledge of written and spoken language, on knowledge of genres,

and on cultural knowledge.” Yang dimaksud dengan teks adalah mencakup teks
tulis dan teks lisan. Adapun pengetahuan tentang genre adalah pengetahuan

tentang jenis-jenis teks yang berlaku/digunakan dalam komunitas wacana,

misalnya teks naratif, eksposisi, dan deskripsi (Mahdiansyah dan Rahmawati,

2014: 454).

Selain itu literasi dapat diartikan sebagai kemampuan siswa untuk

membaca tidak hanya buku teks, namun berbagai fenomena dalam kehidupan

sehari-hari sebagai lingkungan belajar secara analitis, kritis dan reflektif. Dengan

demikian, literasi sangat penting bagi siswa untuk menjembatani kegiatan

pembelajaran di sekolah dengan aplikasinya dalam kehidupan seharihari

(Nurkamilah et al., 2018:71).

Berdasarkan pengertian beberapa ahli di atas penulis menyimpulkan,

literasi merupakan kemampuan peserta didik untuk membaca bukan hanya

sekedar teks tapi juga fenomena-fenomena atau kejadian yang terjadi

dilingkungan sekitar, kemampuan ini bukan hanya membaca tapi menganalisis

keadaan secara kritis. Untuk kemampuan membaca teks tidak hanya sekedar

melafalkan huruf tetapi menyangkut sistem penulisan, serta bagaimana cara

penarikan kesimpulan mengenai informasi yang disajikan atau diperoleh.

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang berperan penting

kehidupan manusia. Matematika sebagai salah satu disiplin ilmu yang diajarkan

pada setiap jenjang pendidikan diharapkan tidak hanya membekali peserta didik

dalam berhitung namun dapat memberikan sumbangsih dalam rangka

mengembangkan kemampuan intelektual peserta didik, dimana matematika


merupakan sarana berpikir ilmiah yang memegang peranan penting dalam usaha

mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Menurut Abdulrahman dalam (Siagian, 2017) matematika adalah bahasa

simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan

kuantitatif dan keruangan sehingga fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan

berfikir. Sedangkan menurut Ruseffendi menyatakan bahwa matematika adalah

ilmu keteraturan, ilmu tentang struktur yang terorganisasikan mulai dari unsur

yang tidak didefinisikan, ke unsur yang didefinisikan ke aksioma atau postulat dan

akhirnya ke dalil. Menurut Carter dalam (Nurkamilah et al., 2018)

mengemukakan bahwa matematika tidak hanya sekedar berhitung, tetapi juga

merupakan suatu percakapan. Ia meyakini bahwa anakanak dapat berpikir

matematika secara mendalam apabila didukung dengan lingkungan belajar yang

memberikan rasa nyaman untuk bertanya dan mencoba ide matematis ketika

berupaya memahami suatu konsep matematika termasuk melalui percakapan.

Implikasi dari pendapat Carter pada pembelajaran matematika di sekolah yaitu

bagaimana guru perlu menciptakan lingkungan belajar termasuk topik percakapan

matematika yang sesuai dengan konsep matematika sekaligus tingkat

perkembangan kognitif siswa.

Berdasarkan asal katanya penulis menyimpulkan literasi matematika

merupakan kemampuan peserta didik untuk membaca bukan hanya sekedar teks

tapi juga fenomena-fenomena atau kejadian yang terjadi dilingkungan sekitar,

kemampuan ini bukan hanya membaca tapi menganalisis keadaan secara kritis

menggunakan konteks matematika secara terstruktur.


Beberapa ahli juga memiliki pandangan mengenai literasi matematika.

Menurut PISA 2015 dalam (Fathani, 2016:140), literasi matematika didefinisikan

sebagai berikut:

“Mathematical literacy is an individual’s capacity to formulate, employ,

and interpret mathematics in a variety of contexts. It includes reasoning

mathematically and using mathematical concepts, procedures, facts and tools to

describe, explain and predict phenomena. It assists individuals to recognise the

role that mathematics plays in the world and to make the well -founded judgments

and decisions needed by constructive, engaged and reflective citizens.”

Literasi matematika merupakan kapasitas individu untuk

memformulasikan, mengunakan, dan menafsirkan matematika dalam berbagai

konteks. Hal ini meliputi penalaran matematik dan pengunaan konsep, prosedur,

fakta dan alat matematika untuk mendeskripsikan, menjelaskan, dan mempresiksi

fenomena. Hal ini menuntun individu untuk mengnali peranan matematika dalam

kehidupan dan membuat penilaian yang baik dan pengambilan keputusan yang

dibutuhkan oleh penduduk yang konstruktif, dan reflektif.

Menurut Kusumah dalam (Fathani, 2016) literasi matematika adalah kemampuan

menyusun serangkaian pertanyaan (problem posing), merumuskan, memecahkan

dan menafsirkan permasalahan yang didasarkan pada konteks yang ada. Math

literacy “is literally everything. It’s communication, it’s discussion, it’s looking at

graphs. It’s so many things.” (Ippolito et al., 2017) Ojose secara sederhana

mengartikan literasi matematika sebagai pengetahuan untuk mengetahui dan

menggunakan dasar matematika dalam kehidupan sehari-hari (Nurkamilah et al.,


2018). The PISA mathematical literacy domain is concerned with the capacities

of students to analyse, reason and communicate ideas effectively as they pose,

formulate, solve and interpret mathematical problems in a variety of situations.

The PISA assessment framework defines mathematical literacy as: an individual’s

capacity to identify and understand the role that mathematics plays in the world,

to make well-founded judgements and to use and engage with mathematics in

ways that meet the needs of that individual’s life as a constructive, concerned and

reflective citizen (Thomson et al., 2013) maksudnya literasi matematika adalah

kapasitas individu untuk mengidentifikasi dan memahami peran yang dimainkan

matematika di dunia, untuk membuat penilaian yang beralasan dan untuk

menggunakan dan terlibat dengan matematika dengan cara yang memenuhi

kebutuhan hidup individu tersebut sebagai warga negara yang konstruktif, peduli

dan reflektif.

B. Proses Matematika

Proses matematisasi merupakan suatu proses mematematikakan suatu

fenomena atau kejadian. Prosem matematisasi ini terbagi atas dua yaitu

matematisasi horizontal dan vertical. Matematisasi horizontal adalah

pengidentifikasian, perumusan, dan penvisualisasi bentuk masalah dalam cara-

cara yang berbeda dan pentransformasian masalah dunia nyata ke masalah

matematika. Matematisasi vertikal adalah representasi hubungan-hubungan dalam

rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematika, penggunaan model-model

yang berbeda dan mengeneralisasikan (Lubis, 2016).


Berdasarkan proses matematisasi horizontal dan vertikal, pendekatan

dalam pendidikan matematika dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu

mekanistik, emperistik, strukturalistik dan realistik.

1. Pendekatan Mekanistik

Pendekatan Mekanistik merupakan pendekatan tradisional dan

didasarkan pada apa yang diketahui dan dilakukan dari pengalaman sendiri

(dimulai dari yang sederhana ke yang lebih sulit). Dalam pendekatan ini manusia

dianggap sebagai robot. Kedua jenis matematisasi tidak digunakan.

2. Pendekatan Empiristik

Pendekatan Empiristik adalah suatu pendekatan di mana konsep-konsep

matematika tidak diajarkan, dan diharapkan siswa dapat menemukan melalui

matematisasi horisontal.

3. Pendekatan Strukturalistik

Pendekatan Strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan

sistem formal, misalnya pengajaran pengurangan cara panjang perlu didahului

dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal.

4. Pendekatan Realistik

Pendekatan Realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan

masalah nyata sebagai awal pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi

horisontal dan vertikal diharapkan siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi

konsep-konsep matematika (Lubis, 2016).

De Lang dalam (Lubis, 2016) menjabarkan matematisasi horizontal

dalam 5 karakteristik, yakni:


1. Digunakannya konteks nyata untuk dieksplorasi.

Maksudnya dalam kegiatan pembelajaran matematika dimulai dari

masalah-masalah nyata yang sering dijumpai siswa sehari-hari. Masalah

kontekstual (context problem) ditujukan untuk mendukung terlaksananya proses

penemuan kembali (reinvention) yang dapat mengarahkan siswa untuk secara

formal memahami matematika (Gravemeijer,1994; Subandar, 2001; Lubis,2016).

Dari masalah nyata tersebut kemudian siswa membuat ke dalam bahasa

matematika, selanjutnya siswa menyelesaikan masalah itu dengan benda-benda

yang ada dalam matematika, kemudian siswa membahasakan lagi jawaban yang

diperoleh ke dalam bahasa sehari-hari. Dengan langkah-langkah yang dilakukan

tersebut, diharapkan siswa akan dapat melihat kegunaan matematika sebagai alat

bantu untuk menyelesaikan masalahmasalah kontekstual. Dalam belajar siswa

akan lebih mudah memahami konsep jika ia tahu manfaat atau kegunaannya,

karena sesuatu yang bermakna akan lebih mudah dipahami siswa dari pada yang

tidak bermakna. Dalam hal ini yang dimaksud bermakna adalah informasi yang

baru saja diterima memiliki kaitan dengan informasi yang sudah diketahui siswa

sebelumnya, dengan penekanan pada aspek aplikasi, pembelajaran matematika

akan lebih bermakna.

2. Digunakannya bahan-bahan vertikal misalnya model-model,

skema-skema, diagram-diagram, simbol-simbol, dan sebagainya. Maksud model

dalam hal ini berkaitan dengan model situasi dan model matematika yang

dikembangkan oleh siswa sendiri. Proses pembelajaran matematika yang bermutu

dan bermakna akan memberikan peran yang sangat penting bagi pencapaian
tujuan pendidikan secara umum, yaitu pembentukan manusia yang mampu

berpikir logis, sistematik dan cermat, serta bersifat obyektif dan terbuka dalam

menghadapi berbagai persoalan.

3. Digunakannya proses konstruktif dalam pembelajaran, maksudnya

siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuannya, proses penyelesaian soal atau

masalah kontekstual yang dihadapi, yang menjadi awal dari proses matematisasi

berikutnya. Dalam proses pembelajaran siswalah yang aktif mengkonstruksi

sendiri pengetahuannya, bukan guru yang menjelaskan kepada siswa tentang

pengertian atau konsep matematika. Di sini peran guru sebagai fasilitator dan

motivator, guru membimbing siswa untuk mampu mengkontruksi sendiri

pengetahuannya. Ada banyak alasan perlunya siswa untuk belajar matematika.

Cornelius mengemukakan lima alasan perlunya belajar matematika karena

matematika merupakan (1) sarana berpikir yang jelas dan logis, (2) sarana untuk

memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, (3) sarana mengenal pola-pola

hubungan dan generalisasi pengalaman, (4) sarana untuk mengembangkan

kreativitas, dan (5) sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan

sosial budaya.

4. Adanya interaksi antara guru dengan siswa, antara siswa yang satu

dengan siswa yang lain serta antara siswa dengan guru. Dalam proses

pembelajaran diharapkan terjadi interaksi antara guru dengan siswa. Selain itu

diharapkan terjadi pula interaksi antara siswa dengan siswa yaitu dalam

mengkontruksi pengetahuan mereka saling berdisksusi, mengajukan argumentasi


dalam menyelesaikan masalah. Jika siswa menemui kesulitan siswa menanyakan

kepada guru sehingga terjadi interaksi antara siswa dengan guru.

5. Terdapat keterkaitan (intertwining) di antara berbagai materi

pelajaran untuk mendapatkan struktur materi secara matematis.

Dalam proses matematisasi sangat berkaitan erat dengan literasi

matematika, melalui proses matematisasi dapat meningkatkan kemampuan literasi

matematika. Kemampuan dasar literasi matematika melibatkan tujuh kemampuan

dasar yang harus dimiliki oleh siswa, berdasarkan PISA kemampuan dasar

tersebut yaitu: (1) Communication, yaitu mampu menganalisis informasi dari

masalah yang diberikan, kemudian menpresentasikan dan menjelaskan solusi; (2)

Mathematising, yaitu memformulasikan masalah ke dalam model matematika dan

menginterpretasikan hasil matematika ke dalam masalah awal/dunia nyata; (3)

Representation, menyajikan masalah menggunakan representasi matematik; (4)

Reasoning and Argument, kemampuan untuk menalar dan memberikan argumen

yang logis; (5) Devising strategies for solving problem, kemampuan

menggunakan startegi untuk menyelesaikan masalah; (6) Using symbolic, formal

and technical language and operation, kemampuan menggunakan bahasa simbol

bahasa formal dan teknis serta operasi; dan (7) Using mathematical tools,

menggunakan alat-alatmatematika.

Adapun keterampilan proses untuk menyelesaikan masalah dalam literasi

matematika meurut PISA 2014 digambarkan dalam gambar berikut ini.

Masalah Dalam Masalah


Konteks Matematika

Hasil Dalam Hasil


Konteks Matematika
Bagan tersebut menunjukkan bahwa keterampilan proses literasi

matematika yang dimaksud oleh PISA tidak hanya proses matematisasi

menggunakan representasi matematika saja, tetapi berasal dari konteks dunia

nyata dilakukan pemodelan matematis (formulasi), kemudian menerapkan konsep,

fakta, prosedur dan keterampilan matematika untuk menyelesaikan masalah, dan

hasilnya diinterpretasikan kembali ke dalam masalah konteks awal untuk

seterusnya dievaluasi. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa

matematisasi atau pemodelan matematis merupakan kunci dan berhubungan

sangat erat dengan literasi matematika (Nurkamilah et al., 2018).

C. Peningkatan Kemampuan Literasi Matematika

Peningkatan kemampuan literasi siswa merupakan salah satu target yang

ingin dicapai dalam pendidikan, mengingat pentingnya literasi matematika.

Literasi matematika merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan pendidikan

disuatu Negara. PISA (Programme for International Student Assessment) adalah

studi internasional tentang prestasi literasi membaca, matematika, dan sains siswa

sekolah berusia 15 tahun. Penyelenggara studi adalah OECD (Organisation for

Economic Cooperation and Development) beserta konsorsium internasional yang

membidangi masalah Sampling, Instrumen, Data, Pelaporan, dan sekretariat.

PISA merupakan studi yang diselenggarakan setiap tiga tahun sekali, yaitu pada

tahun 2000, 2003, 2006, 2009, 2012 dan seterusnya.


Berdasarkan hasil PISA dari tahun 2003-2018 pencapaian Indonesia

sebagai berikut: di bidang matematika, nilai rata-rata tes PISA siswa Indonesia

bergerak fluktuatif. Nilai ratarata terendah diperoleh dalam PISA 2003, sebesar

360. Nilai rata-rata tertinggi dicapai pada PISA 2006, 391 poin. Pada PISA 2018,

siswa Indonesia memperoleh nilai rata-rata 379. Dalam bidang sains, meski turun

dibandingkan dengan capaian PISA 2015 yang sebesar 402 poin, nilai rata-rata

siswa Indonesia dalam PISA 2018 adalah yang tertinggi kedua dalam seluruh

periode pelaksanaan PISA. Dalam PISA 2018 ini, Indonesia memperoleh nilai

rata-rata 396 di bidang sains, lebih tinggi 3 poin dibanding hasil PISA pertama di

tahun 2000. Nilai ratarata terendah di bidang saing diperoleh pada PISA 2012,

sebesar 382 poin. Berikut ini merupakan grafik PISA 2003-2018.

Tren nilai PISA Indonesia menunjukkan peningkatan sejak PISA 2000

hingga 2018, dengan peningkatan tipis pada bidang membaca dan sains, dan

peningkatan lebih tajam di bidang matematika. Meski tren sepanjang periode naik,

pada PISA 2018, skor Indonesia relatif turun di semua bidang. Penurunan paling
tajam terjadi di bidang membaca. Cakupan populasi PISA Indonesia meningkat

dalam 18 tahun, keikutsertaan Indonesia naik dari 39% pada PISA 2000 menjadi

68% di PISA 2015 dan 85% pada PISA 2018. Artinya nilai rerata matematika 367

di tahun 2000 hanya menggambarkan kemampuan 39% anak Indonesia usia 15

tahun, sedangkan nilai rerata matematika 386 pada PISA 2015 menggambarkan

kemampuan matematika 68% anak Indonesia usia 15 tahun (Kementrian

Pendidikan dan Kebudayaan, 2018).

Berdasarkan hasil pelaporan kementerian pendidikan dan kebudayaan

melalui grafik di atas, dapat kita lihat bahwa peningkatan kemampuan literasi

matematika anak Indonesia meningkat drastis pada tahun 2006 namun sayangnya

kembali menurun ditahun berikutnya dan sampai pada hasil PISA 2018

berdasarkan grafik yang diperlihatkan peningkatan kemampuan literasi tidak

stabil.

Untuk mengatasi masalah terkait peningkatan kemampuan literasi

matematika diperlukan perhatian khusus utamanya dalam proses pembelajaran di

sekolah. Johar dalam (Wardono et al., 2016) berpendapat Indonesian student

success in solving problems of PISA is largely determined by the evaluation

system and the ability of teachers to develop students' mathematical literacy.

Artinya keberhasilan memecahkan masalah PISA sangat ditentukan oleh sistem evaluasi

dan kemampuan guru dalam mengembangkan literasi matematika siswa. Berdasarkan

pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa guru memegang peran penting dalam

ketercapaian proses pembelajaran guna meningkatkan kemampuan literasi siswa.

Selain itu Höfer dan Beckman menghubungkan literasi matematika dengan

lima elemen yaitu: developing human capital, cultural identity, social change,
environmental awareness, and evaluating mathematics. According to Höfer and

Beckmann, “the core of mathematical literacy is formed by the ability to apply

mathematical knowledge to various and context‐related problems in a functional,

flexible and practical way (Haara et al., 2021). Maksud dari Hofer dan Beckman

adalah literasi matematika memiliki hubungan terhadap lima elemen yaitu

mengembangkan sumber daya manusia, identitas budaya, perubahan sosial,

kesadaran lingkungan, dan evaluasi matematika. Hofer dan Beckman juga

mengemukakan inti literasi matematika dibentuk oleh kemampuan untuk

menerapkan pengetahuan matematika ke berbagai masalah yang berhubungan

dengan konteks secara fungsional, fleksibel dan praktis

Dalam artikel ilmiah banyak sekali membahas mengenai peingkatan

kemampuan literasi matematika melalui penerapan berbagai model pembelajaran.

Berdasrkan artikel ilmiah yang ditulis oleh Abdul Halim Fatani dengan judul

“Pengembangan Literasi Matematika Sekolah dalam Perspektif Multiple

Intelligence” mengemukakan bahwa Pada dasarnya, kemampuan literasi

matematika harus terus ditingkatkan. Namun dalam pelaksanaan proses

pengembangannya, harus memperhatikan keunikan individu pembelajar, yang

dalam hal ini kecenderungan kecerdasan yang dimiliki. Kecenderungan

kecerdasan yang dimiliki pembelajar juga dapat berpengaruh terhadap gaya

belajar yang digunakan pembelajar. Dengan menerapkan pengembangan literasi

matematika yang didasarkan atas tingkat multiple intelligences pembelajar, maka

akan ada minimal delapan beragam variasi pengembangan, yaitu: (a)

Pengembangan literasi matematika dengan menggunakan kecerdasan Linguistik.


(b) Pengembangan literasi matematika dengan menggunakan kecerdasan

Matematis. (c) Pengembangan literasi matematika dengan menggunakan

kecerdasan Visual- Spasial. (d) Pengembangan literasi matematika dengan

menggunakan kecerdasan Musikal. (e) Pengembangan literasi matematika dengan

menggunakan kecerdasan Kinestetis. (f) Pengembangan literasi matematika

dengan menggunakan kecerdasan Interpersonal. (g) Pengembangan literasi

matematika dengan menggunakan kecerdasan Intrapersonal. Jikalau delapan profil

pengembangan literasi matematika di atas benar-benar dapat didesain oleh guru

dalam pelaksanaan kegiatan proses pembelajaran dan benar- benar dilaksanakan,

maka pengembangan kemampuan literasi matematika akan dapat berhasil dengan

baik. (Fathani, 2016)

Ramlan Efendi dalam artikel ilmiahnya yang berjudul “Model

Pembelajaran SQ3R untuk Mengembangkan Kemampuan Literasi Matematis

Siswa” mengemukakan model pembelajaran SQ3R tidak membuat siswa

menghapal materi pelajaran melainkan mengembangkan kemampuan berpikir

siswa untuk berpikir dan mencari pemahaman makna dari informasi yang sedang

dipelajari. Untuk memperoleh pemahaman dari informasi yang dipelajari, siswa

harus terampil memahami materi yang disajikan guru. Model pembelajaran SQ3R

merupakan salah satu alternatif yang dapat dipilih guru untuk digunakan dalam

mengembangkan minat baca siswa sekaligus meningkatkan prestasi belajar siswa

karena langkah-langkah dalam model pembelajaran SQ3R sesuai dengan

kurikulum 2013 yang menerapkan pendekatan saintifik.(Effendi, 2016)


Berdasarkan beberapa pendapat di atas penulis menyimpulkan bahwa

peningkatan kemampuan literasi dapat tercapai bergantung proses pembelajran

yang terjadi di bangku sekolah. Guru memiliki peran aktif dalam memilih model

pembelajaran yang sesuai untuk diterapkan sehingga proses pembelajaran dapat

terlaksana dengan baik. Selain proses pembelajaran lingkungan, budaya,

perubahan sosial, juga memiliki pengaruh dalam peningkatan kemampuan literasi

matematika.

BAB II

LITERASI MATEMATIKA

A. Hakikat Matematika

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang berperan penting

kehidupan manusia. Matematika sebagai salah satu disiplin ilmu yang diajarkan

pada setiap jenjang pendidikan diharapkan tidak hanya membekali peserta didik

dalam berhitung namun dapat memberikan sumbangsih dalam rangka

mengembangkan kemampuan intelektual peserta didik, dimana matematika

merupakan sarana berpikir ilmiah yang memegang peranan penting dalam usaha

mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Menurut Abdulrahman dalam (Siagian, 2017) matematika adalah bahasa

simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan

kuantitatif dan keruangan sehingga fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan

berfikir. Sedangkan menurut Ruseffendi menyatakan bahwa matematika adalah

ilmu keteraturan, ilmu tentang struktur yang terorganisasikan mulai dari unsur
yang tidak didefinisikan, ke unsur yang didefinisikan ke aksioma atau postulat dan

akhirnya ke dalil. Menurut Carter dalam (Nurkamilah et al., 2018)

mengemukakan bahwa matematika tidak hanya sekedar berhitung, tetapi juga

merupakan suatu percakapan. Ia meyakini bahwa anakanak dapat berpikir

matematika secara mendalam apabila didukung dengan lingkungan belajar yang

memberikan rasa nyaman untuk bertanya dan mencoba ide matematis ketika

berupaya memahami suatu konsep matematika termasuk melalui percakapan.

Implikasi dari pendapat Carter pada pembelajaran matematika di sekolah yaitu

bagaimana guru perlu menciptakan lingkungan belajar termasuk topik percakapan

matematika yang sesuai dengan konsep matematika sekaligus tingkat

perkembangan kognitif siswa.

Matematika merupakan bahasa simbolis yang mana maknanya bersifat

universial. misalnya saja angka 1, secara Bahasa penyebutan angka 1 di antar

negara bahkan daerah dapat saja berbeda-beda dalam penyebutan bahasanya.

Namun, secara simbolis siapa saja dan dari negara mana saja akan memahami

makna dari angka 1. Hal ini lah yang menunjukkan matematika adalah Bahasa

simbolis yang bersifat universial. Perumpamaan lainnya “1 + 2” akan memiliki

arti yang sama, baik orang yang tinggal di Medan, di Jakarta atau bahkan bagi

orang yang tinggal di Malaysia, Singapore ataupun di Belanda. Pada dasarnya

matematika memiliki peran yang sangat essensial terhadap perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Hal ini didasari pada perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi tersebut yang memerlukan kemampuan-kemampuan

dan pemikiran yang kritis, sistematis, logis dan kreatif. Wittgenstein (Hasratuddin,
2015:27) menjelaskan oleh karena itu diperlukan suatu kemampuan memperoleh,

memilih dan mengolah informasi melalui kemampuan berpikir kritis, sistematis,

logis, dan kreatif. Salah satu program pendidikan yang dapat mengembangkan

kemampuan berpikir kritis, sistematis, logis, dan kreatif adalah matematika.

Disamping itu juga pada dasarnya matematika diperlukan oleh semua

disiplin ilmu untuk meningkatkan daya prediksi dan control ilmu tersebut. Carl

Friedrich Gauss salah satu matematikawan menyebutkan “Mathematics is the

queen of the sciences”. Hal ini menunjukkan bahwa matematika sebagai ratu dan

juga sebagai pelayan ilmu pengetahuan. Matematika sebagai ratu ilmu artinya

matematika sebagai alat dan pelayan ilmu yang lain. Matematika sebagai suatu

ilmu yang berfungsi melayani ilmu pengetahuan. Matematika tumbuh dan

berkembang untuk dirinya sendiri sebagai suatu ilmu, juga untuk melayani

kebutuhan ilmu pengetahuan dalam pengembangan operasionalnya. Melihat peran

penting matematika dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan tekmologi maka

sudah seharusnya matematika disampaikan dengan cara yang menarik, yang dapat

menarik minat dan perhatian siswa dalam proses penyampaian matematika. Oleh

sebab itu sebagai seorang pendidik yang memiliki kewajiban dalam

menyampaikan pembelajaran matematika kepada siswa harus dapat

memperhatikan cara-cara yang baik, inovatif dan kreatif. (Siagian, 2017)

B. Literasi Matematika dalam PISA dan TIMSS

PISA (Programme for International Student Assessment) adalah studi

internasional tentang prestasi literasi membaca, matematika, dan sains siswa

sekolah berusia 15 tahun. Penyelenggara studi adalah OECD (Organisation for


Economic Cooperation and Development) beserta konsorsium internasional yang

membidangi masalah Sampling, Instrumen, Data, Pelaporan, dan sekretariat.

PISA merupakan studi yang diselenggarakan setiap tiga tahun sekali, yaitu pada

tahun 2000, 2003, 2006, 2009, 2012 dan seterusnya.  Indonesia mulai sepenuhnya

berpartisipasi sejak tahun 2001. (PUSMENJAR)

PISA is an ongoing programme that monitors trends in the knowledge and

skills that students around the world, and in demographic subgroups within each

country, have acquired. In each round of PISA, one of the core domains is tested

in detail, taking up roughly one-half of the total testing time. The major domain in

2018 was reading, as it was in 2000 and 2009. Mathematics was the major

domain in 2003 and 2012, and science was the major domain in 2006 and 2015.

(OECD, 2019).

Menurut OECD di atas PISA merupakan program berkelanjutan yang

memantau tren dalam pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa di

seluruh dunia, dan dalam subkelompok demografis di setiap negara. Dalam setiap

putaran PISA, salah satu domain inti diuji secara mendetail, menghabiskan kira-

kira setengah dari total waktu pengujian. Ranah utama tahun 2018 adalah

membaca, seperti pada tahun 2000 dan 2009. Matematika menjadi domain utama

pada tahun 2003 dan 2012, dan sains menjadi domain utama pada tahun 2006 dan

2015.

Kemampuan literasi matematika merupakan salah satu kemampuan yang

dinilai dalam studi PISA. Kemampuan literasi matematika berdasarkan draft

assessment framework PISA 2012 didefinisikan sebagai:


mathematical literacy is an individual’s capacity to formulate, employ, and

interpret mathematics in a variety of contexts. It includes reasoning

mathematically and using mathematical concepts, procedures, facts, and tools to

describe, explain, and predict phenomena. It assists individuals to recognise the

role that mathematics plays in the world and to make the well-founded judgments

and decisions needed by constructive, engaged and reflective citizens.(OECD,

2013)

Berdasarkan definisi tersebut, literasi matematika diartikan sebagai

kemampuan seseorang untuk merumuskan, menerapkan dan menafsirkan

matematika dalam berbagai konteks, termasuk kemampuan melakukan penalaran

secara matematis dan menggunakan konsep, prosedur, dan fakta untuk

menggambarkan, menjelaskan atau memperkirakan fenomena/kejadian. Literasi

matematika membantu seseorang untuk memahami peran atau kegunaan

matematika di dalam kehidupan sehari-hari sekaligus menggunakannya untuk

membuat keputusan-keputusan yang tepat sebagai warga negara yang

membangun, peduli dan berpikir.

Seseorang dikatakan memiliki tingkat literasi matematika baik apabila ia

mampu menganalisis, bernalar, dan mengkomunikasikan pengetahuan dan

keterampilan matematikanya secara efektif, serta mampu memecahkan dan

menginterpretasikan penyelesaian matematika dengan demikian, pengetahuan dan

pemahaman tentang literasi matematika sangat penting dalam kehidupan sehari-

hari siswa. PISA menyajikan teknik penilaian literasi matematika yang didasarkan

pada konten, konteks dan proses. PISA menilai level dan tipe matematika yang
sesuai dengan anak usia 15 tahun dalam mengikuti alur (trajectory) untuk menjadi

warga yang konstruktif, reflektif dan dapat memberikan keputusan dan pendapat

yang baik.

Literasi matematika yang dimiliki siswa dilihat bagaimana cara siswa

dalam menggunakan kemampuan dan keahlian matematika untuk menyelesaikan

permasalahan. Permasalahan mungkin terjadi di berbagai macam situasi atau

konteks yang berhubungan dengan tiap individu. Mathematical competencies

harus diaktifkan untuk menyambungkan ke realita kehidupan dimana

permasalahan muncul dengan matematika dan untuk menyelesaikan permasalahan

tersebut.

Adapun konteks PISA yang menjadi fokus, yaitu: konteks pribadi

(personal), konteks pekerjaan (occupational), konteks sosial (social) dan konteks

ilmu pengetahuan (scientific). Tabel berikut ini menunjukkan persentase skor

untuk tiap-tiap konteks tersebut. (Wardhani & Rumiati, 2011a)

Komponen Penamaan Konteks Skor (%)


Konteks Pribadi 25
Pekerjaan 25
Sosial 25
Ilmu Pengetahuan 25
Konteks pribadi berhubungan langsung dengan kegiatan pribadi siswa

dalam kehidupan sehari-hari, baik kegiatan diri sendiri, kegiatan dengan keluarga,

maupun kegiatan dengan teman sebayanya. Jenis konteks pribadi tidak terbatas

pada persiapan makanan, belanja, bermain, kesehatan pribadi, transportasi pribadi,

olahraga, traveling, jadwal pribadi, dan keuangan pribadi. Matematika diharapkan


dapat berperan dan menginterpretasikan permasalahan dan kemudian

memecahkannya.

Konteks pekerjaan berkaitan dengan kehidupan siswa di sekolah dan atau

tempat lingkungan siswa bekerja. Konteks pekerjaan tidak terbatas pada hal-hal

seperti mengukur, biaya dan pemesanan bahan bangunan, menghitung gaji,

pengendalian mutu, penjadwalan, arsitektur, dan pekerjaan yang berhubungan

dengan pengambilan keputusan. Konteks pekerjaan berhubungan dengan setiap

tingkat tenaga kerja, dari tingkatan terendah sampai tingkatan yang tertinggi yang

dikenal oleh siswa. Matematika diharapkan dapat membantu untuk merumuskan,

melakukan klasifikasi masalah, dan memecahkan masalah tersebut.

Konteks umum berkaitan dengan penggunaan pengetahuan matematika

dalam kehidupan bermasyarakat baik lokal, nasional, maupun global dalam

kehidupan sehari-hari. Konteks umum dapat berupa masalah sistem voting,

angkutan umum, pemerintah, kebijakan publik, demografi, iklan, statistik

nasional, masalah ekonomi, dan lain sebagainya. Siswa diharapkan dapat

menyumbangkan pemahaman mereka tentang pengetahuan dan konsep

matematikanya untuk mengevaluasi berbagai keadaan yang relevan dalam

kehidupan di masyarakat.

Kegiatan keilmuan yang secara khusus berkaitan dengan kegiatan ilmiah

yang lebih bersifat abstrak dan menuntut pemahaman dan penguasaan teori dalam

melakukan pemecahan matematika. Konteks keilmuan juga berkaitan dengan

penerapan matematika di alam, isu-isu dan topik-topik yang berkaitan dengan


ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti cuaca atau iklim, ekologi, kedokteran,

ilmu ruang, genetika, pengukuran, dan dunia matematika itu sendiri.

Selain PISA, dalam penilaian belajar matematika bertaraf international

dikenal juga TIMMS (Trends in International Mathematics and Science Study).

TIMSS adalah studi internasional tentang kecenderungan atau arah atau

perkembangan matematika dan sains. Studi ini diselenggarakan oleh International

Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA) yaitu sebuah

asosiasi internasional untuk menilai prestasi dalam pendidikan. TIMSS berpusat

di Lynch School of Education, Boston College, USA. TIMSS bertujuan untuk

mengetahui peningkatan pembelajaran matematika dan sains.

TIMSS diselenggarakan setiap 4 tahun sekali. Pertama kali diselengarakan

pada tahun 1995, kemudian berturut-turut pada tahun 1999, 2003 dan 2007. Pada

saat modul ini ditulis, TIMSS yang kelima, yaitu TIMSS 2011 sedang dalam

proses penyelenggaraan. Salah satu kegiatan TIMSS adalah menguji kemampuan

matematika siswa kelas 4 SD (Sekolah Dasar) dan kelas 8 SMP (Sekolah

Menengah Pertama). Siswa kelas 8 SMP Indonesia telah diikutsertakan dalam

TIMSS sebanyak 3 kali sementara siswa SD belum pernah. Berbeda dengan studi

PISA yang menggunakan istilah komponen untuk menunjukkan kerangka

penilaian kemampuan yang diuji, dalam TIMSS kerangka penilaian kemampuan

bidang matematika yang diuji menggunakan istilah dimensi dan domain. TIMSS

untuk siswa SMP terbagi atas dua dimensi, yaitu dimensi konten dan dimensi

kognitif dengan memperhatikan kurikulum yang berlaku di negara bersangkutan.

Dalam TIMSS 2011 Assessment framework disebutkan bahwa dimensi konten


terdiri atas empat domain, yaitu: bilangan, aljabar, geometri, data dan peluang,

sementara pada TIMSS sebelumnya dimensi konten terdiri atas lima domain

konten karena domain data dan peluang dipisah. Tiap domain konten diperinci

lebih lanjut dalam beberapa topik, misalnya domain konten bilangan meliputi

topik bilangan cacah, pecahan dan desimal, bilangan bulat, perbandingan,

proporsi, dan presentase.

C. Komponen-Komponen Literasi Matematika

Ada banyak pemikiran yang muncul ketika berbicara tentang literasi

matematika. Banyak pakar atau ahli yang mengemukakan pendapat atau

pandangan mengenai istilah yang satu ini. Literasi matematika merupakan salah

satu kemampuan yang dinilai dalam PISA. Literasi matematika memiliki tujuh

komponen utama yaitu:

1. Communication. Literasi matematika melibatkan kemampuan untuk

mengomunikasikan masalah. Seseorang melihat adanya suatu masalah dan

kemudian tertantang untuk mengenali dan memahami permasalahan tersebut.

Membuat model merupakan langkah yang sangat penting untuk memahami,

memperjelas, dan merumuskan suatu masalah. Dalam proses menemukan

penyelesaian, hasil sementara mungkin perlu dirangkum dan disajikan.

Selanjutnya, ketika penyelesaian ditemukan, hasil juga perlu disajikan kepada

orang lain disertai penjelasan serta justifikasi. Kemampuan komunikasi

diperlukan untuk bisa menyajikan hasil penyelesaian masalah.

2. Mathematising. Literasi matematika juga melibatkan kemampuan untuk

mengubah (transform) permasalahan dari dunia nyata ke bentuk matematika atau


justru sebaliknya yaitu menafsirkan suatu hasil atau model matematika ke dalam

permasalahan aslinya. Kata ‘mathematising’ digunakan untuk menggambarkan

kegiatan tersebut.

3. Representation. Literasi matematika melibatkan kemampuan untuk

menyajikan kembali (representasi) suatu permasalahan atau suatu obyek

matematika melalui hal-hal seperti: memilih, menafsirkan, menerjemahkan, dan

mempergunakan grafik, tabel, gambar, diagram, rumus, persamaan, maupun

benda konkret untuk memotret permasalahan sehingga lebih jelas.

4. Reasoning and Argument. Literasi matematika melibatkan kemampuan

menalar dan memberi alasan. Kemampuan ini berakar pada kemampuan berpikir

secara logis untuk melakukan analisis terhadap informasi untuk menghasilkan

kesimpulan yang beralasan.

5. Devising Strategies for Solving Problems. Literasi matematika melibatkan

kemampuan menggunakan strategi untuk memecahkan masalah. Beberapa

masalah mungkin sederhana dan strategi pemecahannya terlihat jelas, namun ada

juga masalah yang perlu strategi pemecahan cukup rumit.

6. Using Symbolic, Formal and Technical Language and Operation. Literasi

matematika melibatkan kemampuan menggunaan bahasa simbol, bahasa formal

dan bahasa teknis.

7. Using Mathematics Tools. Literasi matematika melibatkan kemampuan

menggunakan alat-alat matematika, misalnya melakukan pengukuran, operasi dan

sebagainya.(Wardhani & Rumiati, 2011a)


Dalam PISA 2006 juga mengungkapkan “component of the real world that

has to be considered when thinking about mathematical literacy is the

mathematical content that a person might bring to bear in solving a problem. the

mathematical content can be illustrated by four categories that encompass the

kinds of problems that arise through interaction with day-to-day phenomena, and

that are based on a conception of the ways in which mathematical content

presents itself to people For PISA assessment purposes, these overarching ideas

are: space and shape, change and relationships, quantity and uncertainty. this is

somewhat different from an approach to content that would be familiar from the

perspective of mathematics instruction and the curricular strands typically taught

in schools. However, the overarching ideas together broadly encompass the

range of mathematical topics that students are expected to have learned” (OECD,

2010)

Maksudnya komponen dari dunia nyata yang harus dipertimbangkan ketika

berpikir tentang literasi matematika adalah konten matematika yang mungkin

dibawa seseorang dalam memecahkan suatu masalah. Konten matematika dapat

diilustrasikan dengan empat kategori yang mencakup jenis masalah yang muncul

melalui interaksi dengan fenomena sehari-hari, dan yang didasarkan pada

konsepsi cara konten matematika menampilkan dirinya kepada orang-orang.

Untuk tujuan penilaian PISA, ide-ide menyeluruh ini adalah: ruang dan bentuk,

perubahan dan hubungan, kuantitas dan ketidakpastian. Hal ini agak berbeda dari

pendekatan konten yang akan akrab dari perspektif pengajaran matematika dan

uraian kurikuler yang biasanya diajarkan di sekolah. Namun, ide-ide menyeluruh


bersama-sama secara luas mencakup berbagai topik matematika yang diharapkan

telah dipelajari siswa.

D. Keahlian Abad 21 dan Hubungannya dengan Literasi

Pengembangan dan penguatan karakter serta kegiatan literasi menjadi salah

satu unsur penting dalam kemajuan sebuah negara dalam menjalani kehidupan di

era globalisasi. Forum Ekonomi Dunia 2015 telah memberikan gambaran tentang

keterampilan abad ke-21 yang sebaiknya dimiliki oleh seluruh bangsa di dunia.

Keterampilan tersebut meliputi literasi dasar, kompetensi, dan karakter.

Demi menyukseskan pembangunan Indonesia di abad ke-21, menjadi

keharusan bagi masyarakat Indonesia untuk menguasai enam literasi dasar, yaitu

(1) literasi bahasa, (2) literasi numerasi, (3) literasi sains, (4) literasi digital, (5)

literasi finansial, serta (6) literasi budaya dan kewargaan. Kemampuan literasi ini

juga harus diimbangi dengan menumbuhkembangkan kompetensi yang meliputi

kemampuan berpikir kritis/memecahkan masalah, kreativitas, komunikasi, dan

kolaborasi. Untuk meningkatan kualitas hidup, daya saing, pengembangan

karakter bangsa, serta melihat perkembangan keterampilan dan kompetensi yang

dibutuhkan di abad ke-21, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

menyelenggarakan berbagai kegiatan literasi untuk meningkatkan indeks literasi

nasional melalui Gerakan Literasi Nasional. Gerakan Literasi Nasional (GLN)

lahir dari sinkronisasi semua program literasi yang sudah berjalan pada setiap unit

utama yang ada di dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. GLN

merupakan upaya untuk menyinergikan semua potensi serta memperluas

keterlibatan publik dalam pengembangan budaya literasi. Gerakan Literasi


Nasional harus dilaksanakan secara masif, baik di dalam lingkungan keluarga,

sekolah, maupun masyarakat. (Kebudayaan, 2017)

Salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan kemampuan literasi

masyarakat adalah pembelajran literasi di bangku sekolah. Pendidikan melalui

pembelajaran di sekolah pada abad ke-21 mempunyai paradigma pembelajaran

yang menekankan kemampuan berpikir kritis, mampu menghubungkan ilmu

dengan dunia nyata, menguasai teknologi informasi, berkomunikasi dan

berkolaborasi. Menurut Permendikbud nomor 103 tahun 2014 tentang

pembelajaran siswa pendidikan dasar dan menengah bahwa muatan rencana

pelaksanaan pembelajaran (RPP) kurikulum 2013 revisi 2017 yang disusun harus

muncul 4 macam yaitu pendidikan penguatan karakter (PPK), literasi sekolah,

keterampilan abad 21 atau 4C, dan HOTS. Kemudian, merujuk Permendikbud

nomor 22 tahun 2016 tentang standar proses pendidikan dan menengah, yang

disesuaikan standar kompetensi lulusan dan standar isi maka prinsip pembelajaran

salah satunya adalah pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk

meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran. Dalam hal ini, kemajuan

teknologi harus dioptimalkan pada pembelajaran abad ke-21 saat ini. Berdasarkan

Permendikbud nomor 21 tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan dasar dan

Menengah, matematika merupakan salah satu mata pelajaran penting yang wajib

diajarkan mulai jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA. Matematika sebagai ilmu

pengetahuan yang membutuhkan pemahaman bukan hafalan. Belajar memahami

dan harus menguasai konsep-konsep matematika dari mulai konsep sederhana

sampai konsep yang sangat kompleks. Konsep tersebut di dalam matematika


saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain dan tidak saling terpisahkan.

Ketika siswa dapat menguasai konsep matematika, kemudian dapat

menerapkannya untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Hal ini selaras

dengan Permendikbud nomor 21 tahun 2016 tentang Standar Kompetensi Lulusan

ranah SMA/MA memiliki pengetahuan faktual, konseptual dan prosedural,

kemudian mampu mengaitkan dalam berbagai konteks.

Literasi matematika adalah kemampuan individu untuk menggunakan konsep

matematika, prosedur, fakta dan alat matematika untuk menggambarkan,

menjelaskan, dan memprediksi fenomena. Hasil survei literasi matematika

Indonesia menunjukkan kemampuan siswa Indonesia belum mampu bersaing

dengan Negara-negara lain di dunia. Hal ini, menjadi perhatian utama dan tugas

besar Negara Indonesia agar bisa mencapai prestasi yang lebih baik selanjutnya.

Fakta di lapangan, capaian literasi matematika Indonesia masih tergolong

rendah. Ditinjau dari mutu akademik antar bangsa melalui Programme for

International Student Assessment (PISA) di bidang matematika pada tahun 2003,

siswa Indonesia pada peringkat ke-39 dari 40 negara sampel, hasil PISA tahun

2006 Indonesia peringkat ke-38 dari 41 negara, hasil PISA tahun 2009 yaitu

peringkat ke-61 dari 65 negara, kemudian tahun 2015 Indonesia peringkat 62 dari

70 negara peserta dengan skor 403 dari rata-rata skor OECD 493. Hal ini

menunjukkan kemampuan siswa Indonesia dalam menyelesaikan soal-soal berupa

soal telaah, memberi alasan, mengkomunikasikan, dan memecahkan serta

menginterpretasikan berbagai permasalahan masih sangat rendah. Tidak dapat

disalahkan, hal ini menjadi koreksi bersama bahwa soal-soal matematika


dalamstudi PISA lebih banyak mengukur kemampuan bernalar, memecahkan

masalah dan berargumentasi daripada mengukur kemampuan ingatan dan

perhitungan. Sementara, beberapa penelitian yang telah dilakukan di beberapa

sekolah Indonesia menunjukkan kemampuan siswa masih belum terbiasa dengan

soal permasalahan yang membutuhkan pemikiran logis dan aplikatif. Siswa masih

menyukai dan terbiasa dengan jawaban teoritis, dan prosedural. Sehingga,

pembiasaan soal-soal yang membutuhkan penalaran logis harus dibiasakan pada

pembelajaran. Hal ini perlu menjadi perhatian utama untuk program pendidikan

Indonesia selanjutnya. Menurut (Wardono, 2013) menyatakan bahwa guru

matematika SMP dan SMA disarankan agar selalu berkreasi dalam menggunakan

pembelajaran yang inovatif dan membantu sosialisasi untuk pengenalan penilaian

berdasarkan PISA, sehingga capaian ranking penilain PISA yang akan dating

dapat menjadi lebih baik.

Sejalan dengan tuntutan abad ke-21 yang menekankan kompetensi berbasis

4C yang meliputi critical thinking (berpikir kritis), collaboration (kerjasama),

communication (komunikasi), creativity (kreativitas), dan HOTS. Kompetesi

tersebut diperoleh agar individu dapat bertahan ikut bersaing untuk menghadapi

tantangan global. Sehingga, dibutuhkan model, strategi, metode yang inovatif

untuk mengajarkan matematika agar siswa tidak merasa bosan dan enggan belajar.

(Afriyanti et al., 2018)

E. Arah Pembelajaran untuk Mengembangkan Literasi Mtematika

Seperti yang kita ketahui bahwa pendidikan memiliki peranan penting dalam

kehidupan, dengan adanya pendidikan dapat melatih seseorang untuk lebih cerdas
dalam bertindak, kreatif, inovatif, bertanggung jawab, serta lebih produktif dalam

melaksanakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kelangsungan hidupnya.

Majunya suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas sistem pendidikan yang ada di

dalamnya. Untuk meningkatkan kualitas atau mutu sistem pendidikan berbagai

upaya telah dilakukan, seperti pengembangan serta penyempurnaan kurikulum

yang dilakukan secara bertahap, konsisten, dan disesuaikan dengan perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pendidikan di sekolah tidak terlepas dari proses pembelajaran serta

interaksi yang terjadi antara pendidik dan peserta didik. Dalam proses

pembelajaran peserta didik tidak sekedar menyerap informasi yang diberikan,

akan tetapi ada banyak kegiatan yang dilakukan dalam rangka pencapaian hasil

belajar yang optimal. Seperti yang kita ketahui bahwa pendidikan memiliki

peranan penting dalam kehidupan, dengan adanya pendidikan dapat melatih

seseorang untuk lebih cerdas dalam bertindak, kreatif, inovatif, bertanggung

jawab, serta lebih produktif dalam melaksanakan segala sesuatu yang

berhubungan dengan kelangsungan hidupnya. Majunya suatu bangsa dapat dilihat

dari kualitas sistem pendidikan yang ada di dalamnya. Untuk meningkatkan

kualitas atau mutu sistem pendidikan berbagai upaya telah dilakukan, seperti

pengembangan serta penyempurnaan kurikulum yang dilakukan secara bertahap,

konsisten, dan disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi.

Pendidikan di sekolah tidak terlepas dari proses pembelajaran serta

interaksi yang terjadi antara pendidik dan peserta didik. Dalam proses
pembelajaran yang terjadi di dalam kelas, pendidik kurang mendorong dan

mengarahkan peserta didik untuk mengembangkan kemampuan berfikir,

sebaliknya peserta didik lebih diarahkan kepada kemampuan untuk menghafal

informasi yang telah diberikan, sehingga otak dipaksa untuk mengingat dan

menyimpan berbagai informasi yang nantinya akan dihubungkan dengan

kehidupan sehari-hari. Akibatnya ketika peserta didik keluar dari sekolah, mereka

pintar dari segi teori tetapi miskin dalam pengaplikasian.

Dalam sebuah tulisan yang berjudul what is math dijelaskan bahwa “The

way we teach math now is different from the way we were taught. Math was quite

separate from reading, and in math we remember solving pages of problems. As

the dispenser of knowledge, the teacher presented the math concept of the day.

There was the occasional question by a student who wasn’t sure what page we

were on, but otherwise there was little dialogue between the teacher and the

students and no math conversation among the students. The teacher explained

how the problem should be solved, and that was it. There were no alternate

approaches to solving the problem. The homework was assigned and the routine

continued day after day, year after year.” (Literacy et al., n.d.) maksudya cara

mereka mengajar matematika sekarang berbeda dengan cara mereka diajar ketika

masih duduk di bangku sekolah. Matematika cukup terpisah dari membaca, dan

dalam matematika mereka ingat memecahkan beberapa halaman masalah. Sebagai

penyebar ilmu, guru mempresentasikan konsep matematika. Ada pertanyaan

sesekali oleh siswa, tetapi sebaliknya hanya ada sedikit dialog antara guru dan

siswa dan tidak ada percakapan matematika di antara siswa. Guru menjelaskan
bagaimana masalah itu harus diselesaikan, dan hanya itu. Tidak ada pendekatan

alternatif untuk memecahkan masalah. Pekerjaan rumah diberikan dan rutinitas itu

berlanjut hari demi hari, tahun demi tahun. Tidak dapat dipugkiri masalah tersebut

sampai sekarang masih terulang utamanya dalam matapelajaran matematika. Jika

masalah ini dibiarkan, akan berpengaruh pada kemampuan matematika siswa

terfokus pada kemampuan literasi siswa.

Untuk mengatasi masalah terkait peningkatan kemampuan literasi

matematika diperlukan perhatian khusus utamanya dalam proses pembelajaran di

sekolah. Johar dalam (Wardono et al., 2016) berpendapat Indonesian student

success in solving problems of PISA is largely determined by the evaluation

system and the ability of teachers to develop students' mathematical literacy.

Artinya keberhasilan memecahkan masalah PISA sangat ditentukan oleh sistem

evaluasi dan kemampuan guru dalam mengembangkan literasi matematika siswa.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa guru memegang peran

penting dalam ketercapaian proses pembelajaran guna meningkatkan kemampuan

literasi siswa.

Selain itu Höfer dan Beckman menghubungkan literasi matematika dengan

lima elemen yaitu: developing human capital, cultural identity, social change,

environmental awareness, and evaluating mathematics. According to Höfer and

Beckmann, “the core of mathematical literacy is formed by the ability to apply

mathematical knowledge to various and context‐related problems in a functional,

flexible and practical way (Haara et al., 2021). Maksud dari Hofer dan Beckman

adalah literasi matematika memiliki hubungan terhadap lima elemen yaitu


mengembangkan sumber daya manusia, identitas budaya, perubahan sosial,

kesadaran lingkungan, dan evaluasi matematika. Hofer dan Beckman juga

mengemukakan inti literasi matematika dibentuk oleh kemampuan untuk

menerapkan pengetahuan matematika ke berbagai masalah yang berhubungan

dengan konteks secara fungsional, fleksibel dan praktis

Dalam artikel ilmiah banyak sekali membahas mengenai peingkatan

kemampuan literasi matematika melalui penerapan berbagai model pembelajaran.

Berdasrkan artikel ilmiah yang ditulis oleh Abdul Halim Fatani dengan judul

“Pengembangan Literasi Matematika Sekolah dalam Perspektif Multiple

Intelligence” mengemukakan bahwa Pada dasarnya, kemampuan literasi

matematika harus terus ditingkatkan. Namun dalam pelaksanaan proses

pengembangannya, harus memperhatikan keunikan individu pembelajar, yang

dalam hal ini kecenderungan kecerdasan yang dimiliki. Kecenderungan

kecerdasan yang dimiliki pembelajar juga dapat berpengaruh terhadap gaya

belajar yang digunakan pembelajar. Dengan menerapkan pengembangan literasi

matematika yang didasarkan atas tingkat multiple intelligences pembelajar, maka

akan ada minimal delapan beragam variasi pengembangan, yaitu: (a)

Pengembangan literasi matematika dengan menggunakan kecerdasan Linguistik.

(b) Pengembangan literasi matematika dengan menggunakan kecerdasan

Matematis. (c) Pengembangan literasi matematika dengan menggunakan

kecerdasan Visual- Spasial. (d) Pengembangan literasi matematika dengan

menggunakan kecerdasan Musikal. (e) Pengembangan literasi matematika dengan

menggunakan kecerdasan Kinestetis. (f) Pengembangan literasi matematika


dengan menggunakan kecerdasan Interpersonal. (g) Pengembangan literasi

matematika dengan menggunakan kecerdasan Intrapersonal. Jikalau delapan profil

pengembangan literasi matematika di atas benar-benar dapat didesain oleh guru

dalam pelaksanaan kegiatan proses pembelajaran dan benar- benar dilaksanakan,

maka pengembangan kemampuan literasi matematika akan dapat berhasil dengan

baik. (Fathani, 2016)

Ramlan Efendi dalam artikel ilmiahnya yang berjudul “Model

Pembelajaran SQ3R untuk Mengembangkan Kemampuan Literasi Matematis

Siswa” mengemukakan model pembelajaran SQ3R tidak membuat siswa

menghapal materi pelajaran melainkan mengembangkan kemampuan berpikir

siswa untuk berpikir dan mencari pemahaman makna dari informasi yang sedang

dipelajari. Untuk memperoleh pemahaman dari informasi yang dipelajari, siswa

harus terampil memahami materi yang disajikan guru. Model pembelajaran SQ3R

merupakan salah satu alternatif yang dapat dipilih guru untuk digunakan dalam

mengembangkan minat baca siswa sekaligus meningkatkan prestasi belajar siswa

karena langkah-langkah dalam model pembelajaran SQ3R sesuai dengan

kurikulum 2013 yang menerapkan pendekatan saintifik.(Effendi, 2016)

Berdasarkan beberapa pendapat di atas penulis menyimpulkan bahwa

peningkatan kemampuan literasi dapat tercapai bergantung proses pembelajran

yang terjadi di bangku sekolah. Guru memiliki peran aktif dalam memilih model

pembelajaran yang sesuai untuk diterapkan sehingga proses pembelajaran dapat

terlaksana dengan baik. Selain proses pembelajaran lingkungan, budaya,


perubahan sosial, juga memiliki pengaruh dalam peningkatan kemampuan literasi

matematika.

BAB III

HUBUNGAN LITERASI MATEMATIKA DAN PEMBELAJARAN

MATEMATIKA DI SEKOLAH

A. Literasi Matematika dan Tujuan Pembelajaran Matematika di Sekolah

Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang diajarkan pada setiap

jenjang pendidikan, matematika diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam

rangka mengembangkan kemampuan siswa, karena matematika merupakan sarana


berpikir ilmiah yang memegang peranan penting dalam usaha mengembangkan

ilmu dan teknologi guna kesejahteraan manusia.

Apabila dicermati, dalam tujuan mata pelajaran matematika tersebut

terlihat bahwa kurikulum yang disusun sudah memperhatikan aspek

pengembangan literasi matematis. Literasi matematis merupakan kemampuan

individu dalam merumuskan, mengerjakan, dan menginterpretasikan hal-hal

matematis ke berbagai konteks nyata. Termasuk di dalamnya penalaran secara

matematis dan penggunaan konsep, prosedur, fakta, dan perangkat matematis

untuk menggambarkan, menjelaskan, dan memprediksi suatu fenomena.

Pemahaman pelajar Indonesia terhadap konsep matematika sangat penting

dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia khususnya pada mata pelajaran

matematika itu sendiri.

Literasi matematika adalah kemampuan seseorang untuk merumuskan,

menggunakan dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks. Literasi

matematika tidak hanya pada penguasaan materi saja. Literasi matematika juga

menggunakan penalaran, konsep, fakta dan alat matematika dalam pecahan

masalah sehari-hari

Terdapat dua asesmen utama berskala internasional yang menilai

kemampuan matematika dan sains siswa yaitu TIMSS (Trend in International

Mathematics and Science Study) dan PISA (Program for Internastional Student

Assessment) (Mansur, 2018)


Dalam PISA literasi matematika diartikan sebagai berikut: “Mathematical

literacy is an individual’s capacity to formulate, employ, and interpret

mathematics in a variety of contexts. It includes reasoning mathematically and

using mathematical concepts, procedures, facts and tools to describe, explain and

predict phenomena. It assists individuals to recognizes the role that mathematics

plays in the world and to make the well-founded judgments and decisions needed

by constructive, engaged and reflective citizens”.

Sebelum dikenalkan melalui PISA, istilah literasi matematika telah

dicetuskan oleh NCTM (1989) sebagai salah satu visi pendidikan matematika

yaitu menjadi melek/literate matematika. Dalam visi ini literasi matematika

dimaknai sebagai “an individual’s ability to explore, to conjecture, and to reason

logically as well as to use variety of mathematical methods effectively to solve

problems. By becoming literate, their mathematical power should develop”.

Pengertian ini mencakup 4 komponen utama literasi matematika dalam

pemecahan masalah yaitu mengekplorasi, menghubungkan dan menalar secara

logis serta mengunakan metode matematis yang beragam. Komponen utama ini

digunakan untuk memudahkan pemecahan masalah sehari-hari yang sekaligus

dapat mengembangkan kemampuan matematikanya.(Hera & Sari, 2015)

Kemampuan literasi matematika sangat penting untuk dikuasai peserta

didik. Kemampuan bernalar yang merupakan salah satu tujuan dari pembelajaran

matematika yang tidak hanya meminta peserta didik untuk mengerjakan soal

namun juga mampu membentuk pola pikir yang tersusun dan terarah yang tidak
hanya digunakan pada lini matematika saja namun juga dapat diterapkan pada

bidang lain sebagai bentuk pengaplikasian.

Pembelajaran matematika hendaknya dimulaidengan pengenalanalan

masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan

masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai

konsep matematika(Depdiknas, 2006).

Menurut, (Kamarullah, 2017) Tujuan pembelajaran matematika bukan

hanya agar siswa mampu menyelesaikan soal-soal rutin matematika (soal ulangan

harian, ujian semester, ujian nasional, maupun ujian masuk ke jenjang yang lebih

tinggi). Namun tujuan pembelajaran matematika harus diarahkan kepada tujuan

yang lebih komprehensif, sesuai dengan tuntutan kurikulum yaitu: (1) Memahami

konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan

konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan

masalah; (2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi

matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan

gagasan dan pernyataan matematika; (3) Memecahkan masalah yang meliputi

kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan

model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) Mengomunikasikan gagasan

dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau

masalah; (5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,

yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari

matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
B. Studi PISA dan TIMSS dalam Penilaian Kemampuan Matematika Peserta

Dididk

1. Studi PISA

PISA (the programme for international student assessment) merupakan

program untuk mengukur prestasi bagi anak usia 15 tahun pada bidang

kemampuan matematika, sains dan literasi membaca. Penilaian yang dilakukan

oleh PISA dilakukan tiap 3 (tiga) tahun sekali dengan fokus pada pendidikan

suatu negara. Adapun negara-negara yang berpartisipasi pada penilaian PISA

semenjak pertama kali dilakukan yaitu sejak tahun 2000 terus bertambah, tercatat

hingga 2018 dari 41 menjadi 79 negara sebagai partisipan dalam penilaian PISA

di bawah Organization for Economic Co-operation and Development (OECD,

2019) dalam (Hewi & Shaleh, 2020).

Penilaian PISA saat ini telah dijadikan sebagai referensi acuan dan

evaluasi terhadap kualitas pendidikan suatu negara partisipan dari PISA.

Indonesia ikut menjadi partisipan program penilaian ini PISA sebagai usaha dan

ikhtiar untuk menerawang sejauh mana program pendidikan dapat membantu anak

dalam memiliki kemampuan matematika, sains dan literasi membaca yang sesuai

dengan standar masyarakat internasional, juga sebagai pembanding program

pendidikan Indonesia dengan negara-negara di dunia yang ikut dalam penilaian

tersebut (Hewi & Shaleh, 2020).

Untuk keperluan penilaian, definisi literasi matematika PISA 2012 – juga

digunakan untuk siklus PISA 2015 dan 2018 dalam (OECD, 2019) – dapat

dianalisis dalam tiga aspek yang saling terkait:


a. Komponen Proses Matematika

Adalah yang menggambarkan apa yang dilakukan individu untuk

menghubungkan konteks masalah dengan matematika dan dengan demikian

memecahkan masalah, dan kemampuan yang mendasari proses tersebut.Item

dalam penilaian matematika PISA 2018 yaitu : Mampu merumuskan situasi secara

matematis; Menggunakan konsep, fakta, prosedur, dan penalaran matematika;

Menafsirkan, menerapkan dan mengevaluasi hasil matematika.

1. Merumuskan Situasi Secara Matematis

Secara khusus, proses perumusan inisituasi matematis mencakup aktivitas

seperti berikut:

a) Mengidentifikasi aspek matematika dari masalah yang terletak dalam

konteks dunia nyata real dan mengidentifikasi variabel

b) Mengenali struktur matematika (termasuk keteraturan, hubungan dan

pola) dalam masalah atau situasi

c) Menyederhanakan situasi atau masalah agar sesuai dengan matematika

analisis

d) Mengidentifikasi kendala dan asumsi di balik setiap pemodelan

matematika dan penyederhanaan yang diperoleh dari konteksnya

e) Mewakili situasi secara matematis, menggunakan variabel, simbol,

diagram dan model standar

f) Mewakili masalah dengan cara yang berbeda, termasuk

mengorganisasikannya sesuai dengan konsep matematika dan

membuat asumsi yang tepat


g) Memahami dan menjelaskan hubungan antara konteks tertentu bahasa

masalah dan bahasa simbolik dan formal yang diperlukan untuk

mewakili itu secara matematis

h) Menerjemahkan masalah ke dalam bahasa matematika atau

representasi

i) Mengenali aspek masalah yang sesuai dengan masalah yang diketahui

atau konsep matematika, fakta atau prosedur

j) Menggunakan teknologi (seperti spreadsheet atau fasilitas daftar pada

kalkulator grafik untuk menggambarkan hubungan matematis yang

melekat dalam masalah kontekstual.

2. Menggunakan Konsep, Fakta, Prosedur, dan Penalaran Matematika

Secara khusus, proses ini menggunakan matematika konsep, fakta,

prosedur dan penalaran meliputi kegiatan seperti:

a) Merancang dan mengimplementasikan strategi untuk menemukan

solusi matematis

b) Menggunakan alat matematika1, termasuk teknologi, untuk membantu

menemukan tepat atau perkiraan solusi

c) Menerapkan fakta, aturan, algoritma, dan struktur matematika saat

menemukan solusi

d) Memanipulasi angka, data dan informasi grafis dan statistik, aljabar

ekspresi dan persamaan, dan representasi geometris

e) Membuat diagram matematika, grafik dan konstruksi, dan

mengekstraksi informasi matematika dari mereka


f) Menggunakan dan beralih di antara representasi yang berbeda dalam

proses menemukan solusi

g) Membuat generalisasi berdasarkan hasil penerapan prosedur

matematika untuk menemukan solusi

h) Merefleksikan argumen matematika dan menjelaskan dan

membenarkan hasil matematika.

3. Menafsirkan, Menerapkan dan Mengevaluasi Hasil Matematika

Secara khusus, proses menafsirkan, menerapkan, dan mengevaluasi hasil

matematika ini meliputi kegiatan seperti:

a) Menafsirkan hasil matematika kembali ke dalam konteks dunia nyata

b) Mengevaluasi kewajaran solusi matematika dalam konteks dunia

nyata masalah

c) Memahami bagaimana dunia nyata berdampak pada hasil dan

perhitungan suatu prosedur atau model matematika untuk membuat

penilaian kontekstual tentang bagaimana hasilnya harus disesuaikan

atau diterapkan

d) Menjelaskan mengapa hasil atau kesimpulan matematika masuk akal,

atau tidak, diberikan konteks masalah

e) Memahami luas dan batas konsep matematika dan matematika solusi

f) Mengkritisi dan mengidentifikasi batasan model yang digunakan

untuk memecahkan masalah

Adapun, proporsi skor sub-sub komponen proses yang diuji dalam studi

PISA digambarkan dalam tabel dibawah ini:


Kategori Proses Persentasi
Merumuskan situasi secara matematis 25 %
Menggunakan konsep, fakta, prosedur, dan penalaran 50 %

matematika
Menafsirkan, menerapkan dan mengevaluasi hasil matematika 25 %
Total 100

b. Konten matematika

Pemahaman tentang konten matematika dan kemampuan untuk

menerapkan pengetahuan itu ke solusi masalah kontekstual yang bermakna –

penting bagi warga negara di era modern dunia. Artinya, untuk memecahkan

masalah dan menafsirkan situasi dalam pribadi, pekerjaan, masyarakat dan

konteks ilmiah, ada kebutuhan untuk memanfaatkan pengetahuan matematika

tertentu dan pemahaman.

Oleh karena itu, daftar kategori konten berikut digunakan dalam PISA

2018 untuk memenuhi: persyaratan perkembangan sejarah, cakupan domain

matematika dan fenomena yang mendasari yang memotivasi perkembangannya,

dan refleksi dari untaian utama dari kurikulum sekolah. Keempat kategori ini

mencirikan rentang konten matematika yang merupakan pusat disiplin dan

menggambarkan area konten yang luas yang digunakan dalam item tes untuk

PISA 2018, yaitu: Perubahan dan hubungan; Ruang dan bentuk; Kuantitas;

Ketidakpastian dan data.

1. Perubahan dan hubungan

Perubahan dan hubungan terbukti dalam pengaturan yang beragam seperti

pertumbuhan organisme, musik, dan siklus musim, pola cuaca, tingkat pekerjaan
dan kondisi ekonomi. Aspek konten matematika tradisional fungsi dan aljabar,

termasuk ekspresi aljabar, persamaan dan pertidaksamaan, representasi tabel dan

grafik, adalah sentral dalam menggambarkan, memodelkan dan menafsirkan

fenomena perubahan. Representasi dari data dan hubungan yang dijelaskan

menggunakan statistik juga sering digunakan untuk menggambarkan dan

menafsirkan perubahan dan hubungan, dan landasan yang kuat dalam dasar-dasar

angka dan satuan juga penting untuk mendefinisikan dan menafsirkan perubahan

dan hubungan. Beberapa hubungan menarik muncul dari pengukuran geometris,

seperti cara perubahan keliling dari keluarga bentuk mungkin berhubungan

dengan perubahan luas, atau hubungan antara panjang sisi-sisi segitiga.

2. Ruang dan bentuk

Ruang dan bentuk mencakup berbagai fenomena yang ditemui di mana-

mana di dunia visual dan fisik kita: pola, sifat objek, posisi dan orientasi,

representasi objek, informasi visual, navigasi dan interaksi dinamis dengan bentuk

nyata serta dengan representasi.

Literasi matematika di bidang ruang dan bentuk melibatkan berbagai

kegiatan seperti pemahaman perspektif (untuk contoh dalam lukisan), membuat

dan membaca peta, mengubah bentuk dengan dan tanpa teknologi, menafsirkan

pemandangan pemandangan tiga dimensi dari berbagai perspektif dan

membangun representasi bentuk.

3. Kuantitas

Gagasan kuantitas mungkin merupakan aspek matematika yang paling

meresap dan esensial, dan berfungsi dalamdunia kita. Ini menggabungkan


kuantifikasi atribut objek, hubungan, situasi dan entitas di dunia, memahami

berbagai representasi dari kuantifikasi tersebut, dan menilai interpretasi dan

argumen berdasarkan pada kuantitas. Untuk terlibat dengan kuantifikasi dunia

melibatkan pemahaman pengukuran, penghitungan, besaran, satuan, indikator,

ukuran relatif, dan tren numerik dan pola. Aspek penalaran kuantitatif – seperti

representasi angka, keanggunan dalam komputasi, perhitungan mental, estimasi

dan penilaian kewajaran hasil – adalah inti dari literasi matematika relatif untuk

kuantitas.

Kuantifikasi adalah metode utama untuk menggambarkan dan mengukur

sekumpulan atribut yang luas aspek dunia. Hal ini memungkinkan untuk

pemodelan situasi, untuk pemeriksaan perubahandan hubungan, untuk deskripsi

dan manipulasi ruang dan bentuk, untuk pengorganisasian dan menafsirkan data,

dan untuk pengukuran dan penilaian. Jadi literasi matematika di bidang kuantitas

menerapkan pengetahuan tentang angka dan operasi angka dalam berbagai

pengaturan.

4. Ketidakpastian dan data

Dalam sains, teknologi, dan kehidupan sehari-hari, ketidakpastian adalah

hal yang pasti. Oleh karena itu ketidakpastian adalah fenomena di jantung analisis

matematis dari banyak situasi masalah, dan teori probabilitas dan statistik serta

teknik representasi data dan deskripsi telah ditetapkan untuk menghadapinya.

Kategori ketidakpastian dan konten data termasuk mengenali tempat variasi dalam

proses, memiliki rasa kuantifikasi variasi itu, mengakui ketidakpastian dan

kesalahan dalam pengukuran, dan mengetahui tentang kesempatan.


Ada ketidakpastian dalam prediksi ilmiah, hasil jajak pendapat, prakiraan

cuaca, dan model ekonomi. Ada variasi dalam proses manufaktur, skor tes dan

temuan survei, dan kesempatan adalah dasar bagi banyak kegiatan rekreasi yang

dinikmati oleh individu. Selain itu, pengetahuan tentang bilangan dan aspek

aljabar, seperti grafik dan representasi simbolis, berkontribusi pada fasilitas yang

terlibat dalam masalah dalam kategori konten ini. Fokus pada interpretasi dan

penyajian data merupakan aspek penting dari kategori ketidakpastian dan data.

Studi tiga (3) tahunan PISA, yang diselenggarakan oleh Organization for

Economic Cooperation and Development (OECD) sebuah badan PBB yang

berkedudukan di Paris, bertujuan untuk mengetahui literasi matematika siswa.

Fokus studi PISA adalah kemampuan siswa dalam mengidentifikasi dan

memahami serta menggunakan dasar-dasar matematika yang diperlukan dalam

kehidupan sehari-hari (Masjaya; Wardono, 2018).

2. Studi TIMSS

Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS)

merupakan evaluasi berskala internasional yang paling mutakhir yang

diselenggarakan di 50 negara untuk mengukur kemajuan dalam pembelajaran

matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). TIMSS adalah studi internasional

tentang kecenderungan atau arah dan perkembangan matematika dan sains. Studi

ini diselenggarakan oleh International Association for the Evaluation of

Educational Achievement (IEA) yaitu suatu badan asosiasi internasional untuk

menilai prestasi dalam pendidikan. TIMSS berpusat di Lynch School of


Education, Boston College, USA. (Herman, 2014) dalam (Hadi & Novaliyosi,

2019).

TIMSS bertujuan untuk mengetahui peningkatan pembelajaran matematika

dan sains. TIMSS diselenggarakan setiap 4 tahun sekali. Pertama kali

diselengarakan pada tahun 1995, kemudian berturut-turut pada tahun 1999, 2003

dan 2007, 2011, 2015, 2019. Salah satu kegiatan TIMSS adalah menguji

kemampuan matematika siswa kelas 4 SD (Sekolah Dasar) dan kelas 8 SMP

(Sekolah Menengah Pertama) (Wardani & Rumiati, 2011).

Berbeda dengan studi PISA yang menggunakan istilah komponen untuk

menunjukkan kerangka penilaian kemampuan yang diuji, dalam TIMSS kerangka

penilaian kemampuan bidang matematika yang diuji menggunakan istilah dimensi

dan domain. Ada dua penilaian matematika TIMSS 2019, yaitu: Matematika

TIMSS-Kelas Empat dan Matematika TIMSS-Kelas Delapan. Masing-masing

dari dua kerangka penilaian untuk TIMSS 2019 disusun berdasarkan dua dimensi:

Dimensi konten, menentukan materi pelajaran yang akan dinilai dan Dimensi

kognitif, menentukan proses berpikir yang akan dinilai (Mullis & Martin, 2020).

(Mullis & Martin, 2020) menuliskan bahwa target persentase penilaian

matematika TIMSS 2019 ditujukan untuk konten dan domain kognitif di kelas

empat dan delapan sebagai berikut:

Kelas Empat

Domain Konten Persentasi


Bilangan 50 %
Pengukuran dan Geometri 30 %
Data 20 %
Kelas Delapan

Domain Konten Persentasi


Bilangan 30 %
Aljabar 30 %
Geometri 20 %
Data dan Peluang 20 %

Domain konten berbeda untuk kelas empat dan delapan, mencerminkan

matematika secara luas diajarkan di setiap kelas. Ada lebih banyak penekanan

pada angka di kelas empat daripada di kelas delapan. Di kelas delapan, dua dari

empat domain konten adalah aljabar dan geometri. Karena ini umumnya tidak

diajarkan sebagai area yang dapat dipisahkan di sekolah dasar, topik pengantar

atau praaljabar dinilai di kelas empat dimasukkan sebagai bagian dari bilangan.

Domain data kelas empat berfokus pada pengumpulan, membaca, dan

merepresentasikan data, sedangkan di kelas delapan lebih menekankan pada

interpretasi data, statistik dasar, dan dasar-dasar probabilitas.

Penting untuk digarisbawahi bahwa TIMSS menilai berbagai situasi

pemecahan masalah di dalam matematika, dengan sekitar dua pertiga dari item

yang mengharuskan siswa untuk menggunakan penerapan dan penalaran

keterampilan.

Domain Kognitif Persentasi


Kelas Empat Kelas Delapan
Pengetahuan 40 % 35 %
Penerapan 40 % 40 %
Penalaran 20 % 25 %

Domain kognitif itu sama untuk kedua kelas, tetapi dengan pergeseran

penekanan. Dibandingkan dengan kelas empat, kelas delapan kurang menekankan

pada domain mengetahui dan lebih menekankan pada domain penalaran.

Adapun domain konten kelas empat, mengidentifikasi tiga domain konten

utama dan topik penilaian dalam setiap domain, dilanjutkan dengan domain

konten kelas delapan dan, kemudian, deskripsi domain kognitif untuk kelas empat

dan delapan.

a. Domain Konten Kelas Empat

Domain konten kelas empat dan persentase target dari penilaian skor poin

dikhususkan untuk masing-masing. Setiap domain konten terdiri dari area topik,

dan setiap topik daerah pada gilirannya mencakup beberapa topik. Di seluruh

penilaian matematika kelas empat, setiap topik menerima bobot yang kurang lebih

sama.

Domain Konten Persentasi Topik Persentasi


Bilangan Bilangan bulat 25 %
Ekspresi, persamaan 15 %

sederhana, dan relasi


50 % Pecahan dan desimal 10 %
Pengukuran dan 30 % Pengukuran 15 %
Geometri 15 %
Geometri
Data 20 % Membaca, menafsirkan, 15 %
dan merepresentasikan

data
Menggunakan data untuk 5 %

memecahkan masalah

1. Bilangan

Merupakan dasar matematika di sekolah dasar. Domain konten terdiri dari

tiga bidang topik, yaitu : Bilangan bulat; Ekspresi, persamaan sederhana, dan

relasi; serta Pecahan dan desimal.

2. Pengukuran dan Geometri

Kita dikelilingi oleh objek dengan berbagai bentuk dan ukuran, dan

geometri membantu kita memvisualisasikan dan memahami hubungan antara

bentuk dan ukuran. Pengukuran adalah proses kuantifikasi atribut objek dan

fenomena (misalnya, panjang dan waktu). Dua bidang topik dalam pengukuran

dan geometri adalah sebagai berikut: Pengukuran dan Geometri

3. Data

Ledakan data dalam masyarakat informasi saat ini telah mengakibatkan

pemboman visual setiap hari menampilkan informasi kuantitatif. Seringkali

internet, surat kabar, majalah, buku teks, referensi buku, dan artikel memiliki data

yang direpresentasikan dalam bagan, tabel, dan grafik. Siswa perlu memahami

bahwa grafik dan bagan membantu mengatur informasi atau kategori dan

menyediakan cara untuk membandingkan data. Domain konten data terdiri dari

dua area topik: Membaca, menafsirkan, dan merepresentasikan data; serta

Menggunakan data untuk menyelesaikan masalah

b. Domain Konten Kelas Delapan


Domain Konten Persentasi Topik Persentasi
Bilangan 30 % Bilangan bulat 10 %
Pecahan dan 10 %

desimal
Rasio, 10 %

proporsi, dan

persen
Aljabar 30 % Ekspresi 20 %

aljabar dan

persamaan
Relasi dan 10 %

Fungsi
Geometri 20 % Bentuk dan 20 %

pengukuran

geometri
Data dan Peluang 20 % Data 15 %
Peluang 5 %

c. Domain Kognitif Kelas Empat dan Delapan

Agar dapat menjawab soal tes TIMSS dengan benar, siswa harus

terbiasa dengan matematika konten yang dinilai, tetapi mereka juga perlu

memanfaatkan berbagai keterampilan kognitif. Keterampilan ini berperan

penting dalam pengembangan penilaian seperti TIMSS 2019, karena mereka

sangat penting dalam memastikan bahwa survei mencakup rentang

keterampilan kognitif yang sesuai di seluruh domain konten sudah digariskan.

Ranah pertama, pengetahuan, meliputi fakta, konsep, dan prosedur

yang perlu diketahui siswa, sedangkan kedua, penerapan, berfokus pada

kemampuan siswa untuk menerapkan pengetahuan dan pemahaman


konseptual untuk memecahkan masalah atau menjawab pertanyaan. Domain

ketiga, penalaran, melampaui solusi rutinitas masalah untuk mencakup situasi

asing, konteks kompleks, dan masalah multi-langkah.

Pengetahuan, penerapan, dan penalaran dilakukan dalam berbagai

tingkat ketika siswa menampilkan kompetensi matematika, yang melampaui

pengetahuan konten. Domain kognitif TIMSS ini mencakup kompetensi

pemecahan masalah, memberikan argumen matematis untuk mendukung

strategi atau solusi, mewakili situasi secara matematis (misalnya,

menggunakan simbol dan grafik), menciptakan model matematika dari situasi

masalah, dan menggunakan alat seperti penggaris atau kalkulator untuk

membantu memecahkan masalah.

Tiga domain kognitif digunakan untuk kedua kelas, tetapi

keseimbangan waktu pengujian berbeda, mencerminkan perbedaan usia dan

pengalaman siswa di dua kelas. Untuk yang kelas keempat dan kedelapan,

setiap domain konten akan mencakup item yang dikembangkan untuk

mengatasi masing-masing dari tiga domain kognitif. Misalnya, domain

bilangan akan mencakup item pengetahuan, penerapan, dan penalaran seperti

domain konten yang lainnya.

Domain Kognitif Persentasi


Kelas Empat Kelas Delapan
Pengetahuan 40 % 35 %
Penerapan 40 % 40 %
Penalaran 20 % 25

1. Pengetahuan
Kemudahan dalam penerapan matematika, atau penalaran tentang situasi

matematika, tergantung pada keakraban dengan konsep matematika dan

kelancaran dalam keterampilan matematika. Semakin relevan pengetahuan

seorang siswa mampu mengingat dan semakin luas jangkauan konsep yang dia

pahami, semakin besar potensinya terlibat dalam berbagai situasi pemecahan

masalah.

Tanpa akses ke basis pengetahuan yang memungkinkan ingatan bahasa

dan fakta dasar dengan mudah dan konvensi nomor, representasi simbolis, dan

hubungan spasial, siswa akan menemukan tujuan berpikir matematis tidak

mungkin. Fakta mencakup pengetahuan yang menyediakan bahasa dasar

matematika, serta konsep dan sifat matematika esensial yang membentuk fondasi

untuk pemikiran matematika.

Mengingat Mengingat definisi, terminologi, sifat bilangan, satuan

pengukuran, geometris properti, dan notasi (misalnya, a x b =

ab, a + a + a = 3a).
Mengenali Mengenal bilangan, ekspresi, besaran, dan bentuk. Kenali

entitas yang ekuivalen secara matematis (mis., pecahan biasa

yang setara, desimal, dan persen; orientasi yang berbeda dari

angka geometris sederhana).


Mengklasifikas Mengklasifikasikan bilangan, ekspresi, besaran, dan bentuk

i berdasarkan sifat-sifat umum


Menghitung Melakukan prosedur algoritmik untuk +, –, ×, , atau

kombinasinya dengan keseluruhan bilangan, pecahan,

desimal, dan bilangan bulat.


Mengurutkan Mengambil lalu mengurutkan informasi dari grafik, tabel,
teks, atau sumber lain.
Mengukur Gunakan alat ukur; dan memilih unit pengukuran yang

sesuai.

2. Penerapan

Domain penerapan melibatkan penerapan matematika dalam berbagai

konteks. Dalam domain ini, fakta, konsep, dan prosedur serta masalah harus

diketahui siswa. Dalam beberapa item selaras dengan domain ini, siswa perlu

menerapkan pengetahuan matematika tentang fakta, keterampilan, dan prosedur

atau pemahaman konsep matematika untuk membuat representasi. Perwakilan dari

ide membentuk inti pemikiran dan komunikasi matematis, dan kemampuan untuk

menciptakan persamaan representasi adalah dasar untuk sukses dalam subjek.

Pemecahan masalah adalah pusat dari domain penerapan, dengan

penekanan pada yang lebih akrab dan rutin tugas. Masalah dapat diatur dalam

situasi kehidupan nyata, atau mungkin berkaitan dengan matematika murni

pertanyaan yang melibatkan, misalnya, ekspresi numerik atau aljabar, fungsi,

persamaan, geometrik angka, atau kumpulan data statistik.

Menentukan Menentukan operasi, strategi, dan alat yang

efisien/tepat untuk memecahkan masalah

yang ada metode penyelesaian yang umum digunakan.


Merepresentasikan Menampilkan data dalam tabel atau grafik; membuat

/memodelkan persamaan, pertidaksamaan, bangun geometris, atau

diagram yang memodelkan situasi masalah; dan

menghasilkan representasi yang setara untuk

entitas matematika tertentu atau hubungan.


Mengimplementasika Menerapkan strategi dan operasi untuk memecahkan

n masalah yang melibatkan familiar

konsep dan prosedur matematika.

3. Penalaran

Penalaran secara matematis melibatkan pemikiran logis dan sistematis. Ini

termasuk intuitif dan induktif penalaran berdasarkan pola dan keteraturan yang

dapat digunakan untuk sampai pada solusi untuk masalah yang ditetapkan situasi

baru atau asing. Masalah seperti itu mungkin murni matematis atau mungkin

memiliki pengaturan kehidupan nyata. Kedua jenis item melibatkan transfer

pengetahuan dan keterampilan ke situasi baru; dan interaksi antar keterampilan

penalaran biasanya merupakan fitur dari item tersebut.

Menganalisa Menentukan, mendeskripsikan, atau menggunakan

hubungan antara bilangan, ekspresi, besaran, dan

bentuk.
Mengintegrasika Menghubungkan berbagai elemen pengetahuan,

n representasi terkait, dan prosedur untuk

menyelesaikan masalah.
Mengevaluasi Mengevaluasi alternatif pemecahan masalah strategi dan

solusi.
Menggambarkan Membuat kesimpulan yang valid berdasarkan informasi dan

kesimpulan bukti.
Menggeneralisasi Buat pernyataan yang mewakili hubungan dalam istilah

yang lebih umum dan lebih luas.


Memberi alasan Memberikan argumen matematis untuk mendukung strategi

atau solusi.
Survei TIMSS yang dilakukan oleh The International Association for the

Evaluation and Educational Achievement (IAE) berkedudukan di Amsterdam,

mengambil fokus pada domain isi matematika dan kognitif siswa. Domain isi

meliputi Bilangan, Aljabar, Geometri, Data dan Peluang, sedangkan domain

kognitif meliputi pengetahuan, penerapan, dan penalaran (Masjaya; Wardono,

2018).

BAB IV

PENGEMBANGAN SOAL MATEMATIKA MODEL

PISA DAN TIMSS

A. Soal-Soal Matematika dalam PISA dan Kasus-Kasus Hasil Penilaian yang

Menyertai

1. Contoh Soal-1: PIZZA

A pizzeria serves two round pizzas of the same thickness in different sizes.

The smaller one has a diameter of 30 cm and costs 30 zeds. The larger one

has a diameter of 40 cm and costs 40 zeds. Which pizza is better value for

Sebuah
money?kedai
Showpizza
your menyajikan
reasoning. dua pilihan pizza dengan ketebalan yang

sama namun berbeda dalam ukuran. Pizza yang kecil memiliki diameter 30

cm dan harganya 30 zed dan pizza yang besar memiliki diameter 40 cm

dengan harga 40 zed. Pizza manakah yang lebih murah. Berikan alasannya.

(PISA 2003)
Catatan: Bilangan satuan harga dalam ‘zed’ pada soal tersebut dapat

diasosiasikandengan bilangan satuan harga dalamrupiah sesuai konteks di

Indonesia.

Soal tersebut menguji tiga komponen sebagai berikut ini.

Konten Perubahan dan keterkaitan

Ruang dan bentuk

Proses Mampu menerapkan konsep, fakta, prosedur dan penalaran dalam

matematika

Konteks Personal

Komentar: Pada soal tersebut, siswa dituntut untuk mampu memahami maksud

soal, kemudianmampu menghitung luas atau besarnya satu pizza, besarnya pizza

yang diperolehdengan harga 1 zed atau harga setiap cm 2 pizza dalam zed, dan

menyimpulkan pizzamana yang harganya lebih murah.Untuk pizza yang kecil

30 30
(diameter 30 cm) luasnya adalah π × × =225 π cm2dan harganya 30 zed,
2 2

sehingga untuk setiap 1 zed didapatkan pizza seluas225π: 30 = 7,5π atau seluas

23.6 cm2. Untuk pizza yang besar (diameter 40 cm),luasnya adalah

40 40
π× × =400 π cm 2 cm2 dan harganya 40 zed, sehingga untuksetiap 1 zed
2 2

didapatkan pizza seluas 400 atau seluas 31,4 cm2.


Sehingga pada pizza yang kecil, dengan uang 1 zed dapat dimiliki pizza

seluas23,6 cm2. Sedangkan untuk pizza yang besar, dengan uang 1 zed dapat

dimiliki pizza seluas 31,4cm2. Oleh karena itu pizza yang besar lebih murah

daripada pizza yang kecil.

Tujuan pertanyaan tersebut untuk menerapkan pemahaman tentang luas

dan nilaiuang melalui suatu masalah. Dari seluruh siswa di dunia yang mengikuti

tes, hanya11% yang menjawab benar. Oleh karenanya soal ini dinilai sebagai

salah satudiantara soal yang sulit. Kemungkinan penyebab hal itu adalah

banyaknya kontenmatematika yang termuat di dalamnya, antara lain: kemampuan

menghitung luaslingkaran, melakukan operasi hitung perkalian dan pembagian

bilangan bulat, danmembandingkan dua bilangan pecahan. Kemungkinan

penyebab lain adalah siswakurang terbiasa melakukan proses pemecahan masalah

dengan benar, yaitu dengantahapan memahami masalah, merencanakan

pemecahan masalah, melaksanakanpemecahan masalah dan mengecek hasil

pemecahan masalah. Pada soal tersebutsebenarnya konteks masalah tampak

sederhana dan tidak membutuhkan kemampuanmembaca yang tinggi, namun bila

siswa tidak dibiasakan untuk memecahkan masalahdengan tahapan proses yang

benar maka siswa akan cenderung mengalami kesulitandalam menyelesaikan soal

tersebut.

Kemungkinan penyebab lain adalah siswa kurang terbiasa menyelesaikan

soal yangmelatih munculnya kreativitas dalam rangka membuat kesimpulan. Pada

soal ini,untuk menyimpulkan pizza mana yang lebih murah dibutuhkan kreativitas

agardiperoleh data (bilangan) yang mudah untuk dibandingkan sehingga


kesimpulandapat diambil dengan mudah. Dalam hal ini kreativitas tersebut terjadi

dalam bentukide mencari luas pizza untuk setiap harga 1 zed pada pizza yang

besar dan kecil.

Siswa umur 15 tahun di Indonesia seharusnya mampu menyelesaikan soal

tersebutkarena kemampuan yang diperlukan untuk menjawab soal tersebut

semestinya telahdibelajarkan. Untuk menjawab soal tersebut diperlukan

kemampuan menghitung luaslingkaran, dan hal itu telah dipelajari siswa sejak

belajar di SD. Pada saat siswa diKelas VI SD Semester 1 telah belajar

“menghitung luas lingkaran” (KD 3.2) dankemudian dipelajari kembali dan

diperdalam di kelas VIII SMP Semester dua melaluikompetensi dasar

“menghitung keliling dan luas lingkaran” (KD 4.2). Untukmenyelesaikan soal

tersebut juga diperlukan kemampuan mengalikan dan membagi bilangan bulat dan

membandingkan bilangan yang sudah dipelajari sejak SD,kemudian dipelajari dan

diperdalam lagi di Kelas VII semester 1 dengan kompetensidasar “melakukan

operasi hitung bilangan bulat dan pecahan” (KD 1.1). Namun,sekali lagi agar

dapat menyelesaikan soal tersebut diperlukan kemampuanmemecahkan masalah

yang terdiri atas empat tahap, yaitu memahami masalah,merencanakan pemecahan

masalah, melaksanakan pemecahan masalah, danmengecek hasil pemecahan

masalah, serta diperlukan juga kreativitas yang tinggi.(Wardani & Rumiati, 2011)

2. For a rock concert, a rectangular field of size 100 m by 50 m was reserved

for the audience. The concert was completely sold out and the field was

full with all the fans standing. Which one of the following is likely to be the

best estimate of the total number of people attending the concert?


“Untuk konser music rock, sebuah lapangan yang berbentuk persegi

panjang berukuranpanjang 100meter dan lebar 50 meter disiapkan untuk

pengunjung. Tiket terjual habisbahkan banyak fans yang berdiri.

Berapakah kira-kira banyaknya pengunjung konsertersebut?”

A. 2 000

B. 5 000

C. 20 000

D. 50 000

E. 100 000

“This item calls on each of the three process categories but the primary

demand comes from formulating situations mathematically, with the need

to make sense of the contextual information provided (the field size and

shape; the rock concert is full; fans are standing) and translate it into a

useful mathematical form. There is also the need to identify information

that is missing, but that could reasonably be estimated based on real-life

knowledge and assumptions. Specifically there is a need to devise a model

for the space required for an individual fan or a group of fans. Working

within mathematics, the problem solver needs to employ mathematical

concepts, facts, procedures and reasoning to link the area of the field and

the area occupied by a fan to the number of fans, making the quantitative

comparisons needed. And interpreting, applying and evaluating

mathematical outcomes is required to check the reasonableness of the


solution, or to evaluate the answer options against the mathematical

results of calculations performed.” (OECD, 2013)

Item ini memanggil masing-masing dari tiga kategori proses tetapi

permintaan utama datang dari merumuskan situasi secara matematis,

dengan kebutuhan untuk memahami informasi kontekstual yang diberikan

(ukuran dan bentuk lapangan; konser rock penuh; penggemar berdiri) dan

menerjemahkan menjadi bentuk matematika yang berguna. Ada juga

kebutuhan untuk mengidentifikasi informasi yang hilang, tetapi dapat

diperkirakan secara wajar berdasarkan pengetahuan dan asumsi kehidupan

nyata. Secara khusus ada kebutuhan untuk merancang model untuk ruang

yang dibutuhkan untuk kipas individu atau sekelompok penggemar.

Bekerja dalam matematika, pemecah masalah perlu menggunakan konsep

matematika, fakta, prosedur, dan penalaran untuk menghubungkan area

bidang dan area yang ditempati oleh kipas dengan jumlah kipas, membuat

perbandingan kuantitatif diperlukan. Dan menafsirkan, menerapkan, dan

mengevaluasi hasil matematis diperlukan untuk memeriksa kewajaran

solusi, atau untuk mengevaluasi opsi jawaban terhadap hasil matematis

dari perhitungan yang dilakukan.

3. A carpenter has 32 metres of timber and wants to make a border around a

garden bed. He isconsidering the following designs for the garden bed.
Circle either ‘yes’ or ‘no’ for each design to indicate whether the garden bed

canbe made with 32 centimeters timber?

Garden Using this garden, can the garden be made with 32 meters of

bed design timber?

Design A A Yes/No

Design B B Yes/No

Design C C Yes/No

Design D Yes/No

Seorang tukang kayu mempunyai pagar sepanjang 32 meter dan

akanmenggunakannya untuk memagari bunga-bunga di taman. Dia

mempertimbangkanbeberapa desain untuk memagari taman sebagai berikut.


Lingkarilah “ya” atau “tidak” pada jawaban yang Anda anggap tepat.Dapatkah

pagar sepanjang 32 meter persegi dibuat sesuai dengan desain berikut?

Desain Dapatkah pagar sepanjang 32m persegi dibuat sesuai

pagar dengan desain berikut?

Desain A Ya/tidak

Desain B Ya/tidak

Desain C Ya/tidak

Desain D Ya/tidak

This was one of the more difficult items in the PISA 2003 survey, with a

correct response rate of a little less than 20%. It can be solved by the

application of geometrical knowledge and reasoning. Enough information is

given to enable direct calculation of the exact perimeter for Designs A, C and

D, each of which is 32 metres. However, insufficient information is given for

Design B; therefore a different approach is required. It can be reasoned that


while the ‘horizontal’ components of the four shapes are equivalent, the

oblique sides of Design B are longer than the sum of the ‘vertical’

components of each of the other shapes. The communication capability is

called on in reading and understanding the question, and to link the

information provided in the text with the graphical representation of the four

garden beds. The task has been presented in overtly mathematical form,

hence no mathematisation is needed. Real world considerations, such as the

lengths of the pieces of timber available and the geometry of the corners, do

not come into the problems as posed here. The key capability demanded to

solve the problem is the reasoning and argument needed to identify Design B

which has too great a perimeter, and to appreciate that the lengths of the

‘vertical’ components of Design A are in themselves unknown, but that the

total ‘vertical’ length is known (similarly with Design C with both vertical

and horizontal lengths). Devising a strategy involves recognising that the

perimeter information needed can be found in spite of the fact that some of

the individual lengths are not known. Using symbolic, formal and technical

language and operations is needed in the form of an understanding and

manipulating of the perimeter of the shapes presented, including both the

properties of the sides, and the addition of the side lengths. Using

mathematical tools is likely not needed. (OECD, 2013)

Ini adalah salah satu item yang lebih sulit dalam survei PISA 2003, dengan

tingkat respons yang benar kurang dari 20%. Ini dapat diselesaikan dengan

penerapan pengetahuan dan penalaran geometris. Informasi yang cukup


diberikan untuk memungkinkan perhitungan langsung dari perimeter yang

tepat untuk Desain A, C dan D, yang masing-masing adalah 32 meter.

Namun, informasi yang diberikan tidak cukup untuk Desain B; oleh karena

itu diperlukan pendekatan yang berbeda. Dapat beralasan bahwa sementara

komponen 'horizontal' dari empat bentuk adalah setara, sisi miring Desain B

lebih panjang daripada jumlah komponen 'vertikal' dari masing-masing

bentuk lainnya.

Kemampuan komunikasi diperlukan dalam membaca dan memahami

pertanyaan, dan untuk menghubungkan informasi yang diberikan dalam teks

dengan representasi grafis dari empat tempat tidur taman. Tugas telah

disajikan dalam bentuk matematis yang jelas, maka tidak diperlukan

matematisasi. Pertimbangan dunia nyata, seperti panjang potongan kayu yang

tersedia dan geometri sudutnya, tidak menjadi masalah seperti yang diajukan

di sini. Kemampuan kunci yang dituntut untuk memecahkan masalah adalah

penalaran dan argumen yang diperlukan untuk mengidentifikasi Desain B

yang memiliki perimeter terlalu besar, dan untuk menghargai bahwa panjang

komponen 'vertikal' dari Desain A itu sendiri tidak diketahui, tetapi total '

panjang vertikal diketahui (sama halnya dengan Desain C dengan panjang

vertikal dan horizontal). Merancang strategi melibatkan pengakuan bahwa

informasi perimeter yang dibutuhkan dapat ditemukan meskipun fakta bahwa

beberapa panjang individu tidak diketahui. Penggunaan bahasa dan operasi

simbolik, formal dan teknis diperlukan dalam bentuk pemahaman dan

manipulasi keliling bentuk yang disajikan, termasuk sifat sisi, dan


penambahan panjang sisi. Menggunakan alat matematika mungkin tidak

diperlukan.

4. Revolving Door

Pintu berputar secara sempurna sebanyak 4 kali dalam 1 menit. Terdapat

ruang untuk maksimal 2 orang dalam setiap sector pintu tersebut dimana

banyaknya sector adalah 3. Berapa jumlah maksimum orang yang bisa

memasuki Gedung melalui pintu tersebut dalam waktu 30 menit?

Catatan: Soal di atas mencakup tingkat dan penalaran proporsional, dan

berada dalam level 4 pada skala kecakapan matematika. Dalam satu menit,

pintu berputar 4 kali membawa 4 × 3 =12 sektor ke pintu masuk, yang

memungkinkan 12 × 2=24 orang untuk memasuki gedung. Dalam 30 menit,

24 × 30 = 720 orang dapat masuk (oleh karena itu, jawaban yang benar

adalah opsi respon D). Penalaran proporsional merupakan hal yang sentral

dalam literasi matematika. Banyak konteks nyata yang mencakup proporsi

dan tingkatan, yang sering kali digunakan dalam rangkaian penalaran.


Mengkoordinasikan serangkaian penalaran seperti itu membutuhkan

rancangan strategi untuk menyatukan informasi secara logis. Item ini juga

membutuhkan matematisasi sebagai kemampuan dasar matematika, terutama

dalam proses perumusan. Seorang siswa perlu memahami situasi nyata,

mungkin visualisasi bagaimana pintu memutar, menyajikan satu sektor pada

suatu waktu. Pemahaman tentang masalah dunia nyata ini memungkinkan

data yang diberikan dalam soal bisa disusun dengan benar sehingga

memperoleh hasil yang tepat. Rata-rata di negara-negara OECD, 30,8% dari

siswa mampu menyelesaikan soal di level 4. Di Indonesia sendiri, kurang dari

5% siswa yang mencapai tingkat 4 atau lebih. (Wardani & Rumiati, 2011)

B. Soal-Soal Matematika dalam TIMSS dan Kasus-Kasus Hasil Penilaian

yang Menyertai

1. Domain TIMSS untuk Matematika

Dasar penilaian prestasi matematika dan sains dalam TIMSS dikategorikan

ke dalam dua domain, yaitu domain isi dan domain kognitif dengan

memperhatikan kurikulum yang berlaku di negara yang bersangkutan. Distribusi

spesifikasi dan penilaian tersebut adalah sebagai berikut :

a. Domain isi (content domain)

Dalam TIMSS 2015 Assessment framework disebutkan bahwa dimensi

konten terdiri atas empat domain yaitu : bilangan, aljabar, geometri, data dan

peluang. Tiap domain konten diperinci lebih lanjut dalam beberapa topik,

misalnya domain konten bilangan meliputi topik bilangan cacah, pecahan dan

desimal, bilangan bulat, rasio, proporsi dan presentase. Gambar 2 berikut


menunjukkan proporsi kemampuan yang diuji dalam tiap domain yang dinilai

pada dimensi konten.

Gambar 1.
Proporsi Kemampuan yang diuji pada dimensi Konten dalam Studi TIMSS 2015

b. Domain kognitif (cognitive domain)

Dimensi kognitif terdiri atas tiga domain yaitu pengetahuan (knowing),

penerapan (applying) dan penalaran (reasoning). Dimensi kognitif dimaknai

sebagai perilaku yang diharapkan dari siswa ketika mereka berhadapan dengan

domain matematika yang tercakup dalam dimensi konten. Gambar 3 berikut

menunjukkan proporsi kemampuan yang diuji pada dimensi kognitif dalam studi

TIMSS 2015.
Gambar 2.
Proporsi Kemampuan yang diuji pada dimensi Kognitif dalam Studi TIMSS 2015

Soal-soal tersebut didesain sedemikian rupa sehingga kedua dimensi

penilaian, yaitu konten dan kognitif dapat teramati. Bentuk soal-soal dalam

TIMSS adalah pilihan ganda dengan 4 pilihan jawaban, isian singkat dan uraian.

Isian singkat dan uraian sering disebut “constructed response”. Untuk soal pilihan
ganda dan isian singkat jika benar diberi skor 1 dan jika salah diberi skor 0. Untuk

soal uraian akan diberi skor 2 untuk jawaban yang lengkap dan benar, skor 1

untuk jawaban yang benar namun kurang lengkap dan skor 0 untuk jawaban yang

salah atau tidak menjawab (Sari, 2015).

2. Level Kemampuan Siswa dalam TIMSS

Kemampuan matematika siswa dalam TIMSS sesuai benchmark

internasional dibagi menjadi 4 kategori yakni sangat tinggi (advance), tinggi

(high), sedang (intermediate) dan rendah (low). Dalam (Ina, 2012) dijelaskan

tentang kompetensi matematika yang dicapai siswa sesuai benchmark

international. (Sari, 2015)

Benchmark International Kemampuan Siswa

Advance (≥ 625) Siswa dapat memberi alasan, menarik kesimpulan,


membuat generalisasi, dan menyelesaikan
persamaan linier. Siswa dapat menyelesaikan
berbagai pecahan, proporsi dan masalah persen
serta membenarkan kesimpulan mereka. Siswa
dapat mengekspresikan generalisasi aljabar dan
situasi model. Mereka dapat menyelesaikan
berbagai masalah yang melibatkan persamaan,
rumus dan fungsi. Siswa dapat memberikan alasan
dengan figur geometri untuk memecahkan masalah.
Siswa dapat memberi alasan dengan data dari
beberapa sumber atau representasi yang tidak biasa
untuk menyelesaikan masalah dengan banyak
langkah.
High (550 ≤ x <625) Siswa dapat menerapkan pemahaman dan
pengetahuan mereka dalam situasi- situasi yang
relatif kompleks. Siswa dapat menggunakan
informasi dari beberapa sumber untuk memecahkan
masalah yang melibatkan berbagai jenis bilangan
dan operasi. Siswa dapat mengubah bentuk pecahan
biasa ke dalam bentuk desimal dan persen atau
sebaliknya. Siswa pada tingkat ini menunjukkan
pengetahuan prosedural dasar yang berkaitan
dengan ekspresi aljabar. Mereka dapat
menggunakan hubungan garis, sudut, bangun datar
dan bangun ruang untuk memecahkan masalah.
Mereka dapat menganalisa data dari grafik yang
diberikan.

Intermediate Siswa dapat menerapkan pengetahuan dasar


( 400≤ x <550) matematika dalam berbagai situasi. Siswa dapat
memecahkan masalah yang melibatkan desimal,
pecahan, proporsi dan persentase. Mereka
memahami hubungan aljabar sederhana. Siswa
dapat membuat hubungan gambar dua dimensi ke
objek tiga dimensi. Mereka dapat membaca,
menafsirkan, dan membuat grafik serta tabel.

Low (¿ 400) Siswa memiliki pengetahuan tentang bilangan bulat


dan desimal, operasi hitung dan grafik dasar.

3. Soal TIMSS

a. Contoh Soal-1:
Manakah di antara lingkaran-lingkaran berikut yang menggambarkan pecahan yang bernilai h

Berhentilah membaca sejenak, selesaikan sendiri soal di atas terlebih dahulu.

Komentar:

Untuk menjawab soal tersebut, pertama siswa perlu mengetahui nilai

5
pecahan yang digambarkan oleh daerah berbayang-bayang pada persegi, yaitu
12

. Untuk mampu menjawab soal dengan benar siswa perlu memperkirakan yang

mana di antara pilihan A, B, C, D dan E yang paling tepat. Untuk itu siswa perlu

5
melihat bahwa itu kurang sedikit dari setengah, akibatnya jawaban A, B, C,
12

dan E tidak mungkin, sehingga jawaban yang benar adalah jawaban D. Soal

tersebut berada dalam domain konten bilangan dan domain kognitif pengetahuan.

Soal ini berkaitan dengan konsep pecahan yang dipelajari di Kelas III SD

Semester 2, yaitu pada kompetensi dasar “mengenal pecahan sederhana” (KD


3.1), “membandingkan pecahan sederhana” (3.2). Di SMP, mengenal konsep

pecahan sudah tidak lagi dipelajari, karena yang dipelajari di SMP adalah

melakukan operasi hitung pecahan.

Hasil secara internasional menunjukkan bahwa 63% siswa peserta TIMSS

mampu menjawab dengan benar, namun hanya 52% siswa Indonesia yang mampu

menjawabnya dengan benar. Sebenarnya soal ini tergolong tidak terlalu sulit,

namun kemampuan yang diperlukan untuk menjawab soal tidak hanya sekedar

memahami pengertian pecahan, namun juga mampu menganalisis suatu situasi

atau keadaan dengan mengacu pada keadaan tertentu. Dalam hal ini siswa perlu

melakukan analisis terhadap nilai pecahan yang diwakili oleh gambar berbentuk

lingkaran dengan mengacu pada nilai pecahan yang diwakili oleh gambar

berbentuk persegi. Siswa Indonesia yang tidak mampu menjawab dengan benar

soal tersebut kemungkinan karena tidak terbiasa menyelesaikan soal dengan

melakukan analisis masalah terlebih dahulu. (Wardhani & Rumiati, 2011b)

b. Contoh Soal-2:
Catatan: Sebagai guru matematika pembaca modul ini, Anda dapat

mengasosiasikan bilangan satuan harga dalam ‘zed’ pada soal tersebut dengan

bilangan satuan harga dalam rupiah sesuai konteks di lingkungan Anda.

Berhentilah membaca sejenak, coba kerjakan sendiri soal di atas terlebih dahulu.

Komentar:

Soal ini berada dalam domain konten aljabar dan domain kognitif

penalaran. Dalam soal ini siswa diminta untuk memecahkan masalah yang

berkaitan dengan persaman linear dengan dua peubah. Kompetensi dasar yang

dibutuhkan untuk menjawab soal ini telah dipelajari siswa di kelas VIII SMP

Semester 1, yaitu “membuat model matematika dari masalah yang berkaitan

dengan sistem persamaan linear dua variabel” (KD 2.2) dan “menyelesaikan

model matematika dari masalah matematika yang berkaitan dengan sistem

persamaan linear dua variabel dan penafsirannya” (KD 2.3). Soal tersebut cukup

sulit, karena secara internasional hanya 18% siswa yang menjawab benar, dan

bagi siswa Indonesia soal ini sangat sulit karena hanya 8% yang menjawab benar.

Alasan bahwa soal ini sulit disebabkan soal ini menguji domain kognitif penalaran

dengan kemampuan memecahkan masalah non rutin, bukan sekedar pengetahuan

atau penerapan. Tampak bahwa mengubah kalimat biasa menjadi kalimat

matematika, dan kemudian menafsirkannya kembali merupakan salah satu kerikil

tajam dalam pembelajaran matematika.

c. Contoh Soal-3 TIMSS


Komentar:

Pada tahun TIMSS 2003 sebanyak 9,2% siswa Indonesia menjawab A,

70,2% menjawab B, 10,5% menjawab C, dan 10,1%. Sekitar 70% siswa dapat

menjawab soal tersebut dengan benar. Ini menandakan bahwa mereka mampu

menerjemahkan data numerik ke dalam bentuk grafik yang sesuai. Sementara

pada TIMSS 2007, persentase siswa yang menjawab benar justru berkurang,

menjadi hanya 66%. Situasi ini perlu dicermati, agar pada penilaian internasional

yang akan datang, persentase siswa yang menjawab benar dapat meningkat.

(Wardhani & Rumiati, 2011b)

d. Contoh Soal-4:
Komentar:

Soal ini berada dalam domain konten geometri dan domain kognitif

penerapan. Kemampuan yang dibutuhkan untuk menjawab soal tersebut telah

dipelajari siswa di kelas VII SMP yaitu “menentukan hubungan antara dua garis,

serta besar dan jenis sudut” (KD 5.1). Pada soal tersebut siswa diminta

menghitung besarnya sudut yang belum diketahui, yaitu ‘ E atau x jika beberapa

sudut diketahui. Untuk menjawab soal tersebut siswa perlu memahami bahwa

besar sudut siku-siku adalah 90 , jumlah sudut dalam suatu segitiga adalah 180 ,

dua sudut yang bertolak belakang besarnya sama dan dua sudut alas pada segitiga

samakaki besarnya sama. Dalam hal ini untuk mendapatkan jawaban benar siswa

perlu memahami bahwa besar ‘  B = 90 , ‘  ACB = ‘ DCE (bertolak

belakang) dan ‘ E = ‘ D = x (sudut alas pada  ABC yang sama kaki).

Selanjutnya ‘ ACB ditentukan dengan memperhatikan jumlah sudut dalam 

ABC, yaitu ‘  A +  B +  ACB = 180 atau 50 + 90 +  ACB = 180 atau
 ACB = 40. Karena ‘ ACB =  DCE,  DCE = 40 , sehingga x + x + 

DCE = 180 atau 2x + 40 = 180 atau 2x = 140 atau x = 70 .

Hasil TIMSS menunjukkan bahwa secara internasional, 32% siswa

menjawab benar dan hanya 19% siswa Indonesia menjawab benar. Soal ini masih

cukup sulit bagi siswa Indonesia. Ada banyak kemungkinan penyebabnya

sehingga siswa belum berhasil menjawab dengan benar, antara lain siswa kurang

memahami pengetahuan terkait sudut, besarnya jumlah sudut dalam segitiga,

hubungan antar sudut. Kemungkinan penyebab lain adalah siswa kurang terbiasa

melakukan penalaran. (Wardhani & Rumiati, 2011b)

e. Contoh Soal-5:

Komentar:

Soal ini berada dalam domain konten data dan peluang, serta domain

kognitif penerapan. Kemampuan yang diperlukan untuk menjawab soal tersebut

semestinya telah dipelajari di Kelas VI SD Semester 2 yaitu “menyajikan data ke


bentuk tabel dan diagram gambar batang, lingkaran” (KD 7.1). Kemampuan itu

kembali diperdalam di kelas IX, namun peserta TIMSS adalah kelas VIII,

sehingga mereka belum memperdalam lebih lanjut. Namun mengingat bahwa soal

cukup sederhana, mestinya jika kompetensi yang diperlukan benar-benar telah

dikuasai di SD, maka hal itu tidak menjadi masalah. Tetapi ternyata, masih

banyak siswa Indonesia mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal tersebut.

Hanya 14% siswa peserta Indonesia yang mampu menjawab benar, sementara di

tingkat internasional ada 27% siswa menjawab benar.

Banyaknya siswa yang tidak berhasil menjawab dengan benar

kemungkinan disebabkan soal tersebut membutuhkan dua kemampuan sekaligus,

yaitu kemampuan membaca data pada diagram lingkaran dan kemampuan untuk

menyajikan data tersebut ke dalam diagram batang, sehingga ada dua langkah

yang diperlukan. Guru di Indonesia, sering sekali hanya memberikan persoalan

seperti ini dalam satu langkah saja, misalnya hanya meminta siswa membuat

diagram batang atau membuat diagram lingkaran saja. (Wardhani & Rumiati,

2011b)

f. Contoh Soal TIMSS Kemampuan matematika siswa dalam level rendah

Rata-rata persentase siswa yang menjawab soal dengan benar pada level

rendah mencapai 80,5%, lebih tinggi dari rata-rata skor internasional yang

mencapai 75% dan skor nasional yang hanya 43% pada TIMSS 2011 (Munaji,

2020)

1. Contoh Soal-6:

Berapakah nilai dari 33 ?

a. 6 c. 9 d.27 e. 33
Komentar :

Siswa yang menjawab dengan benar pada Gambar 1 sebesar 52%.

Konsepnya ialah bahwa untuk setiap bilangan a (a dengan pangkat n (bilangan

bulat positif) adalah perkalian berulang dari a sebanyak n kali. Sebagian kecil

siswa masih bingung mengenai konsep bilangan pangkat bulat positif. Sekitar 1,2

% mungkin menganggap bahwa 33 = 3 + 3 = 6. Sekitar 11,1% siswa mungkin

menganggap bahwa 33 = 3 x 3 = 9, dan sekitar 1,3% siswa kemungkinan

menganggap bahwa 3 3 = 33 ini sangat tidak masuk akal. Dari penyelesaian siswa

pada Gambar 1 ini kita juga bisa mengetahui bahwa sense of number siswa masih

lemah. Beberapa siswa masih belum bisa membaca bilangan pangkat bulat positif

dengan baik.

2. Contoh Soal-7:

Sebanyak 100 siswa di sebuah sekolah diukur tinggi badannya dalam satuan
centi meter (cm). Tabel berikut menunjukkan hasil pengukuran tinggi badan
siswa tersebut

Tinggi 145 150 155 160


badan (cm)
Jumlah 16 40 25 19
Siswa
Lengkapilah grafik di bawah ini dengan informasi yang sama dengan

tabel
Komentar :

Siswa yang menjawab dengan benar pada soal Gambar 2 sebanyak 78%.

Soal ini termasuk dalam domain konten data dan peluang dengan domain kognitif

yang diuji adalah knowing. Tujuan dari soal ini adalah untuk melihat kemampuan

siswa dalam membaca grafik. Dengan demikian masih ada 22% siswa yang belum

bisa membaca grafik dengan tepat.

g. Contoh Soal Kemampuan matematika siswa dalam level menengah

Pada level menengah dalam dimensi aljabar siswa diharapkan mampu

melakukan operasi hitung, menyederhanakan, dan melakukan evaluasi pada

bentuk ekspresi aljabar sederhana. Dalam dimensi geometri siswa diharapkan

mampu memahami representasi koordinat dan menggunakan keterampilan

visualisasi spasial untuk melihat hubungan diantara representasi bentuk dua dan

tiga dimensi. Siswa diharapkan dapat menggunakan simetri dan menerapkan

transformasi untuk menganalisis situasi matematika. Rata-rata persentase siswa

yang menjawab soal dengan benar di kota Cirebon pada level menengah mencapai

62%, lebih tinggi di atas persentase rata-rata internasional yang mencapai 46%

dan rata-rata nasional yang mencapai 15% pada TIMSS 2011. Selanjutnya soal

pada materi yang berhubungan dengan aljabar disajikan.

1. Contoh Soal-8:

Untuk semua bilangan k, maka k + k + k + k + k = ...

a. k +5

b. 5k

c. k 5
Komentar :

Jika dilihat dari jawaban siswa, sebanyak 52,3% memilih jawaban b. 5k

yang merupakan jawaban benar dari soal tersebut. Sebanyak 8,4% siswa

menjawab pilihan jawaban a. k+5. Sebanyak 32,3% siswa menjawab c. k 5 , dan

7% siswa menjawab pilihan jawaban d. 5(k + 1). Soal ini mengungkap

pemahaman siswa dalam melakukan operasi dasar bentuk aljabar. Kekeliruan

siswa tampak pada jawaban salah yang menganggap bahwa k + k + k + k + k

adalah k + 5 atau k 5 .

2. Contoh Soal-9:
Perhatikan gambar dibawah ini

Pada bidang koordinat di atas, (2, −4) terletak pada titik koordinat …

a. P c. R

b. Q d. S

Komentar :

Contoh soal pada Gambar 4 termasuk dalam domain konten geometri dan

domain kognitif knowing. Dalam soal tersebut menguji siswa dalam pemahaman
representasi koordinat dan menggunakan keterampilan visualisasi spasial untuk

melihat hubungan diantara representasi bentuk dua dimensi. Sebanyak 79% atau

sebagian besar siswa dapat menjawab soal dengan benar, sedangkan sisanya

hanya sekitar 21% menjawab soal dengan salah.

h. Kemampuan Matematika Siswa dalam Level Tinggi (High)

Kemampuan siswa pada level tinggi ditunjukkan dengan kemampuan

siswa dalam menyampaikan alasan berdasarkan informasi, menarik kesimpulan,

membuat generalisasi, dan menyelesaikan persamaan linear. Dalam dimensi

bilangan peserta didik dapat memecahkan berbagai pecahan, proporsi, dan

masalah persen yang membenarkan kesimpulan mereka. Dalam dimensi aljabar

siswa dapat mengekspresikan generalisasi aljabar dari suatu model. Mereka dapat

menyelesaikan berbagai masalah yang melibatkan persamaan, rumus, dan fungsi.

Selanjutnya dalam dimensi geometri dan pengukuran peserta didik dapat

memberikan alasan dengan bangun geometri untuk memecahkan masalah, dan

terkait dengan data dan peluang peserta didik dapat memberikan alasan dengan

data dari beberapa sumber atau representasi yang tidak umum untuk memecahkan

masalah multi-langkah. Rata-rata persentase siswa yang menjawab soal dengan

benar di kota Cirebon pada level tinggi mencapai 57,4% lebih tinggi dari rata-rata

persentase internasional yang mencapai 17% dan nasional 2% pada TIMSS 2011.

1. Contoh Soal-10:

Garis PQ sejajar BC. Berapakah


nilai x?

Jawab :
Komentar :

Soal ini termasuk ke dalam domain konten geometri dan domain kognitif

applying. Pada soal tersebut siswa diminta menghitung besarnya sudut yang

belum diketahui yaitu x 0 jika beberapa sudut diketahui. Untuk menjawab soal

tersebut siswa perlu memahami bahwa jumlah sudut dalam segitiga adalah 1800 ,

dan besar sudut dalam sepihak adalah sama. Sudut . Sehingga P + 600 + 800 =

1800 dan P = 1800 – (600 + 800 ) = 400 . Sudut x 0 = P, jadi x = 40. Hasil

penelitian ini menunjukkan hanya 37% siswa yang menjawab dengan benar dan

sebagian besarnya 63% menjawab salah. Ada banyak kemungkinan penyebabnya

sehingga siswa belum berhasil menjawab dengan benar, antara lain siswa kurang

memahami pengetahuan terkait sudut dalam segitiga, serta hubungan antar sudut.

Penyebab lain adalah siswa kurang terbiasa melakukan penalaran.

2. Contoh Soal-11:

Janet menggambar sebuah grafik dengan ciri-ciri sebagai berikut.


- Grafik merupakan garis lurus
- Grafik memotong sumbu y di y = 3
Manakah fungsi yang sesuai dengan grafik yang digambarkan Janet?
a. y=x 2 +3 c. y=3 x 2−1
b. y=3 x +1 d. y=x +3

Komentar :

Soal tersebut termasuk ke dalam domain konten aljabar dan domain

kognitif applying. Dalam soal tersebut siswa diuji untuk dapat menggunakan
simbol-simbol aljabar untuk merepresentasikan situasi matematika, dan

mengembangkan kefasihan dalam mengekpresikan dan menyelesaikan persamaan

linear dengan mengetahui sifat-sifat grafik fungsi linear. Sebanyak 46% siswa

yang dapat menjawab soal pada Gambar 6 dan sebagian besarnya, yaitu 54%

siswa menjawabnya dengan salah.

i. Kemampuan Matematika Siswa dalam Level Mahir (Advance)

Pada level mahir kemampuan yang ingin dicapai adalah siswa dapat

memberikan alasan terkait berbagai jenis bilangan dalam situasi rutin dan non-

rutin dan membenarkan kesimpulan mereka. Siswa mampu mengekspresikan

generalisasi bentuk aljabar, dan menyelesaikan berbagai masalah yang melibatkan

persamaan, rumus, dan fungsi. Mereka dapat memberikan alasan dengan bentuk

geometri untuk memecahkan masalah dan dengan data dari beberapa sumber

untuk memecahkan masalah multi-langkah. Rata-rata persentase siswa SMP di

kota Cirebon yang menjawab soal dengan benar pada level mahir mencapai 39,2%

lebih tinggi dari rata-rata persentase internasional yang mencapai persentase

sebesar 3% dan nasional 0% pada TIMSS 2011.

1. Contoh Soal-12:
Tom dan Saudara laki-lakinya, Peter, menerima sejumlah uang yang sama. Tom menghabiskan 1 3 uangn
(Pilih salah satu jawaban pada kotak)
Tom menghabiskan uang lebih banyak untuk membeli sepatu
Peter menghabiskan uang lebih banyak untuk membeli sepatu
Mereka berdua menghabiskan sejumlah uang yang sama untuk membeli sepatu
Jelaskan jawabanmu!

Komentar :

Soal pada Gambar 7 termasuk ke dalam domain konten bilangan dan

domain kognitif reasoning. Soal tersebut menguji kemampuan siswa dalam

melakukan penalaran mengenai pecahan merupakan bagian dari keseluruhan

dalam masalah-masalah nyata sehari-hari dan menjelaskan alasan dari sebuah

jawaban. Hanya 23,4% siswa yang menjawab soal dengan benar, dan sisanya

sebagian besar menjawab salah. Diantara jawaban siswa yang benar: “Peter

menghabiskan uang lebih banyak untuk membeli sepatu, karena 3/5 dari 2/3

adalah 2/5, sedangkan 3/5 dari 1 adalah 3/5. 3/5 lebih besar dari 2/5, jadi Peter

menghabiskan uang lebih banyak”. Diantara jawaban siswa yang salah: “Tom

menghabiskan uang lebih banyak untuk membeli sepatu, karena Tom belanja

uangnya 1/3 dan 3/5, sedangkan Peter hanya belanja 3/5 saja”. Dari jawaban salah
terlihat siswa kurang memahami bahwa pecahan merupakan bagian dari

keseluruhan. Kemungkinan kekeliruan yang lain adalah siswa tidak bisa

melakukan operasi pengurangan pecahan dan tidak bisa membandingkan mana

pecahan yang lebih besar dan mana yang lebih kecil. Walaupun soal tersebut

masuk dalam domain konten namun untuk menjawabnya perlu memiliki

kemampuan penalaran yang tinggi dan menguasai konsep-konsep dasar operasi

pecahan.

2. Contoh Soal-13:

Garis PQ sejajar BC. Berapakah nilai x?

Komentar :

Soal pada Gambar 8 termasuk dalam domain konten aljabar dan domain

kognitif reasoning. Soal tersebut menguji siswa untuk bisa membuat model

matematika berupa persamaan dengan tepat sesuai dengan informasi yang tersedia

berupa panjang sisi-sisi segitiga dalam bentuk variabel. Konsep dasar yang harus

dimiliki adalah penjumlahan bentuk aljabar dan sebelumnya harus telah

memahami terlebih dahulu pengetahuan tentang suku, koefisien, konstanta, dan

suku-suku sejenis. Dalam penjumlahan bentuk aljabar, suku-suku yang dapat

dijumlahkan adalah suku yang sejenis yaitu suku yang memiliki varaiabel dan

pangkat variable yang sama. Jawaban siswa pada soal di atas sangat tidak
memuaskan, tidak ada siswa satupun yang dapat menjawab soal tersebut dengan

benar. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam membuat model

matemtika masih sangat lemah.

j. Contoh Soal-14:

3) 480 students were asked to name their favorite sport. The results are shown in

this table.

Sport Number of student


Hockey 60
Football 180
Tennis 120
Basketball 120

Use the information in the table to complete and label this pie chart.

Komentar:

Soal tersebut berada pada domain konten aljabar dan domain kognitif

pengetahuan. Hasil survey pada soal tersebut menunjukkan rata-rata 65% siswa

peserta TIMSS menjawab benar sedangkan hanya 48% siswa Indonesia menjawab

dengan benar. Sesuai hasil survey, soal ini masuk dalam intermediate international

benchmark. Soal ini menuntut siswa untuk mengetahui arti dari ekspresi aljabar

sederhana. (Sari, 2015)

k. Contoh Soal-15:
a+b
y=
1. c
a=8, b=6, and c=2
what is the value of y?
a. 7 b. 10 c. 11 d. 14

2. What does xy + 1 mean?


a. Add 1 to y, then multiply by x
b. Multiply x and y by 1
c. Add x to y, then add 1
d. Multiply x by y, then add 1

Komentar:

Soal ini merupakan domain konten data dan peluang serta domain kognitif

penerapan. Soal ini menuntut siswa untuk mengkonstruksi diagram lingkaran dari

representasi dan situasi yang diberikan. Kemampuan untuk menjawab soal

tersebut seharusnya sudah dipelajari saat siswa di kelas VI SD meskipun nanti

akan diperdalam lagi saat siswa kelas IX.. Tetapi ternyata, banyak siswa kelas

VIII yang mengalami kesulitan menyelesaikan soal tersebut. Hanya 28% siswa

Indonesia yang mampu menjawab dengan benar sedangkan rata-rata 47% siswa

peserta TIMSS menjawab benar. Soal ini termasuk dalam high international

benchmark. (Sari, 2015)


DAFTAR PUSTAKA

Afriyanti, I., Wardono, & Kartono. (2018). Pengembangan Literasi Matematika

Mengacu PISA Melalui Pembelajaran Abad Ke-21 Berbasis Teknologi.

PRISMA, 1, 608–617.

Depdiknas. (2006). PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2006. Global Shadows:


Africa in the Neoliberal World Order, 44(2).

Effendi, R. (2016). MODEL PEMBELAJARAN SQ3R UNTUK

MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN LITERASI MATEMATIS SISWA.

Jurnal Pendidikan Matematika, I(2), 109–118.

Fathani, A. H. (2016). PENGEMBANGAN LITERASI MATEMATIKA

SEKOLAH DALAM PERSPEKTIF MULTIPLE INTELLIGENCES. Jurnal

EduSains, 4(2), 136–150.

Haara, F. O., Bolstad, O. H., & Jenssen, E. S. (2021). Research on mathematical

literacy in schools - Aim, approach and attention. European Journal of

Science and Mathematics Education, 5(3), 285–313.

https://doi.org/10.30935/scimath/9512

Hadi, S., & Novaliyosi. (2019). TIMSS Indonesia (Trends in International

Mathematics and Science Study). Prosiding Seminar Nasional & Call For

Papers Program Studi Magister Pendidikan Matematika Universitas

Siliwangi, 562–569.

Hera, R., & Sari, N. (2015). SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN

PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2015 713 Literasi Matematika: Apa,

Mengapa dan Bagaimana? 713–720.

Hewi, L., & Shaleh, M. (2020). Refleksi Hasil PISA (The Programme For

International Student Assesment): Upaya Perbaikan Bertumpu Pada

Pendidikan Anak Usia Dini). Jurnal Golden Age, 4(01), 30–41.

https://doi.org/10.29408/jga.v4i01.2018

Indah, N., Mania, S., & Nursalam. (2016). PENINGKATAN KEMAMPUAN


LITERASI MATEMATIKA SISWA MELALUI PENERAPAN MODEL

PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING DI KELAS VII SMP

NEGERI 5 PALLANGGA KABUPATEN GOWA. Jurnal Matematika Dan

Pembelajaran (MaPan), 4(2), 198–210.

Ippolito, J., Dobbs, C. L., & Charner-Laird, M. (2017). What Literacy Means in

Math Class. The Learning Professional, 38(2), 66-70–79.

www.learningforward.org

Kamarullah, K. (2017). Pendidikan Matematika Di Sekolah Kita. Al Khawarizmi:

Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran Matematika, 1(1), 21.

https://doi.org/10.22373/jppm.v1i1.1729

Kebudayaan, K. P. dan. (2017). Panduan Gerakan Literasi Nasional. 41.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2018). Pendidikan Di Indonesia

Belajar Dari Hasil PISA 2018. 021, 1–206.

Literacy, I., Skalinder, C., Satz, P., Hiller, B., & Bernstein, L. (n.d.). What Is

Math – Literacy.

Mansur, N. (2018). Melatih Literasi Matematika Siswa dengan Soal PISA.

Prisma, 1, 140–144.

Masjaya; Wardono. (2018). Pentingnya Kemampuan Literasi Matematika untuk

Menumbuhkan Koneksi Matematika dalam Meningkatkan SDM. Jurnal

Unnes: Prisma, 1, 568–574.

Mullis, I. V. S., & Martin, M. O. (2020). TIMSS 2019 Assessment Frameworks.

In TIMSS & PIRLS International Study Center, Lynch School of Education,

Boston College and International Association for the Evaluation of


Educational Achievement (IEA). https://doi.org/10.1002/9781119491774.ch8

Munaji, M. I. S. (2020). Profil kemampuan matematika siswa smp di kota cirebon

berdasarkan standar timss. Jurnal Teorema, 5(September), 249–262.

Nurkamilah, M., Nugraha, M. F., & Aep Sunendar. (2018). Mengembangkan

Literasi Matematika Siswa Sekolah Dasar melalui Pembelajaran Matematika

Realistik Indonesia. Jurnal THEOREMS (The …, 2(2), 70–79.

http://jurnal.unma.ac.id/index.php/th/article/view/722

OECD. (2010). Assessing Scientific, Reading and Mathematical Literacy.

Assessing Scientific, Reading and Mathematical Literacy.

https://doi.org/10.1787/9789524858366-fi

OECD. (2013). PISA 2012 Assessment and Analytical Framework: Mathematics,

Reading, Science, Problem Solving and Financial Literacy. In Echinoderms:

Durham - Proceedings of the 12th International Echinoderm Conference.

https://doi.org/10.1201/9780203869543-c92

OECD. (2019). PISA 2018 Assessment and Analytical Framework. In OECD

Publishing. https://www.oecd-ilibrary.org/docserver/9789264190511-en.pdf?

expires=1569847112&id=id&accname=guest&checksum=08AEA3FD91051

23D4555A383BD097B5E

Rahmawati, M. dan. (2014). LITERASI MATEMATIKA SISWA PENDIDIKAN

MENENGAH : Analisis Menggunakan Desain Tes Internasional dengan

Konteks Indonesia. Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan, 20(4), 452–469.

Sari, D. C. (2015). Karakteristik Soal TIMSS. 303–308.

Siagian, M. D. (2017). Pembelajaran Matematika Dalam Persfektif


Konstruktivisme. NIZHAMIYAH: Jurnal Pendidikan Islam Dan Teknologi

Pendidikan, VII(2), 61–73.

Thomson, S., Hillman, K., & Lisa De Bortoli. (2013). A Teacher ’s Guide to PISA

Mathematical Literacy.

Wardani, S., & Rumiati. (2011). INSTRUMEN PENILAIAN HASIL BELAJAR

MATEMATIKA SMP : Belajar dari PISA dan TIMSS. Yogyakarta:

PPPPTK Matematika, 55.

Wardhani, S., & Rumiati. (2011a). Better Education through Reformed

Management and Universal Teacher Upgrading: INSTRUMEN PENILAIAN

HASIL BELAJAR MATEMATIKA SMP : Belajar dari PISA dan TIMSS (S.

W. Danoebroto (ed.)). Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan

Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Matematika.

Wardhani, S., & Rumiati. (2011b). INSTRUMEN PENILAIAN HASIL BELAJAR

MATEMATIKA SMP : Belajar dari PISA dan TIMSS.

Wardono, Waluya, S. B., Mariani, S., & Candra, S. D. (2016). Mathematics

Literacy on Problem Based Learning with Indonesian Realistic Mathematics

Education Approach Assisted E-Learning Edmodo. Journal of Physics:

Conference Series, 693(1). https://doi.org/10.1088/1742-6596/693/1/012014

Anda mungkin juga menyukai